• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

IV

. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kepadatan Populasi Fauna Tanah

Populasi fauna tanah diamati pada 2 lokasi, yaitu pada lahan yang ditanami padi gogo dengan kemiringan 5% dan lahan dengan kemiringan 15%. Lokasi ini terletak di kebun penelitian Cikabayan IPB. Dari setiap lahan yang ditanami padi gogo, terdapat 5 perlakuan yang mengacu pada konsep pertanian konservasi. Perlakuan T0 adalah lahan yang digunakan sebagai kontrol atau tanpa perlakuan. Perlakuan T1 adalah lahan yang dibuat teras gulud dengan saluran konvensional (SK). Perlakuan T2 adalah lahan yang dibuatkan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan lubang resapan biopori (LRB). Perlakuan T3 adalah lahan yang dibuat teras gulud dengan saluran peresapan biopori (SPB). Perlakuan T4 adalah lahan yang dibuat SPB yang dikombinasikan dengan LRB. Lubang resapan Biopori dibuat dengan membor lubang vertikal ke dalam tanah. Diameter LRB yang dianjurkan sekitar 10 cm dengan kedalaman sekitar 100 cm atau tidak melebihi kedalaman permukaan air tanah.

4.1.1 Lahan Dengan Kemiringan 5%

Lahan dengan kemiringan 5% menunjukan kepadatan populasi fauna tanah tertinggi pada perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) sebesar 2069 individu/m2 dan populasi terendah pada perlakuan kontrol (T0) sebesar 690 individu/m2 pada periode pengambilan sampel pertama (periode I), sedangkan urutan kepadatan populasi fauna tanah dari yang paling tinggi hingga rendah pada periode I adalah perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan SPB (T4), teras gulud dengan SPB (T3), teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2), teras gulud dengan SK (T1), dan perlakuan kontrol (T0).

Pada perlakuan T4, sumber makanan di petakan ini tergolong lebih berlimpah daripada petakan lainnya. Hal ini dikarenakan pada perlakuan T4 terdapat bahan organik hasil dekomposisi fauna tanah pada liang biopori yang terdapat pada lubang resapan.

(2)

Gambar 2. Kepadatan populasi fauna tanah pada lahan padi gogo dengan kemiringan 5% dari periode I - III (kedalaman 0-15 cm)

Pada periode II, kepadatan populasi fauna tanah tertinggi pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) dengan jumlah 2931 individu/m2 dan populasi terendah pada perlakuan kontrol (T0) dengan jumlah 1552 individu/m2 dan urutan kepadatan populasi tertinggi sampai terendah pada periode ke II ini adalah perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2), SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4), teras gulud dengan SPB (T3), teras gulud dengan SK (T1), dan perlakuan kontrol (T0).

Pada periode III, kepadatan populasi fauna tanah tertinggi adalah pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) dengan jumlah 3621 individu/m2 dan populasi terendah pada perlakuan teras gulud dengan SK (T1) dengan jumlah 1078 individu/m2, sedangkan urutan kepadatan populasi fauna tanah dari tertinggi hingga terendah adalah perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2), SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4), teras gulud dengan SK (T1), teras gulud dengan SPB (T3), dan perlakuan kontrol (T0).

Keterangan: T0 : Kontrol

T1: teras gulud dengan saluran konvensional (SK)

T2 : teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan lubang resapan biopori

T3: teras gulud dengan saluran peresapan biopori

T4: saluran peresapan biopori yang dikombinasikan dengan lubang resapan biopori

(3)

Dari gambar di atas dapat terlihat dinamika kepadatan populasi fauna tanah disetiap periode. Jumlah total individu/m2 cenderung meningkat hingga periode II dan menurun sedikit pada periode III. Hal ini disebabkan karena kondisi lingkungan dan jumlah makanan yang berbeda dari setiap periode. Secara umum kondisi lingkungan lahan pertanaman pada periode I adalah kondisi awal tanam (2 MST), dimana tanaman masih kecil sehingga jarak tanam masih renggang dan sinar matahari dapat langsung mengenai permukaan tanah. Selain itu, kondisi dedaunan dalam saluran dan lubang resapan belum sempurna melapuk sehingga sumber makanan untuk fauna tanah belum melimpah.

Pada periode II (7 MST), kondisi tanaman berada dalam fase generatif (bunting) dan sudah berbunga dan anakan padi sekitar 20 anakan, sehingga permukaan tanah tertutupi oleh rimbunnya anakan dan jarak antar tanam semakin tipis. Pada periode ini tanaman diproteksi dengan jaring untuk menghindari serangan burung. Kondisi sisa tanaman berupa dedaunan dalam saluran dan lubang resapan sudah terdekomposisi dengan baik. Menurut Brata (2008), sampah organik dalam lubang resapan dalam selang waktu 56-84 hari akan terdekomposisi menjadi kompos. Sedangkan pada periode III adalah pasca pemanenan namun yang dipanen hanya beberapa sampel yang dijadikan titik percontohan dan tidak semua tanaman dipangkas sehingga sisa-sisa tanaman dibiarkan jatuh dan melapuk.

