• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sama. Angka tersebut yang akan menjadi indikator penilaian derajat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sama. Angka tersebut yang akan menjadi indikator penilaian derajat"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia tergolong masih tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya. Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan jumlah penduduk yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun yang dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Angka tersebut yang akan menjadi indikator penilaian derajat kesehatan masyarakat. Tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) dapat menyebabkan status kesehatan di suatu wilayah rendah (Kemenkes, 2013). Berdasarkan Laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 menunjukkan sebanyak 4,5 juta bayi meninggal pada tahun pertama kehidupannya. Negara Afrika merupakan salah satu penyumbang AKB tertinggi di dunia sebesar 55 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan Negara Eropa sebesar 10 per 1.000 kelahiran hidup. Secara global, AKB menurun dari 63 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Kematian bayi telah menurun dari 8,9 juta di tahun 1990 menjadi 4,5 juta pada tahun 2015.

Tingkat kematian bayi di Indonesia apabila dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya masih tergolong tinggi yakni 4,2 kali lebih tinggi dari Negara Malaysia, 1,2 kali lebih tinggi dari Negara Filipina dan 2,2

(2)

2 kali lebih tinggi dari Negara Thailand. Myanmar merupakan Negara yang memiliki AKB tertinggi dikawasan ASEAN yakni sebesar 47,9 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan Indonesia, Filipina, Laos dan Kamboja termasuk negara dengan AKB sedang. Kelima negara lain yaitu Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand dan Vietnam termasuk negara dengan AKB rendah. Dalam anggota ASEAN tidak ada negara yang termasuk dalam kelompok AKB sangat tinggi (>100 per 1.000 kelahiran hidup) (Kemenkes, 2013).

Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan AKB di Indonesia sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup (BPS dkk, 2008). Apabila dibandingkan dengan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan penurunan dari periode sebelumnya menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup (BPS dkk, 2013). AKB di Indonesia berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 sebesar 22,23 per 1.000 kelahiran hidup, yang artinya sudah mencapai target MDGs tahun 2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup dan target Renstra yang ditetapkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk AKB sebesar 24 per 1.000 kelahiran hidup (Kemenkes, 2016).

Terdapat dua provinsi di Indonesia yang telah mencapai target MDGs dan Renstra yaitu Kalimantan Timur dan DKI Jakarta yakni sebesar 21 dan 22 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan provinsi dengan AKB tertinggi berada di Papua Barat sebesar 74 per 1.000 kelahiran hidup.

(3)

3 Terdapat beberapa provinsi yang menunjukkan peningkatan kematian bayi antara tahun 2007-2012 yaitu Aceh sebesar 47 per 1.000 kelahiran hidup, Yogyakarta sebesar 25 per 1.000 kelahiran hidup, Kalimantan Tengah sebesar 49 per 1.000 kelahiran hidup, Sulawesi Tenggara sebesar 45 per 1.000 kelahiran hidup, Gorontalo sebesar 67 per 1.000 kelahiran hidup, Maluku Utara sebesar 62 per 1.000 kelahiran hidup, Papua Barat sebesar 74 per 1.000 kelahiran hidup, Papua dan Jawa Tengah sebesar 49 dan 32 per 1.000 kelahiran hidup (Kemenkes, 2013).

Angka Kematian Bayi di Provinsi Jawa Tengah tahun 2015 sebesar 10 per 1.000 kelahiran hidup, terjadi penurunan tetapi tidak signifikan dibandingkan AKB tahun 2014 yaitu 10,08 per 1.000 kelahiran hidup. Berdasarkan kabupaten/kota di Jawa Tengah AKB terendah berada di Kabupaten Jepara sebesar 6,35 per 1.000 kelahiran hidup dan AKB tertinggi berada di Kabupaten Grobogan sebesar 17,38 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan untuk AKB di Kabupaten Boyolali sebesar 8,64 per 1.000 kelahiran hidup (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2016). Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Boyolali 2017 menunjukkan jumlah kematian bayi bulan Januari 2016 sampai April 2017 sebesar 155 kematian bayi.

