• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI

CUTI MENJELANG BEBAS

(Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Oleh: ANDRIANA NIM : C.100.050.053

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang tinggi, tidak bisa

dipungkiri lagi bahwa masyarakat Indonesia menjadi suatu masyarakat yang

fundamental. Artinya setiap perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh

masyarakat Indonesia senantiasa dibatasi oleh norma yang berlaku dalam

masyarakat. Norma secara sederhana diartikan sebagai peraturan khusus dari

perilaku manusia yang diakui oleh umat manusia.1

Sementara itu, Robert M. Z. Lawang mengartikan norma ialah sebagai

patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma yang hidup dalam

masyarakat lazim disebut sebagai norma sosial, norma sosial tersebut dapat

kita golongkan menjadi tiga golongan yaitu folkways (tata cara yang lazim

dikerjakan atau diikuti oleh rakyat kebanyakan), mores (larangan keras atau

sebagai hal yang dianggap tabu), dan hukum.2

1

Siti Irene Astuti, Nur Djazifah, S. Wisni Septiarti, dan Murtamadji. 1983. Ilmu Sosial Dasa r. Yogyakarta: UPT MKU-Universitas Negeri Yogyakarta. Hal. 53.

2

(3)

Kedudukan hukum dalam masyarakat sangatlah penting, karena pada

dasarnya fungsi umum hukum menurut Sudarto, ialah mengatur

kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.3

Dalam sistem hukum Indonesia kita mengenal apa yang namanya hukum

pidana, yakni bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu

negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai

ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar

larangan tersebut, menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang

telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancamkan serta menentukan dengan cara bagaimana

pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka

telah melanggar larangan tersebut.4

Hukum pidana Indonesia, berpegang pada Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

serta peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur secara khusus.

Sementara itu, dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

dikenal dua macam pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Dimana

salah satu pidana pokoknya adalah pidana penjara.

Menurut P. A. F. Lamintang, Pidana penjara adalah suatu pidana berupa

pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan

3

Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2005. Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hal. 24.

4

(4)

dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan,

dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua paraturan tata tertib yang

berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu

tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.5

Sementara itu, orang yang menjalani pidana penjara disebut sebagai

narapidana.

Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan diberikan penjelasan mengenai narapidana, sebagai berikut:

“Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di

Lembaga Pemasyarakatan”.

Sejalan dengan itu, yang dimaksud dengan narapidana adalah seseorang

manusia anggota masyarakat yng dipisahkan dari induknya dan selama waktu

tertentu itu diproses dalam lingkungan tempat tertentu dengan tujuan, metode,

dan sistem pemasyarakatan.6

Sistem pemasyarakatan, sebagai dasar perlakuan terhadap warga binaan

pemasyarakatan dituangkan di dalam sepuluh prinsip pemasyarakatan,

sedangkan yang berkaitan dengan reintegrasi sosial terdapat dalam lima

prinsip dari sepuluh prinsip pemasyarakatan antara lain:7

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan

peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna;

5

Dwidja Priyatno. 2006. Sistem Pelaksanaan Pida na Penjara Di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama. Hal. 71.

6

Bambang Poernomo. 1986. Pelaksanaan Pida na Penjara Dengan Sistem Pemasya rakatan. Yogyakarta: Liberty. Hal. 180.

7

(5)

2. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat;

3. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak

didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari

masyarakat;

4. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak

boleh bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan

pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara

sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan

pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan

produksi;

5. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak

didik harus berdasarkan Pancasila.

Perlulah diingat bawasannya penjatuhan pidana bukan semata-mata

sebagai pembalasan dendam, yang paling penting adalah pemberian

bimbingan dan pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan

kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota

masyarakat yang baik. Demikianlah konsepsi baru fungsi pemidanaan yang

bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitasi

dan reintegrasi sosial. Konsepsi itu di Indonesia disebut pemasyarakatan.8

Integrasi sosial sangat penting untuk dilakukan dalam upaya pembinaan

terhadap warga binaan pemasyarakatan. Integrasi sosial merupakan proses

pembimbingan warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi

8

(6)

persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah

masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan BAPAS.9

Balai Pemasyarakatan (BAPAS) sebagai ujung tombak pemasyarakatan

merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas, karena Balai

Pemasyarakatan berperan pada saat proses integrasi sosial dilaksanakan yaitu

bagaimana Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dapat menuntun, menghantar

dan mengarahkan narapidana kembali kepada lingkungan masyarakatnya

secara baik dan sehat.