Tabel 1. Kepadatan Populasi Fauna Tanah pada Lahan dengan Kemiringan 5% (0-15 cm) Perlakuan Periode I II III T0 690 b 1552 a 2155 b T1 733 b 2112 a 1078 b T2 733 b 2931 a 3621 a T3 905 b 2241 a 1983 b T4 2069 a 2414 a 2284 b

Pada periode I, kepadatan fauna tertinggi adalah perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) dan perlakuan teras gulud dengan SPB (T3). Tingginya populasi fauna tanah pada perlakuan ini kemungkinan disebabkan

(4)

karena pada perlakuan tersebut terdapat saluran dan lubang resapan biopori yang diisi oleh mulsa vertikal berupa sisa-sisa tanaman. Sisa tanaman inilah yang menjadi sumber makanan bagi biota tanah yang terdiri dari mikroba tanah dan fauna tanah. Sedangkan LRB yang sejalan dengan pertumbuhan akar tanaman membentuk biopori yang menjadi habitat yang cocok bagi peningkatan populasi dan aktivitas fauna tanah. Biopori menjadi habitat yang baik bagi perkembangan akar dan fauna tanah karena tersedianya cukup bahan organik, air, oksigen, dan unsur hara. Menurut Erniwati (2008), kecuali pada lapisan serasah, maka lapisan-lapisan tanah semakin ke bawah akan memiliki keragaman taksa dan kelimpahan individu semakin menurun. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa semakin ke dalam suatu lapisan tanah maka semakin berkurang daya dukung lingkungannya untuk kehidupan fauna tanah. Namun, LRB memperbaiki daya dukung lingkungan fauna tanah di lapisan bawah.

Keterkaitan ini menjadi sebuah ekosistem tanah yang mempengaruhi biodiversitas tanah. Fauna tanah akan berkembang biak dan beraktifitas membuat biopori, mengunyah dan memperkecil ukuran sampah organik, serta mencampurkannya dengan mikroba yang dapat mempercepat proses pelapukan sampah organik menjadi kompos dan senyawa humus yang dapat memperbaiki kondisi tanah. Peresapan air ke dalam tanah juga akan diperlancar dengan adanya biopori yang dibentuk oleh akar tanaman dan aktifitas fauna tanah. Lubang resapan biopori akan membantu mempermudah pemasukan bahan organik ke dalam tanah. Kumpulan sampah organik yang tidak terlalu besar dalam lubang silindris akan menjadi habitat yang baik bagi fauna tanah yang memerlukan perlindungan dari panas matahari dan kejaran pemangsa, sehingga pada perlakuan T3 dan T4 yang terdapat SPB dan LRB menunjukkan kepadatan populasi fauna tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain tanpa LRB.

Sedangkan pada periode II, jumlah kepadatan fauna tanah tertinggi adalah pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) dan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4). Pada periode III jumlah kepadatan fauna tertinggi sama dengan periode II, yaitu T2 dan T4. Perlakuan T2 terdapat

(5)

mulsa vertikal dalam LRB yang menjadi sumber makanan bagi fauna tanah memberikan asupan bahan organik yang cukup banyak dari dekomposisi sisa tanaman.

Pada Tabel.1 dapat dilihat bahwa perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) pada periode pertama dengan perlakuan lainnya terdapat perbedaan yang nyata. Sedangkan untuk perlakuan T1, T2 dan T3 tidak terlihat adanya perbedaan namun setiap perlakuan dengan LRB dan mulsa vertikal cenderung meningkatkan populasi fauna tanah yang ada dibandingkan dengan perlakuan kontrol (T0). Pada periode II semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata namun cenderung meningkatkan populasi fauna tanah dari perlakuan kontrol (T0). Pada periode III perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) menunjukkan perbedaan yang nyata dengan semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan populasi setiap perlakuan pada periode I belum begitu dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pada periode II dan periode III.

4.1.2 Lahan Dengan Kemiringan 15%

Pada lahan ini, populasi kepadatan fauna tertinggi terdapat pada perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) dengan jumlah 1422 individu/m2 dan kepadatan terendah pada perlakuan teras gulud dengan SK (T1) dengan jumlah 388 individu/m2 pada periode I. Urutan kepadatan populasi dari yang tertinggi hingga terendah adalah perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4), teras gulud dan SPB (T3), perlakuan kontrol (T0), teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2), teras gulud dengan SK (T1) pada periode I. Pada periode II, kepadatan populasi tertinggi pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) dengan jumlah 4483 individu/m2 dan kepadatan populasi terendah pada perlakuan saluran konvensional (T1) dengan jumlah 1595 individu/m2. Urutan kepadatan fauna tertinggi hingga terendah adalah perlakuan teras gulud dengan SPB (T3), SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4), teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2), perlakuan kontrol (T0), teras gulud dengan SK (T1).

(6)

Pada periode III, kepadatan populasi fauna tanah tertinggi adalah perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) dengan jumlah 3017 individu/m2 dan kepadatan populasi fauna tanah terendah adalah perlakuan kontrol (T0) dengan jumlah 1207 individu/m2, urutan kepadatan populasi pada periode III ini adalah perlakuan teras gulud dengan SPB (T3), teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2), SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4), teras gulud dengan SK (T1), perlakuan kontrol (T0).

