• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Sindroma Metabolik Patofisiologi Sindroma Metabolik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Sindroma Metabolik Patofisiologi Sindroma Metabolik"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Sindroma Metabolik

Indonesia sebagai negara berkembang dan dengan tingkat kemajuan ekonomi yang cukup tinggi serta semakin luasnya penggunaan teknologi merubah pola hidup masyarakat menjadi semakin berkurang aktivitas fisik dan meningkatnya kebiasaan makanan cepat saji yang tinggi kalori dan lemak. Fenomena ini meningkatkan resiko terjadinya obesitas serta penyakit kronis dan metabolik (Janus et al. 1996).

Sindroma metabolik yaitu kumpulan sindrom dari abnormalitas metabolik yang erat kaitannya dengan resiko penyakit jantung koroner (PJK), stroke dan kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular) (Alberti et al. 2009). SM disebut juga sebagai pluri-metabolic syndrome, sindroma resistensi insulin, sindroma X, sindrom dismetabolik dan lain sebagainya. World Health Organization (WHO), European Group for Study of Insulin Resistance (EGIR), International Diabetes Foundation (IDF) dan National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III) secara resmi menyetujui penggunaan istilah sindroma metabolik (Alberti et al. 2009). SM meningkatkan resiko berbagai penyakit kronis terutama penyakit kardiovaskular (PJK) dan diabetes mellitus tipe 2 (DMT2). Orang dengan SM memiliki resiko 3 kali menderita penyakit kardiovaskular serta beresiko 5 kali lipat menderita diabetes mellitus (IDF 2012). Seperti diketahui penyakit kardiovaskular dan diabetas mellitus merupakan penyebab kematian utama didunia.

Patofisiologi Sindroma Metabolik

Sindroma metabolik disebabkan terutama oleh 2 faktor utama yaitu resistensi insulin dan obesitas distribusi lemak yang abnormal (obesitas sentral). Faktor lain yang berperan dalam SM adalah genetik, gaya hidup yang tidak aktif (sedentary activity), umur, dan disregulasi hormon dan peningkatan faktor-faktor pro-inflamasi. (Alberti et al. 2006).

Resistensi insulin dipercaya merupakan penyebab utama dari SM walaupun mekanisme hubungan tersebut belum sepenuhnya diketahui. Resistensi insulin dapat disebabkan oleh aktivitas fisik rendah, obesitas, dan penuaan. Resistensi insulin terjadi apabila sensitivitas sel terhadap insulin berkurang. Insulin berfungsi untuk memicu reseptor GLUT yang memfasilitasi absorbsi glukosa ke dalam sel. Hal ini menyebabkan dibutuhkan lebih banyak insulin (hiperinsulinemia) agar berfungsi ‘normal’. Hiperinsulinemia akan membebani pankreas dan dalam jangka panjang akan merusak pankreas. (Alberti et al. 2006). Hiperinsulinemia juga akan menyebabkan peningkatan reabsorpsi sodium dan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik dan berperan dalam terjadinya hipertensi (Eckel et al. 2005).

Obesitas juga menyebabkan hipertensi, dislipidemi, dan peningkatan gula darah (hiperglikemia), serta meningkatkan resiko penyakit jantung. Hipertensi, dislipidemi dan hiperglikemi merupakan komponen penting SM. Obesitas juga merupakan penyebab resistensi insulin. EGIR membuat suatu kemajuan penting dalam pendekatan pengukuran obesitas yaitu melalui pengukuran lingkar perut (obesitas sentral/viseral). Obesitas sentral lebih berkorelasi terhadap resistensi insulin dibandingkan dengan obesitas berdasarkan kategori indeks massa tubuh (IMT). Hal ini karena sel adiposa/lemak (terutama pada jaringan adiposa viseral pada obesitas sentral), asam lemak bebas (FFA-free fatty acid) dan TNF-alfa merupakan faktor

