• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan keofisien muai panjang logam besi dengan metode interferensi cincin newton.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan keofisien muai panjang logam besi dengan metode interferensi cincin newton."

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

vi ABSTRAK

PENENTUAN KOEFISIEN MUAI PANJANG LOGAM BESI DENGAN METODE INTERFERENSI CINCIN NEWTON

Antonius Iis Sugianto 013214010

Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui nilai koefisien muai panjang logam besi dengan metode interferensi cincin newton menggunakan sinar Natrium sebagai sumber cahaya dengan panjang gelombang 5890 nm. Dari penelitian ini diperoleh hubungan antara perubahan panjang logam besi terhadap perubahan suhu yang diukur dengan perubahan pola-pola interferensi. Hubungan ini dapat diperlihatkan dengan menggunakan grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi terhadap perubahan suhu. Untuk grafik 4.1 diperoleh persamaan garis

L

∆ = 6 x 10-8∆T − 2 x 10-8; sedangkan pada grafik 4.2 persamaan garis yang diperoleh persamaan ∆L = 6 x 10-8∆T − 6 x 10-8; pada grafik 4.3 persamaan garis yang diperoleh persamaan ∆L = 6 x 10-8∆T + 2 10-8; untuk grafik 4.4 persamaan garis diperoleh persamaan ∆L = 6,15 x 10-8∆T − 8,97 x 10-8; dan grafik 4.5 diperoleh persamaan garisnya adalah ∆L = 6 x 10-8∆T − 9 x 10-8. Dengan menggunakan metode grafik, hubungan antara perubahan panjang logam besi

)

(2)

vii ABSTRACT

DETERMINING COEFFICIENT OF LINEAR EXPANSION OF IRON METAL BY USING INTERFERENCE RINGS NEWTON METODS

Antonius Iis Sugianto 013214010

A research had been conduced to know coefficient of linear expansion of iron metal by interference rings newton metods This research utilized the lamp Natrium as its light source wich has 5890 nm wavelength. Based on this research, the relation between the change of the length of iron metal with the temperature change wich are measured with change of the interference pattern was know. The relation is presented in the graph of the relation between the change of the length of iron metal with the temperature change. Based on graph 4.1-4.5, the linear function are as folows: ∆L = 6 x 10-8∆T − 2 x 10-8, for graph 4.1, for graph 4.2 ∆L = 6 x 10-8∆T − 6 x 10-8, for graph 4.3 ∆L = 6 x 10-8∆T + 2 x10-8, for graph 4.4 ∆L = 6,15 x 10-8∆T − 8,97 x 10-8, and for graph 4.5 ∆L = 6 x 10 -8

T

∆ − 9 x 10-8. With using graph methods, relation between the changes of iron metal length Vs temperature give results is (1,700 ± 0,380).10-6 /°C. The result that get same as the result that reported is (1,71 ± 0,06).10-6 /°C.

(3)

PENENTUAN KOEFISIEN MUAI PANJANG LOGAM BESI DENGAN METODE INTERFERENSI CINCIN NEWTON

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains (S. Si)

Program Studi Fisika

Oleh :

Antonius Iis Sugianto NIM : 013214010

PROGRAM STUDI FISIKA JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu” Lukas 21:19

“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan” Matius 5:8

Don't worry if it doesn't work right. If everything did, you'd be out of a job.

Fantasy, abandoned by reason, produces impossible monsters; united with it, she is the mother of the arts and the origin of marvels.

By Goya

Presented to my Supported :

™ Jesus Christ you always in my heart

™ Bapak + Mamak

™ Mas Wanto + Mbak Tina

™ Mas Joko + Mbak Hermi

(7)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 31 Juli 2007 Penulis,

(8)

vi ABSTRAK

PENENTUAN KOEFISIEN MUAI PANJANG LOGAM BESI DENGAN METODE INTERFERENSI CINCIN NEWTON

Antonius Iis Sugianto 013214010

Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui nilai koefisien muai panjang logam besi dengan metode interferensi cincin newton menggunakan sinar Natrium sebagai sumber cahaya dengan panjang gelombang 5890 nm. Dari penelitian ini diperoleh hubungan antara perubahan panjang logam besi terhadap perubahan suhu yang diukur dengan perubahan pola-pola interferensi. Hubungan ini dapat diperlihatkan dengan menggunakan grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi terhadap perubahan suhu. Untuk grafik 4.1 diperoleh persamaan garis

L

∆ = 6 x 10-8∆T − 2 x 10-8; sedangkan pada grafik 4.2 persamaan garis yang diperoleh persamaan ∆L = 6 x 10-8∆T − 6 x 10-8; pada grafik 4.3 persamaan garis yang diperoleh persamaan ∆L = 6 x 10-8∆T + 2 10-8; untuk grafik 4.4 persamaan garis diperoleh persamaan ∆L = 6,15 x 10-8∆T − 8,97 x 10-8; dan grafik 4.5 diperoleh persamaan garisnya adalah ∆L = 6 x 10-8∆T − 9 x 10-8. Dengan menggunakan metode grafik, hubungan antara perubahan panjang logam besi

)

(9)

vii ABSTRACT

DETERMINING COEFFICIENT OF LINEAR EXPANSION OF IRON METAL BY USING INTERFERENCE RINGS NEWTON METODS

Antonius Iis Sugianto 013214010

A research had been conduced to know coefficient of linear expansion of iron metal by interference rings newton metods This research utilized the lamp Natrium as its light source wich has 5890 nm wavelength. Based on this research, the relation between the change of the length of iron metal with the temperature change wich are measured with change of the interference pattern was know. The relation is presented in the graph of the relation between the change of the length of iron metal with the temperature change. Based on graph 4.1-4.5, the linear function are as folows: ∆L = 6 x 10-8∆T − 2 x 10-8, for graph 4.1, for graph 4.2 ∆L = 6 x 10-8∆T − 6 x 10-8, for graph 4.3 ∆L = 6 x 10-8∆T + 2 x10-8, for graph 4.4 ∆L = 6,15 x 10-8∆T − 8,97 x 10-8, and for graph 4.5 ∆L = 6 x 10

-8

T

∆ − 9 x 10-8. With using graph methods, relation between the changes of iron metal length Vs temperature give results is (1,700 ± 0,380).10-6 /°C. The result that get same as the result that reported is (1,71 ± 0,06).10-6 /°C.

(10)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

karunia yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang

berjudul “Penentuan Koefisien Muai Panjang Logam Besi Dengan Metode Interferensi Cincin Newton” ini dengan baik. Penulisan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains di Universitas Sanata Dharma

pada program studi Fisika.

Selama penulisan skripsi ini penulis telah memperoleh bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Ir Ign. Aris Dwiatmoko, M.Sc, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Sri Agustini Sulandari, M.Si. Selaku pembimbing yang telah banyak

membantu dan membimbing selama mengerjakan tugas akhir ini.

3. Seluruh dosen Fisika dan segenap civitas akademika Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

4. Dr Ign. Edi Santosa, MS, selaku Kepala Laboratorium Fisika Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan izin memakai alat &

ruangan Lab Fisika untuk penelitian skripsi.

5. Seluruh teman-teman Fisika 01: (Wedhus, Nzoo, Mili, Mamat, Yoan, Minto,

Onenk, Sujiwo Tejo alias Aris) dan Mbak Asri Fis 00 trimakasih bantuannya

(11)

ix

6. Teman-teman kost Tampan ; Simbah, Mak’e + Pak’e, Omen’s, Dono, Golank

thanks a lot of.

7. My Love Family: Bapak + Mamak, Mas Wanto + Mbak Tina, Mas Joko +

Mbak Hermi, adikku Retha dan keponakanku tercinta Wisnu + Tyas.

Trimakasih Semua saran, semangat dan doanya atas diriku, sehingga dapat

menyelesaikan kuliah dengan baik walaupun penuh perjuangan yang berat.

8. teman2 P3W (mellin, li2, obeth, punto, danank, prizka, henny) u all best

friend’s, kapan-kapan jalan bareng lagi dan suatu saat kita akan ketemu lagi

alias reuni, don’t remember my..!!!

9. Buat teman-teman yang tidak bisa Saya sebutkan satu persatu, Saya ucapkan

banyak terimakasih yang telah memberi dukungan dan bantuan baik saran,

pendapat, kritik atau sekedar menemani di laboratorium gelap.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu kritik dan saran amat penulis harapkan demi perkembangan riset fisika

eksperimen di USD khususnya dan di Indonesia umumnya.

Akhirnya, besar harapan penulis semoga Skripsi ini dapat bermanfaat dan

berguna bagi pembaca.