Berdasarkan gambar di bawah ini, dapat dilihat bahwa dinamika populasi fauna tanah dari periode I meningkat sampai periode II lalu sedikit menurun pada periode III, hal ini disebabkan kondisi tanaman saat periode I masih kecil dan renggang jaraknya sehingga kondisi permukaan tanah langsung mendapat sinar matahari sehingga suhu permukaan tanah akan lebih tinggi, jika dibandingkan dengan kondisi tanaman saat periode II yang menutupi permukaan tanah membuat kondisi ini disukai oleh fauna tanah.

Gambar 3. Kepadatan populasi fauna tanah pada lahan padi gogo dengan kemiringan 15% dari periode I - III (kedalaman 0-15 cm)

Keterangan: T0 : Kontrol

T1: teras gulud dengan saluran konvensional (SK)

T2 : teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan lubang resapan biopori

T3: teras gulud dengan saluran peresapan biopori

T4: saluran peresapan biopori yang dikombinasikan dengan lubang resapan biopori

(7)

Semakin rindang permukaan tanah, maka sumber makanan semakin tinggi, menjaga fluktuasi suhu dan kelembaban tanah permukaan tanah yang lembab serta melindungi fauna tanah secara langsung dari sengatan sinar matahari sehingga mampu menciptakan habitat yang nyaman bagi tempat tinggal fauna tanah. Namun, pada periode III, kondisi tanaman setelah panen mengalami sedikit pemangkasan yang berdampak pada menurunnya kepadatan populasi fauna tanah.

Berdasarkan gambar di atas terlihat, bahwa populasi yang terus meningkat dari setiap periode adalah perlakuan T2 dan T4, pada lahan ini terdapat mulsa vertikal pada lubang resapan biopori, sehingga pada lahan ini terdapat bahan organik yang tinggi sebagai sumber makanan bagi fauna tanah yang ada di dalamnya. Mulsa dapat menghindari fluktuasi suhu dan kadar air permukaan tanah. Dengan mulsa bahan organik lebih dapat dipelihara, bahkan dalam jangka panjang dapat ditingkatkan dan penguapan air tanah dapat diperkecil sehingga kelembaban tanah terjaga (Sarief, 1985) sehingga dengan adanya mulsa maka tercipta lingkungan yang disukai oleh fauna tanah. Lubang resapan biopori yang diisi oleh sisa tanaman yang dapat melindungi permukaan lubang dari penyumbatan sedimen halus dan lumut. Selain itu akan membuat fauna tanah tertarik masuk ke dalam tanah untuk berlindung, memakan sampah organik dan membentuk biopori. Lubang biopori juga membuat pergerakan fauna tanah menjadi lebih mudah karena terbentuknya liang-liang yang menjadi jalur transportasi bagi fauna tanah sehingga meningkatkan biodiversitas hayati pada lapisan bawah permukaan tanah.

Tabel 2. Kepadatan Populasi Fauna Tanah pada Lahan dengan kemiringan 15% (0-15 cm) Perlakuan Periode I II III T0 560 a 2069 b 1207 a T1 388 a 1595 b 1810 a T2 517 a 2414 b 2414 a T3 776 a 4483 a 3017 a T4 1422 a 2931 b 1810 a

(8)

Pada Tabel. 2 dapat dilihat bahwa semua perlakuan pada periode I tidak menunjukkan perbedaan yang nyata namun cenderung meningkatkan populasi fauna tanah dibandingkan dengan kontrol (T0). Pada periode II, perlakuan T3 menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan yang lainnya dan pada periode III semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata namun cenderung meningkatkan jumlah populasi fauna tanah jika dibandingkan dengan kontrol (T0) pada lahan pertanaman padi gogo ini.

Menurut Brata (2008), lubang resapan biopori dikembangkan atas dasar prinsip ekohidrologis, yaitu dengan memperbaiki kondisi ekosistem tanah untuk perbaikan fungsi hidrologis ekosistem tersebut. Pemanfaatan sampah organik ke dalam lubang kecil dan dalam ternyata dapat menciptakan habitat yang baik bagi beraneka ragam organisme tanah. Organisme tanah dapat mempercepat pelapukan bahan organik serta meningkatkan pembentukan biopori yang dapat memperlancar peresapan air dan pertukaran O2 dan CO2.

Kelebihan biopori dibandingkan dengan pori makro diantara agregat tanah antara lain (1) lebih mantap karena dilapisi oleh senyawa organik yang dikeluarkan oleh tubuh cacing (Brata, 1990), (2) berbentuk lubang silindris yang bersinambung dan tidak mudah mudah tertutup oleh pengembangan yang bersifat vertik, (3) dapat menyediakan liang yang mudah ditembus akar tanaman (Wang, Hesketh, dan Wooley, 1986 dalam Brata, 2008) dan (4) menyediakan saluran bagi peresapan air (Infiltrasi yang lancar ke dalam tanah (Smettem, 1992; Brata, 2004

dalam Brata, 2008). Aneka bahan mineral dan organik yang dimakan oleh cacing,

kemudian dikeluarkan menjadi casting yang mempunyai bobot isi lebih rendah(1,15 g/cm3) dibandingkan dengan tanah sekitarnya (1,5-1,6 g/cm3).