(2)

utama yang menyebabkan gangguan fungsi insulin di otot rangka. Selain itu jaringan lemak yang berlebihan juga menyebabkan penurunan produksi adinopectin, adinopectin diketahui berfungsi sebagai antidiabetes, athreosklerotik dan anti-inflamasi, penurunan adinopectin diduga terkait dengan gangguan sensitivitas insulin. (Alberti et al. 2006). Jaringan adiposa viseral yang berlebih juga menyebabkan peningkatan pelepasan asam lemak bebas. Di hati, asam lemak bebas menyebabkan terjadinya peningkatan produksi glukosa, trigliserida (TG) dan sekresi very low density lipoprotein (VLDL). Selain itu, terjadi ketidaknormalan lipid/lipoprotein antara lain penurunan kadar kolesterol HDL dan peningkatan kadar low density lipoprotein (LDL). (Eckel et al. 2005)

Komponen Sindrom Metabolik

National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III) berdasarkan survei dan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat telah mengidentifikasi 6 komponen SM yang terkait dengan penyakit kardiovaskuler yaitu : obesitas sentral, dislipidemia aterogenik, peningkatan tekanan darah, resistensi insulin ± Intoleransi glukosa, status pro-inflamasi, status protrombosis. Komponen tersebut merupakan faktor resiko yang mendasar dan utama dari penyakit kardiovaskular. (NCEP 2002). Selain itu penurunan absorpsi kolesterol di usus juga diusulkan menjadi salah satu kriteria SM (Simonen et al. 2000; Berglund & Hyson 2003).

Pada individu obes umumnya terjadi beberapa perubahan yang berkaitan dengan jumlah lemak viseral dibandingkan lemak tubuh. Obesitas sentral merupakan bentuk obesitas memiliki hubungan paling kuat dengan SM. Obesitas sentral disebut juga sebagai obesitas abdominal (perut) atau obesitas viseral. Secara klinis Obesitas sentral diukur melalui lingkar perut/abdomen (Grundy et al. 2004). Batasan obesitas menurut AHA/NHLBI pada penduduk barat adalah ≥ 102 cm untuk laki-laki dan ≥ 88 cm pada perempuan. Sedangkan pada populasi penduduk asia tenggara batasan yang digunakan adalah lingkar perut sebesar ≥ 90 cm untuk pria dan ≥ 80 cm untuk wanita (Alberti et al. 2009). Di Indonesia berdasarkan hasil Riskesdas 2007 ditemukan prevalensi obesitas sentral sebesar 18.8% (Balitbangkes Depkes 2008).

Dislipidemi aterogenik merupakan abnormalitas profil lipid yang dapat memicu terjadi proses pengkakuan pembuluh darah (aterosklerosis). Dislipidemi aterogenik tercemin pada analisis lipoprotein dengan peningkatan kadar trigliserida (TG) dan kadar kolesterol-HDL yang rendah. Analisis lebih detail akan didapatkan abnormalitas lipoprotein lainnya yaitu peningkatan lipoprotein remnant, peningkatan apolipoprotein B (Apo-B), small LDL particles, dan small HDL particles. (Grundy 2004). Pada SM batasan dislipidemi dilihat dari 2 indikator yaitu TG ≥ 150 mg/dL dan kadar kolesterol-HDL < 40 mg/dL untuk pria dan < 50 untuk wanita (Alberti et al. 2009).

Kolesterol-HDL (high density lipoprotein atau lipoprotein kepadatan tinggi adalah partikel kecil dengan kandungan protein terbanyak. HDL memiliki efek protektif, yaitu dengan membawa kolesterol dari jaringan dan pembuluh darah kembali ke hati, sehingga dapat mengurangi plak kolesterol pada pembuluh darah (Mahan et al. 2011).

Trigliserida (TG) adalah bentuk dari lemak yang tersimpan dalam tubuh dan banyak ditemukan di jaringan adiposa. Sebagian kecil trigliserida bersirkulasi di dalam darah. Trigliserida terdiri dari 3 unit asam lemak dan 1 unit gliserol. Trigliserida juga merupakan bentuk utama penyimpanan lemak pada sel adiposa (lemak) (Sizer et al. 2007). Sintesis trigliserida merupakan stimulus langsung untuk

(3)

pembentukan dan sekresi VLDL. Pada kondisi hiperinsulinemia / resistensi insulin dapat terjadi peningkatan produksi VLDL-dan juga peningkatan trigliserida (Grundy et al. 2004)