Yogyakarta, 5 Agustus 2007

(12)

x

DAFTAR ISI

halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Batasan Masalah ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II DASAR TEORI 2.1. Hukum Pembiasan dan Pemantulan ... 5

2.2. Prinsip Huygens ... 7

2.2.1. Prinsip Huygens dan Hukum Pemantulan... 8

2.2.2. Prinsip Huygens dan Hukum Pembiasan ... 8

2.3. Lintasan Optis ... 11

2.3.1. Prinsip Fermat dalam Pembiasan dan Pemantulan Cahaya ... 12

2.3.2. Perubahan Lintasan Optis Akibat Pemantulan ... 14

2.4. Interferensi Cahaya ... 17

2.5. Interferensi Cahaya pada Selaput Tipis ... 21

(13)

xi

2.7. Pemuaian ... 29

2.7.1. Pemuaian Panjang ... 30

2.7.2. Pemuaian Luas ... 31

2.7.2.1. Hubungan antara koefisien muai luas dan koefisien muai panjang ... 32

2.7.3. Pemuaian Volume atau Kubik ... 33

2.7.3.1. Hubungan antara koefisien muai kubik dan koefisien muai panjang ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Jenis Penelitian ... 36

3.2. Alat dan Bahan yang Dipergunakan ... 36

3.3. Prosedur Percobaan ... 38

3.4. Analisis Data………. ... 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hasil Penelitian ... 42

4.2. Pembahasan ... 52

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 54

5.2. Saran ... 55

(14)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pemantulan dan pembiasan cahaya ... 5

Gambar 2.2 Perambatan gelombang datar dalam ruang bebas dengan metode Huygens ... 7

Gambar 2.3 Pemantulan gelombang datar oleh cermin datar ... 8

Gambar 2.4 Pembiasan gelombang datar pada kaca ... 9

Gambar 2.5 Lintasan optis cahaya melewati suatu medium ... 11

Gambar 2.6 Cahaya dari A tiba di B setelah dipantulkan di C ... 12

Gambar 2.7 Cahaya dari D tiba di E setelah dibiaskan di F ... 13

Gambar 2.8 Bentuk pulsa gelombang pada ujung terikat ... 15

Gambar 2.9 Bentuk pulsa gelombang pada ujung bebas ... 16

Gambar 2.10Sumber cahaya yang melewati celah ... 18

Gambar 2.11Interferensi oleh pemantulan pada selaput tipis ... 22

Gambar 2.12Alat untuk mengamati Cincin Newton ... 25

Gambar 2.13Pola Cincin Newton ... 26

Gambar 2.14Cincin Newton dengan tebal film tertentu ... 27

Gambar 2.15Pemuaian panjang pada suatu logam ... 30

Gambar 3.1 Gambar rangkaian percobaan ... 38

Gambar 3.2 Rangkaian sistem optis ... 39

Gambar 4.1 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 28 0C ... 43

Gambar 4.2 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 28 0C ... 45

Gambar 4.3 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 29 0C ... 47

Gambar 4.4 Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 29 0C ... 49

(15)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Tabel data ke1 perubahan panjang logam besi ∆L (m)

terhadap perubahan suhu ∆T (0C) ... 42 Tabel 4.2 Tabel data ke2 perubahan panjang logam besi ∆L (m)

terhadap perubahan suhu ∆T (0C) ... 44 Tabel 4.3 Tabel data ke3 perubahan panjang logam besi ∆L (m)

terhadap perubahan suhu ∆T (0C) ... 46 Tabel 4.4 Tabel data ke4 perubahan panjang logam besi ∆L (m)

terhadap perubahan suhu ∆T (0C) ... 48 Tabel 4.5 Tabel data ke5 perubahan panjang logam besi ∆L (m)

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fenomena yang berkaitan dengan kalor sudah ada sejak zaman dulu,

contohnya orang purbakala memanaskan suatu benda menggunakan sumber panas

yaitu api, tetapi sudah pasti suhu pada api tersebut tidak dapat diukur dengan tepat.

Pada saat tersebut, belum dipikirkan cara mengukur suhu dengan tepat. Sejalan

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pengukuran suhu dan kalor

telah banyak dikaji orang, demikain juga konsep pemuaian banyak dikaji secara

mendalam. Kajian konsep pemuaian akan banyak membantu pemahaman sifat fisis

suatu benda akibat terjadi perubahan suhu. Sebagai contoh, termometer suhu badan

yang digunakan untuk mengukur suhu badan manusia didasarkan pada konsep

pemuain.

Aplikasi pengetahuan tentang kaitan antara suhu dan pemuaian sangat banyak

dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh pada rel kereta api akan

memuai jika rel kereta api terjadi kenaikan suhu, sehingga akan mempengaruhi kodisi

rel yang berakibat kondisi rel melengkung yang akan membahayakan kereta api yang

melintas. Supaya rel kereta tidak melengkung dalam pembangunan rel kereta api

diberi celah dalam sambungannya. Contoh yang lain adalah pada pemuaian alkohol

pada sensor suhu suatu ruangan dapat digunakan sebagai peringatan tanda bahaya

(alarm kebakaran).

(17)

Salah satu cara yang digunakan untuk mengukur besar pemuaian suatu benda

adalah dengan menggunakan interferometer Michelson. Interferometer Michelson

dapat mengukur perubahan panjang suatu benda yang memuai berdasarkan pola-pola

interferensi, dengan ketelitian yang tinggi. Pengukuran suhu suatu objek dengan

menggunakan parameter memiliki beberapa kelemahan, misalnya termometer

diletakkan pada permukaan logam, maka yang teramati tidak hanya suhu logam tetapi

juga akibat pengaruh suhu luar, sehingga ada panas yang terbuang atau tidak terukur

dan menyebabkan suhu logam tidak teramati dengan tepat.

Pada kesempatan ini, peneliti ingin menggunakan metode yang lain yaitu

dengan metode interferensi cincin Newton. Metode Cincin Newton yaitu didasarkan

pada perubahan pola-pola interferensi. Dengan menganalisis hasil perubahan pola ini,

akan diperoleh koefisien muai panjang benda yang diukur .

1.2. Perumusan Masalah

Karena masalah yang diteliti adalah pengaruh perubahan suhu terhadap

perubahan panjang dengan menggunakan metode interferensi Cincin Newton, maka

yang menjadi perumusan masalah dalam permasalahan penelitian ini adalah

1. Bagaimana menampilkan pola interferensi maka diperoleh nilai koefisien

muai panjang besi menggunakan metode interferensi Cincin Newton?

2. Bagaimana hubungan antara perubahan panjang logam dengan perubahan

(18)

3

3. Bagaimana menentukan koefisien muai panjang dari data perubahan panjang

yang dihasilkan?

1.3. Batasan Masalah

Pada penelitian ini permasalahan dibatasi pada pengaruh perubahan suhu terhadap

perubahan panjang sebuah logam. Perubahan panjang ini diperoleh dari perubahan

pola-pola interferensi Cincin Newton. Dengan mengukur perubahan pola, dapat

ditentukan perubahan panjang logam. Koefisien muai panjang logam dapat diketahui

dengan menganalisa grafik hubungan antara perubahan panjang logam dengan

perubahan suhu.

1.4.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah

1. Menampilkan pola interferensi maka diperoleh koefisien muai panjang logam

dengan metode interferensi Cincin Newton.

2. Mengetahui hubungan antara perubahan panjang dengan perubahan pola-pola

terang atau gelap pada interferensi Cincin Newton.

3. Menentukan koefisien muai panjang besi, dengan menganalisis perubahan

(19)

1.5.Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah

1. Menambah wawasan peneliti mengenai cara menentukan koefisien muai

panjang suatu logam besi dengan metode interferensi Cincin Newton

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk bidang ilmu

(20)

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Hukum Pembiasan Dan Pemantulan

Ketika gelombang dari tipe apapun mengenai sebuah penghalang misalnya

sebuah cermin, gelombang-gelombang baru dibangkitkan dan bergerak menjahui

penghalang tersebut. Fenomena ini disebut pemantulan. Ketika sebuah berkas cahaya

mengenai bidang batas yang memisahkan dua medium yang berbeda, seperti

misalnya bidang batas udara-kaca, energi cahaya tersebut sebagian dipantulkan dan

sebagian yang lain memasuki medium kedua, perubahan arah dari sinar yang

ditransmisikan tersebut disebut pembiasan (Tipler, 2001).

Jalannya cahaya pada pemantulan dan pembiasan diperlihatkan pada Gambar 2.1

θ1θ2

θ3

N

n1

n2

Bidang batas

Gambar 2.1 Pemantulan dan pembiasan cahaya

(21)

Pada Gambar 2.1, N adalah garis normal, n1 indeks bias medium 1,

2

n indeks medium 2, θ1 sudut datang cahaya, θ2 sudut pantul cahaya, dan θ3 sudut

bias cahaya.