Pembimbingan yang mengarah pada tujuan di atas salah satunya adalah

pembimbingan klien pemasyarakatan yang mendapatkan hak cuti. Ketentuan

cuti tersebut terdapat dalam Pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28

Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun

1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan. Selengkapnya berbunyi: “Setiap narapidana dan anak didik

pemasyarakatan berhak mendapatkan cuti”.

Sebagai konsekuensi atas perlindungan terhadap tindakan pembimbingan

tersebut, dalam Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang

Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,

dinyatakan bahwa pembimbingan dan pengawasan selama cuti menjelang

bebas, terhadap narapidana, anak pidana, dan anak negara dilaksanakan oleh

petugas BAPAS.

9

(7)

Balai Pemasyarakatan (BAPAS) adalah salah satu unit pelaksana teknis di

bidang pembinaan luar lembaga pemasyarakatan. Balai Pemasyarakatan ini

antara lain bertugas memberikan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan

anak.

Begitu pentingnya peranan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam

pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan yang sedang menjalani cuti

menjelang bebas maka penulis tertarik untuk menelitinya dan menyusunnya

dalam skripsi dengan judul: “PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN

KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI

MENJELANG BEBAS (Studi di BAPAS Surakarta)”.

B. Pembatasan Masalah

Agar penulisan skripsi ini mengarah pada pembahasan yang diharapkan

dan berfokus pada pokok permasalahan yang ditentukan, tidak terjadi

pengertian yang kabur karena ruang lingkupnya yang terlalu luas, maka perlu

adanya pembatasan masalah.

Penelitian ini akan dibatasi pada peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS)

dalam pembimbingan klien pemasyarakatan yaitu narapidana yang menjalani

cuti menjelang bebas, serta kendala Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam

melaksanakan pembimbingan klien pemasyarakatan yaitu narapidana tersebut

(8)

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka peneliti

dapat merumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam

pembimbingan klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang

bebas?

2. Apakah kendala yang dihadapi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dalam

melaksanakan pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan yang

menjalani cuti menjelang bebas?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka peneliti menentukan tujuan

penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam

pembimbingan klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang

bebas.

2. Untuk mengetahui kendala yang dialami Pembimbing Kemasyarakatan

(PK) dalam melaksanakan pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan

yang menjalani cuti menjelang bebas.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan akan dapat memberikan manfaat,

(9)

1. Manfaat Objektif

Manfaat objektif dari penelitian ini adalah dengan diketahuinya peran

BAPAS dalam pembimbingan klien pemasyarakatan yang menjalani cuti

menjelang bebas, serta kendala yang dihadapi Pembimbing

Kemasyarakatan dalam melaksanakan pembimbingan terhadap klien

pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas akan dapat

memberikan sumbangsih pengetahuan bagi ilmu hukum pada umumnya

dan bagi pembimbingan klien pemasyarakatan pada khususnya termasuk

dalam upaya pemenuhan hak klien pemasyarakatan untuk mendapatkan

hak menjalani cuti menjelang bebas serta bagi BAPAS dalam

melaksanakan pembimbingan.

2. Manfaat Subjektif

Manfaat subjektif dari penelitian ini adalah sebagai tambahan pengetahuan

dan wawasan bagi penulis mengenai hukum pidana, serta untuk

memenuhi syarat guna mencapai derajat sarjana pada Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Surakarta.

F. Kerangka Teori

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, beradab dan menjunjung

tinggi nilai-nilai keadilan dan hukum. Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskan bahwa “Negara

(10)

atas hukum, negara berkewajiban untuk menegakkan keadilan dan mencegah

terjadinya tindak pidana atau kejahatan di masyarakat.

Antisipasi atas kejahatan yang terjadi dapat dilakukan dengan

memfungsikan instrumen hukum (pidana) secara selektif melalui penegakkan

hukum (law enforcement). Melalui instrumen hukum, diupayakan perilaku

yang melanggar hukum ditanggulangi secara preventif maupun represif.

Mengajukan ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana

bagi seseorang yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan

tindakan yang represif.

Penjatuhan pidana semata-mata bukan tujuan dari pemidanaan, karena

pada dasarnya tujuan pemidanaan dapat dibagi menjadi dua kelompok teori

yaitu: 10

a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergelding theorieen),

menurut teori ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak

boleh tidak, tanpa tawar menawar. Pembalasan oleh banyak orang

dikemukakan sebagai alasan untuk memidana suatu kejahatan.

b. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen), pidana

bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan

kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi

mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.