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah kronis. Hipertensi terutama disebabkan oleh obesitas dan seringpula disebabkan adanya resistensi isulin. Hipertensi juga secara umum dikaitkan dengan faktor resiko metabolik walaupun para ahli berpendapat kaitan tersebut lebih rendah dibanding dengan faktor metabolik yang lain. Hal ini terkait dengan penyebab hipertensi yang multifaktor. Walaupun demikian para ahli sepakat untuk memasukkan hipertensi sebagai salah satu komponen SM. (Grundy et al. 2004) Batasan tekanan darah pada SM yaitu ≥130/≥85mm Hg (Alberti et al. 2009)

Resistensi insulin ada pada mayoritas orang dengan SM. Resistensi insulin juga berkaitan erat dengan faktor resiko metabolik lainnya dan juga faktor resiko penyakit kardiovaskular. Walapun mekanisme dasar hubungan antara resistensi insulin dan penyakit kardiovaskuler masih belum pasti, namun resistensi insulin jangka panjang yang bermanifestasi pada intoleransi glukosa selanjutnya meningkat menjadi hiperglikemia. Hiperglikemia merupakan faktor resiko utama penyakit kardiovaskular.

Intoleransi glukosa ditandai dengan naiknya glukosa darah puasa diatas 100 mg/dl (Alberti et al, 2009). Peningkatan glukosa ini disebabkan oleh adanya resistensi insulin dan terkait dengan obesitas. Pada tahap selajutnya intoleransi glukosa dapat berkembang menjadi diabetes mellitus, seperti diketahui SM meningkatkan resiko terjadinya diabetes mellitus tipe II sebanyak 5 kali lipat (IDF 2012).

Resistensi insulin dan obesitas dapat merubah mekanisme absorpsi pada mukosa saluran pencernaan. Pada kondisi tersebut menurunkan efesiensi absorpsi kolesterol di usus, ketika absorpsi kolesterol rendah sintesis kolesterol hati akan meningkat. Sintesis kolesterol akan meningkat terutama pada subjek DM tipe 2 dan subjek gemuk non-DM yang hiperglikemik, namun sintesis kolesterol akan menurun ketika kadar gula darah kembali normal (euglikemik) (Simonen et al. 2009)

Kriteria Sindroma Metabolik

Pada tahun 1998 kriteria formal SM telah diperkenalkan oleh WHO. Kriteria tersebut berdasarkan pada resistensi insulin ditambah dengan resiko lain seperti obesitas, hipertensi, kadar TG yang tinggi, kadar HDL-C yang rendah atau mikroalbuminuria. (WHO 1999)

Selanjutnya NCEP juga membuat kriteria SM yang berbeda berdasarkan panduan ATP III, kriteria SM dari ATP III mensyaratkan terpenuhinya 3 dari 5 faktor untuk menegakkan diagnosis. Kriteria tersebut adalah obesitas abdominal, peningkatan kadar TG, kadar HDL yang rendah, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan gula darah puasa (NCEP 2001). Pada tahun 2005 IDF dan American Heart Association/National Heart Lung and Blood Institute (AHA/NHLBI) melakukan pembahasan untuk mengumpulkan berbagai definisi kriteria SM. IDF merekomendasikan untuk mensyaratkan kriteria obesitas abdominal sebagai kriteria utama ditambah dengan 2 dari 4 kriteria lain yaitu kadar HDL rendah, kadar TG tinggi, dan hipertensi, peningkatan gula darah puasa. (Alberti et al. 2006)

Pada tahun 2009 telah dilakukan pertemuan antara berbagai organisasi kesehatan dunia yaitu IDF, NHLBI, WHF, AHA dan International Association for the Study of Obesity (IASO) untuk melakukan ‘harmonisasi’ dari berbagai kriteria diagnosis SM dan telah menghasilkan pernyataan bersama mengenai kriteria SM.

