DAN
PASANGANNYA
1 2
Dewi Kartika Sari , Koentjoro
1
Alumni Program Pascasarjana Fakultas Psikologi UGM,
2
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
1
Kronologi Naskah:
Masuk 27 Desember 2018, Revisi15 Januari 2019, Diterima 8 Maret 2019
Abstract. This study intends to analyze the interdependence patterns of
mistresses and their partners. This study also analyzed the factors that underlie the connection between mistresses and their partners. The purpose of this research is to answer two questions. First, how are the dynamics of interdependence of mistresses and their partners? Second, what are the factors underlying the attachment between a mistress and her partner? By using data research through snowball sampling and using phenomenology as part of analyzing data for two pairs of research subjects, the researcher reaches some conclusions. First, there are interdependence dynamics between a mistress and her partner. The interdependence applies to psychological aspects (emotional attachment) and sexuality. Secondly, there are two factors underlying the connection between a mistress and her partner, external factors and internal factors. External factors (attractors) are outside influences that can attract someone to become a mistress. These factors are physical (handsome, manly), psychological (charismatic, loving, persistent), position, and wealth. Internal factors (drivers) are inside influences that can attract a woman to be a mistress
for men who got married. The intensity of the meeting and the interaction between the two makes togetherness both of them become a necessity. Fulfillment of psychological needs for both parties makes the need to have (need of belonging) became stronger and perpetuate their infidelity relationship.
Keywords: interdependensi, mistress, motive
Abstrak. Penelitian ini bermaksud untuk menganalisa pola interdependensi
wanita simpanan dan pasangannya. Selain itu untuk menganalisis faktor-faktor yang mendasari kelekatan antara wanita simpanan dan pasangannya. Dari maksud tersebut penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan, pertama, bagaimana dinamika interdependensi wanita simpanan dan pasangannya? Kedua, apakah faktor yang melandasi kelekatan antara wanita simpanan dan pasangannya. Dengan menggunakan pencarian data melalui snowball sampling dan menggunakan fenomenologi sebagai bagian dari menganalisa data untuk dua pasangan subjek penelitian, maka peneliti mendapatkan sebuah kesimpulan. Pertama, terdapat dinamika interdependensi antara wanita simpanan dan pasangannya. Interdepensi tersebut laku pada aspek psikologis (ikatan emosional), dan seksualitas. Kedua, terdapat dua faktor yang melandasi terjadinya kelekatan, pada wanita simpanan. Pertama faktor ekternal (penarik), yaitu faktor-faktor yang berada diluar diri wanita yang membuat dirinya tertarik dan mau menjadi wanita simpanan. Faktor ini adalah Fisik (ganteng, gagah), psikologis (berkharisma, menyayangi, mencintai,gigih), kedudukan atau jabatan, dan kekayaan. Kedua Faktor Internal (Pendorong), yaitu faktor yang berada didalam diri wanita simpanan yang mendorong wanita untuk mau menjadi simpanan bagi pria yang sudah beristri. Intensitas pertemuan dan interaksi diantara keduanya membuat kebersamaan keduanya menjadi sebuah kebutuhan. Terpenuhinya kebutuhan psikologis untuk kedua pihak membuat kebutuhan untuk memiliki (need of belonging) menjadi menguat dan melanggengkan hubungan persimpanan tersebut.
Kata Kunci:interdependensi, motif-motif, wanita simpanan
Maraknya pemberitaan tentang Rancangan KUHP pada tahun 2013 yang di berbagai media, terutama mengenai kumpul kebo
merupakan wacana yang menarik untuk disimak. Perselingkuhan adalah fenomena besar yang tidak saja terjadi di kalangan pembesar, tetapi juga di dalam masyarakat secara umum. Praktik itu sebagaimana dalam beberapa kutipan pemberitaan di atas membawa dampak yang serius terhadap gugatan secara hukum, dampak dalam keluarga, hingga berujung pada perceraian.
Laporan yang dirilis Direktorat Jendral Pembinaan Agama, tahun 2005 menunjukkan bahwa selingkuh menempati urutan keempat yang menyebabkan perceraian (Mualim, 2007). Lima tahun kemudian, pada tahun 2010, selingkuh bergerak di urutan kedua, setelah persoalan ekonomi, yang mengakibatkan keretakan dan perceraian (Saputra, 2011). Jika tiga tahun yang lalu perselingkuhan yang terdeteksi melalui Badan Peradilan Agama MA jumlahnya sebanyak, 20.199 kasus. Data-data tersebut menunjukkan bahwa perselingkuhan ini semakin meningkat setiap tahunnya, namun sekali lagi, data-data tersebut adalah data-data yang terungkap dan tercatat melalui lembaga yang terkait. Hal ini berarti masih ada data-data yang belum terungkap atau belum tercatat melalui lembaga-lembaga tersebut yang bisa jadi jumlahnya akan semakin meningkat jika melihat dari tren peningkatan jumlah kasus tersebut.
Jika dilacak lebih jauh, sesungguhnya bentuk simpanan bukan hal baru. Tetapi praktik ini sudah ada pada masa kerajaan-kerajaan, dan masa kolonial. Di kerajaan-kerajaan, para raja memiliki selir yang jumlahnya bisa jadi tidak terhitung. Perempuan-perempuan pada masa itu justru bangga menjadi selir raja, orang nomor satu dalam sebuah kerajaan. Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa itu konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia (binatara) (Moedjanto, 1990). Kekuasaan raja Mataram sangat besar. Mereka sering dianggap menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tapi juga nyawa hamba sahaya mereka. Adalah hak istimewa sang raja untuk mempunya selir yang dia sukai.
Berlanjut pada masa kolonial, pergundikan merupakan cara perempuan untuk dekat dengan penguasa-penguasa di negara Eropa, meskipun kadang ada juga di antara mereka yang melakukannya karena terpaksa. Orang-orang Eropa, yang pada masa itu menjadi petinggi di tanah Hindia Belanda mencari
perempuan-perempuan asli Indonesia sebagai gundik-gundik mereka. Petinggi-petinggi Eropa merasa bahwa perempuan-perempuan Indonesia memiliki daya tarik tersediri, sehingga layak dijadikan sebagai gundik-gundik mereka. Sebuah laporan di Belanda yang berkaitan dengan praktik-praktik prostitusi dan pergundikan di Jawa sangat sedikit sekali. Perceraian yang ditemukan banyak terjadi di daerah Krawang, Cirebon dan Batavia jarang dilaporkan di daerah lain seperti di Jepara, Pati, Juwana, Rembang, dan kota-kota kecil lainnya (Boomgaard, 1989 dalam PSPK, 2012). Sampai pada masa kemerdekaan, masyarakat Indies yang menjadi bukti perilaku pergundikan (per-Nyai-an) pada zaman Belanda banyak ditemukan, di daerah Semarang, Batavia dan Surabaya.
Dari paparan sejarah dan fakta kekinian tentang wanita simpanan di atas menarik untuk diteliti lebih lanjut. Terutama terhadap perempuan dewasa yang masih berstatus mahasiswi ketika memilih untuk menjadi wanita simpanan oleh pengusaha atau pejabat. Menjadi wanita simpanan tentu bukan semata kemudahan-kemudahan yang rasakan tetapi juga barangkali pertentangan batin bagi perempuan yang berada di dalam norma sosial yang ada di lingkungan masyarakat. Maka sesungguhnya ada hal yang penting untuk meneliti lebih lanjut tentang personal-personal perempuan atau wanita simpanan secara keseluruhan. Langkah itu diperlukan untuk kemudian menganalisa secara detail bagaimana pola interdependensi wanita simpanan dengan pasangannya.
Dengan beberapa pertimbangan tersebut diatas maka peneltian ini penting dilakukan untuk mengetahui gambaran-gambaran pola interdependensi wanita simpanan dengan pasangannya. Bagaimana gambaran wanita simpanan dan pasangannya dari sisi relasi, psikologis, gaya hidup sehingga para wanita simpanan tersebut memutuskan untuk menjadi simpanan. Dengan pertimbangan diatas maka penelitian ini akan berfokus pada dinamika interdependensi wanita simpanan dengan pasangannya.
