• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan karotenoid yang paling banyak ditemukan dalam. makanan yang direkomendasikan oleh FDA (Food and Drug Administration),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. merupakan karotenoid yang paling banyak ditemukan dalam. makanan yang direkomendasikan oleh FDA (Food and Drug Administration),"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang dan Permasalahan 1.1.1 Latar belakang

β-Karoten merupakan karotenoid yang paling banyak ditemukan dalam makanan yang direkomendasikan oleh FDA (Food and Drug Administration), memiliki aktivitas provitamin A tertinggi, dan memberikan manfaat kesehatan seperti anti-inflamasi dan anti kanker. Aplikasi β-karoten dalam formulasi pangan fungsional sangat terbatas karena rendahnya kelarutan dalam air, titik leleh yang tinggi, sangat rentan terhadap degradasi dan bioaksesibilitas yang rendah (Qian et al. 2012a; 2012b; Piorkowski dan McClements, 2014; Xia et al., 2014).

Senyawa bioaktif yang mampu secara efektif berperan pada kesehatan adalah senyawa yang terabsorbsi oleh tubuh. Peranan karotenoid dalam perlindungan penyakit terkait dengan kapasitas antioksidannya. Oleh karena itu, stabilitas, bioaksesibilitas, dan kapasitas antioksidan merupakan parameter yang sangat penting untuk diketahui dalam rangka pengembangan β-karoten sebagai bahan tambahan pangan fungsional.

Bioaksesibilitas didefinisikan sebagai zat gizi yang tersedia untuk absorbsi, yaitu fraksi yang dapat diakses untuk penyerapan ke dalam mukosa. Bioaksesibilitas meliputi tahapan-tahapan sebelum penyerapan di usus (termasuk tahapan miselarisasi untuk komponen lipofilik), dan umumnya dievaluasi menggunakan simulasi digesti in vitro (Courraud et al., 2013). Bioaksesibilitas merupakan konsep kunci untuk memastikan efisiensi zat gizi makanan dan pangan formula yang dikembangkan dengan tujuan untuk meningkatkan kesehatan manusia. Bioaksesibilitas karotenoid adalah fraksi karotenoid yang tersedia untuk diabsorpsi oleh sel-sel epitel mukosa usus halus, dan dinyatakan sebagai rasio

(2)

karotenoid yang tergabung dalam fase misel (mixed micelles) terhadap total karotenoid yang dikonsumsi.

Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan bioaksesibilitas karotenoid dalam makanan, yaitu antara lain pengolahan yang mengakibatkan rusaknya dinding sel matriks makanan seperti pengecilan ukuran dan homogenisasi tekanan tinggi (dengan maupun tanpa pemanasan), penambahan minyak atau co-ingesti (konsumsi bersama) minyak, dan dengan menggabungkannya dalam sistem pembawa berbasis emulsi (emulsion-based delivery system) (seperti emulsi, mikroemulsi dan nanoemulsi).

Beberapa penelitian memperlihatkan kelemahan dari strategi pengecilan ukuran, homogenisasi tekanan tinggi, pengolahan dengan penggunaan panas maupun co-ingesti minyak pangan. Pengecilan ukuran dan homogenisasi tekanan tinggi tidak mempengaruhi bioaksesibilitas β-karoten pada wortel dengan perlakuan panas maupun emulsi tomat (Lemmens et al., 2010; Svelander et al., 2011) bahkan menurunkan bioaksesibilitas likopen tomat (Colle et al., 2010). Pengolahan pangan dengan penggunaan panas menyebabkan terjadinya isomerisasi trans-cis karotenoid (Castenmiller dan West, 1998; Khoo et al., 2011). Bioefisiensi (yaitu fraksi karotenoid provitamin A yang diabsorpsi dan dikonversi menjadi bentuk aktifnya (retinol)), bioavailabilitas dan kapasitas antioksidan karotenoid mengalami penurunan akibat isomerisasi trans-cis karotenoid (Edge et al.,1997; Deming et al., 2002b; Deming et al., 2002c; Schieber dan Carle, 2005). Co-ingesti minyak pangan terbukti meningkatkan bioaksesibilitas karotenoid, namun ada fakta bahwa bioaksesibilitas karotenoid fraksi hidrofilik dari beberapa sumber pangan lebih tinggi dibanding fraksi lipofiliknya (Fernández-García et al., 2008; Fernández-García et al., 2012).