(4)

Kriteria SM tersebut yaitu bila ditemukan sedikitnya 3 kelainan dari 5 kriteria berikut: obesitas sentral (abdominal) yaitu lingkar pinggang pada orang asia yaitu > 90cm pada pria dan > 80cm pada wanita, hipertensi yaitu tekanan darah > 130/ 85 mmHg atau sedang dalam pengobatan dengan obat antihipertensi, kadar trigliserida > 150 mg/dl, kadar kolesterol HDL <40mg/dl pada pria atau < 50 mg/dl pada wanita, dan intoleransi glukosa yaitu kadar glukosa puasa > 100mg/dl. (Alberti et al. 2009)

Sindroma Metabolik di Indonesia

Di Indonesia telah dilakukan berbagai survei dan penelitian terkait dengan SM. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di tahun 1995 memperlihatkan bahwa prevalensi hipertensi yang merupakan salah satu komponen SM sebesar 8.2%. Di tahun 2001, prevalensi hipertensi bertambah menjadi 28% dan pada tahun 2007 menjadi 31.7% (Depkes 2003, Khan et al. 2005, Balitbangkes 2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 di Indonesia menunjukkan bahwa resiko terkena SM cukup tinggi dengan prevalensi penduduk dengan pola hidup sedenterial sebesar 48.2%, obesitas berdasarkan IMT sebesar 19.1% dan obesitas sentral sebesar 18.8%. Prevalensi SM dapat dipastikan meningkat oleh karena meningkatnya obesitas maupun obesitas sentral. Prevalensi SM di berbagai kota besar di Indonesia sudah cukup tinggi. Prevalensi SM di Depok 25.3% (Soewondo et al. 2005), Jakarta sebesar 28.4% (Soewondo et al. 2010), Surabaya sebesar 34% (Pranoto et al. 2005). dan di Bali sebesar 18.2% (Dwipayana et al. 2011)

Fitosterol (Plant Sterol)

Fitosterol atau disebut juga plant sterol merupakan suatu steroid alkohol. Fitosterol tidak disentesis dalam tubuh manusia sehingga seluruhnya didapatkan dari diet makanan. Fitosterol memiliki struktur mirip dengan kolesterol. Lebih dari 250 jenis fitosterol dan komponen terkait didapatkan pada berbagai tanaman dan bahan laut. Bentuk fitosterol yang paling umum diketahui yaitu sitosterol, campesterol dan stigmasterol. Didapatkan pula jenis fitosterol dalam bentuk jenuh (saturated fitosterol) seperti sitostanol dan campestanol. Di alam fitosterol banyak didapatkan pada minyak sayur, sereal, dan kacang-kacangan (Hallikainen 2001).

Sejak tahun 1950 telah diteliti bahwa fitosterol memiliki efek menurunkan kadar kolesterol dalam darah (hipokolesterolemik). Fungsi ini terkait dengan kemampuannya dalam menghambat absorbsi dari kolesterol garam empedu dan kolesterol makanan. Pada tahun 1970, fitosterol pertama kali dipasarkan sebagai penurun kolesterol, namun karena membutuhkan dosis tinggi, rendahnya tingkat kelarutan dan rasa yang tidak enak menyebabkan fitosterol tersebut tidak diterima pasar. Pada tahun 1990an ditemukan inovasi fitosterol teresterifikasi pada asam lemak (fitosterol ester) sehingga memungkinkan untuk menambahkannya pada makanan yang mengandung lemak (misalnya margarin) dalam bentuk solubel tanpa mempengaruhi rasa sehingga lebih dapat diterima serta berkembangnya penelitian mengenai manfaat fitosterol ester yang lebih luas (Hallikainen 2001).

Karakteristik Fitosterol

Fitosterol merupakan istilah yang umum digunakan baik dalam bentuk sterol bebas maupun teresterifikasi dengan asam lemak (fitosterol ester). Fitosterol bebas memiliki bentuk padat dan sulit larut lemak dan minyak. Fitosterol ester dibuat

(5)

dengan proses trans-esterifikasi dengan asam lemak sehingga memungkinkan fitosterol tersesbut dapat larut dan ditambahkan pada makanan berbasis lemak (seperti margarin, mentega, susu, minyak sawit dan sebagainya) tanpa mengubah rasa dan tekstur (Hallikainen 2001).

