• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam Bab ini akan dipaparkan data hasil penelitian beserta dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam Bab ini akan dipaparkan data hasil penelitian beserta dengan"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

32

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam Bab ini akan dipaparkan data hasil penelitian beserta dengan analisa data. Data dan analisa data dipaparkan secara deskriptif mengenai pengalaman partisipan penelitian yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Lebih lanjut Herdiansyah (2010) mengungkapkan bahwa secara umum analisa data kualitatif terdiri dari : pengumpulan data, reduksi data, display data dan kesimpulan. Setelah semua data diperoleh melalui wawancara dan observasi, peneliti melakukan analisa data sesuai dengan tahapan yang dirancangakan sebelumnya.

Proses analisa dimulai dengan pengetikan transkrip wawancara yang peneliti lakukan secara manual dengan mendengarkan hasil rekaman sembari mengetik kata per kata. Selanjutnya peneliti menambahkan nomor dengan kelipatan 5 (5,10,15,dst...) pada bagian kanan transkrip agar memudahkan dalam proses analisa data. Peneliti memberikan kode sesuai dengan nama inisial masing-masing partisipan, agar memudahkan peneliti dalam menyusun data tersebut. Untuk Partisipan pertama (P1), Partisipan kedua (P2), Partisipan ketiga (P3), Partisipan keempat (P4), Partisipan kelima (P5). Selanjutkan untuk Keluarga Pasien peneliti memberikan kode pada masing-masing Keluarga Pasien. Untuk Penyembuh sendiri (PY).

(2)

33 Dalam laporan ini hasil observasi tidak peneliti paparkan secara khusus pada bagian observasi namun penulisnya menuliskannya pada bagian catatan lapangan dan gambar yang diambil pada saat proses penyembuhan. Hal ini dilakukan karena ketika menulis catatan lapangan penulis juga telah menulis hasil observasi dan melakukan pengambilan gambar.

4.1 Setting Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Desa Waai

Gambar 4.1. Peta Pulau Ambon

WAAI

Desa Waai adalah salah satu desa di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, yang berada dipesisir pantai, yang berbatasan dengan sebelah selatan Desa Liang dan timur dengan Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah. Desa Waai berjarak ± 50km dari pusat Kota Ambon, dengan jumlah penduduk berdasarkan data terakhir (5 maret 2015)

(3)

34 sebanyak 7705 jiwa ; diantaranya laki laki 3809 jiwa dan perempuan 3896 jiwa.

4.1.2 Proses Pelaksanaan Penelitian

4.1.2.1 Persiapan Penelitian

Sebelum melakukan penelitian peneliti terlebih peneliti mulai mempersiapkan berbagai surat untuk ijin penelitian pada tanggal 8 April 2016 dan mendapatkan ijin penelitian dari Rumah Sakit pada tanggal 19 April 2016, kemudian peneliti menentukan partisipan yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Peneliti mendapatkan informasi mengenai partisipan yang akan diwawancarai dari si Penyembuh. Partisipan berasal di desa Waai dan desa-desa lain yang ada di kota Ambon.

Sebelum melakukan wawancara, terlebih dahulu peneliti menyiapkan pertanyaan awal yang menjadi pedoman bagi peneliti untuk mendapatkan data yang diinginkan oleh peneliti. Peneliti juga menyediakan Informed consent dan surat penjelasan penelitian.

Dalam proses wawancara peneliti juga menggunakan alat perekam berupa telepon genggam atau telepon seluler (handphone) untuk merekam apa yang akan diwawancarai serta alat tulis untuk mencatat

(4)

35 hasil wawancara atau data-data tambahan dalam bentuk tulisan yang berasal dari partisipan. Alat perekam akan digunakan apabila mendapat ijin dari partisipan dan tidak keberatan untuk direkam saat wawancara.

4.1.2.2 Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini mulai dilaksanakan pada tanggal 20 April – 10 Mei 2016. Penelitian dilakukan di tempat pengobatan sambung tulang dan mengunjungi partisipan pada rumah dan alamat mereka yang diberikan oleh si Penyembuh. Peneliti melakukan pendekatan dengan partisipan, setelah itu menjelaskan maksud dan tujuan penelitian, mengucapkan terima kasih pada partisipan karena sudah bersedia menjadi partisipan peneliti dan ditandai dengan penandatanganan surat persetujuan berupa informed consent, setelah itu meminta ijin merekam setiap percakapan dengan partisipan dan kemudian memulai melakukan wawancara.

(5)

36

Tabel 4.1. Uraian pelaksanaan penelitian

S Tanggal

Wawancara

Waktu Durasi Keterangan

PY Minggu, 24 April 2016 19.00 WIT 41:23

Menit  Peneliti berkunjung ke ruang rumah partisipan  Melakukan pendekatan dengan partisipan  Menjelaskan

maksud dan tujuan penelitian  Mengucapkan terima kasih kepada partisipan  Penandatanganan pada informed consent  Meminta izin merekam setiap percakapan dengan partisipan P1 Jumat, 22 April 2016 19.00 WIT 16:34 Menit P2 Senin, 25 April 2016 19.10 WIT 11:57 Menit P3 Selasa, 26 April 2016 17.30 WIT 11:06 Menit P4 Selasa, 26 April 2016 19.02 WIT 10:05 Menit P5 Minggu,1 Mei 2016 13.00 WIT 09:39 Menit P6 Senin, 9 Mei 2016 19.45 WIT 12:04 Menit P7 Senin, 9 Mei 2016 20.45 WIT 12:16 Menit

(6)

37  Mewawancarai

partisipan

4.1.3 Gambaran Umum Partisipan

Tabel 4.2. Identitas Partisipan (P)

P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Nama Tn. A Tn. N Tn. M Tn. G Tn. E Nn. M Tn. I Umur 41 thn 39 thn 22 thn 30 thn 23 thn 17 thn 42 thn Jenis Kelamin L L L L L P L Pendidik an

Sarjana SMA SMA SMA

Sarjan a

SMA SMA

Pekerjaa n

PNS Petani - Supir Angkot Mahas iswa Pelajar Swasta Agama Kristen Protesta n Kristen Protestan Kristen Protesta n Kristen Protestan Kriste n Protes tan Kristen Protesta n Kristen Protestan

Tabel 4.3. Identitas Penyembuh (PY)

PY

Nama Tn. C

Umur 50 thn

(7)

38

Pendidikan SMA

Pekerjaan Petani, Penyembuh Agama Kristen Protestan

4.1.3.1 Identitas Partisipan 1

P1 adalah pasien yang melakukan pengobatan sambung tulang pada tanggal 13 April 2016. P1 berumur 41 tahun datang dengan keluhan patah tulang pada tulang selangka dan darah mati pada bagian belakang kepala karena mengalami kecelakaan ditabrak motor saat sedang berjalan ditepi jalan. Pasien melakukan pengobatan sambung tulang topu bara selama 2 minggu 3 hari di desa Waai. P1 sebelum ke desa Waai, sempat melakukan pengobatan ke Rumah Sakit Kairatu.

