• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. DM merupakan gangguan metabolisme secara genetis dan klinis yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. DM merupakan gangguan metabolisme secara genetis dan klinis yang"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar DM Tipe 2 2.1.1 Definisi DM Tipe 2

DM merupakan gangguan metabolisme secara genetis dan klinis yang disebabkan oleh gagalnya penguraian zat gula di dalam tubuh disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal. Seseorang dapat dikatakan menderita penyakit DM apabila kadar glukosa darah bernilai antara 110-126 mg/dl, tes glukosa darah sewaktu atau acak bernilai 200 mg/dl, atau tes glukosa darah dua jam setelah makan bernilai 140-200 mg/dl (Price & Wilson, 2006; Mistra, 2005). Menurut American Diabetes Associaton (2009), klasifikasi DM terbagi menjadi empat bagian yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain dan DM Gestational.

DM tipe 2 merupakan diabetes yang tidak tergantung pada insulin. DM tipe 2 terjadi akibat penurunan dari sensitivitas terhadap insulin ataupun akibat penurunan jumlah produksi insulin. DM tipe 2 lebih sering ditemukan pada dewasa usia diatas 45 tahun, karena pada usia tersebut tubuh mengalami banyak perubahan terutama pada organ pankreas yang memproduksi insulin dalam darah (Suyono, 2007).

(2)

8

2.1.2 Kadar Gula Darah pada DM Tipe 2

Kadar gula darah adalah gula yang terdapat dalam darah yang terbentuk dalam makanan dan disimpan sebagai glikogen di hati dan otot rangka (Joyce LeeFever, 2007). Dalam jumlah tertentu, gula darah memang sangat dibutuhkan untuk bahan bakar atau sumber energi. Dalam keadaan sehat, tubuh kita akan menyerap glukosa dalam jumlah yang tepat dari makanan kemudian menyimpan sisanya. Gula tersebut dibutuhkan tubuh sebagai bahan bakar. Jika sel darah merah menghabiskan 30 gram gula setiap harinya, sedangkan sistem saraf pusat membutuhkan lebih banyak lagi yaitu sekitar 150 gram, jadi karbohidrat yang menjadi sumber gula dibutuhkan untuk memenuhi setengah dari jumlah total kalori yang dibutuhkan tubuh setiap hari (Prodia, 2008).

Pasien DM tipe 2 tidak mampu menggunakan atau menyimpan sebagian besar gula yang diserap dari makanan, sehingga gula tersebut tetap berada dalam darah, dan gula dalam darah yang berlebihan dapat menimbulkan berbagai macam masalah yang disebut sebagai komplikasi diabetes (Prodia, 2008).

Tabel 2.1 Kadar Gula Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring Diagnosis DM Tipe 2 (Sudoyo, 2009)

Bukan DM Belum Pasti DM DM

Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dL) Plasma vena <100 100-199 >200 Darah kapiler <90 90-199 >200 Kadar glukosa darah puasa (mg/dL) Plasma vena <100 100-125 >126 Darah kapiler <90 90-99 >100

Seseorang dapat dikatakan mengalami DM Tipe 2 apabila kadar gula darah puasa bernilai antara 110-126 mg/dL, tes gula darah sewaktu atau acak bernilai >

(3)

9

200 mh/dL, atau tes gula darah dua jam setelah makan bernilai 140-200 mg/dL (Price & Willson, 2006). DM Tipe 2 diakibatkan karena sel-sel tubuh tidak mampu merespon kerja insulin sebagaimana mestinya sehingga terdapat kelainan dalam mengikat insulin dengan reseptor. Kelainan ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transport glukosa. Ketidaknormalan ini mengganggu kerja insulin dan pada akhirnya timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin (Price & Wilson, 2006).