Fitosterol ester memiliki karakteristik larut dalam pelarut non-polar, lemak dan minyak sayur. Fitosterol ester juga dapat mensubstitusi lemak sehingga memperbaiki komposisi lemak dan menurunkan jumlah lemak. Secara kimia fitosterol ester relatif stabil dan tahan terhadap suhu tinggi (Cantrill 2008)

Tingkat degradasi fitosterol terhadap pemanasan dipengaruhi oleh waktu pemanasan (semakin lama semakin banyak yang terdegradasi), metode penggorengan (degradasi fitosterol lebih tinggi dengan metode pan-frying dibandingkan dengan deep-frying), dan jenis minyak yang dipakai (minyak tidak jenuh tunggal lebih banyak terdegradasi dibandang lemak tidak jenuh ganda). Degradaasi fitosterol lebih cepat terjadi pada metode pan-frying dibandingkan metode deep-frying diduga karena pada metode deep-frying lebih sedikit mengandung oksigen, seperti diketahui oksigen merupakan faktor pembatas pada proses oksidasi fitosterol (Salta et al, 2008). Hasil degradasi fitosterol terutama dalam bentuk kandungan hidroksil, epoksi dan keton. (Soupas et al. 2004)

Penelitian Salta et al 2008, untuk penggorengan pertama dengan menggunakan metode pan-frying, retensi fitosterol sebesar 80% sedangkan pada metode deep-frying retensi tersebut sebesar 91%. Penelitian Winkler et al. (2008), dengan metode deep frying didapatkan retensi fitosterol sebesar 87 – 93%.

Efek Klinis Fitosterol

Penelitian fitosterol dalam menurunkan serum kolesterol pada manusia pertama kali dilakukan oleh Pollak et al. pada tahun 1953. Pollak (1953) meneliti konsumsi 5-10 g per hari fitosterol pada 26 orang sehat dan didapatkan rata-rata penurunan kadar kolesterol total sebesar 28%.

Berbagai penelitian meta-analisis telah membuktikan bahwa plant sterol dengan jumlah yang sesuai dapat menurunkan kadar LDL-C antara 4% hingga 15% (Genser et al. 2011, Gupta et al. 2011, Berger et al. 2004). Pada mayoritas penelitian mengenai konsumsi fitosterol menyebutkan bahwa fitosterol tidak berpengaruh terhadap kadar HDL-C. namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa fitosterol dapat meningkatkan kadar HDL-C (Gyling et al. 1999) dan pada penelitian lain fitosterol justru menurunkan kadar HDL-C (Jones et al. 1999)

Pada banyak penelitian, responden yang memiliki kadar TG diatas 3 mmol/l (265 mg/dl) tidak dilibatkan (eklusi) dalam penelitian. Mayoritas penelitian, fitosterol dilaporkan tidak memiliki efek signifikan terhadap kadar serum TG. Namun pada beberapa penelitian kadar serum TG mengalami sedikit peningkatan (Lees et al. 1977) sedangkan pada penelitian lain mengalami penurunan (Vanhanen et al. 1992). Penelitian meta-analisis yang lebih baru oleh Demonty et al. (2013) yang khusus menganalisis pengaruh fitosterol pada kadar TG disimpulkan bahwa terdapat penurunan kadar TG terutama pada subjek dengan kadar TG awal (baseline) yang tinggi.

Terdapat beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi (faktor bias) fungsi fitosterol dalam menurunkan kolesterol diantaranya umur, jenis kelamin, berat badan, nilai awal serum kolesterol, jenis gangguan metabolisme lemak, genetik dan jenis diet yang digunakan (Jones et al. 1997). Berdasarkan umur diketahui bahwa penurunan LDL-C pada umur tua secara signifikan lebih tinggi dibanding pada orang

(6)

yang lebih muda (Law et al. 2000). Berdasarkan jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan signifikan pada fungsi fitosterold sebagai penurun kolesterol pada jenis kelamin yang berbeda (Vanhanen et al. 1994) . Berat badan juga diketahui tidak memiliki pengaruh terhadap perbedaan efikasi fitosterol pada subyek yang normal dan overweight (Nguyen et al. 1999). Kadar serum kolesterol total turut mempengaruhi efektifitas fitosterol, semakin tinggi kadar awal (baseline) serum kolesterol total, semakin tinggi penurunan TC tersebut (Miettinen et al. 1995).