Pada peristiwa pemantulan dan pembiasan suatu cahaya dari medium 1 dengan indeks

bias n1 ke medium 2 dengan indeks bias n2berlaku:

1. Cahaya yang dipantulkan dan yang dibiaskan terletak pada satu bidang yang

dibentuk oleh cahaya datang dan normal bidang batas di titik datang, seperti

terlihat pada Gambar 2.1

2. Untuk pemantulan, sudut datang (θ1) sama besar dengan sudut pantul (θ2) atau

2 1 θ

θ = (2.1)

3. Untuk pembiasan, Perbandingan antara sinus sudut datang (θ1) dengan sinus

sudut bias (θ3) merupakan nilai yang konstan atau

21 3 1

sin sin

n = θ θ

(2.2)

Sudut bias bergantung pada laju cahaya pada kedua media dan bergantung pada sudut

datang. Hubungan analitis antara (θ1) dan (θ3) ditemukan secara eksperimental pada

sekitar tahun 1621 oleh Willebrord Snell yang kemudian dikenal sebagai hukum

Snelli (Giancoli, 2001);

3 2 1

1sinθ n sinθ

n = (2.3)

(22)

7

2.2 Prinsip Huygens

Teori Huygens menjelaskan bahwa “semua titik pada muka gelombang

dapat dipandang sebagai sumber titik yang menghasilkan gelombang sferis (bola)

sekunder (spherical secondary wavelet). Muka gelombang adalah suatu permukaan

yang merupakan tempat kedudukan titik-titik medium dengan fase yang sama yang

dicapai oleh gerakan gelombang pada waktu yang sama (Alonso dan Finn, 1992).

Setelah selang waktu t, posisi muka gelombang yang baru adalah permukaan

selubung yang menyinggung semua gelombang sekunder ini” (Halliday dan Resnick,

1984). Secara skematis, Prinsip Huygens diperlihatkan pada Gambar 2.2

ct

Muka gelombang pada t = 0

Posisi baru muka gelombang

(23)

2.2.1. Prinsip Huygens Dan Hukum Pemantulan

Pada Gambar 2.3 sebuah gelombang Huygens dengan θ1adalah sudut

datang yang berpusat di titik a akan mengembang sampai pada titik l setelah selang

c

λ

. Dimana segitiga siku-siku alp dan a’lp keduanya memiliki sisi lp yang berhimpit

dan sisi al (=λ) sama dengan sisi a’p. Jadi keduanya segitiga siku-siku tersebut sama

dan sebangun dan dapat disimpulkan bahwa θ2 adalah sudut pantul antara muka

gelombang dan cermin sama dengan sudut datang, berarti

2 1 θ

θ =

2.2.2. Prinsip Huygens Dan Hukum Pembiasan

c

λ

a’ a

p l

2

θ

1

θ

Gambar 2.3 Pemantulan gelombang datar oleh cermin datar udara

cermin Gelombang

(24)

9

Pada gambar 2.4 muka gelombang dihubungkan satu dengan yang lainnya

menurut penggambaran Huygens, selang waktu ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =

1 1 v λ

ketika gelombang Huygens

dari titik e bergerak sampai pada titik c. Cahaya dari titik h, menjalar dalam kaca

dengan laju yang lebih kecil. Jarak yang ditempuhnya dalam selang waktu tersebut

akan lebih pendek, yaitu:

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ =

1 2 1 2

v v

λ

λ

dengan λ1 panjang gelombang di medium 1 (udara), λ2 panjang gelombang di

medium 2 (kaca), ν1 kecepatan cahaya di medium 1 (udara), ν2 kecapatan cahaya di

medium 2 (kaca).

Gelombang yang dibiaskan harus menyinggung lengkungan berjari-jari λ2 berpusat

pada titik h. Oleh karena c terletak pada muka gelombang yang baru, maka bidang

singgung tadi harus melalui titik ini. Sudut antara sinar yang dibiaskan dengan Gelombang

datang

v2

udara

kaca 1

θ

3 θ

λ2

λ1

c h

e

e’ θ3 1

θ

v1

(25)

normal bidang batas yaitu θ3, sama dengan sudut antara muka-gelombang yang

dibiaskan dengan perbatasan kaca-udara ini, dengan kata lain θ3 adalah sudut bias.

Panjang gelombang di udara λ1, maka diperoleh:

ta kons v

v

tan sin

sin

2 1

2 1

3

1 = = =

λ λ θ θ

Dengan θ1 adalah sudut antara gelombang datang terhadap garis normal atau sudut

antara muka gelombang datang dengan perbatasan kaca-udara. Hukum pembiasan,

dinyatakan dalam persamaan:

21 3 1

sin sin

n =

θ θ

(2.4)

Dimana n21 dinyatakan sebagai perbandingan antara laju cahaya dalam kedua

medium tersebut, yaitu:

2 1 21

v v

n = (2.5)

Dengan demikian hukum pembiasan dapat dituliskan sebagai

3 2 1

1sin θ n sinθ

n = (2.6)

1

n indeks bias pada medium 1, n2 indeks bias pada medium 2, θ1 sudut datang dan

3

(26)

11

2.3. Lintasan Optis

Panjang lintasan optis didefinisikan sebagai panjang lintasan gelombang

cahaya di dalam hampa atau vakum jika gelombang tersebut merambat dalam suatu

medium, maka panjang lintasan adalah hasil perkalian antara indeks bias dengan

panjang lintasan dalam zat antara tersebut. Lintasan optis melewati suatu medium

tampak pada gambar 2.5

Jika suatu gelombang cahaya melewati udara dengan indeks bias n1=1, kemudian

masuk ke medium lain dengan indeks bias n2>1, maka panjang lintasan optis

( )

plo

adalah plo=

sn

( )

s ds

0 (2.7)

Jika n yang tidak bergantung pada s, maka

s n

plo= (2.8)

Gambar 2.5 Lintasan optis cahaya melewati suatu medium

s 2 v

1 n

1 v

(27)

2.3.1. Prinsip Fermat Untuk Pembiasan Dan Pemantulan Cahaya

Menurut Piere Fermat “ lintasan optis yang dilalui oleh cahaya untuk

merambat dari satu titik ke titik lain adalah sedemikian rupa sehingga waktu

perjalanannya minimum (Tipler, 2001). Jika digambarkan suatu cahaya yang

bergerak dari udara ke suatu medium dengan lintasan optis lo akan tampak seperti

Gambar 2.6,

Pada gambar 2.6 panjang total lo sinar adalah lo =AC+CB, maka besar

masing-masing nilai AC dan CB dapat diperoleh dengan menggunakan rumus Phytagoras

AC= a2+x2 dan BC= b2+

(

dx

)

2

Sesuai dengan prinsip fermat lintasan optis (lo) adalah lintasan terpendek, oleh sebab

itu

[ ]

=0. dx

lo d

Dengan demikian

1

θ θ2

2

θ

1

θ

x d-x

d

1 n

2 n

bidang batas A

B

C

Gambar 2.6 Cahaya dari A tiba di B setelah di pantulkan di C a

(28)

13

[ ]

(

)

(

)

[

(

)

]

[

(

)

]

(

)

[

(

)

]

2 1 2 1 2 1 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 sin sin sin sin 0 0 2 2 1 2 2 1 0 θ θ θ θ = − = − + − − + = − − − + + + = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + + = − − x d b x d x a x x d x d b x x a x d b x a dx d dx lo d (2.9)

Pada gambar 2.7 panjang total lo sinar adalah lo=DF+FE. Karena cahaya tersebut

bergerak dari medium 1 ke medium 2 maka lintasan optis totalnya menjadi

, 2 1DF n EF

n

lo= + maka besar masing-masing nilai DF dan FE dapat diperoleh

dengan menggunakan rumus Phytagoras

DF= n1 a2+x2 dan 2

(

)

2 2 b d x

n

FE= + −

1

θ

1

θ

3 θ θ 3

D F E bidang batas 1 n 2 n

x d-x

d a

b

(29)

lo lintasan paling pendek bila

[ ]

=0, dx

lo d

maka didapatkan hubungan sebagai berikut

[ ]

(

)

(

)

[

(

)

]

[

(

)

]

(

)

[

(

)

]

3 2 1 1 3 2 1 1 2 1 2 2 2 2 1 2 2 1 2 1 2 2 2 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 1 sin sin sin sin 0 0 2 2 1 2 2 1 0 n n n n n x d b x d n x a x n x d x d b n x x a n x d b n x a n dx d dx lo d = − = − + − − + = − − − + + + = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + + = − − θ θ θ (2.10)

2.3.2. Perubahan Lintasan Optis Akibat Pemantulan

Jika gelombang datang sinusoidal, yaitu y=ymsin

(

kx−ωt

)

, maka persamaan

gelombang pantul dapat ditentukan dengan menganggap gelombang pada dinding

pemantul analog dengan tali yang diikat pada tonggak (ujung tetap dan ujung bebas)

1. Analogi dengan ujung tetap bila gelombang datang dari medium yang lebih

renggang ke medium rapat. Berarti simpangan di x = 0 harus selalu sama

dengan nol. Agar simpangan pada x = 0 selalu sama dengan nol, diperlukan

(30)

15

Jadi persamaan gelombang pantul adalah:

(

)

(

0

)

2

180 sin

sin

− + −

=

+ − − −

=

t kx y

t kx y

y

m m

ω ϕ ω

.

ym amplitudo gelombang, ωkecepatan sudut, k bilangan gelombang dan t waktu

yang ditempuh.

