• Tidak ada hasil yang ditemukan

KIT ELISA (AFLAVET) UNTUK DETEKSI AFLATOKSIN PADA PRODUK PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KIT ELISA (AFLAVET) UNTUK DETEKSI AFLATOKSIN PADA PRODUK PERTANIAN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

KIT ELISA (AFLAVET) UNTUK DETEKSI AFLATOKSIN

PADA PRODUK PERTANIAN

(Elisa Kit (Aflavet) for Detecting Aflatoxin in Agricultural Product)

SRI RACHMAWATI

Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 ABSTRACT

Aflatoxin is a carcinogenic toxic compound which is dangerous for animal and human health. Research Institute for Veterinary, Bogor has been developed an ELISA method for analysis AFB1 named Aflavet,

which has been validated with an accurate and consistent results compared to standard method of chromatography. In this paper the used of that ELISA kit was applied for analysis AFB1 in peanut, corn as a

feed ingredient and poultry feed. Twenty of peanut samples including peanut butter, 12 corn samples and 20 of feed samples were collected from tradisional market, supermarket and poultry shops around Bogor. Samples were ground, extracted with 60% methanol, centrifuged, and the supernatant were taken for analysis. Result of analysis indicated that 6 of 20 samples of peanut contained AFB1 quite high, exceeding the

maximum limit determined by FDA which is 20 ng/g. 5 of these peanut samples contained AFB1 > 3rd times

maximum limit (>60 ng/g), 1 peanut sample contained AFB1 25.5 ng/g and another 14 samples contained

AFB1 in the range of 0.9–15.3 ng/gr. Corn and feed samples contained AFB1 quite low which the value of

AFB1 below the standard determined by SNI (<50 ng/g). The AFB1 content in corn was in the range of 5.1–

36.9 ng/g whereas AFB1 content in feed samples were in the range of not detected (<0.3 ng/g) to 23.9 ng/g. ELISA kit (Aflavet) can be applied to detect the AFB1 content in samples with quick, accurate and sensitive

results (detection limit of 0.3 ng/g), relatively cheap analysis with simple extraction procedure. It is hope that with this rapid assay technology available in the market, quality control of AFB1 in food and feed can be

controlled easily, so that the food and feed are safe for human and animal consumptions.

Key Words: Contamination, Aflatoxin, ELISA, Feed, Food ABSTRAK

Aflatoksin merupakan suatu senyawa racun karsinogen yang berbahaya bagi kesehatan ternak dan manusia. Balitvet telah mengembangkan metoda analisis AFB1 secara Enzyme Linked Immunosorbent Assay

(ELISA) yaitu Aflavet yang telah divalidasi dengan hasil yang konsisten dengan metoda standar kromatografi. Pada makalah ini penggunaan kit ELISA tersebut diterapkan untuk analisis AFB1 pada kacang

tanah, jagung sebagai bahan dasar pakan dan pakan unggas. Sebanyak 20 sampel kacang tanah berupa butiran dan selai kacang dikumpulkan dari pasar tradisional dan swalayan, 12 sampel jagung dan 20 pakan diperoleh dari toko pakan disekitar daerah Bogor. Sampel tersebut digiling, 25 g ditimbang, diektraksi dengan methanol, disentrifus dan supernatan dianalisis. Hasil analisis menunjukkan bahwa 6 dari 20 sampel kacang tanah mengandung AFB1 cukup tinggi melebihi nilai batas maksimum yang ditetapkan oleh Food and Drug Administration (FDA) yaitu 20 ng/g. 5 diantaranya mengandung AFB1 >3 kali nilai batas (>60 ng/g) dan 1

sampel kadar AFB1 nya sebesar 25,5 ng/g serta 14 sampel kacang lainnya mengandung AFB1 dalam kisaran

0.9–15,3 ng/g. Sampel jagung dan pakan unggas mengandung AFB1 yang tidak menghawatirkan, kadar AFB1 pada semua sampel tersebut berada dibawah baku mutu yang dipersyaratkan oleh Standar National

