• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN KAJIAN NORMATIF INVESTASI PERTAMBANGAN BERKELANJUTAN DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN KAJIAN NORMATIF INVESTASI PERTAMBANGAN BERKELANJUTAN DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

KAJIAN NORMATIF INVESTASI PERTAMBANGAN

BERKELANJUTAN DAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

Oleh :

Wahyu Jati Kusuma, S.H., M.H.

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL

(2)

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya dengan kandungan mineral dan batubara yang merupakan sumber daya alam yang menjanjikan untuk menarik investasi di bidang pertambangan. Indonesia menempati posisi produsen terbesar kedua untuk komoditas timah, posisi terbesar keempat untuk komoditas tembaga, posisi kelima untuk komoditas nikel, posisi terbesar ketujuh untuk komoditas emas, dan posisi kedelapan untuk komoditas batubara, sehingga mempunyai potensi besar sebagai negara tujuan investasi di bidang pertambangan.1

Manfaat yang dapat diperoleh Bangsa Indonesia sebagai pemilik kekayaan sumber daya mineral dan batubara bersumber dari pengusahaan sumber daya tersebut diantaranya dalam bentuk Iuran Eksplorasi/Iuran Ekplorasi/Royalti yaitu pembayaran kepada Pemerintah sehubungan dengan pemanfaatan kandungan mineral yang berasal dari suatu wilayah pertambangan yang diusahakan sehingga pengusaha memperoleh kesempatan untuk menikmati hasil dari kandungan mineral dan batubara tersebut.

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 33 (3) mengatur bahwa bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagai salah satu sumber daya yang tak terbaharui (unrenewable) dan dapat memberikan nilai tambah maka mineral dan batubara menempati posisi yang sentral dalam menopang perekonomian Negara dan kesejahteraan rakyat, oleh karena itu Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan mempunyai kewenangan dalam menentukan kebijakan dan melakukan pengusahaan terhadap sumber daya mineral dan batubara di wilayah Indonesia untuk mencapai tujuan yang tercantum dalam Pasal 33 (3) UUD 1945.

Sumber daya mineral dan batubara sebagai salah satu kekayaan alam yang dimiliki Bangsa Indonesia, apabila dikelola dengan baik akan

(3)

memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi Negara. Dalam hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945, Pemerintah sebagai penguasa sumber daya tersebut, harus mengatur tingkat penggunaannya untuk mencegah pemborosan potensi yang dikuasainya dan dapat mengoptimalkan pendapatan dari pengusahaan sumber daya tersebut sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Dalam pelaksanaan kewenangannya, maka pemerintah pada tahun 2009 menerbitkan peraturan perundangan-undangan yang mengatur mengenai pertambangan mineral dan batubara yaitu melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Nomor 4/2009) yang menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (UU Nomor 11/1967). Perubahan aturan perundang-undangan di bidang pertambangan ini membawa beberapa perubahan mendasar terkait dengan usaha pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.

Perkembangan investasi pertambangan mineral dan batubara di Indonesia akan bersentuhan dengan sektor-sektor yang lain diantaranya adalah sektor lingkungan, sektor tata ruang maupun sektor kehutanan. Investor seringkali mempunyai pandangan bahwa investasi pertambangan adalah semata-mata kegiatan bisnis dan tidak ada kaitannya dengan berbagai sektor lain, investor seringkali lebih mengedepankan tujuan utama mereka yaitu untuk secepat mungkin mengejar keuntungan dari kegiatan usaha mereka. Sedangkan efek dari kegiatan investor terhadap lingkungan ataupun daerah tempat dimana mereka melakukan kegiatan investasi seringkali terlupakan.

Pengelolaan lingkungan yang baik oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan mutlak dibutuhkan agar kegiatan pertambangan yang merupakan kegiatan usaha yang berskala besar seringkali menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan tempat dimana kegiatan pertambangan tersebut dilakukan. Lingkungan pertambangan seringkali mengalami perubahan yang sangat masif akibat kegiatan usaha

(4)

pertambangan dimana kegiatan tersebut menggunakan alat berat, zat kimia dan dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Selain terjadinya perubahan lingkungan tambang, terdapat juga efek lain dari kegiatan usaha pertambangan yang berada di sekitar daerah dimana masyarakat beraktifitas. Masyarakat yang berada di sekitar kegiatan usaha pertambangan akan merasakan perubahan dari sisi sosial dan budaya mereka. Hal tersebut terjadi dikarenakan tingkat esklusifitas perusahaan pertambangan yang sangat tinggi.

Selain terjadi degradasi kualitas lingkungan di sekitar tempat tinggal masyarakat, seringkali masyarakat terutama masyarakat adat menjadi terbatas ruang geraknya akibat munculnya kegiatan usaha pertambangan di daerah mereka Hal ini diperburuk oleh rendahnya kemampuan sumber daya manusia (SDM) khususnya di daerah indonesia timur sehingga menempatkan masyarakat hanya sebagai ”penonton” dalam kegiatan usaha pertambangan yang berlangsung di daerah mereka. Daya tawar masyarakat terkait ketidakseimbangan yang dialami oleh mereka juga dirasa tidak terlalu kuat ketika berhadapan dengan investor, sehingga diperlukan peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melindungi kepentingan masyarakat agar nantinya keberadaan kegiatan usaha pertambangan selain dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional maupun meningkatkan pendapatan daerah, kegiatan usaha pertambangan juga diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup rakyat, khususnya masyarakat sekitar tambang.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah ada diatas, dapat ditarik beberapa perumusan masalah yang menarik untuk dianalisa dan dikaji di dalam penelitian ini. Perumusan masalah tersebut adalah: 1. Bagaimanakah investasi pertambangan yang berkelajutan dan

berwawasan lingkungan menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009?

(5)

2. Bagaimanakah agar investasi pertambangan yang berkelajutan dan berwawasan lingkungan dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan di tingkat daerah?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan dari penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yang terdiri atas :

1. Menganalisa peraturan investasi pertambangan di Indonesia yang terkait dengan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

2. Menganalisa substansi pengaturan kegiatan investasi pertambangan di Indonesia dan substansi pengaturan yang terkait dengan kepentingan-kepentingan yang ada di tingkat daerah.

4. Kegunaan Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini, maka ke depannya diharapkan hasil penelitian ini dapat memperoleh kegunaan sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

a. Sebagai masukan bagi peraturan perundang-undangan terkait pembangunan berkelanjutan di bidang investasi pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.

b. Sebagai masukan bagi peraturan-peraturan yang terkait dengan hukum investasi di Indonesia, khususnya investasi di bidang pertambangan.

2. Kegunaan Praktis

a. Memberikan masukan bagi Pemerintah maupun Pelaku Usaha yang bergerak di bidang investasi pertambangan mineral dan batubara, khususnya dalam pengelolaan lingkungan pertambangan. b. Memberikan masukan bagi Pemerintah Pusat maupun pemerintah

daerah dalam mengatur kegiatan investasi pertambangan agar lebih bermanfaat bagi pemerintah daerah dan masyarakat daerah.

(6)

B. METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode Pendekatan

Penelitian ini merupakan tipe penelitian yuridis normatif melalui metode pendekatan masalah yang meliputi pendekatan undang-undang (statue approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach).

Metode pendekatan undang-undang (statue approach)2 dilakukan melalui kegiatan untuk mengumpulkan peraturan-peraturan yang terkait dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini sehingga dapat dijadikan referensi dalam memecahkan isu hukum yang diajukan.

