• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revitalisasi Maqasid Al-Shari\u27ah dalam Pengembangan Ekonomi Syariah di Indonesia (Studi Kasus Atas Fatwa-fatwa DSN-MUI Tahun 2000-2006)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Revitalisasi Maqasid Al-Shari\u27ah dalam Pengembangan Ekonomi Syariah di Indonesia (Studi Kasus Atas Fatwa-fatwa DSN-MUI Tahun 2000-2006)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Revitalisasi

Maqa>s}id al-Shari>’ah

dalam Pengembangan Ekonomi Syariah

di Indonesia

1

(Studi Kasus atas Fatwa-fatwa DSN-MUI Tahun 2000-2006)

M. Atho Mudzhar

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

Abstrak

Studi ini menguji bagaimana konsep Maqa>s}id al-Shari>’ah digunakan atau

direvitalisasi sebagai

h}ujjah

dalam 53 fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan selama periode 2000-2006.

Oleh karena muara Maqa>s}id al-Shari>’ah itu adalah mas}lahat, maka metode

pengujian itu dilakukan dengan mencermati penggunaan kaidah-kaidah fikih

yang terkait dengan maslahat dalam fatwa-fatwa DSN-MUI. Studi ini

menemukan bahwa dalam 50 dari 53 fatwa DSN-MUI dicantumkan kaidah

fikih dalam pertimbangannya, meskipun sebelumnya telah dilengkapi dengan

argument nas Alquran dan Hadis, serta

Ijma>’

dan

Qiya>s

}. Terdapat 11 macam

kaidah fikih yang digunakan, minimal tercantum satu kaidah dan maksimal

lima kaidah dalam sebuah fatwa. Frekwensi penggunaan kaidah fikih secara

keseluruhan sebanyak 134 kali, sehingga setiap fatwa rata-rata menggunakan

2, 5 kaidah fikih. Kaidah fikih yang dominan digunakan ialah kaidah yang

menyatakan bahwa asal hukum urusan muamalat itu dibolehkan selama tidak

ada dalil yang mengharamkannya. Kaidah yang sangat umum ini, seringkali

digunakan tanpa disertai dengan kaidah lain yang lebih khusus, sehingga

mengesankan fatwa DSN-MUI cenderung permisif atau liberal dan kurang

jitu sudut argumennya (

wijhat al-naz}ar

), meskipun mungkin masih absah.

Abstract

The author examines the concept of

Maqa>s}id al-Shari>’ah

that was used or

revitalized as arguments for 53 legal opinions (fatwas) of Dewan Syariah

Nasional (DSN) of the Indonesian Ulama Councils (MUI) issued during

2000-2006. Because the purpose of the

Maqa>s}id al-Shari>’ah

is for public

interests (maslaha), the examination of the

Maqa>s}id al-Shari>’ah

was

conducted by observing the application of fiqh principles in DSN-MUI

1Artikel ini adalah bentuk revisi makalah penulis yang disajikan pada Forum Riset

Ekonomi dan Keuangan Syariah II diselenggarakan atas kerjasama Bank Indonesia (BI) dengan Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) pada tanggal 13-14 November 2013 di Jakarta.

(2)

fatwas, particularly those that related to

mas}lah}a.

The study found that 50 of

53 fatwas of DSN-MUI included the fiqh principles in all judgments, despite

of being equipped by basic Islamic reasoning principles such as Al-Quran,

Hadis,

Ijma>’

and

Qiya>s}

. There are 11 possible fiqh principles for use in all

fatwas, the minimum is one principle and the maximum is five principles.

Overall, the fiqh principles were used 134 times. This means that the average

use of the fiqh principles is 2.5 in every fatwa. The most used fiqh principle

was the axiom stating that the basic legal principle for

muamala

is

permissible as long as no proposition/law forbids it. The general principle is

often used without other specific supporting principles. It should be noted

that the DSN-MUI legal opinions tend to be permissive or liberal and less

accurate (

wijha>t al-naz}ar

), despite their validity.

Keywords:

DSN-MUI, fatwa, fiqh principles, Maqa>s}id al-Shari>’ah

Pendahuluan

Geliat ekonomi Syariah di dunia luar biasa pesatnya. Aset keuangan

syariah global diramalkan mencapai 3 triliun USD pada tahun 2015 yang

berarti kenaikan berlipat dari 1,3 triliun USD pada tahun 2010. Khusus di

Negara-negara teluk yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk (

Gulf

Council for Cooperation

atau GCC), sebagaimana dikutip

Zawya

, aset sistem

perbankan Syariah pada akhir 2013 telah mencapai 15 sampai dengan 50

persen dari total aset sistem perbankan di negeri-negeri itu. Di Indonesia

pada Juni 2013 atau akhir semester pertama tahun 2013, perbankan Syariah

telah mengumpulkan dana masyarakat atau Dana Pihak Ketiga (DPK)

sebesar RP 163,966 triliun yang berarti kenaikan sebasar 37, 5 persen

dibandingkan keadaan pada Juni 2012. Demikian juga jumlah pembiayaan

yang telah disalurkan pada Juni 2013 mencapai Rp. 171,227 triliun yang

berarti kenaikan sebesar 45, 6 persen jika dibandingan dengan keadaan pada

periode sang sama pada tahun 2012.

2

2Harian Republika, Jakarta, 22 Oktober 2013, halaman 15. Angka-angka tentang Indonesia itu dikutip dari pernyataan Edy Setiyadi, Direktur Eksekutif Perbankan Syariah Bank Indonesia (BI), ketika menjelaskan tentang pengkajian dan persiapan yang sedang dilakukan oleh BI tentang penerbitan beberapa peraturan sebelum pengawasan perbankan berpindah kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) khususnya terkait kelembagaan, leverage model, branchless, dan batasan Giro Wajib Minimum (GWM) seperti GWM loan to deposit ratio (LDR) yang selama ini berlaku untuk perbankan konvensional.

(3)

M. Atho Mudzhar (01-19)

Perkembangan yang pesat perbankan Syariah di Indonesia itu (juga

keuangan Syariah pada umumnya), selain dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti penguatan manajemen, permodalan, kesadaran masyarakat, dan

lingkungan ekonomi makro, tentulah juga dipengaruhi oleh ketersediaan

rambu-rambu yang dinamis mengenai kesyariahan produk-produk keuangan

syariah itu sendiri sehingga jumlah dan jenis produk keuangan syariah terus

berkembang sesuai tantangan yang dihadapi dan dalam waktu yang sama

tetap diletakkan dalam bingkai syariah yang mapan.

Salah satu pertanyaan yang relevan di sini ialah seberapa jauh konsep

Maqa>s}id al-Shari>’ah

telah berperan dalam memberikan rambu-rambu

kesyariahan yang dinamis itu? Pertanyaan ini penting karena

Maqa>s}id

al-Shari>’ah

ialah konsep yang mendasar, komprehensif, dan sekaligus juga

dinamis apabila diberdayakan oleh para pemikir hukum Islam yang terampil

dan progresif. Pertanyaan inilah yang hendak dicoba dicarikan jawabannya

dalam uraian ini dengan mengambil fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional

(DSN) Majlis Ulama Indonesia (MUI) sebagai obyek kajiannya.

Dalam sebuah kajian sebelum ini, penulis pernah berhujah bahwa

untuk menjamin kesyariahan semua produk dan transaksi Lembaga

Keuangan Syariah (LKS), terdapat tiga mata rantai kegiatan yang saling

berkaitan yaitu: penyediaan fatwa ulama sebagai rambu-rambu syariah,

akomodasi fatwa ke dalam berbagai peraturan dan perundangan, dan

pengawasan atas LKS agar produk dan transaksinya senantiasa sesuai dengan

syariah.