Faktor-faktor penyebab kematian bayi antara lain faktor sosial-ekonomi meliputi daerah tempat tinggal daerah (perkotaan dan pedesaan), pendidikan ibu, status kekayaan rumah tangga dan faktor demografi meliputi jenis kelamin bayi, umur ibu saat melahirkan, urutan kelahiran, jarak antar kelahiran, berat bayi saat lahir (BPS dkk, 2013). Kematian bayi

(4)

4 dapat pula disebabkan karena adanya komplikasi penyakit atau kelainan yang dapat menyebabkan kecacatan atau kematian, seperti asfiksia, ikterus, hipotermia, tetanus neonatorum, infeksi/sepsis, trauma lahir, BBLR (berat lahir < 2.500 gram), sindroma gangguan pernafasan dan kelainan kongenital maupun yang termasuk klasifikasi kuning dan merah pada pemeriksaan dengan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) (Kemenkes, 2015).

Pada Riskesdas tahun 2013 persentase berat badan lahir rendah (BBLR) sebesar 10,2%, persentase ini menurun apabila dibandingkan dengan Riskesdas 2010 sebesar 11,1% (Balitbangkes, 2014). Dalam penelitian Sharifzadeh dkk (2008), menyebutkan 57,7% kematian bayi dibawah usia satu tahun terjadi saat bulan pertama kehidupannya, penyebabnya 44,4% karena bayi lahir rendah dengan nilai p < 0,001. Hal ini sejalan dengan penelitian Rini (2014), menunjukkan bahwa bayi berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko 13,542 kali lebih besar mengalami kematian bayi dibandingkan dengan bayi berat badan lahir normal (BBLN) diperoleh nilai p=0,000.

Dalam penelitian Efriza (2007), menunjukkan bayi yang lahir dengan umur kehamilan prematur berisiko 3,94 kali lebih besar untuk mengalami kematian neonatal daripada bayi yang tidak prematur dengan nilai p=0,033. Hal ini bertentangan dengan penelitian Umah (2014), menyatakan tidak terdapat hubungan antara persalinan caesar dengan kematian neonatal diperoleh nilai p=0,363.

(5)

5 Berdasarkan penelitian Lolong (2015), menyebutkan bahwa ibu yang mengalami komplikasi persalinan berisiko 2,8 kali mengalami kematian neonatal. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Masitoh (2014), menunjukkan tidak ada hubungan komplikasi persalinan ibu dengan kematian neonatal.

Dalam penelitian Sunarsih dkk (2014), menyatakan bahwa ada pengaruh antara kelainan kongenital dengan kematian neonatal artinya kelainan kongenital 2,03 kali lebih berisiko terhadap kejadian kematian neonatal. Demikian pula dengan penelitian Mahmudah (2011), menyatakan kelainan kongenital mempunyai risiko 2,205 kali lebih besar untuk terjadinya kematian perinatal dibandingkan dengan bayi yang tidak mengalami kelainan kongenital dengan nilai p=0,006.

Dalam penelitian Ezeh dkk (2015), menyebutkan bahwa proses persalinan caesar berisiko mengalami kematian bayi daripada proses persalinan normal dengan nilai p=0,001. Berbeda dengan penelitian Sharifzadeh dkk (2008), menyatakan tidak ada hubungan antara proses persalinan caesar dengan kematian bayi diperoleh nilai p=0,007.

Berdasarkan penelitian Prabamurti (2008), menunjukkan nilai p=0,044 yang berarti bayi yang dilahirkan dari ibu yang pada saat persalinannya ditolong oleh dukun memiliki risiko kematian neonatal 6,07 kali lebih besar dibanding bayi yang lahir ditolong oleh tenaga medis. Hal ini bertentangan dengan penelitian Umah (2014), menyatakan tidak

(6)

6 terdapat hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal dengan nilai p=0,548.