(3)

Bioaksesibilitas β-karoten dalam sistem pembawa nanoemulsi maupun emulsi dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi minyak (Qian et al., 2012b; Salvia-Trujillo et al., 2013a), konsentrasi β-karoten (Wang et al., 2012), ukuran droplet (Liu et al., 2012; Wang et al., 2012; Salvia-Trujillo et al., 2013b; Yi et al., 2014), dan tingkat lipolisis fase minyak (Nik et al., 2010; Nik et al., 2011). Bioaksesibilitas β-karoten dalam nanoemulsi dengan fase minyak trigliserida rantai panjang (long chain triglycerides, LCT), lebih tinggi dibanding nanoemulsi dengan trigliserida rantai sedang (medium chain triglycerides, MCT). Nanoemulsi dengan konsentrasi minyak yang lebih tinggi memberikan bioaksesibilitas β-karoten yang lebih tinggi, jika sebagai fase minyak digunakan MCT. Bioaksesibilitas β-karoten berbanding terbalik dengan ukuran droplet emulsi dan berbanding lurus dengan tingkat lipolisis fase minyak.

VCO (virgin coconut oil) diketahui kaya asam lemak rantai sedang, seperti asam lemak kaprat (C10:0) (5.21%), laurat (C12:0) (48.66%), miristat (C14:0) (17.82%) (Dayrit et al., 2007). Menurut Mu dan Høy (2004), trigliserida dominan pada minyak kelapa adalah DDD (laurat, laurat, laurat), CDD (kaprat, laurat, laurat) dan CDM (kaprat, laurat, miristat). VCO merupakan minyak dengan trigliserida dominan rantai sedang (MCT) dan telah dilaporkan memiliki manfaat bagi kesehatan.

Minyak sawit merupakan minyak dengan trigliserida dominan LCT yang tingkat konsumsinya di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dan penggunaannya terutama untuk pangan (Respati et al., 2010). Asam lemak penyusun minyak sawit adalah palmitat (C16:0) (36,7%), stearat (C18:0) (6,6%), oleat (C18:1) (46,1%), linoleat (C18:2) (8,6%) (Ramos et al., 2009). Trigliserida

(4)

dominan pada minyak sawit adalah POP (palmitat, oleat, palmitat), POO (palmitat, oleat, oleat) dan POL (palmitat, oleat, linoleat) (Mu dan Høy, 2004).

Produksi emulsi dan nanoemulsi dalam industri pangan umumnya menggunakan metode energi tinggi, seperti homogenisasi tekanan tinggi, teknik emulsifikasi-evaporasi, mikrofluidisasi dan sonikasi. Ada beberapa keterbatasan penggunaan metode energi tinggi, yaitu tingginya biaya peralatan dan operasional, kebutuhan daya tinggi, potensi kerusakan peralatan, dan sulitnya menghasilkan droplet dengan ukuran sangat kecil dari bahan yang diperbolehkan untuk pangan.

Mikroemulsi memiliki beberapa kelebihan dibanding emulsi maupun nanoemulsi. Mikroemulsi dapat dibuat tanpa melibatkan energi tinggi yaitu dengan emulsifikasi spontan (Flanagan dan Singh, 2006; Anton dan Vandamme, 2011). Mikroemulsi umumnya lebih mudah dibuat (Rao dan McClements, 2011a), memiliki ukuran diameter droplet yang sangat kecil (˂50nm), thermodynamically stable, transparan dan viskositasnya rendah (Huang et al., 2010; McClements, 2010; Rao dan McClements, 2011b; Ziani et al., 2012). Nanoemulsi juga memiliki kenampakan transparan karena ukuran partikel dropletnya yang sangat kecil (˂100nm) namun bersifat thermodynamic unstable (McClements, 2012b; Piorkowski dan McClements, 2014). Mikroemulsi dengan emulsifikasi spontan dapat dibentuk pada rasio surfaktan-minyak lebih dari 1 (Yang et al., 2012).