Wanita Simpanan
Fenomena perselingkuhan adalah fenomena yang terus berlangsung tanpa mengenal zaman. Fenomena ini ada dan tumbuh subur dalam tiap-tiap pergantian zaman. Tema ini selalu ada dalam tiap pergantian zaman, meskipun dengan istilah yang berbeda-beda tiap zamannya. Simpanan, pergundikan, per Nyai-an, kumpul kebo, dan lainnya. Dibawah ini akan dikaji dari tinjauan teori dan pustaka tentang wanita simpanan dengan segala hal-hal yang terkait.
Kurtina (1998) mendefinisikan, bahwa wanita simpanan adalah perempuan yang menjajakan seksualitasnya hanya pada satu orang. Menurutnya, wanita simpanan biasanya berasal dari kalangan wanita kelas menengah baik wanita karier, mahasiswa, atau pelajar. Wanita-wanita tersebut mendapatkan penghasilan dari menjadi wanita simpanan. Hal ini bermakna bahwa menjadi wanita simpanan menjadi sebuah pilihan sekaligus peluang untuk mendapatkan penghasilan yang lebih banyak, baik bagi mereka yang belum bekerja ataupun mereka yang sudah bekerja tetapi masih merasa kekurangan dalam memenuhi kebutuhannya tersebut. Namun mereka sadar bahwa hubungan yang mereka jalin adalah bentuk hubungan yang beresiko. Definisi yang sama disampaikan oleh Abbot (2013). Wanita simpanan dimaknai sebagai seorang perempuan yang sukarela atau terpaksa memiliki hubungan seksual yang relatif lama dengan laki-laki yang biasanya sudah beristri. Penulis tersebut mencoba menelusuri kemudian menuliskan motif-motif wanita yang terlibat dalam hubungan persimpanan tersebut.
Mengacu pada beberapa definisi di atas, dapat ditarik benang merah bahwa definisi wanita simpanan adalah wanita yang memiliki ikatan emosional dan seksualitas terhadap lelaki yang sudah beristri dan memperoleh imbalan dari hubungan tanpa ikatan tersebut. Ketika seorang pria dan seorang wanita memiliki hubungan yang tetap, mereka berhubungan seksual, wanita tersebut bisa merupakan istrinya, selir, atau gundiknya (simpanan). Batasan antara ketiga istilah tersebut sangat tipis mengingat sedikit pemaknaan yang ada dalam masyarakat.
Perbedaan antara istri dan selir mungkin hanyalah berada pada format aturan hukum, upacara dan legalitas lainnya. Perbedaan antara seorang selir dan simpanan terletak pada posisi tempat tinggal. Selain perbedaan tempat tinggal, Kemudian perbedaan tersebut terletak juga pada status sosial dalam masyarakat, dimana istri sah itu diakui dan diterima oleh masyarakat, sedangkan wanita simpanan dalam bentuk apapun oleh masyarakat masih dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak lumrah bahkan menyimpang.
Faktor Pendorong Menjadi Wanita Simpanan
Abbot (2013) dalam bukunya yang berjudul wanita simpanan, memberikan ulasan tentang faktor yang melahirkan fenomena wanita simpanan, diantaranya adalah; perjodohan antara suami dan istri yang melahirkan kebosanan, sistem kasta dan kelas sosial dengan celah-celah yang tidak bisa ditembus, keengganan laki-laki untuk menerima satu pasangan seks, menampung hasrat mereka untuk memuji kejantanan, dan menegaskan kekayaan dengan memiliki perempuan (selir) selain istri.Para pelakunya bukan orang biasa, alias memiliki kekayaan, kekuasaan, kecerdasan atau hal-hal lainnya yang dianggap kelebihan dalam sudut pandang masyarakat luas. Mulai dari politisi yang terbiasa berbohong di depan publik, kaum cendekia yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, para bangsawan kerajaan, hingga tokoh terkemuka dalam institusi agama.
Dengan demikian ada beberapa faktor yang mendasari seorang wanita mau atau tertarik menjadi wanita simpanan. Pertama aspek material, hal ini terkait aspek keuangan, materi ekonomi. Kedua, aspek sosial terkait dengan gaya hidup atau style. Ketiga, aspek psikologis, terkait didalamnya aspek kasih sayang dan rasa aman.
Simpanan sebagai bentuk Perselingkuhan
Perselingkuhan menurut Baswardono (2003) terjadi bila dua orang terlibat hubungan seksual dan emosional dimana salah satu diantaranya sudah menikah atau menjalin hubungan
(memiliki komitmen) dengan orang lain. Pelanggaran atas kepercayaan bergantung pada apa yang mereka sepakati ketika komitmen itu menjalin hubungan. Subotnik dan Harris (2005) mengungkapkan bahwa ada tiga komponen dalam perselingkuhan emosional, yaitu keintiman emosional, kerahasiaan, dan sexual chemistry. Jenis perselingkuhan berdasarkan keterlibatan emosional yaitu perselingkuhan yang berulang (serial affair), perselingkuhan coba-coba (flings affairs), perselingkuhan atas dasar cinta (romantic love affair), dan perselingkuhan jangka panjang (long term affair). Menurut penelitian terakhir yang dilakukan oleh kelompok Kerja Nasional (National Task Force) dari Asosiasi Psikolog Amerika (American Psychological Association) wanita yang melakukan perselingkuhan cenderung meratapi diri sendiri daripada menyalahkan orang lain, lebih merasa berarti dalam menjalin hubungan dengan orang lain dan merasa lebih berharga ketika dicintai. Tetapi ketika perselingkuhan terbongkar, seorang wanita mungkin lebih mudah depresi dua kali daripada laki-laki, mengalami penyusutan diri, tidak hanya kehilangan pasangan tetapi juga harga dirinya menjadi lebih rendah (Abrahms & Michael, 2006).
Teori Interdependensi (Interdependence Theory)
Jika hendak memahami perilaku dalam hubungan khusus, maka seseorang harus meneliti bagaimana hubungan itu dibentuk dan juga harus meneliti bagaimana manusia dalam hubungan interpersonal tersebut. Untuk menjelaskan fenomena penting, maka perlu penekanan pada interaksi yang terjadi dalam suatu hubungan interpersonal. Kebanyakan teori relationship
menjelaskan bahwa suatu perilaku mengacu pada sifat pelaku, tepatnya mengacu pada tingkat kognisi individu, disposisi, motif, dan biologi. Akan tetapi sebaliknya, teori interdependensi menjelaskan bahwa suatu perilaku mengacu pada bentuk, simbul antara kedua pelaku interaksi dalam hubungan khusus tersebut (Thibaut & Kelley, 1978; Thibaut & Kelley, 1959). Dengan demikian, teori interdependensi atau saling ketergantungan memiliki analisa hubungan interpersonal yang unik (Fletcher & Clark, 2003)
Analisa hubungan interspersonal yang unik tersebut dapat dimaknai dalam beberapa hal. Pertama, interdependensi membentuk interaksi sehari-hari. Pola Interdependensi menggambarkan peluang dan hambatan ciri interaksi, mendefinisikan potensi dalam interaksi, dan eksploitasi. Kedua, interdependensi membentuk kognisi dan mempengaruhi peristiwa-peristiwa mental yang mencerminkan upaya untuk memahami arti dari situasi saling ketergantungan, serta mengidentifikasi tindakan kesesuaian dalam situasi tersebut.
