• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN BUDAYA DAN LINGKUNGAN PADA SITUS-SITUS GUA PRASEJARAH DI JAWA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN BUDAYA DAN LINGKUNGAN PADA SITUS-SITUS GUA PRASEJARAH DI JAWA TIMUR"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN BUDAYA DAN LINGKUNGAN PADA SITUS-SITUS

GUA PRASEJARAH DI JAWA TIMUR

Slamet Sujud Purnawan Jati

Jurusan Sejarah FIS UM

Abstract: This research wants to try on explaining distribution of prehistoric cave

sites in East Java and studies about relation between sites and environment as resource. Thus, this research does not study one site in detail, but it covers all prehistoric cave sites which be found in East Java areas. Trough this study, it will be tried to learn relationship between one site with another site with environment, and interpret how the past human made decision to choose location as settlement place and human activities life.

Key words: relationship, culture, site, environment

Sudah cukup banyak penelitian dilakukan oleh para ahli terhadap situs-situs gua prasejarah di wilayah Jawa Timur. Namun demikian belum banyak yang mengaitkan dengan aspek lingkungan. Selama ini banyak penelitian lebih menitik-beratkan perhatian pada pengkajian atas dimensi bentuk (formal) dan dimensi waktu (temporal). Sedangkan pengkajian atas dimensi ruang (spatial) belum begitu ditonjolkan. Penelitian tersebut cenderung kepada perkara-perkara morfologi, tipologi, dan kronologi, serta belum begitu banyak memerhatikan konteks lingkungannya.

Sejak masa lalu manusia telah memanfaatkan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini tercermin dari bukti-bukti arkeologi yang diperoleh, baik yang berbentuk artefak (artifact), ekofak (ecofact), fitur (feature), dan situs (site). Namun disadari bahwa bukti-bukti arkeologi yang sampai kepada kita memiliki ke-terbatasan baik kuantitas maupun kualitas (Mundardjito, 1986). Oleh karena itu untuk dapat menjelaskan kehidupan manusia masa lalu tidak hanya dibutuhkan pengkajian atas artefak semata-mata, tetapi pengkajian yang luas atas tinggalan arkeologi, tidak saja pada hanya satu situs, namun tinggalan arkeologi

dalam skala ruang yang lebih luas, yaitu benda-benda arkeologi dan situs-situs yang tersebar dalam wilayah atau kawasan. Untuk itu diperlukan pendekatan yang makro, yaitu pendekatan kawasan disertai dengan ke-sadaran yang tinggi akan keterkaitan antar situs, baik secara ekologis, geografis maupun fungsional.

Oleh kerana itu studi tentang hubungan timbal balik antara manusia, budaya, dan lingkungan alam masa lalu merupakan topik yang tetap aktual, menarik, dan perlu dikembangkan dalam disiplin ilmu arkeologi. Bahkan untuk dapat mengetahui dan memahami hubungan tersebut, pada dasawarsa terakhir ini ada kecenderungan para ahli arkeologi Indonesia menerapkan suatu pendekatan yang dikenal dengan kajian arkeologi-ruang.

Arkeologi-ruang merupakan salah satu studi khusus dalam bidang arkeologi yang lebih menekankan pada pengkajian dimensi ruang (spatial), yakni untuk mengetahui dan memahami berbagai hal mengenai perilaku dan gagasan keruangan masyarakat masa lalu. Studi ini menyoroti persebaran dari benda-benda dan situs-situs arkeologi, kemudian hubungan antara benda dengan benda dan antara situs dengan situs,

(2)

serta hubungan antara benda dan atau lingkungan fisiknya sebagai sumberdaya (Mundardjito,1993). Dengan demikian arkeologi-ruang tidak hanya mengkaji hubungan lokasional atau keruangan antara artefak, tetapi juga dengan dan antara bentuk-bentuk data arkeologi yang lain seperti struktur atau fitur (feature), situs, dan lingkungan fisik yang dimanfaatkan sebagai ruang sumberdaya (resource space) (Clarke, 1977).

.

Tujuan Penelitian

Perubahan lingkungan pada kala plestosen akhir menyebabkan manusia bermukim di gua-gua sebagai bentuk penyesuaian barunya (Soejono, 2010). Hasil penelitian arkeologi selama ini menunjukkan bahwa cara kehidupan dalam gua-gua alam di Indonesia diperkirakan muncul pada kala pasca plestosen atau awal holosen. Kala pasca plestosen dimulai kira-kira 10.000 tahun yang lalu, setelah berakhirnya masa glasial terakhir. Berakhirnya masa glasial tersebut mengakibatkan beberapa perubahan penting, terutama perubahan lingkungan yang membawa konsekuensi pada perubahan kehidupan manusianya. Kala ini di Indonesia disejajarkan dengan masa mesolitik (Heekeren, 1972) atau masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut (Soejono, 2010).

Terpilihnya gua sebagai tempat hunian merupakan produk pengetahuan dan pengalaman manusia bahwa gua merupakan tempat ideal untuk bermukim, selain itu bagaimana manusia berupaya memanfaatkan lingkungan fisiknya berdasarkan pandangan dan pengetahuan tentang lingkungan tersebut. Pemilihan gua-gua alam oleh manusia (sekelompok manusia) sebagai tempat bermukim dan melakukan aktivitas hidupnya pada masa prasejarah, tampaknya berkaitan dengan upaya mengeksploitasi sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang berkenaan

dengan perolehan makanan dan perlindungan diri maupun penempatan dirinya di muka bumi. Pada jaman prasejarah, lokasi situs sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan-nya. Hal ini disebabkan karena manusia prasejarah cenderung untuk memanfaatkan atau melakukan strategi subsistensi pada daerah-daerah yang dekat dengan air dan sumber makanan. Lingkungan dengan sumber alam yang melimpah akan menarik manusia untuk menempatinya (Clark 1960, Butzer 1976, Soebroto 1995).

Apabila gagasan tersebut diatas diterapkan untuk menduga kemungkinan pemilihan gua-gua prasejarah di Jawa Timur sebagai tempat bermukim dan tempat melakukan aktivitas hidupnya, maka potensi sumberdaya lingkungan di sekitar gua-gua tersebut tentunya cukup menjamin. Akan tetapi, ternyata tidak semua gua di Jawa Timur dalam lingkup Industri Tulang Sampung (Sampung Bone Industry) pernah dimukimi oleh menusia. Ada pertimbangan manusia di dalam memilih gua sebagai tempat bermukim.

Hasil penelitian arkeologi selama ini juga memberi petunjuk bahwa corak kehidupan manusia pada kala awal holosen masih melanjutkan corak kehidupan dari kala sebelumnya, yaitu sebagai pemburu dan peramu, walupun tidak menutup kemung-kinan telah melakukan aktivitas pertanian tingkat awal. Untuk itu mereka harus melakukan penyesuaian baru. Hal ini tampak dari munculnya alat-alat baru sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan yang baru pula. Salah satu budaya yang mengandung alat-alat baru tersebut adalah Industri Tulang Sampung (Sampung Bone Industry). Nama Industri Tulang Sampung ini dipergunakan untuk menyebut himpunan temuan arkeologi pada situs-situs gua prasejarah di Jawa Timur (Heekeren 1972).