3

Dalam studi sekarang ini, uraian akan difokuskan pada mata rantai

pertama yaitu penyediaan fatwa sebagai rambu-rambu syariah, sehingga

pertanyaan pokok makalah ini ialah bagaimana dan seberapa jauh konsep

Maqasid al-Syariah telah berperan dalam perumusan fatwa-fatwa Dewan

Syariah Nasional (DSN), Majlis Ulama Indonesia (MUI) untuk periode tahun

2000 – 2006. Periode ini diambil karena fatwa-fatwa DSN-MUI untuk

periode itu dibukukan dan diterbitkan dengan judul:

Himpunan Fatwa Dewan

Syariah Nasional MUI Edisi Revisi Tahun 2006.

Mengenai penggunaan

Maqa>s}id al-Shari>’ah

ini, KH Ma’ruf Amin,

Ketua Harian DSN-MUI, pernah memberikan pernyataan bersayap. Ia

3M. Atho Mudzhar, K.H. Ma’ruf Amin Seorang Ulama Yang Cemerlang Dalam Ilmu

Hukum Ekonomi Syariah Dan Motor Penggerak Ekonomi Syariah Indonesia, pidato promotor I diucapkan pada Upacara Pemberian Gelar Doktor Kehormatan Dalam Bidang Hukum Ekonomi Syariah Dalam Sidang Senat Terbuka Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 5 Mei 2012, 10-11.

(4)

mengatakan bahwa menetapkan fatwa hanya didasarkan pada kebutuhan (

al-h}a>jah

), atau kemaslahatan (

li al-mas}lah}ah

), atau pemahaman intisari ajaran

agama (

maqa>s}id al-Shari>’ah

), tanpa berpegang kepada al

-Nus}u>s}

al-Shar’iyyah

, termasuk sikap kebablasan (

ifra>t}i

). Sebaliknya, katanya lagi,

menetapkan fatwa hanya berdasarkan sikap kaku memegangi teks keagamaan

(

al-nus}u>s} al-shar’iyyah

) tanpa memperhatikan kemaslahatan (

al-mas}lah}ah

)

dan intisari ajaran agama (

maqa>s}id al-Shar’iyyah

) sehingga membiarkan

banyak permasalahan baru tidak ditanggapi dan dijawab, menurut KH.

Makruf Amin, adalah termasuk kedalam sikap gegabah (

tafri>t}i

).

4

Bagi KH.

Makruf Amin, sikap yang benar bukanlah sikap

ifra>t}i

(kebablasan) dan bukan

pula sikap

tafri>t}i

(gegabah), melainkan sikap seimbang dan jalan tengah

(moderat), meskipun tidak dijelaskan di mana tepatnya letaknya itu.

Kemudian seolah hendak menjelaskan kalimat bersayap KH Ma’ruf

Amin itu, Oni Sahroni mengemukakan bahwa ada tiga madrasah (aliran)

ijtihad, yaitu (1) madrasah

al-mu’at}t}ilah li al-nus}u>s}

(mengabaikan

nas}s

}) yang

gemar mengubah maksud

nas}s}

dengan alasan maslahat, (2) madrasah

z}a>hiriyyah

(literalis) yang dengan kaku memegangi

z}a>hir nas}s}

dan

tura>th

karya ulama terdahulu (salaf), dan (3) madrasah

al-wasa>t}iyyah

(moderat atau

jalan tengah) yang mempertimbangkan

nas}s}

yang sifatnya

juz’i

(rincian) dan

Maqa>s}id al-Shari>’ah

yang sifatnya

kulliy

(komprehensif, menyeluruh).

Menurut Sahroni, KH Ma’ruf Amin termasuk penganut aliran ijtihad ketiga

yang moderat itu.

5

Kemudian senada dengan Sahroni adalah Setiawan Budi

Utomo yang mengatakan bahwa DSN-MUI sebagai otoritas ekonomi dan

perbankan Syariah telah memilih warna Syariah muamalah yang berkarakter

moderat, sehingga memungkinkan pengembangan produk keuangan Syariah

secara progresif. Bagi Budi Utomo, dua karakter lain yang secara sadar tidak

dipilih DSN-MUI ialah: pertama, mazhab liberal (

tasahhuliy

atau

iba>h}iy

atau

memudah-mudahkan) yang secara mudah dan legalistik cenderung menerima

dan memberikan labelisasi “Syariah” atau “Islami” pada produk-produk

sistem keuangaan konvensional; dan kedua, mazhab konservatif (

tashaddudiy

atau bersangat-sangat) yang cenderung menggunakan “kacamata kuda” serba

“hitam-putih” dengan mempertahankan kesederhanaan bentuk-bentuk

4Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistim Hukum Islam, (Jakarta: Penerbit Elsas, 2008),

246. Lihat juga M. Atho Mudzhar, KH Ma’ruf Amin Seorang Ulama , 2-3.

5Oni Sahroni, “Malamih (karakteristik) Fatwa-Fatwa KH Ma’ruf Amin, “ dalam

Muhammad Nadratuzzaman Hosen (ed), 70 Tahun DR. KH Ma’ruf Amin Pengabdian Tiada Henti Kepada Agama, Bangsa dan Negara (Jakarta: The Ibrahim Hosen Institute, 2013), 144-145.

(5)

M. Atho Mudzhar (01-19)

transaksi keuangan syariah sebagaimana diuraikan dalam kitab-kitab fikih

klasik dan menolak terhadap pembaharuan produk yang menyerupai

produk-produk sistem keuangan konvensional.

6

Sementara itu Muhammad Maksum menilai bahwa fatwa-fatwa

DSN-MUI sesungguhnya bersifat longgar. Pada satu sisi kelonggaran itu

mendorong peluang untuk memperbesar jumlah produk keuangan syariah,

tetapi pada sisi lain cenderung dominan mengedepankan aspek legalitas

daripada moralitas. Maksum melihat bahwa hal itu dilakukan DSN-MUI

dengan tiga cara yaitu mengesahkan sejumlah bentuk perpaduan akad (akad

hibrid), mengesahkan model pembaharuan pendapatan dalam menyiasati

riba, dan memberlakukan penambahan syarat yang diperselisihkan oleh para

ulama fikih.

7

Maksum memberikan penilaiannya itu setelah ia mengkaji

secara seksama fatwa-fatwa DSN-MUI pada kurun waktu tahun 2000-2011

dan membandingkannya dengan fatwa-fatwa Majlis Penasihat Syariah (MPS)

Bank Negara Malaysia dan

Majma’ al-Fiqh al-Isla>miy

(MFI) yang berada di

bawah Organisasi Kerjasama Islam (OKI, dulu kepanjangannya ialah

Organisasi Konferensi Islam).

Penilaian atas moderat atau tidaknya fatwa-fatwa DSN-MUI atau

longgar tidaknya fatwa-fatwa itu sebagaimana disebutkan di atas tentulah

merupakan topik kajian ilmiah menarik, tentu saja antara lain tergantung

pada alat ukur yang digunakan dalam penilaian itu. Dalam kajian ini

fatwa-fatwa DSN-MUI itu hendak dikaji dari satu segi saja, yaitu bagaimana dan

sejauhmana konsep

Maqa>s}id al-Shari>’ah

secara langsung maupun tidak

langsung telah digunakan dalam perumusan fatwa-fatwa DSN-MUI itu.

Pemahaman mengenai hal itu penting untuk mengetahui bagaimana dan

seberapa jauh konsep

Maqa>s}id al-Shari>’ah

telah dihidupkan kembali dan

menjadi “ruh penggerak” lahirnya fatwa-fatwa DSN-MUI. Sebelum

melakukan pengujian itu, terlebih dahulu perlu diuraikan pengertian konsep

6Setiawan Budi Utomo, “Dialektika Konstruksi Substantif Hukum Ekonomi Syariah

Progresif,” dalam 70 Tahun DR. KH Ma’ruf Amin Pengabdian Tiada Henti KepadaAgama, Bangsa Dan Negara, ed. Muhammad Nadratuzzaman Hosen (Jakarta: The Ibrahim Hosen Institut, 2013), 249-250.

7Muhammad Maksum, “Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia

Dalam Merespon Produk-Produk Ekonomi Syariah Tahun 2000-2011” (disertasi doktor, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2013), 267.