Jadi untuk gelombang sinus pembalikan fase pada gelombang pantul, dan dapat

dinyatakan sebagai tambahan sudut fase sebesar 180 atau beda fase 0

2 1

= ∆ϕ

pada fase gelombang pantul ini berarti bahwa panjang jarak yang ditempuh

seolah-olah bertambah λ 2 1

. Hasil superposisi gelombang datang dan

gelombang pantul oleh ujung terikat adalah gelombang stasioner x = 0

gelombang datang

Gelombang pantul khayal

(

kx t

)

y

y1= msin −ω

(

kx t

)

y

y2=− msin − −ω

(31)

(

)

(

)

{

}

(

)

(

)

{

}

t kx y y t kx t kx y y t kx t kx y y y y y m m m ω ω ω ω ω cos sin 2 sin sin 180 sin sin 0 2 1 = + + − = + − − + − = + = (2.11)

Dalam hal ini berlaku kalau pemantulan cahaya terjadi dari zat optik dari

medium rapat ke medium renggang, maka tidak terjadi loncatan fase atau fase

tetap (pemantulan pada ujung bebas), sedangkan kalau pemantulan terjadi dari

medium renggang ke medium rapat fasenya berubah 2 1

atau terjadi loncatan

fase 1800 (pemantulan pada ujung tetap).

2. Analogi dengan pemantulan pada ujung tetap, pemantulan pada ujung bebas

terjadi bila gelombang datang dari medium yang lebih rapat. Analogi ini

tampak pada gambar 2.9

gelombang datang

(

kx t

)

y

y1= msin −ω

Gambar 2.9 Bentuk pulsa gelombang pada ujung bebas

Gelombang pantul khayal

(

kx t

)

y

(32)

17

Jika gelombang datang dinyatakan oleh y1=ymsin

(

kx−ωt

)

maka gelombang

pantul oleh ujung bebas diberikan oleh y2=+ ymsin

(

kx−ωt

)

, maka hasil

superposisi kedua gelombang ini adalah:

(

)

(

)

t kx y

y

t kx t

kx y

y

y y y

m m

ω

ω ω

sin cos 2

} sin

sin {

2 1

=

+ −

− =

+ =

(2.12)

Dalam hal ini berlaku kalau pemantulan cahaya terjadi dari zat optik dari

medium rapat ke medium renggang, maka tidak terjadi loncatan fase atau fase

tetap (pemantulan pada ujung bebas)

2.4. Interferensi Cahaya

Interferensi adalah penggabungan secara superposisi dua gelombang atau

lebih yang bertemu pada satu titik di ruang (Tipler, 2001). Seperti halnya cahaya pada

gelombang bunyi dimana interferensi bunyi menghasilkan gejala penguatan dan

pelemahan bunyi, maka di dalam interferensi cahaya dihasilkan gejala terang dan

gelap.

Dapat diungkapkan bahwa hasil perpaduan (resultan) dari kedua gelombang

mempunyai amplitudo resultan yang bergantung pada selisih fase kedua gelombang

tersebut. Dalam hal ini akan mengakibatkan terjadinya superposisi (hasil

penjumlahan) yang saling memperlemah ataupun memperkuat, kata lain bisa terjadi

interferensi destruktif atau konstruktif. Interferensi destruktif akan terjadi bila dua

(33)

konstruktif akan dihasilkan jika dua gelombang mempunyai frekuensi yang sama,

datang dengan fase yang sama.

Kita ketahui bahwa persamaan gelombang pada celah adalah:

t A A

Y= cosφ= cosω

dengan A amplitudo gelombang, ωkecepatan sudut dan t waktu yang ditempuh.

Jika sinar yang datang dari celah S1 pada waktu sampai pada titik P mempunyai sudut

fase φ1=kr1−ωt, dan sinar dari S2 mempunyai sudut fase

t r k kr t r r k ω ω φ − ∆ + = − ∆ + = 1 1

2 ( )

maka gelombang cahaya dari celah S1 dapat ditulis sebagai berikut:

) ( cos cos 1 1 1 t kr A A Y ω φ − = = (2.13)

dan untuk S2 dapat ditulis:

∆r θ

θ

S1 S2 1 r 2 r P d R
(34)

19

(

)

(

φ ϕ

)

ω φ + = − ∆ + = = 1 2 1 2 2 cos cos cos A Y t r k kr A A Y (2.14)

dengan k r 2 (∆r) λ

π ∆

ϕ= = (2.15)

ϕ merupakan beda sudut fase kedua gelombang yang sampai di titik P karena ada

perbedaan lintasan optis (∆r) yaitu panjang lintasan gelombang cahaya didalam

vakum atau hampa apabila gelombang tersebut berjalan pada suatu medium. Hasil

superposisi kedua gelombang ini dapat dinyatakan dengan fungsi gelombang Y1dan

Y2pada titik P:

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + = + = + = 2 cos 2 cos 2 cos cos 1 2 1 2 1 φ φ φ φ φ A A A Y Y YR

dengan φ1=kr1−ωt

maka ⎟⎟

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = 2 cos 2 cos

2A ϕ kr1 ωt ϕ

YR (2.16)

atau = ⎜⎝⎛ − + ⎟⎠⎞

2 cos

)

kr1 ωt ϕ A

YR R

amplitudo resultan dapat ditulis sebagai:

) 2 ( cos 2 )

A ϕ

AR = (2.17)

Hasil dari interferensi yang teramati adalah intensitas gelombang cahayanya.

(35)

maka yang diperolah adalah intensitas rata-ratanya. Kuadrat Intensitas rata-rata dari

gelombang resultan itu berbanding lurus dengan kuadrat amplitudo resultan.

Besarnya intensitas tersebut dituliskan sebagai berikut:

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ 2 cos 4 ~ 2 cos 2 ~ ~ 2 2 2 2 ϕ ϕ A I A I A I R

Jika dibandingkan antara intensitas gelombang resultan dengan intensitas gelombang

datangnya, maka: ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = 2 cos 4 2 cos 4 2 2 2 2 ϕ ϕ A A I I o

Intensitas akan bernilai maksimum untuk 1 2

cos2φ= sehingga

π π π ϕ ϕ m ,..., 2 , , 0 2 1 2 cos = ± = (2.18)

dengan m = 0, 1, 2,….

jika persamaan (2.18) dimasukkan ke dalam persamaan (2.15), maka diperoleh nilai

r

∆ adalah:

λ

m r =

∆ (2.19)

(36)

21

(

)

2 1

2 π

ϕ= m+ (2.20)

dengan m = 0, 1, 2,……

jika persamaan (2.20) dimasukkan ke dalam persamaan (2.15) maka diperoleh nilai

r

∆ sebagai berikut:

(

)

2 1 2 + λ

=

r m (2.21)

Jika selisih lintasan ∆r dan panjang gelombang cahaya λ, maka persamaan (2.19) dan

(2.21) menjadi:

λ

r= m terjadi interferensi terang (2.22)

λ

∆ )

2 1 ( +

= m

r terjadi interferensi gelap (2.23)

Gejala-gejala interferensi dapat ditunjukkan dengan percobaan fresnel, percobaan

young, gejala interferensi cahaya pada selaput tipis, gejala cincin newton dan

sebagainya.

2.5. Interferensi Cahaya Pada Selaput Tipis

Bila cahaya yang dipantulkan dari gelembung-gelembung sabun atau dari

lapisan tipis minyak yang mengambang diatas air, peristiwa ini dihasilkan oleh efek

interferensi antara dua rentetan gelombang cahaya yang dipantulkan pada permukaan

(37)

1972). Secara skematis interferensi pada selaput tipis dapat ditunjukkan pada Gambar

2.11

Sinar monokhromatik O dari media dengan indeks bias n1 menembus

selapis tipis zat bening yang plan-pararel dengan tebal = d, dengan indeks bias n2.