Bertolak dari uraian tersebut, ada sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji berkenaan dengan keterkaitan aspek budaya

(3)

dan aspek lingkungan. Maka masalah umum yang dipilih dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: mengkaji hubungan antara budaya dan lingkungan pada situs-situs gua prasejarah di Jawa Timur. Sejalan dengan masalah umum itu, pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: bagaimana hubungan antara pemilihan gua sebagai tempat bermukim (dalam hal ini lokasi situs) dengan potensi sumberdaya lingkungan, khususnya ditinjau dari variabel sumberdaya abiotik; sejauh mana variabel lingkungan berhubungan dengan lokasi situs, dengan kata lain apakah keletakan situs - situs gua mempunyai kecenderungan untuk terletak pada nilai-nilai kelas tertentu dari variabel lingkungan tersebut; dan akhirnya, bagaimana pola hubungan antara budaya dan lingkungan pada situs-situs gua prasejarah di Jawa Timur.

.

Metode Penelitian

Secara garis besar penelitian tentang hubungan budaya dan lingkungan pada situs-situs gua prasejarah di Jawa Timur ini akan mengikuti dua tahap penelitian, yaitu tahap penyusunan kerangka pikir dan tahap operasional. Tahap penyusunan kerangka pikir meliputi perumusan masalah, konsep, identifikasi sampel, dan menyusun dugaan (Singarimbun dan Effendi 1982, Mundardjito 1986). Setelah masalah dirumuskan, maka untuk memperjelas batasan masalah yang akan diteliti dan proses analisis yang akan dilakukan, perlu dikemukakan penjelasan mengenai konsep yang digunakan. Dalam penelitian ini konsep yang harus dijabarkan adalah konsep budaya dan konsep lingkungan. Kedua konsep yang memerhati-kan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya, dapat dipakai untuk menjelaskan perilaku manusia dalam beradaptasi dengan lingkungannya.

Dalam beberapa hal lingkungan dipandang sebagai aspek yang bersifat statis,

serta hanya merupakan tempat manusia melakukan interaksi dan aktivitas hidupnya, tanpa memperhitungkan kemungkinan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Walaupun lingkungan ber-pengaruh terhadap perilaku manusia atau budayanya, namun tidak berarti kondisi ini bersifat deterministik. Oleh karena itu pada tahap operasionalnya, penelitian dengan cara pandang ekologis semacam ini, perlu menerapkan suatu pendekatan yang dalam arkeologi dikenal dengan nama pendekatan determinan ekologi (ecological determinant approach) (Baumhoff 1963, Thomas 1979), yang pada intinya menitikberatkan pada analisis keragaman pola sebaran situs. Pendekatan determinan ekologi ini (bukan ecological determinism) tidak menganggap bahwa suatu lingkungan fisik men-determinasi atau menentukan seluruh aspek kebudayaan, tetapi memandang bahwa sekumpulan faktor lingkungan tertentu dalam suatu daerah memungkinkan pemilihan dan penempatan aktivitas hidup pada situs-situs arkeologi tersebut (Mundardjito 1993).

Setelah konsep yang dikemukakan diberi batasan pengertian, maka langkah selanjutnya adalah pembentukan dugaan. Dalam penelitian ini dugaan dilandasi oleh anggapan bahwa pendukung situs-situs gua prasejarah di Jawa Timur (pendukung Industri Tulang Sampung) telah melakukan strategi adaptasi dengan memanfaatkan gua-gua alam dan sumberdaya lingkungannya melalui hasil-hasil budayanya. Demikian pula pola persebaran situs-situs gua prasejarah di daerah penelitian dianggap berhubungan dengan pola persebaran sumberdaya alam masa lalu secara bervariasi, dan melahirkan pola-pola hubungan yang bervariasi pula. Oleh karena itu diduga ada pola hubungan antara budaya dan lingkungan pada situs-situs gua prasejarah di Jawa Timur.

Tahap operasionalisasi merupakan proses empiris penelitian yang meliputi

(4)

pengumpulan data, pengolahan data, dan penyimpulan hasil pengolahan data. Setelah dugaan terbentuk, tahap berikutnya adalah pengumpulan data. Sumber data yang diperlukan adalah data budaya dan data lingkungan. Pada aspek budaya, data-data yang perlu diperhatikan dan dikumpulkan adalah data lokasional atau keletakan setiap situs (nama administrasi, nama situs, nama dusun, desa, dan koordinat situs). Melalui data inilah maka dibuatlah peta persebaran situs.

Sedangkan data sumberdaya lingkungan yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah data lingkungan fisik atau abiota masa sekarang dengan anggapan dasar bahwa pada prinsipnya keadaan lingkungan fisik masa sekarang dapat dijadikan dasar untuk memberikan gambaran teentang keadaan lingkungan masa lalu. Data lingkungan fisik yang perlu diperhatikan dan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah: ketinggian tempat, kelerengan, bentuk lahan, jenis tanah, batuan, kemampuan tanah, dan jarak situs ke sungai atau mata air terdekat (Mundardjito, 1993).

Pengumpulan data budaya dan data lingkungan tersebut diatas dapat dilakukan melalui pengumpulan data kepustakaan dan data lapangan. Dalam upaya untuk mendapatkan data lokasional situs di daerah penelitian dilakukan penelusuran terhadap sejumlah sumber pustaka, serta peta yang ada, baik peta topografi, geomorfologi, dan peta administrasi, yang kemudian dicocok-kan keberadaannya dengan kenyataan dilapangan.

Sementara itu data yang digunakan sebagai dasar pengkajian variabel-variabel sumberdaya lingkingan fisik di daerah penelitian diperoleh melalui sejumlah peta distribusi sumberdaya alam (tematis) dengan pemeriannya. Peta tersebut antara lain peta topografi, peta geologi, peta hidrologi, peta ketinggian tampat, peta jenis tanah, dan peta kemampuan tanah. Dalam upaya mengetahui

hubungan lokasional situs-situs dengan lingkungan fisik, maka peta-peta tematis yang bervariasi skalanya perlu disesuaikan sehingga diperoleh peta-peta dengan skala yang sama.

Berpatokan pada peta-peta yang ada dan digabungkan dengan hasil pe-ngamatan lapangan, maka dibuatlah peta-peta tematis (peta-peta persebaran sumberdaya lingkungan) sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk mengkaji hubungan antara lokasi situs-situs dengan lokasi satuan sumberdaya lingkungan, analisis dilakukan dengan teknik penumpangan (overlay technique) (Mundardjito 1993). Teknik ini dilakukan dengan cara penumpangan peta persebaran situs-situs gua pada peta persebaran sumberdaya lingkungan. Peta persebaran situs diuji secara berulang pada setiap variabel lingkungan di daerah penelitian (satuan ketinggian tempat, kemampuan tanah, kelerengan, bentuk lahan, jenis tanah, jenis batuan, kemampuan tanah, serta sungai dan mata air). Dari hasil tumpangan ini dapat dijadikan dasar interpretasi mengenai pola hubungan situs dengan variabel sumberdaya lingkungan. Dengan cara demikian akan diperoleh gambaran tentang pola hubungan antara situs dengan setiap satuan lingkungan, lingkungan fisik mana yang mempunyai hubungan kuat dengan persebaran situs dan variabel lingkungan mana yang kurang kuat. Dengan demikian akan diketahui pula perilaku manusia masa lalu di dalam memilih lokasi situs sebagai tempat bermukim dan melakukan aktivitas hidupnya.

