1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Forensik adalah cabang ilmu kedokteran yang memberikan bantuan kepada penyidik untuk mendapatkan salah satu alat bukti baik untuk perkara pidana maupun perkara perdata (Hall, 1990). Alat bukti tersebut dapat berupa pemeriksaan terhadap korban maupun benda yang hasilnya berupa sebuah visum et repertum, atau yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebut sebagai Keterangan Ahli. Ilmu kedokteran forensik sudah berkembang sejak zaman Romawi, orang bijak atau raja sering menerima berbagai pengaduan masyakarat akan berbagai masalah, termasuk masalah kriminalitas yang memerlukan penetapan siapa yang salah dan siapa yang benar.
Seiring dengan meningkatnya kasus kriminalitas dengan motif dan modus yang beragam, diperlukan ilmu yang dapat mengakomodasi kepentingan penegakan hukum. Ilmu kedokteran forensik atau disebut juga ilmu kedokteran kehakiman menjadi semakin penting untuk pembuktian dalam proses peradilan. Untuk memperoleh keadilan, pembuktian siapa yang benar dan siapa yang salah dalam kasus kriminalistas, pembuktian dilakukan secara ilmiah. Dalam mengungkap kejahatan yang berkenaan dengan tubuh manusia, diperlukan peran Kedokteran Forensik. Pembunuhan dengan kualitas tinggi seperti penggunaan racun, terror dengan bahan biologis, kimia nuklir, pembunuhan dengan perencanaan, sangat diperlukan keahlian dan pengetahuan Kedokteran Forensik.
Kedokteran forensik bersama dengan kepolisian bermintra dalam mengungkapkan kasus perkara pidana yang menyangkut tubuh manusia. Penegakan keadilan yang berlandaskan profesionalisme, ilmiah, dan
2 kebenaran dirasa perlu oleh masyakarat, baik korban, pelaku, dan pihak-pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana. Studi dalam kedokteran forensik memberikan fakta yang kuat dalam menganalisis suatu tindak pidana dan sekaligus memberikan bukti yang nyata akan adanya suatu tindak pidana yang berhubungan dengan tubuh manusia melalui visum et repertum.
Entomologi forensik adalah salah satu bagian dari ilmu forensik yang mengaplikasikan ilmu serangga untuk kepentingan pengungkapan hal-hal kriminal, terutama yang berkaitan dengan kasus kematian. Menurut Gaensslen (2009), entomologi forensik merupakan salah satu cabang dari sains forensik yang memberikan informasi mengenai serangga yang digunakan untuk menarik kesimpulan ketika melakukan investigasi yang berhubungan dengan kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan manusia atau binatang. Kegiatan pakar entomologi forensik mengevaluasi aktivitas serangga dengan berbagai pendekatan dan teknik untuk membantu memperkirakan saat kematian dan menentukan apakah jaringan tubuh atau mayat telah dipindahkan dari suatu lokasi ke lokasi lain (Anderson, 2001). Selain itu pakar entomologi forensik juga diperlukan dalam mengungkap kasus overdosis, apabila mayat sudah terdekomposisi dan tidak dapat lagi diambil jaringan atau darahnya. Peranan serangga menjadi sangat penting,
terutama dalam kasus toksikologi. Dengan memeriksa dan
mengidentifikasi DNA pada tubuh serangga dalam entomologi forensik, maka kemungkinan untuk mendeteksi suatu senyawa akan semakin besar.
Peranan serangga yang berfungsi sebagai pengurai sisa-sisa organisme yang sudah mati atau dikenal sebagai necrophagus menjadi organisme kunci dalam entomologi forensik. Salah satu contoh serangga necrophagus adalah lalat bangkai atau disebut juga blowfly. Lalat ini mengambil materi organik yang ada di dalam tubuh mayat, maka lalat tersebut akan meletakkan telur yang akan berkembang menjadi larva dan pupa (Sukontason et al., 2007). Lalat merupakan salah satu serangga yang
3 tertarik pada bau busuk mayat dengan menggunakan mayat yang membusuk sebagai media perkembangbiakan. Lalat akan meletakkan telurnya pada lokasi-lokasi yang lembab dan terlindung, seperti lubang mulut, hidung, anus, dan luka terbuka. Tempat-tempat seperti inilah yang menjadi sasaran utama tempat bertelurnya lalat. Lalat adalah salah satu indikator yang sangat berguna dalam bidang forensik antara lain untuk menentukan lokasi kematian dan membantu memperkirakan lama waktu kematian. Siklus hidup lalat, dari telur hingga menjadi imago (dewasa) dapat digunakan untuk membantu memperkirakan lama waktu kematian. Adanya berbagai perubahan dari berbagai jenis lalat dan serangga lain akan menimbulkan suatu komunitas pada mayat yang secara ekologis akan terjadi proses kompetisi, predasi, seleksi, dan penyebaran dalam tubuh mayat.
Entomologi forensik yang salah satu kegunaannya dalam ilmu kedokteran forensik adalah dalam mengungkap penyebab kematian berkenaan dengan kasus overdosis (Amendt et al., 2004). Pada seseorang yang meninggal akibat kasus overdosis, dapat diketahui berapa dosis obat yang digunakan melalui menganalisa kandungan obat yang terkandung dalam serangga yang memakan jaringan dan tubuh mayat tersebut. Cabang ilmu yang mengkaji hal tersebut adalah toksikologi forensik, terutama dalam forensik entomotoksikologi. Toksikologi forensik adalah ilmu yang mempelajar aspek medikolegal dari bahan kimia yang mempunyai efek membahayakan manusia atau hewan sehingga dapat digunakan untuk membantu mencari atau menjelaskan penyebab kematian pada penyelidikan tindak pidana, seperti kasus pembunuhan baik terencana maupun tak terencana. Toksikologi forensik mencakup terapan ilmu alam dalam analisa racun sebagai bukti dalam tindak kriminal, mendeteksi dan mengidentifikasi konsentrasi dari racun dan metabolit dalam tubuh manusia atau hewan, dan menginterpretasikan temuan analisa kedalam
4 suatu argumentasi penyebab keracunan atau bahkan kematian (Gunn et al., 2006).