Sinar yang datang dari A sebagian dipantulkan menuju titik E dan sebagian lagi

dibiaskan menuju titik B, pada titik B sinar sebagian dibiaskan dan sebagian lagi

dipantulkan oleh media dengan indeks bias n3 menuju titik C, pada titik C sinar

sebagian dipantulkan dan sebagian dibiaskan menuju titik F. Karena sinar yang

berinteferensi ini ada yang merambat di udara dan ada yang melalui zat bening,

sedang panjang gelombang sinar di udara dan zat bening berlainan, maka hasil

interferensinya pada titik G tidak hanya ditentukan selisih jarak yang ditempuh (∆r) d

1 θ θ2

3 θ θ3 O

A

B C D

E

F G

H

1 n

2 n

Gambar 2.11 Interferensi oleh pemantulan pada selaput tipis 3

(38)

23

seperti halnya jika sinar-sinar yang berinterferensi hanya melintasi udara saja, tetapi

dalam hal ini ditentukan oleh apa yang disebut selisih lintasan optik yang ditempuh.

Lintasan optis pada Gambar 2.11 adalah

1 2 1 2 1 1 ) ( ) ( ) ( ) ( n FG CF n BC AB n OA r n EG AE OA r + + + + = + + = (2.24)

Beda lintasan optik ∆rantara r1dan r2 adalah

1 2 r r r= −

∆ , (2.25)

jika persamaan (2.24) kedalam persamaan (2.25), maka beda lintasan optik adalah

{

}

{

}

2 1 2 1 1 1 2 1 1 2 1 ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( n BC AB n AE CF n BC AB n EG AE FG CF n EG AE n FG CF n BC AB n EG AE OA n FG CF n BC AB n OA r + + − = + + − − + = + − + + + = + + − + + + + = ∆ (2.26)

karena CF=DE, maka CF−AE= −AD sehingga

2 1 (AB BC)n n

AD

r=− + + ∆ 3 3 cos 2 2 cos θ θ d AB BC AB maka d AB mengingat = = + = (2.27)

Sehingga 2

3 1

cos

2 d n

n AD r θ + − = ∆

Nilai AD dapat dihitung dengan meninjau ∆ACD, yaitu

3 2dtgθ AC=

(39)

Dari hukum pemantulan n1sinθ1 =n2sinθ3, maka persamaan (2.28) dapat

dituliskan menjadi

2 3 3sin 2dtg n

AD=− θ θ (2.29)

Dari persamaan (2.26), (2.27) dan (2.29), diperoleh beda lintasan optis. Jika

2 3 1,n n

n < , maka beda lintasan optisnya adalah:

(

)

λ θ θ ∆ λ θ θ ∆ λ θ θ θ θ ∆ λ θ θ θ ∆ 2 1 ) sin 1 ( cos 2 2 1 1 sin cos 2 2 1 cos 2 sin cos sin 2 2 1 cos 2 sin 2 3 2 3 2 3 2 3 2 2 3 2 3 3 3 2 3 2 3 3 + − = + + − = + + − = + + − = n d r n d r n d n d r n d n tg d r (2.30)

Dengan menggunakan identitas trigonometri cos2θ=1−sin2θ, maka persamaan

(2.30) menjadi λ θ ∆ λ θ θ ∆ 2 1 cos 2 2 1 cos cos 2 3 2 3 2 3 2 + = + = n d r n d r

Cahaya jatuh normal cosθ=1, maka terjadi interferensi terang (maksimum)

λ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + = 2 1 2n2d m

dan interferensi gelap (minimum)

λ

(40)

25

2.6. Cincin Newton

Cincin Newton adalah hasil dari interferensi antara gelombang, satu

dipantulkan dari pelat gelas bidang dan lainnya dipantulkan dari dasar permukaan

lensa. Interferensi terjadi antara sinar pantul oleh permukaan cembung dan sinar

pantul oleh keping gelas maka jika dilihat dari arah sinar pantul akan tampak cincin

terang dan gelap sesuai dengan tebal film atau d seperti yang terlihat pada gambar

2.12

dengan R jari-jari kelengkungan lensa, r jari-jari cincin, d tebal film, n1 indeks bias

lensa, n2 indeks bias udara atau selaput tipis dan n3 indeks bias keping gelas.

Hasil interferensi pada percoaan Cincin Newton terlihat pada Gambar 2.13 lensa

Keping gelas udara

cahaya datang

d r

R E

C D

B A

Gambar 2.12 Alat untuk mengamati cincin newton 3

n

2 n 1
(41)

Hubungan antara jari-jari kelengkungan lensa (R), jari-jari cincin (r) dan tebal film

(d) pada Gambar (2.12) adalah:

2 2

r R EC= −

dan

(

)

2 2

r d R R

ED= = − +

sehingga 2 2 2 2 2 2 2 2 ) ( r d Rd R R r d R R + + − = + − =

atau r2=2dRd2 (2.31a)

Karena d2 <<R2 maka r2 ≈2Rd sehingga tebal film dianggap sebagai

R r d

2 2

= (2.31b)

Karena n1,n3 <n2, maka beda lintasan optic adalah

λ λ λ ∆ 2 1 2 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2

2+ = + = +

= R r n R r n n d

r (2.32)

(42)

27

λ λ m R

r n

= +

2 1 2 2

sehingga r mR ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − =

2 1

λ (2.33)

untuk n2 = 1 (udara), dengan λ panjang gelombang, r jari-jari cincin terang, m

bilangan nomor cincin (1, 2, 3, 4, …), dan R jari-jari kelengkungan lensa

Untuk cincin Newton gelap yang ke-m diperoleh

R m

r= λ (2.34)

Pada pusat pola (r = 0) terjadi gelap (m = 0). Pada tempat tersebut jarak antara lensa

cembung datar dengan permukaan logam d = 0

Jika jarak antara permukaan lensa cembung datar dan keping gelas adalah do seperti

gambar (2.14), maka didapatkan tebal film d+d0. Agar terjadi cincin gelap maka

beda lintasan optis

0

d

r

0

d d±

Gambar 2.14 Cincin newton dengan tebal film tertentu 1

n

3

n

(43)

(

)

λ ⎟⎠λ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + = + + = ∆ 2 1 2 1

2n2 d d0 m r

atau 2

(

d+d0

)

m (2.35)

Pada pusat pola: d = 0, sehingga 2d0m

Agar pada pusat pola terjadi terang maka ⎟λ

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + = 2 1 2d0 m

Pola gelap orde m=1 pada posisi d0=d1 dan pada posisi d0 =d2untuk orde

2 = m adalah sehingga 2 2 2 1 2 2 1 λ λ λ = ∆ = = d d d

Jadi

(

)

2 2

2 ) (

2 2 1

1 2 0 λ λ λ = − = ∆ = − =

(44)

29

2.7. PEMUAIAN

Telah kita ketahui bahwa jika suatu benda berubah suhunya maka benda

tersebut akan mengalami perubahan fisis atau kimia. Perubahan fisis yang terjadi

adalah pemuaian atau penyusutan. Pemuain adalah perubahan sifat fisis dari benda

akibat panas atau dalam hal ini akibat perubahan temperatur (Naga, 1991).

Ada beberapa jenis pemuaian yang dialami suatu benda yang mengalami perubahan

suhu, yaitu:

1. Pememuaian zat padat, yang terdiri dari

a. Pemuaian panjang

b. Pemuaian luas atau bidang

c. Pemuaian volume atau ruang

2. pemuaian zat cair

3. pemuaian gas

jika suatu benda memuai pada satu dimensi, maka pemuaiannya dinamakan pemuaian

panjang. Pemuaian dua dimensi dinamakan pemuaian luas atau pemuaian permukaan.

Sedangkan pada tiga dimensi dinamakan sebagai pemuaian ruang.

Pada teori molekul atau atom, suatu benda dianggap terdiri dari molekul atau

atom yang saling tarik-menarik, maka pemuaian suatu benda adalah perbesaran jarak

antar molekul atau atom zat tersebut. Pada kasus pemuaian suatu benda, massa suatu

benda adalah tetap, tetapi yang bertambah adalah volume yang ditempati oleh

(45)

2.7.1. Pemuaian Panjang

Jika benda berbentuk kawat atau batang diberikan suatu kalor maka batang

tersebut akan mengalami perubahan panjang sebagai akibat kenaikan suhu (Gambar

2.15).