Ketiga, bentuk saling ketergantungan hubungan. Sifat Interdependensi menggambarkan pilihan dan keterbatasan ciri hubungan, mendefinisikan kemungkinan komitmen, kepercayaan, kekuasaan, dan konflik dan keempat, saling ketergantungan membentuk diri. Orang mengembangkan preferensi relatif stabil, motif, dan kecenderungan perilaku sebagai konsekuensi adaptasi terhadap situasi saling ketergantungan yang sering ditemui (Fletcher & Clark, 2003)
Sejarah teori interdependensi bisa dilacak dari teori mekanis sampai teori lapangan yang dikemukakan oleh Gestalt (1940), yang menjadi fokus untuk mempelajari persepsi dan perilaku. Maka interaksi antar individu terkait dengan kebutuhan tersebut bisa dijelaskan dengan skema sebagaimana dibawah ini.
Gambar 1. Interdependensi antar individu (Jhonson & Jhonson, 2005: 287)
Gambar 1 menunjukkan bagaimana interaksi antar manusia, individu dengan individu yang lain. Jika satu pihak dan pihak lain saling membutuhkan maka akan terjadi interdependensi sebagaimana yang tercantum pada kolom pertama. Kondisi lainnya yang terjadi adalah misalnya si A melakukan suatu tindakan untuk mempertahankan relasinya sedangkan si B tidak melakukan hal yang serupa maka yang terjadi adalah si A akan tergantung pada si B seperti yang dapat dilihat pada kolom kedua. membutuhkan tapi pihak lain tidak, maka terjadi dependensi dan seterusnya.
Interaksi, keintiman, dan gaya hubungan pada masa Dewasa awal
Orang dewasa muda menunjukkan gaya interaksi intim yang berbeda-beda. Psikolog Jakob Orlofsky (dalam Papalia,2008) membuat klasifikasi yang terdiri atas lima gaya hubungan yang intim: intim (intimate), pra intim (preintimate), stereotip (streotype), intim yang semu (pseudointimate), dan menyendiri (isolated). Pada gaya yang intim (untimate style), individu membentuk dan memelihara satu atau lebih hubungan cinta yang mendalam dan lama. Pada gaya pra intim (preintimate style), individu menunjukkan emosi yang bercampur aduk mengenai komitmen, suatu ambivalensi yang tercermin dalam strategi menawarkan cinta tanpa kewajiban atau ikatan yang tahan lama. Dalam gaya streotip (stereotyped style), individu memiliki hubungan artifisial yang cenderung didominasi oleh ikatan persahabatan dengan orang yang berjenis kelamin sama dari pada berjenis kelamin berlawanan. Dalam gaya intim yang semu (pseudointimate style), seorang individu memelihara attachment seksual dalam waktu yang lama dengan kadar kedekatan yang sedikit atau tidak dalam. Pada gaya yang menyendiri (isolated style), individu menarik diri dari perjumpaan sosial dan memiliki attachment yang sedikit atau tidak sama sekali dengan individu yang berjenis kelamin sama atau berlawanan.
Keseimbangan antara keintiman dan komitmen, di satu sisi dan kemandirian dan kebebasan, di sisi lain, bersifat sangat sensitif. Harus diingat bahwa dimensi-dimensi penting dari perkembangan
orang dewasa tidak perlu berada di posisi yang beerlawanan dalam satu kontinum sebagiab individu dapat mengalami kemandirian dan kebebasan yang sehat sejalan dengan hubungan yang intim. Membangun sebuah model kematangan hubungan yang mencakup tujuan tersebut pada tingkat yang tertinggi. Individu digambarkan bergerak melalui tiga tingkat kematangan hubungan; berpusat pada diri (self-focused), berpusat pada peran (role focused), dan terindividuasi terhubung ( individuated-connected).
Penyesuaian Peran Hubungan Seksual Pada Masa Dewasa Awal
Penyesuaian diri adalah suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya (Mu'tadin, 2002). Sebelumnya Hurlok (1994) menjelaskan bahwa penyesuaian peran seks pada masa dewasa awal benar-benar sulit. Jauh sebelum masa remaja berakhir, anak laki-laki dan perempuan telah menyadari pembagian peran seks yang direstui masyarakat, namun belum tentu meraka mau menerima sepenuhnya. Pada kenyataannya, konsep tradisional yang telah ada telah dimodifikasi atau bahkan diganti dengan konsep egalitarian (persamaan derajat) antara wanita dan pria.
Untuk mencapai kepuasan hubungan (hubungan resmi atau sembunyi-sembunyi) terdapat tiga kebutuhan yang juga menjadi aspek kepuasan yang harus dipenuhi agar perkawinan memiliki kepuasan, yaitu kebutuhan materiil (biologis) kebutuhan seksual, dan kebutuhan psikologis (Saxton,1986).
Kepuasan dalam kebutuah materil ditandai dengan adanya kepuasan fisik atau bilogis atas pemenuhan kebutuhan berupa makanan, tempat tinggal, keadaan rumah tangga yang teratur, dan uang. Kepuasan atas kebutuhan seksual ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan seksual dengan adanya respon seksual yang baik dan frekuensi seksual yang tidak rendah, selain itu pasangan yang bahagia merasa lebih mendapatkan afeksi dibandingkan dengan pasangan yang kurang bahagia.
Pasangan yang bahagia juga merasa bahwa pasangan mereka tidak akan menolak atau melakukan perilaku seksual yang kurang menyenangkan (Olson, DeFrain & Skogrand, 2011).
Sedangkan untuk kebutuhan secara psikologis berupa persahabatan, keamanan emosional, saling memahami, menerima, menghormati, dan sependapat, sebagai tambahan dari Walster and Walster (dalam Saxton, 1986) yang menjelaskan hasil interviewnya pada beberapa ribu pasangan bahwa pasangan memiliki kepuasan psikologis jika memiliki beberapa karakteristik diantaranya ramah, dan santai; pintar, mampu menjadi sumber informasi; penampilan fisik yang atraktif dan memperhatikan penampilan fisik, seperti pakaian, kebersihan dan sebagainya; hangat dan penuh kasih sayang, serta mampu menunjukkannya pada pasangan; memahami pasangan dan peduli pada kebutuhan-kebutuhan emosional; menunjukkan apresiasi pada pasangan; menunjukkan kasih sayang seperti menyentuh, memeluk, dan mencium; berpartisipasi aktif dan penuh dalam interaksi seksual; menghormati kebebasan pasangan dan merupakan individu yang mandiri; menikmati kehidupan sehari-hari, memiliki rasa humor dan tidak pemurung; menjadi rekan yang baik, mampu memberikan saran dan ide-ide menarik; saling menceritakan tentang kejadian hari itu, tertarik dan bersedia menjadi pendengar yang baik; memiliki kecocokan dengan teman dan keluarga pasangan, Menyukainya dan mencoba membuat mereka untuk menyukai dirinya; dan memikirkan pada hal-hal penting seperti mengingat hari ulang tahun atau perayaan yang lain (Anggraini, 2010).
Hasil
Kontak Awal
Pola relasi interpersonal dimulai dari proses mengenal, dan keberlanjutan relasi akan ditentukan pada bagaimana kualitas dan faktor yang berpengaruh terhadap relasi tersebut. Dari penelitian ini didapatkan bahwa proses perkenalan dari kedua wanita simpanan dalam penelitian ini hampir sama polanya. Tahap awal mereka mengenal pasangan mereka satu sama lain itu karena
dikenalkan oleh teman-temannya. Dari pengalaman informan pelaku-informan pelaku tersebut didapat analisa bahwa kecenderungan yang dilakukan pola pembuka hubungan bisa dilakukan oleh siapa saja, laki-laki maupun perempuan. Sehingga dengan demikian, keinginan untuk membangun hubungan yang diluar perkawinan, atau persimpanan antara lelaki dan perempuan yang salah satunya sudah berkeluarga bisa dilakukan dan dimulai oleh siapa saja. Tahap ini sering disebut sebagai tahap perkenalan (acquintance process).
Kontak pertama antara wanita simpanan dengan masing-masing pasangan menunjukkan adanya beberapa macam persepsi. Hal itu melibatkan alat indra, seperti melihat, mendengar, dan membaui seseorang. Tahap awal ini menentukan eseorang untuk memutuskan tetap melanjutkan ketahap berikutnya atau menghentikan langkahnya untuk melakukan komunikasi dengan lawan bicaranya. Apa yang terjadi dalam pola komunikasi awal antara wanita simpanan dan pasangannya dalam perkenalan-perkenalan awal menunjukkan pola yang lumrah terjadi dalam komunikasi interpersonal.