Indonesia (SNI) yaitu masing-masing 50 ng/g untuk jagung sebagai bahan dasar pakan dan pakan unggas. Jagung mengandung AFB1 dalam kisaran 5,1–36.9 ng/g dan pakan mengandung AFB1 dalam kisaran tidak

terdeteksi (<0,3 ng/g) sampai 23,9 ng/g. Kit ELISA (Aflavet) dapat digunakan untuk mendeteksi AFB1 secara

cepat (15 menit), akurat, sensitive (limit deteksi 0,3 ng/g) dan ekonomis serta ektraksi sampel yang sederhana. Tersedianya teknologi deteksi cepat ini, diharapkan kontrol kualitas pangan dan pakan terhadap AFB1 dapat dilakukan dengan mudah, sehingga pakan aman dikonsumsi ternak dan manusia.

(2)

PENDAHULUAN

Kontaminasi mikotoksin temasuk aflatoksin menjadi perhatian dunia dalam kaitannya dengan isu keamanan pangan. Indonesia negara tropis sangat potensi untuk tumbuhnya kapang toksigenik seperti Aspergillus flavus dan A.

parasiticus pada produk pertanian seperti

kacang tanah, jagung dan pakan ternak. Perkembangan kedua jenis kapang tersebut dapat menghasilkan metabolit sekunder senyawa toksik aflatoksin. Aflatoksin dilaporkan menjadi masalah dalam suplai pangan dan pakan dibeberapa negara dan menjadi penghalang pada perdagangan produk pertanian sedunia (BRERETON, 1999). Diantara jenis aflatoksin B1 (AFB1), B2 (AFB2), G1 (AFG1) dan G2 (AFG2), AFB1 merupakan senyawa yang paling toksik. Hasil penelitian

International Agency for Research on Cancer (IARC), terhadap hewan percobaan, terbukti

bahwa AFB1 merupakan senyawa racun bersifat karsinogen. AFB1 juga termasuk dalam urutan senyawa karsinogen bagi manusia. Pernyataan ini didukung oleh data studi epidemiologi yang dilakukan di beberapa negara Asia dan Afrika yang ternyata ada korelasi positif antara mengkonsumsi pangan yang mengandung AFB1 dengan kejadian kanker sel hati (GROOPMAN et al., 1988.) Kejadian penyakit akibat aflatoksin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, status pangan dan atau terjadi bersama-sama dengan agen penyebab lain seperti virus hepatitis atau infeksi parasit. Keadaan menjadi lebih buruk pada keadaan kekurangan pangan, kondisi lingkungan dimana kontaminasi kapang berkembang pada komoditas tanaman pangan, serta tidak adanya peraturan untuk mengkontrol dan monitor aflatoksin di negara tersebut.

Pada usaha peternakan, kontaminasi aflatoksin pada pakan atau bahan dasar pakan dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar. Pada ternak unggas pakan yang mengandung aflatoksin dapat menyebabkan penurunan bobot hidup dan produksi telur (MANI et al., 2001; MUTHIAH et al., 1998), kegagalan vaksinasi (JASSAR dan BALWANT SINGH, 1989), terganggunya penyerapan unsur mineral, terutama unsur kalsium, magnesium dan besi (DIMRI et al, 1994). Pengaruh aflatoksin terhadap ternak ruminansia juga

dilaporkan oleh ABDELHAMID dan DORRA, (1990). Percobaan pada anak kerbau Murrah umur 10 hari yang diberi susu mengandung AFB1 0,3-1,0 ppm selama 13 minggu, menunjukkan penurunan bobot hidup secara nyata dengan meningkatnya dosis AFB1 yang diberikan. Efek lebih lanjut dari adanya kontaminasi aflatoksin pada pakan, yaitu terdeteksinya residu aflatoksin pada produk ternak daging, hati dan susu (MARYAM, 1996; WIDIASTUTI, 2000; ARSHAD et al., 1993), yang pada akhirnya akan merugikan manusia yang mengkonsumsi produk ternak yang mengandung residu racun tersebut.