4.1.3.2 Identitas Partisipan

P2 adalah salah satu pasien yang berasal dari desa Waai. P2 berumur 39 tahun datang dengan keluhan patah tangan kanan karena mengalami kecelakaan jatuh dari atas pohon saat sedang bekerja di kebun. P2 melakukan pengobatan sambung tulang

(8)

39 topu bara selama 2 bulan di desa Waai. P1 saat jatuh langsung ditangani oleh sambung tulang topu bara.

4.1.3.3 Identitas Partisipan 3 dan Keluarga Pasien

P3 adalah salah satu pasien yang berasal dari desa Waai. P3 berumur 22 tahun datang dengan keluhan patah pada pergelangan tangan karena mengalami kecelakaan jatuh saat bermain bola di sekolah. P3 melakukan pengobatan sambung tulang topu bara selama 2 bulan lebih di desa Waai. P2 saat jatuh langsung di tangani oleh sambung tulang topu bara.

4.1.3.4 Identitas Partisipan 4

P4 adalah salah satu pasien yang berasal dari desa Waai. P4 berumur 30 tahun datang dengan keluhan patah bahu karena megalami kecelakaan jatuh saat sedang mabuk. P4 saat jatuh di bawa ke rumah sakit sebelum akhirnya dibawa ke sambung tulang topu bara.

(9)

40 4.1.3.5 Identitas Partisipan 5

P5 adalah salah satu pasien yang berasal dari Kota Ambon di daerah Bere-Bere. P5 berumur 23 tahun datang dengan keluhan patah pada bagian paha sebelah kanan karena megalami kecelakaan jatuh saat ditabrak saat berkendaraan dengan motor. P5 melakukan pengobatan sambung tulang topu bara selama 2 bulan 12 hari di desa Waai. P5 saat jatuh di bawa ke rumah sakit sebelum akhirnya di bawa ke sambung tulang topu bara.

4.1.3.6 Identitas Partisipan 6

P6 adalah salah satu pasien yang berasal dari desa Waai. P6 berumur 17 tahun datang dengan keluhan patah betis dan tulang kering pada bagian kaki karena megalami kecelakaan jatuh saat berkendara dengan motor. P6 melakukan pengobatan sambung tulang topu bara selama 3 bulan lebih di desa Waai. P6 saat jatuh di bawa ke rumah sakit sebelum akhirnya di bawa ke sambung tulang topu bara.

(10)

41 4.1.3.7 Identitas Partisipan 7

P7 adalah salah satu pasien yang berasal dari desa Waai. P7 berumur 42 tahun datang dengan keluhan patah lutut dan pergelangan kaki pada bagian kaki kanan karena megalami kecelakaan lalulintas ditabrak motor. P7 melakukan pengobatan sambung tulang topu bara selama 1 tahun lebih di desa Waai. P2 saat jatuh di bawa ke rumah sakit sebelum akhirnya di bawa ke sambung tulang topu bara.

4.1.3.8 Identitas Penyembuh

PY adalah salah penyembuh sambung tulang topu bara yang berasal dari desa Waai. PY berumur 50 tahun berkulit sawo matang dengan tinggi 160 cm berat badan 80 kg dengan pekerjaan sebagai petani dan juga penyembuh. PY sudah memulai karirnya pada tahun 2006 dan bisa diperkirakan pasien yang sudah ditangani ± 100 baik dari daerah Pulau Ambon dan daerah pulau disekitarnya, bahkan ada juga dari luar daerah Maluku seperti Papua, Sulawesi dan Jawa. PY menetap di desa Waai dan memiliki satu istri dan satu anak.

(11)

42

4.2 Proses Penyembuhan

4.2.1 Interaksi Penyembuh dan Pasien

4.2.1.1 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang penyembuh sambung tulang topu bara pakai adalah yang alat dan bahan tradisional seperti yang terlihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Alat dan Bahan Topu Bara

Alat Bahan

1 buah bokor bundar atau wadah

3 lembar daun pisang abu-abu panjang 50cm dan lebar 60cm bagian luar

1 buah sekrup kecil

3 lembar daun pisang abu-abu panjang 50cm dan 1 lebar 40cm bagian dalam

1 buah seng berbentuk persegi

3 lembar daun pisang abu-abu panjang 50cm dan lebar 30cm bagian pegangan

Spalak yang tebuat dari gaba-gaba Tombak pisang meja

Kain balut Minyak kelapa atau minyak goreng 1 buah korek api Kayu cemara

4.2.1.2 Proses Persiapan dan Penyembuhan Topu bara

Pengobatan sambung tulang topu bara adalah suatu interaksi antara penyembuh dengan pasien secara tatap muka, yaitu pasien yang datang dengan keluhan patah dibagian tubuh. Dalam proses interaksi pengobatan sambung tulang topu bara ini, penyembuh akan memeriksa terlebih dahulu keadaan pasien yang

(12)

43 datang, setelah penyembuh telah memeriksa dan mengetahui bagian tubuh mana yang patah, seberapa parah keadaan patah, maka selanjutnya penyembuh akan mempersiapkan alat dan bahan untuk proses penyembuhan.