Tadros et al. (2004), melaporkan bahwa penggunaan mixed surfactant menghasilkan tegangan antarmuka yang lebih kecil dibandingkan penggunaan masing-masing surfaktan secara sendiri-sendiri, dan mikroemulsi bisa terbentuk jika tegangan antarmukanya rendah (Lv et al., 2006). Cho et al. (2008) memperlihatkan bahwa penggunaan campuran surfaktan HLB (hydrophile lipohile

(5)

balance) rendah dan HLB tinggi meningkatkan stabilitas mikroemulsi yang terbentuk. Surfaktan dengan HLB rendah akan berada di bagian dalam dan yang HLBnya tinggi akan berada di bagian luar dengan ekor rantai hidrokarbon saling berdekatan, sehingga meningkatkan partisi surfaktan pada lapisan antarmuka. Ariviani (2009) mengindikasikan bahwa surfaktan HLB sedang berperan sebagai kosurfaktan yang mampu berinteraksi dengan kedua jenis surfaktan yang lain (HLB rendah dan HLB tinggi), sehingga penggunaan campuran surfaktan HLB rendah, HLB sedang dan HLB tinggi mampu membentuk mikroemulsi yang stabil terhadap sentrifugasi, pemanasan, pengenceran maupun penyimpanan pada suhu ruang.

Ariviani (2009) berhasil membuat food grade mikroemulsi β-karoten dengan emulsifikasi spontan menggunakan minyak kedelai maupun minyak kanola sebagai fase minyak, dengan kombinasi 3 surfaktan nonionik Span 80 (HLB rendah), Span 40 atau Span 20 (HLB sedang) dan Tween 80 (HLB tinggi), serta rasio surfaktan-minyak 6,25. Chen dan Zong (2015), membuat mikroemulsi β-karoten dengan melarutkan β-karoten dalam minyak peppermint diikuti penambahan Tween 20, lesitin, dan aquades dengan rasio surfaktan-minyak 6,67-7,67. Roohinejad et al. (2015), membuat mikroemulsi β-karoten dengan metode emulsifikasi spontan, menggunakan fase minyak MCT berbagai konsentrasi, surfaktan Tween 80 dan rasio surfaktan-minyak 9; 4 dan 0,67. Tween dan Span merupakan surfaktan yang banyak dipergunakan dalam preparasi mikroemulsi dibidang farmasi karena potensi iritasi dan toksisitasnya rendah (Flanagan dan Singh, 2006).

Jenis minyak dan rasio surfaktan-minyak berpengaruh terhadap sifat dan stabilitas dispersi koloid yang terbentuk. Jenis minyak berpengaruh terhadap karakteristik diameter partikel droplet (Salvia-Trujillo et al., 2013a) dan zeta potensial (Qian et al., 2012b; Salvia-Trujillo et al., 2013a) nanoemulsi β-karoten.

(6)

Zeta potensial memberikan gambaran tentang muatan listrik permukaan droplet, dan dapat digunakan untuk memprediksi stabilitas emulsi.

Rasio surfaktan-minyak berpengaruh terhadap pembentukan sistem emulsi, seperti miniemulsi (Lamaallam et al., 2005), emulsi, nanoemulsi maupun mikroemulsi (Rao dan McClements, 2011a; Rao dan McClements, 2011b; Qian dan McClements, 2011). Ukuran partikel droplet semakin kecil dengan semakin meningkatnya rasio surfaktan-minyak. Stabilitas sistem emulsi semakin meningkat dengan semakin kecilnya ukuran droplet (Izquierdo et al., 2005).

Struktur molekul β-karoten yang merupakan rantai poliena terkonjugasi mengakibatkan senyawa ini rentan terhadap degradasi. Kinetika degradasi β-karoten dipengaruhi oleh konsentrasi awalnya (Stefanovich dan Karel, 1982). Degradasi karotenoid menyebabkan warnanya memudar dan menurunkan peranannya bagi kesehatan.

Degradasi karotenoid dipicu oleh panas, cahaya, oksigen singlet, asam, besi dan iodin, serta radikal bebas. Larutan β-karoten dalam aseton mengalami degradasi kimiawi mencapai 69% setelah dipapar simulasi digesti in vitro (Courraud et al., 2013). β-Karoten dalam minyak terdegradasi keseluruhan (retensi = 0%) setelah disimpan selama 10 hari pada suhu 25°C tanpa cahaya (gelap). Penyimpanan selama 30 hari pada suhu 4°C pada kondisi gelap menyisakan β-karoten sebesar 0,2% (Liang et al., 2013). Degradasi β-karoten dalam etil asetat pada penyimpanan suhu ruang selama 1 hari, 3 hari dan 5 hari berturut-turut mencapai 50%; 95,5% dan 98,1% (Chen dan Zong, 2015).

Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk melindungi karotenoid dari degradasi adalah dengan menggabungkannya dalam sistem pembawa berbasis emulsi. Yi et al. (2014) dan Qian et al., (2012b), melaporkan bahwa tidak teramati adanya degradasi β-karoten dalam emulsi maupun nanoemulsi setelah dipapar

(7)

simulasi mulut, lambung maupun usus. Laju degradasi β-karoten selama penyimpanan dapat dihambat dengan menggabungkannya dalam sistem pembawa nanoemulsi (Liang et al. 2013) maupun mikroemulsi (Chen dan Zhong, 2015).

Degradasi β-karoten dalam sistem pembawa nanoemulsi maupun emulsi selama penyimpanan berbanding terbalik dengan diameter partikel droplet (Tan dan Nakajima, 2005 Yi et al., 2014), meningkat seiring peningkatan suhu penyimpanan (Yuan et al., 2008; Hou et al., 2010; Qian et al., 2012a; Liang et al.,2013) dan dipengaruhi oleh jenis surfaktannya (Mao et al., 2009; Yin et al., 2009).

Perilaku molekul bioaktif dalam sistem emulsi sangat dipengaruhi oleh sifat sistem emulsi yang membawanya selama melewati saluran pencernaan. Droplet emulsi lipid mengalami satu seri proses fisik dan biokimiawi selama digesti yang menyebabkan destabilisasi emulsi lipid. Stabilitas fisik emulsi maupun nanoemulsi β-karoten selama simulasi digesti dipengaruhi oleh jenis surfaktan, diameter partikel dropet, dan jenis fase minyak (Liu et al., 2012; Qian et al., 2012b; Salvia-Trujillo et al., 2013a; Mun et al., 2015). Sufaktan yang umum digunakan dalam pangan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok protein seperti kaseinat,

β-laktoglobulin, isolate protein whey (WPI, whey protein isolate), dan kelompok non protein seperti sorbitan ester (Span), etoksilated sorbitan ester (Tween), fosfolipid. Penggunaan surfaktan dari golongan protein untuk menstabilkan emulsi karoten terbukti tidak stabil terhadap kondisi saluran pencernaan. Emulsi β-karoten mengalami flokulasi dan koalesensi pada simulasi lambung karena hidrolisis surfaktan oleh pepsin (Nik et al., 2010; Nik et al., 2011; Liu et al., 2012; Xu et al., 2012; Hou et al., 2014).

Kapasitas antioksidan (Trolox equivalent antioxidant capacity, TEAC) karotenoid (γ- dan β-karoten, likopen, rubixantin dan β-kriptoxantin) berbanding terbalik dengan bioaksesibilitasnya (Sólyom et al., 2014). Beberapa penelitian

(8)

seperti Perales et al. (2008), Pavan et al., (2014), dan Santini et al. (2014) menunjukkan peningkatan TEAC fraksi bioksesibel beberapa buah maupun minuman buah dibanding awalnya.

Kapasitas antioksidan karotenoid meningkat dengan peningkatan solubilitas (Kobayashi dan Sakamoto, 1999). Mikroemulsi mampu meningkatkan solubilitas komponen bioaktif hidrofobik yang dibawanya, seperti likopen (Spernath et al., 2002; Garti et al., 2004), gliserol mono laurat (Zhang et al., 2008), dan beberapa obat yang tidak larut air (Araya et al., 2005; Fanun, 2012). Ariviani et al. (2011a; 2011b), memperlihatkan bahwa mikroemulsi mampu meningkatkan efektivitas β-karoten dalam menghambat kerusakan fotooksidatif vitamin C.

1.1.2. Perumusan masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, permasalahan utama yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kemampuan mikroemulsi sebagai sistem pembawa β-karoten dalam meningkatkan stabilitas, bioaksesibilitas dan kapasitas antioksidan β-karoten. Permasalahan utama tersebut dijabarkan dalam beberapa permasalahan berikut:

1. Berapakah rasio surfaktan-minyak yang menghasilkan mikroemulsi stabil jika dibuat dengan metode emulsifikasi spontan menggunakan VCO maupun minyak sawit sebagai fase minyak?