Beberapa negara termasuk Indonesia sudah mengeluarkan peraturan untuk mengontrol tingkat cemaran aflatoksin pada suplai pangan dan pakan di negaranya juga untuk keperluan perdagangan international. Suatu metoda deteksi yang cepat, sensitive, akurat dan ekonomis menjadi penting agar kontrol kualitas pangan dan pakan terhadap cemaran aflatoksin dapat dilakukan secara terus menerus. Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) telah mengembangkan metoda analisis AFB1 secara Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) yaitu Aflavet yang telah divalidasi dengan melakukan”inter laboratory study” dan telah terbukti juga mendapatkan hasil yang konsisten dengan metoda standar kromatografi (RACHMAWATI et al., 2004). Pada makalah ini penggunaan kit ELISA tersebut diterapkan untuk analisis AFB1 pada kacang tanah, jagung sebagai bahan dasar pakan ternak unggas, untuk mengetahui tingkat kontaminasi aflatoksin pada sampel-sampel tersebut.

MATERI DAN METODA Pengumpulan sampel

Dilakukan secara acak, kacang tanah (20 sampel) berupa butiran (17) dan selai kacang (3), jagung sebagai bahan dasar pakan (12 sampel) dan pakan unggas pedaging dan petelur (20 sampel). Sampel diperoleh dari beberapa pasar disekitar Bogor.

Persiapan dan ekstraksi sampel

Sampel butiran digiling, selanjutnya ditimbang 25 g diektraksi dengan 50 ml

(3)

methanol 60%, selanjutnya dianalisis duplikat menggunakan kit ELISA Aflavet,” direct

competitive ELISA”.

Komposisi kit ELISA

1. Standar aflatoksin (blank standar, aflatoksin B1, 30; 10; 3,3; 1,1; 0,37; 0,12 ppb) 2. Enzim konjugat (AFB1-HRPO) 3. Substrat A (Natrium asetat bufer) 4. Substrat B (Tetra methyl benzidin) 5. Larutan penghenti (Asam sulfat) 6. Antibodi coated plate

7. Mixing plate

8. Software pengolahan data

Tahapan analisis

Dipipet 100 µl standar atau ekstrak sampel, masukkan kedalam mixing plate. Selanjutnya tambahkan 100 µl konjugat, campurkan dengan memipet dan mengeluarkan kembali campuran beberapa kali. Kemudian ambil 75 µl campuran, masukkan kedalam plat yang mengandung antibodi (andibody coted plate), lakukan sekali lagi untuk penetapan duplo, inkubasi selama 5 menit sambil plat diputar-putar. Buang cairan dalam plat, cuci dengan aquadest, keringkan plat. Masukkan 100 µl campuran substrat A dan B (97:3), diamkan 10 menit, maka akan terbentuk warna hijau kebiruan, stop reaksi dengan larutan penghenti asam sulfat 1,25 M. Baca pada ELISA reader, panjang gelombang 450 nm.

Pengolahan data

Dari pengukuran ektrak sampel pada alat ELISA reader diperoleh nilai OD, kemudian dihitung persen inhibisi (%I) dengan rumus:

{1 – ( A – A blank)

% I= (A kontrol – A blank)} x 100

Selanjutnya dibuat kurva kalibrasi standar yaitu plot konsentrasi AFB1 versus % Inhibisi.

Data kandungan AFB1 pada sampel diperoleh dengan memasukkan hasil pengukuran OD atau % Inhibisi sampel ke persamaan garis yang diperoleh dari kurva kalibrasi standar AFB1, dikalikan faktor

pengenceran dibagi bobot (g) sampel. Evaluasi kadar (ng/g) yang diperoleh dibandingkan dengan standar baku mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) atau” Food Drug

Administration (FDA)”.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis sampel kacang tanah, jagung dan pakan dengan kit ELISA Aflavet tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Kadar AFB1 (ng/g) pada sampel kacang

tanah, pakan unggas dan jagung yang dikumpulkan dari berbagai sumber di daerah Bogor

Kadar AFB1 (ng/g) No

Kacang tanah1) Pakan unggas2) Jagung3)

1 >60** 1,7 11,4 2 1,5 2,3 33,0 3 1,8 6,9 5,2 4 2,0 9,6 36,9 5 >60** Tt 31,9 6 2,4 8,6 5,1 7 15,3 14,8 26,4 8 2,8 23,9 24,2 9 25,1* 19,5 28,4 10 >60** 4,7 15,3 11 0,9 1,8 33,2 12 0,9 2,8 11,2 13 1,5 10,8 14 1,1 25,5 15 1,0 Tt 16 1,2 6,0 17 6,1 23,7 18 10,7 31,1 19 > 60** 1,7 20 > 60** 4,4 1) Kadar AFB