(6)

Maqa>s}id al-Shari>’ah

, apa saja cakupannya, dan bagaimana tanda-tanda

kehadirannya dalam suatu fatwa atau suatu produk pemikiran hukum Islam.

8

Arti, Cakupan dan Tanda-Tanda Kehadiran “

Maqa>s}id al-Shari>’ah

Maqa>s}id al-Shari>’ah

berarti tujuan-tujuan syariat. Maksudnya ialah

tujuan Allah menyariatkan sesuatu dalam agama Islam. Menurut al-Syatibi

tujuan pensyariatan dalam agama Islam ialah untuk kemaslahatan manusia di

dunia ini dan di akhirat nanti (

Inna> wad}’a al-shara>’i innama> huwa li mas}a>lih}

al-‘iba>d fi> al-‘ajil wa al-ajal ma’an

).

9

Allah berfirman dalam surat al-Anbiya

ayat 107 “Dan tiadalah kami utus engkau (Muhammad) kecuali untuk

menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Sebagian ayat Alquran tentang hukum (biasanya disebut sebagai

aya>t

al-ah}ka>m

) memang menyebutkan tujuan disyariatkannya sesuatu, tetapi pada

ayat yang lain penyebutan demikian itu tidak ada sehingga para ulama atau

mujtahid berupaya memahami dan menemukannya.

10

Terkadang suatu ayat

Alquran menyebutkan alasan dan sekaligus tujuan penyariatan sesuatu,

sehingga para ulama kemudian mendiskusikannya apakah alasan (

‘illat

) itu

juga sama dengan tujuan (

Maqa>s}id

). Ada pula ayat Alquran yang hanya

menyebutkan alasan pensyariatan sesuatu tanpa menyebutkan tujuannya,

atau bahkan ada ayat yang hanya menyebutkan hukumnya tanpa

menyebutkan sama sekali baik alasan maupun tujuan pensyariatannya

11

8Fatwa adalah salah satu produk pemikiran hukum Islam yang dihasilkan oleh mufti

atau mujtahid secara perorangan atau kolektif. Produk-produk pemikiran hukum Islam lainnya ialah pendapat hukum ulama dalam kitab-kitab fikih, undang dasar dan undang-undang yang berlaku di negeri-negeri Muslim, dan keputusan pengadilan (agama). Semua produk pemikiran hukum Islam itu berpotensi mengandung penggunaan konsep Maqa>s}id al-Shari>’ah.

9Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Syatibi, Al-Muwa>faqa>t Fi>

Us}u>l al-Ah}ka>m, jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 2.

10Diantara ayat al-Quran yang menyebutkan pensyariatan sesuatu misalnya firman

Allah yang artinya: “Dan tegakkanlah salat, sesunggugnhya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar” (Surat Al-Ankabut: 45) dan firman Allah “Dan dalam hukuman qis}a>s itu terdapat kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang mempunyai daya nalar” (Surat Al-Baqarah: 179). Adapun diantara ayat Al-Quran yang tidak menjelaskan tujuan penyariatannya ialah firman Allah yang artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan semua binatang yang disembelih bukan karena Allah.”(Surat Al-Maidah: 3).

11Diantara ayat Al-Quran juga ada yang menyebutkan alasan dan sekaligus tujuan

penyariatan sesuatu misalnya firman Allah yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas kaum-kaum sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertakwa.” (Surat Al-Baqarah 183). Adapun ayat Al-Quran yang hanya menyebutkan alasan pensyariatan sesuatu ialah firman Allah yang artinya: “Sungguh Kami telah memberimu nikmat yang banyak. Maka berdoalah (sembahyanglah)

(7)

M. Atho Mudzhar (01-19)

Ketiadaan penyebutan alasan atau tujuan inilah kemudian yang oleh para

mujtahid diupayakan untuk dipahaminya (

al-ikha>lah

) dan diterapkannya atau

dibandingkannya (

qiya>s

}) ketika mereka dihadapkan pada persoalan-persoalan

baru (

tah}qi>q al-mana>t}

) yang memerlukan penetapan hukum. Istilah

Maqa>s}id

al-Shari>’ah

sering pula diganti dengan kata

Asra>r al-Shari>’ah

(rahasia

Syariat).

Para ulama mutakhirin sepakat bahwa penetapan Syariat itu adalah

untuk kemaslahatan (mas}lah}ah) manusia di dunia ini dan di akhirat nanti.

Adapun yang disebut kemashlahatan itu sendiri berporos pada lima tujuan

Syariah (

kulliya>t al-khams

), yaitu: memelihara agama (

hifz} al-di>n

),

memelihara jiwa (

hifz} al-nafs

), memelihara keturunan (

hifz} al-nas}l

),

memelihara harta (

hifz} al-ma>l

), dan memelihara akal (

hifz} al-‘aql

). Menurut

para ulama, semua pensyariatan dalam Islam bertumpu pada pemeliharaan

lima tujuan ini dan inilah yang disebut dengan

Maqa>s}id al-Syari>’ah

. Para

ulama

us}u>l al-fiqh

juga menjelaskan bahwa untuk pemeliharaan

masing-masing tujuan Syariat itu terdapat tiga tingkatan, yaitu tingkatan

D}aru>riyya>t

(primer),

H}a>jiya>t

(sekunder), dan

Tah}si>niyya>t

(tersier). Pemeliharaan jiwa

(

nafs

) pada tingkatan

d}aru>riyyat

, misalnya, ialah pemeliharaan agar tidak

terjadi pembunuhan atau penghilangan nyawa manusia, sehingga segala

upaya baik pencegahan maupun penyembuhan wajib dilakukan untuk

penyelematan jiwa manusia di manapun dan dalam keadaan apapun. Adapun

pemeliharaan jiwa pada tataran bersifat

H}a>jiya>t

misalnya ialah bagaimana

agar jiwa berada dalam keadaan tidak tertekan oleh ancaman, sedangkan

pemeliharaan jiwa pada tataran

tah}si>niyya>t

atau

takmi>liyya>t

ialah bagaimana

agar jiwa itu senantiasa dalam keadaan senang dan bahagia. Demikianlah

seterusnya contoh-contoh itu dapat dikembangkan untuk empat tujuan

Syariah lainnya. Pemeliharaan kelima-lima

Maqa>s}i>d al-Shari>’ah

tersebut

pada tataran

D}aru>riyya>t

disebut pula dengan

D}aru>riyya>t al-Khams

.

12

Dari uraian singkat di atas terlihat bahwa konsep

Maqa>s}i>d al-Shari>’ah

terkait erat dengan konsep mashlahat dan beberapa konsep lain seperti

‘illat

,

al-ikha>lah

,

tah}qi>q al-mana>t} dan qiya>s}

. Dengan kata lain, penggunaan konsep

kepada TuhanMu dan berkurbanlah…” (Surat Al-Kautsar: 1-2). Sedangkan yang tidak menyebutkan sama sekali alasan pensyariatannya ialah misalnya firman Allah yang artinya: “Allah berwasiat kepadamu tentang anak-anakmu bahwa bagian (warisan) seorang anak laki-laki adalah dua kali bagian seorang anak perempuan …” (Surat An-Nisa: 11).

12Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnati al-Syatibi, Al-Muwa>faqa>t Fi>

Us}u>l al-Ah}ka>m, Jilid II, 2-5; lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Mausu>’ah Fiqhi Isla>miy wa al-qad{a>ya> al-Mu’as}irah, Jilid X (Damaskus: Dar- al-Fikr, 2010), 413-418.

(8)

‘illat, al-ikha>lah, tah}qi>q al-mana>t} dan qiya>s

} dapat disebut sebagai bagian dari

penjabaran penerapan konsep

Maqa>s}i>d al-Shari>’ah

. Sesungguhnya

konsep-konsep yang terkait dengan maslahat juga lebih luas daripada itu. Termasuk

ke dalam upaya memperoleh maslahat (

jalb al-mas}a>lih}

) adalah menolak

mafsadat (

dar’u al-mafa>s}id

), karena menolak mafsadat adalah bagian dari

mengambil maslahat sehingga kemudian muncul kaidah fikih yang

mengatakan “

Dar’u al-mafa>s}id muqaddam ‘ala> jalb al-mas}>alih}

, menghindari

kerusakan itu harus didahulukan daripada meraih kebaikan).