Dalam perkembangan pemidanaan, kemudian muncul teori pemidanaan

yang ketiga yang disebut sebagai teori gabungan (verenigings theorieen),

10

(11)

sekalipun teori ini tetap memegang pembalasan sebagai asas dari pidana dan

bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil,

namun teori ini berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh

antara lain perbaikan suatu yang rusak dalam masyarakat.11

Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam

dan penjeraan yang disertai dengan lembaga rumah penjara secara

berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan

konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari

kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan

kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri,

keluarga, dan lingkungannya.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan

bagi narapidana dan anak didik pemasyarakatan telah berubah secara

mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan.

Begitu pula institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah

pendidikan negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan

Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J. H. G. 8/506

Tanggal 17 Juni 1964.

Konsep pemasyarakatan tersebut kemudian disempurnakan oleh

Keputusan Konferensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan yang memutuskan

bahwa pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilakukan dengan sistem

11

(12)

pemasyarakatan, suatu pernyataan di samping sebagai arah tujuan, pidana

penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan membina.

Sambutan Menteri Kehakiman RI dalam Pembukaan Rapat Kerja Terbatas

Direktorat Jendral Bina Tuna Warga Tahun 1976 menandaskan kembali

prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan sistem pemasyarakatan yang

sudah dirumuskan dalam konferensi lembaga tahun 1964 yang terdiri dari

sepuluh rumusan, prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan itu ialah:12

1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup

sebagi warga yang baik dan berguna dalam masyarakat;

2. Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara;

3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan

membimbing;

4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau

lebih jahat dari pada sebelum ia masuk lembaga;

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus

dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari

masyarakat;

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat

mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga

atau negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditunjukkan untuk

pembangunan negara;

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila;

12

(13)

8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia

meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana

bahwa ia penjahat;

9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan;

10.Sarana fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu

hambatan pelaksanaan system pemasyarakatan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan

dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai peraturan yang

lebih khusus mengatur mengenai pembimbingan narapidana memberikan

pengertian mengenai pembimbingan dalam Pasal 1 angka 2 sebagai berikut:

Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Ma ha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.

Sementara itu, yang dimaksud dengan klien pemasyarakatan adalah

seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS.13 Dalam Pasal 35 Peraturan

Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan

Warga Binaan Pemasyarakatan disebutkan bahwa:

Klien yang dibimbing oleh BAPAS terdiri dari: a. Terpidana bersyarat;

b. Narapidana, anak pidana, anak negara yang mendapat pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas;

c. Anak negara yang berdasarkan putusa n pengadilan pembinaannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;

d. Anak negara yang berdasarkan keputusan menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jendral Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;

13

(14)

e. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya;

f. Anak yang berdasarkan putusan pengadilan, dijatuhi pidana pengawasan; dan

g. Anak yang berdasarkan putusan pengadilan, wajib menjalani latihan kerja sebagai pengganti pidana denda.

Pembimbingan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dilakukan terhadap

klien pemasyarakatan yang salah satunya mendapatkan hak cuti menjelang

bebas. Cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan narapidana dan anak

pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani 2/3 (dua pertiga)

masa pidana, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan berkelakuan baik.14

Dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan

Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang

Bebas, Dan Cuti Bersyarat dijelaskan bahwa, cuti menjelang bebas diberikan

bertujuan:

a. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana dan anak didik pemasyarakatan kearah pencapaian tujuan pembinaan;

b. Memberi kesempatan bagi narapidana dan anak didik

pemasyarakatan untuk pendidikan dan ketrampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri ditengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana;

c. Mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan.

G. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian agar terlaksana dengan maksimal maka

peneliti mempergunakan beberapa metode sebagai berikut:

14

(15)

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

empiris. Pendekatan ini mengkaji konsep normatif/yuridis program

pembimbingan klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

pelaksanaannya oleh Balai Pemasyarakatan, khususnya oleh Balai

Pemasyarakatan Surakarta di Balai Pemasyarakatan Surakarta dan di

masyarakat.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah diskriptif, yaitu untuk memberikan

gambaran mengenai pembimbingan klien pemasyarakatan yang menjalani

cuti menjelang bebas baik secara yuridis maupun empirisnya oleh Balai

Pemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Surakarta dan di masyarakat.15

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Balai Pemasyarakatan (BAPAS)

Surakarta dan di tempat tinggal klien pemasyarakatan yang menjalani cuti

menjelang bebas.