2. Bagaimanakah karakteristik mikroemulsi β-karoten dengan kadar β-karoten yang berbeda, yang dibuat dengan rasio surfaktan-minyak terpilih?

3. Bagaimanakah stabilitas kimiawi β-karoten dalam mikroemulsi terpilih selama penyimpanan suhu 27°C, 15°C dan 4°C?

4. Bagaimanakah stabilitas fisik mikroemulsi, stabilitas kimiawi dan bioaksesibilitas β-karoten dalam mikroemulsi dengan penggunaan VCO

(9)

maupun minyak sawit pada konsentrasi 2% b/b dan 4% b/b sebagai fase minyak, pada simulasi digesti in vitro?

5. Bagaimanakah tingkat lipolisis minyak sawit maupun VCO dalam droplet mikroemulsi β-karoten dan korelasinya dengan bioaksesibilitas β-karoten? 6. Bagaimanakah perubahan kapasitas antioksidan (TEAC) β-karoten dalam

mikoemulsi sebelum dipapar kondisi saluran pencernaan dan β-karoten yang bioaksesibel (tergabung dalam misel)?

7. Bagaimanakah efektivitas mikroemulsi dalam meningkatkan bioaksesibilitas dan kapasitas antioksidan β-karoten dibanding emulsi?

1.2Tujuan dan Manfaat 1.2.1 Tujuan penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mengevaluasi kemampuan mikroemulsi sebagai sistem pembawa β-karoten untuk meningkatkan stabilitas, bioaksesibilitas dan kapasitas antioksidan. Tujuan umum ini dicapai melalui beberapa tujuan khusus yaitu:

1. Formulasi mikroemulsi stabil dengan variasi rasio surfaktan-minyak, menggunakan VCO maupun minyak sawit sebagai fase minyak, dengan metode emulsifikasi spontan.

2. Karakterisasi mikroemulsi β-karoten dengan kadar β-karoten yang berbeda yang dibuat dengan rasio surfaktan-minyak terpilih.

3. Evaluasi stabilitas kimiawi β-karoten dalam mikroemulsi terpilih selama penyimpanan suhu 27°C, 15°C dan 4°C.

4. Menentukan stabilitas fisik mikroemulsi, stabilitas kimiawi dan bioaksesibilitas β-karoten dalam mikroemulsi dengan fase minyak VCO maupun minyak sawit pada konsentrasi 2% b/b dan 4% b/b, menggunakan model digesti in vitro.

(10)

5. Menentukan tingkat lipolisis minyak sawit maupun VCO dalam droplet mikroemulsi β-karoten dan korelasinya dengan bioaksesibilitas β-karoten. 6. Menentukan kapasitas antioksidan (TEAC) β-karoten dalam mikroemulsi awal

dan β-karoten yang bioaksesibel (tergabung dalam misel).

7. Menentukan efektivitas mikroemulsi dalam meningkatkan bioaksesibilitas dan kapasitas antioksidan β-karoten dibanding emulsi.

1.2.2 Manfaat penelitian

Keberhasilan penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif penyelesaian masalah rendahnya stabilitas dan bioaksesibilitas β-karoten, sekaligus sebagai dasar bagi pengembangannya sebagai functional food ingredient.

1.3Kebaruan Penelitian

Kebaruan dari penelitian ini dibandingkan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini mengkaji potensi mikroemulsi sebagai sistem pembawa β-karoten dalam meningkatkan stabilitas, bioaksesibilitas dan kapasitas antioksidan. Kebaruan penelitian secara lengkap disajikan pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3 Kebaruan penelitian dibandingkan penelitian sebelumnya

No Tema Penelitian sebelumnya Kebaharuan

penelitian 1. Formulasi

mikroemulsi

 Cho et al. (2008) membuat mikroemulsi dengan homogenisasi kecepatan tinggi menggunakan kombinasi 2 surfaktan dan minyak kanola sebagai fase minyak.

 Spernath et al. (2002), Amar et al. (2003), Li

et al. (2005), membuat mikroemulsi dengan emulsifikasi spontan. Mikroemulsi dibuat menggunakan surfaktan HLB tinggi saja atau kombinasi HLB tinggi dan rendah.

