• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Kebudayaan, Volume 15, Nomor 1/2020. Soeryo Adiwibowo Sekolah Bisnis, Institut Pertanian Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Kebudayaan, Volume 15, Nomor 1/2020. Soeryo Adiwibowo Sekolah Bisnis, Institut Pertanian Bogor"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Abstract

The concept of ecoliteration is a perspective offered by Fritjof Capra in philosophy of ecology which is actually very closely related to cultural values and traditions such as myths and customs passed down for generations in preservation of natural environment. The problem discussed in this study is how can science philosophy of Fritjof Capra be used to study values of tradition and local wisdom in many diverse ethnic groups, especially related to their environment? The aim of the study is to find out the foundation of ontology and epistemology of Fritjof Capra’s philosophy, as well as to understand the relationship between Fritjof Capra’s philosophy of science to ecology in perspective of local wisdom/ tradition. The study uses literature review to uncover various theories that are relevant to the problem being studied. Data collection techniques are carried out by reading and studying literature related to the concept of ecological science philosophy by Fritjof Capra which has relevance to cultural values. The results of the study show that Fritjof Capra’s philosophical concept of ecology teaches a new perspective on seeing and analyzing reality in ontologies holistic ecological through epistemological synthesis and communicative axiology. The groups expected to understand eco-literacy are politicians, business leaders, professionals at all levels, and educational institutions. All of those groups are public or institutional policymakers who have real ability to create social impacts for society in the future.

Keywords: philosophy of science, ecology, culture, local wisdom

Abstrak

Konsep ekoliterasi merupakan cara pandang yang ditawarkan Fritjof Capra dalam falsafah sains ekologi yang sebenarnya sangat erat dalam nilai-nilai kebudayaan/ tradisi seperti mitos-mitos dan tradisi secara turun-temurun dalam menjaga lingkungan alam. Permasalahan dalam kajian ini adalah bagaimana falsafah sains Fritjof Capra dapat digunakan untuk mengkaji nilai-nilai tradisi maupun kearifan lokal dalam banyak ragam suku bangsa, terutama terkait lingkungan mereka? Tujuannya, untuk mengetahui landasan ontologi dan epistemologi falsafah sains dari Fritjof Capra, serta mengetahui hubungan konsep falsafah sains Fritjof Capra terhadap ekologi dalam perspektif kearifan lokal/ tradisi. Kajian ini menggunakan pendekatan studi literatur untuk mengungkap berbagai teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Teknik pengumpulan data dilakukan Naskah diterima: 4 Januari 2020; direvisi akhir: 6 Juli 2020; disetujui: 21 Juli 2020 Volume 15 Nomor 1/2020

JURNAL

KEBUDAYAAN

FALSAFAH SAINS EKOLOGI FRITJOF CAPRA DAN

RELEVANSINYA DENGAN KEARIFAN LOKAL

SCIENCE PHILOSOPHY OF ECOLOGY

BY FRITJOF CAPRA, AND ITS RELEVANCE

WITH LOCAL WISDOM

Fellyanus Habaora

Prodi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Sekolah Pascasarjana,

Institut Pertanian Bogor.

E-mail: habaorafhomas@yahoo.co.id

Jefirstson Richset Riwukore

Ilmu Manajemen, Program Pascasarjana, Universitas Indo Global Mandiri.

Soeryo Adiwibowo

Sekolah Bisnis, Institut Pertanian Bogor

Yohanes Susanto

Universitas Bina Insan Lubuklinggau.

(2)

dengan cara membaca, mempelajari dan mengkaji literatur-literatur yang berhubungan dengan konsep falsafah sains ekologi Fritjof Capra yang memiliki relevansi terhadap nilai-nilai kebudayaan. Hasil kajian menunjukkan bahwa konsep falsafah sains Fritjof Capra tentang ekologi mengajarkan cara pandang baru dalam melihat dan menganalisis realitas secara ontologi holistik ekologi melalui epistemologis sintesis dan aksiologi komunikatif. Kelompok yang diharapkan mengerti ekoliterasi adalah kaum politikus, pimpinan bisnis, para profesional di semua lapisan, dan lembaga-lembaga pendidikan. Mereka ini adalah kelompok-kelompok pengambil kebijakan publik atau kelembagaan yang memiliki kemampuan riil dalam menciptakan dampak-dampak kemasyarakatan jauh ke depan.

Kata Kunci: falsafah sains, ekologi, kebudayaan, kearifan lokal

adalah data sekunder (diperoleh dari sumber yang terkait dengan penelitian ini), yaitu: buku, jurnal, artikel laporan penelitian, dan situs-situs di internet. Data diperoleh melalui pencarian informasi di internet. Output dari studi literatur ini adalah terkoleksinya referensi yang relevan dengan tujuan penelitian, yaitu memperkuat permasalahan serta sebagai dasar teori dalam melakukan studi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis naratif. Kajian ilmiah ini dilakukan selama dua bulan, yakni Juli-Agustus 2019.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Ontologi Fritjof Capra

Ontologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu onto (ada) dan logos (ilmu) sehingga ontologi berarti ilmu tentang keberadaan. Riwukore dan Habaora (2018) menyatakan landasan ontologi berarti ruang kajian rasional manusia melalui panca indera atau jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara itu, objek kajian ilmu penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (penciptaan manusia) dan pasca pengalaman (surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan di luar ilmu. Keadaan ini menghasilkan penelaahan ontologi menjadi beragam dan berbeda-beda sesuai tingkatan ontologi, yaitu monisme (idealisme dan materialisme), dualisme, dan pluralistik.

Golongan monisme berdalil bahwa unsur pokok dari segala sesuatu adalah tunggal/satu dan hanya ada satu kenyataan yang fundamental, yaitu idealisme atau materialisme. Beberapa filsuf golongan monism, antara lain: Christian Wolff (1679-1754), Thales (625-545 SM) dan muridnya Anaximandros (610-547 SM), Aristoteles (384-322 SM), Anaximenes (585-494 SM), J.G. Ficte (1762-1814 M), GWF Hegel (1798-1857 M), Karl Marx (1818-1883), Thomas Hobbes (1588-1679 M), Hornby (1974), Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855), Jean Paul Sartre (1905-1980), dan Van der Welj (2000). Golongan dualisme menggabungkan ontologi idealisme dengan materialisme, yaitu alam ini terdiri dari hakikat materi dan rohani sehingga membentuk realitas yang berlainan tetapi saling bertentangan. Contoh filsuf golongan dualisme, yaitu Plato (427-347 SM), Rene Descartes (1596-1650 M), Leibniz (1646-1716), dan Immanuel Kant (1724-1804). Golongan pluralisme memiliki

dalil bahwa realitas (alam dan dinamikanya) tidak hanya terdiri dari satu maupun dua substansi, tetapi banyak substansi yang bersifat independen satu terhadap lainnya sehingga realitas alam dan dinamikanya tidak memiliki kesatuan, kontinuitas, harmonis, dan tatanan yang koheren, rasional, serta fundamental. Beberapa filsuf golongan pluralistik, yakni Empedakles (490-430 SM) dan Anaxogoras (500-428 SM) (Syadali dan Mudzakir, 1997; Rozak dan Arifin, 2002; Praja, 2006).