13

Terkadang

juga yang disebut maslahat itu bukan harus berarti menolak suatu mafsadat

keseluruhannya, melainkan menolak suatu mafsadat yang lebih besar untuk

mengambil mafsadat yang lebih kecil pun sudah disebut mengambil maslahat

karena berarti mengambil kerusakan yang lebih ringan (

akhaff al-d}ara>rayn

,

mengambil yang lebih ringan di antara dua kemudaratan).

Lebih jauh, termasuk juga dalam konsep menolak mafsadat ialah

menghindari mafsadat dengan cara melakukan langkah pencegahan untuk

menghindari terjadinya suatu mafsadat yang dalam ilmu ushul fikih dikenal

dengan konsep “

Sadd al-dhari>’ah

” atau “

Sadd al-Dhara>’i’

” (

precautionary

actions

, langkah pencegahan). Dalam kaitan ini maka kaidah-kaidah seperti

Al-Mashaqqat tajli>b al-taysi>r

” (kesulitan membuka kemudahan) dan “al

-d}ara>r yuzal

” (kemudaratan harus dihilangkan) dapat dikategorikan sebagai

bagian dari upaya memperoleh maslahat juga.

Demikian luas dan rincinya cakupan konsep maslahat sebagai tujuan

Syariah itu sehingga Husein Hamid Hassan, pengarang buku

Naz}ariya>t

al-Mas}lah}ah Fi> al-Fiqh al-Isla>miy

, menyebutkan bahwa sekurangnya terdapat

sepuluh cara untuk menggunakan konsep maslahat dalam berijtihad yaitu:

qiya>s

(analogi),

mas}a>lih} al-mursalah

(kemaslahatan pasti),

sadd al-dhara>’i’

(langkah pencegahan),

istih}sa>n

(mengambil hakekat kebaikan),

al-man’u min

al-tahayyul

(larangan berkilah),

al-ikha>lah

(analisis atas

‘illat

pada hukum

yang sudah tetap), membatasi penerapan nas}s} hanya pada salah satu artinya

(

tahdi>d tat}bi>q al-nas}s} bi al-ma’na al-muna>s}ib

), larangan penyimpangan dalam

penggunaan hak (

al-man’u min al-ta’assuf fi> isti’ma>l al-huqu>q

),

tah}qi>q

al-mana>t}

khusus (

tah}qi>q al-mana>t} al-kha>s}

), dan pemberlakuan hal yang lebih

awal ada dalam hal terjadi perselisihan (

ibqa>’ al-ha>l ‘ala> ma> ka>na ‘alayhi fi>

masa>’il al-khila>f

). Ini berarti bahwa bagi Hassan, apabila salah satu dari

13Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuti, Al-Ashba>h Wa al-Naz}a>’ir Fi> al-Furu>’, Cetakan

(9)

Revitalisasi Maqa>s}id al-Shari>’ah dalam Pengembangan Ekonomi Syariah di Indonesia (Studi Kasus atas Fatwa-fatwa DSN-MUI Tahun 2000-2006)

isqa>t} kullih

(sesuatu yang tak dapat terbagikan maka mengambil atau

membuang sebagiannya sama dengan mengambil atau membuang

seluruhnya).

16

Sekali lagi, bila kaidah-kaidah fikih ini muncul sebagai

argumen dalam suatu ijtihad atau putusan pengadilan atau fatwa misalnya

maka berarti di situ sedang digunakan elemen hujjah maslahat yang berarti

pula konsep Maqa>s}id al-Shari>’ah sedang diberdayakan dan dihidupkan

kembali di sana.

17

Elemen Hujjah Maslahat dalam Fatwa DSN-MUI

Sekarang marilah kita mencermati lebih lanjut bagaimana

elemen-elemen argumen maslahat sebagai muara

Maqa>s}id al-Shari>’ah

itu

direpresentasikan dalam fatwa-fatwa DSN-MUI. Dalam sebuah studi lain

sebelum ini, penulis telah mengkaji argumen hukum fatwa-fatwa DSN-MUI,

baik dari segi

naqli

(teks agama) maupun

aqli

nya (rasional). Setelah

menganalisis 17 (tujuh belas) fatwa DSN-MUI sebagai contoh, studi itu

menyimpulkan bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI didukung kuat dengan

dalil-dalil

nas}s}

(

al-nus}u>s} al-shar’iyyah

) yaitu dengan secara konsisten merujuk

Alquran dan Hadis meskipun

wajh al-dila>lah

(garis argumen)

nas}s}

itu

umumnya tidak disebutkan. Fatwa-fatwa itu juga mengikuti metode

(

manha>j

) istinbat (pengambilan hukum) yang baku yang disepakati Jumhu>r

(mayoritas) ulama, yaitu merujuk kepada

ijma’

dan

qiya>s}

jika ada, setelah

merujuk nash Alquran dan Hadis. Jika

ijma’

dan

qiya>s}

tidak ada, fatwa-fatwa

itu kemudian merujuk kepada pendapat para ulama, baik klasik maupun

modern. Adapun rujukan kepada kaidah-kaidah fikih selalu dilakukan oleh

fatwa DSN-MUI, meskipun di dalamnya sudah terdapat rujukan kepada

Al-Quran, Hadis,

ijma’

dan

qiya>s}

. Dengan demikian maka kehadiran argumen

Maqa>s}id al-Shari>’ah

sebenarnya dapat dideteksi pada setiap fatwa.

16Al-Suyuti, Al-Ashba>h Wa al-Naz}a>’ir, 55, 59, 62, 63, 74, 76, 83, 94, 97, 102, 103,

108, dan 109.

17Sesungguhnya kaidah-kaidah fikih itu awalnya hanya lima buah saja jumlahnya,

yaitu: 1. Al-Yaqi>n la> yuza>l bi al-shaqq (sesuatu yang yakin tidak dapat dikalahkan oleh sesuatu yang diragukan); 2. Al-Mashaqqah tajli>b al-taysi>r (kesulitan menarik kemudahan); 3. Al-D}arar yuza>l (kemadaratan harus dihilangkan); 4. Al-‘A>dah muh}akkamah (adat itu dapat dijadikan hukum); dan 5. Al-Umu>r bi maqa>s}idiha> (segala sesuatu itu tergantung kepada tujuannya). Kemudian menurut penilaian al-Subki ternyata dalam kenyataan tidak mungkin semua persoalan hukum dapat dikembalikan kepada kaidah yang lima itu, sehingga lalu berkembang menjadi 50 bahkan 200 kaidah. Lihat Wahbah al-Zuhaili, Mausu>’ah Fiqhi al-Islamiy , jilid X, 529-530.

(10)

Demikianlah ringkasan hasil studi itu yang uraian rincinya tidak kita ulang di

sini.

18

Dalam studi ini, sebagaimana telah dinyatakan di muka, perhatian

ditujukan khusus kepada bagaimana pertimbangan

Maqa>s}id al-Shari>’ah

telah

direpresentasikan atau direvitalisasi dalam fatwa-fatwa DSN-MUI. Cara

pengujiannya ialah dengan mencermati penggunaan kaidah-kaidah fikih di

dalamnya, baik dari segi jenisnya maupun jumlahnya, pada setiap fatwa dan

untuk seluruh fatwa. Hasilnya menarik untuk kita laporkan di sini. Dari

analisis terhadap 53 (lima puluh tiga) fatwa DSN-MUI tahun 2000-2006

yang termuat dalam buku

Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI

Jilid I

(edisi revisi tahun 2006)

19

ditemukan bahwa terdapat 11 (sebelas)

macam kaidah fikih yang digunakan dalam fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut,

termasuk satu kaidah fikih yang berasal dari Hadis Nabi Muhammad SAW

riwayat Ibnu Majah, Daruquthni, Malik dan Ahmad, yang berbunyi “

La> d}arar

wa la> d}ira>r

” (tidak boleh merugikan orang lain maupun dirugikan). Jumlah

penggunaan kaidah-kaidah fikih itu tidak merata untuk setiap fatwa,

bervariasi dari 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) kaidah fikih dalam satu fatwa.