Intensitas Hubungan
Setelah proses pembukaan atau perkenalan, komunikasi antar pasangan antara wanita simpanan dan pasangannya semakin berkembang. Pasangan informan pelaku lah yang kemudian secara intens mengubungi dengan cara menelpon dan mengirimkan pesan singkat kepada informan pelaku. Dari sana, menurut informan pelaku, sesungguhnya tidak terbersit apapun dalam pikirannya bahwa lelaki yang sedang mendekatinya itu mempunyai maksud tertentu. Membuat kontak atau komunikasi serasa sering menjadi bagian dari cara pasangan masing-masing wanita simpanan untuk memulai membuat komunikasi lebih dekat. Dari tindakan itulah kedua pasangan yang menjadi informan pelaku dalam penelitian ini kemudian menjalin hubungan persimpanan yang relatif lama.
Terbentuknya Hubungan intimasi
Orang dewasa muda menunjukkan gaya interaksi intim yang berbeda-beda. Dalam gaya intim yang semu (pseudointimate
style), seorang individu memelihara attachment seksual dalam waktu yang lama dengan kadar kedekatan yang sedikit atau tidak dalam. Pada gaya yang menyendiri (isolated style), individu menarik diri dari perjumpaan sosial dan memiliki attachment yang sedikit atau tidak sama sekali dengan individu yang berjenis kelamin sama atau berlawanan. Hubungan interpersonal tidak bersifat statis tetapi selalu berubah. Untuk memelihara dan memperteguh hubungan interpersonal diperlukan tindakan-tindakan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan. Ada empat faktor penting untuk memelihara keseimbangan, yaitu keakraban, kontrol, respon yang tepat dan nada emosional yang tepat.
Motif Internal wanita simpanan
Motif internal dimaknai sebagai segala bentuk dorongan seseorang untuk melakukan sesuatu yang munculnya berasal dari dalam diri orang tersebut. Dalam hal ini, motif yang berasal dari dalam diri wanita inilah yang pada akhirnya mendorong mereka bersedia untuk terlibat dalam sebuah relasi interpersonal dalam bentuk hubungan persimpanan. Secara psikologis wanita simpanan membutuhkan kenyaman, perhatian dan perlindungan. Wanita senang diperlakukan istimewa, dan perasaan diperlakukan istimewa inilah yang didapatkan oleh informan pelaku dari pasangannya. Dari pernyataan yang disampaikan oleh kedua informan pelaku tersebut (wanita), secara eksplisit keduanya menyampaikan bahwa kebutuhan psikologis mereka terpenuhi oleh pasangannya. Kebutuhan psikologis ini berupa kenyamanan, kasih sayang, perlindungan dan cinta. Kesemua kebutuhan psikologis tersebut diangap informan pelaku dapat diberikan ataupun difasilitasi oleh pasangannya. Hal itulah yang kemudian membuat informan pelaku tersebut tetap bertahan dengan pasangannya masing-masing, walaupun mereka sadar bahwa bentuk relasi yang mereka jalin saat ini adalah suatu bentuk relasi yang tidak wajar.
Motif Eksternal Wanita Simpanan
Motif kedua adalah motif eksternal, motif eksternal
dimaknai sebagai hal-hal diluar diri informan pelaku yang mempengaruhi mereka dalam memutuskan untuk terlibat dalam pola relasi yang tidak wajar tersebut (menjadi wanita simpanan). WS2 merupakan sosok wanita yang senang berbelanja, kebutuhan hidup yang kompleks tetapi tidak sejalan dengan kemampuan ekonomi yang dia miliki dari keluarga maupun dirinya sendiri, sehingga itulah yang mendorong dia untuk mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan WS1 menganggap bahwa pasangannya bisa memberikan dan berbagi pengetahuan yang bermanfaat untuk WS1 (knowledge sharing). Faktor-faktor eksternal yang di antaranya, ekonomi, dan daya tarik fisik serta jabatan dan karakter dari lawan jenis tersebutlah yang menjadi daya tarik yang besar bagi informan - informan pelaku dalam penelitian ini untuk menjalani hidup dengan lelaki yang sudah berkeluarga.
Faktor yang membuat suami (informan pelaku) mempunyai wanita simpanan
Dari hasil analisa data juga didapat bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang suami mempunya wanita simpanan, pertama, seorang lelaki memiliki keuangan yang lebih dari mapan, Kedua, seorang lelaki tidak mendapatkan cinta yang semestinya dari pasangan resminya, yaitu sang istri, meskipun sudah beberapa lama membangun perkawinan. Ketiga, mendapatkan cinta dan kebutuhan psikologis dari wanita lain yang ia butuhkan. Keintiman yang terjadi pada kedua pasangan, bukan hanya pada keintiman yang bersifat psikologis. Namun, kedua pasangan melakukan keintiman hingga tahap biologis dengan persetubuhan, dan relasi ekonomi.
Peneguhan Hubungan dan terbangunnya Interdependensi
Dalam penelitian ini terbaca bahwa pola interdependensi terbentuk dari proses yang relatif panjang. Wanita dan pasangannya menemukan kesamaan dimana keduanya terdapat hal-hal yang membuatnya tergantung, dan saling tergantung. Pada bagian selanjutnya akan terjelaskan bagaimana proses
menuju kesaling tergantungan yang dimulai atau diawali dari proses independen hingga terbentuknya ketergantungan. Hubungan yang beriklim dependen dicirikan jika salah satu individu sangat tergantung pada individu lainnya. Hasil ini dikuatkan oleh Abbot (2012) tentang faktor yang mempengaruhi wanita adanya persimpanan.yang diantaranya adalah perjodohan antara suami dan istri yang melahirkan kebosanan, sistem kasta dan kelas sosial dengan celah-celah yang tidak bisa ditembus, keengganan laki-laki untuk menerima satu pasangan seks, menampung hasrat mereka untuk memuji kejantanan, dan menegaskan kekayaan dengan memiliki perempuan (selir) selain istri.
Interdependensi Informan Pelaku dan Pasangannya
Dari analisa yang dilakukan terhadap data penelitian ini, peneliti mencoba memetakan perihal-perihal ketergantungan dan kesalingan atau interdependensi yang terbentuk diantara dua pasangan wanita simpanan dalam penelitian ini. Tabel dibawah ini menunjukkan bahwa ada kesalingtergantungan yang kuat antara wanita simpanan dan pasangannya, dan ketergantungan satu pihak terhadap pihak yang lain.
Tabel 1. Pola Dependensi dan Interdependensi WS1 dan P1 (pasangannya)
Ta b e l 1 m e n u n j u k k a n b a h w a t e r d a p a t p o l a interdependensi antara WS1 dan P1. Aspek-aspek tersebut adalah aspek psikologis dan apek biologis. Aspek psikologis diantaranya adalah aspek-aspek cinta, kasih sayang, cemburu, perhatian. Untuk P1 yang merupakan pasangan WS1, P1 merasa bahwa WS1 bisa memberikan kebutuhan psikologis yang diinginkannya, WS1
bisa melayani dan menjadi seperti sosok yang dia inginkan. Sebaliknya WS1 pun mendapatkan apa yang inginkan dari P1 secara psikologis, bahwa WS1 merasa P1 memberikan perlindungan, support dan bimbingan sehingga timbul perasaan sayang dalam diri WS1.