 Ariviani (2009) menghasilkan mikroemulsi dengan stabilitas terbaik dengan metode emulsifikasi spontan menggunakan kombinasi 3 surfaktan nonionik. Minyak

Formulasi mikroemulsi menggunakan metode emulsifikasi spontan, dengan kombinasi tiga surfaktan nonionik. VCO maupun minyak sawit

sebagai fase minyak, pada rasio surfaktan-minyak 2, 3, 4, dan 5.

(11)

kedelai maupun minyak kanola sebagai fase minyak, dan rasio surfaktan-minyak 6,25. 2. Pembuatan

mikroemulsi β-karoten

 Chen dan Zong (2015), membuat mikroemulsi β-karoten menggunakan fase minyak peppermint dengan proporsi minyak, Tween 20, β-karoten, lesitin berturut-turut 3% b/b; 20% b/b; 0,1% b/v; 0% - 3% b/b, dan rasio surfaktan-minyak 6,67-7,67.

 Roohinejad et al. (2015), membuat mikroemulsi β-karoten menggunakan fase minyak trigliserida rantai sedang (1 – 8% b/b, 16% b/b dan 30% b/b), surfaktan Tween 80 dengan rasio surfaktan-minyak berturut-turut 9; 4 dan 0,67.

 Pada penelitian Ariviani (2009), β-karoten yang diisikan 300ppm, menggunakan minyak kedelai maupun kanola dengan konsentrasi minyak 1,57% b/b, dan rasio sufraktan-minyak 6,25. Menggunakan formula mikroemulsi terpilih (rasio surfaktan minyak 4) dengan fase minyak VCO

maupun minyak

sawit dan kadar β-karoten 0,025% b/b dan 0,05% b/b. 3. Stabilitas β-karoten selama penyimpanan  Hou et al. (2010) dan Yi et al. (2014) mengkaji stabilitas emulsi β-karoten selama penyimpanan.

 Tan dan Nakajima (2005), Yuan et al. (2008), Mao et al. (2009), Yin et al. (2009) Qian et al., (2012a), dan Liang et al., (2013) dan telah mempelajari stabilitas β-karoten dalam nanoemulsi selama penyimpanan.

 Chen dan Zong (2015) mempelajari stabilitas β-karoten (0,1% b/v) dalam mikroemulsi dengan fase minyak peppermint selama penyimpanan suhu ruang, 60 °C, 80°C dan radiasi UV. Mengevaluasi stabilitas β-karoten (0,025% b/b dan 0,05% b/b) dalam mikroemulsi yang berbeda jenis minyaknya (VCO dan minyak sawit) selama penyimpanan berbagai suhu (4°C, 15°C dan suhu 27°C) yang merepresentasikan kondisi komersial akhir. 4. Stabilitas fisikokimiawi β-karoten dalam sistem pembawa berbasis emulsi selama digesti in vitro

 Liu et al. (2012) dan Mun et al. (2015), mempelajari stabilitas fisik emulsi β-karoten selama digesti in vitro.

 Salvia-Trujillo et al. (2013a), mempelajari stabilitas fisik nanoemulsi β-karoten selama digesti in vitro.

 Yi et al. (2014) mempelajari stabilitas kimiawi β-karoten dalam emulsi selama digesti in vitro.

 Qian et al. (2012b) mempelajari stabilitas fisik dan kimiawi nanoemulsi β-karoten selama digesti in vitro.

Mempelajari stabilitas fisik dan kimiawi

mikroemulsi β-karoten dengan fase

minyak yang

berbeda jenis dan konsentrasinya, selama digesti in vitro. 4. Bioaksesibilitas β-karoten dalam sistem pembawa berbasis emulsi

 Liu et al.( 2012) dan Wang et al. (2012) mempelajari bioaksesibilitas β-karoten dalam emulsi.

 Qian et al.( 2012b), Wang et al. (2012), Salvia-Trujillo et al.( 2013a) dan

Salvia-Mempelajari bioaksesibilitas

β-karoten dalam

mikroemulsi dengan jenis dan konsentrasi

(12)

Trujillo et al. (2013b) mempelajari bioaksesibilitas β-karoten dalam nanoemulsi.

fase minyak yang berbeda.

5. Tingkat lipolisis fase minyak dan korelasinya dengan

bioaksesibilitas

 Liu et al. (2012), Yi et al.( 2014) dan Mun et al. (2015) mempelajari tingkat lipolisis emulsi β-karoten.