Dalam pengobatan tulang topu bara ini, penyembuh akan menyediakan dan menggunakan alat dan bahan yang bersifat tradisional. Alat atau sarana tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.4. Setelah melakukan proses persiapan alat dan bahan, penyembuh melanjutkan ke proses berikutnya dengan mempersiapkan bara, dengan cara kayu cemara yang sudah disediakan di atas tungku yang beralaskan seng persegi tersebut, dibakar sampai menjadi bara panas. Kegunaan dari bara panas ialah sebagai stimulus yang berupa panas itu sendiri. Panas dari bara tersebut bertujuan untuk melakukan proses relaksasi terhadap jaringan otot dan pembuluh darah yang mengalami patah atau hematom, sehingga terjadinya pelebaran dari jaringan dan pembuluh darah. Aplikasi panas akan meningkatkan suhu jaringan, yang berakibat peningkatan elastisitas otot, melancarkan aliran darah lokal, dan mengurangi kejang otot (Cochrane, 2004).

(13)

44 Alasan tersebut yang melatarbelakangi Partisipan tidak merasakan sakit yang berlebihan saat proses topu bara berlangsung.

Disela-sela proses pembakaran, penyembuh akan menyiapkan minyak kelapa atau minyak goreng ke dalam wadah atau bokor yang sudah disediakan dan juga penyembuh akan merauw daun pisang yang sudah disediakan berdasarkan ukurannya tersebut. Merauw merupakan tindakan melayukan atau melunakan tekstur daun dengan cara daunnya di kenakan diatas api. Tujuan di rauw agar supaya tekstur daun menjadi lunak sehingga pada saat bara panas di masukan untuk dibungkus, tidak terjadi sobekan pada daun pisang yang akan melukai pasien maupun penyembuh tersebut.

Selanjutnya daun pisang yang sudah di rauw tersebut di atur sesuai posisinya dan ukurannya. Langkah selanjutnya penyembuh akan mengangkat bara panas tersebut dari tungku dan menaruhnya ke daun pisang yang sudah di atur posisi dan ukurannya, kemudian melakukan pembungkusan. Setelah dibungkus, penyembuh akan mencelupkan bungkusan yang pertama kedalam minyak yang sudah disediakan

(14)

45 tadi, kemudian melakukan topu pada daerah yang mengalami patah tulang. Langkah tersebut dilakukan sampai selesai pada bungkusan ke tiga. Setelah selesai melakukan topu, penyembuh akan memeriksa kembali keadaan tulang yang patah kemudian akan memposisikannya apabila posisi tulang tidak benar dengan cara ditarik. Setelah posisi tulang sudah benar, maka penyembuh akan membalut bagian yang patah tersebut dengan tombak pisang yang sudah disediakan sesuai ukuran daerah patah. Setelah itu bagian tubuh yang patah akan dibalut dengan kain balut sampai kain balut tersebut kira-kira ½ bagian dari gulungannya. Selanjutnya penyembuh akan memberikan spalak pada bagian tubuh yang patah dan melakukan balutan kembali sampai balutan yang sudah ½ bagian tersebut habis. Proses penyembuhan ini terus berlangsung sebanyak satu 6 kali dalam satu minggu dan akan berlanjut terus sampai keadaan tubuh yang mengalami patah tersebut sembuh total.

(15)

46

4.3 Hasil Penelitian

4.3.1 Deskripsi Hasil Analisa

Dari hasil penelitian ini terdapat 4 tema yang menjawab tujuan penelitian tentang bagaimana mengetahui Tradisi Sambung Tulang atau Topu Bara di Desa Waai Pulau Ambon Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah dilihat dari prespektif Health Belief.

A.

Pengalaman dan dorongan lingkungan sosial dalam proses

pegambilan keputusan memilih pengobatan sambung tulang

Di daerah Maluku, khususnya Desa Waai dan sekitarnya, dalam mengambil sebuah keputusan dalam memilih sebuah pengobatan patah tulang, ada beberapa hal yang berpengaruh yang sangat kuat menurut partisipan, namun dalam tema ini ada dua hal yang mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut. Dua hal tersebut ialah pengalaman dan dorongan dari lingkungan sosial.

Pengalaman yang dimiliki partisipan adalah pengalaman melihat proses penyembuhan sambung tulang topu bara yang pernah dijalani oleh orang lain sebelumnya, pengalaman mendengar cerita tentang sambung tulang topu bara tentang keberhasilannya bahkan pernah menyarankan dan membawa

(16)

47 orang yang mengalami patah tulang ke tempat penyembuhan sambung tulang topu bara.

Sedangkan dorongan dari luar atau dari lingkungan sosial yang didapatkan dari partisipan sendiri adalah berupa dorongan berupa saran dan motivasi dari keluarga dan juga teman sebaya yang menyarankan bahkan mengharuskan untuk mengambil pengobatan sambung tulang topu bara.

Pengaruh dari dua hal diatas menurut partisipan sangat mempengaruhi dan memperkuat keyakinan mereka untuk memilih pengobatan sambung tulang topu bara. Bahkan mereka mengatakan sangat yakin, tidak ragu dan tidak ada hambatan untuk memilih pengobatan sambung tulang topu bara. Dalam hal ia mengambil keputusan, berperilaku, dorongan dari dalam maupun luar diri dan pengalaman yang dilihat sebelumnya tersebut dapat dilihat pada ungkapan 2 partisipan sebagai berikut :

“Tidak, tidak , tidak pernah, iya tidak pernahada hambatan” (P1: 113) “Ya alternatif topu bara” (P1: 73)

“Tidak pernah ada dorongan-dorongan dari luar. Tidak pernah ada” (P1: 41-42)

“Iya sangat kuat sekali dari dalam diri” (P1: 144) “B sudah pernah bawa teman, bawa orang” (P1: 137)

“Seng ada, seng ada hambatan. Kalo untuk mau, untuk mau Topu bara seng ada hambatan untuk hal itu karena itu, kalau seng begitu seng sembuh. Jadi seng ada” (P4: 35-37)

“Keluarga sendiri yang pulang to, supaya langsung di diharuskan untuk Topu Bara,tidak di haruskan lanjut di medis” (P4: 44-45)

“Orang tua”. (P4: 47)

(17)

48

“Ada, pengalamannnya pada saat itu, oto Waai dulu ketabrak lalu semua orang patah. (P4: 62-63)

“Iya. Beda-beda, jadi pada saat itu, itu orang Liang yang munculkan Topu Bara itu. Jadi pada saat itu langsung orang mengambil ambil satu alternatif untuk menyembuhkan tulang patah dengan cara Topu Bara. (P4: 76-78)

