TESIS
KADAR HORMON TIROID ANAK PENDERITA SINDROM NEFROTIK SENSITIF STEROID DAN SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
DAME LAMTIUR SITOMPUL 107103020 / IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2016
KADAR HORMON TIROID ANAK PENDERITA SINDROM NEFROTIK SENSITIF STEROID DAN SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik (Anak) dalam Program Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Kesehatan Anak-Spesialis pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
DAME LAMTIUR SITOMPUL 107103020 / IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK-SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2016
PERNYATAAN
KADAR HORMON TIROID ANAK PENDERITA SINDROM NEFROTIK SENSITIF STEROID DAN SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID SERTA FAKTOR-
FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, September 2016
Dame Lamtiur Sitompul
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kehadirat TUHAN YME yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan.
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Pembimbing utama dr. H. Hakimi, Sp.A(K) dan Dr.dr. Oke Rina Ramayani, Sp.A(K), yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.
2. Prof. dr. H. Munar Lubis, Sp.A(K), selaku Kepala bagian Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU dan dr. Hj. Melda Deliana, M.Ked(Ped) Sp.A(K), sebagai ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anak FK USU serta dr.Beby Syofiani Hasibuan, M.Ked(Ped), Sp.A selaku Sekretaris
Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anak FK USU yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.
3. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, serta Rektor Universitas Sumatera Utara sebelumnya: Prof. Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), SpA(K) dan Prof. dr. H. Chairuddin P Lubis,DTM&H, Sp.A(K) dan Dekan FK-USU Dr.dr. Aldy S. Rambe, SpS(K) serta Dekan FK-USU sebelumnya Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD- KGEH, FInaSIM yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program pendidikan Dokter Spesialis Anak di FK-USU.
4. dr. Muhammad Ali, Sp.A(K), dr. Yazid Dimyati, M.Ked(Ped), Sp.A(K), Dr.
dr. Dharma Lindarto, Sp.PD-KEMD, yang telah menguji, memberikan koreksi, saran dan perbaikan pada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
5. dr. Melda Deliana, M.Ked(Ped), Sp.A(K), dr. Siska Mayasari Lubis, M.Ked(Ped), Sp.A(K) selaku Pengajar dari divisi Endokrinologi yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.
6. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.
7. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.
Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orang tua saya Bonggal Sibange-bange dan Esti Pasaribu atas pengertian serta dukungan yang sangat besar, terima kasih karena selalu mendo’akan saya. Jasa-jasa nya tidak akan pernah saya lupakan yang telah membimbing dan membesarkan saya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada mertua saya dan yang telah banyak membantu saya selama ini dan selalu memberikan dorongan selama mengikuti pendidikan ini. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat imbalan dari TUHAN YME. Terima kasih saya sampaikan kepada suami tercinta Jonson Maruli Pardosi, SE dan anak tersayang Albert Nathanael Pardosi atas segala kesabaran dan dukungan yang diberikan selama ini, semoga apa yang saya peroleh dapat bermanfaat untuk keluarga. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada abang saya Patria WP Sibange-bange, kakak saya Julinda R Sitompul, adek saya Anggiat H Sibange-bange yang telah membantu saya selama ini.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Medan, September 2016
Dame Lamtiur Sitompul
DAFTAR ISI
Lembaran Persetujuan Pembimbing ii
Lembar Pernyataan iii
Ucapan Terima Kasih v
Daftar Isi viii
Daftar Tabel x
Daftar Gambar xi
Daftar Singkatan xii
Daftar Lambang xiii
Abstrak xiv
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 3
1.3. Hipotesis 3
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum 4
1.4.2. Tujuan Khusus 4
1.5. Manfaat Penelitian 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hormon Tiroid 5
2.2. Regulasi Hormon Tiroid 6
2.3. Cara kerja hormon tiroid di dalam tubuh 7 2.4. Hipotiroidisme sebagai salah satu bentuk 8
gangguan fungsi tiroid
2.5. Sindrom Nefrotik 10
2.6. Hubungan kadar hormon tiroid dan sindrom nefrotik 15
2.7. Kerangka Konseptual 21
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1. Desain 21
3.2. Tempat dan Waktu 21
3.3. Populasi dan Sampel 21
3.4. Perkiraan Besar Sampel 23
3.5. Metode pengumpulan data 22
3.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 23
3.5.1. Kriteria Inklusi 23
3.5.2. Kriteria Eksklusi 23
3.7. Persetujuan / Informed Consent 23
3.8. Etika Penelitian 23
3.9. Cara Kerja 24
3.10. Alur Penelitian 26
3.11. Identifikasi Variabel 26
3.12. Definisi Operasional 27
3.13. Pengolahan dan Analisis Data 29
BAB 4. HASIL PENELITIAN 30
BAB 5. PEMBAHASAN 34
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 39
6.1 Kesimpulan 39
6.2 Saran 39
Ringkasan 40
Summary 41
Daftar Pustaka 42
Lampiran
1. Personil Penelitian 45
2. Jadwal Penelitian 46
3. Biaya Penelitian 46
4. Penjelasan dan Persetujuan Kepada Orang Tua 47
5. Data Pribadi Subjek Penelitian 48
DAFTAR TABEL
1. Tabel 3.1 Nilai hormon tiroid normal pada anak 27 2. Tabel 4.1 Karakteristik demografi subjek penelitian 31 3. Tabel 4.2 Perbedaan data laboratorium antara pasien 32
SNSS dan SNRS
4. Tabel 4.3 Faktor risiko yang mempengaruh kejadian 32 hipotiroid subklinis pada anak penderita
SNSS dan SNRS
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2.1 Anatomi kelenjar tiroid 5
2. Gambar 2.2 Sintesis hormon tiroid 7 3. Gambar 2.6 Efek penyakit ginjal kronik pada axis hipotalamus 17 4. Gambar 2.7 Kerangka konseptual 20
5. Gambar 3.9 Alur penelitian 26
6. Gambar 4.1 Grafik scatterplot korelasi albumin dan TSH SNSS 33 7. Gambar 4.2 Grafik scatterplot korelasi albumin dan TSH SNRS 33
DAFTAR SINGKATAN SN : Sindrom Nefrotik
SNSS : Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid SNRS : Sindrom Nefrotik Resisten Steroid T3 : 3,5,3’,5’-l-tetraidpthyronine
T4 : 3,5,3’-l-tetraidpthyronine TSH : Thyroid Stimulating Hormone TRH : Thyrotropin Releasing Hormone WHO : World Health Organization TBPA : thyroxine-binding prealbumin TBG : thyroxine-binding globulin rT3 : reverse T3
IGF-1 : insulin-like growth factor-1 RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat RB4 : Rawat Inap Terpadu B4
SPSS : Statistical Package for Social Science SB : Standar Baku
FK : Fakultas Kedokteran
USU : Universitas Sumatera Utara dr : dokter
M.Ked (Ped) : Magister Kedokteran Pediatrik SpA(K) : Spesialis Anak Konsultan
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial PSP : persetujuan setelah penjelasan
BB : berat badan TB : tinggi badan
DAFTAR LAMBANG
I : 1
II : 2
III : 3
IV : 4
µg : mikrogram ng : nanogram mg : miligram kg : kilogram mL : mililiter dL : desiliter
IU : Internasional unit
% : persen
: kesalahan tipe I
Z : nilai baku normal untuk
: kesalahan tipe II
Z : nilai baku normal untuk P : tingkat kemaknaan Po : proporsi standar Pa : proporsi yang diteliti n : jumlah subyek / sampel
= : sama dengan
± : lebih kurang
> : Lebih besar dari
< : Lebih kecil dari
≥ : Lebih besar dari
≤ : Lebih kecil dari
ABSTRAK
Latar Belakang Anak dengan sindrom nefrotik pada umumnya mengalami hipotiroid subklinikal selama proteinuria meskipun secara klinis eutiroid.