2.1.3 Patofisiologi DM Tipe 2

DM tipe 2 disebut juga dengan DM tidak tergantung insulin yang disebabkan oleh penurunan sensitivitas jaringan target terhadap efek metabolik insulin. Penurunan sensitivitas insulin ini sering disebut dengan resistensi insulin. Penurunan sensitivitas insulin menganggu penggunaan dan penyimpanan karbohidrat yang akan meningkatkan sekresi insulin atau peningkatan konsentrasi insulin plasma (hiperinsulinemia) sebagai upaya kompensasi oleh sel beta pankreas terhadap penurunan sensitivitas jaringan terhadap efek metabolisme insulin (Guyton & Hall, 2007). Gangguan metabolik yang terjadi bergantung pada derajat penurunan kerja insulin. Jaringan adiposa paling peka terhadap kerja insulin. Oleh karena itu, rendahnya aktivitas insulin dapat menyebabkan penekanan lipolisis dan peningkatan penyimpanan lemak. Kadar insulin yang lebih tinggi diperlukan untuk melawan efek glukagon di hati dan menghambat pengeluaran glukosa oleh hati (Ganong & McPhee, 2010 ).

(4)

10

Penurunan ringan kerja insulin berawal dari bermanifestasi sebagai ketidakmampuan jaringan peka-insulin untuk mengurangi beban glukosa. Secara klinis hal ini menimbulkan hiperglikemia pasca makan. Penyandang DM tipe 2 yang masih menghasilkan insulin tetapi mengalami peningkatan resistensi insulin akan memperlihatkan gangguan uji toleransi glukosa. Jika efek insulin semakin menurun, efek glukagon terhadap hati tidak mendapatkan perlawanan yang berarti sehingga terjadi hiperglikemia pasca makan dan hiperglikemia puasa. Selain menyebabkan gangguan metabolik, DM juga menyebabkan beragam penyulit kronik yang menjadi penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas yang berkaitan dengan penyakit ini. Penyulit DM sebagian besar disebabkan oleh kelainan vaskular yang mengenai sistem mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan beberapa tipe neuropati) dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit vaskular perifer) (Ganong & McPhee, 2010).

2.1.4 Tanda dan Gejala DM Tipe 2

Gejala DM tipe 2 hampir sama dengan DM tipe 1, akan tetapi penderita DM tipe 2 lebih resisten terhadap ketosis. Penurunan berat badan dapat menjadi gambaran awal pada pasien DM tipe 2, namun penurunan berat badan tersebut tidak signifikan dan tidak terlalu diperhatikan. Sebagian besar penderita DM tipe 2 yang baru terdiagnosis memiliki berat badan yang berlebih (Booker, 2009). Menurut Corwin (2009), gejala lain yang biasa muncul pada pasien DM tipe 2 yaitu :

a. Poliuria (peningkatan pengeluaran urine) terjadi apabila peningkatan glukosa melebihi nilai ambang ginjal untuk reabsorpsi glukosa, maka akan terjadi

(5)

11

glukossuria. Hal ini menyebabkan diuresis osmotic yang secara klinis bermanifestasi sebagai poliuria.

b. Polidipsia (peningkatan rasa haus) terjadi karena tingginya kadar glukosa darah yang menyebabkan dehidrasi berat pada sel di seluruh tubuh. Hal ini terjadi karena glukosa tidak dapat dengan mudah berdifusi melewati pori-pori membran sel.

c. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien diabetes kronis juga berperan menyebabkan kelelahan.

d. Polifagia (peningkatan rasa lapar) terjadi karena penurunan aktivitas kenyang di hipotalamus. Glukosa sebagai hasil metabolisme karbohidrat tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga menyebabkan terjadinya kelaparan sel.

2.1.5 Faktor Resiko DM Tipe 2 a. Obesitas

Obesitas adalah tanda utama yang menunjukkan seseorang dalam keadaan pradiabetes. Obesitas merusak pengaturan energi metabolisme dengan dua cara, yaitu menimbulkan resistensi leptin dan meningkatkan resistensi insulin. Leptin adalah hormon yang berhubungan dengan gen obesitas. Leptin berperan dalam hipotalamus untuk mengatur tingkat lemak tubuh dan membakar lemak menjadi energi. Orang yang mengalami kelebihan berat badan, kadar leptin dalam tubuh akan meningkat. (D’Adamo, 2007).