Setelah melalui tahap pengolahan data, langkah selanjutnya adalah tahap penyimpulan hasil pengolahan. Dari hasil kesimpulan tersebut diharapkan nantinya dapat terlihat adanya pola hubungan tertentu antara budaya dan lingkungan pada situs-situs gua prasejarah di Jawa Timur.

(5)

Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Persebaran Situs Arkeologi

Dari hasil penelusuran pustaka, peta, serta survei permukaan terhadap situs-situs gua prasejarah di daerah penelitian, maka dapat dilihat bahwa persebaran situs-situs gua prasejarah di Jawa Timur meliputi daerah administrasi kecamatan Sampung (Ponorogo), Dander (Bojonegoro), Punung (Pacitan), Wuluhan (Jember), dan Semanding (Tuban). Pada umumnya gua-gua di daerah kapur tersebut menghadap ke suatu lembah dan dialiri anak-anak sungai yang kemudian bergabung pada sungai yang lebih besar. Berikut ini akan diuraikan gambaran mengenai keadaan beberapa situs pada masing-masing kelompok situs.

a. Kelompok Sampung (Ponorogo)

Kelompok Sampung meliputi gua Lawa, Pertapan, Manuk, Sulur, Macan, Ngalen, Layah, Dlongsor, Tutup, dan Nuton. Sebagian besar gua ini terletak pada suatu perbukitan kapur bernama Gunung Angel, yang termasuk ke dalam daerah Dusun Boworejo, Desa Sampung, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo. Gua-gua ini berada pada sisi selatan sebuah perbukitan kapur yang terpisah dari pegunungan kapur Sewu di sebelah selatannya. Perbukitan kapur ini merupakan batas barat dataran rendah Madiun dimana mengalir beberapa sungai yang kemudian tergabung dalam kali Madiun. Bagian utara perbukitan ini diliputi oleh material erupsi gunung berapi tua Gunung Kukusan yang berada di lereng selatan Gunung Lawu (Es, 1930). Di sebelah timurnya terdapat Gunung Wilis. Di antara gua-gua alam tersebut, hanya Gua Lawa yang banyak ditemukan tinggalan-tinggalan arkeologi prasejarah. Sementara Gua Pertapan dan Manuk hanya sedikit di-temukan benda-benda arkeologi. Sedangkan gua-gua lainnya relatif hanya sedikit sekali adanya temuan benda-benda arkeologi.

b. Kelompok Dander (Bojonegoro)

Kelompok Dander meliputi Gua Lawang, Lawa, Pule, Munggah, Pawon, Grajen, Payung, Gogor, dan Sumur. Gua-gua tersebut terletak di Desa Sumberarum, kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro. Kelompok gua ini terletak pada bukit kapur Dander yang merupakan rangkaian bukit kapur Kendeng (Kendeng Anticline) dan berada pada ketinggian antara 75 meter hingga 125 meter dari permukaan air laut. Di sebelah utara daerah ini terdapat lembah Kali Bengawan Solo yang termasuk dalam Zona Randublatung, dengan jaringan anak sungai-nya (Bemmelen 1949, Heekeren 1972).

Di Gua Lawang pernah dilakukan penggalian oleh van Stein Callenfels bersama van Es. Hasil penggalian tersebut hanya dilaporkan dalam garis besarnya saja. Lapisan budaya yang diperoleh di gua tersebut tidak cukup tebal untuk dapat dibedakan dalam tahap-tahap budaya. Namun demikian beberapa temuan berhasil didapatkan antara lain berupa sudip dari tulang dan tanduk, mata panah dari batu, pecahan-pecahan gerabah, manik-manik, rahang dan gigi manusia (Hoop 1941). c. Kelompok Punung (Pacitan)

Lokasi kelompok Punung berada di kawasan Gunung Sewu (Pegunungan Seribu) yang merupakan bagian dari pegunungan Selatan Jawa. Secara administratif daerah ini terletak di Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan. Daerah ini tersusun oleh batu gamping koral dan tufaan berumur Miosen, dan yang mengalami pengangkatan di kala Plestosen Tengah (Sartono 1964, Semah 1990). Melalui proses erosi dan karstisifikasi tercipta ribuan bukit karst (asal penamaan sebagai Gunung Sewu) yang diselang-selingi lembah dan dataran sempit. Di beberapa tempat terdapat cekungan (doline) tergenang air yang membentuk danau atau telaga yang sebagian tidak pernah kering. Sungai-sungai mengalir di sela-sela bukit dan sering

(6)

memasuki terowongan bawah tanah untuk kemudian bermuara ke samudera Hindia.

Patut dicatat bahwa penelitian terhadap gua atau ceruk yang telah dilakukan selama ini umumnya menghasilkan karakter tinggalan yang sama. Baik dari Song Agung, Song Keplek, Song Terus maupun Song Dono, unsur budaya yang paling menonjol adalah sisa industri litik dan industri tulang. Stereotipe tinggalan di atas diperkuat oleh data permukaan hasil eksplorasi terhadap gua-gua dan ceruk lain di sekitar Gunung Sewu.

d. Kelompok Wuluhan (jember)

Kelompok Wuluhan meliputi Gua Sodong, Marjan, Macan, Gelatik, dan Lawa. Lokasi gua kelompok Wuluhan berada di kawasan kaki utara Gunung Watangan, yang secara administratif termasuk dalam wilayah Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember. Keadaan geografis kelompok ini berada pada lingkungan daerah perbukitan kapur selatan yang saat ini daerah sekitarnya merupakan kawasan hutan jati. Di sebelah utara dan barat daerah ini terbentang dataran rendah Lumajang yang subur. Sebelah baratnya dibatasi oleh beberapa bukit kapur yang diteruskan dengan dataran rendah yang bergabung dengan pantai Puger, sedangkan bagian selatan dibatasi Gunung Watangan. Kira-kira 700 meter di sebelah utara kawasan ini terdapat Kali Kepel yang merupakan batas selatan dari Desa Lojejer. Sungai ini merupakan anak Kali Bedadung yang mengalir menuju ke Samudera Indonesia sehingga daerah sepanjang sungai ini merupakan daerah subur.

e. Kelompok Semanding (Tuban)

Kelompok ini terdiri atas beberapa gua yang terdapat di Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. Gua-gua ini berada pada rangkaian bukit kapur yang tergabung dalam Zona Rembang (Bemmelen 1949). Di sebelah selatannya terbentang dataran rendah

yang dialiri Kali Bengawan Solo dan anak-anak sungainya, sedangkan di sebelah utaranya berupa daerah pesisir Laut Jawa. Keberadaan gua-gua pada kelompok Semanding ini pertama kali diketahui berdasarkan keterangan J.H. Houbolt yang kemudian mendorong Willems melakukan penelitian di Gua Gede dan Gua Kandang di Desa Gedongombo, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban, pada bulan Maret dan April 1938. Selama ekskavasi di Gua Gede diperoleh temuan berupa alat-alat tulang dan mata panah batu. Sementara di gua kandang kebanyakan ditemukan alat-alat dari kulit kerang dan ekofak kerang.