Metode pendekatan konseptual (conseptual approach)3 dilakukan dengan mengumpulkan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum yang terkait dengan hal-hal yang akan diteliti. Pendekatan ini diperlukan untuk menemukan prinsip-prinsip hukum guna membangun suatu konsep hukum.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif,4 karena dalam penelitian ini bertujuan untuk membuat gambaran secara umum dan menyeluruh tentang suatu keadaan secara obyektif dalam suatu situasi. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang diteliti mungkin tentang manusia, keadaan dan gejala-gejala lain.5 Dengan bentuk penelitian tersebut diharapkan penulisan ini dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai penerapan konsep pertambangan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang ada di Indonesia.

3. Sumber Bahan Hukum

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini meliputi jenis data sekunder dan data tersier. Definisi Data sekunder merupakan jenis data yang didapatkan dari penelitian terhadap berbagai literatur yang terkait

2 Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta, hal. 96 3 Ibid; hal. 137-138

4 Sumadi Suryabrata, 1987, Metodologi Penelitian, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 19. 5 Soerjono Soekanto, 1992, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hal. 10.

(7)

dengan obyek penelitian.6 Sedangkan jenis data tersier merupakan data yang dipergunakan untuk memperkuat atau menegaskan data sekunder.

4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penulisan penelitian ini penulis juga menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan (library research) untuk mendapatkan data sekunder maupun tersier yang terkait penelitian ini. Bahan hukum yang dikumpulkan berupa :

1. Bahan hukum primer7 seperti peraturan perundang-undangan mengenai pertambangan mineral dan batubara serta peraturan lain yang terkait.

2. Bahan hukum sekunder8 seperti buku-buku cetak, hasil penelitian, jurnal, makalah, artikel dan dokumen lainnya yang berisi penjelasan tentang bahan primer.

3. Bahan hukum tersier seperti kamus, ensiklopedi, karya ilmiah non hukum dan lain-lain yang berisi penjelasan tentang bahan hukum primer maupun sekunder.

5. Metode Analisa

Penelitian ini menggunakan metode analisa normatif secara kualitatif. Analisa normatif diarahkan pada teori hukum, asas hukum, maupun konsep yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini untuk mendapatkan kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang ada. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu setelah data-data baik data sekunder maupun data primer yang diperlukan terkumpul, maka data-data yang diperoleh tersebut diolah, diorganisasikan dan dikelompokkan dalam klasifikasi menurut pokok permasalahan.9

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

6 Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Grafindo Persada, Jakarta, hal. 113. 7 Peter Mahmud Marzuki, op.cit, hal. 144

8 Ibid; hal. 163

(8)

1. Investasi Pertambangan di Indonesia

Kondisi dan tuntutan jaman yang terus berubah kemudian termasuk diterapkannya otonomi daerah merupakan konteks yang melatarbelakangi lahirnya sejumlah perubahan dalam peraturan perundang-undangan baru termasuk dalam bidang pertambangan, hal ini ditandai dengan munculnya UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Nomor 4/2009) yang disahkan pada 12 Januari 2009 dan sebelumnya pada 16 Desember 2008 telah disetujui bersama antara DPR dan Pemerintah untuk menggantikan UU Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (UU Nomor 11/1967). Jika dibandingkan dengan UU Nomor 11/1967, UU Nomor 4/2009 memang telah memuat beberapa perbaikan yang cukup mendasar. Yang penting diantaranya adalah digantikannya sistem Kontrak Karya (KK) bagi pengusahaan pertambangan dan diganti dengan sistem Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dengan demikian terjadi perubahan dari rezim kontrak menjadi rezim perizinan.

Berdasarkan sejumlah perbedaan antara UU Nomor 11/1967 dengan UU Nomor 4/2009, tampak bahwa secara substansi UU Nomor 4/2009 berusaha menggunakan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional (national interest), kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi pengelolaan dan pengelolaan pertambangan yang baik (good mining

practies). Dengan sejumlah prinsip tersebut dan dilihat dari konstruksi

Pasal-Pasal diatas, maka dapat terlihat beberapa langkah maju dibandingkan dengan peraturan yang lama meski masih disertai dengan cukup banyaknya klausul yang masih membutuhkan kejelasan atau peraturan pelaksananya.

Secara umum UU Nomor 4/2009 mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendaya gunaannya

(9)

dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.

2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah

4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.

6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 4/2009 disebutkan bahwa mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat sehingga dengan demikian maka sumber daya alam yang berupa mineral dan batubara yang ada di wilayah Indonesia dikuasai oleh Negara. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian terjadi penguatan hak penguasaan negara dalam penguasaan sumber daya alam, dimana pemerintah sebagai

(10)

representasi dari negara menyelenggarakan asas tersebut lewat kewenangan mengatur, mengurus dan mengawasi kegiatan investasi pertambangan di seluruh wilayah Indonesia.

Hal tersebut tidak dapat dilakukan sebelum keluarnya UU Nomor 4/2009 dikarenakan dalam sistem/rezim kontrak sebagaimana diterapkan selama ini berdasarkan UU Nomor 11/1967, posisi pemerintah tidak saja mendua yaitu sebagai regulator dan pihak yang melakukan kontrak, tetapi secara mendasar juga merendahkan posisi Negara setara dengan kontraktor dimana ketika ada kontrak pertambangan jangka panjang yang dirasa merugikan Negara tidak bisa atau sulit dirubah karena secara prinsip perjanjian/kontrak, kesepakatan untuk merubah kontrak harus disetujui oleh kedua belah pihak. Sehingga pertanggungjawaban Negara terkait pengelolaan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat tidak dapat dijalankan secara maksimal. Atas dasar itulah dimulai perubahan sistem/rezim kontrak menjadi sistem/rezim perizinan dengan munculnya UU Nomor 4/2009 agar potensi sumber daya alam tak terbarukan yang dimiliki oleh Indonesia bisa dimanfaatkan secara bijaksana dan lebih menguntungkan. Oleh sebab itu implikasi hukum perubahan sistem/rezim dalam undang-undang yang baru ini adalah mengembalikan Hak Penguasaan Negara (HPN) dimana menempatkan Negara pada posisi yang mempunyai kedudukan lebih kuat dari pihak investor.

Kemudian dalam Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 4/2009 yang menyebutkan bahwa penguasaan mineral dan batubara yang dimiliki negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Sehingga penguasaan terhadap sumber daya alam di bidang pertambangan di era otonomi daerah sekarang ini, Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan penyelenggaraannya kepada Pemerintah Daerah, baik itu kepada Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kab/Kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

(11)

Karena pemegang “hak milik” atas kekayaan alam berupa aneka ragam bahan galian yang terkandung di dalam bumi dan air di wilayah hukum (pertambangan) Indonesia adalah hak milik bangsa Indonesia (mineral right). Bangsa Indonesia sebagai pemilik bahan galian tersebut memberikan kekuasaan kepada Negara untuk mengatur dan mengurus serta memanfaatkan kekayaan alam tersebut dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini berarti pula Negara diberikan “hak penguasaan” (authority right) atas kekayaan alam milik bangsa Indonesia, agar dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemudian untuk penerapan HPN selanjutnya serta mengingat Negara tidak mungkin menyelenggarakan sendiri, maka HPN ini diselenggarakan oleh pemerintah pusat sebagai penyelenggara negara.