Tingkatan perkembangan ontologi dalam falsafah sains tersebut di atas saling timpang karena masing-masing thesis memiliki antitesis dan pada keadaan tertentu memiliki pertentangan. Contoh: Thales (golongan monisme) selalu berdalil bahwa semuanya adalah air karena latar belakangnya adalah saudagar yang hidupnya banyak berlayar ke Mesir sehingga memunculkan cara pandang bahwa semuanya air. Empedakles (golongan pluralistik) yang menyatakan bahwa semua unsur di alam terdiri atas api, udara, air, dan tanah namun keterikatannya tidak memiliki kesatuan dan struktur penyusunnya pun berbeda. Golongan dualisme menyatakan bahwa masing-masing unsur tersebut berdiri sendiri dan tidak saling bergantung atau bertolak belakang. Secara umum, golongan monisme, dualisme, dan pluralistik bertentangan sangat signifikan.

Fritjof Capra menginisiasi cara pandang baru melalui ontologinya, yaitu holistik-ekologi, yang berarti semuanya adalah sintesis (satu kesatuan) karena unsur-unsur di alam merupakan holistik-spiritualistik-organisme (Hardjono, 2015). Sintesis artinya paduan (campuran) berbagai hal atau pengertian sehingga bersatu menjadi selaras dan paduan yang satu tidak menimpangi paduan yang lain.

Dalil ontologi yang monisme, dualisme, dan pluralistik pada realitasnya telah menimbulkan krisis dunia moderen. Contoh: manusia moderen melupakan sifat dan sikap bijaksana yang diajarkan turun temurun oleh leluhur dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga terjadi perang nuklir dan musnahnya manusia. Capra (1996) menyatakan bahwa krisis manusia moderen terjadi karena ketidakpaduan dan ketidakseimbangan antara

ying (rasional-inderawi) dengan yang (nurani-agama). Gumelar (2016) menyatakan bahwa ontologi Capra dimaksudkan agar manusia

PENDAHULUAN

H

ubungan antara sains dan mitisisme yang dipopulerkan Fritjof Capra dalam ruang lingkup filsafat adalah caranya untuk mempertemukan dua cara pandang yang berbeda, yaitu cara pandang barat yang positivistik, empiris, dan rasional dengan cara pandang Timur yang spiritual, metafisis, dan moral. Cara pandang Fritjof Capra tersebut dikenal dengan cara pandang yang holistik-pluralis-spiritualistik-organisme yang kini merebak dalam berbagai bidang sains. Fritjof Capra merupakan saintis murni yang memulai karir akademiknya dalam ilmu fisika teoritis. Konsep falsafah sains dari Fritjof Capra dapat dipelajari melalui karya-karyanya, seperti:

The Tao of Physics (1975), The Turning Point

(1982), The Web of Life (1996). Konsep falsafah sains dalam karya Fritjof Capra menjelaskan interpretasi baru terhadap teori fisika kuantum dan teori relativitas menggunakan mistik Timur secara holistik, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan secara sistematis pada paradigma ekosistemik, dan disempurnakan melalui sistem yang kompleks. Selain itu, Fritjof Capra memperkuat falsafah sainsnya melalui karya

Uncommon Wisdom (1988) dan The Hidden Connections (2002) yang menghubungkan gagasan filsafatnya tentang kearifan Timur dalam sains modern.

Unifikasi antara sains modern (Barat) terhadap mitisisme (Timur) secara diametral tidak dapat disatukan dalam konsep falsafah sains yang riil. Sains modern memandang realitas sebagai sesuatu yang empiris, kalkulatif, dan verifikatif. Sementara mistisisme memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat metafisis, intuitif, dan spekulatif. Fritjof Capra berhasil mempertemukan dua cara pandang tersebut dalam satu bidang kajian ilmiah, yaitu realitas konkret dan abstrak pada satu wilayah yang

sama. Konsep falsafah sains Fritjof Capra ini menembus dinding pemisah antara sains modern dan mistisisme, mengatasi krisis persepsi yang ada pada manusia, dan menjadi modal membangun peradaban umat manusia. Permasalahan dalam kajian ini adalah bagaimana falsafah sains Fritjof Capra dapat digunakan untuk mengkaji nilai-nilai tradisi maupun kearifan lokal dalam banyak ragam suku bangsa, terutama terkait lingkungan? Hal ini dikarenakan cara memandang dan merawat lingkungan di Indonesia berbeda-beda sesuai tradisi yang berlaku (kearifan lokal). Tujuan dari kajian penelitian, pertama mengetahui landasan ontologi dan epistemologi falsafah sains dari Fritjof Capra. Kedua, mengetahui hubungan konsep falsafah sains Fritjof Capra terhadap ekologi dalam perpesktif kearifan lokal/tradisi.