Ungkapan di atas menggambarkan bagaimana partisipan mengambil keputusan bahkan berperilaku dalam memilih suatu treatment berawal dari dorongan kuat dari luar dan pengalaman sebelumnya sehingga berdampak pada dorongan dari dalam dirinya. Ungkapan dari partisipan lain yang dapat mendukung tema tersebut yaitu pada (P2:181-182, 39-40, 57, 65, 65, 68-69 P3 :16-17,13-14, 96-100, 20-22, 42-43 P5: 112-113, 40-42, 45-46, 49 P6:173, 185-186, 203,193, 133-134, 140-144, 148 P7:78, 49-50, 66-67, 64)

B. Pengobatan topu bara lebih menguntungkan dari rumah sakit (medis)

Dalam tema ini, peneliti menemukan beberapa pemahaman dari partisipan yang masih singkron dengan pernyataan partisipan pada tema sebelumnya, bahwa dalam memilih pengobatan atau tenaga kesehatan bisa juga dilihat dari beberapa hal, seperti proses penyembuhan, keuntungan apa yang akan didapat dari sebuah pengobatan, dan hasil akhir dari sebuah pengobatan yang disediakan. Dari beberapa hal tersebut, peneliti menemukan bagaimana partisipan melakukan sebuah perbandingan dari 2

(18)

49 pengobatan yang disediakan lingkungan sosial baik dari sambung tulang topu bara dan juga dari pihak rumah sakit (medis).

Beberapa hal tersebut ialah :

1. Partisipan mengungkapkan bahwa dalam hal pengobatan terkait sambung tulang topu bara, penyembuh melakukan pengobatan sesuai dengan pelayanannya, dan lebih nyaman dari pihak medis.

2. Keuntungan yang diberikan dari sambung tulang topu bara ialah dari segi ekonomi (biaya) sendiri tidak menjadi suatu patokan bahkan dari hasil akhir yang di berikan sangat meyakinkan sedangkan dari pihak medis sendiri untuk biaya akan sangat mahal dan hasil akhirnya kurang begitu meyakinkan. 3. Hasil akhir dari pelayanan yang diberikan dari sambung tulang topu bara adalah partisipan bisa berjalan atau melakukan aktifitas dengan normal bahkan beberapa partisipan mengatakan lebih kuat dari sebelumnya dan tidak kehilangan kaki, namun dari pihak medis hasil akhir yang didapatkan akan mengarah ke pemasangan semen putih, platina yang memiliki efek samping bahkan hal terburuk yang tidak diinginkan partisipan ialah amputasi.

Dari perbandingan diatas yang sangat menguntungkan menurut pemahaman partisipan ialah pengobatan sambung

(19)

50 tulang topu bara. Ungkapan tersebut dapat dilihat pada ungkapan 2 partisipan berikut :

“Iya, jadi itu untuk alternatif ini sangat menguntungkan, kenapa, ini hanya tidak pernah menentukan berapa biaya” (P1: 96-97)

“Penyembuhan ini memang melakukannya sesuai pelayanan” (P1: 103-104)

“Terasa sekali. Sangat perubahan” (P1: 145)

“Dari sisi medis itu prosesnya ahh sangat terlalu lama” (P1: 19-20) "Untungnya katong bisa tulang yang su patah ini kayak bahu, beta

pung bahu patah ini setelah Topu Bara beta bisa bapikul, malah masih kuat, to.. tapi kalo masuk tim medis kalo pasang platina atau itu seng bisa apa-apa, jadi keuntungannya disitu” (P4: 122-125) “Kalo beta, katong tu di Waai ni tertarik berdasarkan kalo bawa ke tim

medis ujung-ujungnya pasang platina atau semen putih, tapi kalo sambung tulang ini, Topu Bara, dia bisa sembuh total, malah lebih kuat dan tidak ada efek samping. Na itu” (P4: 27-30)

“Tidak bisa bergerak to, dia bisa ganggu hal yang lain, tapi kalo katong urut atau patah tulang katong urut kasih duduk tulang lalu Topu kan baru kan spaleg jadi tulang itu yang diurut yang ditaruh itu tetap, jadi di di obati dengan Topu Bara, jadi dia tetap normal. (P4: 101-104) “Kalo beta, katong tu di Waai ni tertarik berdasarkan kalo bawa ke tim

medis ujung-ujungnya pasang platina atau semen putih, tapi kalo sambung tulang ini, Topu Bara, dia bisa sembuh total, malah lebih kuat dan tidak ada efek samping. Na itu” (P4: 27-30)

Ungkapan diatas menggambarkan bagaiman partisipan melihat keutungan dan membandikan sebuah pengobatan yang tersedia untuk ia pilih. Ungkapan dari partisipan lain yang dapat

mendukung tema tersebut yaitu pada (P2:82, 91, 99, 18-20 P3:66, 118-121, 33-34 P5:71-72, 90, 95-96, 53-55 P6:69, 71, 180-181 P7: 82, 19-20, 45-47

PY:482-484, 422-424, 460-462, 481-482, 486, 421-422)

C. Pengetahuan korban terkait dampak dari patah tulang

Dalam penelitian ini, peneliti menemukan beberapa pemahaman partisipan terkait bahaya atau dampak yang akan

(20)

51 terjadi pada partisipan apabila mengalami patah tulang jika tidak ditangani dengan baik. Partisipan mengungkapkan bahwa jika tidak ditangani dengan baik, maka patah tulang memiliki bahaya atau dampak yang besar.

Bahaya atau dampak yang akan muncul tersebut ialah : 1. Jika tidak ditangani dengan baik bisa saja berpengaruh ke syaraf.