Secara umum jumlah kepadatan populasi fauna tanah pada lahan kemiringan 5% lebih banyak dibandingkan lahan dengan kemiringan 15%. Hal ini disebabkan oleh beda kemiringan yang cukup mempengaruhi besarnya pengangkutan bahan organik oleh aliran permukaan. Semakin curam kemiringan lereng, maka semakin besar pengangkutan yang terjadi sehingga bahan organik dan unsur hara yang hanyut oleh aliran permukaan semakin banyak dan membuat habitat yang kurang disukai fauna tanah karena sumber makanannya terbatas.

(9)

Gambar 4. Kepadatan populasi fauna tanah pada lahan dengan kemiringan 5% dan 15% dari periode I - III (kedalaman 0-15 cm)

Secara umum berdasarkan hasil pengukuran, aliran permukaan dan erosi pada lahan dengan kemiringan 15% lebih besar dibandingkan lahan dengan kemiringan 5% (Tabel Lampiran 7). Perlakuan yang diterapkan berdasarkan metode konservasi tanah dan air untuk lahan miring seperti pembuatan saluran dalam petakan untuk mengurangi erosi oleh aliran permukaan saat terjadi hujan.

Namun, ada pula perlakuan yang jumlah populasi fauna tanahnya lebih besar pada lahan dengan kemiringan 15% di bandingkan lahan 5%. Hal ini diduga karena adanya pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan pada lahan dengan kemiringan 15% lebih rimbun dan teduh jika dibandingkan dengan lahan 5% sehingga pada beberapa perlakuan terdapat jumlah populasi fauna tanah yang lebih tinggi pada lahan dengan kemiringan 15% meskipun aliran permukaannya lebih besar.

4.2 Keragaman Fauna Tanah

4.2.1 Lahan Dengan Kemiringan 5%

Keragaman fauna tanah dalam penelitian ini dihitung berdasarkan metode

(10)

ditinjau berdasarkan taksa (kelompok) dalam suatu habitat. Nilai keragaman ini tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah populasi fauna tanah.

Tabel 3. Nilai indeks keragaman fauna tanah pada lereng 5%

Perlakuan Periode I II III T0 1,32 1,77 1,56 T1 1,45 1,77 1,46 T2 1,49 1,29 1,44 T3 1,52 1,29 2,06 T4 1,51 1,47 1,84

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut (Tabel 3), pada lahan dengan kemiringan 5%, keragaman fauna tanah tertinggi pada periode I adalah perlakuan teras gulud dan SPB (T3) dengan nilai 1,52 dan keragaman terendah pada perlakuan kontrol (T0) dengan nilai 1,32. Pada periode II, keragaman fauna tertinggi adalah perlakuan saluran konvensional (T1) dengan nilai 1,77 dan nilai terkecil pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2). Pada periode III, nilai keragaman fauna tanah tertinggi pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) dan terendah pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2).

Berdasarkan kategori nilai Shannon Diversity Index yang terdapat pada Magurran (1987) maka keragaman tertinggi pada setiap periode tergolong sedang namun jika dilihat dari seluruh periode maka indeks keragaman tergolong rendah.. Keragaman ini yang menggambarkan banyaknya taksa (kelompok) dalam suatu habitat. Kategori rendah pada lahan ini disebabkan karena lahan yang digunakan sebagai areal pertanaman padi gogo bukanlah lahan alami yang baru dibuka melainkan lahan yang sering kali ditanami sehingga jumlah fauna tanah tidak melimpah ruah seperti pada habitat alami seperti hutan.

(11)

(a) (b)

(c)

Gambar 5. Kondisi tanaman saat pengambilan sampel (a. Kondisi tanaman periode I; b. Kondisi tanaman periode II; c. Kondisi tanaman periode III)

Kelompok fauna tanah dengan jumlah individu dominan (NI) dan sangat dominan (N2) dihitung dengan menggunakn rumus Hill’s Diversity Number (Ludwig dan Reynoldz, 1988). Cara menentukan jenis fauna tanah yang dominan (NI) adalah melihat hasil perhitungan berdasarkan rumus lalu melihat kelompok fauna tanah yang memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan fauna tanah yang ditemukan dalam perlakuan. Misal dalam perlakuan T0 nilai NI adalah 3,74 (Tabel Lampiran. 1) sehingga dapat diketahui ada 3 jenis fauna tanah yang jumlahnya lebih banyak dari fauna tanah yang di temukan dalam perlakuan T0. Sedangkan penentuan fauna tanah yang paling dominan (N2) adalah dengan melihat satu jenis fauna tanah dalam perlakuan T0 dengan jumlah terbanyak.