Hipotiroid subklinikal didefinisikan dengan adanya peningkatan kadar TSH dimana kadar triiodothyronine(T3) dan thyroxine(T4) normal. Masih terbatas data mengenai kadar hormon tiroid pada anak SNSS dan SNRS.
Tujuan Untuk mengetahui kadar hormon tiroid pada anak dengan SNSS dan SNRS.
Metode Penelitian dengan uji potong lintang yang dilaksanakan dari Agustus 2015 hingga Januari 2016 di RSUP Haji Adam Malik, Medan. Subjek merupakan anak usia satu sampai 18 tahun penderita SN dan dilakukan pemeriksaan profil tiroid pada kedua kelompok. Data dianalisa dengan uji t-Independen untuk melihat kadar hormon tiroid pada kedua kelompok. Analisa multivariat ancova dilakukan untuk menilai faktor-faktor yang mempengaruhi hipotiroid subklinikal.
Hasil Dari 46 sampel yang terdiri dari 23 SNSS dan 23 SNRS ditemukan kondisi hipotiroid subklinikal lebih banyak pada anak SNRS 52% (n=12) dan 30% anak SNSS (n=7). Didapati kadar TSH meningkat signifikan dibandingkan kadar T3 dan T4 pada SNRS dan SNSS. P value < 0,05.
Kesimpulan Dibandingkan kadar T3 dan T4, TSH meningkat signifikan pada anak dengan sindrom nefrotik. Peningkatan kadar TSH lebih umum pada anak dengan SNRS dibandingkan SNSS.
Kata kunci : hipotiroid subklinikal, sindrom nefrotik, anak
ABSTRACT
Background Children with Nephrotic syndrome (NS) commonly have a state of subclinical hypothyroidism during proteinuria although they are clinically euthyroid. To date, data comparing thyroid hormone level between children with SSNS and SRNS are still limited.
Objective To compare thyroid hormone level between children with SSNS and SRNS.
Methods A cross-sectional study was conducted on Haji Adam Malik General Hospital from August 2015 to January 2016. Subjects were children aged one to 18 years diagnosed with NS. Serum thyroid profile were collected on both group and analyzed using independent T test. Factors can influence subclinical hypothyroidism in children with SSNS and SRNS analyzed using ancova test.
Results There were 46 subjects fulfilled the inclusion and exclusion criteria, 23 were SSNS and 23 others were SRNS. Subclinical hypothyroidism was more common in children with SRNS (63,2%, n=12) than SSNS (36,8%, n=7).
Compared to T3 and T4 level, TSH level was elevated significantly on both group. P value less than 0.05.
Conclusions Compared to T3 and T4, TSH was increased more prominently in nephrotic syndrome children. The elevation of TSH level was more common in children with SRNS compared to SSNS.
Keywords : nephrotic syndrome, thyroid hormone, children
ABSTRAK
Latar Belakang Anak dengan sindrom nefrotik pada umumnya mengalami hipotiroid subklinikal selama proteinuria meskipun secara klinis eutiroid.
Hipotiroid subklinikal didefinisikan dengan adanya peningkatan kadar TSH dimana kadar triiodothyronine(T3) dan thyroxine(T4) normal. Masih terbatas data mengenai kadar hormon tiroid pada anak SNSS dan SNRS.
Tujuan Untuk mengetahui kadar hormon tiroid pada anak dengan SNSS dan SNRS.
Metode Penelitian dengan uji potong lintang yang dilaksanakan dari Agustus 2015 hingga Januari 2016 di RSUP Haji Adam Malik, Medan. Subjek merupakan anak usia satu sampai 18 tahun penderita SN dan dilakukan pemeriksaan profil tiroid pada kedua kelompok. Data dianalisa dengan uji t-Independen untuk melihat kadar hormon tiroid pada kedua kelompok. Analisa multivariat ancova dilakukan untuk menilai faktor-faktor yang mempengaruhi hipotiroid subklinikal.
Hasil Dari 46 sampel yang terdiri dari 23 SNSS dan 23 SNRS ditemukan kondisi hipotiroid subklinikal lebih banyak pada anak SNRS 52% (n=12) dan 30% anak SNSS (n=7). Didapati kadar TSH meningkat signifikan dibandingkan kadar T3 dan T4 pada SNRS dan SNSS. P value < 0,05.
Kesimpulan Dibandingkan kadar T3 dan T4, TSH meningkat signifikan pada anak dengan sindrom nefrotik. Peningkatan kadar TSH lebih umum pada anak dengan SNRS dibandingkan SNSS.
Kata kunci : hipotiroid subklinikal, sindrom nefrotik, anak
ABSTRACT
Background Children with Nephrotic syndrome (NS) commonly have a state of subclinical hypothyroidism during proteinuria although they are clinically euthyroid. To date, data comparing thyroid hormone level between children with SSNS and SRNS are still limited.
Objective To compare thyroid hormone level between children with SSNS and SRNS.
Methods A cross-sectional study was conducted on Haji Adam Malik General Hospital from August 2015 to January 2016. Subjects were children aged one to 18 years diagnosed with NS. Serum thyroid profile were collected on both group and analyzed using independent T test. Factors can influence subclinical hypothyroidism in children with SSNS and SRNS analyzed using ancova test.
Results There were 46 subjects fulfilled the inclusion and exclusion criteria, 23 were SSNS and 23 others were SRNS. Subclinical hypothyroidism was more common in children with SRNS (63,2%, n=12) than SSNS (36,8%, n=7).
Compared to T3 and T4 level, TSH level was elevated significantly on both group. P value less than 0.05.
Conclusions Compared to T3 and T4, TSH was increased more prominently in nephrotic syndrome children. The elevation of TSH level was more common in children with SRNS compared to SSNS.
Keywords : nephrotic syndrome, thyroid hormone, children
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hormon tiroid disekresikan oleh kelenjar tiroid dan diatur oleh thyroid- stimulating hormone (TSH) di pituitari anterior, yang berada di bawah kontrol
dari thyrotropin-releasing hormone (TRH) di hipotalamus. Thyroxine (T4) diproduksi terutama oleh kelenjar tiroid dan diubah menjadi lebih biologis aktif dalam bentuk triiodothyronine (T3), ginjal terlibat dalam produksi T3 melalui deiodinasi lokal T4.1 Hormon tiroid adalah salah satu hormon yang sangat diperlukan tubuh untuk pertumbuhan otak, tulang dan jaringan lain serta mengatur metabolisme di tubuh.2,3 Hormon tiroid dibutuhkan dalam seluruh tahap kehidupan manusia sejak dalam kandungan, setelah lahir, masa anak- anak, masa remaja, sampai usia lanjut.2 Apabila tiroid terganggu akan mempengaruhi kualitas tumbuh kembang anak secara optimal.3
Sindrom nefrotik (SN) merupakan kelainan ginjal yang paling sering pada anak-anak. SN ditandai kumpulan manifestasi klinis yaitu proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia.4 SN secara klinis dibedakan menjadi SN kongenital, primer (idiopatik) dan sekunder. Pada anak, sebagian besar merupakan SN kelainan minimal (SNKM) dan berespon terhadap terapi steroid.4 Biopsi ginjal merupakan baku emas untuk menentukan diagnosis dan prognosis SN, tetapi karena bersifat invasif maka ahli nefrologi anak sering mengklasifikasikan SN berdasarkan respon terhadap pengobatan
steroid, yaitu sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS).4 Jumlah pasien SNRS pada anak memiliki persentase yang lebih kecil (20%) dibandingkan dengan SNSS.5 Di Indonesia dilaporkan enam per 100 000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun menderita SN.6 Sementara divisi Nefrologi Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) mencatat sekitar 130 kasus baru selama tahun 2004 sampai 2008.7
Pada pasien dengan SN, hilangnya hormon tiroid dapat menyebabkan rendahnya kadar hormon tiroid bebas kecuali produksi meningkat di bawah pengaruh TSH.8,9 Selanjutnya, hilangnya albumin dan thyroid binding globulin (TBG) dapat mengurangi kapasitas mengikat bagi hormon tiroid yang mengakibatkan penurunan kadar total T3 dan T4.9 Kemungkinan hipotiroid pada pasien SN telah dilaporkan pada beberapa penelitian dimana gejala hipotiroid ditandai dengan peningkatan TSH, telah ditemukan sejak 30 tahun yang lalu.10 Ekskresi albumin oleh ginjal menyebabkan kadar albumin dalam darah turun. Selain albumin, protein lain seperti beberapa hormon diekskresikan melalui urin. Beberapa studi menunjukkan ekskresi ginjal terhadap hormon tiroid dan TBG pada pasien SN. Pada beberapa SN dengan proteinuria yang berlama-lama dapat membuat kadar hormon tiroid yang bebas berkurang dan meningkatkan TSH.10 Studi di Belanda melaporkan kelainan pada kadar hormon tiroid terlihat pada pasien dengan proteinuria.10 Studi di Spanyol menyimpulkan bahwa hasil proteinuria dengan hilangnya
hormon tiroid yang merangsang produksi TSH.11 Studi di India menemukan nilai rata-rata serum T3 dan T4 pada anak-anak dalam batas normal namun nilai TSH lebih tinggi dari nilai normal, menyimpulkan bahwa SN umumnya memiliki keadaan hipotiroid ringan atau subklinis selama proteinuria meskipun eutiroid secara klinis.12
Penelitian ini saya lakukan untuk mengetahui kadar hormon tiroid penderita SN yang SNSS dan SNRS ,dimana pasien SN memiliki risiko hipotiroid subklinis. Dimana penelitian belum pernah dilakukan di Medan dan hasil penelitian yang sudah ada selama ini masih kontroversial. Penegakkan diagnosa hipotiroid yang lebih awal pada anak dapat mencegah keterbelakangan mental dan fisik.10
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu apakah ada perubahan kadar hormon tiroid pada anak SNSS dan SNRS, serta faktor apa saja yang mempengaruhinya.