METODE PENELITIAN

Kajian ini termasuk dalam penggolongan penelitian studi literatur untuk mengungkap berbagai teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Teknik ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan mengkaji literatur-literatur yang berhubungan dengan konsep falsafah sains ekologi Fritjof Capra yang memiliki relevansi terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Strauss dan Corbin (2009) menyatakan bahwa pengkajian literatur untuk suatu kepentingan dapat berupa literatur teknis dan literatur non-teknis. Literatur teknis seperti laporan tentang kajian penelitian dan karya tulis profesional atau disipliner dalam bentuk makalah teoritik atau filosofis, sedangkan literatur non-teknis seperti biografi, buku harian, dokumen, naskah, catatan, katalog, dan materi lainnya yang dapat digunakan sebagai data utama atau sebagai pendukung penelitian. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini

(3)

tidak menjadi rakus, tamak, dan dengki dari hasil pengetahuan dan teknologi yang dimiliki. Ontologi Fritjof Capra merupakan konsekuensi peradaban yang telah berada di titik kehancuran, sehingga sebelum itu semua terjadi maka diperlukan perubahan paradigma ke arah sebuah visi realitas baru berdasarkan prinsip keseimbangan antara ying dan yang

untuk terciptanya kedamaian dan harmoni peradaban manusia maupun kemanusian. Susilo (2013) menyatakan bahwa berbagai krisis multidimensional yang sedang terjadi di berbagai negara tentu disebabkan adanya suatu sistem yang salah, yaitu tidak terimplementasikannya nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terdapat unsur moralitas yang berlaku secara universal. Hidayat (2014) menyatakan bahwa hubungan antara agama (spiritualitas) dan sains sering dipisahkan sehingga menciptakan ketegangan karena perbedaan perspektif yang digunakan untuk memahami realitas sebagai sumber pengetahuan manusia. Sains mendekati persoalan eksistensi melalui observasi dan eksperimen, sedangkan agama membangun landasan ontologi berdasarkan wahyu. Sains dianggap mampu memecahkan seluruh persoalan manusia. Namun, fakta ilmiahnya adalah sains juga yang telah melahirkan senjata-senjata pemusnah massal dan polusi lingkungan, termasuk merusak keseimbangan aspek spiritual dan material dalam kehidupan manusia. Contoh lainnya, yaitu krisis sains dalam ilmu hukum saat ini yang ditandai dengan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap realisasi hukum positif yang ada, terutama dalam penegakan hukum positif itu sendiri (Susilo 2013; Hidayat, 2014; Hardjono, 2015; Gumelar, 2016).

Dalil ontologi Fritjof Capra jika dipahami secara baik. maka sains, ilmu pengetahuan, dan teknologi seharusnya berkembang ke arah pemberdayaan (empowerment) dan praktik ramah lingkungan (eco-practices) sehingga tidak lagi anthropocentris (lingkungan hanya dijadikan objek eksploitasi dan eksperimen untuk kepentingan manusia dibandingkan memberikan rasa keadilan itu sendiri). Pertimbangan terhadap aspek keadilan menurut Purwendah (2019), yaitu keadilan yang dapat dirasakan oleh semua elemen kehidupan, diri sendiri, orang lain, masyarakat, kepentingan negara, dan lingkungan, yang berlandaskan keseimbangan antara semua unsur kehidupan dan ekologi sehingga dalam pengambilan keputusan telah

mempertimbangkan dimensi keadilan yang diwujudkan dan dipertanggungjawabkan melalui orientasi moral justice, social justice

dan legal justice dalam suatu aktivitas ilmiah. Selanjutnya, Dalmeri (2015) menyatakan bahwa aktivitas ilmiah yang bebas nilai hanyalah mitos belaka, karena: (a) aktivitas ilmiah adalah sebuah tujuan yang mengarahkan suatu usaha, di mana terdapat nilai yang mengambil peran sebagai pembimbing di dalamnya, seperti pencarian kebenaran yang merupakan nilai yang menjadi prinsip dalam mengarahkan banyak ilmuwan; dan (b) semua aktivitas ilmiah melibatkan pertimbangan nilai (value judgements). Dengan demikian, dalil ontologi Fritjof Capra melalui cara pandang yang non-linear in nature dalam keadaan yang holistik-pluralis-spiritualistik-organisme berpengaruh dalam perkembangan sains dan teknologi di era multikultural seperti sekarang ini.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan ontologi Fritjof Capra adalah holistik-ekologi, spiritualistik dan organisme, di mana seluruh elemen kehidupan dan alam lingkungannya merupakan satu kesatuan yang membentuk sintesis atau perpaduan yang saling mempengaruhi di mana kerusakan salah satu sistem mempengaruhi keadaan sistem yang lain (non linear in nature). Cara pandang seperti ini diperlukan karena landasan ontologi monisme-dualisme-pluralistik akan menciptakan krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual. Suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia. Kesimpulan landasan ontologi Capra, yaitu ada krisis pada aspek kemanusiaan itu sendiri sehingga perlu ada yang membatasi aspek kemanusiaan tersebut berupa etika-moral, sosial, dan legal justice.

2. Epistemologis Falsafah Sains Fritjof Capra

Etimologi epistemologi berasal dari kata Yunani, yaitu episteme (cara) dan logos

(ilmu). Epistemologi merupakan ilmu tentang bagaimana seorang ilmuwan akan membangun ilmunya dengan cara berpikir dekduktif dan induktif, rasional, dan konsisten (Nasoetion, 1999; Suriasumantri, 2000; Surajiyo, 2010; Mufid, 2013; Samiha, 2016; Riwukore dan Habaora,

2018). Memahami epistemologi merupakan serangkaian kegiatan metode ilmiah dan mencari kebenaran kebaruan (novelty). Fritjof Capra dalam melakukan serangkaian metode ilmiah dan novelty dalam epistemologinya memperoleh kebenaran bahwa krisis manusia modern menyebabkan bumi tidak seimbang dan berdampak pada tidak dapat diprediksinya sesuatu musim karena global warming. Keadaan seperti itu, secara dominan dan signifikan dari pengaruh eksploitatif dan konsumtif manusia yang antroposentris (manusia segala-galanya). Secara umum, epistemologi Fritjof Capra menjelaskan bahwa krisis yang terjadi di dunia disebabkan oleh: (a) pemisahan antara sains, ilmu pengetahuan, dan teknologi dengan moral, etika, dan spiritual; (b) adanya disharmoni atau ketidakadilan terhadap pemanfaatan sains, ilmu pengetahuan, dan teknologi terhadap keadaan lingkungan; dan (c) ketimpangan paradigma manusia di atas segala-galanya). Brameld (1965) menyatakan dalam situasi krisis seperti ini diperlukan therapautic function, yaitu: (a) diagnosis dan prognosis faktor penyebab krisis; dan (b) modifikasi dan inovasi teori dan falsafah sains bagi terciptanya keadilan yang relatif stabil, harmonis, dan seimbang dalam masyarakat di atas dasar-dasar sosial dan kultural baru. Epistemologi Fritjof Capra dianggap akhir dari evolusi filsafat kehidupan dan menegasikan epistemologi dari monisme, dualisme, dan pluralisme (cara pandang yang linier in nature) menjadi cara pandang yang non linier in nature

yang biasa dikenal dengan epistemologi holistik ekologi.