Penelitian Willems selanjutnya ditujukan ke beberapa gua di wilayah yang sama. Gua-gua yang diteliti yaitu Gua Cilik, Bale, Pawon, Bagong, Peturon, Butul, dan Gua Panggung. Seluruh temuan artefak dari batu, tulang, dan kerang ditemukan dalam keadaan bercampur, baik di lapisan atas maupun di lapisan bawah. Di antara temuan-temuan tersebut artefak dari kulit kerang merupakan temuan terbanyak (oudheid kundige verslag 1939).

Heekeren (1972) melakukan pengamatan terhadap temuan-temuan artefak hasil penelitian Willems yang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Dari pengamatan-nya, Heekeren menyimpulkan bahwa sudip dari situs gua kelompok Semanding ini menunjukkan sendi (condyle) pada pangkal-nya. Mata panah batu dikerjakan baik pada satu sisi (monofasial) maupun kedua sisinya (bifasial). Dalam koleksi tersebut ditemukan pula cukup banyak serpibilah yang tidak teretus.

2 Persebaran Sumberdaya Lingkungan Kondisi lingkungan fisik daerah Jawa Timur merupakan daerah berbukit-bukit yang terdiri dari 3 jajaran pegunungan kapur yang diselingi oleh zona sinklin. Menurut R.W. van Bemmelen (1949) ketiga pegunungan kapur tersebut adalah: (1)

(7)

Antiklorium Rembang dengan zona sinklin Randublatung, (2) Antiklorium Kendeng dengan gugusan pegunungan kapur antiklin Bangil, bukit tuf Semongkrong, Pegunungan Ringgit Besar, serta Gunung Baluran, dan (3) Pegunungan Sewu di pantai selatan dengan zona depresi yang cukup luas yaitu subzona Ngawi dan subzona Blitar.

Sementara itu, Pannekoek (1949) membagi daerah Jawa Timur menjadi 3 kelompok berdasarkan fisiografinya. Pem-bagian tersebut adalah: (1) kelompok zona utara (lipatan), (2) kelompok zona tengah volkanik, dan (3) kelompok zona plato selatan.

Kelompok zona utara (lipatan) terdapat di bagian utara Jawa Timur. Zona ini dibagi menjadi 2 sub-zona, yaitu perbuklitan Rembang (Rembang-Hills) di sebelah utara dan Igir pegunungan Kendeng (Kendeng-Ridge) di sebelah selatan. Arah kedua sub-zona ini adalah barat-timur. Di antara kedua pegunungan terebut terdapat depresi memanjan, yang disebut sub-zona sinklin Randublatung.

Kelompok zona tengah vulkanik menempati bagian tengah Jawa Timur, membujur dengan arah barat-timur. Zona tengah di Jawa Timur ini dapat dibagi menjadi 3 sub-zona, yaitu sub-zona Ngawi, Solo, dan Blitar. Sub-zona Ngawi adalah depresi sinklinal yang berbatasan dengan Pegunungan Kendeng. Sementara sub-zona Solo dibentuk oleh sederetan volkan kuarter dengan dataran antar pegunungan. Sedang-kan sub-zona Solo dengan zona plato selatan (Bemmelen, 1949).

Kelompok zona plato selatan terdapat di bagian selatan Jawa timur. Zona ini sebagian besar merupakan topografi karst bergelombang, yang mempunyai kemiringan ke arah selatan, dengan ketinggian yang sangat bervariasi antara 150 hingga 700 meter di atas permukaan laut. Zona ini membujur dari Wonosari di sebelah barat hingga Banyuwangi di sebelah timur.

Permukaan zona plato selatan adalah bagian dari suatu hampir rata (peneplain) yang terangkat dan terlipat menjadi depresi yang luas dan kulminasi. Penyusunnya terdiri atas batuan miosen tua dan batu gamping miosen muda. Sebagai akibat dari pengangkatan itu daerah yang tersusun oleh batu gamping berkembang menjadi daerah bertopografi karst dengan penyaluran bawah permukaan. Permukaan plato berubah berubah menjadi bukit-bukit berbentuk kerucut karst yang disebut Pegunungan Seribu (Gunung Sewu) (Soetoto, 1986).

Daerah Jawa Timur yang letaknya berkisar antara 110o 15’ BT-144o 30 BT dan

6o30’ LS-8o 45’ LS mempunyai lingkungan

yang agak berbeda dengan propinsi lainnya di Jawa. Berdasarkan keletakannya, maka lingkungan daerah Jawa Timur termasuk daerah tropik. Pada umumnya daerah tropik tertutup oleh hutan hujan tropik abadi. Namun ternyata daerah Jawa Timur mempunyai sifat hutan yang agak berbeda. Apabila Jawa Barat dan Jawa Tengah mempunyai bentang vegetasi hutan hujan tropis, maka daerah yang terbentang dari perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur hingga Nusa Tenggara Timur serta Sulawesi Selatan dan Tenggara merupakan daerah yang bentang vegetasinya berupa hutan tropik musiman atau mansoon tropical forest (Ripley 1979).

Meskipun dalam keaneka-ragaman fauna dan flora hutan musiman kurang dibandingkan dengan hutan hujan tropik abadi (Whitmore 1978), tetapi hutan musiman menyediakan kemudahan dan menjadi lingkungan yang ideal bagi kehidupan manusia. Lingkungan demikian ternyata menyediakan pilihan yang cukup luas untuk digarap. Bentuk geomorfologi daerah ini memungkinkan penggarapan lingkungan dari lembah-lembah sungai hingga bukit-bukit kapur berhutan.

(8)

Gambaran mengenai penyebaran sumberdaya lingkungan di daerah penelitian dapat diperoleh dari berbagai peta tematis baik yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi Bandung, U.S. Army Map Service dan Direktorat Topografi TNI-AD, Lembaga Penelitian Tanah Bogor, Kanwil Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur, Direktorat Agraria Propinsi Jawa Timur, Bappeda maupun Kantor Pertanahan Kabupaten Dati II, terutama pada tiap-tiap daerah penelitian yang meliputi wilayah Kecamatan Sampung (Ponorogo), Dander (Bojonegoro), Punung (Pacitan), Wuluhan (Jember), dan Semanding (Tuban). Keadaan fisik daerah penelitian ini banyak ditentukan oleh ketinggian tampat, kelerengan, bentuk lahan, jenis tanah, batuan, kemampuan tanah, serta sungai dan mata air. Pemerian berikut ini mencakup faktor-faktor lingkungan fisik pada tiap-tiap kelompok daerah penelitian. a. Ketinggian Tempat

Data mengenai ketinggian tempat di daerah penelitian diperoleh dari peta ketinggian tempat yang disusun oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur, serta berdasarkan garis-garis kontur dan angka-angka titik ketinggian yang terdapat dalam peta topografi terbitan U.S. Army Map Service (Washington DC) dan Direktorat Topografi TNI-AD. Data ke-tinggian tempat tersebut dapat pula diketahui dari hasil pengukuran sendiri di lapangan dengan menggunakan alat ukur yang disebut altimeter. Pada umumnya tidak banyak perbedaan antara angka ketinggian dari sumber peta dengan hasil pengukuran ketika survei di lapangan. Berdasarkan sumber peta dan hasil pengukuran diketahui bahwa angka ketinggian di daerah penelitian cukup bervariasi.