Banyak kasus keracunan dan overdosis, baik yang menyebabkan kematian maupun tidak yang sulit terungkap, yang umumnya disebabkan karena seringkali data yang diperlukan tidak cukup untuk dapat membuktikan penyebabnya. Salah satu contoh kasus overdosis yang tinggi di Indonesia adalah overdosis yang disebabkan oleh penggunan Heroin. Setiap harinya terdapat 2 – 3 orang yang meninggal akibat overdosis Heroin (Soebijito, 2011). Selain itu, Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya akan hasil pertaniannya. Untuk memaksimalkan hasil pertanian dari serangan hama, seringkali petani menggunakan pestisida baik yang bersifat alami (dengan memanfaatkan musuh alami atau natural enemy) atau dengan menggunakan pestisida kimiawi. Pestisida merupakan zat, senyawa kimia, organisme, virus, dan zat lain-lain yang digunakan untuk melakukan perlindungan tanaman atau sebagain dari organ tanaman saja. Selain untuk melindungan tanaman dari serangan hama, petani juga kerap menggunakan pestisida untuk membasmi gulma yang berkembang disekitar tanaman yang dibudidayakan. Seringkali penggunaan pestisida diaplikasikan tidak sesuai dengan anjuran yang disarankan. Penggunaan pestisida yang tidak tepat dapat memberikan akibat samping keracunan. WHO (World Health Organization) memperkirakan setiap tahun tejadi sekitar 25 juta kasus keracunan pestisida atau sekitar 68,493 kasus setiap harinya (Raini, 2007). Terdapat beberapa jenis pestisida yang dijual di pasaran. Beberapa jenis dari pestisida, yaitu akarisida, algasida, alvisida, bakterisida, dan lain-lain. Namun seringkali, kurangnya pemahaman mengenai hal-hal apa saja yang diperlukan untuk membuat suatu hasil dan kesimpulan mengenai kasus keracunan menjadikan strategi dan metode pengambilan data-data di lapangan yang menjadi kurang tepat. Dengan adanya cabang ilmu toksikologi forensik, dapat membantu mengungkap kasus-kasus keracunan dan overdosis. Dengan memahami terlebih dahulu
5 biologi zat penyebab keracunan dan overdosis, sumber toksikan, metode pengambilan sampel, metode analisa, dan interpretasi data, maka akan didapatkan hasil dan kesimpulan yang lebih tepat.
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti berapa akumulasi pestisida, malathion yang terdapat pada larva, pupa, dan imago dari blowfly, khususnya pada tiga konsentrasi Malathion yang berbeda, yaitu LD 50, ½ LD 50, dan 1/3 LD 50. Akumulasi Malathion dicurigai lebih banyak terdapat pada imago, sehingga efek yang ditimbulkan oleh Malathion ini akan lebih besar pada imago dibandingkan pada larva dan pupa. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari akumulasi Malathion pada larva, pupa, dan imago fleshfly yang diberi pakan hati tikus putih jantan (Rattus norvegicus, Bekenhout, 1769). Mempelajari pada siklus hidup manakah terdapat akumulasi Malathion terbanyak. Mempelajari pengaruh Malathion pada siklus hidup dan morfologinya fleshfly.
B. Permasalahan
Pada banyak kasus, ditemukan mayat yang mati karena mengkonsumsi malathion, namun tidak diketahui pada dosis berapa yang menyebabkan kematian tersebut, dikarenakan tubuh mayat yang telah mengalami dekomposisi sehingga tidak ada jaringan yang tersisa untuk dianalisa. Analisis yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan sampel berupa serangga yang terdapat disekitar mayat sebagai sarana untuk mengetahui dosis berapakah yang menyebabkan seseorang tersebut meninggal atau dosis berapakah yang dikonsumsi seseorang untuk mengakhiri hidupnya. Sehingga muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut: apakah dapat diketahui dosis malathion pada larva, pupa, dan imago fleshfly yang diberi pakan hati tikus putih jantan (Rattus norvegicus, Berkenhout, 1769)? Pada siklus hidup manakah ditemukan dosis
6 malathion terbanyak? Apakah adanya malathion pada tubuh fleshfly mempengaruhi siklus hidup dan morfologinya serta apakah terdapat perbedaan diameter pupa fleshfly yang terlihat dari sediaan preparat histologis?
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari kadar dan sensitivitas malathion pada larva, pupa, dan imago fleshfly yang diberi pakan hati tikus putih jantan (Rattus norvegicus, Bekenhout, 1769). Mempelajari pada siklus hidup manakah terdapat akumulasi malathion terbanyak. Mempelajari pengaruh malathion pada siklus hidup dan morfologi fleshfly serta pengaruhnya terhadap diameter pupa fleshfly yang teramati melalui sediaan preparat histologis.
D. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah untuk menambah informasi ilmiah khususnya dalam bidang entomotoxicology serta menambah wawasan mengenai akumulasi malathion pada larva, pupa, dan imago fleshfly sehingga diharapkan dapat menjadi acuan dalam mempelajari kasus kematian atau keracunan yang disebabkan oleh konsumsi malathion.