Pola yang agak berbeda terjadi pada WS2 dan pasangannya terkait Aspek ekonomi. Secara ekonomi, WS2 bergantung atau dependen kepada pasangannya (P2). P2 dengan kemampuan finansial yang dimilikinya membuatnya dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dan gaya hidup WS2. Di sisi lain, P2 dependen atau bergantung dari aspek biologis kepada WS2. Seperti halnya yang terjadi pada WS1 dan P1, pola interdependensi yang terjadi pada pasangan WS2 dan P2 ini terkait dengan aspek psikologis. Pola tersebut dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Pola Dependensi dan Interdependensi WS2 dan pasangannya (P2)AspekWanita Simpanan
Untuk beberapa individu, hubungan romantis dapat dirasakan sebagai ketergantungan (addiction), yang menimbulkan kekuatan, kegelisahan atau ketidakpastian dalam perasaan.
Diskusi
Pola Interdependesi Wanita Simpanan dan Pasangannya
Relasi interpesonal ini dapat dikaji melalui teori penetrasi sosial yang dikemukakan oleh Irwin Altman & Dalmas Taylor (1973). Teori ini secara umum membahas mengenai bagaimana proses komunikasi dan hubungan interpersonal dijalin dan dikembangkan. Altman dan Taylor (1973) membahas tentang bagaimana perkembangan kedekatan dalam suatu hubungan.
Menurut keduanya, pada dasarnya seseorang akan mampu untuk berdekatan dengan seseorang yang lain sejauh mereka mampu melalui proses “gradual and orderly fashion from superficial to intimate levels of exchange as a function of both immediate and forecast outcomes.” Altman dan Taylor (1973) menganalogikan manusia seperti bawang merah. Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa lapisan kepribadian. Jika seseorang mengupas kulit terluar bawang, maka akan ditemukan lapisan kulit yang lainnya.
Di sisi lain, bentuk relasi persimpanan ini dapat dikategorikan sebagai bentuk hubungan interpersonal diadik. Walster, Hatfield, Aronson, Abrahams, Rottman (1966) mengemukakan ciri-ciri hubungan interpersonal diad, antara lain adanya tujuan khusus, adanya fungsi yang berbeda, memiliki pola komunikasi dan yang khas. Selanjutnya, Rakhmat (1994) menyimpulkan bahwa perkembangan hubungan interpersonal melalui tiga tahap. Pertama, pembentukan hubungan. Kedua, peneguhan hubungan. Ketiga, Pemutusan Hubungan. Tahap-tahap inilah yang kemudian menentukan bagaimana proses relasi dibangun oleh kedua pasangan
.
Gambar 2. Skema Pola Relasi dan Interdependensi Wanita Simpanan dan Pasangannya
Tahap awal merupakan tahap perkenalan antara informan pelaku (wanita) dengan pasangannya (pria yang 'menyimpan'). Layaknya analogi kulit bawang yang dikemukakan oleh Altman dan Taylor (1973), pada tahap ini, komunikasi dan interaksi antara wanita dengan pria tersebut hanya sebatas hal-hal yang bersifat umum dan biasa. Tahap selanjutnya adalah tahap lanjutan. Tahapan ini terdiri dari proses intensitas hubungan, intimasi, hingga peneguhan hubungan. Intensitas hubungan terjadi karena seringnya informan pelaku dan pasangannya bertemu, berkomuniksi dan berinteraksi sehingga kemudian terjadilah tahap intimasi, dimana pada tahap ini keduanya sudah saling memberikan perhatian dan mencurahkan perasaan hingga akhirnya berujung pada peneguhan hubungan diantara keduanya.
Tahap lanjutan merupakan tahap yang paling krusial dalam pembentukan dan upaya mempertahankan hubungan interpersonal. Kesan dan pengalaman yang didapatkan oleh setiap orang yang terlibat dalam relasi interpersonal tersebut menjadi hal yang berpengaruh dalam keberlangsungan sebuah bentuk relasi interpersonal. Pada fenomena wanita yang 'disimpan' oleh seorang lelaki yang telah beristri, setiap pengalaman dan kesan positif yang didapatkan oleh kedua pihak, dalam hal ini adalah wanita simpanan dan pasangannya akan menjadi hal yang berpengaruh dalam keberlangsungan praktek persimpanan tersebut. Akumulasi dari kesan positif selama berlangsungnya proses interaksi mengarahkan bentuh hubungan interpersonal tersebut pada tahap pembuatan keputusan terutama bagi pihak wanita. Tahap ini disebut sebagai tahap pembuatan keputusan, di mana wanita tersebut merasa siap menjalani praktek persimpanan (dijadikan 'simpanan') oleh pria yang telah diketahui telah memiliki keluarga.
Setelah interaksi dan komunikasi yang relatif terbangun lama, sebuah hubungan atau relasi yang terbentuk antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai ketertarikan personal, akan berkembang pada hubungan yang lebih intim. Pola hubungan intimasi pada dasarnya akan ditentukan pada beberapa hal yang mendorong atau menarik masing-masing pihak untuk
memperdalam hubungan (Hatfield, dkk 1985). Steinberg (1993) berpendapat bahwa suatu hubungan intim adalah sebuah ikatan emosional antara dua individu yang didasari oleh kesejahteraan satu sama lain, keinginan untuk memperlihatkan pribadi masing-masing yang terkadang lebih bersifat sensitif serta saling berbagi kegemaran dan aktivitas yang sama.
Temuan penelitian ini menurut peneliti menguatkan apa yang ditulis oleh seorang konselor pernikahan, Neuman di Amerika. Untuk menulis buku yang berjudul “The Truth about Cheating”, konselor pernikahan ini mensurvei 200 orang pria beristri yang selingkuh dan tidak selingkuh untuk mengetahui alasan di balik perbuatan perselingkuhan, termasuk memiliki wanita simpanan. Dalam survey tersebut didapatkan bahwa 48% suami menyatakan ketidakpuasan emosional sebagai alasan utama selingkuh. Ketergantungan yang terbentuk menurut peneliti hingga tahap layaknya suami dan istri, hanya tidak sampai pada keinginan untuk mempunyai keturunan seperti halnya pasangan yang berkeluarga.
Pola interdependensi yang terjadi pada kedua pasangan ini berbeda dengan pola interdependensi yang terjadi ada pasangan menikah dan berkeluarga. Pada pasangan yang menikah dan berkeluarga, membangun keluarga dengan memiliki keturunan adalah sesuatu yang diinginkan, tetapi pada pasangan persimpanan yang menjadi informan pelaku dalam penelitian ini, masih menghindari adanya keturunan yang dihasilkan dari h u b u n g a n t e r s e b u t . P o l a k e t e r g a n t u n g a n d a n kesalingtergantungan, seperti yang sudah disampaikan diatas merupakan hasil dari perilaku yang diulang, yang kemudian menemukan kenyamannya akan membuat ikatan-ikatan. Rasa nyaman membuat kita berasumsi bahwa perubahan dari kebiasaan akan membuat kita terusik, tidak nyaman. Dalam hemat peneliti, beberapa pembentuk dependensi dan interdependensi tersebut terjadi oleh karena adanya: Pertama, rasa nyaman, kenyamanan yang ditimbulkan oleh sebuah perilaku akan membuat perilaku tersebut diulang. Dalam hal ini wanita simpanan misalnya memperoleh materi, dan
kemudahan dalam menjalankan atau bahkan menyelesaikan persoalan hidupnya.
Kedua, terjadinya pengulangan. kenyamanan membuat perilaku diulang. Pengulangan yang terus menerus menimbulkan pengukuhan atas kenyamanan. Kalau selalu dilakukan dan dirasakan nyamannya, maka kita akan merasa memiliki. Komunikasi yang rutin, pemberian uang, dan pemenuhan hobi mengakibatkan pengulangan - pengulangan karena adanya rasa nyaman. Ketiga, adanya rasa memiliki. Kenyamanan yang diulang sudah menjadi bagian kehidupan, sehingga kenyamanan tersebut merasa menjadi milik manusia. Karena merasa memiliki, maka tidak ingin kehilangan. Keempat, Tidak ingin kehilangan. Perasaan tidak ingin kehilangan ini bertransformasi dalam wujud posesif. Rasa kehilangan pasangan dalam relasi persimpanan akan setara dengan rasa kehilangan pasangan terhadap pasangan resminya. Jika berlebihan, maka kedua belah pihak dalam bentuk relasi tersebut akan menjadi saling ketergantungan satu sama lainnya. Dari sisi psikologis kedua pasangan yang menjadi informan pelaku dalam penelitian ini tidak ingin ditinggalkan oleh pasangannya.