Berdasarkan penelitian Sukamti (2011), menyatakan persalinan yang dilakukan selain di fasilitas pelayanan kesehatan memiliki risiko sebesar 1,16 kali lebih besar untuk kejadian kematian neonatal. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Umah (2014), yang menyatakan tidak ada hubungan antara tempat persalinan dengan kejadian kematian neonatal dengan nilai p=0,674.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin mengetahui tentang faktor–faktor apa yang menyebabkan kejadian kematian bayi berdasarkan riwayat kelahirannya terutama mengenai BBLR, kelahiran prematur, komplikasi persalinan, kelainan kongenital, proses persalinan, penolong persalinan dan tempat persalinan di Kabupaten Boyolali.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kematian Bayi di Kabupaten Boyolali?”

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kematian bayi di Kabupaten Boyolali.

(7)

7 2. Tujuan Khusus

a. Untuk menganalisis hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan kematian bayi di Kabupaten Boyolali.

b. Untuk menganalisis hubungan antara kelahiran prematur dengan kematian bayi di Kabupaten Boyolali.

c. Untuk menganalisis hubungan antara komplikasi persalinan dengan kematian bayi di Kabupaten Boyolali.

d. Untuk menganalisis hubungan kelainan kongenital dengan kematian bayi di Kabupaten Boyolali.

e. Untuk menganalisis hubungan antara proses persalinan dengan kematian bayi di Kabupaten Boyolali.

f. Untuk menganalisis hubungan penolong persalinan bayi dengan kematian bayi di Kabupaten Boyolali.

g. Untuk menganalisis hubungan tempat persalinan bayi dengan kematian bayi di Kabupaten Boyolali.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Sebagai informasi mengenai faktor-faktor risiko terjadinya kematian bayi, sehingga menambah pengetahuan petugas kesehatan dan masyarakat untuk dapat menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB).

(8)

8 2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Untuk menambah informasi dan pengetahuan mengenai faktor-faktor risiko terjadinya kematian bayi.

b. Bagi Bidang Akademik

Diharapkan dapat dijadikan referensi bagi dunia pendidikan mengenai faktor-faktor risiko terjadinya kematian bayi.

c. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali

Diharapkan sebagai bahan referensi dalam menentukan kebijakan kesehatan selanjutnya, sehingga dapat menekan atau menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB).

d. Bagi Masyarakat

Untuk menambah pengetahuan dan informasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat melakukan pencegahan dini dan menghindari risiko tinggi kematian bayi.

Referensi

Dokumen terkait

Hal itu juga dimungkinkan karena logam Pb memiliki massa atom relatif yang besar sehingga mengakibatkan vibrasi dari gugus C-N dan C=O setelah berinteraksi

81,4 lebih baik dari pada kelas dengan pembelajaran konvensional dengan rata-rata nilai sebesar 76,8; dan (3) Hasil uji peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik

107 Muhammad Saoban Politeknik Negeri Bandung Teknik Pendingin dan Tata Udara 108 MUHAMMAD TANJONG POLITEKNIK NEGERI UJUNG PANDANG TEKNIK KONVERSI ENERGI 109 muhammad ya reza

 Ekspansi ini diharapkan dapat mendukung target penjualan CSAP pada tahun 2018 yang diharapkan naik 14% menjadi Rp11 triliun dibandingkan dengan tahun lalu.. Penjualan dari

Terdengar seperti menggosok ibu jari dengan jari telunjuk dengan tekanan yang cukup keras pada pangkal telinga kita, terdengar pada fase inspirasi dan ekspirasi.

Item pertanyaan yang juga memperoleh skor tinggi terdapat pada item nomor 10 yaitu soal yang ada pada LKS menantang saya untuk berpikir kritis Hal ini sejalan dengan

Kondisi tersebut juga ada yang mengalaminya di antara para santri puteri Pondok Pesantren al-Masyitoh. Ada dua orang yang siklus haidnya tidak tera- tur terjadi setiap bulan.

Purata pekali air larian daripada kawasan adalah 0.65, yang dikira berdasarkan kawasan tidak telap dari kawasan kediaman pembangunan bercampur (e.g Banglo,