(6)

12

b. Faktor genetik

Keturunan atau genetik merupakan penyebab utama diabetes. Jika kedua orang tua memiliki DM tipe 2, ada kemungkinan bahwa hampir semua anak-anak mereka akan menderita diabetes. Pada kembar identik, jika salah satu kembar mengembangkan DM tipe 2, maka hampir 100% untuk kembar yang lain berpotensi untuk terkena DM tipe 2 (Waspadji, 2004).

c. Usia

Usia adalah salah satu faktor yang paling umum yang mempengaruhi individu untuk mengalami diabetes. Faktor resiko meningkat secara signifikan setelah usia 45 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia ini individu kurang aktif, berat badan akan bertambah dan massa otot akan berkurang sehingga menyebabkan disfungsi pankreas. Disfungsi pankreas dapat menyebabkan peningkatan kadar gula dalam darah karena tidak diproduksinya insulin (D’Adamo, 2007).

d. Makanan

Tubuh secara umum membutuhkan diet seimbang untuk menghasilkan energi untuk melakukan fungsi-fungsi vital. Terlalu banyak makanan, akan menghambat pankreas untuk menjalankan fungsi sekresi insulin. Jika sekresi insulin terhambat maka kadar gula dalam darah akan meningkat (Waspadji, 2004). Individu yang obesitas harus melakukan diet untuk mengurangi pemasukan kalori sampai berat badannya turun mencapai batas yang ideal. Penurunan kalori yang moderat (500-1000 Kkal/hari) akan menghasilkan penurunan berat badan yang perlahan tapi progresif (0,5-1 kg/minggu).

(7)

13

Penurunan berat badan 2,5-7 kg akan memperbaiki kadar glukosa darah (Price & Willson, 2006).

e. Kurang Aktivitas

Kurangnya aktivitas dapat memicu timbulnya obesitas pada seseorang dan kurang sensitifnya insulin dalam tubuh sehingga dapat menimbulkan penyakit DM (D’adamo, 2007). Mekanisme aktivitas fisik dapat mencegah atau menghambat perkembangan DM tipe II yaitu penurunan resistensi insulin, peningkatan toleransi glukosa, penurunan lemak adipose, pengurangan lemak sentral; perubahan jaringan otot (Kriska, 2007).

f. Stres

Stres akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin (Smeltzer and Bare, 2008).

2.1.6 Penatalaksanaan DM Tipe 2

Tujuan utama penatalaksanaan DM adalah untuk mencegah komplikasi dan menormalkan aktivitas insulin di dalam tubuh. penatalaksanaan DM terdiri dari empat pilar yaitu edukasi, diet, latihan jasmani dan pengobatan secara farmakologi (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011).

a. Edukasi

Tujuan dari edukasi adalah mendukung usaha pasien yang menderita DM untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya, mengetahui cara pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan atau komplikasi yang mungkin

(8)

14

timbul secara dini, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, disertai perubahan perilaku kesehatan yang diperlukan (Suzanna Ndraha, 2014).

b. Diet

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak sesuai dengan kecukupan gizi baik, yaitu karbohidrat : 45-65 % total asupan energi, protein : 10-20 % total asupan energi, lemak : 20-25% kebutuhan kalori. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas fisik maupun psikis dan untuk mempertahankan berat badan agar mendekati ideal (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006).

c. Latihan Jasmani

Latihan jasmani akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga dapat diperbaiki dengan berolahraga. Penderita DM harus diajarkan untuk selalu melakukan latihan pada saat yang sama dan intensitas yang sama setiap harinya (Brunner & Suddart, 2005).

(9)

15

Jenis latihan fisik yang dianjurkan pada penderita DM adalah olah raga

aerobic yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran tubuh

khususnya meningkatkan fungsi dan efisiensi metabolisme tubuh. Salah satu olah raga aerobic yang dianjurkan untuk penderita DM tipe 2 adalah senam diabetes (Puji, 2007).

Senam Diabetes Indonesia merupakan senam aerobic low impact dan ritmis yang telah dilaksanakan sejak tahun 1997 di klub-klub diabetes di Indonesia (Santoso, 2006). Senam diabetes dilakukan dengan intensitas moderat (60-70 maksimum heart rate), durasi 30-60 menit dengan frekuensi 3-5 kali/ minggu dan tidak lebih dari dua hari berturut-turut tidak melakukan senam (Soegondo, 2007).

d. Farmakologi

Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2006) pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan: a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue):

(10)

16

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan untuk menggunakan sulfonilurea jangka panjang.