b. Kelerengan

Data tentang kelerengan atau kemiringan permukaan lahan di daerah

penelitian diperoleh dari peta kemampuan tanah hasil survei Direktorat Agraria Propinsi Jawa Timur, atau dengan mengukur per-bedaan ketinggian dan jarak antar tempat yang terdapat dalam peta topografi. Menurut klasifikasi Direktorat Agraria, daerah penelitian terdiri atas 4 macam satuan kelerengan, yaitu: (1) daerah berkelerengan kurang dari 2% atau daerah datar (golongan D), (2) daerah berkelerengan antara 2--15 % atau daerah landai (golongan C), (3) daerah berkelerengan antara 15--40% atau daerah miring (golongan B), dan (4) daerah berkelerengan lebih dari 40% atau daerah terjal (golongan A).

c. Bentuk Lahan

Dalam kajian geomorfologi, uraian mengenai satuan bentuk lahan ini akan didasarkan pada beberapa aspek, antara lain: (1) asal pembentukannya seperti bentukan asal gunung api atau fluvial, (2) konfigurasi permukaan bumi seperti dataran atau bukit, (3) ukuran kuantitatif seperti ketinggian dan kelerengan, (4) proses geomorfologi yang terjadi seperti pelapukan, erosi, atau gerakan massa, dan (5) hubungan antara bentuk lahan dengan unsur lingkungan lainnya seperti tanah, batuan, air, vegetasi, dan penggunaan lahan (Verstappen, 1983, Mangunsukarjo, 1986). Dalan pemberian nama satuan bentuk lahan ini digunakan istilah yang dapat mencerminkan informasi tentang kriteria tersebut diatas.

Berdasarkan asal pembentukannya, daerah penelitian dapat dibedakan ke dalam 5 satuan geomorfologi, yaitu: (1) bentukan asal gunung api, (2) bentukan asal struktural, (3) bentukan asal denudasional, (4) bentukan asal fluvial, dan (5) bentukan asal solusional. Kelima satuan utama geomorfologi tersebut dapat dirinci lagi menjadi 13 satuan bentuk lahan sebagai berikut: (1) lereng bawah gunung api, (2) pegunungan plato, (3) dinding terjal, (4) lembah lurus, (5) lereng kaki perbukitan denudasional, (6) perbukitan

(9)

terkikis sedang, (7) dataran aluvial, (8) dataran banjir, (9) tanggul alam, (10) dataran fluvio-koluvial, (11) perbukitan tertoreh kuat, (12) perbukitan berlembah lebar, dan (13) kerucut ideal (Sartono, 1964)

. d. Tanah

Data mengenai jenis-jenis tanah di daerah penelitian diperoleh dari peta jenis tanah yang disusun oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor bekerja sama dengan Kanwil Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur. Di daerah penelitian terdapat 9 jenis tanah yang digolongkan atas dasar sistem Klasifikasi Tanah Nasional atau Sistem Lembaga Penelitian Tanah Bogor (menurut Terms of Reference Tipe Pemetaan Tanah Lembaga Penelitian Tanah 1980), dan sistem klasifikasi tanah FAO/UNESCO dan USDA Soil Taxonomy. Kesembilan jenis tanah tersebut adalah: (1) aluvial, (2) grumosol, (3) litosol, (4) regosol, (5) mediteran, (6) kompleks mediteran-litosol, (7) kompleks mediteran-grumosol, (8) kompleks latosol-litosol, dan (9) kompleks gleisol-aluvial. e. Batuan

Batuan mempunyai kaitan erat dengan unsur sumberdaya lingkungan yang lain. Batuan atau litologi merupakan unsur yang sangat penting sebagai ciri bentuk lahan. Adanya perbedaan batuan pada suatu daerah akan mencirikan kenampakan bentuk lahan yang berbeda pula dengan karakteristik dalam proses geomorfologinya. Di samping itu, batuan juga merupakan unsur penting dalam proses terbentuknya tanah. Berbagai jenis tanah yang terdapat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh bahan induk yang me-nyusunnya. Batuan dapat pula memberikan informasi karakteristik tata air yang terdapat di suatu daerah. Selain menentukan kualitas air baik air permukaan maupun air tanah, batuan juga menentukan berbagai jenis vegetasi yang tumbuh diatasnya.

Data mengenai jenis-jenis batuan di daerah penelitian diperoleh berdasarkan peta-peta geologi yang disusun oleh Direktorat Geologi Bandung bekerja sama dengan Kanwil Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur. Atas dasar peta tersebut di-peroleh keterangan bahwa di daerah penelitian sekurang-kurangnya terdapat 11 macam formasi batuan, yaitu: (1) aluvium, (2) batu kapur, (3) vulkanik kuarter muda, (4) vulkanik kuarter tua, (5) dasit,(6) granit, (7) fasies sedimen miosen, (8) fasies batu gamping miosen, (9) fasies sedimen pliosen, (10) fasies sedimen plestosen, (11) fasies batu gamping plestosen.

f. Kemampuan Tanah

Data mengenai kemampuan tanah di daerah penelitian diperoleh atas dasar peta kemampuan tanah yang disusun oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur. Di daerah penelitian terdapat berbagai macam kondisi kemampuan tanah. Ber-dasarkan pembagian yang dilakukan Direktorat Tataguna Tanah, kondisi ke-mampuan tanah tersebut dapat diklasifikasi-kan atas 4 unsur, yaitu: (1) kadalaman efektif tanah (solum), yaitu yang ketebalannya lebih dari 90 cm (golongan A), antara 60 cm hingga 90 cm (golongan B), antara 30 cm hingga 60 cm (golongan C), dan kurang dari 30 cm (golongan D); (2) tekstur tanah, yaitu yang berbutir sedang atau lempung (golongan 1), berbutir halus atau liat (golongan 2), dan berbutir kasar atau pasir (golongan 3) ; (3) drainase, yaitu yang dicirikan oleh ketiadaan genangan air (golongan a), kadang-kadang tergenang (golongan b), dan keberadaan genangan air (golongan c); serta (4) erosi, yaitu yang ditandai oleh ketiadaan erosi (golongan T), dan keberadaan aktivitas erosi (golongan E). atas dasar peta dan penggolongan tersebut dapat diketahui bahwa di daerah penelitian terdapat 17 macam satuan kemampuan tanah yaitu: A1aT, A1aE, A1bT, A2aT, B1aT,

(10)

B2aT, B2aE, C1aT, C1aE, C2aT, C2aE, D1aT, D1aE, D2aT, D2aE, D3aT, dan D3aE. g. Sungai dan Mata Air

Daerah daerah Jawa Timur mem-punyai sumber air permukaan seperti sungai, danau, dan mata air yang cukup potensial. Beberapa sungai di daerah ini merupakan sungai yang airnya mengalir atau tersedia sepanjang tahun (perennial stream), dan mempunyai akses yang cukup besar terhadap kehidupan masyarakat. Sementara yang lainnya merupakan sungai yang mengalir secara musiman atau periodik (intermittent stream), yaitu sungai yang akan mengalirkan air permukaan bila musim hujan datang dan akan kering kembali jika musim kemarau terjadi berkepanjangan (Mundardjito 1993). Adapun data mengenai sungai dan mata air di daerah penelitian dapat diperoleh dari peta topografi terbitan U.S. Army Map Service (Washington DC) dan Direktorat Topografi TNI-AD, serta peta hidrologi baik yang diterbitkan oleh Kanwil Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Timur maupun Direktorat Geologi Tata Lingkungan Bandung.