Efikasi fitosterol dalam menurunkan kolesterol sangat dipengaruhi oleh pembawa (vehicle) dari fitosterol dan jenis diet subyek. Mencampurkan fitosterol pada pangan berbasis lemak dapat meningkatkan efikasi fitosterol tersebut bila dibandingkan pemberian secara suplementasi (kapsul) (Berger et al. 2004). Fitosterol lebih efektif apabila dikonsumsi dengan diet rendah lemak (Hallikainen et al. 1999). FDA mensyaratkan konsumsi dengan diet rendah lemak jenuh dan kolesterol untuk dapat mengklaim manfaat kesehatan physterol pada produk komersial (FDA 2010). Pada penelitian lain, intervensi fitosterol dengan pola makan tanpa diet rendah lemak juga dapat menurunkan kolesterol total dan kadar LDL-C (Jones et al. 1999; Weidner et al. 2008 )

Mekanisme Kerja Fitosterol

Struktur yang mirip antara fitosterol dengan kolesterol menyebabkan terjadi kompetisi dalam absorbsi kolesterol (competitve inhibitor). Fitosterol dengan berikatan pada miselles dan menurunkan jumlah kolesterol yang terdapat dan diangkut dalam miselles yang merupakan pembawa utama dalam absorbsi kolesterol di usus (Gupta et al. 2011). Konsumsi kolesterol dari makanan sebesar 250-500 mg/hari dan produksi kolesterol dalam bentuk getah empedu di usus halus sebesar 600-1000 mg/hari, dengan pemberian fitosterol pada makanan maka akan menghambat proses absorbsi kolesterol, efek ini akan bertambah jika dikombinasikan dengan diet rendah lemak. (Berger et al. 2011). Fitosterol juga dapat menghambat sintesis kolesterol endogen. Penelitian Ho & Pal (2005) secara in vitro pada kultur sel HepG2 hati menunjukkan bahwa fitosterol dapat menghambat sintessa kolesterol di hati yaitu dengan menghambat pembentukan VLDL.

Dosis Fitosterol

Pada berbagai penelitian konsumsi fitosterol sebesar 800-1000 mg per hari telah menunjukkan hasil signifikan dalam menurunkan LDL-C (Berger et al. 2004). Penelitian meta-analisis yang lain menyebutkan bahwa dibutuhkan minimal konsumsi fitosterol 1.5 g/hari dan secara konsisten mampu menurunkan kadar LDL-C apabila dikonsumsi sebanyak 2 s/d 3 g/hari (Gupta et al. 2011). Food and Drugs Administration (FDA) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI telah menyetujui klaim kesehatan fitosterol dalam menurunkan risiko penyakit jantung dengan asupan fitosterol bentuk ester minimal 1.3 g/hari terbagi dalam 2 sajian sebagai bagian dari diet rendah lemak jenuh dan rendah kolesterol (FDA 2010, BPOM 2011).

Keamanan Fitosterol

JECFA telah mengevaluasi penelitian toksikologi dan klinis berbagai dosis fitosterol dan fitostanol termasuk dalam bentuk ester dan menyimpulkan bahwa tidak terbukti menyebabkan kanker (karsinogenesis) dan genotoksik. (JECFA 2008).

(7)

Fitosterol telah terbukti aman dan efektif tanpa menimbulkan malabsorbsi yang signifikan dari zat gizi termasuk vitamin larut lemak. (Jenkins & kendal 1999). Pada penelitian klinis tidak menunjukkan adanya bahaya dan interaksi obat-makanan pada penggunaan fitosterol, namun penggunaan dalam jangka waktu lebih dari 5 tahun masih harus diteliti lebih lanjut (Gupta et al. 2011)

Minyak sawit

Minyak goreng adalah minyak yang digunakan untuk menggoreng maupun melakukan proses memasak lainnya. Minyak goreng yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah minyak dengan bahan baku minyak sawit (Simatupang dan Purwoto, 1996). Minyak sawit dapat dipergunakan untuk bahan makanan dan industri setelah melalui proses penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau atau RBDPO (refine, bleached and deodorized palm oil).