(12)

Tabel 4. Dominansi Fauna Tanah pada Lahan dengan kemiringan 5%

Perlakuan

Populasi Fauna Tanah Dominan

Paling Dominan

Periode I

T0 Centipede, Orthoptera, Symphila Centipede

T1 Acari, Coleoptera, Centipede, Orthoptera Centipede

T2 Acari, Collembola, Orthoptera, Homoptera Orthoptera

T3 Acari, Coleoptera, Centipede, Orthoptera Coleoptera

T4 Acari, Coleoptera, Centipede, Orthoptera Centipede

Periode II

T0 Acari, Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Isopoda Hymenoptera T1 Acari, Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Centipede Coleoptera

T2 Acari, Collembola, Coleoptera Coleoptera

T3 Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Isopoda Hymenoptera

T4 Acari, Coleoptera,Isopoda Isopoda

Periode III

T0 Acari, Collembola, Coleoptera, Centipede Collembola

T1 Acari, Collembola, Hymenoptera, Centipede Centipede

T2 Acari, Collembola, Hymenoptera, Isopoda Isoptera

T3 Acari, Collembola, Coleoptera, Centipede, Orthoptera, Isopoda,

Symphila Centipede

T4 Acari, Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Centipede, Isopoda Collembola

Kondisi lingkungan saat pengambilan sampel juga mempengaruhi keragaman fauna tanah. Keragaman fauna tanah pada kondisi awal pertanaman (Gambar 4. a) akan lebih sedikit karena sinar matahari dapat langsung mengenai permukaan tanah dan membuat suhu permukaan lebih tinggi. Berbeda pada kondisi pengambilan sampel ke-2 dan ke-3, dimana suhu permukaan lebih lembab dan bahan organik tersedia lebih banyak dibandingkan periode pengambilan sampel ke-1.

Keberadaan fauna tanah pada lahan yang tidak terganggu akan menjaga proses siklus hara berlangsung secara terus menerus. Lingkungan terganggu atau terdegradasi pada umumnya memiliki fauna tanah yang mengalami penurunan komposisi maupun populasi yang disebabkan oleh penurunan atau hilangnya sejumlah spesies tumbuhan, penurunan kekayaan deposit serasah, perubahan sifat biologis, fisik dan kimia tanah, penurunan populasi fauna lain dan

(13)

mikroorganisme tanah, dan perubahan iklim mikro ke arah yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan makhluk hidup di dalamnya (Nuril dkk, 1999).

Pada lahan ini, kelompok dengan jumlah individu dominan dalam sampel (NI) pada periode I di perlakuan T0 ditemukan 3 taksa (Tabel. 4) dengan kelompok yang paling dominan dalam sampel adalah Centipede. Pada perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (T1) ditemukan 3 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Centipede. Pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Orthoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Coleoptera. Pada perlakuan saluran peresapan biopori yang dikombinasikan dengan LRB (T4) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Centipede. Secara umum, pada periode I ini, kelompok yang dominan dalam setiap perlakuan adalah

Centipede.

Centipede merupakan predator, dalam periode I ini terlihat dari data

dominansi fauna tanah (Tabel. 4) bahwa Acari dan Collembola termasuk fauna tanah yang dominan, kedua hewan ini merupakan mangsa Centipede sehingga populasi Centipede meningkat karena tersedianya makanan yang berlimpah. Selain itu, Centipede adalah fauna tanah yang menyukai kondisi tanah lembab dan kondisi tanah di kebun penelitian ini sesuai dengan karakteristik lingkungan hidup

Centipede. Jadi, kondisi lingkungan yang mendukung dan tersedianya makanan

yang berlimpah membuat populasi Centipede pada periode ini menjadi fauna tanah paling dominan.

Pada periode II, dimana kondisi padi gogo sudah terisi bulirnya dan anakan padi sudah banyak sehingga kondisi tanaman rimbun dan menutupi permukaan tanah (gambar 3. b). Fauna yang ditemukan dari segi jumlah kepadatan fauna lebih banyak dari periode I. Pada perlakuan T0 ditemukan 5 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (SK) ditemukan 5 taksa dan taksa yang paling dominan adalah

Coleoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB

(14)

perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Pada perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) ditemukan 3 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Isopoda. Secara umum, pada periode II ini fauna yang dominan adalah Coleoptera.

Coleoptera merupakan sebagian dari insecta yang tinggal di dalam atau di

atas tanah dalam bentuk larva dan dewasa (Kevan, 1962; Raw, 1967 dalam Adianto 1993). Dalam penelitian ini yang banyak ditemukan adalah larva

Coleoptera. Kebanyakan merupakan predator pada hewan kecil tetapi juga dapat

memakan bahan tumbuhan, jamur, algae, kayu, kotoran, bangkai dan sebagainya. Jumlah kumbang sangat besar dan habitatnya sangat bervariasi. Pada saat pengambilan sampel di periode II, curah hujan tinggi yaitu 441 mm sehingga mampu membuat kondisi lingkungan yang nyaman bagi keberlangsungan hidup fauna tanah. Wallwork (1970) menyatakan bahwa kepadatan populasi Collembola meningkat pada curah hujan tinggi dan berkurang pada curah hujan rendah. Pada periode ini, Collembola juga termasuk salah satu taksa yang dominan ditemukan dalam perlakuan, namun menjadi taksa yang tidak paling dominan diduga karena dimangsa oleh Coleoptera.

Pada periode III, kondisi tanaman sudah panen, beberapa tanaman dipangkas namun sisanya dibiarkan hingga melapuk (Gambar 3.c). Keragaman fauna tanah di periode ini lebih tinggi daripada periode sebelumnya, karena pada periode setelah panen ini terdapat banyak sisa tanaman yang merupakan sumber bahan organik bagi fauna tanah sehingga keragaman fauna tanah meningkat. Pada perlakuan kontrol (T0) taksa yang ditemukan ada 4 dan taksa yang paling dominan adalah Collembola. Pada perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (SK) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah

Centipede. Pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB

(T2) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Isoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) ditemukan 7 taksa. Sedangkan kelompok yang paling dominan adalah Centipede. Pada perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) ditemukan 5 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Collembola.