Pada Gambar 2.15 dapat dilihat bahwa mula-mula logam dengan suhu awal T0

memiliki panjang L0. Setelah dipanaskan logam akan mengalami perubahan suhu

sebesar ∆T dan mengalami perubahan panjang ∆L. Setelah mengalami perubahan

suhu maka panjang logam menjadi L. Secara matematis pemuaian panjang dapat

dituliskan sebagai:

0

L L L= −

∆ (2.37)

Pemuaian panjang suatu logam ternyata berbanding lurus dengan panjang mula-mula,

dan berbanding lurus dengan kenaikan suhu ∆T, maka faktor ketidak-sebandingan

serta lainnya dapat dinyatakan dengan suatu faktor α. Secara matematis konsep

pemuaian dapat ditulis

T L

L= ∆

∆ α 0 (2.38)

L

Gambar 2.15 Pemuaian panjang pada suatu logam L

(46)

31

Faktor α dinamakan koefisien muai panjang yang dapat didefinisikan sebagai

perubahan fraksional panjang dibagi perubahan suhu (Sears dan Zemansky, 1982)

yang dapat dituliskan sebagai.

T L

L ∆ ∆ =

0

α (2.39)

Nilai koefisien muai panjang tidaklah konstan tapi bergantung pada jenis zat.

Dengan memakai konsep perubahan ∆L sebagai hasil dari panjang setelah dipanasi, L

di kurangkan dengan panjang mula-mula L0 maka persamaan (2.38) dapat dituliskan

) 1

( 0

0 0

0

T L

L

T L L L

T L L

∆ + =

∆ =

∆ =

α α α

(2.40)

dengan L panjang setelah dipanaskan , L0 panjang mula-mula, α koefisen muai

panjang dan ∆T perubahan suhu.

2.7.2. Pemuaian Luas

Bila kita memandang pemuaian pada dua dimensi, maka kita memperoleh

pemuaian luas. Pertambahan luas pada suatu bidang yang mengalami perubahan suhu

berbanding lurus dengan luas mula-mula (S0), berbanding lurus dengan perubahan

suhu (∆T) dan berbanding lurus dengan koefisien muai luas (β). Secara matematis

dapat dituliskan sebagai:

T S

S= ∆

(47)

jika terdapat suatu benda dengan luas permukaan S, maka kita dapat mendefisikan

koefisien muai luas sebagai:

T S S ∆ ∆ = 0

β (2.42)

koefisien muai luas β bergantung pada zat dan suhu. Pada saat T = 00, luas

permukaan adalah S0, maka diperoleh hubungan:

) 1 ( 0 0 0 0 0 0 T S S T S S S T S S S T S S ∆ + = ∆ + = ∆ = − ∆ = ∆ β β β β (2.43)

dengan S luas bidang setelah dipanaskan, S0 luas mula-mula, β koefisen muai luas

dan ∆T perubahan suhu.

2.7.2.1. Hubungan antara koefisien muai luas dan koefisien muai panjang

Menurut ilmu ukur ukur, luas dapat disubstitusikan dengan luas berbentuk

empat persegi. Jika luas empat persegi panjang dinyatakan dengan S dengan sisi a

dan b, sehingga

b a

St = (2.44)

pada T = 00, panjang sisi-sisinya adalah a0 dan b0, maka luasnya diperoleh:

0 0 0 a b

S =

Sehingga hubungan antara koefisien muai panjang dengan koefisien muai luas

(48)

33

(

)

[

2

]

0 2 0 0 0 0 2 1 ) 1 ( ) 1 ( ) 1 ( T T S S T b a T b x T a S t t ∆ + ∆ + = ∆ + = ∆ + ∆ + = α α α α α

karena α∆T << 1, sehingga:

St=S0(1+2α∆T)

Jadi St=S0(1+β∆T) (2.45)

Maka didapatlah hubungan antara koefisien muai panjang dengan koefisien muai

luas:

α

β=2 (2.46)

2.7.3. Pemuaian Volume atau Kubik

Pemuaian dalam tiga dimensi adalah pemuaian kubik atau volum, pemuaian

volume pada suatu benda yang mengalami perubahan suhu berbanding lurus dengan

volume mula-mula (V0), berbanding lurus dengan perubahan suhu (T), berbanding

lurus dengan koefisien muai volum (γ). Secara matematis dapat dinyatakan dengan:

V=V0γ ∆T (2.47)

Jika terdapat bangun ruang dengan volume V, maka koefisien volumenya adalah:

T V V ∆ ∆ = 0

(49)

Koefisien muai volume tergantung pada jenis zat dan suhu juga. Jika terdapat suatu

benda dengan ruang dipanaskan, maka terjadi perubahan volume pada benda tersebut

sebesar: T V V V T V V ∆ = − ∆ = ∆ γ γ 0 0 0

atau )V=V0(1+γ ∆T (2.49)

dengan V volume benda setelah dipanaskan, V0 volume benda mula-mula, γ

koefisen muai volume danT perubahan suhu.

2.7.3.1. Hubungan antara koefisien muai kubik dan koefisien muai panjang

Jika suatu volume dengan sisi-sisinya a, b dan c, maka volumenya adalah

c b a Vt=

jika suhu T = 00 sisi-sisinya menjadi a0,b0,c0, maka volumenya menjadi

0 0 0 0 a b c

V =

sehingga hubungan antara koefisien muai panjang dan koefisien muai volume adalah:

(

) (

)

[

2 3

]

0 3 0 0 0 0 0 0 3 1 ) 1 ( ) 1 ( ) 1 ( ) 1 ( T T T V V T c b a V T c x T b x T a V t t t ∆ + ∆ + ∆ + = ∆ + = ∆ + ∆ + ∆ + = α α α α α α α

karena α∆T << 1, maka suku dengan pangkat dua dan tiga dapat diabaikan. Dengan

demikian persamaan untuk volume benda yang mengalami pemuaian dapat

(50)

35

Vt=V0(1+3α∆T) (2.50)

substitusi persamaan (2.47) ke persamaan (2.50) menghasilkan

) 1

(

0 T

V

Vt= +γ ∆

atau Vt=V0(1+3α∆T) (2.51)

Dari persamaan (2.51) diperoleh hubungan antara koefisien muai panjang dan

koefisien muai volume sebagai berikut

α

γ =3 (2.52)

(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. TEMPAT DAN JENIS PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan diruang Laboratorium Fisika Fakultas MIPA

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Jenis penelitian adalah eksperimen.

3.2. ALAT DAN BAHAN YANG DIPERGUNAKAN

Untuk memperoleh data pada penelitian ini, alat-alat dan bahan yang

dipergunakan adalah:

1. Lampu Natrium

Pada penelitian ini lampu natrium yang digunakan sebagai sumber cahaya yang

memiliki panjang gelombang 5890 Angstrom. kelebihan memiliki sifat

monokhromatis, arah sorot yang baik, kerapatan energi yang tinggi dan sifat koheren.

1) Termometer

Termometer yang digunakan adalah termometer air raksa dengan satuan Celcius.

Digunakan untuk mengukur perubahan suhu yang terjadi pada logam yang dipanasi.

2) Lensa cembung datar

Lensa yang digunakan adalah lensa cembung datar. Digunakan untuk interferensi

yang terjadi pada permukaan cembung lensa dan sinar pantul oleh sebuah logam yang

dipanasi, maka jika dilihat dari arah sinar pantul akan tampak cincin terang dan gelap

sesuai dengan tebal film (d) atau jarak logam dari lensa.

(52)

37

3) Dua buah lensa

a) Lensa cembung disebut juga lensa konvergen atau lensa positif karena lensa

ini membelokkan berkas-berkas cahaya sehingga mengumpul ke satu titik.

b) Lensa cekung disebut juga lensa divergen atau lensa negatif karena lensa ini

membelokkan berkas-berkas cahaya yang sejajar sehingga saling menjauh.

4) Logam pejal

Logam yang digunakan adalah logam besi pejal dengan panjang 3,55 cm dan

diameter 7,10 cm

5) Pemanas logam

Untuk memanasi logam dengan cara logam besi diletakkan di atas pemanas. Supaya

logam besi mengalami perubahan suhu atau panas sehingga dapat memuai.

6) Cermin datar

Cermin datar digunakan untuk memantulkan sinar dari sumber cahaya lampu natrium

menuju lensa cembung datar.

7) Senter

Senter membantu pencahayaan untuk melihat suhu ditermometer pada saat percobaan

(53)

3.3. PROSEDUR PERCOBAAN

1) Dibawah ini digambarkan susunan peralatan yang digunakan:

Keteranagan gambar:

S = sumber cahaya (lampu natrium)

C = cermin datar

L = lensa datar cembung

I = lensa cembung

II = lensa cekung

T = termometer

B = logam (besi)

(54)

39

Sistem optis dari penelitian ini terdiri dari:

1. satu lensa cembung

2. satu lensa cekung

Pada gambar 3.2 cahaya yang datang berupa cahaya monokromatik yang berasal dari

sumber cahaya menuju sistem lensa I yaitu lensa cembung, cahaya yang datang ini

oleh lensa cembung I difokuskan pada titik fokusnya kemudian diteruskan ke lensa II

yaitu lensa cekung dan dihasilkan bentuk cahaya lampu natrium yang lebih fokus ke

cermin pantul dan dipantulkan menuju lensa datar cembung. Dari permukaan

cembung lensa melewati selaput tipis antara lensa dan logam besi kemudian

dipantulkan oleh logam besi kembali ke lensa, maka jika dilihat dari arah sinar pantul

akan terbentuk cincin terang dan gelap sesuai dengan tebal film (d) atau jarak logam

dari lensa. Dari perubahan pola-pola interferensi dan perubahan suhu maka selisih

lintasan optis antara lensa datar cembung dan logam besi dapat diketahui.