1.3. Hipotesis
Terdapat perubahan kadar hormon tiroid pada anak penderita SNSS dan SNRS.
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum
Mengetahui perubahan kadar hormon tiroid pada anak penderita SNSS dan SNRS.
1.4.2. Tujuan khusus
– Mengetahui faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kadar hormon tiroid pada anak penderita penderita SNSS dan SNRS.
– Mengetahui hubungan kadar albumin dengan kadar hormon tiroid.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Di bidang akademik/ ilmiah: meningkatkan pengetahuan peneliti mengenai perubahan kadar hormon tiroid pada anak penderita SNSS dan SNRS.
2. Di bidang pengembangan penelitian: memberikan kontribusi ilmiah pada bidang endokrin dan nefrologi mengenai pentingnya pemantauan fungsi tiroid pada anak penderita SN, terutama bila sudah terjadi gangguan fungsi tiroid.
3. Manfaat untuk anak penderita SN : sebagai deteksi awal untuk mencegah komplikasi yang lebih berat.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid berasal dari jaringan mesodermal pada masa embrio yang berada pada dasar faring di foramen cecum, kemudian melingkar ke arah anterior trakea dan bifurkasio, membentuk dua lobus, masing-masing berukuran 4x2x1 cm. Jaringan tiroid bagian luar berada sepanjang duktus tiroglosus, yang berasal dari pangkal lidah sampai ke mediastinum. Bagian bawah duktus tiroglosus membentuk lobus seperti piramida, yang dapat teraba pada kondisi dimana terjadi infeksi dan inflamasi.13,14
Gambar 2.1. Anatomi kelenjar tiroid.13
2.2. Regulasi HormonTiroid
Regulasi tiroid dilakukan oleh TSH.14 Berbagai enzim dibutuhkan dalam proses sintesis hormon tiroid seperti natrium-iodine symport (NIS), tiroglobulin (TBG), dan enzim thyroid peroxidase (TPO). Hormon tiroid diiodinasi oleh tironin, yang merupakan gabungan dari dua tirosin, yang berikatan satu sama lain. Sel folikel kelenjar tiroid berfungsi khusus mensintesis protein prekursor hormon yang besar, yang menyimpan yodium pada intrasel dari sirkulasi, dan mengeluarkan reseptor yang mengikat TSH atau tirotropin, yang mempengaruhi pertumbuhan dan fungsi biosintesis sel tirosit.15
Hormon tiroid disintesis dan disekresikan oleh kelenjar tiroid dan mengalami proses aktivasi dan inaktivasi oleh tahapan monoiodinasi pada target jaringan. Metabolisme dimulai dengan pemecahan hormon T4 menjadi hormon T3 melalui outer ring deiodination (ORD) atau metabolit inaktif yaitu rT3 melalui inner ring deiodination (IRD). Hormon T3 mengalami inaktivasi oleh IRD menjadi diiodothyronine. Hormon tiroksin dan T3 dimetabolisme oleh grup konyugasi phenolic hydroxyl dengan sulphate dan glucuronic acid.3,15
Gambar 2.2. Sintesis hormon tiroid 2
2.3. Cara kerja hormon tiroid di dalam tubuh
Pengatur terbesar fungsi tiroid dilakukan oleh TSH.14 TRH menstimulasi sel tirotropik di hipofisis anterior untuk menghasilkan TSH, yang merangsang sekresi hormon tiroid.15 Jika tidak ada TRH, kadar FSH dan T4 akan sangat menurun.14 Proses deiodinasi pada hipofisis dan jaringan perifer memodulasi fungsi hormon tiroid untuk mengubah dalam bentuk T4 menjadi bentuk T3 yang lebih aktif. Bentuk T3 tersebut akan dimodulasi oleh reseptor T3 dengan cara aktivasi gen spesifik, kemudian berinteraksi dengan ikatan lain. TRH yang dihasilkan oleh hipotalamus mencapai hipofisis anterior melalui sistem portal hipotalamus-hipofisis dan menstimulasi sintesis dan produksi TSH.15
Sekresi TSH oleh kelenjar hipofisis dibawah pengaruh umpan balik positif yang diatur oleh TRH.14
Hormon tiroid disintesis dan disekresikan oleh kelenjar tiroid yang mengaktifkan dan diaktifkan oleh langkah-langkah monodeiodinasi pada target jaringan.15 Mekanisme utama metabolisme hormon tiroid adalah proses deiodinasi yang dimediasi oleh enzim iodotironin monodeiodinase.
Deiodinasi tipe I paling bertanggungjawab terhadap sirkulasi T3, terutama pada hati dan ginjal. Sebaliknya, deiodinasi tipe II berada di otak, hipofisis, plasenta, dan jaringan adiposa cokelat, sedangkan deodinasi tipe III terutama berada pada jaringan fetal (limfa, ginjal), dan plasenta. Kadar yodida pada kelenjar tiroid berasal dari darah dan kembali ke jaringan perifer dalam bentuk hormon. Substansi utama dalam sintesis hormon tiroid adalah yodida dan tirosin. Yodium diserap dari sistem pencernaan bagian atas dan didistribusikan ke pool yodida di luar kelenjar tiroid. Pool ini memiliki yodida yang relatif konstan yang akan dieksresikan melalui ginjal. Akumulasi yodida pada kelenjar tiroid dalam bentuk organik secara langsung berhubungan dengan jumlah yodida yang akan dikonversi dalam bentuk organik pula.
Jumlah yodida yang akan dikonversi berbanding terbalik dengan yang akan dieksresikan melalui ginjal. Eksresi yodida paling banyak terdapat pada urin, selebihnya dieksresikan dalam bentuk keringat, air liur dan pencernaan.2,3,16
2.4. Hipotiroidisme sebagai salah satu bentuk gangguan fungsi tiroid
Hipotiroidisme merupakan gangguan metabolisme hormon tiroid yang ditandai dengan defisiensi aktivitas maupun produksi hormon tiroid.