Kelima, adanya asumsi bahwa sesuatu yang baru menimbulkan rasa tidak nyaman. Jangankan benar-benar mengganti pasangan persimpanan dengan orang yang baru, salah satu pihak membayangkan ada sesuatu yang baru saja membuat salah satu atau keduanya merasa tidak nyaman.
Dari sudut pandang teori Pertukaran Sosial ditunjukkan bahwa individu mulai menghitung nilai keseluruhan dari sebuah hubungan dengan mengurangkan pengorbanannya dari penghargaan yang diterimanya (Monge & Contactor, 2003). Teori Pertukaran Sosial bahkan sampai pada level prediktif bahwa nilai (worth) dari sebuah hubungan mempengaruhi hasil akhir (outcome) atau apakah orang akan meneruskan hubungan atau mengakhirinya. Hubungan yang positif biasanya dapat diharapkan untuk bertahan, sedangkan hubungan yang negatif mungkin akan berakhir.
Menurut model hubungan interelasi antar individu yang dikemukakan oleh Jhonson & Jhonson (2005), setidaknya terdapat
empat bentuk relasi yakni pola interdependensi, dependensi, independensi, dan ketidakberdayaan. Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, hasil yang didapatkan adalah terbentuknya dua pola interelasi, yang pola dependensi (ketergantungan satu pihak kepada pihak yang lain) dan interdependensi (saling ketergantungan). Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pola dependensi terjadi pada kebutuhan dasar secara ekonomi dan biologis. Namun pola dependensi ini berbeda antara pihak perempuan (wanita simpanan) dengan pria (lelaki yang menyimpan). Pada pihak wanita, pola dependensi terjadi pada aspek ekonomi. Wanita simpanan mendapatkan pendapatan lebih dari pasangannya. Berbeda dengan yang terjadi pada pria. Pria yang terlibat dalam bentuk relasi ini lebih memiliki ketergantungan dalam hal kebutuhan biologis. Kebutuhan psikologis ini bagi pria yang bertahan dalam bentuk relasi ini menganggap bahwa kebutuhannya dipenuhi oleh pasangan simpanannya tersebut. Hal ini yang tidak dapat direalisasikan secara maksimal oleh pasangan resmi pria tersebut. Menurut Neuman (2013) pandangan sosial mengatakan bahwa semua kebahagiaan pria terletak pada terpenuhinya kebutuhan seksual mereka.
Pola interdependensi terjadi pada aspek psikologis. Kedua pihak dalam relasi persimpanan ini (wanita dan pria yang menyimpannya) merasakan bahwa kebutuhan psikologis mereka terpenuhi oleh pasangan persimpanannya tersebut. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan cinta, kasih sayang, perhatian, dan rasa aman. Hal inilah yang selanjutnya terakumulasi dan semakin meningkatkan kebutuhan untuk semakin memiliki pasangannya tersebut, walaupun di sisi lain mereka menyadari bahwa hubungan yang sedang mereka jalankan merupakan hubungan yang penuh dengan risiko. Kebutuhan untuk memiliki (need of belongings) dimaknai oleh Baumister dan Leary (1995) sebagai kebutuhan untuk memiliki pihak lain. Selain itu kebutuhan ini juga merupakan kebutuhan untuk mempertahankan hubungan interpersonal dalam waktu yang relatif panjang. Idealnya kebutuhan ini bersifat mutual, sehingga kedua belah pihak memiliki perasaan yang sama satu sama lainnya. Clark, Mills, & Corcoran (1989) menjelaskan
bahwa kebutuhan untuk memiliki (need of belongings) ini membuat hubungan interpersonal yang dibentuk akan bertahan lebih lama.
Di sisi lain, kebutuhan untuk memiliki ini merupakan hal yang berbeda dengan kebutuhan untuk berafiliasi dengan orang lain (Baumister & Leary, 1995). Ketika suatu kebutuhan ini hadir dalam suatu bentuk relasi interpersonal, maka relasi tersebut cenderung bertahan lama dan dipertahankan karena perasaan perasaan diantara semua pihak yang terlibat di dalamnya sudah sangat kuat. Hal inilah yang terjadi dalam bentuk hubungan persimpanan ini. Perasaan cinta dan kasih sayang yang kuat menghadirkan perasaan untuk memiliki pasangannya bukan hanya sebagai bentuk perasaan semata. Perasaan tersebut telah bertransformasi menjadi sebuah bentuk kebutuhan. Kebutuhan untuk memiliki inilah yang nantinya akan melanggengkan hubungan persimpanan tersebut.
Faktor-faktor yang Mendasari Kedekatan dalam Relasi Antara Wanita Simpanan dan Pasangannya
Materi bisa jadi menjadi barang pertukaran yang besar dalam proses hubungan persimpanan, selain interdependensi dari aspek psikologis. Foa dan Foa (dalam West, 2008) mengidentifikasi enam tipe perolehan utama dalam suatu bentuk hubungan persimpanan yakni, cinta, uang, status, informasi, barang dan jasa. keenam tipe perolehan utama tersebut selanjutnya dapat diklasifikasikan lagi menjadi dua dimensi, yakni dimensi partikularisme dan dimensi kekonkretan. Dimensi partikularisme berkaitan dengan sejauh mana nilai perolehan bergantung pada orang yang memberikannya, sedangkan dimensi kedua, yakni dimensi kekonkretan berkaitan dengan perbedaan antara imbalan yang nyata (konkret) yakni hal-hal yang dapat kita lihat, cium dan sentuh; dan nonkonkret atau simbolis, seperti nasihat atau persetujuan sosial.
Teori interdependensi mengasumsikan bahwa orang akan selalu meneliti manfaat dan biaya dari interaksi atau hubungan tertentu. Orang menggunakan beberapa standar untuk mengevaluasi hasil hubungan. Ada dua standar perbandingan
yang amat penting. Standar pertama adalah comparison level (level perbandingan). Ini merefleksikan kualitas hasil yang menurut seseorang pantas untuk diterima. Standar kedua adalah
comparison level for alternatives, dalam artian bahwa seseorang akan mencoba untuk menilai bagaimana satu hubungan dibandingkan dengan hubungan lain yang saat ini sedang dijalaninya. setiap orang yang terlibat dalam hubungan tersebut akan mempertimbangkan masalah sejauh mana dia akan memperoleh manfaat, sejauh mana akan memperoleh kerugian.
Dalam bentuk relasi persimpanan, ditemukan bahwa faktor terpenuhinya kebutuhan psikologis antara kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya merupakan faktor yang menguatkan dan melanggengkan relasi tersebut. Terpenuhinya kebutuhan psikologis di antara keduanya membuat hubungan yang dijalani oleh wanita simpanan dan pasangannya sampai pada taraf keintiman dan hubungan yang matang. Keputusan tentang seberapa dekat dalam suatu hubungan sesungguhnya dapat dijelaskan melalui teori penetrasi sosial.
Sebuah hubungan disebut memiliki keterikatan yang erat apabila memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, terdapat frekuensi interaksi yang tinggi untuk waktu yang relatif panjang. Kedua, hubungan memiliki rentang waktu tersebut terdiri beragam bentuk kegiatan dan peristiwa. Ketiga, saling pengaruh mempengaruhi yang amat kuat antara dua orang tersebut. Dua orang atau pasangan yang memiliki interdependensi yang sangat kuat memiliki emosi yang kuat pula. Hubungan persimpanan, antara wanita simpanan dan pasangannya, sebagaimana terlihat dari data pada penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan tersebut menjadi sumber potensial bagi perasaan-perasaan seperti halnya kasih-sayang, cemburu, rasa marah, perhatian, atau putus asa.