3. Hubungan Budaya dan Lingkungan Salah satu kajian yang tidak kalah penting dalam studi arkeologi adalah kajian hubungan antara manusia dan lingkungan, dengan menerapkan strategi penelitian keruangan. Kajian semacam ini berusaha mengungkapkan pengetahuan tentang adanya hubungan tersebut, dan hubungan semacam apa yang telah terjadi pada masa itu. Di antara perkara yang sering terjadi adalah berkenaan dengan cara pemanfaatan sumberdaya lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik yang berkaitan dengan perolehan makanan, perlindungan diri, maupun penempatan dirinya di muka bumi (Trigger 1968, Binford 1983)..

Hubungan semacam itu dapat diketahui melalui sumber data arkeologi

berupa artefak, ekofak, dan situs, serta data lingkungan. Dalam kajian hubungan budaya (situs) dan lingkungannya, maka pokok perhatian diberikan pada keletakan situs sebagai satuan pengamatan. Di daerah penelitian, situs-situs yang dikaji merupakan situs-situs gua prasejarah. Situs seperti ini akan mempunyai data keletakan yang asli sebagai variabel yang akan diolah dan dikorelasikan dengan variabel sumberdaya lingkungan.

Untuk mengetahui hubungan antara situs dengan sumberdaya lingkungan dibutuhkan data lokasi situs-situs dan keletakannya pada berbagai sumberdaya lingkungan. Untuk mendapatkan data keragaman tersebut dilakukan dengan cara memetakan lokasi situs-situs gua, dan kemudian diteruskan dengan pemetaan satuan-satuan sumberdaya lingkungan di daerah penelitian secara menyeluruh. Selanjutnya dengan menumpangkan 2 macam peta yaitu peta persebaran situs gua dan peta persebaran satuan sumberdaya lingkungan, maka akan diperoleh data mengenai keletakan situs-situs gua pada satuan-satuan sumberdaya lingkungan (Mundardjito 1993). Penggabungan dari 2 macam peta tersebut menghasilkan data tentang hubungan lokasional antara situs-situs gua dengan bermacam sumberdaya lingkungan yang bervariasi pula potensinya. Frekuensi keletakan situs-situs gua pada setiap variabel sumberdaya lingkungan menunjukkan derajat dari hubungan tersebut, yang selanjutnya dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang variabel sumberdaya lingkungan mana yang kurang atau tidak ditempati situs.

Upaya tersebut di atas dimaksud-kan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara budaya (situs) dengan variabel sumberdaya lingkungan. Hubungan tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk untuk memahami berbagai hal mengenai perilaku dan gagasan mereka dalam memanfaatkan

(11)

sumberdaya lingkungan di sekitar mereka, yang boleh jadi sebagai upaya adaptasi manusia terhadap lingkungan fisiknya.

Situs-situs gua prasejarah sebanyak 54 tidak tersebar secara merata di seluruh daerah penelitian. Sebagian besar situs gua terletak pada daerah-daerah yang sumber-daya lingkungannya relatif baik, yaitu pada ketinggian tempat kurang dari 200 meter di atas permukaan air laut dan pada lahan berjarak kurang dari 1000 meter dari aliran sungai. Akan tetapi, sebagian besar situs berada pada daerah-daerah yang sumberdaya lingkungannya relatif cukup baik, yaitu pada kelerengan antara 2—15%, pada bentuk lahan pegunungan plato, kerucut ideal, dan perbukitan berlembah lebar, serta pada lahan dengan kemampuan tanah B1aT. Sementara sebagian besar situs cenderung terletak pada lahan dengan sumberdaya lingkungan relatif kurang baik, yaitu pada lahan dengan jenis tanah kompleks mediteran-litosol, pada lahan dengan kandungan batugamping atau batukapur, dan pada daerah berjarak lebih dari 2000 meter dari lokasi mata air. Dengan demikian dalam hal ini dapat terjadi bahwa suatu situs yang mempunyai potensi relatif tinggi dalam suatu variabel sumberdaya lingkungan, belum tentu mempunyai potensi relatif tinggi dalam variabel lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu situs mempunyai variabel sumberdaya lingkungan yang potensinya berbeda dengan situs-situs lain.

Data empirik yang dikemukakan di atas dapat menunjukkan hubungan antara budaya (situs) dengan sumberdaya lingkungannya. Sebagian besar situs gua cenderung terletak pada lahan dengan ketinggian tempat kurang dari 200 meter di atas permukaan air laut. Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia pada masa lalu tampaknya cenderung memilih tempat-tempat yang berelevasi relatif rendah sebagai tempat bermukim dan beraktivitas, karena daerah semacam ini mempunyai jenis

vegetasi dan fauna yang lebih beragam dibandingkan daerah berelevasi relatif tinggi.

Pada variabel kelerengan, sebagian besar situs gua berada pada satuan kelerengan antara 2—15%. Seperti diketahui bahwa terbentuknya gua dapat terjadi pada bagian lereng bukit, pada kaki bukit bagian atas, atau pun pada kaki bukit bagian bawah yang berbatasan dengan daerah dataran. Manusia pada masa lalu tampaknya cenderung untuk memilih daerah ber-kelerengan antara 2—15% sebagai tempat bermukim dan beraktivitas. Daerah dengan kelerengan seperti ini mempunyai permukaan tanah landai hingga menuju daerah dataran yang berada di depan situs-situs gua tersebut. Pada daerah ini mempunyai drainase tanah sedang, dan air permukaan (run off water) akan mengalir agak lambat tanpa me-nimbulkan erosi yang berarti. Daerah semacam ini cukup memberikan keleluasaan orang untuk bergerak dibanding dengan daerah yang berkelerengan terjal. Ke-mungkinan mereka juga memanfaatkan lahan datar di depan gua huniannya sebagai ruang sumberdaya (resource space) dan sebagai pusat kegiatannya sehari-hari, terutama dalam aktivitas berburu dan mengumpulkan makanan (Clark 1977, Mundardjito 1993).