Hipotiroidisme merupakan bentuk gangguan hormonal yang sering dijumpai pada anak. Pada keadaan hipotiroidisme primer dijumpai produksi TSH yang sangat tinggi. Pada hipotiroidisme sekunder dijumpai produksi hormon TSH yang rendah, sedangkan hipotiroidisme tersier produksi hormon TRH sangat rendah.2 Penyebab hipotiroidisme primer ada beberapa, diantaranya tiroiditis limfositik kronik, penyakit Hashimoto, abnormalitas kongenital, defisiensi iodine, pemberian obat-obatan seperti antitiroid dan anti epilepsi. Penyebab
hipotiroidisme sekunder dan tersier adalah abnormalitas kongenital dan didapat seperti tumor di hipotalamus dan hipofisis, terapi untuk keganasan, pembedahan dan radiasi.3,16
Pada pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan nilai TSH merupakan tes awal yang baik untuk meilhat adanya hipotiroidisme primer. Apabila nilai TSH meningkat, maka pengukuran T4 diperlukan untuk membedakan bentuk kompensasi ataupun murni. Dikatakan kompensasi apabila dijumpai nilai T4 normal atau hipotiroidisme primer murni bila nilai T4 rendah.2 Subklinikal hipotiroid didefinisikan terjadinya peningkatan dari kadar TSH diatas dari batas nilai normal dengan kadar T4 normal dan kadar T3 yang normal.17,18
Secara klinis gangguan hormon tiroid berupa: hipotiroid, hipertiroid dan eutiroid. Pada hipotiroid terjadi kurang atau tidak adanya hormon tiroid.
Hipotiroid dapat bersifat kongenital dan juvenilis. Pada hipotiroid kongenital terjadi kekurangan atau tidak adanya hormon tiroid sejak di dalam kandungan. Kelainan ini merupakan penyebab tersering keterbelakangan mental yang dapat dicegah.16 Sedangkan hipotiroidisme juvenilis adalah keadaan terdapatnya defisiensi hormon tiroid, yang biasanya timbul sebagai akibat suatu tiroiditis atau penyakit autoimun lainnya.16
Gejala klinis dari hipotiroid kongenital berupa ikterus, letargi, konstipasi, malas minum dan masalah makan lainnya serta hipotermi.
Beberapa bayi menunjukkan tanda klasik berupa wajah sembab, pangkal hidung rata, pelebaran fontanela, hernia umbilikalis, kulit yang dingin dan mottled, ikterik, hipotoni, hiporefleksia, galaktore dan meningkatnya kadar
prolaktin. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai kadar T4 yang rendah dan meningkatnya kadar TSH.16
2.5. Sindroma Nefrotik
Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik yang ditandai dengan proteinuria masif (≥40mg/m2 LPB/ jam), hipoalbuminemia (<2.5 g/dL), edema dengan atau tanpa hiperlipidemia.19 SN pada anak dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok yaitu SN sekunder, SN kongenital dan infantil, dan SN idiopatik.20
SN sekunder didefinisikan sebagai SN yang terjadi oleh karena penyakit sistemik seperti lupus eritematosus sistemik, nefritis Henoch-
Schoonlein, amyloidosis, keganasan, dan infeksi (hepatitis, HIV dan malaria).20,21 SN kongenital dan infantil adalah SN yang terjadi sebelum usia satu tahun dan kebanyakan berhubungan dengan infeksi (sifilis, toksoplasmosis) atau mutasi gen.20,22 Sedangkan SN idiopatik didefinisikan berdasarkan hubungan gambaran klinis SN dengan hasil biopsi berupa diffuse foot process effacement pada mikroskop elektron dan SN kelainan
minimal (SNKM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), atau proliferasi mesangial difus (PMD) pada pemeriksaan mikroskop cahaya. Dari ketiga jenis SN tersebut yang paling sering pada anak adalah SN idiopatik , dimana lebih dari 90% kasus terjadi pada usia antara 1 hingga 10 tahun dan 50%
setelah usia 10 tahun.20,22
Batasan Sindrom Nefrotik dan Klasifikasi Sindrom Nefrotik:
Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2/ LPB/ 3 jam) 3 hari berturut-turut.
Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria > 40 mg/m2 LPB/ jam) tiga hari berturut-turut dalam satu minggu.
Relaps jarang: relaps kurang dari dua kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau kurang dari 4 kali dalam setahun.
Relaps sering : relaps ≥ dua kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.
Dependen steroid : relaps dua kali berturutan saat dosis steroid diturunkan (selang hari) atau 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/ kg/ hari selama 4 minggu.
Sensitif steroid : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu.21-23
Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Oleh karena itu pada saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respon klinis:4,21
1. SN sensitif steroid 2. SN resisten steroid
Berdasarkan respon pengobatan terhadap steroid, SN dibagi atas: SN sensitif steroid, SN jarang, SN sering, SN dependen steroid dan SN resisten steroid. Dikatakan SN, bila proteinuria ≥ 2+ (proteinuria > 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi. Disebut jarang bila terjadi < dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan, sedangkan disebut sering bila terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal, atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.21,22 Kebanyakan anak dengan SN (50 sampai 70%) mengalami ≥ 1 kali. Ini bisa berlangsung
singkat, dengan terjadinya remisi spontan dalam 4 hingga 14 hari. Meskipun mendapat steroid inisial jangka panjang sekitar 40 sampai 50% penderita SN remisi dapat berkembang menjadi sering atau dependen steroid.22
Diagnosis SN ditegakkan berdasarkan empat gejala klinis antara lain:
Proteinuria massif, dimana protein urin ≥ 40 mg/m2 lpb/jam atau > 50 mg/kgBB/24 jam, atau rasio albumin/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg, atau dipstik ≥ 2+
Hipoalbuminemia, albumin serum <2,5 g/dL
Edema
Hiperlipidemia, dengan kadar kolesterol serum > 200 mg/dL.21,22
Gambaran klinis yang sering dijumpai pada pasien anak adalah edema, yang diawali di sekitar kelopak mata pada pagi hari dan di ekstremitas bawah. Pada awalnya SN sering salah didiagnosis sebagai gangguan alergi karena pembengkakan pada kelopak mata. Hingga akhirnya dapat didiagnosa SN jika edema semakin berat dan menetap atau sampai dijumpai hasil urinalisis. Dalam praktek klinik, kebanyakan anak dengan SN pada awal pengobatan tidak melakukan biopsi ginjal karena mayoritas akan dijumpai jenis minimal change nephrotic syndrome yang respon dengan steroid.22,24 Gejala lain yang dapat dijumpai pada SN adalah asites, efusi pleura dan odem genital, anoreksia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare.22
Pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosa SN antara lain:
– Urinalisa
– Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
– Pemeriksaan darah rutin, kadar albumin dan kolesterol plasma, kadar ureum, kreatinin, titer ASTO komplemen C3
– Bila ada kecurigaan lupus eritematosis sistemik perlu dilakukan pemeriksaan anti nuclear antibody (ANA tes) dan anti-dsDNA.21
Biopsi ginjal berperan penting dalam mengevaluasi penderita SN oleh karena beberapa lesi histopatologi berhubungan dengan SN.25 Pada SN akut, terutama selama episode tahap awal biopsi ginjal biasanya tidak diperlukan.26 Komplikasi SN dibagi atas dua kategori yaitu sehubungan dengan penyakit dan komplikasi akibat obat. Komplikasi sehubungan dengan penyakit yaitu infeksi (peritonitis primer, sepsis, selulitis, campak), kecendrungan tromboemboli (tromboemboli vena, emboli paru), krisis hipovolemik (nyeri perut, takikardi, hipotensi), komplikasi kardiovaskular (hiperlipidemia, vaskulitis), anemia, gagal ginjal akut, dan perubahan hormonal. Komplikasi sehubungan dengan pemakaian obat-obat seperti kortikosteroid , ankylating agents, cyclosporin A, tacrolimus, rituximab.21,24,27
Mortalitas pada SNKM kira-kira 2% dengan mayoritas kematian oleh karena peritonitis atau trombus dimana hal ini dapat terjadi meskipun pasien mendapat pengobatan yang sesuai.26 Kebanyakan anak dengan SN respon
steroid mengalami berulang yang mana ini menurun seiring dengan bertumbuhnya anak.22
2.6. Hubungan kadar hormon tiroid dan Sindrom Nefrotik
Interaksi antara fungsi ginjal dan tiroid sudah dikenal selama bertahun- tahun.11,28 Hormon tiroid yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan ginjal dan untuk pemeliharaan air dan elektrolit homeostasis.