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea, yaitu dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.

b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: tiazolidindion

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator

Activated Receptor Gamma (PPARg), suatu reseptor inti di sel otot dan sel

lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.

(11)

17

Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

c. Penghambat glukoneogenesis (metformin)

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Metformin dapat diberikan pada saat atau sesudah makan untuk mengurangi keluhan mual tersebut. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.

d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. e. DPP-IV inhibitor

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang

dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1

(12)

18

merupakan perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase 4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1 (9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat pelepasan glukagon.

Selain terapi oral terdapat juga terapi berupa suntikan, yang termasuk di dalamnya yaitu :

a. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan: 1. Penurunan berat badan yang cepat 2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis 3. Ketoasidosis diabetik

4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik 5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat

(13)

19

7. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

8. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan

9. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat 10. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu: 1. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

2. Insulin kerja pendek (short acting insulin)

3. Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin) 4. Insulin kerja panjang (long acting insulin)

5. Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed

insulin).

Efek samping terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

b. Agonis GLP-1

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses

(14)

20

glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.

2.1.7 Komplikasi DM Tipe 2

Kondisi hiperglikemia kronis pada DM Tipe 2 baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berdampak pada kelainan vaskuler dan hal tersebut dapat menjadi sumber morbiditas dan mortalitas bagi pasien DM Tipe 2. Menurut Price & Wilson (2006), komplikasi DM Tipe 2 dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :

a. Komplikasi akut

1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Penurunan aktivitas insulin tidak hanya menyebabkan peningkatan kadar glukosa serum tapi menyebabkan pula ketosidosis. Tanpa adanya insulin, lipolisis terpacu sehingga asam-asam lemak dihasilkan yang cenderung diubah menjadi badan keton di hati oleh efek glukagon yang tidak terimbangi (Ganong & McPhee, 2010]). Trias KAD yaitu hiperglikemia (300-600 mg/dl), asidosis, dan ketosis (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011).

2. Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah kurang dari 60 mg/dl. Hipoglikemia sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak keringat, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah penurunan kesdaran hingga koma). Perlu pengelolaan segera apabila terjadi

(15)

21

hipoglikemia karena serangan hipoglikemia yang sering dan lama dapat menyebabkan kematian otak permanen ataubahkan kematian (Price & Wilson, 2006).

3. Hiperglikemia Hiperosmolar Koma Non Ketotik (HHNK)

Komplikasi ini sering muncul pada DM tipe 2. Komplikasi ini tidak disebabkan oleh defisiensi insulin absolut, tetapi relatif. Hiperglikemia (600-1200 mg/dl) terjadi tanpa adanya ketosis, dan tanpa tanda dan gejala asidosis. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas (330-380 mOs/ml) (Price & Wilson, 2006).

b. Komplikasi kronis

1. Komplikasi makroangiopati

Makroangiopati memiliki gambaran histopatologis berupa arterosklerosis yang disebabkan oleh penimbunan sorbitol dalam tunika intima vaskular. Makroangiopati dapat menyebabkan penyumbatan vaskular. Jika arterosklerosis mengenai arteri-arteri perifer, maka menyebabkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai dengan klaudikasio intermiten dan ganggren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika arterosklerosis mengenai arteri koronaria dan aorta, maka dapat menyebabakan angina dan infark miokardium (Price & Wilson, 2006).

2. Komplikasi mikroangiopati a) Retinopati diabetik

Ada kaitan antara hiperglikemia dengan insiden dan berkembangnya retinopati. Terdapat penimbunan sorbitol pada lensa mata sehingga

(16)

22

menyebabkan terbentuknya kebutan dan katarak. Manifestasi dini dari retinopati yaitu mikroaneurisma dari arteriol retina. Hal ini mengakibatkan pendarahan, neovaskularisasi, dan jaringan parut pada retina dapat menyebabkan kebutaan (Price & Wilson, 2006).

b) Nefropati diabetik

Manifestasi dini berupa proteinuria dan hipertensi. Apabila kehilangan fungsi nefron terus berlanjut, maka pasien selanjutnya akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia (Price & Wilson, 2006).

c) Neuropati diabetik

Komplikasi ini disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa-sorbito-fruktosa) akibat kekurangan insulin. Penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol dapat menimbulkan neuropati (Price & Wilson, 2006).