Kesimpulan
Relasi atau hubungan persimpanan merupakan satu bentuk dari hubungan antara pria dan wanita yang secara normatif dianggap melanggar norma sosial yang berlaku di masyarakat. walaupun demikian, praktek relasi semacam ini seolah menjadi hal
yang jamak dilakukan tidak hanya oleh orang biasa namun juga oleh para pembesar sebuah negeri. Faktor pemenuhan dan terpenuhinya kebutuhan psikologis antara pihak-pihak yang terlibat dalam relasi tersebut menjadi faktor yang meningkatkan kedekatan dan kelekatan hingga saling ketergantungan antara seorang wanita simpanan dan pasangannya. Terpenuhinya kebutuhan psikologis tersebut menghadirkan apa yang disebut dengan kebutuhan untuk memiliki (need of belonging) di antara keduanya. Hal inilah yang menjadikan bentuk relasi tersebut kian langgeng hingga sulit untuk dipisahkan.
Selain kesimpulan secara umum tersebut di atas, peneliti secara khusus juga menyimpulkan beberapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, terdapat interdependensi antara wanita simpanan dan pasangannya. Interdepensi tersebut terjadi pada aspek psikologis (ikatan emosional), dan seksualitas. Pola interdependensi terbentuk dengan diawali oleh dinamika hubungan dekat. Kedua, terdapat dua faktor yang melandasi terjadinya kelekatan, pada wanita simpanan. Pertama faktor ekternal (penarik), yakni di antaranya Fisik (ganteng, gagah), psikologis (berkharisma, menyayangi, mencintai, gigih), kedudukan atau jabatan, dan kekayaan. Kedua Faktor Internal (Pendorong), yaitu faktor yang berada didalam diri wanita simpanan yang mendorong wanita untuk mau menjadi simpanan bagi pria yang sudah beristri, faktor ini bisa berupa persepsi dan pengalaman hidup keluarga wanita simpanan. Faktor tersebut, pertama, secara psikologis wanita simpanan membutuhkan kenyamanan, perhatian, cinta, dan kasih sayang yang dianggapnya dapat ditemukan melalui sosok pria yang menyimpannya tersebut.
Saran
Pertama, bagi wanita simpanan diharapkan dapat memahami posisi dan perannya terhadap pasangannya. Wanita simpanan adalah wanita dengan status hubungan yang tidak diakui oleh hokum formal dan hokum sosial dalam masyarakat sehingga dalam keadaan tertentu menjadi terlecehkan oleh masyarakat, maka perlu kiranya bagi wanita simpanan untuk
menemukan dirinya dalam keadaan yang lebih baik. Kedua, keluarga dan masyarakat, perlu juga memahami bahwa terbentuknya wanita simpanan tidak selalu sebagai sebuah kesengajaan. Seperti halnya sebuah perkawinan, tumbuhnya cinta dan kasih sayang tidak dapat ditentukan kepada siapa. Seseorang dapat menentukan dengan siapa ia akan menikah, tapi tak dapat menentukan kepada siapa cintanya tumbuh.
Ketiga, bagi peneliti selanjutnya dapat mencermati faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap terbentuknya hubungan persimpanan, dan bagaimana terbentuknya depedependensi hingga pemisahan keduanya. Dengan mempertimbangkan beberapa hal itu diharapkan penelitian dengan tema dan kajian serupa, mampu menjelaskan secara lengkap bagaimana dependensi wanita simpanan terhadap pasangannya, faktor, dan segala hal yang menarik yang perlu diketahui dari segala sisi tentang wanita simpanan dan pasangannya.
Daftar Pustaka
Abbot, E. (2013). Wanita simpanan. (Terjemahan Soemarni, A). Bandung: Alfabet
Abdullah, E. (2013). Menguak tabir skandal seks para pejabat di negeri ini.
D i a k s e s d a r i
http://birokrasi.kompasiana.com/2013/04/26/menguak-tabir-skandal-seks-para-pejabat-di-negeri-ini-550211.html, pada 24 Oktober 2013 pukul 14.20
Abrahms, J & Michael, S.L. (2008). Seksuality and kohabitation. Sosiology relation Journal No.3 XI pp. 29-41
Adhini Amaliafitri. A. (2010). Hasrat petualangan cinta, picu wanita selingkuh. Diakeses dari . com/read/2010 /10/31/197/388290/ hasrat-petualangan-cinta-picu-wanita-selingkuh, pada 15 November 2013, pukul 13.25 WIB
Anggraini, S (2010). Persepsi mencintai wanita dewasa awal yang
melakukan seksual pranikah. Skripsi. Surabaya: Fakultas Psikologi
Universitas Airlangga
Altman, I., & Taylor D. (1973). Social penetration: The development of interpersonal relationships. New York: Holt, Rinehart, & Winston.
http://lifestyle.okezone
Ans. (2013, 3 Februari). Putri Solo,istri Djoko Susilo. Kompas,p.3 Barniyas (2010, 14 Januari).Nikah kilat sang bupati. Koran Tempo,pp.7 Baswardono, D. (2003). Antara cinta, sex, dan dusta (Memahami
perselingkuhan). Yogyakarta: Galang Press
Baumister, R.F, & Leary, M.R. (1995). Need to belong : Desire for interpersonal attachments as a fundamental human motifation.
Journal of Social Psychology. American Psychological Associations.
Baumeister, R. F., Catanese, K. R., & Vohs, K. D. (2001). Is there a gender difference instrength of sex drive? Theoretical views, conceptual distinctions, and a review of relevant evidence. Personality and Social
Psychology Review, 5, 242-273.
Baumister, R.F., Leary, M.R. (1995). The need to belong: Desire for interpersonal attachments as a fundamental human motivation.
Psychological Bulletin. Vol. 117. No.3, 497-529.
Berscheid, E. (1985). Compatibility, interdependence, and emotion. In W. Ickes (Ed.), Compatible and incompatible relationships (pp. 143-161). New York: Springer-Verlag.
Berscheid, E., Dion, K., Walster, E., & Walster, G. W. (1971). Physical attractiveness and dating choice: A test of the matching hypothesis. Journal of Experimental Social Psychology, 7, 173-189. Buss, D. M. (2003). The evolution of desire: Strategies of human mating (Rev.
ed.). New York: Basic Books.
Bremstein (1988). Social relation. England: Pierce
Buss, D. M., & Schmitt, D. P. (1993). Sexual strategies theory: An evolutionary perspective on human mating. Psychological Review,
100, 204-232.
Byrne, D., & Rhamey, R. (1965). Magnitude of positive and negative reinforcements as a determinant of attraction. Journal of Personality and Social Psychology, 2, 884-889.
Clark, M.S., Mills, J., & Corcoran, D.M. (1989). Interpersonal attraction in exchange and communal relationships. Journal of Personality and
Social Psychology 15. 533-542.
Crooks, R.L & Stein, J. (1991). Science, behavior and life. Florida: Holt,Rinnehart and Winston,Inc.
Creswell, J.W. (2006). Qualitative inquiry and research design: Choosing
among five approaches. London: Sage Pub.
Dariyo,A (2003). Psikologi perkembangan dewasa awal. Jakarta: Grasindo Fisher HE.(2004). Why We Love: The Nature and Chemistry of Romantic
Love. New York: Holt
Fisher HE. (1998). Lust, attraction, and attachment in mammalian
reproduction. Journal Human Nature 9: 23–52.
Fletcher, G.J.O & Clark, MS. (2003). Blackwell handbook of social
psychology: Interpersonal processes. Blackwell Publishing
Gie, S.H.(1987). Catatan harian seorang demostran. LP3ES. Jakarta
Gangestad, S.W., & Simpson.J.A. (2000). The evolation of human mating: Trade-offs and strategic pluralism. Journal of behavioral and brain science, 23, 573-644.
Gonzaga, G. C., Campos, B., & Bradbury, T. (2007). Similarity, convergence, and relationship satisfaction in dating and married couples.