Tiga hal yang bisa dinilai dari epistemologi Fritjof Capra, yaitu: pertama, sintesis yakni penyatuan pemikiran deduktif-induktif bermetode ilmiah dalam prinsip-prinsip keseimbangan ekologis yang secara simbolis mensinergikan antara kekuatan ying (rasional-inderawi) dan yang

(nurani-agama) yang selama ini terpisah (Brameld, 1965; Capra, 1996; Quddus, 2012; Farisi, 2013; Rumadan, 2013; Susilo, 2013; Gumelar, 2016). Kedua, a democratic world civilization, yaitu penyetaraan antara subjek-objek menjadi subjek-subjek. Objek tidak dipandang sebagai sumber eksploitasi tetapi dianggap setara (subjek) sehingga terjadi komunikasi maupun dialog interaktif agar memberikan nilai keadilan. Apabila tidak terjadi keseimbangan maka akan menciptakan ketimpangan/ krisis dari penggunaan sains, ilmu

pengetahuan dan teknologi (Van der Walle, 2008; Sucia dan Samadi, 2017; Riwukore dan Habaora, 2019a. Ketiga, spiritualistik/ yang/ dimensi keagamaan sebagai pilar kehidupan masyarakat modern yang krisis. Suriasumantri (2000) menyatakan bahwa penguasaan epistemologi melalui sains dan teknologi oleh seorang ilmuwan perlu dibatasi landasan moral/ spiritualistik/ yang/ etika yang kuat agar tidak terjadi “momok kemanusiaan” yang sering dilakukan oleh manusia modern.

3. Konsep Falsafah Sains Fritjof Capra terhadap Ekologi dalam Perpesktif Kearifan Lokal/ Tradisi

Konsep falsafah sains Fritjof Capra terhadap ekologi dalam perspektif kearifan lokal/ tradisi terdiri atas: (a) integrasi antara agama dan sains, dimana antara mitisme dan sains sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan manusia; (b) sistem dalam dunia ini saling bergantung dan memperbaiki diri masing-masing; (c) sintesis atau perpaduan yang tidak saling menyingkirkan; dan (d) manusia sebagai basis pertahanan kelanjutan ekologi. Krisis ekologi secara global seperti global warming, menipisnya lapisan ozon, dan hujan asam (acid rain) karena pencemaran udara, polusi air, penggundulan hutan, teknologisasi, dan industrialisasi merupakan dampak dari krisis manusia modern sehingga ancaman kepunahan ekologi menjadi realitas. Contoh: (a) peradaban suku Maya (sekarang Yucatan Mexico) pada 950 M yang punah akibat hilangnya kesuburan tanah, krisis air, dan pengundulan hutan; (b) tujuh juta manusia di Cina tewas karena banjir berulang-ulang di Sungai Kuning pada tahun 1332 karena perubahan iklim (Thamrin, 2013); (c) penetapan “desa dalam suku Boti” di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) sebagai daerah wisata dan dilanjutkan pengadaan infrastruktur pendukung (jalan raya, jembatan, bangunan permanen, satelit pemancar) oleh pemerintah setempat menyebabkan kearifan lokal masyarakat suku Boti yang menganut paham keseimbangan alam memudar, sampah-sampah berserakan tanpa program 3R (reduce, reuse, recycle), dan ilegal loging meningkat (Saragih, Lassa, dan Ramli, 2007); (d) Indonesia tercatat laju penghancuran hutan rata-rata 2% per tahun dari hutan yang tersisa (1.871 juta hektar) sehingga menyebabkan 673 bencana (banjir, longsor, dan kebakaran hutan) terjadi di Indonesia sejak tahun 1998-2007 (Murdiyanto dan Gutomo,

(4)

2015); (e) tercatat 41% terumbu karang dalam keadaan rusak parah, 29% rusak, 25% lumayan baik, dan hanya 5% yang masih dalam keadaan alami akibat pencemaran, pengalihan kawasan yang tidak ramah lingkungan, dan penggunaan kimia dalam tangkap ikan (Worldbank, 2001); (f) terjadi ketimpangan dan ketidakadilan terhadap perempuan di Bali, di mana memandang laki-laki (purusa) memiliki kedudukan lebih istimewa dari pada perempuan (pradana) yang tampak dari pemberlakuan hukum adat yang belum perspektif gender, di mana kondisi ini kontradiktif dengan pandangan Hindu yang memuliakan perempuan sebagai kekuatan sakti, yang memiliki peran penting dalam penciptaan alam semesta (Rahmawati, 2016). Capra (2007) menyatakan bahwa ketimpangan ekologi akan muncul ketika ekologi hanya dijadikan sebagai objek eksploitasi dan eksperimen untuk kepentingan manusia.

Krisis ekologi sebagai cermin krisis spiritual, moral, dan kearifan lokal (budaya) yang merupakan pondasi dasar dari pikiran-pikiran global secara komprehensif. Krisis ekologi yang terjadi disebabkan selama peradaban manusia, fakta ilmiah/ pengetahuan/ teknologi sering dipisahkan dengan nilai budaya, memisahkan etika dengan kehidupan sehari-hari, memisahkan subjek dengan objek, memisahkan jiwa dengan tubuh, memisahkan roh dengan materi, bahkan memisahkan fakta dengan nilai. Padahal keseluruhan komponen penopang ekologi tersebut merupakan satu kesatuan. Pandangan Fritjof Capra tentang ecology ini sebenarnya menggambarkan bahwa suatu keberlanjutan terjadi jika ada keseimbangan antara komponen-komponen lingkungan, seperti manusia, binatang, tanaman atau hutan, air, tanah, dan udara adalah sebuah holon yang saling bergantung dan saling memiliki. Bila adanya keseimbangan antara komponen-komponen ekologi tersebut maka dengan sendirinya ada keberlanjutan. Keseimbangan juga menurut Capra bahwa selain terjadi dalam hubungan antara manusia terhadap alam (pengalaman-indrawi) juga terhadap hubungan manusia terhadap nurani-agama. Dengan demikian semuanya bersifat sintesis dan interaktif.