2) Langkah-langkah penelitian

a) Menampilkan pola-pola interferensi

II I

(55)

• Meletakkan besi diatas pemanas

• Meletakkan lensa datar cembung diatas logam besi

• Mengaktifkan sumber cahaya (lampu natrium)

• Menempati cermin pantul supaya cahaya dipantulkan menuju lensa

datar cembung

• Menampilkan pola-pola interferensi

b) Menayiapkan tabel data.

Perubahan sushu (0C) Perubahan pola interferensi

c) Memanaskan alat pemanas sehingga mengahasilkan panas yang akan

dialirkan ke logam besi.

d) Setelah logam mengalami perubahan suhu, kemudian mencatat setiap

perubahan suhu dan perubahan pola interferensi dan memasukkannya

(56)

41

3.4. ANALISIS DATA

Setelah memperoleh data yang diperlukan, langkah yang harus dilakukan

adalah:

1. Menghitung perubahan panjang tiap perubahan pola interferensi dengan dari

persamaan (2.36)

λ λ

m l

m d

= ∆

= ∆

2 2 0

Dimana perubahan panjang logam besi yang mengalami pemuaian sama

dengan jarak antara lensa cembung datar dengan logam besi, sehingga

L

∆ = panjang lintasan optis x λ/2 = ∆d0

  Sehingga koefisien muai panjang logam besi dari persamaan (2.39)

T x L

L

∆ ∆ =

0

α  

 

2. Membuat dan menganalisis grafik hubungan antara perubahan panjang logam

dengan perubahan suhu yang dihasilkan sehingga dapat diketahui koefisien

(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Data Hasil Penelitian

Dalam penelitian ini dipaparkan 5 data hasil percobaan sebagai berikut:

Tabel 4.1 Tabel perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T

(0C)

T (0C) ∆T (0C) pola Panjang lintasan optis (λ) ∆L (m) α(/°C)

28 - T - - -

31 3 G 1/2 1,473 x10-7 1,383 x10-6

34,5 6,5 T 1 2,945 x10-7 1,276 x10-6

36 8 G 3/2 4,418 x10-7 1,555 x10-6

38,5 10,5 T 2 5,890 x10-7 1,580 x10-6

40 12 G 5/2 7,363 x10-7 1,728 x10-6

42 14 T 3 8,835 x10-7 1,778 x10-6

44 16 G 7/2 1,031 x10-6 1,815 x10-6

46 18 T 4 1,178 x10-6 1,844 x10-6

49,5 21,5 G 9/2 1,325 x10-6 1,736 x10-6

52 24 T 5 1,473 x10-6 1,728 x10-6

54 26 G 11/2 1,620 x10-6 1,755 x10-6

57 29 T 6 1,767 x10-6 1,716 x10-6

60 32 G 13/2 1,914 x10-6 1,685 x10-6

62 34 T 7 2,062 x10-6 1,708 x10-6

64 36 G 15/2 2,209 x10-6 1,728 x10-6

67 39 T 8 2,356 x10-6 1,702 x10-6

69 41 G 17/2 2,503 x10-6 1,720 x10-6

71,5 43,5 T 9 2,651 x10-6 1,716 x10-6

74 46 G 19/2 2,798 x10-6 1,713 x10-6

76 48 T 10 2,945 x10-6 1,728 x10-6

78 50 G 21/2 3,092 x10-6 1,742 x10-6

(58)

43

Dari Tabel 4.1 koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan

(2.39) adalah (1,76 ± 0,03).10-6 (/°C).

Jika data dari Tabel 4.1 digambarkan, yaitu ∆L sebagai fungsi ∆T, maka hasilnya

terlihat pada Gambar 4.1

∆L = 6E-08∆T - 2E-08

0.000E+00 5.000E-07 1.000E-06 1.500E-06 2.000E-06 2.500E-06 3.000E-06 3.500E-06

0 10 20 30 40 50 60

∆L (m)

∆T (°C)

Gambar 4.1. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap

perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 28 0C

Dari grafik pada gambar 4.1, ∆L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan ∆T

adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan persamaan ∆L =

6 x 10-8∆T − 2 x 10-8. Nilai 6 x 10-8 merupakan nilai koefisien muai panjang logam

besi kali panjang mula-mula, sehingga diperoleh nilai koefisien muai panjangnya

(59)

Tabel 4.2 Tabel perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T

(0C)

T (0C) ∆T (0C) pola Panjang lintasan optis (λ) ∆L (m) α(/°C)

28 - T - - -

31 3 G 1/2 1,473 x10-7 1,383 x10-6

34 6 T 1 2,945 x10-7 1,383 x10-6

37 9 G 3/2 4,418 x10-7 1,383 x10-6

39 11 T 2 5,890 x10-7 1,508 x10-6

41 13 G 5/2 7,363 x10-7 1,595 x10-6

43 15 T 3 8,835 x10-7 1,659 x10-6

45 17 G 7/2 1,031 x10-6 1,708 x10-6

47 19 T 4 1,178 x10-6 1,746 x10-6

49 21 G 9/2 1,325 x10-6 1,778 x10-6

52,5 24.5 T 5 1,473 x10-6 1,693 x10-6 54,5 26.5 G 11/2 1,620 x10-6 1,722 x10-6 56,5 28.5 T 6 1,767 x10-6 1,746 x10-6

59 31 G 13/2 1,914 x10-6 1,739 x10-6

62 34 T 7 2,062 x10-6 1,708 x10-6

64 36 G 15/2 2,209 x10-6 1,728 x10-6

66,5 38.5 T 8 2,356 x10-6 1,724 x10-6 68,5 40.5 G 17/2 2,503 x10-6 1,741 x10-6

71 43 T 9 2,651 x10-6 1,736 x10-6

73 45 G 19/2 2,798 x10-6 1,751 x10-6

76 48 T 10 2,945 x10-6 1,728 x10-6

79 51 G 21/2 3,092 x10-6 1,708 x10-6

Dari Tabel 4.2 koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan

(60)

45

Jika data dari Tabel 4.2 digambarkan, yaitu ∆L sebagai fungsi ∆T, maka hasilnya

terlihat pada Gambar 4.2

∆L= 6E-08 ∆T - 6E-08

0.000E+00 5.000E-07 1.000E-06 1.500E-06 2.000E-06 2.500E-06 3.000E-06 3.500E-06

0 10 20 30 40 50 60

∆L (m)

∆T (°C)

Gambar 4.2. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap

perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 28 0C

Dari Grafik pada Gambar 4.2, ∆L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan

T

∆ adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan

persamaan∆L = 6 x 10-8∆T − 6 x 10-8. Nilai 6 x 10-8 merupakan nilai koefisien muai

panjang logam besi kali panjang mula-mula, sehingga diperoleh nilai koefisien muai

(61)

Tabel 4.3 Tabel perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T

(0C)

T (0C) ∆T (0C) pola Panjang lintasan optis (λ) ∆L (m) α(/°C)

29 - T - - -

31.5 3.5 G 1/2 1,473 x10-7 1.185 x10-6

33 5 T 1 2,945 x10-7 1,659 x10-6

35 7 G 3/2 4,418 x10-7 1,778 x10-6

37 9 T 2 5,890 x10-7 1,844 x10-6

40 12 G 5/2 7,363 x10-7 1,728 x10-6

42 14 T 3 8,835 x10-7 1,778 x10-6

44.5 16.5 G 7/2 1,031 x10-6 1,760 x10-6

46 18 T 4 1,178 x10-6 1,844 x10-6

49 21 G 9/2 1,325 x10-6 1,778 x10-6

52 24 T 5 1,473 x10-6 1,728 x10-6

54.5 26.5 G 11/2 1,620 x10-6 1,722 x10-6

56 28 T 6 1,767 x10-6 1,778 x10-6

59 31 G 13/2 1,914 x10-6 1,739 x10-6

62 34 T 7 2,062 x10-6 1,708 x10-6

64 36 G 15/2 2,209 x10-6 1,728 x10-6

66 38 T 8 2,356 x10-6 1,746 x10-6

69 41 G 17/2 2,503 x10-6 1,720 x10-6

71 43 T 9 2,651 x10-6 1,736 x10-6

74 46 G 19/2 2,798 x10-6 1,713 x10-6

77 49 T 10 2,945 x10-6 1,693 x10-6

Dari tabel 4.3 koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan

(62)