Journal of Personality and Social Psychology, 93, 34-48
Hatfield, E., Traupmann, J., Sprecher, S., Utne, M., & Hay, J. (1985). Equity and intimate relations: Recent research. In W. Ickes (Ed.), Compatible and incompatible relationships (pp. 91-117). New York: Sprinter-Verlag.
Hidayat. E (2013). Anak Machica Mochtar batal diakui negara. Diakses dari http://celebrity.okezone.com/read/2013/04/24/33/796801/redirect , pada 24 Oktober 2013, pukul 12.25 WIB
Hurlock, E. B. (1994). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan
sepanjang rentang kehidupan. Jakarta : Erlangga.
KBBI Online.com
Koentjoro. (2004). Tutur dari sarang pelacur. Yogyakarta: Tinta
Kurtina, W. (1998). Potret pelacuran kelas atas. Bandung: Widyapustaka KUHP, Pasal 422 ayat 1
Jhonson, D.W., & Jhonson R.T. (2005). New developments in social interdependences theory. Journal of Genetic, Social, and General
Psychology Monographs. 131 (4). 285-358.
Mualim,(2007). Data statistik perselingkuhan di Indonesia. Diunduh pada 1 januari 2014 dari
Mu'tadin, Z. (2002). Penyesuaian diri remaja.Diunduh pada 9 April 2013. Dari http://www.e-psikologi.com/remaja/160802.htm
Moustakas, C. (1994). Phenomenological research methods. London: SAGE Publications.
Moedjanto. (1990). Keluarga dan perselingkuhan. Jakarta: grasindo Moleong.(2006). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Rosda.
Monge.P.R., & Contractor, N. (2003) Theories of communication networks.
New York : Oxford University Press.
Murray, S. L., Holmes, J. G., & Griffin, D. W. (1996). The self-fulfilling nature of positive illusions in romantic relationships: Love is not blind, but prescient. Journal of Personality and Social Psychology, 71, 1155–1180.
http://republika.co.id
Nagata,M.L. (2003). Mistress or wife ?Fukui Sakuzaemon vs. Iwa, 1819 –1833. Continuity and Change 18 (2), 287–309. PressDOI : 10.1017/S0268416003004600
Neuman, M.G. (2013). The truth about why men cheat. New York: Philpress
Nuraini, (2009). Aduh Mahasiswi ramai-ramai jadi wanita simpanan., d i u n d u h 1 3 M e i J u l i 2 0 1 3 d a r i http://indonesia.faithfreedom.org/forum/aduh-mahasiswi-ramai-ramai-jadi-istri-simpanan-t33937
One, D. (2013). mengurai perselingkuhan dari desa hingga kota.Jurnal Rifka Media edisi 52Maret-Me1 20013
Ollenburger. (2002). Sosiologi wanita. Jakarta: Rineke Cipta.
Olson, D.H, De Frain, J & Skogrand. (2011). Marriage and families,
intimacy, diversity, and strengths, Fourth Edition. Boston:
McGraw-Hill.
Papalia, D.E., Old, S.W., & Feldman, R.D. (2008). Human development
(psikologi perkembangan).Terjemahan oleh A.K. Anwar.
Jakarta:Kencana.
PSPK, (2012). Seksualitas di Jawa pada awal Abad XX. Diunduh pada 9 Februari 2013 dari http://www.pspk.ugm.ac.id/seminar/69-seksualitas-di-jawa-pada-awal-abad-xx.html
Poerwandari.E.K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi.
Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Puspita (2009). Komunikasi waria di desa (Studi fenomologi eksistensi
waria di Desa Talang Bunut Kecamatan Lebong). Skripsi. Bandung :
Universitas Padjajaran
Rahmanto, A. (2008). Hubungan terlarang, pelampiasan cinta pra nikah
(pacaran). Diunduh pada tanggal 26 Februari 2013 dari
h t t p : / / b e l a j a r i s l a m .
com/index.php?option=com_content&view=article&id=452:hubu n g a n t e r l a r a n g p e l a m p i a s a n c i n t a p r a n i k a h -pacaran&catid=45:dunia –islam&itemid=148
Ramadha, AS (2012, 7 April 2012). Kaum pasif yang resisten: Antara
perempuan, subkultur, dan media. Diunduh pada anggal 28 Februari
2 0 1 3 d a r i
Rakhmat, J. (1994) Psikologi komunikasi. Bandung: Rosdakarya
Saputra, A.(2011). Selingkuh, penyebab nomer 2 perceraian di Indonesia.
http://academia.edu/2138421/Kaum_Pasif_Yang_Resisten_Antar a_Perempuan_Subkultur_dan_Media
D i u n d u h p d a a t a n g g a l 2 9 D e s e m b e r 2 0 1 2 d a r i
Sarasati, E. (2009). Potret wanita simpanan dalam novel gadis pantai, belenggu, BekisarMerah, dan pengakuan Pariyem sebuah studi komparatif dengan pendekatan feminisme. Jurnal akulturasi vo.8 No.2, hal 475 - 495
Satiadarma, M. P. (2001). Menyikapi perselingkuhan. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Saxton, L. (1986). The individual, marriage, and the family. California: Wadsworth Publishing Company.
Schmitt, D. P., Alcalay, L., Alik, J., Ault, L., Austers, I., Bennett, K. L., et al. (2003). Universal sex differences in the desire for sexual variety: Tests from 52 nations, 6 continents, and 13 islands. Journal of Personality and Social Psychology, 85, 85- 104.
Siswodiharjo, R. (2010, 3 Oktober). Kemampuan ekonomi perselingkuhan
pria Jakarta. Diunduh pada tanggal 8 januari 2013 dari
>,
Sprecher, S. (1998).Social exchange theories and sexuality. The Journal of Sex Research.Vol 35, pp 32-43.
Steinberg. (1993). Close relationship. NY: Philpress
Straaten, I., Engles, R. C. M. E., Finkenauer, C., & Holland, R. W. (2009). Meeting your match: How attractiveness similarity affects approach behavior in mixed-sex dyads. Personality and Social Psychology Bulletin, 35, 685-697.
Subotnik, R.B., & Haris, G.G. (2005). Surviving infidelity: Making decision,
recovering from the pain. Avon: Adam Media.
Surya. (2009). Pengakuan mahasiswi simpanan: Aku ingin hidup enak.
D i a k s e s d a r i
http://regional.kompas.com/read/2009/07/29/10523659/ pengakuan. mahasiswi. simpanan.aku.ingin.hidup.enak/all, pada 15 Oktober 2013, pukul 13.20 WIB.
Tylor, V. (2013). Scorned women expose mistresses on 'homewrecker' website. Diakses dari http://www.nydailynews.com/life- style/homewrecker-website-exposes-shames-mistresses-article-1.1511054, pada 12 September 2013, pukul 13.23
Tobing, N. L. (2006, 15 Desember). Dewasa muda. Diunduh pada tanggal 4Februari 2012 darihttp://www.ayahbundaonline . c o m / i n f o _ a y a h b u n d a / i n f o _ d e t a i l . a s p ? i d = http://wolipop.detik.com/read/2011/08/03/120403/1695441/85 4/selingkuh-penyebab-nomer-2-perceraian-di-indonesia http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/09/26/kemampua n-ekonomi-perselingkuhan-pria-jakarta/ Jurnal
pengalaman&info_id=853,diakses pada 12 September 2013
Thibaut, J. W., & Kelley, H. H. (1959). The social psychology of groups. New York: Wiley.
West, R. (2008). Pengantar teori komunikasi : Teori dan aplikasi. Jakarta : Salemba Humanika,
Walster, G.,W., Hatfield, E., Aronson, V., Abrahams, D., & Rottman, L. (1966). Importance of physical attractiveness in dating behavior.
Journal of Personality and Social Psychology, 4, 508-516
Zur, O. (2000). In celebration of dual relationships: How prohibition of non-sexual dual relationships increases the chance of exploitation and harm. The Independent Practitioner,20, 97-10.