Di sisi lain ginjal terlibat dalam metabolisme dan eksresi hormon tiroid.11 Disfungsi tiroid mempengaruhi fisiologi dan perkembangan ginjal, sedangkan penyakit ginjal dapat meyebabkan disfungsi tiroid. Gangguan tiroid dan ginjal dapat saling mempengaruhi dengan berbagai faktor-faktor penyebab.28 Efek dari hormon tiroid pada ginjal secara fisiologi yaitu: hormon tiroid mempengaruhi ginjal melalui pre-renal dan renal secara langsung:11.28 1. Efek pre-renal dimediasi oleh pengaruh hormon tiroid pada sistem
kardiovaskular dan aliran darah ginjal (RBF).
2. Efek renal secara langsung dimediasi oleh efek hormon tiroid pada, laju filtrasi glomerulus (GFR), sekresi tubular dan proses penyerapan, serta pengaruh hormonal pada fisiologi tubular ginjal.
Pengaruh disfungsi tiroid pada ginjal dapat mempengaruhi aliran darah ginjal (RBF), GFR, fungsi tubular, elektrolit homeostatis, dan struktur ginjal.11,28
Efek hipotiroid pada ginjal adalah biasanya berlawanan dengan efek hipertiroid. Aliran darah ginjal (RBF) berkurang di hipotiroid oleh penurunan (chronotropic negatif dan inotropik efek), peningkatan resistensi pembuluh darah perifer, intrarenal vasokonstriksi, berkurang respon ginjal untuk vasodilator. Selain itu, perubahan patologis dalam struktur glomerulus di hipotiroid, seperti membran basal glomerulus terjadi penebalan dan perluasan matrix mesangial, mungkin juga berkontribusi untuk mengurangi aliran darah ginjal.11,28
Perbedaan dalam selektivitas dan penanganan ginjal akan hormon tiorid yang bebas dan hormon tiroid yang terikat protein serta TSH antara anak-anak dengan SNRS dan SNSS saat onset penyakit dan selama perkembangan penyakit, mungkin ini yang menyebabkan mengapa hipotiroid berkembang pada beberapa pasien SN, sedangkan yang lain memiliki nilai tiroid yang normal:11,29
1. Perbedaan selektivitas proteinuria akan menyebabkan perbedaan hilangnya pada hormon tiroid yang terikat protein urine.
2. Ini dapat mengubah jumlah dan konsentrasi T3 bebas dan T4 sejak protein dalam filtrat dapat mengikat tiroid hormon yang bebas.
3. Potensi mekanisme lain patofisiologi pengembangan hipotiroid selama progresi penyakit adalah sebuah hubungan SNRS yang lanjut dengan fungsi penyerapan protein yang melewati glomerulus barrier filtrasi. Hal ini juga mungkin bahwa hipotiroid adalah tidak hanya karena kehilangan
hormon tiroid lewat urin tapi juga karena kegagalan kelenjar tiroid untuk mengkompensasi dari kehilangan ini, yang mengarah ke stimulasi sumbu pituitari-tiroid dan respon TSH yang tinggi. Seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.6 Efek penyakit ginjal kronik pada aksis hypothalamus – pituitari – tiroid11
Pada SN terjadi peningkatan permeabilitas glomerulus dan peningkatan klirens bermuatan negatif (seperti albumin) sehingga albumin bisa melewati membrana basalis glomerulus dan mengakibatkan hipoalbuminemia.21,22 Hubungan ini terjadi karena hormon tiroid dalam darah sebagian besar (>79%) terikat oleh protein (globulin, prealbumin dan albumin) dengan sendirinya bila SN kehilangan banyak protein (terutama albumin) maka dengan sendirinya hormon tiroid akan ikut keluar bersama
Penyakit ginjal kronik
Normal atau TSH tinggi
Respon TSH rendah terhadap TRH Perubahan ritme sirkadian TSH Perubahan klirens TRH dan TSH
Peningkatan volume tiroid Prevalensi hipotiroid tinggi
Total T3 dan total T4 rendah atau normal T3 bebas dan T4 bebas menurun atau normal Berkurangnya konversi T3 dari T4
protein pengikatnya.2,3,11 Peran proteinuria dikonfirmasi oleh korelasi negatif yang signifikan antara TSH dan serum albumin seperti yang diamati oleh penelitian sebelumnya.30 Menurunnya kadar hormon tiroid (T4) akan terjadi mekanisme umpan balik negatif terhadap TSH, sehingga kadar TSH akan meningkat yang akan merangsang kelenjar tiroid untuk mensintesa dan mensekresi hormon tiroid.29,31 Hal ini menunjukkan hipotiroid sebagai komplikasi umum pada pasien SN yang harus terus dievaluasi.31
Gangguan hormonal pada SN karena adanya proteinuria, sehingga hormon yang terikat oleh protein akan berkurang kadarnya, seperti hormon tiroid.9 Hormon yang sering terganggu pada penderita SN adalah hormon tiroid.9 Hormon tiroid bebas dalam sirkulasi darah bisa masuk ke dalam sel dengan transport pasif melewati membran sel menuju sitoplasma sel. Di dalam sel T4 mengalami deiodinasi menjadi T3, sehingga diduga T4 merupakan prohormon dan T3 merupakan bentuk aktif hormon tiroid yang sesungguhnya.3,16
Pengaruh hormon tiroid sangat besar dimulai sejak janin dalam kandungan sampai usia lanjut, efek hormon tiroid sangat luas mulai dari pertumbuhan jaringan, pematangan otak, meningkatkan produksi panas dan konsumsi oksigen, sehingga meningkatkan pembentukan energi. Hal ini terjadi karena hormon tiroid mempengaruhi metabolisme protein, karbohidrat, lemak, enzim dan hormon yang lain. Jadi tidak ada satupun organ yang tidak dipengaruhi oleh hormon tiroid.2,13
Hipotiroidisme adalah suatu keadaan akibat produksi hormon tiroid yang tidak memenuhi kebutuhan tubuh. Periode paling rawan akan kebutuhan hormon ini terhadap pertumbuhan dan perkembangan adalah pada beberapa tahun awal kehidupan. Telah dibuktikan bahwa akibat defisiensi hormon tiroid yang berat pada masa-masa kritikal perkembangan otak akan mengakibatkan defisiensi mental dan psikomotor yang irreversibel.2,3
Diagnosis dini hipotiroidisme perlu segera ditegakkan, sehingga mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Diagnosis secara klinis sulit ditegakkan. Gejala hipotiroidisme yang didapat bila terdapat gangguan percepatan tumbuh, pendek, gemuk (obesitas), penurunan intelegensia, kesukaran belajar dan miksedema.19,29,32 Pemeriksaan laboratorium sangat membantu untuk menentukan status hormon tiroid.