Contoh pengaruh kearifan lokal dalam konsep pelestarian ekologi dilaporkan Rahayu, Susanto, dan Muliya (2014) bahwa penerapan nilai-nilai kearifan lokal budaya Sunda dalam upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup dengan

membangun sebuah model pemberdayaan lingkungan religius-kosmik berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS) di Ciomas Jawa Barat berdasarkan konsepsi budaya Sunda telah mampu mengedepankan relasi dan keseimbangan antara keadilan ekologis dan keadilan sosial, lebih mengakomodasi kesetaraan dan keseimbangan antara kesejahteraan masyarakat dan keharmonisan lingkungan hidup. Habaora (2015a) melaporkan bahwa populasi mamalia ikan paus di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih terjaga meskipun terdapat tradisi perburuan ikan paus oleh suku Lamalera yang ada di Kabupaten Lembata karena perburuan ikan paus hanya yang berusia dewasa dan dilakukan hanya musim tertentu untuk menjaga kelangsungan hidup mamalia tersebut, dan apabila tradisi tersebut dilanggar akan mendapat kutukan dari Tuhan dan lembaga adat.

Adanya masalah-masalah ekologi karena cara pandang manusia yang menempatkan kepentingan manusia sebagai pusat dari segala-galanya dalam alam semesta (antroposentris atau homosentris). Ciri-ciri cara pandang manusia yang antroposentris, yaitu: (a) manusia bukanlah bagian dari alam (monisme); (b) manusia adalah hasil daya cipta Tuhan (dualisme); (c) manusia diciptakan untuk mengatur dan menaklukkan alam (pluralistik); dan (d) kaidah-kaidah yang berlaku diantara masyarakat (manusia) tidak berlaku terhadap benda-benda alam atau makluk lainnya (hewan dan tumbuhan). Simpulannya, cara pandang manusia yang antroposentris menjadikan ekologi semakin rusak.

Widianarko (2011) melaporkan banyak peradaban kuno hancur dan punah karena kerusakan ekologi dan eksploitasi sumberdaya alam. Contohnya: Indian Maya di Amerika Tengah, Zimbabwe Raya di Afrika, Angkor Wat di Kamboja. Peradaban tersebut hancur dan punah akibat “bunuh ekologis” dalam 12 kategori, yaitu: (a) pembalakan hutan dan perusakan habitat; (b) kerusakan lahan (erosi, salinisasi, kehilangan kesuburan); (c) manajemen air; (d) perburuan yang berlebihan; (e) pengambilan ikan yang berlebihan; (f) dampak introduksi spesies baru; (g) pertumbuhan penduduk; (h) peningkatan dampak per kapita penduduk; (i) perubahan iklim; (j) pencemaran kimia; (k) kekurangan energi; dan (l) pemborosan kapasitas fotosintesis bumi. Bunuh diri ekologis tersebut menjadi dasar Fritjof Capra ekoliterasi(melek lingkungan).

Kata ekoliterasi merupakan perpaduan dari dua kata, yaitu ecological dan literacy. Ecological

merupakan kata sifat terkait prinsip-prinsip ekologi. Literacy merupakan kata benda yang memiliki arti melek huruf. Dengan demikian, ekoliterasi bisa diartikan sebagai situasi melek huruf, paham, atau memiliki pengertian terhadap bekerjanya prinsip-prinsip ekologi dalam kehidupan bersama di planet bumi. Capra (2007) menyatakan ekoliterasi adalah tahap dasar atau tahap pertama dalam pembangunan komunitas-komunitas berkelanjutan. Tahap kedua adalah apa yang disebut ekodesain yang berarti perancangan bercorak ekologis. Tahap ketiga atau tahap terakhir adalah terbentuknya komunitas-komunitas berkelanjutan. Contoh konsep ekoliterasi yang telah diterapkan di dunia adalah rancangan pengembangan industri ZERI (Zero Emissions Research and Initiatives) kreasi Gunter Pauli di awal tahun 1990-an, rancangan pengembangan industri bercorak metabolisme biologi seperti dikonsepkan oleh Michael Brauggart di Jerman dan William McDonough di Amerika Serikat, rancangan pengembangan industri mesin fotocopy dengan unit daur ulang oleh perusahaan Canon di Jepang, dan rancangan pengembangan industri mobil dengan sistem FARE (Fiat’s Auto Recycling) oleh perusahaan Fiat di Eropa.

Konsep ekoliterasi dapat dikatakan sebagai sebuah strategi untuk menggerakkan masyarakat luas agar secepatnya mengubah cara pandang atas realitas kehidupan di planet bumi dan melakukan pembaruan-pembaruan yang diperlukan. Ekoliterasi merupakan bentuk kebijaksanaan alam (wisdom of nature) untuk menjamin keberlanjutan kehidupan di planet bumi (Capra, 2002). Ekoliterasi adalah pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan dari fakta dan kepeduliaanya terhadap produk ramah lingkungan (Suwondo dan Pramudana, 2016). Apabila masyarakat mempunyai pengetahuan, memiliki sikap dan memahami konsep ekoliterasimaka masyarakat akan mengerti apa yang harus dilakukan dan bagaimana masyarakat berhubungan dan berbuat dengan ekosistem sehingga masyarakat dapat melakukan kehidupan yang berkelanjutan sebagai tempat manusia bergantung. Widianarko (2011) menyatakan bahwa ekoliterasi adalah pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ekologi yang berguna dalam menyikapi persoalan-persoalan lingkungan. Ekoliterasi dapat didekati dengan kearifan lokal.

Kearifan lokal dalam kehidupan manusia memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan, kelestarian dan perawatan ekologi (baik lingkungan alam dan sosial). Kearifan lokal telah turut andil untuk menciptakan sistem gagasan dan cara berperilaku manusia agar mereka peka dengan berbagai kondisi lingkungannya (Herimanto, Budiati, dan Utami, 2013). Hanya saja rasionalitas manusia yang terwujud dalam teknologi justru tanpa disadari berperan dalam terjadinya krisis ekologi. Hasil kajian (Prayoga, Nurfadilla, Saragih, dan Riezky, 2019) menunjukkan bahwa revolusi hijau di Indonesia dan industrialisasi pertanian (seperti pupuk dan traktor) justru menciptakan masalah baru dalam kehidupan masyarakat perdesaan. Hal ini disebabkan nilai-nilai budaya masyarakat lokal yang cenderung irrasionalitas dari aspek akademik justru diabaikan ketika melakukan perubahan sosial dan perencanaan pembangunan. Dengan demikian, keseimbangan ekologis dalam zaman modernistik seperti sekarang perlu didekati dengan aspek sosial budaya, supaya kehidupan alam dan masyarakat tidak terganggu dan terancam oleh bencana. Oleh karena itu penting dalam menjaga alam, aspek sosial budaya yang telah dimiliki oleh masyarakat dijadikan pijakan bagi kelestarian alam yang berkelanjutan.