4. Jenis Data

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data sebagai

berikut:

15

(16)

a. Data Primer

Data primer diperoleh penulis di Balai Pemasyarakatan Surakarta dan

di tempat tinggal klien pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang

bebas. Data primer di Balai Pemasyarakatan diperoleh dari petugas

Pembimbing Kemasyarakatan yang melaksanakan pembimbingan cuti

menjelang bebas. Sementara itu, data primer dari tempat tinggal klien

pemasyarakatan diperoleh dari klien pemasyarakatan yang menjalani

cuti menjelang bebas.

b. Data Sekunder

Data sekunder berupa bahan-bahan pustaka yang terdiri dari:

1) Bahan hukum primer, yang meliputi:

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan;

d. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat

Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan;

e. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang

(17)

tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

Pemasyarakatan;

f. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang

Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan

Cuti Bersyarat.

g. Peraturan Perundang-undangan lainnya, khususnya yang terkait

dengan pemasyarakatan.

2) Bahan hukum sekunder, yang meliputi literatur-literatur yang

terkait dengan pembimbingan narapidana sehingga menunjang

penelitian yang dilakukan.

5. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dimaksud di atas digunakan teknik sebagai

berikut:

a. Studi kepustakaan

Merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data

tertulis. Studi kepustakaan ini dilakukan dengan cara mencari,

mencatat, mengiventarisasi, menganalisis, dan mempelajari data-data

yang berupa bahan-bahan pustaka yang sesuai dengan dasar

(18)

b. Studi lapangan

Merupakan penelitian yang dilakukan secara langsung terhadap objek

yang diteliti dalam rangka memperoleh data primer dengan cara

wawancara. Wawancara ini dilakukan dengan cara mengadakan tanya

jawab secara langsung baik lisan maupun tertulis dengan informan

yaitu klien pemasyarakatan yang sedang menjalani cuti menjelang

bebas dan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang melakukan

pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan yang menjalani cuti

menjelang bebas.

6. Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul kemudian dianalisis menggunakan metode analisis

kualitatif. Metode analisis kualitatif yaitu menganalisis data yang

diperoleh dari penelitian yang bersifat uraian, teori-teori, serta pendapat

dari para sarjana untuk mendapatkan kesimpulan secara yuridis.16

H. Sistematika Skripsi

Penulisan skripsi ini terdiri atas empat bab yang disusun secara sistematis,

di mana antara bab saling berkaitan sehingga merupakan suatu rangkaian yang

berkesinambungan, adapun sistematika dalam penulisan ini adalah sebagai

berikut :

(19)

Bab I adalah pendahuluan yang berisikan gambaran singkat mengenai

keseluruhan isi skripsi yang terdiri dari: latar belakang, pembatasan masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II adalah tinjauan pustaka yang berisikan uraian dasar teori dari skripi

ini yang meliputi: tinjauan umum tentang pidana dan pemidanaan, tinjauan

umum tentang pemasyarakatan, dan tinjauan umum tentang pembimbingan

klien pemasyarakatan.

Bab III adalah hasil penelitian dan pembahasan dimana penulis akan

menguraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang peran Balai

Pemasyarakatan (BAPAS) dalam pembimbingan klien pemasyarakatan yang

menjalani cuti menjelang bebas, serta kendala yang dihadapi Pembimbing

Kemasyarakatan (PK) dalam melakukan pembimbingan terhadap klien

pemasyarakatan yang menjalani cuti menjelang bebas.

Bab IV adalah kesimpulan dan saran, dimana berisi kesimpulan dari uraian

(20)

Referensi

Dokumen terkait

dengan sampel yang digunakan sebanyak 92 orang. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diperoleh bahwa pemanfaatan bahan pustaka perpustakaan SMAN 1 Bandung secara

Ucapan terimakasih selanjutnya disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan Nasional dalam Kabinet Indonesia Bersatu 2009-2014 dilanjutkan Menteri

Sedangkan menurut CWC (2000) dinyatakan bahwa laminasi adalah cara yang efektif dalam penggunaan kayu berkekuatan tinggi dengan dimensi terbatas menjadi

Graf prikazuje kretanje pokazatelja efikasnosti svakog resursa (fizičkog i financijskog kapitala, ljudskog kapitala i strukturnog kapitala) u stvaranju dodane vrijednosti od

Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tokoh pendiri Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah ialah Sang Ratu Sanjaya Rakai Mataram dan Sri Maharaja

Jika suatu kumparan dihubungkan dengan sumber arus DC, maka dalam rangkaian tertutup kumparan tersebut dapat berprilaku seperti magnet batang, yang sifatnya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara motivasi dengan pemanfaatan pusat informasi dan konseling kesehatan reproduksi remaja (PIK-KRR) di SMA

Saklar tunggal S1 (b) berfungsi untuk menyalakan coil pada kontaktor A1 dan A2 dimana rangkaian diamankan oleh pengaman fuse (F2) dan disuplai oleh fasa S.. Saklar tunggal S3