2. Tulang atau daging mengalami pembusukan.

3. Tidak bisa beraktifitas, bergerak, berjalan dan menggangu fungsi kerja.

Ungkapan tersebut dapat dilihat pada ungkapan 2 partisipan berikut :

“Ohhh (dengan tegas) itu sangat berbahaya dan sangat berpengaruh, karena kalau misalnya sampai ada pengaruh dan tidak ada penyembuhan, itu kan sangat, sangat berpengaruh, karena dia bisa berpengaruh sampai ke saraf” (P1: 67-70)

“Berbahaya” (P4: 95)

“Tidak bisa bergerak to, dia bisa ganggu hal yang lain, tapi kalo katong urut atau patah tulang katong urut kasih duduk tulang lalu Topu kan baru kan spaleg jadi tulang itu yang diurut yang ditaruh itu tetap, jadi di di obati dengan Topu Bara, jadi dia tetap normal” (P4: 101-104)

Ungkapan diatas menggambarkan bagaimana partisipan melihat akan bahaya dari patah tulang dan pengaruh yang akan timbul jika tidak ditangani dengan baik. Ungkapan dari partisipan lain yang dapat mendukung tema tersebut yaitu pada (P2: 107, 110-111

(21)

52

D. Proses menjadi seorang tradisional Healer

Dalam tema ini dengan jelas menggambarkan perjalanan Penyembuh sambung tulang. Awalnya penyembuh adalah seorang yang pernah menjadi pasien. Selama ia menjadi pasien, ia melihat proses sambung tulang dari awal sampai akhir. Bahkan ia sempat membantu untuk mempersiapkan alat dan bahan untuk topu bara ketika ia sudah sembuh.

Awalnya penyembuh tidak berniat untuk menjadi penyembuh, namun sampai pada suatu hari, adik perempuannya jatuh namun

tidak patah, hanya darah mati saja (Hematome) dan ia mulai mempraktekkan sambung tulang topu bara sesuai apa yang pernah ia lihat sewaktu menjadi pasien. Bukan hanya sampai disitu saja, namun karena keberhasilannya terhadap adiknya, ia

diperhadapkan pada suatu situasi dimana ia harus menangani pasien dengan patah tulang yang sesungguhnya, walaupun ada

penolakan namun karena terpaksa dan ia yakin, maka ia melakukan proses topu bara sampai sembuh.

Terpaksa dalam hal ini ialah bagaimana ia melihat seorang yang harus ia tolong dengan keadaan sama seperti ia dahulu pernah mengalaminya, dan ia berkeyakinan bahwa banyak pasien yang ia lihat pada saat ia melakukan penyembuhan di tempat penyembuh sambung tulang saja bisa disembuhkan,

(22)

53 kenapa ia tidak bisa melakukannya. Bahkan ia juga percaya bahwa ada suatu kuasa yang lebih besar dari dia yang akan menolongnya, sehingga akhirnya proses yang dilakukannya berhasil, bahkan sampai sekarang terus ia jalankan. Ungkapan tersebut dapat dilihat pada ungkapan penyembuh berikut :

“Jadi awalnya ini, cuma liat pertamanya karena bapa juga pernah mengalami patah terus bapa kesana, ke liang terus abis itu bapa liat proses pengobatan disana” (PY 315-316)

“Lalu setelah bapa su pulang yang bilang sampe tahun 2006 to ade perempuan dia tatabrak deng motor. Tatabrak deng motor seng patah seng patah, cuma benturan saja darah mati di paha ini abis. Lalu bapa bilang sudah nanti bapa yang bikin bapa mulai kumpul api, babara lalu bapa mulai topu-topu akang, aaa su topu bapa mulai panggel dokter dari liang turun par lia, lia ade parampuan pung kaki ini dolo” (PY 303-309)

“Makanya dari situ dong bawa datang anak kecil dari kamariang tangan patah, bapa tolong bikin katong pung anak ini dolo. Beta bilang beta seng bisa kerja begitu, ini beta cuma topu ade parampuan saja. Beta seng bisa karja barang kayak begitu. Nah terpaksa beta bikin sa” (PY 309-313)

“Waktu dong datang itu keyakinan saja” (PY 322) “Yakin” (PY 324)

“Karena bapa pikir orang yang banyak-banyak saja patah, disana bisa bae to, yakin saja sembayang par Tuhan” (PY 326-327)

4.3.2 Laporan Observasi

Untuk mendukung data wawancara yang telah diperoleh dari pasien dan penyembuh maka peneliti melakukan observasi terhadap proses penyembuhan sambung tulang topu bara. Berdasarkan apa yang peneliti amati pada saat penelitian yaitu proses penyembuhan sambung tulang topu bara, peneliti melihat bahwa pasien sangat percaya pada penyembuh, “Bahkan mereka melontarkan kata kepada saya,

(23)

54 bahwa lebih baik topu bara dari pada ke rumah sakit, saya disini sudah 2 minggu lebih sudah rasa enak tangannya”. Dari pengamatan peneliti apapun yang dilakukan oleh penyembuh mereka terima.

Pada penyembuh sendiri, peneliti mengamati bahwa ia melakukan proses penyembuhan dengan sangat baik. Peneliti melihat bahwa pada saat pasien datang, baik pasien baru maupun pasien yang sudah lama, ia perlakukan dengan baik dengan melihat dan mengecek keadaan patah, bahkan saat melakukan topu bara, dengan bara yang begitu panas, satu sisi yang dimiliki dari penyembuh ini adalah komunikasi yang baik dan rasa humorisnya yang ia tuangkan pada setiap ia melakukan topu, sehingga pasien terkadang tertawa.

4.4 Pembahasan

Fokus dari penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan Tradisi sambung tulang topu bara dilihat dari prespekti Health Belief. Baik dari pasien maupun dari penyembuh. Fakta yang diperoleh pada tahun 2001 dari survey ekonomi nasional yang menyatakan, bahwa 9,8% penduduk Indonesia masih menggunakan pengobatan tradisional (Depkes, 2012), salah satunya adalah pengobatan tradisional fraktur (Notosiswoyo dkk, 2001). Pengobatan tradisional fraktur menjadi pilihan utama masyarakat dalam menangani fraktur

(24)

55 (Handayani dkk, 2001). Dari pernyataan diatas peneliti menarik kesimpulan bahwa pengobatan alternatif menjadi pilihan utama dalam penanganan patah tulang. Penelitian ini dilakukan di Desa Waai dan dari hasil yang di temukan dilapangan dan di analisis, peneliti memiliki 4 tema baik dari pasien maupun penyembuh.

A.