Hipotiroid primer ditandai rendahnya kadar T4 darah serta tingginya kadar TSH, bila T4 rendah dan TSH rendah mungkin suatu hipotiroidisme sekunder atau tersier, untuk itu perlu pemeriksaan tambahan kadar TRH. Bila didapatkan T4 normal dan nilai TSH tinggi, memberikan kesan suatu hipotiroid kompensasi atau subklinik.10,12,33
2.7. Kerangka Konseptual
: Yang diamati dalam penelitian
Gambar 2.7 Kerangka konseptual Sindrom Nefrotik
Albuminuria
Faktor risiko:
1. BMI 2. Usia
3. Jenis kelamin 4. Lama menderita 5. Tingkat GFR Kadar albumin
dalam darah
Kadar T3, T4, TSH
Gangguan fungsi tiroid Proteinuria
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi cross sectional untuk menilai perubahan kadar hormon tiroid pada anak penderita SNSS dan SNRS.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Instalasi rawat inap RB4 anak dan poli nefrologi anak dan di ruang rawat inap anak RSUP. H. Adam Malik Medan. Waktu penelitian dilaksanakan bulan Agustus 2015 - Januari 2016.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi target adalah anak yang didiagnosis penyakit SN oleh nefrologis.
Populasi terjangkau adalah populasi target yang dirawat di ruang rawat inap anak dan yang datang berobat ke poli nefrologi anak RSUP. H.Adam Malik Medan selama periode penelitian. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
3.4. Perkiraan Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis terhadap 2 proporsi independen,yaitu:34
n1 = n2 = (Z √2PQ + Z √P1Q1 + P2Q2 )2 (P1 – P2)2
Keterangan:
n1 = jumlah sampel anak dengan penyakit SNSS n2 = jumlah sampel anak dengan penyakit SNRS
= kesalahan tipe I = 0.05 → Tingkat kepercayaan 95%
Z = nilai baku normal = 1.96
= kesalahan tipe II = 0.2 → Power (kekuatan penelitian) 80%
Z = 0.842
P1 = proporsi perubahan kadar hormon tiroid pada SN = 0.3310 Q1 = 1 – P1 = 0.67
P1 –P2 = selisih proporsi perubahan kadar hormon tiroid pada penyakit SN P2 =proporsi perubahan kadar hormon tiroid pada SN yang diteliti = 0.6 Q2 = 1 – P2 = 0.4
P = P1+P2 = 0.47 2
Q = 1 – P = 0.53
Dengan menggunakan rumus di atas maka didapat jumlah sampel untuk masing-masing kelompok sebanyak 23 orang.
3.5. Metode Pengumpulan Data
Data demografi subjek penelitian dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan orangtua atau wali pasien menggunakan alat bantu daftar isian mengenai data pribadi, data orangtua, riwayat penyakit terdahulu dan riwayat pengobatan yang pernah dijalani, serta diagnosa pasien. Pencatatan berat badan (BB), panjang badan (PB), atau tinggi badan (TB), Index massa tubuh
(BMI), parameter laboratorium ( albumin, ureum, kreatinin, dan kadar hormon tiroid) yang tersedia dilakukan secara langsung oleh peneliti.
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi :
Semua pasien penderita SN (SNRS dan SNSS) yang berobat ke poli nefrologi anak dan dirawat di instalasi rawat RB4 anak.
Usia 1-18 tahun Kriteria eksklusi :
Anak menderita hipotiroid kongenital
Anak penderita hipertiroid
3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)/ Informed Consent
Semua sampel penelitian telah mendapat persetujuan dari orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu. Formulir penjelasan terlampir dalam hasil penelitian ini.
3.7. Etika Penelitian
Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
3.8. Cara Kerja 3.8.1. Alokasi subjek
– Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi akan dimintai persetujuan dari orangtua untuk mengikuti penelitian setelah diberikan penjelasan dan informed consent yang menyatakan setuju mengikuti penelitian ini.
– Sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok anak yang menderita SNSS dan kelompok anak yang menderita SNRS.
– Data dasar diperoleh dari rekam medik kemudian dilanjutkan wawancara langsung bagi pasien atau orangtua.
3.8.2. Pengukuran
– Semua sampel diperiksa kadar Ureum, Creatinin, Albumin
– Semua sampel diperiksa profil tiroid dengan menggunakan alat Cobas 6000. Pemeriksaan menggunakan darah vena, darah diambil dengan menggunakan jarum suntik oleh petugas laboratorium, lalu dimasukkan kedalam tabung tanpa anti pembekuan. Darah dibiarkan selama 5 menit sampai 10 menit agar darah membeku. Kemudian darah di centrifuge dengan kecepatan 5000 RPM selama 10 menit.
Kemudian serum yang sudah terpisah diambil sebanyak 300 µl sampai 500 µl dan dimasukan ke dalam cup sampling. Setelah itu cup sampling dimasukan ke dalam rak Cobas 6000. Tombol start ditekan, alat Cobas 6000 otomatis berkerja selama 1 jam. Kemudian hasil
dikirim ke komputer dan dicetak. Hasil berupa kadar TSH, T4 total dan T3 total.
3.9. Alur Penelitian
Gambar 3.9 : Alur penelitian
3.10. Identifikasi Variabel
Variabel bebas Skala
Tipe SN Nominal dikotom
Usia Numerik
Jenis kelamin Nominal dikotom
Lama menderita SN Numerik
Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Sindroma Nefrotik Sensitif Steroid
Sindroma Nefrotik Resisten Steroid
Pemeriksaan kadar hormon tiroid hohormon tiroid
Analisa data
Pengumpulan dan pengolahan data
BMI Numerik
GFR Numerik
Variabel tergantung Skala Kadar hormon tiroid Numerik
3.11. Definisi Operasional
1. Sindrom nefrotik resisten steroid adalah tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/ kg/ hari selama 4 minggu dimana sebelumnya pasien sensitif steroid tapi setelah 3 bulan kembali lagi menjadi resisten steroid.21
2. Sindroma nefrotik sensitif steroid adalah remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4 minggu.21
3. Hormon tiroid adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang berfungsi mensintesis triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4).3
Tabel 4.1 Kadar hormon tiroid normal pada anak16
Hormon Usia Nilai normal
T4 Prepubertas
1-3 tahun 6.8-13.5 (µg/dL)
3-10 tahun 5.5-12.8 (µg/dL)
Pubertas (11-18 tahun)
4.9-13 (µg/dL)
T3 Prepubertas
(1-10 tahun)
11.9-21.8 (ng/dL)
Pubertas (11-18 tahun)
8-18.5 (ng/dL)
TSH Prepubertas 0.6-5.5 (µIU/mL)
Pubertas 0.5-4.8 (µIU/mL)
4. Hipotiroid: kurang atau tidak adanya hormon tiroid dengan gejala klinis:
ikterus, letargi, konstipasi, malas minum dan masalah makan lainnya
serta hipotermi. Beberapa bayi menunjukkan tanda klasik berupa wajah sembab, pangkal hidung rata, pelebaran fontanela, hernia umbilikalis, kulit yang dingin dan mottled, ikterik, hipotoni, hiporefleksia, galaktore dan meningkatnya kadar prolaktin. Pada pemeriksaan laboratoium dijumpai kadar T4 yang rendah dan kadar TSH yang tinggi.16
5. Subklinikal hipotiroid (SH) : peningkatan kadar TSH dengan kadar T4 dan T3 yang normal.17
6. Hipertiroid: peningkatan kadar T4 dan T3 totalmaupun kadar T4 dan T3 bebas, sedangkan kadar plasma TSH rendah. 16
7. Lama menderita SN: rentang waktu dari awal mulai terdiagnosa SN sampai dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid.( dalam satuan tahun dan bulan)
8. Gromerular filtration rate (GFR) adalah laju rata-rata penyaringan darah yang terjadi di glomerulus yaitu sekitar 25% dari total curah jantung per menit dengan menggunakan rumus Schwartz.35
9. Indeks massa tubuh (IMT) merupakan pengukuran presentase lemak tubuh manusia berdasarkan berat badan dan tinggi badan.36
3.12. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data yang terkumpul dilakukan dengan menggunakan sistem komputer perangkat lunak SPSS versi 19. Untuk melihat hubungan antara kadar hormon tiroid dengan tipe SN digunakan uji t-independen. Untuk menilai faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hormon tiroid pada tipe SN digunakan analisa multivariat. Untuk mengetahui korelasi kadar albumin dengan kadar TSH menggunakan regresi linier. Dengan tingkat kemaknaan ditetapkan P < 0.05 dengan level interval kepercayaan (IK) 95%.