Ada kaidah fikih yang hanya digunakan sekali saja dan ada pula yang

digunakan sampai 50 kali dalam fatwa-fatwa DSN-MUI itu. Sebanyak 50

(lima puluh) dari 53 fatwa yang diteliti (94%) mencantumkan argumen

kaidah fikih di dalamnya, hanya tiga fatwa yang tidak mencantumkannya.

Tabel 1.

Distribusi frekuensi penggunaan berbagai kaidah fikih

Dalam Fatwa DSN-MUI (N=53 Fatwa)

NOMOR

URUT

BUNYI KAIDAH

FIKIH

FREKUENSI

PENGGUNAAN

PROSENTASE

1.

Al-as}l fi al-mu’a>mala>t

al-iba>h}ah illa> an yadull

dali>l ‘ala> tah}ri>miha>

50

94

2.

La> d}arar wa la d}ira>r

21

40

3.

Al-d}ara>r yuzal

12

23

4.

Al-mashaqqah tajlib al-

10

19

18M. Atho Mudzhar, “The Legal Reasoning and Socio-Legal Impact of the Fatwas of

the Council of Indonesian Ulama on Economic Issues,” Jurnal Ilmu Syariah Ahkam, Vol. xiii, No. 1 (2013): 9-19.

19H.M. Ichwan Sam, et al., ed. Himpunan Fatwa Dewan Syariah NasionalMUI, Jilid I,

(11)

M. Atho Mudzhar (01-19)

kesepuluh konsep tersebut muncul dan digunakan sebagai argumen dalam

penetapan suatu ijtihad atau fatwa maka sesungguhnya fatwa itu sedang

menggunakan elemen-elemen argumen maslahat yang merupakan ujung dari

segala perbincangan tentang

Maqa>s}id al-Shari>’ah

.

14

Dengan demikian dapat

dikatakan pula bahwa apabila salah satu dari kesepuluh konsep tersebut

muncul dalam argumen suatu fatwa maka itu berarti konsep

Maqa>s}id

al-Shari>’ah

sedang didayagunakan dan direvitalisasi.

Selanjutnya kita lihat bagaimana konsep maslahat itu dijabarkan

dalam pemikiran seorang ulama terkenal mazhab Syafi’i, bernama al-Suyu>t}i.

Jika dicermati maka akan nampak bahwa dari 40 kaidah fikih yang dibahas

oleh al-Suyu>t}i dalam kitab

Al-Ashba>h wa al Naz}a>’ir,

Bab II, sekurangnya

tiga belas di antaranya terkait langsung dengan elemen pemeliharaan

maslahat dalam muamalat. Sebagian dari kaidah-kaidah itu telah disebutkan

di atas dalam uraian mengenai pemikiran Hassan. Adapun ketigabelas kaidah

dari al-Suyu>t}i itu ialah:

al-umu>r bi maqa>s}idiha>

(segala masalah itu tergantung

kepada tujuannya),

al-mashaqqah tajli>b al-taysi>r

(kesulitan melahirkan

kemudahan),

al-d}ara>r yuzal

(kemadaratan harus dihilangkan)

15

,

al-ha>jah qad

tanzil manzilah al-d}aru>rah

(terkadang sesuatu yang sekunder dapat menjadi

primer),

al-‘a>dah muh}akkamah

(adat itu diterima sebagai hukum),

idha>

ijtama’a al-hala>l wa al-h}ara>m ghulib al-hara>m

(jika bercampur antara yang

halal dan haram maka dimenangkan yang haram),

tas}arruf ima>m ‘ala>

al-ra’yah manu>t} bi al-mas}lah}ah

(perlakuan atau kebijakan pemerintah terhadap

rakyatnya harus bermuara pada maslahat),

al-khuru>j min al-khila>f mustah}abb

(keluar dari perselisihan itu lebih disukai),

al-rid}a> bi shai’in ridha> bi ma>

yatawalladu minhu

(rela atas sesuatu berarti juga rela atas apa yang

dilahirkannya),

ma> haruma isti’ma>luh haruma ittikha>z}uh

(apa yang

diharamkan menggunakannya maka diharamkan pula mengambilnya),

ma>

haruma akhz}uh haruma i’t}auh

(apa yang diharamkan mengambilnya maka

diharamkan pula memberikannya),

al-maysu>r la yusqat}u bi al-ma’sur

(sesuatu

yang dimudahkan tidak boleh dihilangkan karena kesukaran), dan kaidah

ma>

la> yaqbal al-thabi’d} fa ikhtiya>r ba’d}ih ka ikhtiya>r kullih wa isqa>t} ba’d}ih ka

14Husein Hamid Hassan, Naz}ariyah Mas}lah}ah Fi> Fiqhi Isla>miy (Beirut: Dar

al-Nahdhah al-Arabiyyah, 1971), halaman tha.

15Di bawah bahasan kaidah ini terdapat tiga kaidah lain yang terkait yaitu: al-d}aru>ra>t

tubi>h} al-mahz}u>ra>t (keadaan darurat membolehkan sesuatu yang dilarang), ma> ubi>h}a li-ad}aru>rah bi qadri ta’az}z}uriha> (sesuatu yang dibolehkan karena darurat terbatas sekadar kedaruratannya), dan al-d}arar la yuza>l bi al-d}arar (suatu kemudaratan tidak dapat dihilangkan oleh kemudaratan yang lain).

(12)

NOMOR

URUT

BUNYI KAIDAH

FIKIH

FREKUENSI

PENGGUNAAN

PROSENTASE

taysi>r

5.

Al-h}a>jah qad tanzi>l

manzilah al-d}aru>rah

10

19

6.

Al-Tha>bit bi al-‘urf ka

al-tha>bit bi al-shar’í

9

17

7.

Ainama> wujidat

al-mas}lah}ah fathamma

h}ukm Alla>h

7

13

8.

Al-d}ara>r yudfa’u bi

qadr al-imka>n

6

11

9.

Dar’u al-mafa>sid

muqaddam ‘ala> jalb

al-mas}a>lih}

5

9

10.

Tas}arruf ima>m bi

ra’yah manu>t} bi

al-mas}lah}ah

4

7

11.

Kullu qard jarra

manfa’ah fa huwa riba>

1

2

Tabel 1 memperlihatkan bahwa cukup banyak kaidah fikih yang telah

digunakan dalam fatwa-fatwa DSN-MUI. Dari 40 kaidah fikih yang terdapat

dalam buku

Al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir

karya al-Suyuti, tujuh kaidah di

antaranya telah digunakan dalam fatwa DSN-MUI (18%). Tiga kaidah

lainnya yang disebut dalam fatwa DSN-MUI yaitu fatwa nomor 1, 6 dan 10

tidak tercantum dalam daftar kaidah fikih al-Suyuti.

20

Tentu saja kaidah

nomor 1 yang mengatakan bahwa asal hukum semua persoalan muamalat

ialah mubah kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya, sudah

teramat masyhur dan diterima luas, karena sifatnya yang mendasar tetapi

masih bersifat umum.

Hal yang menarik ialah bahwa kaidah fikih yang amat umum inilah

yang justru digunakan dalam hampir setiap fatwa DSN-MUI, seolah-olah

inilah sikap dasar DSN-MUI dalam menghadapi segala isu baru ekonomi.

Dari 134 kali penggunaan kaidah fikih itu, 50 kali di antaranya menggunakan

kaidah fikih yang sangat umum ini. Sesungguhnya kalau dengan kaidah

20Seperti diketahui al-Suyuti menyebut jumlah kaidah fikih itu 40, termasuk 6 kaidah

yang pokok. Ulama lain ada yang menyebutkan 50 kaidah fikih cabang atau atau bahkan 200 kaidah.