Pengalaman dan dorongan lingkungan sosial dalam proses

pegambilan keputusan memilih pengobatan sambung tulang

Peneliti menemukan bahwa partisipan tidak ragu-ragu dan tidak ada hambatan tertentu dalam mengambil keputusan terkait pengobatan sambung tulang. Hal inilah yang membuat partisipan memilih untuk mendapatkan pengobatan sambung tulang. Menurut Rosenstock, dkk (1982) dalam teori HBM, pada komponen yang ke 4 mengenai Perceived Barriers, jika persepsi hambatan individu terhadap perilaku sehat tinggi maka perilaku sehat tidak akan individu lakukan, jika hambatan yang muncul lebih besar, maka seseorang tidak akan melakukan perilaku sehat sebaliknya, jika hambatan yang muncul kecil atau tidak ada hambatan, maka perilaku sehat akan dilakukan.

Peneliti menemukan bahwa ketiadaannya hambatan dalam memilih pengobatan sambung tulang tersebut dilatarbelakangi oleh 2 faktor yaitu faktor pengalaman dan juga faktor dorongan lingkungan sosial.

(25)

56 Pengalaman yang dimiliki oleh partisipan adalah pengalaman melihat proses sambung tulang sebelumnya. Bukan hanya pengalaman namun juga dorongan lingkungan sosial baik dari keluarga, saudara dan teman sebaya ikut ambil bagian dalam membentuk keyakinan partisipan. Hal diatas sejalan dengan penelitian dan teori yang membahas tentang faktor-faktor diatas. Faktor yang berpengaruh dalam mengambil sebuah keputusan dalam memilih pengobatan adalah faktor pengalaman dan juga faktor dorongan dari lingkungan sosial. Faktor pengalaman berupa partisipan melakukan pengamatan, pembelajaran dari apa yang pernah ia alami sebelumnya maupun orang lain alami, sedangkan faktor dari lingkungan sosial berupa motivasi, saran atau pendapat dari lingkungan sosial yang bersifat positif tentang pengobatan yang ada dilingkungan sosial (James F. Engel, dkk (dalam Saladin, 2003) (Abdul Haris Jauhari, dkk (2008).

Peneliti berasumsi bahwa dorongan pengambilan keputusan dan perilaku ini dilatarbelakangi bukan hanya semata-mata dari dorongan diri dan pengalaman yang pernah dialami partisipan saja, namun yang paling kuat adalah dari dorongan lingkungan sosial. Perpaduan inilah yang membentuk keyakinan partisipan dalam memilih pengobatan. Menurut Kotler dan Armstrong (1996) dan Foster dan Anderson (dalam Agusmarni, 2012), ada dua faktor dasar yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam pengambilan

(26)

57 keputusan. Faktor tersebut ialan faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal merupakan pengaruh dari lingkungan sosial berupa kebudayaan, keluarga, dan teman sebaya sedangkan faktor internal merupakan faktor yang dimiliki oleh individu untuk melihat membandingakan dan melakukan pembelajaran dari pengalaman yang pernah dialaminya maupun orang lain, yang membantunya dalam memilih tindakan.

Dari tema diatas peneliti menggambarkan bahwa dalam meyakinkan individu melakukan pengambilan keputusan dan berperilaku memilih pengobatan sambung tulang topu bara, dorongan dari dalam diri tersebut terbentuk dari pengalaman yang pernah ia lihat atau alami sebelumnya dan juga dorongan dari lingkungan sosial. Menurut Abdul Haris Jauhari, dkk (2008), motivasi dan kepercayaan dalam memilih pengobatan konvensional muncul dari informasi dan pengalaman masyarakat maupun pengalaman pribadi tentang keberhasilan yang disediakan pengobatan konvensional.

B.

Pengobatan topu bara lebih menguntungkan dari rumah sakit (medis)

Dari hasil penelitian pada partisipan, peneliti melihat bahwa ada kesinambungan antar tema pertama dan kedua. Pada tema kedua ini partisipan membanding-bandingkan topu bara dengan rumah sakit. Rata-rata partisipan mengungkapan bahwa ia lebih

(27)

58 memilih topu bara, karena proses penyembuhan yang menguntungkan. Keuntungan yang dimaksud adalah soal keuntungan ekonomis, proses pelayanan dan hasil penyembuhan, dan efek pengobatan.

Dari segi ekonomi, pengobatan sambung tulang topu bara tidak menaruh patokan akan tarif yang di kenakan selama melakukan proses penyembuhan. Tarif merupakan bentuk keikhlasan dari pasien yang melakukan pengobatan sambung tulang, sedangkan di rumah sakit tarif yang akan dikeluarkan untuk penyembuhan sangat besar. Hal ini yang membuat partisipan lebih memilih pengobatan sambung tulang topu bara. Foster dan Anderson (dalam Agusmarni, 2012) berpendapat bahwa ada 7 faktor yang mempengaruhi masyarakat memilih pengobatan alternatif atau tradisional. Dari ketujuh faktor tersebut disebutkan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang memperkuat masyarakat memilih pengobatan alternatif. Hal yang sama juga dijelaskan pada Callistus, dkk (2013), tentang pengaruh dari ekonomi dalam pemilihan pengobatan.

Dari segi pelayanan dan hasil penyembuhan, sambung tulang topu bara menyediakan pelayanan yang sesuai dengan prosedur yang diinginkan partisipan. Bahkan hasil yang diterima partisipan sangat menjanjikan. Hasil yang disediakan adalah berupa ketiadaannya kecacatan setelah melakukan pengobatan, sedangkan pelayanan yang disediakan rumah sakit, hanya berupa pengobatan

(28)

59 untuk menangani rasa nyeri yang membuat partisipan merasakan kejenuhan akan pengobatan. Hasil penyembuhan juga tidak menjanjikan kesembuhan total. Menurut Foster dan Anderson (dalam Agusmarni, 2012) faktor lain selain faktor ekonomi yang disebutkan diatas ialah faktor kejenuhan akan pelayanan medis dan faktor manfaat dan keberhasilan pengobatan tradisional. Kejenuhan muncul karena pelayanan medis yang terlalu lama dan manfaat dan hasil yang diberikan pengobatan alternatif lebih baik dari pada yang disediakan medis.

Dari segi efek pengobatan sendiri, sambung tulang topu bara tidak memiliki efek samping sama sekali karena mempergunakan alat dan bahan tradisional. Ketiadaannya efek samping yang disediakan sambung tulang topu membuat partisipan lebih memilih pengobatan ini, sedangkan di rumah sakit efek dari pengobatan jika di amputasi adalah kehilangan kaki. Efek dari pengobatan medis berupa amputasi. Amputasi membuat partisipan takut dan lebih memilih sambung tulang topu bara. Callistus, dkk (2013), mengungkapkan bahwa masyarakat Ghana memilih pengobatan tradisional fraktur, karena ketakutan terhadap amputasi.