47

Jika data dari Tabel 4.3 digambarkan, yaitu ∆L sebagai fungsi ∆T, maka hasilnya

terlihat pada Gambar 4.3

y = 6E-08x + 2E-08

0.000E+00 5.000E-07 1.000E-06 1.500E-06 2.000E-06 2.500E-06 3.000E-06 3.500E-06

0 10 20 30 40 50 60

∆L (m)

∆T (°C)

Gambar 4.3. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap

perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 29 0C

Dari grafik pada gambar 4.3, ∆L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan ∆T

adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan persamaan∆L = 6

x 10-8∆T + 2 10-8. Nilai 6 x 10-8 merupakan nilai koefisien muai panjang logam besi

kali panjang mula-mula, sehingga diperoleh niali koefisien muai panjangnya adalah

(63)

Tabel 4.4 Tabel perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T

(0C)

T (0C) ∆T (0C) pola Panjang lintasan optis (λ) ∆L (m) α(/°C)

29 - T - - -

31 3 G 1/2 1,473 x10-7 1,383 x10-6

34 6 T 1 2,945 x10-7 1,383 x10-6

37 9 G 3/2 4,418 x10-7 1,383 x10-6

39 11 T 2 5,890 x10-7 1,508 x10-6

42 14 G 5/2 7,363 x10-7 1,481 x10-6

44.5 16.5 T 3 8,835 x10-7 1,508 x10-6

46.5 18.5 G 7/2 1,031 x10-6 1,569 x10-6

48 20 T 4 1,178 x10-6 1,659 x10-6

51 23 G 9/2 1,325 x10-6 1,623 x10-6

53 25 T 5 1,473 x10-6 1,659 x10-6

56 28 G 11/2 1,620 x10-6 1,630 x10-6

59 31 T 6 1,767 x10-6 1,606 x10-6

61 33 G 13/2 1,914 x10-6 1,634 x10-6

63 35 T 7 2,062 x10-6 1,659 x10-6

65 37 G 15/2 2,209 x10-6 1,682 x10-6

67 39 T 8 2,356 x10-6 1,702 x10-6

70 42 G 17/2 2,503 x10-6 1,679 x10-6

73 45 T 9 2,651 x10-6 1,659 x10-6

75 47 G 19/2 2,798 x10-6 1,677 x10-6

77 49 T 10 2,945 x10-6 1,693 x10-6

Dari Tabel 4.4 koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan

(64)

49

Jika data dari Tabel 4.4 digambarkan, yaitu ∆L sebagai fungsi ∆T, maka hasilnya

terlihat pada Gambar 4.4

y = 6.15E-08x - 8.97E-08

0.000E+00 5.000E-07 1.000E-06 1.500E-06 2.000E-06 2.500E-06 3.000E-06 3.500E-06

0 10 20 30 40 50 60

∆L (m)

∆T (°C)

Gambar 4.4. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap

perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 29 0C

Dari grafik pada gambar 4.4, ∆L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan ∆T

adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan persamaan∆L =

6,15 x 10-8∆T − 8,97 x 10-8. Nilai 6,15 x 10-8 merupakan nilai koefisien muai

panjang logam besi kali panjang mula-mula, sehingga nilai koefisien muai

(65)

Tabel 4.5 Tabel perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap perubahan suhu ∆T

(0C)

T (0C) ∆T (0C) pola Panjang lintasan optis (λ) ∆L (m) α(/°C)

29 - T - - -

31 3 G 1/2 1,473 x10-7 1,383 x10-6

34 6 T 1 2,945 x10-7 1,383 x10-6

37 9 G 3/2 4,418 x10-7 1,383 x10-6

40 12 T 2 5,890 x10-7 1,383 x10-6

43 15 G 5/2 7,363 x10-7 1,383 x10-6

44.5 16.5 T 3 8,835 x10-7 1,508 x10-6 46.5 18.5 G 7/2 1,031 x10-6 1,569 x10-6

48 20 T 4 1,178 x10-6 1,659 x10-6

51 23 G 9/2 1,325 x10-6 1,623 x10-6

53 25 T 5 1,473 x10-6 1,659 x10-6

55 27 G 11/2 1,620 x10-6 1,690 x10-6

57 29 T 6 1,767 x10-6 1,716 x10-6

60 32 G 13/2 1,914 x10-6 1,685 x10-6

63 35 T 7 2,062 x10-6 1,659 x10-6

66 38 G 15/2 2,209 x10-6 1,637 x10-6

69 41 T 8 2,356 x10-6 1,619 x10-6

71 43 G 17/2 2,503 x10-6 1,640 x10-6

73 45 T 9 2,651 x10-6 1,659 x10-6

75.5 47.5 G 19/2 2,798 x10-6 1,659 x10-6

77 49 T 10 2,945 x10-6 1,693 x10-6

Dari Tabel 4.5 koefisien muai panjang logam besi dengan menggunakan persamaan

(66)

51

Jika data dari Tabel 4.5 digambarkan, yaitu ∆L sebagai fungsi ∆T, maka hasilnya

terlihat pada Gambar 4.5

y = 6E-08x - 9E-08

0.000E+00 5.000E-07 1.000E-06 1.500E-06 2.000E-06 2.500E-06 3.000E-06 3.500E-06

0 10 20 30 40 50 60

∆T (°C)

∆L(m)

Gambar 4.5. Grafik hubungan antara perubahan panjang logam besi ∆L (m) terhadap

perubahan suhu ∆T (0C) untuk suhu awal 29 0C

Dari grafik pada gambar 4.5, ∆L adalah nilai perubahan panjang logam besi dan ∆T

adalah perubahan suhu, diperoleh grafik berupa garis lurus dengan persamaan∆L = 6

x 10-8∆T − 9 x 10-8. Nilai 6 x 10-8 merupakan nilai koefisien muai panjang logam

besi kali panjang mula-mula, sehingga diperoleh nilai koefisien muai panjangnya

(67)

4.2. PEMBAHASAN

Pertambahan Panjang logam besi setelah dipanaskan diikuti oleh perubahan

pola interferensi karena jarak antara logam besi dengan lensa cembung datar semakin

kecil. Sehingga dengan adanya perubahan pola interferensi (dapat dilihat pada tabel

dari 4.1 sampai 4.5) dapat ditunjukkan bahwa pada setiap perubahan atau kenaikan

suhu pada logam besi akan mengalami perubahan panjang. Pada gambar 4.1 samapi

4.5 dapat ditunjukkan grafik hubungan perubahan panjang logam besi dengan

perubahan suhu berupa garis lurus. Untuk gambar 4.1 diperoleh persamaan garis ∆L

= 6 x 10-8∆T − 2 x 10-8; sedangkan pada gambar 4.2 persamaan garis yang diperoleh

persamaan ∆L = 6 x 10-8∆T − 6 x 10-8; pada gambar 4.3 persamaan garis yang

Gambar

Gambar 2.1 Pemantulan dan pembiasan cahaya
Gambar 2.2  Perambatan gelombang datar dalam ruang bebas
Gambar 2.3  Pemantulan gelombang datar oleh cermin datar
Gambar 2.4  Pembiasan gelombang datar pada kaca
+7

Referensi

Dokumen terkait

Deskripsi umum KKNI sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2012 yang minimum wajib dimiliki dan dihayati oleh setiap lulusan kursus dan pelatihan adalah: Sesuai dengan

Termasuk famili Nonionidae dengan test cenderung involute, bagian tepi membulat, umumnya dijumpai umbilical yang dalam, komposisi gampingan berpori, aperture melengkung pada

Giat bhabinkamtibmas Polsek Raman Utara Bripka Subasis sambang ke Minimarket Indo Mart di Desa Kota Raman sampaikan pesan kamtibmas untuk waspada hari libur malam

Berdasarkan hal tersebut (Gambar 1) baik pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen memiliki skor rata-rata information processing yang lebih tinggi bila

Berdasarkan penelelitian yang di lakukan oleh Simarmata (2016) yang berjudul pengaruh citra merek dan daya tarik iklan terhadap keputusan pembelian smartphone Vivo

B Di Taman Kanak-Kanak Permata Hati M agelang yang bisa dikembangkan berdasarkan pendapat narasumber adalah Guru harus lebih banyak belajar mengenai pendidikan Bela Negara

Pada dasarnya urusan Pekerjaan Umum dengan tolok ukur dukungan infrastruktur berupa sarana dan prasaran fasilitas jalan/jembatan serta jaringan irigasi turut

[r]