 Qian et al. (2012b), Salvia-Trujillo et al. (2013a; 2013b) mempelajari tingkat lipolisis nanoemulsi β-karoten.

 Nik et al. (2010) dan Nik et al. (2011) mempelajari korelasi antara lipolisis fase minyak emulsi dan proporsi β-karoten yang tergabung dalam fase miselar.

Ditentukan tingkat lipolisis

mikroemulsi dengan fase minyak yang berbeda jenis dan konsentrasinya. Selanjutnya diuji korelasinya terhadap bioaksesibilitas β-karoten. 6 Kapasitas antioksidan (TEAC) β-karoten dalam mikroemulsi

 Chen dan Zong (2015) menentukan TEAC mikroemulsi β-karoten dibandingkan mikroemulsi tanpa β-karoten, β-karoten dalam etanol dan campuran surfaktan yang digunakan untuk pembuatan mikroemulsi.

 Roohinejad et al. (2014) melaporkan kemampuan mikroemulsi β-karoten dalam menghambat kerusakan oksidatif sel Caco-2 yang disebabkan oleh H2O2.

 Ariviani (2011a; 2011b) memperlihatkan efektivitas mikroemulsi β-karoten dalam menghambat kerusakan fotooksidatif vitamin C dalam sistem model maupun sari buah jeruk.

 Sólyom et al. (2014) mengevaluasi kapasitas antioksidan (TEAC) β-karoten dalam heksan dan β-karoten yang bioaksesibel setelah emulsi β-karoten dipapar simulasi digesti in vitro.

Mikroemulsi β-karoten dengan konsentrasi dan jenis

minyak yang berbeda ditentukan kapasitas antioksidan (TEAC) sebelum dipapar simulasi digesti (awal) dan yang bioaksesibel. 7 Efektivitas mikroemulsi dalam meningkatkan biosksesibilitas in vitro dan kapasitas antioksidan β-karoten  Wang et al. (2012) membandingkan bioaksesibilitas β-karoten dalam emulsi dengan berbagai ukuran diameter partikel (18315nm, 1978 nm, 873 nm dan 684 nm).

 Salvia-Trujillo et al. (2013b) membandingkan bioaksesibilitas β-karoten dalam emulsi dengan diameter partikel rerata besar (23000 nm), sedang (380 nm) dan kecil (210 nm).

 Yi et al. (2014) membandingkan bioaksesibilitas β-karoten dalam emulsi dengan diameter partikel 368 nm, 312 nm, 207nm, 175nm, dan 124nm. Kemampuan mikroemulsi dibandingkan dengan emulsi dalam meningkatkan bioaksesibilitas dan kapasitas antioksidan (TEAC) β-karoten.

Gambar

Tabel 1.3 Kebaruan penelitian dibandingkan penelitian sebelumnya

Referensi

Dokumen terkait

Sumber Rejeki Kiajaran dengan volume kontrak sebanyak 2.505.000 (dua juta lima ratus lima ribu) Kg dan Satgas ADA DN 2013 dengan volume kontrak sebanyak 150.000 (seratus lima puluh

Kedua cenderung kemajuan teknologi informasi telah dijadikan komoditi untuk melakukan kejahatan siber ( cybercrime), baik kejahatan berupa hacking, pembobolan kartu

2: 77-88 87 dengan kondisi pada masyarakat nelayan Kelurahan Kota Karang Raya yang merasakan manfaat dari program Bina Lingkungan, manfaat dari program Bina

D ESKRIPSI SINGKAT : Mata kuliah ini membahas tentang konsep dasar dan hakekat profesi kependidikan, persyaratan menjadi guru, tugas, kewajiban dan hak guru,

Selain itu, perhitungan harga pokok produksinya pun masih belum tepat karena biaya bahan baku langsung belum dihitung berdasarkan standar yang spesifik dan

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mencari bukti empiris relasi antara biaya dan pengungkapan corporate social responsibility dengan kinerja keuangan, yaitu return on equity (ROE)

Penelitian ini bertujuan mengetahui: 1) Materi yang diajarkan di SMK Negeri 4 Surakarta jurusan patiseri. 2) Tingkat relevansi materi pembelajaran patiseri di SMK Negeri

Rias Busana dan Aksesories (Hari dan Tempat yang sama) a.. Rias Busana Pengantin Internasional untuk Resepsi