(13)

M. Atho Mudzhar (01-19)

umum ini semata, DSN-MUI terlihat sebagai lembaga yang permisif atau

setidaknya liberal. Jika label permisif dan liberal itu kita sandangkan kepada

MUI, pastilah ditolaknya karena di muka telah disebutkan bahwa

DSN-MUI mengaku diri sebagai moderat.

Sesungguhnya argumen fatwa DSN-MUI itu akan lebih kuat jika

disamping kaidah fikih yang amat umum ini disertakan pula kaidah-kaidah

lain yang lebih khusus sifatnya terkait dengan masalah yang hendak

dikeluarkan fatwanya. Dengan penambahan kaidah yang lebih khusus itu

fatwa DSN-MUI juga akan lebih jelas sudut argumennya (

wijha>t al-naz}ar

,

untuk tidak menggunakan istilah

wajh al-istid}a>l

). Memang hal itu sudah

dilakukan, hanya saja dalam skala yang sangat terbatas. Kaidah “

La> d}arar wa

la> d}ira>r

” misalnya memang digunakan dalam 21 fatwa, tetapi kaidah “

al-D}arar yuzal

” digunakan hanya 12 kali, apalagi kaidah “

al-mashaqqah tajli>b

al-taysi>r

” dan kaidah “

al-h}a>jah qad tanzi>l manzilah al-d}aru>rah

” hanya

digunakan masing-masing 10 kali, kaidah “

al-tha>bit bi al-‘urfi ka al-tha>bit bi

al-shar’i

” 9 kali, kaidah “

ainama wujidat al-mas}lah}ah fatsamma hukm Alla>h

7 kali, kaidah “

al-d}ara>r yudfa’u bi qadr al-imka>n

” 6 kali, kaidah “

dar’u

al-mafa>sid muqaddam ‘ala jalb al-mas}alih}

” 5 kali, dan kaidah “

tas}arruf al-ima>m

bi al-ra’yah manu>t} bi al-mas}lah}ah

” hanya 4 kali. Kemudian kaidah fikih

kullu qard jarra manfa’ah fa huwa riba>

” digunakan hanya sekali.

Selain menyebutkan kaidah fikih, fatwa DSN-MUI juga menyebutkan

penggunaan

qiya>s}

sebanyak 4 kali. Sebagaimana telah disinggung di muka,

menurut Hassan penggunaan

qiya>s}

juga dapat dipandang sebagai

pemberdayaan

Maqa>s}id al-Shari>’ah

. Dengan demikian jika dijumlahkan

keseluruhannya maka DSN-MUI dalam 53 fatwanya telah menyebutkan

kaidah fikih dan

qiya>s}

sebanyak 134 kali atau rata-rata 2,5 kaidah fikih dan

qiyas dalam satu fatwa. Jumlah itu sesungguhnya cukup banyak apabila

kaidah-kaidah tersebut tersebar secara merata dan saling melengkapi antara

satu kaidah fikih dengan lainnya, tetapi itulah yang justru tidak terjadi.

DSN-MUI mungkin masih perlu mencari dan mencantumkan

kaidah-kaidah fikih lebih banyak lagi yang secara khusus relevan dengan masalah

yang sedang dipersiapkan fatwanya. Ketiadaan upaya itu seolah DSN-MUI

mempermudah masalah dengan behenti pada titik argument tertentu pada

tahap awal yang masih umum yaitu pada penggunaan kaidah “

as}l fi>

al-mu’a>mala>t al-iba>h}ah illa> an yadull al-dali>l ‘ala tah}ri>miha>

” (asal hukum segala

urusan muamalat itu dibolehkan kecuali terdapat dalil yang

mengharamkannya). Di sinilah mungkin hasil studi Maksum menjadi relevan

(14)

untuk disinggung kembali ketika ia menyimpulkan bahwa fatwa DSN-MUI

cenderung bersifat longgar, karena untuk menjawab semua masalah

nampaknya mencukupkan diri dengan menggunakan satu kaidah fikih yang

bersifat sangat umum.

21

Ini tidaklah berarti bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI tidak dinamis,

karena faktanya fatwa-fatwa itu sudah sangat tanggap terhadap kebutuhan

perkembangan ekonomi Syariah di Indonesia. Diberitakan bahwa sejak

berdirinya pada tahun 2000 sampai dengan akhir tahun 2013, DSN-MUI

telah mengeluarkan fatwa lebih dari 86 kali, artinya menjawab terhadap lebih

dari 86 masalah ekonomi Syariah. Tentu jumlah itu tidaklah sedikit,

meskipun tidak dapat juga dikatakan sangat banyak. Sejauh ini fatwa-fatwa

DSN-MUI itu memang telah menjadi penggerak dan sekaligus pemberi

rambu-rambu yang efektif bagi pengembangan ekonomi Syariah di Indonesia.

Pertumbuhan jumlah lembaga dan aset keuangan Syariah (terutama di bidang

perbankan, asuransi dan pasar modal) yang amat pesat di Indonesia dalam

dasawarsa terakhir, sebagaimana telah dibuktikan oleh Barlinti,

menunjukkan efektifnya peran fatwa-fatwa DSN-MUI.

22

.

Masalahnya mungkin ialah bahwa dengan produktivitas fatwa yang

demikian tinggi, sementara kaidah fikih yang digunakan terbatas pada satu

kaidah awal yang masih bersifat amat umum, maka dapat mengandung resiko

ketidak-tuntasan kajian, sehingga dapat menghasilkan fatwa yang kurang

tuntas pula. Hal ini secara tidak langsung dan tersirat diakui oleh Hasanuddin

ketika ia menunjukkan kelebihan metode “

i’a>da>t al-naz}ar

” (telaah ulang)

yang dilaksanakan secara berhati-hati dan terukur, dibanding dengan

pendapat ulama yang bersifat longgar (

mutasahhil

) yang dalam menetapkan

hukumnya hanya beralasan dengan kaidah yang mengatakan bahwa

“al-as}l fi>

al-ashya>’i al-iba>h}ah

” (hukum asal segala sesuatu itu boleh) atau “

li

21Muhammad Maksum, “Fatwa Dewan Syariah Majlis Ulama Indonesia”, 267. 22Mengenai tingkat efektifitas fatwa-fatwa itu dalam pengembangan ekonomi Syariah

di Indonesia dapat dibuktikan antara lain dengan tingkat akomodasi Bank Indonesia dan pemerintah dalam mengakomodasi fatwa-fatwa tersebut ke dalam berbagai regulasi, bahkan juga ke dalam Undang-undang. Lihat Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, Jakarta, 2010. Lihat juga M. Atho Mudzhar, KH Ma’ruf Amin Seorang Ulama Yang Cemerlang Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Syariah Dan Motor Penggerak Ekonomi Syariah Indonesia, Pidato Promotor I disampaikan pada Upacara Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan Dalam Bidang Hukum Ekonomi Syariah Kepada KH Ma’ruf Amin Dalam Sidang Senat Terbuka Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 5 Mei 2012 di Jakarta.

(15)

M. Atho Mudzhar (01-19)

mas}lah}ah”

(adanya

mas}lah}ah

) atau “

li al-h}a>jah

” (kepentingan mendesak).

23

Hal ini juga terbukti dengan telah dilakukannya semacam ralat fatwa

DSN-MUI oleh fatwa DSN-DSN-MUI berikutnya, atau lebih tepatnya menambah

kemungkinan bentuk-bentuk akad baru yang oleh fatwa sebelumnya tidak

diperkenalkan. Di sinilah pula maka hasil studi Mudzhar sebelum ini menjadi

relevan yaitu bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI nampaknya terlalu berkeinginan

untuk mengkonfirmasi hampir setiap instrumen ekonomi konvensional

dengan cara memperbanyak penggunaan hilah (kilah hukum) dan akad

murakkabah

(akad hibrid). Cara ini dapat mengandung resiko pengembangan

ekonomi yang mendahulukan pertimbangan legalitas formal ketimbang

moralitas, padahal tentu saja pertimbangan moralitas itu merupakan tujuan

awal diperkenalkan dan dikembangannya ekonomi Syariah itu sendiri.