Selanjutnya Pemerintah dalam penyelenggaraan atas pengelolaan kekayaan alam tersebut serta didasari oleh prinsip desentralisasi, mendelegasikannya kepada pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pengelolaan pertambangan secara garis besar perlu dilakukan pada 3 (tiga) jenis tahapan kegiatan, yaitu kegiatan awal berupa penentuan kelayakan penambangan, kegiatan kedua pada saat penambangan (eksploitasi), dan kegiatan ketiga/terakhir pada saat reklamasi lahan pasca penambangan.10

Terbitnya UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah diubah oleh UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2004 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten, telah memberikan kewenangan kepada daerah dalam mengelola sumber daya mineral yang ada di daerahnya serta mengubah tatanan yang selama ini berlaku. Fungsi-fungsi pengelolaan sumber daya mineral yang selama

(12)

ini dilaksanakan oleh Pemerintah, dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka sebagian besar dari fungsi-fungsi tersebut selanjutnya akan dilaksanakan oleh daerah.

Sejak berlakunya UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah (UU Nomor 33/2004), pemberian otonomi kepada pemerintah daerah kabupaten atau kota “secara luas” (penjelasan umum UU Nomor 12/2008) telah dipersepsikan secara keliru bahwa semua kewenangan pertambangan secara otomatis menjadi kewenangan pemerintah daerah. Dalam konteks otonomi daerah, tidak serta merta kewenangan dan urusan pertambangan dapat diserahkan seluruhnya kepada pemerintah daerah secara otomatis.

Dalam UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tentang Pemerintahan Daerah didapati ketentuan bahwa kewenangan daerah meliputi seluruh kewenangan bidang pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Kemudian di Pasal 10 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan :

Ayat (1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.

Ayat (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama

Memperhatikan ketentuan di atas, secara a contrario maka pada asasnya urusan pemerintahan di bidang bahan galian tambang mesti masuk menjadi urusan rumah tangga daerah. Akan tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 13, kewenangan urusan pertambangan bukan merupakan

(13)

kewenangan “wajib” yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah kemudian melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya dapat melakukan kerjasama pengelolaan pertambangan dengan pihak lain (investor) sebagai pelaksana “pengusahaan” pertambangan (mining right).

Kewenangan dalam pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) berdasarkan Pasal 37 UU Nomor 4/2009, IUP ini diberikan oleh:

1. Bupati/Walikota apabila Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) berada di dalam satu wilayah Kabupaten/Kota;

2. Gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah Kabupaten/Kota dalam satu provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari Bupati/Walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan; dan

3. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota setempat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Dengan demikian pembagian kewenangan antara Pusat dengan Daerah dalam hal IUP didasarkan pada wilayahnya masing-masing.

Secara umum, aspek pembagian kewenangan antar pemerintahan (pusat dan daerah) jika merujuk UUD 1945 dan UU Nomor 12/2008 yang menjadi landasan dalam penyusunan UU Nomor 4/2009, maka substansi yang terkandung dalam UU Nomor 4/2009 menggariskan kewenangan eksklusif pemerintah (pusat) dalam hal sebagai berikut :

1. Penetapan kebijakan nasional;

2. Pembuatan peraturan perundang-undangan; 3. Penetapan standar, pedoman dan kriteria;

4. Penetapan sistem perizinan pertambangan minerba nasional;

5. Penetapan wilayah pertambangan setelah berkonsultasi dengan Pemda dan DPR.

(14)

Diluar hal-hal tersebut di atas, jenis-jenis kewenangan terutama perizinan antar pusat, provinsi dan kabupaten/kota bersubstansi sama dan hanya berbeda dalam skala cakupan wilayah.

3. Jenis Investasi Pertambangan di Indonesia

Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4/2009 maka investasi pertambangan umum di Indonesia dibedakan menjadi pertambangan mineral dan pertambangan batubara Pasal 34 ayat (1). Pertambangan mineral dapat dikelompokkan menjadi Pertambangan mineral radioaktif, Pertambangan mineral logam, Pertambangan mineral bukan logam dan Pertambangan batuan. Khusus untuk pertambangan mineral radioaktif pengusahaannya hanya dapat dilakukan oleh pemerintah, karena termasuk jenis bahan galian strategis.

Kemudian menurut Pasal 35 UU Nomor 4/2009, jenis pengusahaan pertambangan di Indonesia dapat dilakukan dengan bentuk :

1. Izin Usaha Pertambangan/IUP IUP dibagi menjadi :

a. IUP Eksplorasi, adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.

b. IUP Operasi Produksi, adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.

2. Izin Pertambangan Rakyat/IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat/WPR dengan luas wilayah dan investasi terbatas.

3. Izin Usaha Pertambangan Khusus/IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus/WIUPK.

Dalam Pasal 42 UU Nomor 4/2009, jangka waktu eksplorasi dan eksploitasi diatur sebagai berikut:

(15)

1. IUP Eksplorasi mineral logam (8 tahun) terdiri dari Penyelidikan umum (1 tahun), Eksplorasi (3 tahun + 2x1 tahun) dan studi kelayakan (1+1 tahun)

2. IUP Eksplorasi Batubara (7 tahun) terdiri dari Penyelidikan Umum (1 tahun), Eksplorasi (2 tahun + 2x1 tahun) dan Studi Kelayakan (2 tahun)

3. IUP Operasi Produksi mineral dan Batubara (20 tahun + 2 x 10 tahun) terdiri dari konstruksi (3 tahun) dan kegiatan penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan (17 tahun).

Batasan luas minimal wilayah eksplorasi yang ditentukan oleh UU Nomor 4/2009 adalah sebagai berikut :

1. Menurut Pasal 52 ayat (1), pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.

2. Pada Pasal 55 ayat (1) disebutkan bahwa pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare

3. Lalu di Pasal 58 ayat (1), pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare

4. Dan Pasal 61 ayat (1) dapat dilihat bahwa pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000(lima puluh ribu) hektar

Pembatasan luasan wilayah minimal untuk eksplorasi yang terdapat dalam Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (1) UU 4/2009 berpotensi menghambat persaingan usaha yang sehat dengan menciptakan hambatan masuk ke dalam industri

(16)

pertambangan mineral dan batubara. Hal ini dapat terjadi pada daerah yang mempunyai potensi pertambangan tetapi hanya mempunyai luas wilayah minimal, sehingga daerah tersebut terancam tidak dapat mengeluarkan izin pertambangan. Dikarenakan Pasal-Pasal tersebut mengatur tentang batasan minimal dan maksimal untuk IUP Eksplorasi yang dibedakan antara mineral logam, mineral non logam, batuan dan batubara.

Pembatasan tersebut dikhawatirkan akan membuat wilayah yang sebenarnya mempunyai potensi cadangan mineral menjadi tidak dapat diusahakan. Selain menjadi hambatan bagi pelaku usaha, batas bawah ini juga menimbulkan permasalahan bagi daerah penghasil tambang yang luas wilayah administratifnya terbatas. Akibatnya, daerah kesulitan dalam pemberian izin usaha pertambangan tersebut, sehingga wilayah potensial menjadi tidak dapat diusahakan dengan adanya ketentuan ini.