1 dihitung dengan persamaan garis

Y= 18,492 ln(x)+ 28.601, R2= 0,9565 2), 3) Kadar AFB

1 dihitung dengan persamaan garis

Y= 18,424 ln (x) + 31,766; R2= 0,9486

Tt = tidak terdeteksi = < limit deteksi (<0,3 ng/g) **3 kali diatas standar mutu FDA

*diatas standar mutu FDA No, 8,9 dan 10 pada kacang tanah, sampel berupa selai kacang peanut butter

(4)

Ternyata bahwa umumnya (96%) dari sampel-sampel tersebut mengandung aflatoksin. 6 dari 20 sampel kacang tanah mengandung AFB1 cukup tinggi melebihi nilai batas maksimum yang ditetapkan oleh Food and Drug

Administration (FDA) yaitu 20 ng/g. 5

diantaranya mengandung AFB1 >3 kali nilai batas (>60 ng/g) dan 1 sampel kadar AFB1 nya sebesar 25,5 ng/gr serta 14 sampel kacang lainnya mengandung AFB1 dalam kisaran 0,9– 15,3 ng/g. Sampel jagung dan pakan unggas mengandung AFB1 yang tidak menghawatirkan, kadar AFB1 pada semua sampel tersebut berada dibawah baku mutu yang dipersyaratkan oleh Standar National Indonesia (SNI) yaitu masing-masing 50 ng/g untuk jagung sebagai bahan dasar pakan dan pakan unggas. Jagung mengandung AFB1 dalam kisaran 5,1–36.9 ng/g dan pakan mengandung AFB1 dalam kisaran tidak terdeteksi (<0,3 ng/g) sampai 23,9 ng/g. Persentase sampel yang mengandung AFB1 yang dibedakan berdasarkan nilai baku mutu untuk masing-masing jenis sampel tertera pada Gambar 1. Beberapa sampel kacang tanah (30%), 6 dari 20 sampel yang dianalisis ternyata mengandung AFB1 dengan kadar cukup tinggi, 2 diantaranya adalah jenis selai kacang atau peanut butter.

Metoda analisis aflatoksin selama ini dilakukan dengan metoda standar kromatografi berdasarkan Applied of Analytical Chemistry (AOAC, 1984), kromatografi lapis tipis (Thin

Layer Chromatography/TLC) atau kromatografi

cair kinerja tinggi (High Performance Liquid

Chromatography/ HPLC).

Metode diatas dinilai kurang efisient dan cukup mahal. Akhir-akhir ini metoda Enzyme

Linked Imunnosorbent Assay (ELISA) untuk

analisis senyawa racun sudah banyak dikembangkan dan digunakan pada mulanya sebagai metoda skrining, tetapi perkembangan selanjutnya metoda ELISA sudah diakui sebagai metoda kuantitatif (PATEY et al., 1992).

Dibandingkan dengan metoda kimia fisika (kromatografi), metoda ELISA mempunyai beberapa keuntungan karena dinilai cukup cepat, sensitif dan relatif murah. Metode kimia fisika mempunjai kelemahan selain harga instument yang mahal, juga diperlukan pelaksana yang betul-betul terlatih, dan tahap analisis yang cukup panjang (ekstraksi, pemurnian dan pemisahan), dan memerlukan pereaksi yang cukup banyak, sehingga biaya analisis menjadi mahal.

ELISA kit Aflavet yang digunakan untuk analisis sampel kacang tanah, jagung dan pakan yang dilaporkan pada makalah ini adalah immunoassay dengan format ”direct

competitive ELISA”. Prinsip penetapan adalah,

pada plat mikro terjadi kompetisi antara AFB1 standar atau AFB1 yang terkandung dalam sampel dengan enzim konjugat untuk berikatan dengan antibodi yang terlapis pada plat mikro. Enzim konjugat yang tidak berikatan dengan antibodi tercuci, dan enzim yang mengikat antibodi pada plat mikro dengan penambahan substrat akan memberikan warna hijau kebiruan.