(15)

Secara umum, pada periode III ini, kelompok yang dominan dari setiap perlakuan adalah Acari dan Collembola. Hal ini sejalan dengan kondisi tanaman diperiode III yang dibiarkan melapuk. Banyaknya jumlah Acari dan Collembola dikarenakan jumlah makanannya berlimpah. Collembola berperan di dalam siklus makanan sebagai perombak bahan organik atau detritivor. Kebanyakan kelompok hewan ini merupakan penghuni tanah, tetapi sebagian besar menghabiskan hidupnya di atas permukaan tanah. Makanannya cukup bervariasi misalnya materi tumbuhan yang telah hancur, jamur, sisa-sisa hewan, feses dari hewan lain dan humus.

Peranan Collembola menurut Gobat et al. (2004) adalah mengahancurkan bahan organik ke dalam ukuran yang lebih kecil kemudian mencampurnya.

Collembola juga berpengaruh pada dinamika populasi fungi karena kebiasaannya

memakan hifa fungi dan spora fungi. Jumlah Acari dan Collembola yang berlimpah juga didukung oleh kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi yang bersifat masam, begitupun dengan pH pada lahan ini berkisar 5,9 – 6,3. Hal ini sejalan dengan dengan pernyataan Wallwork (1970), bahwa Acari dan

Collembola merupakan mesofauna tanah yang populasinya menonjol pada lahan

dengan pH tanah yang masam.

Dilihat secara umum dari seluruh periode di lahan dengan kemiringan 5%, kelompok fauna tanah yang paling dominan adalah Centipede. Jenis fauna ini sering sekali muncul hampir pada setiap perlakuan dan setiap periode. Hal ini dikarenakan sumber makanannya yang berupa hewan kecil seperti Acari dan

Collembola tersedia dengan jumlah yang berlimpah (Tabel. 4). Sejalan dengan

pernyataan Coleman (2004) bahwa semua jenis Centipede adalah predator. Mereka merupakan pelari yang cepat dan aktif dalam memangsa hewan yang kecil seperti Collembola. Centipede adalah hewan yang akan kehilangan air melalui kulit luarnya jika kelembaban relatif rendah sehingga Centipede akan bertahan hidup jika kondisi tanah lembab. Dua kondisi ini sangat mendukung bagi kehidupan Centipede sehingga menjadikan Centipede menjadi fauna tanah paling dominan dalam petakan penelitian dengan lahan kemiringan 5%.

(16)

Berdasarkan hasil analisis unsur hara pada sedimen yang tertinggal, kandungan unsur tertinggi dalam perlakuan T3 dan T4 terutama kandungan C-Organik (Tabel Lampiran 8). Hal ini membuktikan bahwa laju dekomposisi T3 dan T4 lebih cepat sehingga transfer bahan organik ke dalam tanah lebih baik dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Bahan organik inilah yang menjadi alasan fauna tanah datang menempati habitat ini kemudian berkoloni dan membentuk populasi. Fauna tanah hidupnya sangat bergantung pada tersedianya bahan organik berupa serasah atau lainnya yang terdapat di permukaan tanah (Suhardjono, 1998).

Setiap perlakuan konsep pertanian konservasi ini diharapkan juga dapat menurunkan bobot isi tanah. Dan hal itu dibuktikan dengan nilai bobot isi yang meningkat dari awalnya (Tabel Lampiran 9). Kondisi tanah yang remah ini bisa disebabkan oleh kandungan bahan organik yang tinggi dan juga aktifitas fauna tanah yang meningkat. Kondisi yang remah disukai fauna tanah karena membuatnya mudah bergerak. Dan perlakuan SPB dan LRB (T4) yang menunjukkan peningkatan bobot isi yang paling baik dari semua perlakuan yang lain.

4.2.2 Lahan Dengan Kemiringan 15%

Keragaman fauna tanah juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Pada areal pertanaman padi gogo dengan kemiringan lahan 15% jelas lebih curam dibandingkan dengan lahan kemiringan 5%, secara umum kondisinya pun berbeda. Pada lahan kemiringan 15%, kondisi lingkungan sekitar lebih rindang karena ternaungi oleh beberapa pohon besar dan tanaman pagar yang mengelilingi petakan.

(17)

Tabel 5. Nilai indeks keragaman fauna tanah pada lereng 15% Perlakuan Periode I II III T0 1,52 1,94 1,51 T1 1,46 1,89 1,99 T2 1,71 2,14 1,86 T3 1,8 1,46 2,03 T4 1,72 1,88 1,90

Berdasarkan hasil perhitungan keragaman (Tabel 5), pada lahan dengan kemiringan 15%, keragaman fauna tanah tertinggi pada periode I adalah perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) dengan nilai 1,8 dan keragaman terendah pada perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (SK) dengan nilai 1,46. Pada periode II, keragaman fauna tertinggi adalah perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) dengan nilai 2,14 dan nilai terkecil pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) dengan nilai 1,46. Pada periode III, nilai keragaman fauna tanah tertinggi pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) dengan nilai 2.03 dan terendah pada perlakuan kontrol (T0) dengan nilai 1,51.