BAB 4. HASIL
Penelitian dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Total pasien yang dilakukaan pemeriksaan sebanyak 46 pasien penderita sindrom nefrotik, yang terdiri dari 23 pasien dengan SNSS dan 23 pasien dengan SNRS.
Rerata usia pasien untuk masing-masing kelompok adalah adalah 7.7 tahun dan 11.2 tahun. Jenis kelamin lelaki lebih mendominsi dibandingkan perempuan untuk kedua kelompok. Berat badan dan tinggi badan untuk kelompok SNRS lebih besar dengan 34.4 kg dan 132.1 cm berbanding 23.1 kg dan 113.7 cm untuk kelompok SNSS. Rerata lama menderita sindroma nefrotik lebih lama pada kelompok SNRS dengan 7.3 tahun berbanding 4.7 tahun. Laju filtrasi glumerolus lebih tinggi pada SNSS, sedangkan rerata kadar T3 dan T4 lebih tinggi pada kelompok SNRS. Pasien yang mengalami hipotiroid subklinis lebih banyak terjadi pada pasien SNRS dengan 12 pasien berbanding tujuh pasien pada SNSS (tabel 4.1)
Tabel 4.1. Karakteristik dasar subjek penelitian
Karakteristik SNSS
(23)
SNRS (23)
Usia (tahun), rerata (SB) 7.7 (4.20) 11.2 (3.76)
Jenis kelamin, n (%)
Lelaki 17 (51.5) 16 (48.5)
Perempuan 6 (46.2) 7 (53.8)
Berat badan (kg), rerata (SB) 23.1 (10.83) 34.4 (13.38) Tinggi badan, rerata (SB) 113.7 (20.92) 132.1 (17.69)
IMT (kg/m2), rerata (SB) 17.8 (2.91) 19.1 (3.01)
Lama menderita sindrom nefrotik (tahun), rerata (SB)
4.7 (2.77) 7.3 (2.65)
Subklinis hipotiroid, n (%) 7(36.8) 12(63.2)
Tabel 4.2 Perbedaan Karakteristik Laboratorium antara Kelompok SNSS dan SNRS
Karakteristik SNSS SNRS
n = 23 n = 23 P
T3, rerata (SB), 1.2 (0.48) 1.2 (0.73) 0.297 T4, rerata (SB) 5.6 (3.12) 7.0 (6.21) 0.878 TSH, rerata (SB) 4.8 (4.63) 9.5 (14.75) 0.022* Albumin, rerata (SB), 2.9 (1.35) 2.4 (1.25) 0.231 Ureum, rerata (SB), mg/dl 22.7 (15.47) 41.3 (47.28) 0.053 Kreatinin, rerata (SB),
mg/dl
0.4 (0.34) 0.9 (1.0) 0.809 GFR, rerata (SB) 160.6 (49.38) 131.8 (61.96) 0.177 Subklinis Hipotiroid, n (%)
Ya 7 (36.8) 12 (63.2) 0.134
Tidak 16 (59.3) 11 (40.7)
t Independent
Tabel 4.2 menampilkan karakteristik laboratorium antara kelompok subyek dengan SNSS dan SNRS. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan untuk mayoritas karakteristik laboratorium (p>0,05). Hanya parameter TSH yang tampak lebih tinggi pada kelompok SNRS yaitu 9,5 mg/dl dibandingkan pada kelompok SNSS dengan rerata 4,8 mg/dl (p=0,022, p<0,05).
Tabel 4.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi kenaikan kadar TSH pada SNSS dan SNRS
Karakteristik OR IK 95% P
Jenis Kelamin 5.427 1.007 – 29.24 0.049
Usia 1.522 0.852 – 2.719 0.039
Lama Sakit 1.401 1.037 – 1.892 0.028
IMT 0.621 0.395 – 0.977 0.156
GFR 0.994 0.982 – 1.007 0.397
Ancova
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa yang berpengaruh terhadap terjadinya hipotiroid pada subyek dengan SNSS dan SNRS adalah jenis kelamin, usia dan lama menderita SN (p<0.05). Variabel yang paling dominan menyebabkan terjadinya subklinikal hipotiroid adalah jenis kelamin (nilai OR tertinggi = 5.427).
Hubungan kadar albumin dengan kadar TSH pada pasien SNSS dan SNRS
Pada subyek SNSS dan SNRS tampak bahwa albumin berkorelasi signifikan dengan TSH (p<0.05), kadar albumin berkorelasi kuat dan bernilai negatif dengan kadar TSH, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai albumin maka akan diikuti semakin menurunnya kadar TSH.
Gambar 4.1 Grafik Scatterplot Korelasi Albumin dan TSH pada Subyek Sindrom Nefrotik sensitif steroid
Gambar 4.2 Grafik Scatterplot Korelasi Albumin dan TSH pada Subyek Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
BAB 5. PEMBAHASAN
Hasil penelitian kami dijumpai anak dengan penderita SNSS dan SNRS sebanyak 46 orang. Umur penderita SNSS rata-rata 7,7 tahun dan SNRS rata-rata 11,2 tahun. Pada penelitian kami perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dengan jenis kelamin perempuan adalah lebih banyak laki-laki.
Pada anak laki-laki sekitar dua kali lebih mungkin mengalami SN dibandingkan perempuan, namun ketidakseimbangan ini akan berbeda pada remaja dan dewasa, dimana kecenderungan untuk terjadinya SN sama antara laki-laki dan perempuan.37,38 Chang dkk di Taiwan yang meneliti epidemiologi SN pada anak usia 6 bulan hingga 18 tahun didapatkan laki-laki berbanding perempuan 1,9 : 1.39 Penelitian oleh Kapoor K dkk di India menemukan jumlah penderita SN resisten steroid dengan jenis kelamin lelaki(n=16) lebih banyak dibandingkan perempuan (n=4).32 Dalam studi ini juga dijumpai hal yang sama, dimana jumlah penderita SN berjenis kelamin lelaki(n=33) dan berjenis kelamin perempuan(n=13).
Nilai albumin pada penderita SN resiten steroid dalam studi di India adalah 2,79 – 3,30 g/dl.30 Pada penelitian lain di Arab Saudi dijumpai nilai albumin pada penderita SN sensitif steroid adalah 3,85 – 3.99 g/dl.40 Nilai albumin pada penderita SN secara keseluruhan dalam studi ini adalah 2,97 g/dl untuk SN sensitif steroid dan 2,44 g/dl untuk SN resisten steroid.
Pada penelitian kami, hasil pemeriksaan fungsi tiroid dijumpai peningkatan kadar TSH pada pasien SNRS, sedangkan kadar hormon lainnya seperti T3 dan T4 dalam batas normal sesuai dengan penelitian Vidhi dkk di India tahun 2014 dimana kadar T3 dan T4 dalam batas normal sebelum dan sesudah terapi namun kadar TSH meningkat.12 Sesuai juga dengan penelitian Afroz dkk.41 Pada tahun 2011 studi yang dilakukan oleh Afroz dkk menyimpulkan keluarnya berbagai protein binding lewat urine pada pasien SN menyebabkan subklinikal hipotiroid.41 Kadar TSH di penelitian kami pada grup SNRS rata-rata 9,5 mIU/L, dimana pasien SNRS mempunyai kadar TSH yang meningkat signifikan dibandingkan SNSS, penemuan ini sesuai dengan studi di India tahun 2015.30
Penelitian di India didapati 20% dari anak SN (n=10) dengan SNRS hipotiroid dan 7 subklinikal hipotiroid dan 3 hipotiroid.30 Penemuan ini hampir sama dengan studi yang dilakukan di India tahun 2013 dimana prevalensi hipotiroid pada pasien SNRS didapati 30% sama dengan penelitian di Israel 2012 yang jauh lebih tinggi.29 Sedangkan dalam studi yang dilakukan di Iran didapatkan 58,6% pasien menunjukkan hipotiroid yang jauh lebih tinggi dari prevalensi subklinikal hipotiroid sekitar 20% pada anak yang sehat normal.10 Pada penelitian kami ditemukan anak yang mengalami subklinikal hipotiroid secara total semua 41%(n=19) dimana yang SNRS didapati 63,2% (n=12) dan SNSS 36,8% (n=7).