Herimanto, Budiati, dan Utami (2013) melaporkan pendidikan lingkungan (ekoliterasi) masyarakat rawan bencana di Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah melalui local knowledge mitos Prabu Boko yang disimbolkan melalui punden-punden

yang hampir terdapat di setiap dusun yang diyakini memiliki ‘danyang’ sebagai leluhur yang dianggap penjaga dusun. Untuk menghormati keberadaan danyang, masyarakat dusun menyelenggarakan ritual atau upacara adat dengan tujuan untuk menolak bala, terutama terjadinya bencana alam. Sikap masyarakat yang masih mempercayai keberadaan mitos Prabu Boko dianggap sebagai upaya untuk mencegah terjadinya bencana alam melalui kegiatan bersih desa yang disertai persembahan sesuai mitos kepada danyang sebagai penunggu desa. Keberadaan alam bagi masyarakat Jawa merupakan bagian dari relasi kekuasaan yang membangun relasi antar individu. Dalam hal ini, menciptakan sejarah yang tidak pernah lepas dari keberadaan alam. Ketika alam bergejolak, maka masyarakatnya secara budaya juga ikut bergolak.

(5)

Oleh karena itu, alam dan manusia memiliki sejarah rasionalitas yang mampu berkembang menjadi jalan keluar. Mitos hanya dianggap sebagai pengantar tidur, ternyata memiliki filosofi keberadaan alam yang menjadi pijakan hidup masyarakat Tawangmangu. Mitos tentang asal-usul masyarakat sebagaimana terlihat dalam mitos Prabu Boko di Pancot, Tawangmangu memiliki banyak manfaat, tidak hanya bagi tradisi ekologis, tetapi juga pembentukan karakter dan sistem pengetahuan masyarakat dalam kerangka kepedulian ekologis. Mitos seperti ini memang layak diperhatikan dan disebarluaskan oleh pemerintah, guru, tokoh masyarakat, dan pihak lainnya yang peduli pada masa depan ekologis pada khususnya, dan dunia pada umumnya. Aspek kebudayaan (kearifan lokal) memiliki arti penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat sebagai anggota sistem kebudayaan tersebut. Budaya merupakan sumber nilai-nilai dan tata aturan yang sifatnya lokalistik yang berfungsi sebagai penjaga keseimbangan alam dan lingkungan sosial para masyarakatnya (Habaora, 2018). Capra (2002) menyatakan bahwa lingkungan alam selalu berkaitan dengan alam budaya masyarakatnya. Jika kita sebagai manusia terlalu rakus di dalam mengeksploitasi alam, maka itu sama artinya kita hendak mengikis alam kebudayaan manusia. Dampaknya, keseimbangan alam akan terganggu dan berujung pada bencana kemanusiaan yang sangat dasyat. Setiap sel-sel dan biosfer alam (air, tanah, udara, hutan, hewan, gunung, angin, tumbuhan, dan lainnya) sangat terkait erat dengan sistem kebudayaan manusia. Dunia manusia dan alam merupakan dua entitas yang memiliki keseimbangan dinamis dan saling terikat. Riwukore dan Habaora, (2019b) (2019c) menyatakan bahwa masyarakat dan individu yang sehat misalnya akan selalu hadir apabila lingkungan alam mereka sehat dan lestari. Thamrin (2013) melaporkan masyarakat Melayu (Timur) sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal dalam memelihara lingkungan. Dalam budaya Melayu terjadi simbiosisme antara nilai-nilai adat dan agama dalam pelestarian lingkungan. Dalam masyarakat Melayu sangat sarat dengan ungkapan-ungkapan pemeliharaan hutan, sungai, flora, fauna, dan keseimbangan alam. Namun, nilai-nilai kearifan ini banyak terabaikan, baik oleh internal orang Melayu maupun faktor struktural kebijakan yang kurang memperhatikan penerapan nilai-nilai kearifan

lingkungan hidup dalam menyelamatkan planet yang dihuni. Terjadinya degradasi lingkungan dewasa ini salah satu faktor utamanya adalah pandangan antroposentris yang tidak memperhatikan kearifan lokal. Degradasi lingkungan juga disebabkan oleh melemahnya peran lembaga adat dan penerapan nilai-nilai kearifan lingkungan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Suwondo dan Pramudana (2016) menyatakan ekoliterasi mampu menciptakan etika lingkungan yang baru, dan telah meningkatkan kesadaran individu secara signifikan mengubah perilaku konsumsi. Hal ini disebabkan oleh: (a) ekoliterasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap konsumen; (b) ekoliterasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesediaan untuk membeli produk ramah lingkungan; (c) sikap berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap kesediaan untuk membeli produk ramah lingkungan; (d) variabel mediasi, yakni sikap dinilai secara signifikansi memediasi hubungan antara ekoliterasi terhadap kesediaan membeli produk ramah lingkungan. Ekoliterasi mampu menekan pengaruh perubahan iklim. Perubahan iklim adalah proses panjang hasil konsumsi energi berlebih dan tidak berkelanjutan oleh negara-negara industri. Sejak dilangsungkannya revolusi industri, lingkungan global menderita pencemaran udara dan berdampak besar pada perubahan situasi bumi. Penggunaan teknologi dalam rangka eksploitasi alam memainkan peran yang esensial dalam mempengaruhi situasi tersebut. Salah satu akibatnya adalah peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) secara tidak alami di atmosfer bumi, kemudian berdampak pada memanasnya suhu bumi yang sangat berbahaya bagi mayoritas populasi di dunia dan bagi ekosistem. Perubahan iklim ini merupakan isu yang terkait dengan masalah pembangunan, hak asasi manusia, dan keadilan yang sedang berkembang di tengah krisis ekologi yang dihadapi masyarakat dunia (Habaora, 2015b).