Gambar 1. Persentase sampel yang mengandung AFB1

TT =tidak terdeteksi = < 0,3 ng/g 0% 25% 50% 75% 100%

kacang pakan jagung

<50 ng/g

TT >60 ng/g > 20 ng/g <20 ng/g

(5)

Gambar 2. Tampilan kurva kalibrasi analisis aflatoksin dengan ELISA kit Aflavet

Semakin tinggi AFB1 pada standar atau sampel, maka makin sedikit enzim konjugat yang berikatan dengan antibodi, maka warna yang terbentuk semakin pudar (STANKER dan BEIER, 1995). Reaksi dihentikan dengan penambahan larutan penghenti dan intensitas warna (kuning) yang terbentuk diukur dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Tampilan kurva kalibrasi standar AFB1 tertera pada Gambar 2.

Keuntungan dari penggunaan ELISA kit Aflavet ini yaitu, ekstraksi sampel sederhana, analisis dapat dilakukan dalam waktu cukup cepat (15 menit), sensitif dan spesifik, akurat (hasil konsisten dengan metoda HPLC) dan reprodusibel, kisaran analisis 0,3–30 ppb, dengan kros reaktifiti yang relatif kecil, AFB1 100%, AFB2 0,9%, AFG1 3,1%; dan AFG2 1,6%, dapat menganalisis 40 sampel (duplo) sekaligus atau 80 sampel secara simplo, cukup ekonomis (RACHMAWATI et al., 2004).

KESIMPULAN DAN SARAN

Ternyata bahwa 6 sampel kacang tanah diantaranya 2 sampel berupa selai kacang mengandung AFB1 melebihi standar FDA. Sementara itu, semua sampel jagung dan pakan yang dianalisis menunjukkan kualitas kandungan AFB1 yang rendah.

Dengan tersedianya teknologi deteksi cepat ini, diharapkan kontrol kualitas pangan dan pakan terhadap AFB1 dapat dilakukan dengan mudah, dan berkesinambungan, sehingga akan

menjamin amannya produk yang dikonsumsi manusia ataupun ternak.

DAFTAR PUSTAKA

ABDELHAMID, A.M. and T.M. DORRA. 1990. Study

on effect of feeding laying hens on separate mycotoxins (aflatoxins, patulin, or citrinin)-contaminated diets on the egg quality and tissue constituents. Arch. Anim. Nutr. 40(4): 305–316.

AOAC. 1984. Official Methods of Analysis. 14th Ed,

AOAC, Arlington VA. Section 26.026– 26.031, 26.049–26.051.

ARSHAD, S., M.Z. KHAN, M. SIDDIQUE and M.T. JAVED. 1993. Studies on enzyme level and

residual effectsof aflatoxins in experimentally induced mycotoxicosis in broiler chicks. Indian. Vet. J. 70(10): 898–902.

BRERETON, P. 1999. Mycotoxins in the UK Food

supply: Actions taken to assess and reduce exposure. In: Mycotoxin Contamination: Health Risk and Prevention Project. Proc. of International Symposium of Micotoxicology 99: 63–68.

DASS, R.S. and S.P. ARORA. 1994. Effect of

aflatoxins on immunoglobulin level in blood and the growth of buffalo calves. Buffalo Bull. 13(2): 37–41.

DIMRI, U., V.N. RAO and H.C. JOSHI. 1994. Effect

of chronic aflatoxin B1 feeding on serum-calcium, magnesium and iron profile in chicken. Indian. Vet. J. 71(9): 907–910.

y = 18.492Ln(x) + 28.601 R 2 = 0.9565 0 20 40 60 80 100 0 1 10 100 Aflatoksin B1 (ng/ml) % I nhibis i

(6)

GROOPMEN, J.D, L.G. CAIN and T.W. KENSLER.

1988. Aflatoxin exposure in human populations measurement relationship to cancer. Crit. Rev. Toxicol. 19(2): 113–145 JASSAR B.S. and BALWANT-SINGH. 1989.

Immunosupressive effect of aflatoxin in broiler chicks. Indian. J. Anim. Sci. 59(1): 61– 62.

MANI, K., K. SUNDARESAN and K. VISWANATHAN.