Hal ini menunjukkan hormon tiroid pada sirkulasi yang terikat protein, terutama tiroid binding globulin (TBG), prealbumin dan albumin. Ada peningkatan ekskresi lewat urine yaitu total T4, total T3 dan TBG selama nephrosis.32 Ini menunjukkan hipotiroid sebagai komplikasi umum pada pasien SNRS yang harus terus di evaluasi. Subklinikal hipotiroid lebih umum didapati pada pasien kami, dimana kemungkinan dapat terjadi pertama karena TSH adalah protein dengan berat molekul rendah yang mungkin hilang dalam urine pasien SN, meskipun ada sedikit studi yang memverifikasi ini.30 Kedua karena kortikosteroid digunakan untuk mengobati pasien dengan proteinuria, yang dapat mengurangi sekresi TSH dari pituitary. Efek glukokortikoid pada level hypothalamic pitutary thyroid juga menekan pelepasan TSH dari hipotalamus yang mungkin mekanisme utama untuk sekresi TSH rendah dari hipofisis.30,33
Pada hasil penelitian kami dijumpai beberapa faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kadar TSH, faktor-faktor tersebut yaitu: jenis kelamin, usia, dan lama menderita SN. Analisis dengan menggunakan analisa multivariat dijumpai faktor jenis kelamin merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap peningkatan kadar TSH pada pasien SN. Statistik menunjukkan bahwa insidens dari hipotiroid pada pasien laki-laki itu sekitar 1,2 kali lebih sering dibandingkan perempuan.11 Sedangkan studi lain mengenai hipotiroid primer menunjukkan bahwa hipotiroid lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki pada neonatus.12 Perempuan memiliki
respon TSH yang lebih tinggi exogenous TRH daripada laki-laki, dan keduanya endogenous dan exogenous estrogen menambah TSH respon ke TRH.42,43 Pada studi di Iran juga menunjukkan bahwa insiden terbanyak hipotiroid pada anak di bawah umur 3 tahun pada penderita SN.10 Dengan bertambahnya usia, insiden hipotiroid berkurang. Hipotiroid didapati 32,8%
pada usia 3-6 tahun , dan 19,7% setelah usia 6 tahun pada pasien SN, pada anak yang lebih muda menunjukkan kejadian lebih tinggi akan hipotiroid.10 Sekresi TSH pada anak sehat yang lebih tua berhubungan dengan usia yang berkaitan dengan penurunan sekresi TSH di pituitary. Mekanisme ini belum diketahui dengan pasti. Bisa karena peningkatan sensitivitas dari thyrotropin pada negatif feedback oleh T4, tapi mekanisme lain bisa oleh karena penurunan sekresi TRH.44,45 Proteinuria yang berkepanjangan pada pasien SNRS dapat menguras cadangan tiroid dan menyebabkan kerusakan progresif pada epitel tubulus ginjal yang mengarah ke terganggunya penyerapan protein dengan berat molekul rendah sehingga dapat menimbulkan hipotiroid yang berat.9
Pada penelitian di India tahun 2014 didapati korelasi negatif antara kadar serum albumin dan kadar serum TSH(r=-0,480 , p< 0,05) ini menunjukkan bahwa tingkat serum TSH memiliki korelasi dengan tingkat keparahan dari hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik.12 Proteinuria mengakibatkan hilangnya tiroid yang mengikat globulin serta T3 dan T4 dalam urine yang menyebabkan penurunan jumlah T3,T4 dalam darah yang
menyebabkan peningkatan kadar TSH serum. Jadi dengan penurunan kadar albumin serum, TSH meningkat.32 Pada penelitian di India tahun 2015 juga ditemukan peran proteinuria dikonfirmasi oleh korelasi negatif yang signifikan antara TSH dan serum albumin, yang juga sesuai dengan penelitian kami didapati korelasi negatif yang signifikan antara TSH dan albumin.30
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Penelitian ini dilakukan pada anak dibawah usia 18 tahun dengan variasi umur yang tidak merata sehingga sulit melihat kejadian peningkatan kadar TSH pada usia tertentu.
Kami juga tidak melakukan pemeriksaan hormon tiroid yang penting lainnya seperti free T4 dan free T3. Penelitian ini juga dilakukan secara potong lintang yang menilai perubahan kadar hormon tiroid dengan menilai faktor- faktor yang mempengaruhi pada satu saat sehingga kurang menggambarkan perubahan kadar hormon tiroid yang terjadi. Selain itu, pada penelitian ini hanya dilakukan pada 46 penderita SN sehingga diperlukan jumlah sampel penelitian yang lebih besar untuk menunjukkan hasil yang lebih bermakna.
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Terdapat hubungan yang bermakna antara SN dengan Subklinikal Hipotiroid. Faktor yang dianggap berpengaruh terhadap peningkatan kadar TSH adalah usia, jenis kelamin dan lama menderita SN.
Terdapat perbedaan kadar TSH antara anak penderita SNSS dan SNRS.
6.2. Saran
Terapi dapat diberikan pada kadar peningkatan TSH yang menetap (TSH > 10 mIU/L). Diperlukan evaluasi pemeriksaan kadar hormon tiroid pada anak dengan penderita SN lebih lanjut dengan menggunakan sampel yang lebih banyak serta metode yang lebih baik seperti kohort.
RINGKASAN
Anak dengan penyakit SN pada umumnya subklinikal hipotiroid selama proteinuria terjadi meskipun mereka secara klinis eutiroid. Masih terbatas data mengenai kadar hormon tiroid pada anak dengan SNSS dan SNRS.
Subklinikal hipotiroid didefinisikan dengan adanya peningkatan kadar TSH dimana kadar total T3 dan total T4 normal.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar hormon tiroid pada anak dengan SNSS dan SNRS.
Sampel pada penelitian ini adalah anak penderita SNSS dan SNRS.
Pda kedua grup dilakukan pemeriksaan kadar hormon tiroid. Hasil pemeriksaan kadar hormon tiroid menunjukkan peningkatan kadar TSH pada penderita SN.
Sebagai kesimpulan, pada penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara penyakit SN dengan peningkatan kadar TSH. Dibandingkan kadar T3 dan T4, TSH meningkat signifikan pada anak dengan SN.
Peningkatan kadar TSH lebih umum pada anak SNRS dibandingkan SNSS.
SUMMARY
Children with Nephrotic syndrome (NS) commonly have a state of subclinical hypothyroidism during proteinuria although they are clinically euthyroid. To date, data comparing thyroid hormone level between children with SSNS and those with SRNS are still limited.
To compare thyroid hormone level between children with SSNS and SRNS.
A cross-sectional study was conducted on Haji Adam Malik General Hospital from August 2015 to January 2016. Subjects were children aged one to 18 years diagnosed with NS. Based on steroid responsiveness, subjects were divided into two group (SSNS and SRNS). Serum thyroid profile were collected on both group and analyzed using independent T test.
There were 46 subjects fulfilled the inclusion and exclusion criteria, 23 were SSNS and 23 others were SRNS. Subclinical hypothyroidism was more common in children with SRNS (63,2%, n=12) than those with SSNS (36,8%, n=7). Compared to T3 and T4 level, TSH level was elevated significantly on both group. P value less than 0.05
Compared to T3 and T4, TSH was increased more prominently in nephrotic syndrome children. The elevation of TSH level was more common in children with SRNS compared to SSNS.