24

Menurut Maksum,

25

bahkan penekanan DSN-MUI pada legal formal

dalam berfatwa itu, bukan hanya melalui hilah dan pengembangan akad,

tetapi juga melalui penyiasatan larangan riba dan pengesahan perluasan

syarat dalam berkontrak sehingga dua atau tiga aqad secara legal formal

dipisahkan tetapi dalam waktu yang sama juga dikaitkan satu sama lain

dengan pembuatan janji yang mengikat. Sesungguhnya dalam pengembangan

aqad itu pun tidak semuanya boleh di lakukan, karena ada

batasan-batasannya seperti antara kedua aqad itu tidak boleh saling bergantung

(ta’alluq). Demikianlah memang seharusnya secara teoritik, tatapi di dalam

kenyataan masih perlu pencermatan lebih lanjut.

Sesungguhnya DSN-MUI sendiri, melalui KH. Ma’ruf Amin yang juga

adalah Ketua Harian DSN-MUI, telah mengemukakan sejumlah perangkat

teori hukum Islam yang didaku telah digunakan dalam fatwa-fatwanya

setelah merujuk

nas}s

} Alquran, Hadis,

Ijma’

, dan

Qiya>s}

. Perangkat itu ialah

tah}qi>q al-mana>t}

atau lebih tepatnya revitalisasi

tah}qi>q al-mana>t}

(analisa

illat),

i’a>da>t al-naz}ar

(telaah ulang), dan

tafri>q al-h}ala>l min al-h}ara>m

(pemisahan yang halal dari yang haram).

26

KH Ma’ruf Amin juga telah

23Hasanudin, “Peran KH Ma’ruf Amin Dalam Mengembangkan Teori Tafriq al-Halal

‘An al-Haram dan I’adat al-Nazhar,” dalam 70 Tahun DR. KH. Ma’ruf Amin Pengabdian Tiada Henti Kepada Agama, Bangsa dan Negara, ed. Muhammad Nadratuzzaman Hosen (Jakarta: The Ibrahim Hosen Institute, 2013), 116.

24M. Atho Mudzhar, “The Legal Reasoning and Socio-Legal Impact, 9-19.

25Muhammad Maksum, “Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia”,

267-274.

26Tah}qi>q al-Mana>t} ialah analisa untuk mengetahui ada-tidaknya alasan hukum (‘illah)

dalam suatu kasus yang dihadapi, setelah ‘illah itu sendiri diketahui sebelumnya, baik melalui nas}s}, ijma>’ atau istinba>t}. I’a>da>t al-naz}ar ialah telaah ulang terhadap pendapat (qaul) para

(16)

menunjuk beberapa fatwa DSN-MUI sebagai contoh penggunaan

konsep-konsep itu, tetapi di dalam fatwa-fatwa dimaksud alur argumen itu tidak

dinampakkan dan direpresentasikan dengan merujuk pilihan kaidah-kaidah

fikih yang amat banyak itu kecuali beberapa yang telah ditampilkan dalam

Tabel 1 di atas. Mungkin di sinilah salah satu ruang penyempurnaan itu yaitu

penyebutan kaidah-kaidah itu perlu lebih banyak dan lebih eksplisit

dilakukan agar supaya semangat revitalisasi Maqa>s}id al-Shari>’ah lebih

nampak lagi dalam fatwa-fatwa itu, bukan hanya dalam isi fatwanya tetapi

juga dalam alur argumennya. Mungkin hal itu juga telah ada dalam

sidang-sidang pembahasan persiapannya, tetapi kemudian tidak banyak muncul atau

tidak secara jelas muncul dalam naskah fatwanya.

Salah satu contoh dalam hal ini ialah fatwa DSN-MUI No.

20/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana

Syariah. Pada Bab V tentang Penentuan dan Pembagian Hasil Investasi Pasal

11 butir 2, dikatakan bahwa hasil investasi yang dibagikan harus bersih dari

unsur-unsur non-halal, sehingga Manajer Investasi harus melakukan

pemisahan bagian pendapatan yang mengandung unsur non-halal dari

pendapatan yang diyakini halal (

tafri>q al-h}ala>l min al-h}ara>m

). Isi pedoman

dalam pasal itu sangat jelas dan metodenya pun jelas pula, hanya saja alur

argument

tafri>q al-h}ala>l min al-h}ara>m

itu justru tidak disebut-sebut dalam

pertimbangan fatwa itu. Pertimbangan fatwa itu, setelah merujuk sejumlah

nas}s}

, hanya menyebutkan sebuah kaidah fikih yang berbunyi

as}l fi>

al-mu’a>mala>t al-iba>h}ah ma> lam yadull dali>l ‘ala> tah}ri>miha>

(asal hukum

muamalat itu boleh sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan

keharamannya). Tentu saja kaidah fikih ini memang perlu disebutkan di situ,

tetapi selain kaidah itu mungkin diperlukan kaidah fikih lain yang justru

berbicara tentang percampuran antara harta halal dan haram dan cara

memisahkannya, seperti kaidah-kaidah yang berbunyi: “

idha> ijtama’a al-h}ala>l

wa al-h}ara>m ghuliba al-h}ara>m

” (jika bercampur antara yang halal dan haram

maka semuanya menjadi haram); dan “

man ikhtalat}}a bi ma>lihi h}ala>l wa

al-h}ara>m ukhrija qadr al-al-h}ara>m wa al-baqiy h}ala>l lah

” (jika pada harta seseorang

ulama terdahulu yang sekarng mungkin dianggap tidak sesuai lagi untuk dipegangi karena sulitnya diimplementasikan pada kondisi sekarang (ta’assur, ta’az}z}ur, atau s}u’bahal-‘amal). Adapun tafri>q al-h}ala>l min al-h}ara>m ialah konsep pemisahan yang halal dari yang haram ketika keduanya bercampur, sehingga tidak harus menjadi haram seluruhnya. Lihat KH Ma’ruf Amin, FatwaDalam Sistem Hukum Islam, 253, 254, 261, dan 262; dan KH Ma’ruf Amin, Era Baru Ekonomi IslamIndonesia: Dari Fikih Ke Praktek Ekonomi Islam, (Jakarta: Penerbit Elsas, 2011), 43-46.

(17)

M. Atho Mudzhar (01-19)

bercampur antara yang halal dan haram maka keluarkanlah jumlah yang

haram itu, lalu sisanya menjadi halal baginya). Kedua kaidah fikih yang

disebut terakhir ini mungkin lebih relevan untuk dicantumkan dalam fatwa

itu sebagai konsideran bagi perlunya pemisahan pendapatan hasil investasi

yang halal dan haram oleh manajer investasi, tetapi justru kedua-dua kaidah

itu tidak disebutkan dalam konsideran fatwa itu.

Kesimpulan dan Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI

selama periode 2000-2006 telah banyak menggunakan kaidah-kaidah fikih

(134 kali) yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari elemen argumen

mashlahat, meskipun jika dirata-ratakan baru 2,5 kaidah untuk setiap fatwa.

Salah satu masalahnya ialah bahwa satu dari 2,5 kaidah itu bersifat monoton

yang dapat dikatakan serba boleh yaitu kaidah awal yang bersifat sangat

umum yang berbunyi bahwa asal hukum semua kegiatan muamalat itu ialah

mubah kecuali ada dalil yang menujukkan keharamannya. Kaidah-kaidah lain

yang berjumlah 40 kaidah dari al-Suyuti, misalnya, belum dirujuk dan

diberdayakan secara maksimal oleh fatwa-fatwa DSN-MUI. Dengan kata

lain, dibalik peran besar fatwa DSN-MUI dalam memberikan rambu-rambu

bagi pengembangan ekonomi Syariah di Indonesia, memang terdapat upaya

nyata merevitalisasi

Maqa>s}id Shari>’ah

, tetapi belum maksimal atau

sekurang-kurangnya belum direpresentasikan secara nyata dalam naskah

fatwa-fatwanya.