Dalam hal memilih suatu pengobatan terkait sambung tulang, faktor paling utama yang dilihat adalah keuntungan apa yang akan didapatkan dari pengobatan tersebut. Menurut asumsi peneliti, topu

(29)

60 bara sangatlah menguntungkan dari rumah sakit, dari faktor ekonomi, pelayanan dan hasil penyembuhan, dan tidak memiliki efek samping. Notosiswoyo, dkk (2001) dalam reviewnya terhadap beberapa penelitian tentang pengobatan tradisional fraktur di Indonesia, ditemukan bahwa individu memilih berobat ke pengobatan tradisional fraktur, karena adanya alasan ataupun anggapan bahwa pengobatan tradisional fraktur dapat memberikan kesembuhan lebih cepat, dengan biaya yang dibutuhkan relatif lebih murah, metode pengobatannya tidak menakutkan seperti di rumah sakit, sebab beberapa individu memiliki alasan terkait pengalaman buruk dengan perawatan di rumah sakit. Selain itu menurut Asmino (1995) pengobatan tradisional merupakan salah satu cabang pengobatan alternatif yang bisa diartikan atau difenisikan sebagai cara pengobatan yang dipilih oleh seseorang apabila pengobatan dengan cara konvensional tidak memberikan suatu hasil yang memuaskan.

Dari tema diatas peneliti bisa menggambarkan bahwa pengobatan alternatif sambung tulang topu bara, sangatlah menguntungkan dari pada pengobatan yang disediakan rumah sakit dilihat dari beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, faktor proses pelayanan dan hasil penyembuhan, dan efek samping. Menurut Nova Maulana (2014) ada 10 faktor yang memperkuat mengapa pemanfaatan pengobatan tradisional masih tinggi di Indonesia.

(30)

61 Beberapa faktor dari 10 faktor yang berhubungan dengan kesimpulan diatas ialah keadaan sosial ekonomi dan latar belakang budaya masyarakat yang menguntungkan pengobatan tradisional. Keterbatasan dan kegagalan pengobatan moderen dalam mengatasi beberapa penyakit tertentu.

C.

Pengetahuan korban terkait dampak dari patah tulang

Dari hasil penelitian terhadap partisipan, peneliti melihat bahwa partisipan berusaha mengungkapkan dampak yang akan ia dapatkan jika patah tulang tidak di tangani dengan baik. Partisipan mengungkapkan bahwa jika patah tulang tidak segera ditangani maka akan terjadi suatu dampak yang lebih besar. Partisipan kebanyakan menjawab jika tidak ditangani maka daging dan tulang busuk, tidak bisa melakukan aktifitas secara normal, saraf terganggu dan kehilangan anggota tubuh. Menurut Smeltzer dan Bare (2002), secara fisik terdapatnya kerusakan jaringan tulang dan jaringan lunak sekitar fraktur akan menimbulkan rasa nyeri, bengkak, gangguan neurovaskuler, dan deformitas. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi sehingga menimbulkan masalah aktivitas yang mana gangguan ini membutuhkan imobilisasi. Menurut Doenges, dkk (2000), imobilisasi adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan fisik.

(31)

62 Jika patah tulang tidak ditangani dengan baik maka tulang yang patah bisa terjadi kerusakan jaringan pada tulang dan daerah sekitarnya. Bukan itu saja, peneliti melihat bahwa jika tidak ditangani maka struktur tubuh pasien akan mengalami ubnormal, tidak bisa berfungsi seperti yang seharusnya dan membutuhkan penangan serius seperti imobilisasi. Menurut Bimoariotejo (2009) menyatakan bahwa imobilisasi suatu keadaan dimana penderita harus beristirahat di tempat tidur, tidak boleh melakukan gerak secara aktif akibat dari berbagai penyakit atau gangguan pada organ atau alat tubuh secara fisik ataupun mental.

Dari hasil diatas peneliti dapat menggambarkan bahwa patah tulang harus segera ditangani. Apabila patah tulang dibiarkan maka akan berpengaruh pada bagian tubuh atau saraf disekitar area patah tulang, namun dapat menyebabkan kerusakan, kecacatan dan imobilisasi. Mubarak (2008) yang menyatakan bahwa imobilisasi adalah suatu kondisi yang relatif, individu tidak hanya kehilangan kemampuannya untuk bergerak secara total, tetapi juga terjadi penurunan aktifitas dari kebiasaan normalnya. Selain itu juga dalam Potter and Perry (1997) yang menyatakan bahwa imobilisasi adalah suatu usaha koordinasi yang dilakukan oleh sistem muskuluskeletal dan sistem saraf dalam hal mempertahankan keseimbangan, postur dan kesejajaran tubuh individu selama bergerak membungkuk, mengangkat dan melakukan aktivitas sehari-hari.

(32)

63

D.

Proses menjadi seorang tradisional Healer

Pada tema ini peneliti juga mengambil dari sisi penyembuh. Sebagai seorang penyembuh juga harus memiliki keyakinan akan sebuah pengobatan yang akan ia lakukan. Dari hasil penelitian yang dilakukan, peneliti menemukan bahwa pada tema ini penyembuh mengungkapkan bahwa untuk menjadi pengobat tradisional tidaklah mudah. Penyembuh sendiri menungkapkan bahwa ia harus melewati beberapa proses. Proses tersebut adalah proses dimana ia mengalami pengalaman menjadi seorang pasien, proses melihat dan mempersiapkan alat dan bahan untuk pengobatan, proses mencoba melakukan pengobatan dan proses pengambilan keputusan menjadi seoarang pengobat tradisional.

Pada saat penyembuh menjadi seorang pasien ia juga memiliki faktor faktor yang sama seperti partisipan lain pada 3 tema diatas. Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya dalam hal meyakini dan mengambil keputusan untuk mendapatkan pengobatan sambung tulang topu bara.

Setelah melewati proses awal menjadi pasien, penyembuh masuk pada proses kedua dimana ia mencoba membantu proses penyembuhnya dari sisi mempersiapkan alat dan bahan bagi pasien lain yang ada pada saat itu. Pada proses ini ia belajar meracik alat dan bahan yang ada untuk melakukan pengobatan sambung tulang topu bara.