Kemudian luas wilayah pertambangan yang diatur dalam UU Nomor 4/2009 adalah sebagai berikut :

1. Pemegang IUP Operasi produksi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare (Pasal 53).

2. Pemegang IUP Operasi produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare (Pasal 56)

3. Pemegang IUP Operasi produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare (Pasal 59)

4. Pemegang IUP Operasi produksi batubara diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare (Pasal 62) Peraturan yang tidak menetapkan batas bawah untuk luasan wilayah operasi pertambangan ini memungkinkan lahan yang sempit namun mempunyai cadangan yang ekonomis untuk diusahakan dapat tetap ditambang. Di satu sisi, pembatasan luas lahan yang dapat diusahakan dapat diartikan sebagai pembatasan bagi perusahaan untuk menjadi besar, akan tetapi di sisi lain kebijakan tersebut bertujuan sebagai pencegahan monopoli lahan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

(17)

Pelaku Usaha Pertambangan di Indonesia

Pelaku usaha pertambangan di Indonesia sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 4/2009 dapat dilakukan oleh Badan Usaha, Koperasi dan Perorangan / kelompok masyarakat

Pelaku usaha pertambangan di Indonesia dalam melakukan kegiatan usaha pertambangan di seluruh wilayah Indonesia sesuai dengan UU Nomor 4/2009 mempunyai berbagai kewajiban yang harus dipenuhi selama melakukan kegiatan usahanya. Kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh pelaku usaha pertambangan dalam seluruh tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk menjamin terlaksananya kegiatan usaha pertambangan yang baik (good mining). Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa kegiatan usaha pertambangan merupakan jenis kegiatan usaha yang bersifat jangka panjang, padat modal, dan berpotensi mempengaruhi lingkungan sekitar tambang. Sehingga diperlukan pengaturan tentang kewajiban pelaku usaha pertambangan yang jelas khususnya terkait lingkungan pertambangan untuk mendukung kegiatan pertambangan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Maka menurut UU Nomor 4/2009, terkait dengan keberadaan kegiatan usaha pertambangan di wilayah Indonesia dimana setiap pelaku usaha pertambangan diwajibkan memenuhi ketentuan yang mengatur tentang :

1. Penerapan kaidah pertambangan yang baik dan memperhatikan lingkungan dalam setiap tahapan kegiatan pertambangan.

2. Perencanaan dan menyediakan Dana Jaminan Reklamasi & upaya pemulihan Pascatambang

3. Perencanaan dan kegiatan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat di sekitar wilayah pertambangan

Menurut penjelasan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah asas yang secara

(18)

terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang.

Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (6) UU Nomor 4/2009, kegiatan pertambangan dapat diartikan sebagai suatu tahapan kegiatan yang diawali dengan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan (termasuk bila ada pengolahan dan pemurnian), pengangkutan/penjualan dan diakhiri dengan rehabilitasi lahan pasca tambang. Pengelolaan pertambangan adalah suatu upaya yang dilakukan baik secara teknis maupun non teknis agar kegiatan pertambangan tersebut tidak menimbulkan permasalahan, baik terhadap kegiatan pertambangan itu sendiri maupun terhadap lingkungan.

Dengan demikian pengelolaan pertambangan secara garis besar perlu dilakukan pada 3 (tiga) jenis tahapan kegiatan, yaitu kegiatan awal berupa penentuan kelayakan penambangan (eksplorasi), kegiatan kedua pada saat penambangan (eksploitasi/operasi produksi), dan kegiatan ketiga/terakhir pada saat reklamasi lahan pasca penambangan.

Haris dalam Fauzi11 melihat bahwa konsep keberlanjutan dapat diperinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu:

1. Keberlanjutan ekonomi,

yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri.

2. Keberlanjutan lingkungan:

Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumberdaya yang stabil, menghindari eksploitasi sumberdaya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungis ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi.

11 Ibid;

(19)

3. Keberlanjutan sosial:

Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.

Dengan demikian, tujuan pembangunan berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya harmonisasi antara keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan lingkungan dan keberlanjutan sosial.

Pertambangan bagi Keberlanjutan Ekonomi

UU Nomor 4/2009 dalam Pasal 74 ayat (1) disebutkan yang dimaksud dengan memperhatikan kepentingan daerah adalah dalam rangka pemberdayaan daerah. Pemberdayaan daerah pertambangan akan terkait dengan kewenangan daerah, peningkatan pendapatan daerah, potensi pertambangan dan masyarakat daerah tersebut.

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, pengaturan pembagian besarnya penerimaan dari sektor pertambangan umum (iuran tetap/land-rent & iuran eksplorasi dan eksploitasi/royalty) : pemerintah 20 % dan daerah 80 %.

1. Penerimaan iuran tetap (land-rent) : pemerintah 20% dan daerah 80% (provinsi 16% dan kabupaten/kota penghasil 64%)

2. Penerimaan iuran eksplorasi dan eksploitasi (royalty) : pemerintah 20% dan daerah 80% (provinsi 16%, daerah penghasil 32% dan 32% sisanya untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Kesemua hal tersebut diatur dalam Pasal 14 huruf c, Pasal 17 Ayat (1), (2), (3) UU Nomor 33/2004.

Selain itu UU Nomor 4/2009 telah memberikan peluang besar bagi daerah dan masyarakat dalam memperoleh kesempatan dan memberikan perlindungan terkait pengelolaan pertambangan melalui ketentuan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diatur dalam Pasal 75 ayat (3) menyebutkan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan

(20)

Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK. Kebijakan terkait dengan prioritas kepada BUMN dan BUMD tersebut menyebutkan bahwa untuk mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) mineral/unsur logam dan batubara diselenggarakan dengan cara prioritas atau lelang. Prioritas diberikan kepada BUMN dan BUMD dengan mekanisme first come first serve. Apabila tidak ada yang berminat maka WIUPK tersebut baru kemudian ditawarkan kepada badan usaha swasta yang bergerak di bidang pertambangan dengan cara lelang. Dari satu sisi, kebijakan prioritas ini terlihat lebih mengutamakan BUMN dan BUMD daripada swasta.

Pada Pasal 124 Ayat (1) diatur bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional dalam kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan. Kemudian pada Pasal 124 Ayat (2) apabila dalam hal ini tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pemegang IUP atau IUPK baru dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbadan hukum Indonesia.

Kebijakan prioritas kepada BUMN dan BUMD, kewajiban menggunakan perusahaan lokal dan/atau nasional tersebut dimaksudkan untuk memberikan peningkatan lapangan kerja di daerah serta menumbuhkembangkan kemampuan tenaga kerja lokal dan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional.

Dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sudah ada beberapa pengaturan yang dapat memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat maupun daerah yang mempunyai potensi pertambangan di Indonesia.

Divestasi saham

Pasal 112 ayat (1) menyebutkan bahwa setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham.

(21)

Divestasi saham asing yang secara sederhana diartikan sebagai jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia. Ketentuan mengenai divestasi saham asing ini secara yuridis normatif telah diatur dalam Pasal 112 ayat (1) UU Nomor 4/2009 yang mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing dan sudah beroperasi selama 5 tahun wajib untuk melakukan divestasi saham kepada :

1. Pemerintah,

2. Pemerintah Daerah,

3. Badan Usaha Milik Negara, 4. Badan Usaha Milik Daerah, atau 5. Badan Usaha Swasta Nasional.

Selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham diatur dengan peraturan pemerintah.