Berdasarkan kategori nilai Shannon Diversity Index yang terdapat pada Magurran (1987) maka keragaman tertinggi pada setiap periode tergolong sedang. Nilai indeks keragaman tidak menentukan besarnya jumlah populasi. Bisa saja terjadi nilai keragamannya kecil tapi jumlah populasinya padat, hal ini dikarenakan adanya dominasi fauna tanah tertentu dalam suatu perlakuan lahan. Nilai indeks keragaman akan maksimal ketika semua individu yang ada dalam habitat terwakili secara merata namun hal ini biasanya akan terjadi jika sumber makanan sangat berlimpah dan lingkungan yang sangat mendukung bagi fauna tanah. Selain itu, ada beberapa fauna tanah yang sumber makanan dan tempat hidupnya sangat spesifik.

(18)

Tabel 6. Dominansi Fauna Tanah pada Lahan dengan Kemiringan 15%

Perlakuan

Populasi Fauna Tanah Dominan

Paling Dominan

Periode I

T0 Hymenoptera, Acari, Coleoptera, Diptera Hymenoptera

T1 Acari, Hymenoptera, Coleoptera, Isopoda, Oligochaeta Hymenoptera T2 Acari, Collembola, Coleoptera, Centipede, Oligochaeta Collembola T3 Acari, Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Orthoptera, Oligochaeta Coleoptera T4 Acari, Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Centipede Hymenoptera

Periode II

T0 Acari, Collembola, Hymenoptera, Centipede, Isoptera, Oligochaeta Isoptera T1 Acari, Collembola, Hymenoptera, Diptera, Centipede, Oligochaeta Hymenoptera T2 Acari, Collembola, Hymenoptera, Centipede, Isopoda, Lepidoptera,

Oligochaeta Hymenoptera

T3 Acari, Hymenoptera, Coleoptera, Centipede Hymenoptera

T4 Acari, Collembola, Hymenoptera, Coleoptera,Pseudoscorpione, Oligochaeta Hymenoptera

Periode III

T0 Acari, Collembola, Coleoptera, Centipede Collembola

T1 Acari, Collembola, Hymenoptera, Centipede, Coleoptera Acari

T2 Acari, Collembola, Hymenoptera, Centipede Acari

T3 Acari, Collembola, Hymenoptera, Coleoptera, Centipede, Diplura, Zoraptera Hymenoptera T4 Acari, Collembola, Coleoptera, Centipede, Isoptera, Oligochaeta Collembola

Pada lahan dengan kemiringan 15 % ini, pada periode I di perlakuan kontrol (T0) ditemukan 4 taksa dengan taksa yang paling dominan dalam sampel adalah

Hymenoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (T1)

ditemukan 4 taksa dengan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2) ditemukan 5 taksa dengan taksa yang paling dominan adalah Collembola. Pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) ditemukan 6 taksa dengan taksa yang paling dominan adalah Coleoptera. Pada perlakuan saluran peresapan biopori yang dikombinasikan dengan LRB (T4) ditemukan 5 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera.

Secara umum, pada periode I ini, kelompok yang dominan dalam setiap perlakuan adalah Hymenoptera. Makrofauna yang paling berlimpah adalah semut (Hymenoptera) karena secara jumlah hewan ini mendominasi populasi di

(19)

ekosistem darat dibandingkan hewan lain. Semut merupakan fauna yang hidupnya berkoloni dan membuat sarang di dalam tanah, dan dengan adanya LRB maka semakin banyak sarang yang dibuat karena dekat dengan sumber makanan yang berasal dari dekomposisi sisa tanaman yang menjadi bahan pengisi LRB.

Hymenoptera memiliki peranan sebagai ecosystem engineer bersama cacing

tanah dan rayap. Semut umumnya phytophagus dan dalam habitatnya akan menjadi predator bagi hewan yang lebih kecil. Tingginya kepadatan semut, akan mengurangi kepadatan predator lainnya seperti Coleoptera dan Aranae. Semut menyukai tempat yang lembab sampai panas (Wallwork, 1970) sehingga di wilayah gurun pun fauna ini masih dapat dijumpai dalam jumlah yang melimpah. Aktifitas makan setiap jenis semut berbeda-beda. Beberapa menjadi predator hewan lain, menjadi herbivor dengan menkonsumsi daun tanaman, jaringan kayu atau biji-bijian dan pemakan hifa atau fungi.