Pada variabel bentuk lahan, banyak situs gua terletak pada satuan bentuk lahan pegunungan plato, kerucut ideal, dan perbukitan berlembah lebar. Bentuk lahan semacam ini merupakan bentuklahan yang paling banyak diminati sebagai tempat bermukim dan tempat kegiatan bagi sebagian besar masyarakat pada masa lalu. Bentuk lahan seperti ini merupakan daerah yang berfisiografi mulai dari yang relatif datar, landai hingga berbukit, serta menghadap ke suatu lembah datar yang luas berupa dataran aluvial yang subur dan dialiri sungai. Daerah yang demikian memungkinkan penggarapan lingkungan dari dataran atau lembah-lembah sungai hingga bukit-bukit kapur berhutan. Proses-proses geomorfologi yang terjadi

(12)

pada bentuk lahan tersebut relatif tidak berbahaya. Bahkan bermukim pada lahan semacam ini dapat terhindar dari bencana alam seperti kemungkinan adanya banjir dari beberapa sungai. Di samping itu, kondisi topografi semacam ini memungkinkan manusia untuk lebih mudah berpindah, bergerak, atau menjelajah dalam melakukan aktivitasnya untuk mendapatkan makanan.

Pada variabel jenis tanah, sebagian besar situs gua berada pada satuan jenis tanah kompleks mediteran-litosol. Di daerah penelitian, jenis tanah ini mempunyai bahan induk campuran batukapur, napal, dan tuf volkan. Tanah ini sebenarnya merupakan tanah yang relatif kurang subur. Akan tetapi, lahan dengan jenis tanah seperti ini bila memperoleh air secukupnya dapat di-manfaatkan sebagai tanah tegalan, dan dapat menumbuhkan tanaman bahan pangan. Bahkan lahan tersebut dapat digunakan sebagai pembudidayaan jenis tanaman pangan tertentu seperti umbi-umbian. Bahkan apabila manusia pendukung situs gua tersebut mempunyai daya jelajah tinggi atau catchmentareanya luas, maka mereka selain dapat memanfaatkan lahan tersebut, dapat pula mengeksploitasi lahan subur di depan gua yang merupakan lembah datar yang luas berupa dataran aluvial dan dialiri beberapa sungai (Vita-Finzi & Higgs, 1970).

Pada variabel batuan, terlihat bahwa situs-situs gua banyak dijumpai pada lahan dengan kandungan batuan sedimen dan batu kapur atau batu gamping (limestone). Hal ini dapat dipahami karena gua banyak berkembang pada batuan yang mudah mengalami proses pelarutan seperti pada batu kapur tersebut. Kenampakan kawasan yang sebagian besar bertopografi karst ini secara umum menggambarkan daerah yang mempunyai potensi sumberdaya lingkungan rendah. Akan tetapi, fase-fase pembentukan daerah pegunungan kapur menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki dukungan berupa keberadaan bukti-bukti kapur yang

berfungsi sebagai akumulator air atau recharge area dan lembah subur antar bukit (Bates & Jackson 1985). Bahkan apabila manusia penghuninya memiliki daya jelajah tinggi, selain dapat memanfaatkan lahan tersebut, mereka dapat pula mengeksploitasi lingkungan pendukung di sekitar gua yang umumnya lebih subur sebagai catchment areanya (Vita-Finzi & Higgs, 1970). Apalagi gua-gua tersebut menghadap suatu lahan subur yang terbentuk dari batuan aluvium dan batuan volkanik, serta dialiri beberapa sungai.

Selanjutnya pada variabel ke-mampuan tanah, frekuensi situs tinggi pada daerah yang mempunyai satuan tanah B1aT. Lahan semacam ini memiliki kedalaman efektif tanah antara 60 cm hingga 90 cm, tekstur tanahnya berbutir sedang, tidak tergenang air, dan tidak ada aktivitas erosi. Daerah semacam ini selain dapat digunakan sebagai tempat bermukim dan melakukan aktivitas hidup, dapat pula dimanfaatkan sebagai lahan tegalan yang dapat ditumbuhi tanaman pangan.

Sementara itu, banyak situs yang terletak pada jarak kurang dari 1000 meter dari aliran sungai. Hal ini dapat diperkirakan bahwa sungai pada masa lalu itu dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia, terutama untuk kehidupan dan keperluan sehari-hari. Lingkungan alam sekitar sungai cenderung dipilih sebagai tempat bermukim atau tempat untuk melakukan aktivitas hidup manusia karena lingkungan tersebut me-nyediakan keanekaragamansumber makanan, bahan untuk alat, dan sumber air yang mereka butuhkan untuk kelangsungan hidupnya.

Sebaliknya banyak situs gua justru terletak jauh dari mata air, yaitu pada jarak lebih dari 2000 meter. Banyaknya situs gua yang berada jauh dari mata air ini menunjukkan bahwa keletakan situs tidak berkorelasi dengan lokasi mata air, tetapi berkaitan erat dengan letak sungai. Hal ini

(13)

dapat ditafsirkan bahwa kemungkinan sungai yang ada pada masa itu sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup bagi manusia penghuni gua tersebut. Perlu dikemukakan bahwa alternatif sumber air lain yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah daerah danau, muara sungai, atau pantai (laut) yang ada di sekitar gua. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang mampu menyediakan sumber bahan makanan sepanjang tahun.

Di samping berkenaan dengan upaya mengeksploitasi sumberdaya ling-kungan eksternal, terpilihnya gua sebagai tempat hunian merupakan produk pe-ngetahuan dan pengalaman manusia bahwa gua merupakan tempat ideal untuk ber-mukim, yang dapat melindungi mereka dari segala macam gangguan, serta memberi rasa nyaman dan aman (Clark 1960). Oleh karena itu hanya gua-gua yang layak hunilah yang akan dijadikan tempat bermukim. Ada pertimbangan dari manusia di dalam memilih gua-gua tertentu sebagai tempat hunian. Selain pertimbangan umum berupa faktor lingkungan eksternal, manusia juga me-merhatikan faktor lingkungan internal atau kondisi fisik gua itu sendiri. Gua-gua yang dihuni pada umumnya mempunyai karak-teristik sebagai berikut: gua terletak relatif sejajar atau di atas permukaan tanah, ukuran luas gua memadai, ruangan gua mendapat penyinaran matahari yang cuckup, ruangan gua tidak begitu lembab, sirkulasi udara dalam ruangan gua cukup baik, dan lantai gua relatif rata yang sebagian besar tersusun dari material tanah atau minimal campuran tanah dan batuan.

Penutup

Penelitian ini tidak lain merupakan suatu upaya untuk dapat merekonstruksi cara-cara hidup manusia masa lalu yang berdiam pada situs-situs gua prasejarah di Jawa Timur. Penelitian yang merupakan studi awal terhadap sejumlah situs gua ini

dilakukan melalui kajian hubungan budaya dan lingkungannya, dengan cara menerapkan strategi penelitian keruangan. Meskipun pengolahan dan interpretasi data dalam tulisan ini masih terbatas, namun dari hasil penelitian inilah dapat diperoleh keterangan mengenai lokasi situs, persebaran, serta korelasi antara situs dengan lingkungan fisiknya sebagai sumberdaya. Hubungan tersebut tentu saja berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia, baik dalam hal perolehan makanan, perlindungan diri, ataupun penempatan dirinya di muka bumi.