Minyak sawit memiliki kandungan asam lemak jenuh yang tinggi yaitu hampir sekitar 50%. Minyak sawit (palm oil) juga dijadikan nama asam lemak jenuh rantai karbon 16 yaitu asam palmitat. Selain lemak jenuh yang tinggi, minyak sawit juga memiliki kadar lemak tidak jenuh tunggal yang cukup tinggi yaitu sekitar 40%. Secara lengkap minyak sawit memiliki kandungan sebagai berikut yaitu lemak jenuh terdiri dari asam palmitat (C16) sebesar 44.3%, Stearat (C18) sebesar 4.6%, asam miristat (C14) sebesar 1.0%. Lemak tidak jenuh tunggal yang terdiri dari asam oleat (C18:1) sebesar 38.7% dan asam lemak tidak jenuh ganda terdiri dari linoleat (C18:2) sebesar 10.5% (Mukherjee & Mitra 2009)

Minyak sawit merupakan salah satu sumber lemak utama bagi orang Indonesia. Asupan lemak penduduk indonesia terus meningkat dari 58,1 g/kap/hr pada tahun 2002, meningkat menjadi 61.5 g/kap/hari pada tahun 2007 dan 64.7 g/kap/hari tahun 2009. Dan hampir separuhnya berasal dari lemak tampak yang terdiri dari minyak goreng (terutama minyak sawit), santan kelapa dan mentega (Hardinsyah 2011). Berdasarkan survei yang dilakukan Martianto et al. (2005), rata-rata konsumsi minyak goreng di Indonesia sebesar 23 gram per hari.

Minyak sawit biasa digunakan untuk menggoreng dengan berbagai metode seperti metode 1) deep frying yaitu menggoreng dengan menggunakan minyak yangg banyak pada suhu tinggi sehingga bahan makanan seluruhnya tercelup dalam minyak, 2) sauting yaitu menggunakan wajan sedikit minyak dengan panas yg tinggi dalam waktu cepat dan 3) pan-frying yaitu memasak cepat dengan menggunakan minyak secukupnya dengan panas sedang. Metode deep frying yang merupakan metode penggorengan paling umum dilakukan masyarakat Indonesia (Winarno 1999)

Minyak sawit dikonsumsi dengan cara langsung maupun sebagai minyak goreng. Minyak sawit mempunyai berbagai efek menguntungkan bagi kesehatan, namun penggunaan sebagai minyak goreng dapat berakibat sebaliknya hal ini terkait dengan tingkat oksidasi minyak tersebut (Edem et al. 2002). Berbagai penelitian mengenai asupan minyak sawit segar (tanpa pemanasan) pada hewan dan manusia didapatkan efek yang menguntungkan terhadap kesehatan. Manfaat kesehatan tersebut meliputi penurunan resiko terhadap arterosklerosis dan thrombosis arteri, penghambatan biosintesis kolesterol dan aggregasi platelet serta penurunan tekanan darah. Namun, pada penggunaan melalui pemanasan dapat menyebabkan terjadinya proses oksidasi sehingga dapat mengganggu fungsi fisiologis dan biokimia tubuh. Minyak sawit yang teroksidasi memiliki efek merugikan salah satunya terhadap profil lipid yaitu meningkatkan kadar kolesterol total dan LDL serta meningkatkan kadar trigliserida (Mukherjee & Mitra 2009)

Referensi

Dokumen terkait

Makanan yang mengandung banyak lemak dapat menyebabkan penimbunan lemak disepanjang pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan pada pembuluh darah dan memacu

Sewaktu memberikan makanan harus secara perlahan, makanan yang tiap kali diberikan ke pasien harus kadar secukupnya atau dengan jumlah yang sedikit saja, bagi pasien

Berdasarkan hasil kegiatan dapat diidentifikasi mengenai tingkat pemahaman peserta pengabdian adalah bahwa sekitar 70% peserta pengabdian memahami bagaimana mencari

[r]

Dalam kasus pemuatan kartun Nabi Muhammad SAW, media massa Denmark telah bersikap tidak peka, khususnya terhadap komunitas Muslim, yang ia tahu akan merasa

Grafik penurunan frekuensi denyut jantung ayam broiler fase starter yang disuplementasi nira aren Berdasarkan pengamatan grafik dari Gambar 3 memperlihatkan adanya penurunan

Oleh karena itu, peneliti akan menganalisis secara yuridis Putusan MK Nomor 115/PHPU.D-XI/2013 tentang PHPUD Kota Tangerang Tahun 2013 (studi kasus Putusan DKPP

Ini selaras dengan objektif utama kajian iaitu membangunkan model generik SPP secara konseptual berdasarkan model nilai cipta-sama.Secara umumnya, hasil kajian yang