Perusahaan pertambangan asing yang memperoleh IUP dan IUPK dari pemerintah Indonesia hanya diwajibkan untuk melepas (divestasi) 20 persen sahamnya kepada peserta dari Indonesia. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 97 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Nomor 23/2010) yang diundangkan pada 1 Februari 2010.

Divestasi saham perusahaan pertambangan asing ke Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, ataupun swasta nasional sebagai wujud kedaulatan dalam negeri dalam hal kegiatan usaha pertambangan sebagai upaya guna mewujudkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Dengan adanya pengaturan tentang divestasi saham dalam UU Nomor 4/2009 diharapkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, maupun swasta nasional mendapatkan keuntungan ekonomi dari proses divestasi saham perusahaan pertambangan asing.

Izin Pertambangan Rakyat

Dalam upaya agar kegiatan pertambangan bisa memberikan manfaat ekonomi bagi pelaku usaha dalam negeri maka pemerintah

(22)

melalui UU Nomor 4/2009 pada Pasal 35 mengatur mengenai Izin Pertambangan Rakyat (IPR). IPR merupakan sebuah bentuk keberpihakan negara untuk menerima pelaku usaha pertambangan dengan kepemilikan modal yang terbatas. Negara dalam hal ini memberikan kesempatan kepada masyarakat luas, khususnya masyarakat daerah yang tertarik untuk berinvestasi di bidang usaha pertambangan dengan syarat yang lebih ringan daripada IUP dan IUPK.

Menurut Pasal 67 UU Nomor 4/2009 prioritas pemberian IPR diperuntukan kepada penduduk setempat atau masyarakat daerah. Wewenang pemberian IPR ini didelegasikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam hal ini perizinannya dimohonkan kepada Bupati/Walikota dan Bupati/Walikota dapat melimpahkan kewenangan pemberian IPR ini kepada camat di wilayah setempat Pasal 67 ayat (2).

Berikut ini adalah pengaturan UU Nomor 4/2009 yang mengatur lebih lanjut tentang IPR :

1. Luas Wilayah IPR (Pasal 68) :

a. Perseorangan paling banyak 1 Hektare

b. Kelompok masyarakat paling banyak 5 Hektare c. Koperasi paling bayak 10 Hektare

2. Jangka Waktu IPR paling lama 5 tahun dan dapat diperpanjang (Pasal 68)

3. Hak dan kewajiban pemegang IPR (Pasal 69, 70, 73)

Pemegang IPR dalam melakukan kegiatan usaha pertambangannya berhak disupervisi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dimana pemegang IPR tersebut melakukan kegiatan pertambangan (Pasal 69 UU Nomor 4/2009). Pemegang IPR juga mempunyai kewajiban sesuai yang tercantum dalam Pasal 70 UU Nomor 4/2009 yaitu berkewajiban untuk mengelola lingkungan pertambangannya, memberikan laporan kegiatannya secara berkala kepada Pemberi IPR dalam hal ini pemerintah Kabupaten/Kota setempat, membayar iuran tetap dan iuran produksi kepada pemerintah daerah selaku pemberi IPR.

(23)

Dengan adanya kesempatan kepada pelaku usaha pertambangan lokal maupun skala kecil diharapkan pemerintah, terutama pemerintah daerah memperoleh kontribusi pendapatan daerah melalui pemberian IPR dan iuran pertambangan. Selain itu pemerintah daerah juga diharapkan memberikan pengarahan dan dukungan terhadap pemegang IPR di daerahnya masing-masing. Pemerintah Daerah juga mempunyai kewajiban turut mengawasi aspek lingkungan dalam kegiatan pertambangan yang ada di daerahnya masing-masing.

Keberlanjutan Lingkungan Pertambangan

Perubahan UU Nomor 23/1999 menjadi UU Nomor 32/2009 yang kemudian disertai perubahan UU Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan menjadi UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan batubara memberi suatu dorongan dan semangat dalam merubah padangan terhadap lingkungan hidup. Khususnya menyangkut pada pengaturan mengenai lingkungan wilayah pertambangan.

Dengan disahkannya UU Nomor 32/2009 yang memberi beberapa makna, yaitu pertama bahwa UU tersebut telah menempatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai jaminan hak asasi warga Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28H UUD 1945. Kedua pembangunan ekonomi yang sedang dilakukan harus benar-benar berprinsip pada pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Ketiga cara pandang adanya kesadaran bersama terhadap lingkungan yang semakin menurut kualitasnya, jadi perlu dilakukan komitmen bersama seluruh pemangku terhadap lingkungan hidup. Keempat otonomi daerah yang juga mempengaruhi dalam penyelenggaran pemerintah daerah, karena itu upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus ditekankan di daerah yang banyak mengabaikan lingkungan hidup. Kelima ada kesadaran bersama bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim dan mengakibat penurunan dalam kualitas lingkungan di bumi ini, dan terakhir adanya jaminan dan kepastian hukum dalam perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan

(24)

lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagaian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.

UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan definisi perlindungan dan pengelolaan lingkungan adalah merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Adapun tugas dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tercantum pada Bab IX Pasal 63. Dalam Pasal ini telah dijabarkan tugas dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah dan selanjutnya pada Pasal 64 menyatatakan bahwa tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri.

Hal ini juga diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada Pasal 96 yang menyebutkan bahwa dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan:

1. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; 2. keselamatan operasi pertambangan;

3. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pasca tambang;

4. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara;

5. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan.

Dan selanjutnya pada Pasal 97 UU Nomor 4/2009 menyebutkan bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah.

(25)

Keberadaan UU Nomor 32/2009 menjadi instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terhadap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan berupa :

a. KLHS (Kajian Lingkungan hidup Strategis); b. Tata ruang;

c. Baku mutu lingkungan;

d. Kriteria baku kerusakan lingkungan; e. Amdal;

f. UKL-UPL; g. Perizinan;

h. Instrumen ekonomi lingkungan hidup;

i. Peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; j. Anggaran berbasis lingkungan hidup;

k. Analisis resiko lingkungan hidup; l. Audit lingkungan hidup;

m. Instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.

Dari ketigabelas instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang termuat dalam Pasal 14 UU Nomor 32/2009 tersebut, diperkenalkan instrumen baru yang tidak terdapat dalam UU lingkungan hidup sebelumnya, yaitu Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang wajib dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah untuk memastikan terintegrasinya prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 32/2009 sehingga KLHS atau Strategic Environmental Assessment (SEA) menjadi salah satu alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir (framework of thinking) perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup12.

12 Bambang Setyabudi, Artikel, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KHLS) sebagai Kerangka Berfikir dalam

(26)

Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan menjamin diintegrasikannya prinsip-prinsip keberlanjutan dalam, pengambilan keputusan yang bersifat strategis (SEA is a systematic

process for evaluating the environmental effect of, and for ensuring the integration of sustainability principles into, strategic decision-making).

Namun demikian, tidak seperti halnya analisa dampak lingkungan (AMDAL) yang disertai sanksi berat pelanggarannya, UU Nomor 32/2009 ini tidak mencantumkan sanksi apapun bagi pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak melakukannya.

Dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan bahwa AMDAL, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Kementerian Lingkungan Hidup merupakan otoritas utama dalam mengatur dan memonitor berbagai aspek lingkungan dari sektor pertambangan. Proyek pertambangan yang memberikan dampak lingkungan hidup harus melakukan AMDAL. Prosedur AMDAL mencakup Analisa Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Kelola Lingkungan (RKL), Rencana Pengawasan Lingkungan (RPL). Salah satu bagian ANDAL adalah analisa dampak ekonomi dan sosial masyarakat sekitar yang berfungsi sebagai salah satu instrumen lingkungan hidup sebagai usaha mencegah masalah lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat usaha pertambangan yang beraneka ragam bentuk dan sifatnya. Perizinan setiap tahapan usaha pertambangan seperti yang diatur UU Nomor 4/2009 telah menentukan standar baku lingkungan yang mengacu pada UU Nomor 32/2009.

Reklamasi dan Pascatambang

http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/Kajian%20Lingkungan%20Hidup%20Strategis%20Seba

(27)

Pascatambang merupakan kegiatan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. Pascatambang dan melaksanakan terencana, sistematis dan berlanjut. Keberlanjutan ini meliputi kegiatan akhir sebagian (bila dalam tahap operasi produksi ada sebagian wilayah yang diminta dan/atau di serahkan) hingga akhir keseluruhan usaha pertambangan.

Dalam Pasal 99 dan Pasal 100, UU Nomor 4/2009 memberi amanat kepada setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi beserta rencana pascatambang. Pemegang IUP dan IUPK juga diwajibkan melaksanakan reklamasi dan kegiatan pascatambang. Dalam rangka menjamin kesungguhan pelaksanaan reklamasi dan pascatambang, setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menempatkan dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang. Perencanaan dan pelaksanaan yang tepat merupakan rangkaian pengelolaan pertambangan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga akan mengurangi dampak negatif kegiatan usaha pertambangan.

Oleh karena itu maka Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang (PP Nomor 78/2010) sebagai peraturan pelaksana untuk mengatur mengenai reklamasi dan pascatambang di Indonesia

Dalam UU Nomor 4/2009, reklamasi didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Sedangkan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral dan batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Berangkat dari definisi itu dan seperti yang diatur dalam Pasal 29 (2) PP Nomor 78/2010, kegiatan reklamasi tidak

(28)

hanya dilaksanakan pada tahap operasi produksi saja, melainkan juga pada tahap eksplorasi.

Pemegang IUP ataupun IUPK eksplorasi harus mereklamasi lahan terganggu akibat kegiatan eksplorasi. Reklamasi yang dilakukan meliputi reklamasi lubang pengeboran, sumur uji, dan/atau parit uji. Meskipun masih pada tahap ekplorasi, pemegang IUP ataupun IUPK sudah berkewajiban menyediakan jaminan reklamasi.

Pasal 30 (2) PP Nomor 78/2010 menentukan bahwa jaminan reklamasi berbentuk deposito berjangka, selain itu pada Pasal 30 (3) PP Nomor 78/2010 sejak tahap eksplorasi, pemegang IUP dan IUPK harus menyiapkan rencana reklamasi yang akan dilaksanakan pada tahap operasi produksi. Diantaranya dengan membuat tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang, rencana pembukaan lahan, program reklamasi pada lahan bekas tambang dan di luar bekas tambang, kriteria keberhasilan reklamasi dan rencana biaya reklamasi. Yang tercakup dalam lahan di luar bekas tambang adalah timbunan tanah penutup, timbunan bahan baku/produksi, jalan transportasi, instalasi pengolahan, instalasi pemurnian, kantor dan perumahan, pelabuhan, lahan penimbunan dan pengendapan tailing Pasal 4 ayat (1) PP Nomor 78/2010.

Sejak awal tahap eksplorasi, rencana pascatambang sudah disiapkan. Meskipun umur tambangnya masih beberapa puluh tahun yang akan datang. Proses perencanaan tersebut dilakukan bersamaan dengan penyusunan studi kelayakan dan AMDAL. Isi rencana pascatambang tersebut harus memuat profil wilayah, deskripsi kegiatan pertambangan, rona lingkungan akhir lahan pascatambang, program pascatambang, organisasi, kriteria keberhasilan pascatambang dan rencana biaya pascatambang.

Dalam menyusun rencana pascatambang, pemegang IUP dan IUPK harus berkonsultasi dengan instansi pemerintah dan/atau instansi pemerintah daerah yang membidangi pertambangan mineral dan/atau batubara, instansi terkait, dan masyarakat sesuai dengan kewenangannya. Hal itu dilakukan untuk mengakomodir kepentingan pemerintah (pusat &

(29)

daerah) dan masyarakat sekitar wilayah pertambangan sehingga perencanaan pascatambang dapat diterima oleh daerah dan masyarakat sekitar tambang.

Selain itu, Pemerintah melalui PP Nomor 78/2010 juga menetapkan kebijakan bagi setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menempatkan Jaminan Reklamasi dan Jaminan Pascatambang. Jaminan tersebut diperlukan sebagai wujud kesungguhan setiap pemegang IUP dan IUPK untuk memulihkan lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang sesuai peruntukan yang disepakati para pemangku kepentingan dalam rangka pembangunan berkelanjutan.

Jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang dapat ditempatkan dalam beberapa bentuk, yaitu :

a) Deposito berjangka, ditempatkan pada bank Pemerintah di Indonesia atas nama Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota. Perusahaan yang bersangkutan, dengan jangka waktu penjaminan sesuai dengan jadwal reklamasi.

b) Bank garansi, yang diterbitkan oleh bank Pemerintah di Indonesia atau cabang bank asing di Indonesia atau lembaga penjamin milik Pemerintah, dengan jangka waktu penjaminan sesuai dengan jadwal reklamasi.

c) Asuransi diterbitkan oleh bank Pemerintah di Indonesia atau cabang bank asing di Indonesia atau lembaga penjamin milik Pemerintah, dengan jangka waktu penjaminan sesuai dengan jadwal reklamasi; atau

d) Cadangan Akuntansi (Accounting Reserve), dapat ditempatkan apabila Perusahaan tersebut memenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut:

1) Merupakan perusahaan publik yang terdaftar di bursa efek di Indonesia, atau yang terdaftar di bursa efek di luar Indonesia; atau

2) Perusahaan mempunyai jumlah modal disetor tidak kurang dari US $ 25.000.000 (dua puluh lima juta dolar Amerika

(30)

Serikat) seperti yang dinyatakan dalam laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di Departemen Keuangan.

Perusahaan yang menempatkan Jaminan Reklamasi dalam bentuk Cadangan Akuntansi (Accounting Reserve), wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik.

Bentuk jaminan reklamasi yang ditempatkan oleh perusahaan pertambangan ditetapkan oleh Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan masing-masing.

Penempatan Jaminan Reklamasi dimohonkan kepada perusahaan beserta bentuk jaminannya. Bentuk Jaminan Reklamasi yang diperbolehkan deposito berjangka, bank garansi, atau cadangan akuntansi. Bila ternyata besamya jaminan reklamasi tidak menutupi untuk menyelesaikan reklamasi, kekurangan biaya reklamasi tetap menjadi tanggung jawab perusahaan. Kemudian sesuai Pasal 35 PP Nomor 78/2010 pelaku usaha pertambangan dapat memohonkan pencairan dana jaminan reklamasi sesuai tingkat keberhasilan reklamasinya.