Ke depan kiranya perlu direkomendasikan agar penerapan kaidah fikih

dalam setiap fatwa diperbanyak jumlah dan variasinya, sehingga dapat

menampung sebanyak mungkin kaidah yang menjadi elemen argumen

mashlahah dan

Maqa>s}id al-Shari>’ah

mengenai kasus yang bersangkutan.

Keperluan memperbanyak jumlah dan variasi kaidah fikih itu semakin terasa

ketika DSN-MUI memperkenalkan pengembangan dan penggabungan

aqad-aqad yang satu sama lain mungkin membentuk sudut-sudut argumen

tersendiri yang perlu dibidik dengan kaidah fikih tertentu. Studi ini tidak

hendak mengatakan bahwa setiap fatwa wajib menyebutkan kaidah fikih di

dalamnya, tetapi ketika suatu produk yang hendak dijelaskan status

hukumnya oleh sebuah fatwa itu merupakan penggabungan beberapa aqad

maka penggunaan berbagai kaidah fikih secara bersama-sama merupakan

keperluan nyata bagi validitas dan kejituan fatwa itu. Pemilihan

kaidah-kaidah fikih itu juga perlu dilakukan secara seksama agar memiliki tingkat

(18)

relevansi yang tinggi dengan fatwanya. Suatu fatwa mungkin saja sudah

valid, tetapi kurang jitu.

Sebagai kelanjutan studi ini, ke depan kiranya perlu dilakukan studi

serupa untuk periode setelah 2006 atau studi verifikatoris untuk periode

2000-2005. Selain itu kiranya perlu juga dilakukan studi-studi tentang

klasifikasi fatwa DSN-MUI dari segi representasi argument

Maqa>s}id

al-Shari>’ah

di dalamnya dan perkembangan fatwa DSN-MUI dari segi tingkat

penggunaan argument

Maqa>s}id Shari>’ah

dari waktu ke waktu. Dengan

demikian dapat dipahami kecenderungannya, apakah perkembangan fatwa

DSN-MUI itu diam ditempat atau mengalami kemajuan dari segi jumlah dan

macam penggunaan kaidah fikih, sehingga memperlihatkan pula

perkembangan kejituan metodologisnya.

Walla>hu a’lam.

***

DAFTAR BACAAN

Alqur’a>n al-Kari>m.

Amin, Ma’ruf.

Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam

. Jakarta: Penerbit Elsas,

2008.

________.

Era Baru Ekonomi Islam Indonesia: Dari Fikih ke Praktek

Ekonomi

Islam.

Jakarta: Penerbit Elsas, 2008.

Barlinti, Yeni Salma.

Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam

Sistem

Hukum Nasional di Indonesia

. Jakarta: Badan Litbang dan

Diklat Kementrian Agama RI, 2010.

Hasanuddin. “Peran KH Ma’ruf Amin Dalam Mengembangkan Teori

Tafri>q

al-H}ala>l

min al-H}ara>m dan I’a>da>t al-Naz}ar.

” Dalam

70 Tahun

DR. KH.

Ma’ruf Amin Pengabdian Tiada Henti Kepada Agama, Bangsa dan

Negara.

Ed. Muhammad Nadratuzzaman Hosen. Jakarta: The Ibrahim

Hosen Institute, 2013.

Hassan, Husein Hamid.

Naz}ariyyah al-Mas}lah}ah Fi> al-Fiqh al-Isla>miy.

Beirut: Dar

al-Nahd}ah al-‘Arabiyyah,

1971.

Maksum, Muhammad. “Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama

Indonesia Dalam Merespon Produk Ekonomi Syariah Tahun

2000-2011.” Disertasi doktor, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2013.

(19)

M. Atho Mudzhar (01-19)

Mudzhar, M. Atho.

KH Ma’ruf Amin Seorang Ulama Yang Cemerlang

Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Syariah Dan Motor Penggerak Ekonomi

Syariah Indonesia

, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.

________. The Legal Reasoning and Socio-Legal Impact of the Fatwas of

the Council of Indonesian Ulama on Economic Issues.

Jurnal Ilmu

Syariah Ahkam

, Vol. xiii, No.1, Januari, 2013, Fakultas Syariah dan

Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

________. “Pemikiran Hukum DR. KH Ma’ruf Amin Dan Perubahan Sosial.”

Dalam 7

0 Tahun DR. KH. Ma’ruf Amin Pengabdian Tiada Henti

Kepada Agama, Bangsa dan Negara.

Ed.

Muhammad Nadratuzzaman

Hosen. Jakarta: The Ibrahim Hosen Institute, 2013.

Republika,

Surat kabar harian, Jakarta, 22 Oktober 2013.

Sahroni, Oni. “Malamih (Karakteristik) Fatwa-Fatwa KH Ma’ruf Amin.

Dalam 7

0 Tahun DR. KH. Ma’ruf Amin Pengabdian Tiada Henti

Kepada Agama, Bangsa dan Negara.

Ed.

Muhammad Nadratuzzaman

Hosen. Jakarta: The Ibrahim Hosen Institute, 2013.

Sam, H.M Ichwan, et al., ed.

Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional

MUI

, Jilid I, Edisi revisi, 2006.

Al-Suyuti.

Al-Ashba>h wa al-Naz}a>’ir Fi al-Furu>’

, Penerbit Al-Haramayn,

1960.

Al-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa, al-Lakhmi al-Gharnati. tt.

Al-Muwa>faqa>t Fi

Us}u>l al-Ah}ka>m.

Beirut: Dar al-Fikr.

Utomo, Setiawan Budi. “Dialektika Konstruksi Substantive Hukum

Ekonomi Syariah Progresif,” dalam 7

0 Tahun DR. KH. Ma’ruf Amin

Pengabdian Tiada Henti

Kepada Agama, Bangsa dan Negara, ed.

Muhammad Nadratuzzaman Hosen. Jakarta: The Ibrahim Hosen

Institute, 2013.

Al-Zuhaili, Wahbah.

Mausu>’ah Fiqhi Isla>miy wa Qad}a>ya>

al-Mu’as}irah.

Damaskus: Dar Fikr, 2010.

____________________

Referensi

Dokumen terkait

Jadi dengan demikian bahwa aspek zahir merupakan amalan yang telah diwajibkan atau yang tekah ditetapkan oleh Allah melalui Nabi Mu ḥ ammad, sehingga para ulama fiqh

Kelompok yang benar – benar terlibat dalam konflik kelompok, muncul dari sekian banyak kelompok kepentingan tersebut. Dahrendorf merasa bahwa konsep kepentingan laten

Bagi perusahaan angkutan umum (transmusi) hasil pengukuran pada indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja adalah masa kerja, nilai skor responden dengan pernyataan

Teori fiqih menjelaskan bahwa darah nifas ialah darah yang keluar dari kemaluan wanita (farji) karena melahirkan, meskipun anak yang dilahirkan mengalami keguguran.Dalam

18 NamunbagiVer bi t danAbdul l ahdar ikel i madi mensiyangdi kemukakanol ehGl ockhar us di t ambahsat udi mensiyai t udi mensisosi al .Makadar ii t ukeenam di mensi yang di

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Besarnya biaya yang dikeluarkan (biaya tetap dan biaya variabel) dari usahatani jamur tiram per satu musim tanam di Kelurahan Pataruman

Apa interpretasi dari pemeriksaan orofaringeal : tonsil : T4/T4, mukosa hiperemis, kripte melebar +/+, detritus +/+ dan pada faring ditemukan mukosa hiperemis dan terdapat granul

Hasil pengamatan terhadap kebocoran mikro pada restorasi kavitas klas II menunjukkan pada kelompok I yang dilakukan restorasi kavitas klas II dengan