2.2 Konsep Dasar Latihan Slow Deep Breathing 2.2.1 Definisi Latihan Slow Deep Breathing

Penerapan praktek keperawatan yang terus berkembang, tentunya perawat akan semakin dihargai sebagai profesi dan memiliki ilmu tersendiri, dalam arti bukan ilmu kedokteran atau ilmu medis tetapi sudah ilmu keperawatan yang dapat diterapkan pada klien.dan produk jasa yang dikeluarkan berupa asuhan keperawatan akan dapat dirasakan oleh masyarakat selaku penerima jasa keperawatan. Salah satu teori yang sedang dikembangkan adalah teori keperawatan Dorothea E.Orem yaitu teori Self Care (Nursalam, 2003).

(17)

23

Orem dalam teori sistem keperawatannya menggarisbawahi tentang bagaimana kebutuhan self-care klien dapat dipenuhi oleh perawat, klien atau kedua-duanya. Sistem keperawatan dirancang oleh perawat berdasarkan kebutuhan self-care dan kemampuan klien dalam menampilkan aktivitas self-care. Apabila ada self-care deficit, yaitu defisit antara apa yang bisa dilakukan (selfcare

agency) dan apa yang perlu dilakukan untuk mempertahankan fungsi optimum

(self-care demand), disinilah keperawatan diperlukan (Orem, 2001). Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien yang mengacu pada teori Self

Care berprinsip pada usaha menolong atau membantu pasien individu yang tidak

mampu untuk terlibat dalam tindakan self-care yang memerlukan kemandirian dan ambulasi yang terkontrol serta pergerakan manipulatif atau penatalaksanaan medis untuk menahan diri dari aktivitas-aktivitas, perawat dan klien melakukan tindakan care atau tindakan lain yang bersifat manipulatif atau ambulasi di mana baik klien maupun perawat mempunyai peran yang besar dalam pelaksanaan tindakan perawatan, seseorang mampu melaksanakan atau bisa dan harus belajar untuk melakukan tindakan self-care terapeutik yang diperlukan yang berorientasi secara eksternal atau internal tapi tidak bisa melakukannya tanpa bantuan (Orem, 2001).

Hasil akhir dari tindakan keperawatan menurut Orem adalah adanya peran perawat sebagai pendidik atau konsultan dalam meningkatkan kemampuan klien sebagai self-care agent sehingga diharapkan kemandirian pasien berangsur-angsur dapat terwujud (Orem, 2001). Perawat berupaya untuk memandirikan penderita DM tipe 2 dalam mengelola penyakitnya agar tercapai pengontrolan gula darah

(18)

24

dan pencegahan terhadap komplikasi yang mungkin timbul akibat DM tipe 2. Upaya mandiri yang dilakukan oleh penderita DM tipe 2 yaitu melakukan salah satu terapi komplementer yaitu latihan Slow Deep Breathing.

Slow Deep Breathing merupakan tindakan yang disadari untuk mengatur

pernapasan secara dalam dan lambat yang dapat menimbulkan efek relaksasi. Terapi relaksasi banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat mengatasi berbagai masalah misalnya stres, ketegangan otot, nyeri, hipertensi, gangguan pernapasan, dan lain-lain. Relaksasi secara umum merupakan keadaan menurunnya kognitif, fisiologi, dan perilaku (Potter & Perry, 2006). Slow Deep

Breathing adalah metode bernapas yang frekuensi bernapas kurang dari 10 kali

permenit dengan fase ekshalasi yang panjang (Breathesy, 2007).

2.2.2 Manfaat Latihan Slow Deep Breathing

Latihan Slow Deep Breathing merupakan teknik relaksasi termudah karena pernafasan merupakan tindakan yang dapat dilakukan secara normal tanpa berfikir atau merasa ragu. Manfaat dari latihan Slow Deep Breathing adalah untuk mengurangi stress baik stress fisik maupun stress emosional. ( National Safety Council, 2004).