Jaminan Pascatambang ditempatkan setiap tahun sesuai dengan umur tambangnya saat mulai menempatkannya. Bentuk penempatan Jaminan pascatambang hanya satu, yakni deposito berjangka. Bila kegiatan usaha pertambangan berakhir sebelum masa yang telah ditentukan dalam rencana pascatambang, perusahaan tetap wajib menyediakan jaminan pascatambang sesuai dengan yang telah ditetapkan.

Besaran Jaminan Reklamasi dan Jaminan Pascatambang dihitung berdasarkan rencananya. Besarnya jaminan tersebut harus mampu menutup seluruh biaya reklamasi dan pascatambang. Biaya reklamasi dan pascatambang dijadikan dasar besarnya jaminan dan dihitung berdasarkan pelaksanaan reklamasi dan pascatambang seolah-olah dilaksanakan oleh pihak ketiga (meskipun dikerjakan sendiri). Penempatan jaminan yang dilakukan oleh pemegang IUP dan IUPK, bukan berarti menghilangkan kewajiban perusahaan melaksanakan reklamasi dan pascatambang.

(31)

Khusus untuk reklamasi dan pascatambang bagi pemegang IPR diatur dalam Pasal 67 ayat 1 UU Nomor 4/2009, yang menyatakan bahwa bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi. Sebelum IPR terbit, pemerintah dan pemohon IPR wajib menyusun rencana reklamasi dan rencana pascatambang di wilayah pertambangan rakyat berdasarkan dokumen pengelolaan lingkungan yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Karena itu menurut Pasal 45 ayat (2) PP Nomor 78/2010, pemegang IPR bersama dengan bupati/walikota wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang, serta wajib menyediakan dana reklamasi dan dana pascatambang.

Pengawasan semua kegiatan dan keberhasilan reklamasi dan pascatambang dapat dilakukan secara administratif dan teknik lapangan. Keduanya dilakukan oleh inspektur tambang, sebagaimana diatur dalam Pasal 141 ayat (2) UU Nomor 4/2009. Dalam melaksanakan tugasnya, inspektur tambang berkoordinasi dengan instansi terkait. Misalnya instansi yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang pertambangan, lingkungan hidup, kehutanan, pekerjaan umum dan lain-lain sesuai tugas dan kewenangannya masing-masing.

Reklamasi dan pascatambang dinyatakan selesai bila telah berhasil memenuhi kriteria keberhasilan. Kriteria keberhasilan reklamasi dan pascatambang dapat diukur dari hasil kegiatan reklamasi dan pascatambang yang sesuai dengan rencana reklamasi dan pascatambang yang sudah disepakati pada awal tiap tahapan pertambangan. Namun, khusus reklamasi dan pasctambang yang berada di kawasan hutan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka pelaksanaan dan kriteria keberhasilannya disesuaikan setelah berkoordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 24 PP Nomor 78/2010).

(32)

Penyerahan Lahan Reklamasi Dan Lahan Pascatambang

Lahan yang telah direklamasi sesuai dengan rencana reklamasi, memenuhi kriteria keberhasilan reklamasi, dan sudah sesuai dengan peruntukannya “dapat” menyerahkan lahan yang telah direklamasi tersebut Penekanan kata “dapat” berarti tidak semuanya lahan yang telah direklamasi serta merta bisa diserahkan kepada pemerintah. Karena pemegang IUP ataupun IUPK bisa memohonkan penundaan penyerahan lahan reklamasi apabila masih dibutuhkan untuk kegiatan pertambangan Pasal 47 ayat (2) PP Nomor 78 2010. Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya masing-masing. Pengaturan ini mengakomodir suatu wilayah yang sudah lama direklamasi dan terkadang diminta oleh daerah, sebab lahan lainnya masih aktif dan masih berumur panjang.

Sedangkan menurut Pasal 48 PP Nomor 78/2010 menyebutkan apabila Pemegang IUP yang telah melaksanakan kewajiban pascatambang sesuai rencana, telah memenuhi kriteria keberhasilan pascatambang, dan sudah sesuai peruntukan sebagaimana kesepakatan para pemangku kepentingan, maka wajib menyerahkan lahan kepada pemerintah.

Keberlanjutan Sosial Pertambangan

Dalam usaha mempertahankan keberlanjutan sosial di bidang investasi pertambangan, pemerintah melalui UU Nomor 4/2009 telah memberikan perhatian terhadap masa depan wilayah pertambangan termasuk masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar wilayah pertambangan. Hal ini tidak lepas dari pertimbangan bahwa sebagian besar daerah yang mempunyai potensi pertambangan merupakan daerah yang tertinggal dari segi pembangunan fisik dan pembangunan manusianya. Sehingga kegiatan investasi pertambangan dijadikan media bagi pemerintah untuk membantu pembangunan terutama di daerah-daerah investasi pertambangan tersebut berada. Selain itu secara prinsip, seharusnya setiap bentuk investasi dapat membawa perubahan positif atau kemajuan bagi daerah dan masyarakatnya.

(33)

Secara normatif, kewajiban CSR (Corporate Social Responsibility) atau tanggung jawab sosial bagi perusahaan pertambangan di Indonesia tercantum pada UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU Nomor 40/2007) Pasal 74 ayat (1) dan (2). Dalam UU Nomor 40/2007 khususnya pada Pasal 74 ayat (1) ditentukan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan CSR dan lingkungan. Selain itu CSR juga diatur dalam Pasal 15 huruf (b) UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Kegiatan investasi pertambangan mineral dan batubara merupakan jenis kegiatan usaha meneliti, mengelola, dan mengusahakan mineral ataupun batubara dimana dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 4/2009, mineral dan batubara ditentukan sebagai jenis sumber daya alam yang tak terbarukan. Sehingga perseroan yang bergerak di bidang pertambangan wajib melakukan CSR

Perusahaan bidang pertambangan wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, karena bergerak di bidang sumber daya alam (Pasal 74 UU Nomor 40/2007). Bidang pertambangan terikat pula dengan UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam UU itu dinyatakan tentang kewajiban pemegang usaha pertambangan untuk melaksanakan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM).13

Ketentuan mengenai kewajiban tersebut dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terdapat dalam :

1. Pasal 95

Pemegang IUP dan IUPK wajib:

a. Menerapkan kaedah teknik pertambangan yang baik;

b. Mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia; c. Meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batu

bara;

13 Adjat Sudradjat, Artikel, Pentingnya CSR Pertambangan, http://www.bataviase.co.id/, terakhir diakses tanggal 17 Maret 2011.

(34)

d. Melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; dan

e. Mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan. 2. Pasal 106

Pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Pasal 107

Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK wajib mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada di daerah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Pasal 108

(1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.

(2) Penyusunan program dan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikonsultasikan kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Prinsip CSR sebenarnya sudah diakomodasi di dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai pengganti UU Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, tetapi masih bersifat implisit kecuali pada Pasal tentang pembinaan dan pemberdayaan masyarakat sekitar lingkungan pertambangan.

Selanjutnya kewajiban tentang PPM, khususnya subsektor pertambangan umum telah dijelaskan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 108 dan 109 yang juga mewajibkan pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun program PPM. Pengaturan lebih lanjut dari pelaksanaan PPM tercantum pada PP Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 106 sampai dengan Pasal 108. Karena penerapan program PPM pertambangan haruslah bersifat unik atau khas

(35)

karena bergantung pada kondisi obyektif dari geografi, demografi, karakter atau tipikal dan potensi dari masyarakat di daerah pertambangan itu sendiri.