Karakter manusia yang terlalu mendewakan rasio menyebabkan peradaban manusia menuju kehancuran. Krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan dan kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia, untuk pertama kalinya kita dihadapkan pada ancaman kepunahan

ras manusia yang nyata dan semua bentuk kehidupan di planet ini. Capra memandang bahwa perubahan iklim (climate change) merupakan fenomena dunia modern yang didukung oleh kecanggihan ilmu dan teknologi dengan mengabaikan etika, estetika, dan keseimbangan alam, yaitu: (a) pengembangan senjata nuklir, di mana ancaman perang nuklir merupakan bahaya terbesar yang dihadapi oleh manusia saat ini, meskipun bukan satu-satunya; (b) kerusakan ekosistem global dan evolusi kehidupan, di mana kemerosotan kualitas lingkungan alam dalam bentuk krisis udara, air, makanan dan ekologi; (c) krisis ekonomi global, di mana akibat krisis ini maka terjadi peningkatan signifikan terhadap angka kejahatan dan kekerasan, sehingga kecemasan, kekacauan dan ketidaknyamanan hidup menjadi persoalan mendasar bagi manusia modern. Capra menyatakan bahwa ketidakseimbangan antara kemajuan pengetahuan yang rasional, kekuatan intelektual dan ketrampilan teknologi di satu sisi dengan perkembangan kebijaksanaan, spiritualitas dan etika di sisi yang lain telah menimbulkan ketidakpastian, ketidakaturan, dan chaos.

Merchant (1995) menginterpretasi ekologi dan menghasilkan revolusi ekologis dari Fritjof Capra tentang konsep keberlanjutan (sustainability) kehidupan di planet bumi ini, yang ditawarkan oleh Capra melalui konsep ekoliterasi. Kelompok yang diharapkan mengerti ekoliterasi adalah kaum politikus, pimpinan bisnis, para profesional di semua lapisan, dan lembaga-lembaga pendidikan. Mereka ini adalah kelompok-kelompok pengambil kebijakan publik atau kelembagaan dan pemberi masukan terpercaya yang memiliki kemampuan riil dalam menciptakan dampak-dampak kemasyarakatan jauh ke depan.

Di era globalisasi, kelompok-kelompok politikus, bisnis, dan profesional memiliki peranan sangat strategis. Mereka merupakan kelompok-kelompok yang diperebutkan antara dua kekuatan besar yang sampai saat ini masih saling berseberangan pandangan dalam kaitan dengan isu-isu lingkungan, yaitu kaum pendukung kapitalisme global dan kaum penggerak lingkungan global.

SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan

Konsep falsafah sains Fritjof Capra tentang ekologi mengajarkan cara pandang baru dalam melihat dan menganalisis realitas secara ontologi holistik ekologi secara sintesis dan komunikatif. Kerusakan salah satu sistem memengaruhi keadaan sistem yang lain. Krisis peradaban dan ekologi terjadi karena manusia lebih mementingkan sistem kehidupan yang kapitalis, materialistik, hedonisme, sementara spiritualisme (ilham dan wahyu, budaya dan tradisi) hanya dianggap sebagai pseudo (palsu) yang tidak diakui kebenarannya. Manusia modern belum memahami bahwa perkembangan peradaban (sains, ilmu pengetahuan, dan teknologi) yang dibatasi moral, agama, dan budaya akan menciptakan keberlanjutan ekologi dengan sendirinya karena adanya kebijaksanaan alam. Konsep ekoliterasi merupakan cara pandang yang ditawarkan Fritjof Capra dalam falsafah sains ekologi yang sebenarnya sangat erat dalam nilai-nilai kebudayaan/ tradisi seperti mitos-mitos dan tradisi secara turun-temurun dalam menjaga lingkungan alam. Kelompok yang diharapkan mengerti ekoliterasi adalah kaum politikus, pimpinan bisnis, para profesional di semua lapisan, dan lembaga-lembaga pendidikan. Mereka ini adalah kelompok-kelompok pengambil kebijakan publik atau kelembagaan dan pemberi masukan terpercaya yang memiliki kemampuan riil dalam menciptakan dampak-dampak kemasyarakatan jauh ke depan.

2. Saran

Kearifan lokal memiliki dampak terhadap eksistensi menjaga keberlanjutan lingkungan, melalui tradisi-tradisi yang telah dipertahankan secara turun-temurun. Oleh karena itu disarankan adanya kerjasama multi stakeholder

yang berwawasan ramah lingkungan berbasis kearifan lokal, baik dari aspek kebijakan, politik, bisnis, maupun sosial budaya. Lembaga-lembaga adat dan keagamaan perlu berpartisipasi dalam peningkatan aspek moral sesuai kearifan lokal yang dipercayai mampu menjaga alam.

(6)

PUSTAKA ACUAN

Brameld, T. 1965. Education As Power. New York (USA): Holt, Rinehart and Winston Inc. Capra, F. 1996. Titik Balik Peradaban: Sains,

Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan.

Yogyakarta: Bentang Pustaka Press. ________. 2002. The Hidden Connections.

London: Harper Collins.

________. 2007. “Sustainable Living, Ecological Literacy and The Breath of Life”. Canadian Journal of Environmental Education, 12, 9-18.

Dalmeri. 2015. “Contextualization of Scientif and Religious Values in Multicultural Society”.

Jurnal Walisongo, 23 (2), 377-400.

Farisi, M. I. 2013. Kurikulum rekonstruksionis dan implikasinya terhadap ilmu pengetahuan sosial: Analisis dokumen kurikulum 2013.

Jurnal Paedagogia, 16 (2), 144-165.

Gumelar, M. S. 2016. Dekonstruksi pemikiran Fritjof Capra dalam Buku “Titik Balik Peradaban”. Jurnal Studi Kultural, 1 (1), 7-11.

Habaora, F. 2015a. Padang Penggembalaan Daerah Tropis. Yogyakarta (ID): Deepublish Press.

_________. 2015b. Populasi Opini Penyalahgunaan Kekuasaan. Yogyakarta: Deepublish Press.

Habaora, F. 2018. Jefri Riwukore: I am Jeriko, an Ordinary Person. Yogyakarta: Sibuku Media Press.

Hardjono, J. S. 2015. Paradigma Holistik-ekologis Fritjof Capra dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum: Relevansinya dengan Pengembangan Hukum di Indonesia.

Yogyakarta: Universitas Gadja Mada. Herimanto, Budiati, A. C., dan Utami, T. 2013.

Ecoliteracy Masyarakat Rawan Bencana melalui Mitos Prabu Boko di Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Jurnal Forum Ilmu Sosial, 40 (2), 178-188.

Hidayat, S. 2014. “Sacred Science vs Secular Science: Carut Marut Hubungan Agama dan Sains”. Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 8 (1), 87-101.