(33)

64 Pada proses ketiga, penyembuh harus mengobati anggota keluarganya yang mengalami hematom akibat kecelakaan. Pada proses ini penyembuh hanya mencoba menerapkan apa yang pernah ia lihat dan ia pelajari selama mengalami proses pertama dan kedua. Hasil yang diperoleh dari apa yang diterapkan tersebut adalah kesembuhan yang didapatkan oleh anggota keluarganya tersebut.

Setelah melewati ketiga proses diatas, penyembuh diperhadapkan pada suatu kondisi dimana ia harus menangani pasien sungguhan dengan kondisi patah tulang. Pada proses ini penyembuh mengalami dilema. Dilema yang ada pada dirinya mencakup 2 sisi dimana pada satu sisi, ia tidak mau melakukakn pengobatan karena ia merasa menjadi penyembuh bukanlah bagian dari dirinya. Disisi lain ia merasa iba dengan keadaan pasien yang ada didepan matanya sekarang. Penyembuh mulai melakukan pertimbangan dalam dirinya bahwa jika tidak ditangani maka akan terjadi suatu yang fatal terhadap pasien tersebut. Kemudian ia mulai melakukan penguatan dalam dirinya sesuai dengan apa yang pernah ia alami sebelumnya. Kata penguatan yang dilontarkan penyembuh berbunyi seperti berikut “Begitu banyak pasien yang pernah ditangani oleh penyembuh sebelumnya bisa disembuhkan, begitupun saya juga bisa melakukannya”. Penyembuh juga mempercayai bahwa ada kuasa besar diluar dirinya yang akan menolongnya. Kuasa itu ialah Tuhan itu sendiri.

(34)

65 Perpaduan dari semua proses tersebut yang membuat penyembuh mengambil langkah menjadi seorang pengobat tradisional. Menurut Kotler dan Armstrong (1996), seseorang memiliki faktor internal dimana motivasi, persepsi, sikap, gaya hidup, kepribadian dan belajar terkandung didalamnya. Point-point didalam faktor internal inilah yang berpengaruh terhadap perilaku seseoarang melihat dan mempelajari sesuatu yang ada didepan mata sesuai dengan pengalamannya. Foster dan Anderson (dalam Agusmarni, 2012) mengungkapan bahwa manusia memiliki mata, telinga, atau pikiran yang membantunya dalam memilih suatu tindakan.

Dari hasil diatas peneliti berasumsi bahwa dalam mengambil keputusan menjadi seorang penyembuh sambung tulang, individu harus melewati berbagai proses baik berupa pengalaman, dorongan dari dalam diri maupun dari luar diri. Berbagai proses tersebut yang akan membentuk keyakinannya untuk memilih menjadi seorang pengobatan tradisonal. Hal yang sama yang dikemukakan Schutz (1974) dalam (James A Holstein dan Jaber F Gubrium 1997) menyatakan bahwa adanya stock of knowledge dalam diri setiap orang. Stock of knowledge tersebut menjadi kerangka acuan untuk menafsirkan berbagai peristiwa yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan ini diperoleh individu dari proses belajar, bukan berasal dari kelahiran. Sebagian isi pengetahuan yang dimiliki individu didapatkannya melalui pengalamannya sendiri, dan sebagian

(35)

66 yang lain didapatkannya dengan mereka yang menjalani kehidupan bersama. Bahkan keyakinan akan sesuatu yang lebih berkuasa dari dirinya pun tak luput dari salah satu yang mendorongnya mengambil keputusan.

Peneliti dapat menggambarkan bahwa untuk menjadi seorang penyembuh sambung tulang topu bara individu harus melewati berbagai proses. Proses yang harus dimiliki berupa pengalaman sebelumnya baik mendengar, melihat, belajar dan bahkan mencoba mempraktekkan pengobobatan tersebut serta memiliki keyakinan dari dalam dirinya dan juga luar dirinya berupa keyakinan akan Yang Maha Kuasa terkait apa yang akan ia lakukan. Jika individu memiliki hal tersebut dan diperhadapkan pada suatu keadaan terpaksa sekalipun ia sanggup mengambil sebuah keputusan. Menurut Keputsan Mentri Kesehatan RI Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003 dalam Noorkasiani dkk. (2009), pengobat tradisional adalah individu atau orang yang melakukan proses pengobatan tradisional (alternatif) dimana individu tersebut memiliki karakteristik pengobatan atau perawatan diluar ilmu kedokteran, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman praktik yang diwariskan secara turun temurun, diterapkan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat dengan cara yang tidak bertentangan dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dilakukan agar

(36)

67 tercapainya sebuah kesembuhan, pencegahan penyakit, pemulihan, dan peningkatan kesehatan jasmani, rohani dan sosial masyarakat.

Gambar

Gambar 4.1. Peta Pulau Ambon
Tabel 4.1. Uraian pelaksanaan penelitian
Tabel 4.3. Identitas Penyembuh  (PY)
Tabel 4.4. Alat dan Bahan Topu Bara

Referensi

Dokumen terkait

Namum sejauh ini, dalam penegakan hukum di dalam masyarakat adat Aceh, masih terdapat kendala-kedala yang dihadapi, sehingga proses pembangunan hukum adat di Indonesia, khususnya di

Jika kita berada pada satu jaringan yang sama denganorang yang mengirim email, atau yang dilalui oleh email, maka kita bisa menyadap email dengan memantau port 25,yaitu port

Panas cairan pendingin pertama dipindahkan (diserap) ke sirip-sirip, yang didinginkan oleh kipas dan udara akibat gerakan dari kendaraan, yang mengalir melalui

Hasil penelitian menunjukkan ; (1) Nilai-nilai status dan peran perempuan dalam struktur keluarga menunjukkan adanya proses tawar menawar (bergaining) melalui proses dialogis

Sumber data terdiri dari data primer dan data sekunder, data primer adalah hasil pengukuran usap alat medis di ruang perawatan, data sekunder meliputi data umum dan

Hal tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan nama samarannya Multatuli, dan buku

Pengujian proporsional + integral + derivatif pada PID dilakukan dengan mengganti nilai konstanta dari integral, menggunakan nilai konstanta proporsional +

Selain dari perintah Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20