Pelaksanaan PPM yang dilakukan oleh perusahaan nantinya perlu mendapat pembinaan dan pengawasan baik dari Pemerintah Pusat maupun Daerah sehingga tepat pada sasaran, berkenaan dengan hal tersebut Pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 55 Tahun 2010 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Nomor 55/2010). Pada Pasal 13 ayat (2), Pasal 16 huruf k dan m, Pasal 31 dan 32 PP Nomor 55/2010 menjelaskan tentang pengawasan dan pembinaan program PPM pertambangan.

Dengan munculnya peraturan perundang-undangan tersebut, diharapkan program PPM dan usaha perlindungan terhadap masyarakat dapat menjalankan peran dengan baik dalam rangka menciptakan aspek kemandirian bagi masyarakat bukan ketergantungan sehingga tujuan dan cita-cita konsep pembangunan berkelanjutan benar-benar dapat tercapai dan dapat memberikan kontribusi optimal terhadap perekonomian Indonesia secara keseluruhan dan daerah khususnya. Selain itu dengan adanya kemandirian ekonomi dan masyarakat baik ditingkat nasional maupun lokal, sehingga diharapkan walaupun tambang telah ditutup/kegiatan pertambangan telah berakhir namun keberlajutan ekonomi dan sosial di sekitar tambang tetap berjalan.

D. Penutup 1. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Investasi pertambangan di Indonesia diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, harus memenuhi aspek-aspek keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan keberlanjutan sosial.

(36)

Keberlanjutan ekonomi yaitu kewajiban pelaku usaha pertambangan untuk menggunakan perusahaan dalam negeri untuk bekerjasama, mengutamakan tenaga kerja lokal, dan melakukan divestasi bagi perusahaan asing. Keberlanjutan pertambangan yang terkait lingkungan yaitu kewajiban menjaga kondisi lingkungan tambang meliputi keselamatan kerja, keselamatan operasi tambang, pengelolaan dan pemantauan lingkungan tambang (termasuk reklamasi dan pasca tambang), konservasi sumber daya mineral dan batubara, serta pengelolaan dan pemantauan limbah tambang. Kemudian keberlanjutan di bidang sosial adalah dengan munculnya kewajiban melakukan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat/community development serta perlindungan kepada masyarakat sekitar tambang.

2. Kegiatan usaha pertambangan di Indonesia yang diatur dalam UU Nomor 4/2009 melibatkan serta memperhatikan kepentingan pemerintah daerah dan masyarakat daerah. Kepentingan di tingkat daerah yang diakomodir melalui UU ini meliputi sistem bagi hasil pertambangan, kesempatan daerah dalam mengikuti divestasi perusahaan tambang asing, pembagian kewenangan daerah dalam menerbitkan izin pertambangan dan kesempatan bagi masyarakat daerah memperoleh IPR, serta pengaturan tentang perlindungan dan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM).

2. Saran

Beberapa saran yang bisa diajukan dengan melihat pembahasan yang telah dihasilkan melalui penelitian ini antara lain :

1. Diperlukan penyusunan peraturan pelaksana yang terkait UU Nomor 4/2009 untuk menjamin kepastian iklim investasi, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan serta perlindungan terhadap lingkungan sekitar pertambangan

2. Penerapan UU Nomor 4/2009 juga tidak berdiri sendiri tetapi harus dikaitkan dengan undang-undang lainnya seperti UU Kehutanan

(37)

dan UU Lingkungan hidup yang berlaku, serta undang-undang lainnya yang terkait.

3. Peningkatan partisipasi serta peningkatan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar tambang terkait dengan kegiatan investasi pertambangan yang ada di daerahnya.

4. Perlunya kejelasan besaran minimum divestasi saham perusahaan tambang asing dalam peraturan pelaksana untuk menjamin pelaksanaan divestasi di Indonesia.

5. Perlu adanya pengaturan kerjasama antara pemegang Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dengan perusahaan tambang besar yang berada di wilayah sama agar nantinya pemegang IPR mampu berkembang dan mempertahankan usahanya.

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anoraga, Pandji, 1994, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Pustaka Jaya, Semarang

Fauzi, A., 2004, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Hardjasoemantri, Koesnadi, 2006, Hukum Tata Lingkungan, Gajahmada University Press, Yogyakarta.

Hatta, Mohammad, 1977, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Mutiara, Jakarta.

HS, Salim, 2006, Hukum Pertambangan Di Indonesia. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

HS, Salim, 2008, Hukum Investasi di Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta

Moleong, Lexy J., 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Marzuki, Peter Mahmud, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta.

Pria, Lalu Wira, 2008, Ringkasan prinsip hukum investasi pertambangan umum, Airlangga University, Surabaya.

Rangkuti, Siti Sundari, 2000, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan

Nasional, Airlangga University Press, Surabaya.

Salim, Emil, 1981, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara

Sumber Widya, Jakarta

Sembiring, Sentosa, 2007, Hukum Investasi (Pembahasan Dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007

tentang Penanaman Modal), Nuansa Aulia, Bandung

Soekanto, Soerjono, 1992, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta

Soemarwoto, Otto, 1985, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta,

Sunggono, Bambang, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

(39)

Susanto, A.B, 2009, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Erlangga, Jakarta

Wati, H. K. 2008, Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian: Studi

Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Zaidun, Muchammad, 2005, Penerapan Prinsip-prinsip Hukum Internasional

Penanaman Modal Asing di Indonesia (Ringkasan Disertasi), Program Pasca

Sarjana Universitas Airlangga Surabaya.

Peraturan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan

Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan diluar Sektor Kehutanan

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1973 Tentang Pengaturan Pengawasan Keselamatan Kerja Bidang Pertambangan

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 33 Tahun 2009 tentang Pelimpahan Wewenang Sebagian Urusan Pemerintahan Dibidang Energi dan Sumberdaya Mineral

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang

Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 555.K/26/M.PE/1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum

Referensi

Dokumen terkait

Jika Anda tidak tahu jenis kain atau bahannya terbuat dari apa, tentukan suhu penyetrikaan yang benar dengan cara menyetrika pada bagian yang tak terlihat apabila Anda

Kesimpulan dari makalah ini adalah bahwa pembuatan tape ubi kayu dilakukan dengan proses fermentasi, yang difermentasi oleh ragi Saccharomyces cerevisiae ,

Sebagaimana diketahui bahwa, sebagian besar input (calon mahasiswa) dari kedua Prodi tersebut adalah siswa Madrasah Aliyah dari berbagai kabupaten/kota di Provinsi

masyarakat belajar dengan menjelaskan cara belajar dengan menggunakan model CTL tipe masyarakat belajar yaitu dengan berkelompok, kemudian siswa berdiskusi dengan

Luaran yang diharapkan dari pengerjaan tugas akhir ini adalah analisa model peramalan yang sesuai untuk data harga minyak mentah Indonesia serta hasil peramalan

Pada lokasi bekas tebangan suhu tanah lebih tinggi daripada hutan belum terganggu, sedangkan kelembaban udara pada bekas tebangan lebih rendah daripada hutan

kepemimpinan sebagai keseluruhan tindakan guna mempengaruhi serta mengingatkan orang, dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan, ata u dengan definisi yang lebih

Koordinator yang diketuai oleh toni sukoyo, dengan dibantu oleh beberapa anggotanya yaitu sudiyar dan heru sutanto, ini melaksanakan untuk bertanggung jawab dalam