Merchant, C. 1995. Eartcare, Women and The Environment. New York (USA): Rountledge Press.

Mufid, F. 2013. “Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam”. Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, 17 (1), 19-40. Murdiyanto, dan Gutomo, T. 2015. “Bencana

Alam Banjir dan Tanah Longsor dan Upaya Masyarakat dalam Penanggulangan”.

Jurnal Penelitian Kebijakan Sosial, 14 (4), 437-452.

Nasoetion, A. N. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains. Bogor: PT. Pustaka Litera Antar Nusa. Praja, J. S. 2006. Aliran-Aliran Filsafat dan

Etika. Bandung (ID): Penerbit Yayasan Pengembangan Ilmu Agama dan Humaniora.

Prayoga, K., Nurfadilla, S., Saragih, M., dan Riezky, M. 2019. “Menakar Perubahan Sosio-Kultural Masyarakat Tani Akibat Miskonsepsi Modernisasi Pembangunan Pertanian”. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis: SOCA, 13 (1), 96-113. Purwendah, E. K. 2019. “Konsep Keadilan Ekologi

dan Keadilan Sosial dalam Sistem Hukum Indonesia antara Idealisme dan Realitas”.

Jurnal Komunikasi Hukum Universitas Pendidikan Ganesha, 5 (2), 139-151.

Quddus, A. 2012. “Ecotheology Islam: Teologi Konstruktif Atasi Krisis Lingkungan”. Jurnal Ulumuna, 16 (2), 311-347.

Rahayu, M. I., Susanto, A. F., dan Muliya, L. S. 2014. “Model Pemberdayaan Hukum Lingkungan Religius-Kosmik sebagai Upaya Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup”.

Jurnal Litigasi, 15 (1), 70-92.

Rahmawati, N. N. 2016. “Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender (Kajian Budaya, Tradisi, dan Agama Hindu). Jurnal Studi Kultural, 1 (1), 63-69.

Riwukore, J. R., dan Habaora, F. 2018. “Falsafah Sains Titik Kritis Penyembelihan Halal”.

Jurnal Weekyline, 1 (1), 1-10.

Riwukore, J. R., dan Habaora, F. 2019a. “Perception of Farmers on The Performance of Extensionist in The Pasture Agroecosystem of Timor Tengah Utara District”. Asian Journal of Agricultural

Extension, Economics & Sociology, 29 (2), 1-10.

________. 2019b. “Revolutionary Concept of Garbage Handling in Kota Kupang, Indonesia”. Journal of Ecological Engineering and Environment Protection, 2 (2), 39-47.

________. 2019c. “The Concept of Strategy for Garbage Management in The Kupang City Indonesia”. Saudi Journal of Humanities and Social Sciences, 4 (6), 395-400.

Rozak, A., dan Arifin, A. Z. 2002. Filsafat Umum.

Bandung (ID): Gema Media Pusakatama. Rumadan, I. 2013. Penafsiran hakim terhadap

ketentuan pidana minimum khusus dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Jurnal Hukum dan Peradilan, 2(3), 379-404. Samiha, Y. T. 2016. “Standar Menilai Teori dalam

Metode Ilmiah pada Kajian Filsafat Ilmu”.

Jurnal Studi Islam Medina-Te, 14 (2), 133-142.

Saragih, S., Lassa, J., dan Ramli, A. 2007. Kerangka Penghidupan Berkelanjutan. Hivos Southeast Asia Office dan Circle Indonesia. Sucia, A. H., dan Samadi. 2017. “Communication

Ability dalam Pemecahan Masalah Perubahan Iklim Sesuai Perspektif Gender”. Jurnal Pendidikan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan, 18 (2), 53-63.

Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta (ID): Bumi Aksara Press.

Suriasumantri, J. S. 2000. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta (ID): Penerbit Sinar Harapan.

Susilo, A. B. 2013. “Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum: Suatu Solusi terhadap Problematika Penegakan Hukum di Indonesia”. Jurnal Hukum dan Peradilan,

2 (3), 449-469.

Suwondo, S. P., dan Pramudana, A. S. 2016. “Peran Sikap dalam Memediasi Pengaruh Ecoliteracy terhadap Kesediaan untuk Membeli Produk Ramah Lingkungan”.

Jurnal Manajemen UNUD, 5 (7), 4575-4601.

Strauss, A and Corbin, J. 2009. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Belajar Press.

Syadali, A., dan Mudzakir. 1997. Filsafat Umum.

Bandung, Indonesia: Pusaka Setia Press. Thamrin, H. 2013. “Local Wisdom in

Environmental Preservation: The local Wisdom in Environmental Sustainable”.

Jurnal Kutubkhanah, 16 (1), 46-59.

Van der Walle, J. A. 2008. Elementary and Middle School Mathematies. Virginia (USA): Virginia Commonwealth University.

Widianarko, B. 2011. “Hambatan Politik, Ecoliteracy dan Kepemimpinan Lingkungan”. Jurnal Riptek, 5 (1), 1-5.

Worldbank. 2001. Indonesia’s Status on the Environment. Jakarta (ID): Laporan Bank Dunia.

(7)

Referensi

Dokumen terkait

berpengaruh tidak optimalnya pekerjaan dokumentasi, hal tersebut sangat terasa bila dalam satu waktu yang bersamaan terjadi beberapa kegiatan yang harus diliput

Pemberian tunjangan Auditor dihentikan apabila Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, diangkat dalam jabatan struktural atau jabatan fungsional lain

Part II contains papers on whether private schools are better than public schools, and Part III con- tains studies from actual school choice proposals or pro- grams in the U.S., or

Jika terdapat bukti obyektif bahwa kerugian penurunan nilai telah terjadi atas instrumen ekuitas yang tidak memiliki kuotasi yang tidak dicatat pada nilai wajar

Untuk mengembangkan dan mengaplikasikan teori-teori mahasiswa di ajak untuk melakukan kajian dan analisa kasus-kasus hukum kontemporer yang terjadi di masyarakat baik yang

Hasil pengujian pada hipotesis ketiga melalui observasi pada tabel 1 dan hasil perhitungan SPSS diperoleh t hitung = 15,639 > t tabel = 1,665, menunjukkan bahwa

ALUR PENDAFTARAN SMMPTN.

Preglednica 13: Rezultati Mann-Whitneyevega testa molarnih razmerij, ki so statistično značilni med rdečimi tlemi in terra rosso (p < 0,05) s pripadajočo p vrednostjo