Pada periode II, dimana kondisi padi gogo sudah terisi bulirnya dan anakan padi sudah banyak sehingga kondisi tanaman rimbun dan menutupi permukaan tanah. Jumlah fauna yang ditemukan pada periode II lebih banyak dibanding periode I. Pada perlakuan kontrol (T0) ditemukan 6 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Isoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (T1) ditemukan 6 taksa dan taksa yang paling dominan adalah

Hymenoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan

LRB (T2) ditemukan 7 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Pada perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) ditemukan 6 taksa dan taksa yang paling dominan adalah

Hymenoptera. Secara umum, pada periode II ini, kelompok yang dominan dari

(20)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 6. Fauna tanah yang sering ditemukan (a. Collembola, b. Acari, c. Centipede d. Hymenoptera)

Pada periode III, kondisi tanaman sudah panen, beberapa tanaman dipangkas namun sisanya dibiarkan hingga melapuk. Keragaman fauna tanah di periode ini lebih tinggi daripada periode sebelumnya, karena pada periode setelah panen ini lebih banyak ditemukan sisa sisa tanaman yang digunakan oleh fauna tanah sebagai sumber makanannya sehingga jumlah dan keragaman fauna tanah meningkat. Pada perlakuan kontrol (T0) ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Collembola. Pada perlakuan teras gulud dengan saluran konvensional (SK) ditemukan 5 taksa dan taksa yang paling dominan adalah

Acari. Pada perlakuan teras gulud dengan SK dikombinasikan dengan LRB (T2)

ditemukan 4 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Acari. Pada perlakuan teras gulud dengan SPB (T3) ditemukan 7 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Hymenoptera. Pada perlakuan SPB yang dikombinasikan dengan LRB (T4) ditemukan 6 taksa dan taksa yang paling dominan adalah Collembola. Secara umum, pada periode III ini kelompok yang dominan dari setiap perlakuan adalah

(21)

Pada periode III, fauna tanah yang sering muncul adalah Acari dan

Collembola. Keduanya adalah kelompok mikroarthtropoda yang memiliki

distribusi yang luas di seluruh tanah dunia. Jenis Collembola yang sering muncul adalah Entomobrydae dan Isotomidae. Collembola digolongkan sebagai hewan saprophagus. Bahan organik yang biasa dicerna adalah hifa, spora fungi, sisa tanaman dan dan ganggang uniseluler (Wallwork, 1976). Peranan Collembola dalam tanah yaitu menghancurkan bahan organik menjadi ukuran yang lebih kecil kemudian fauna lain yang berukuran makro seperti cacing akan mencampurnya dari horison atas ke yang lebih bawah. Sedangkan Acari biasanya lebih berlimpah dibandingkan Collembola. Ukuran tubuh Acari akan mengecil seiring dengan kedalaman tanah tempat tinggalnya. Pada lahan ini, jenis Acari yang sering dijumpai adalah Prostigmatid dan Oribatida. Oribatida adalah fauna saprophagus, sedangkan Prostigmata merupakan jenis predator. Peranan Acari tidak jauh berbeda dengan Collembola, yaitu sebagai penghancur bahan organik dan dekomposer.

Menurut Sugiyarto et al. (2007), keragaman fauna tanah dipengaruhi oleh variasi makanan yang tersedia di lingkungan. Lingkungan dengan vegetasi penutup lahan yang lambat melapuk umumnya memiliki kepadatan populasi makrofauna yang besar. Lavelle (1997) menyatakan keanekaragaman dan kepadatan populasi fauna tanah dipengaruhi oleh organisme tanah lainnya. Hal ini disebabkan semua organisme di dalam tanah saling berinteraksi, baik interaksi mutualisme ataupun saling memangsa membentuk food webs.

Gambar

Gambar 2. Kepadatan populasi fauna tanah pada lahan padi gogo dengan  kemiringan 5% dari periode I - III (kedalaman 0-15 cm)
Tabel 1. Kepadatan Populasi Fauna Tanah pada Lahan dengan  Kemiringan 5%
Gambar 3. Kepadatan populasi fauna tanah pada lahan padi gogo dengan   kemiringan 15% dari periode I - III (kedalaman 0-15 cm)
Gambar 4. Kepadatan populasi fauna tanah pada lahan dengan  kemiringan 5%
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pada Linux Ubuntu selama 10 hari pengujian, nilai troughput selalu dibawah 25%, maka menurut standar Tiphon mendapat predikat hasil buruk, sedangkan pada delay

Efektivitas formula tersebut sebagai agens biokontrol sangat dipengaruhi oleh kestabilan populasi sel bakteri dalam bahan pembawa dan penempelan bakteri di filosfer daun

Kanula khusus yang mengalirkan darah arteri langsung ke vena yang berdekatan. Kanula arteri dan vena dihubungan dengan konektor sehingga pada saat dialisa konektor dibuka lalu

Cara Memasang Komponen Kopling Pada Motor Supra 125 kopling manual honda supra fit new.. Sebelum pada pokok pembicaraan yakni artian dan cara kerja kopling, saya akan

83 PKM-GT Reza Taofik 8155057488 Universitas Negeri Jakarta The Worst Movie Festival : Sebuah Kritik Dalam Membangun Kualitas Perfilman Indonesia Siti Rizqiyah Yasnita

Persalinan postpartum adalah persalinan yang terjadi setelah usia kehamilan yang melewati 294 hari atau lebih dari 42 minggu lengkap.. Defenisi kehamilan postrem sebagai kehamilan

Karena bagi masyarakat Jepang boneka tradisional tidak hanya sekedar sesuatu untuk dimainkan oleh anak-anak tetapi juga merupakan hasil seni yang memiliki banyak fungsi

Sedangkan yang dibutuhkan dalam penentuan nilai ambang batas (threshold) pada produk SWWI adalah nilai minimum yang mendekati nilai saat kejadian cuaca