Dalam perspektif ekologi, kebu-dayaan dipandang sebagai hasil kemampuan manusia untuk dapat beradaptasi (adap-tability) terhadap lingkungan. Adaptasi dalam konteks arkeologi dapat dijelaskan melalui hubungan antara tinggalan arkeologi (situs dan budayanya) dengan lingkungan-nya. Situs-situs gua prasejarah di Jawa Timur dapat digunakan sebagai petunjuk cara adaptasi terhadap lingkungannya. Suatu bentuk lingkungan tertentu akan meng-akibatkan bentuk adaptasi yang tertentu pula. Hal ini menunjukkan bahwa peranan faktor lingkungan tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan suatu kelompok manusia. Oleh karena manusia pada masa prasejarah masih sangat menggantungkan hidupnya pada alam, maka hubungan yang begitu dekat antara manusia dengan lingkungan membawa konsekuensi bahwa manusia harus senantiasa beradaptasi dengan lingkungan yang ditempati. Budaya yang dihasilkan menunjukkan bentuk kearifan manusia dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya.

Keberadaan situs, persebarannya, dan korelasinya dengan lingkungan menun-jukkan daerah yang digarap manusia cukup luas, yaitu pada daerah hutan hujan tropis, padang rumput, dataran rendah, tepian sungai, dan daerah pesisir. Kenyataan ini membuktikan bahwa pendukung situs gua di

(14)

daerah ini menggarap lingkungan yang amat beragam. Selain area sekitar gua, perluasan kea rah dataran alluvial dan pesisir pantai menimbulkan asumsi bahwa terjadi perluasan territorial ekonomi sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup.

Daftar Rujukan

Bates, R.L. & Jackson, J.A. (eds.). 1985. Glossary of Geology. Virginia: American Geological Institute. Baumhoff, M.A. 1963. Ecological

Determinants of Aboriginal California Populations. American Archaeology and Ethnology 49 (hlm155-236). Berkeley: University of California.

Bemmelan, R.W. van. 1949 The Geology of Indonesia: General Geology of

Indonesia and Adjacent

Archipelagoes. Vol. I-A The Hague: Government Printing Office

Binford, L.R. 1983. In Pursuit of the Past. New York: Thames and Hudson. Butzer, K.W. 1976. Environment and

Archaeology: An Introduction to Pleistocene Geography. Chicago: Aldine Publishing Company.

Clark, G. 1960. Archaeology and Society. London: Metheun.

Clarke, D.L. (Ed.). 1977. Spatial Archaeology. London: Academic Press.

Es, L.J.C. van. 1930. The Prehistoric Remains of the Sampoeng Cave, Residency Ponorogo. Proceedings Fourth Pacific Congress, Java 1929, Vol. III, Biological Papers. Batavia-Bandoeng.

Heekeren, H.R. van. 1972. The Stone Age of Indonesia. VKI 61 (Second revised edition). The Hague: Martinus Nijhoff.

Hoop, A.N.J. Th. A. Th van der. 1941.

Catalogus der Praehistorisch

Verzameling. Bandoeng: A.C. Nix and Co.

Mangunsukardjo, K. 1986. Peranan Geomorfologi dalam Perencanaan Tata Ruang Menyongsong Tahun 2000. Yokyakarta: Fak. Geografi UGM-IGEGAMA.

Mundardjito. 1986. Penalaran Induktif-Deduktif dalam Arkeologi. PIA IV (hlm197-203). Jakarta: Puslitarkenas. _________. 1993. Pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs Masa Hindu-Buda di Daerah Yokyakarta:

Kajian Arkeologi Ruang Skala

Marko. Disertasi. Jakarta:

Universitas Indonesia.

Oudheidkundige Verslag. 1939. Opsporing en Onderzoek. Oudheidkundige Verslag 1938 (hlm 8-9), Plaat 17-20. Batavia: Kon. Drukkerij de Unie. Pannekoek, A.J. 1949. Outline of the

Geomorphology of Java. TAG Vol. LXVI. Leiden: E.J. Brill.

Ripley, S.D. 1979. Alam dan Margasatwa Asia Tropik. a.b. Banu Iskandar. Jakarta: Tira Pustaka.

Sartono, S. 1964. Stratigraphy and Sedimentation of the Eastern most Part of Gunung Sewu (East Java). Publikasi Teknik Seri Geologi Umum No. 1 (hlm 68-83). Bandung: Direktorat Geologi, Departemen Perindustrian Dasar/ Pertambangan. Semah, F. 1990. Mereka Menemukan Pulau

Jawa. Jakarta: Puslitarkenas.

Singarimbun, M. & Effendi, S. (Eds.). 1982. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Soebroto,Ph. 1995. Pola-pola Zonal Situs-situs Arkeologi. Berkala Arkeologi Th. XV-Edisi Khusus: (hlm133-138). Yogyakarta: Balai Arkeologi.

Soejono, R.P. 2010. Jaman Prasejarah di Indonesia. Dalam: M.D.

(15)

Poesponegoro dan N. Notosusanto (Eds.), Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: P.N. Balai Pustaka. Soetoto. 1986. Geologi Sebagian Daerah

Kali Gridulu Kabupaten Pacitan,

Jawa Timur Berdasarkan

Interpretasi Citra Landsat dan Foto Udara. Tesis. Yokyakarta: UGM. Thomas, D.H.. 1979. Archaeology. New

York: Holt, Rinehart and Winston. Trigger, B.G. 1968. The Determinant of

Settlement Patten. Dalam: K.C. Chang (Ed.), Settlement Archaeology (hlm 53-78). Palo Alto: National Press.

Verstappen, H. Th. 1983. Applied Geomorphology: Geomorphological

Surveys for Environmental

Management. Amsterdam: Elseivier Scientific Publishing Company. Vita-Finzi, C. & Higgs, E.S. 1970.

Prehistoric Economy on the Mount Carmel Area of Palestina: Site Catchment Analysis. Proceedings of the Prehistoric Society 36 (hlm. 1-37). London.

Whitmore, T.C. 1978. The Forest Ecosystems of Malaysia, Singapore, and Brunei: Discription Functioning and Research Needs. Tropical Forest Ecosystem: (hlm 641-653). Paris: UNESCO.

Referensi

Dokumen terkait

Koefisien transformasi regresi X2 untuk variabel DR adalah sebesar 0,748 Nilai koefisien menunjukkan bahwa a p a b i l a n i l a i DR meningkat satu satuan maka Return

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan “anggapan penyebab kecelakaan karena lingkungan kerja yang tidak aman” ... Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan “anggapan penyebab

Seribu candi prambanan merupakan kisah legenda dari Jawa yang mengisahkan tentang dua buah kerajaan, yaitu kerajaan Pengging asal mula dari seseorang yang sakti mandraguna

Tentu saja untuk mendapatkan keuntungan dari investasi Anda, Anda harus membeli barang saat harga lagi diskon lalu menjualnya disaat harga barang tersebut sedang berada

coba kerjakan tugas berikut ini dengan benar berilah tanda cek (3 3 3 3 3) untuk dokumen atau benda berharga yang dimiliki keluarga kalian.. no dokumen atau

Dengan ketiga pendekatan baru untuk menuju ketahanan pangan Indonesia berke- lanjutan 2025, strategi umum pembangunan ketahanan pangan adalah untuk: (1) mengembangkan

Sepertiyang telah dikaji, kajian tentang kesanracun organik bawangputih terhadap mortaliti kumbangbadak belum pemah dilakukan.Pengusahaladang-ladang kelapa sawit lebih memilih