2001. Effect of immunomodulators on the performance of broilers in aflatoxicosis. Indian. Vet. J. 78(12): 1126–1129.

MARYAM, R. 1996. Residu aflatoksin dan metabolitnya dalam daging dan hati ayam. Pros. Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. hlm. 336– 339.

MUTHIAH, J., P. REDDY and N.D.J. CHANDRAN.

1998. Effect of graded levels of aflatoksin B1

and the effect of direct fed microbials (DFM) on egg production in egg type breeders. Indian. Vet. J. 75(3): 231–233.

PATEY, A.L., M. SHARMAN and J. GILBERT. 1992. Determination of total aflatoxin levels in peanut butter by Enzyme Linked Imunnosornbent Assay: Collaborative Study. J AOAC International 75(4): 693–697.

RACHMAWATI, S., A. LEE, T.B. MURDIATI dan I.

KENNEDY. 2004. Pengembangan Enzyme

Linked Immunosorbent Assay (ELISA) teknik untuk analisis aflatoksin B1 pada pakan ternak.

Pros. Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Kerjasama Balai Penelitian Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dengan Department for Internatinal Development (DfID-UK), Bogor 20–21 April, 2004. hlm. 143–160.

SNI (Standar Nasional Indonesia). 1995. Batas

maksimum residu untuk mikroba dan kontaminan kimia pada produk ternak. Badan Standarisasi Nasional, Indonesia

STANKER, L.H. and R.C. BEIER. 1995. Introduction

to immunoassay for residue analysis: Concept, formats and applications in immunoassays for residue analysis. In. ELISA workshop. Simple test for monitoring mycotoxins and pestisides in produce. Post Harvest Technology Insitute. Ho Chi Minh City, Vietnam, November 15– 17, 1999. University of Sydney. pp. 12–22. WIDIASTUTI, R. 2000. Residu aflatoksin pada daging

dan hati sapi di pasar tradisional dan swalayan di Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18–19 Oktober 1999. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 609–614.

MURANO, L.E., E.A. MURANO, K. SHENOY and D.G. OLSON. 1997. D values of, Salmonella

enteritidis Isolates and Quality attributs of shell eggs. Treated with Irradiation. The poultry Sc. Ass. http://www psa.uiuc.edu/toc/ abs/97/Jan 97 ab 202.html.

SOEPARNO. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. SRI POERNOMO. 1995. Standar higiene dan

keamanan pangan, Bahan penataran manajemen usaha jasa boga di Institut Pertanian Bogor, 11 September–9 Desember 1995.

STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1991. Principles Procedures of Statistic a Biometrical Approach. 2nd. Mc Graw Hill.

SUHADI, F. 1976. Pengaruh radiasi pengion terhadap

bakteri. Majalah BATAN, Jakarta IX: 44–55.

DISKUSI Pertanyaan

Berapa biaya analisis per sample dan berapa maksimum sampel yang dapat diuji?

Jawaban:

Harga analisis sampel lebih murah dibandingkan dengan analisis berdasarkan metoda kromatografi yang selama ini dilakukan. Analisis sebaiknya dilakukan sekaligus untuk jumlah 40 sampel (duplo) atau 80 (simplo).

Gambar

Tabel 1. Kadar AFB 1  (ng/g) pada sampel kacang  tanah, pakan unggas dan jagung yang  dikumpulkan dari berbagai sumber di  daerah Bogor
Gambar 1. Persentase sampel yang mengandung AFB 1
Gambar 2. Tampilan kurva kalibrasi analisis aflatoksin dengan ELISA kit Aflavet

Referensi

Dokumen terkait

Pusaka Prima Mandiri bagian roll slitter menunjukkan adanya indikasi pencahayaan yang kurang pada lantai produksi dan berada dibawah standar bagi pekerjaan kasar dan

Pusaka Prima Mandiri bagian roll slitter menunjukkan adanya indikasi pencahayaan yang kurang pada lantai produksi dan berada dibawah standar bagi pekerjaan kasar dan

Berdasarkan hasil perhitungan batas kontrol dengan menggunakan peta kontrol variabel didapat karakteristik mutu kadar lemak perlu dilakukan revisi karena ada data yang berada di