2.2.3 Prosedur Latihan Slow Deep Breathing

Langkah-langkah dalam latihan Slow Deep Breathing, menurut University of

Pittsburgh Medical Center, (2004).

a. Atur pasien dengan posisi duduk.

(19)

25

c. Anjurkan melakukan napas secara perlahan dan dalam melalui hidung dantarik napas selama 3 detik, rasakan abdomen mengembang saat menarik napas.

d. Tahan napas selama 3 detik.

e. Kerutkan bibir, keluarkan melalui mulut dan hembuskan napas secara perlahan selama 6 detik. Rasakan abdomen bergerak ke bawah.

f. Ulangi langkah 1 sampai 5 selama 15 menit.

g. Latihan Slow Deep Breathing dilakukan dengan frekuensi 3 kali sehari.

2.2.4 Hubungan Latihan Slow Deep Breathing dengan Penurunan Kadar Gula Darah

Slow Deep Breathing merupakan tindakan yang disadari untuk mengatur

pernapasan secara dalam dan lambat. Pengendalian pengaturan pernapasan secara sadar dilakukan oleh korteks serebri, sedangkan pernapasan yang spontan atau automatic dilakukan oleh medulla oblongata (Martini, 2006). Napas dalam lambat dapat menstimulasi respons saraf otonom, yaitu dengan menurunkan respons saraf simpatis dan meningkatkan respons parasimpatis. Stimulasi saraf simpatis meningkatkan aktivitas tubuh, sedangkan respons parasimpatis lebih banyak menurunkan ativitas tubuh sehingga dapat menurunkan aktivitas metabolic (Velkumary, G.K.P.S., & Madanmohan, 2004). Mekanisme penurunan metabolism tubuh pada pernapasan lambat dan dalam masih belum jelas, namun menurut hipotesanya napas dalam dan lambat yang disadari akan mempengaruhi sitem saraf otonom melalui penghambatan sinyal reseptor peregangan dan arus hiperpolarisasi baik melalui jaringan saraf dan non-saraf dengan

(20)

26

mensinkronisasikan elemen saraf di jantung, paru-paru, sitem limbik dan korteks serebri. Selama inspirasi, peregangan jaringan paru menghasilkan sinyal inhibitor atau penghambat yang mengakibatkan adaptasi reseptor peregangan lambat atau

slowly adapting stretch reseptors (SARs) dan hiperpolarisasi pada fibroblas.

Kedua penghambat hantaran impuls dan hiperpolarisasi ini untuk menyinkronkan unsur saraf yang menuju ke modulasi sistem saraf dan penurunan aktivitas metabolik yang merupakan status saraf parasimpatis. Penurunan aktivitas metabolik diharapkan dapat menurunkan kebutuhan insulin sehingga kadar gula darah dapat menurun (Jerath, et al., 2006).

Referensi

Dokumen terkait

Simpan file dengan nama “MyFirstProject” dilokasi yang mudah kamu temukan pada komputer.. Pastikan nama projek telah ditampilkan pada

In terms of surface roughness, the outer surface of the PVDF hollow fiber membranes were compared using various roughness parameters such as the mean

Perawatan dapat dibagi menjadi beberapa macam, tergantung dari dasar yang dipakai untuk menggolongkannya, tetapi pada dasarnya terdapat dua kegiatan pokok dalam

Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) mengenai edukasi dan sosialisasi Gema Cermat seperti ini perlu dilakukan juga di daerah lain untuk mengurangi resiko kesehatan

mendengarkan permasalahan lansia dipanti dan mengenali pikiran-pikiran negatif lansia yang muncul sehingga lansia tidak akan mengalami depresi, terapi kognitif

Siswa melakukan presentasi di depan kelas mengenai hasil pengamatan yang mereka peroleh Siswa melakukan praktikum dengan mengamati spesimen yang sudah dibawa lalu mengisi lembar

Sumber Keragaman Derajat bebas Kuadrat Jumlah Kuadrat Tengah F.. Analisis

(2) Dalam menetapkan persyaratan bangunan gedung semi-permanen dan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan fungsi