• Tidak ada hasil yang ditemukan

THESIS. Oleh: Ivan Poltak Sitompul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "THESIS. Oleh: Ivan Poltak Sitompul"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)TINGKAT AKURASI PENENTUAN WARNA RESTORASI GIGI ANTARA METODE VISUAL DENGAN METODE ELABOR_AID PADA GIGI ANTERIOR DENGAN RESTORASI KLAS IV RESIN KOMPOSIT (IN VITRO). THESIS. Oleh: Ivan Poltak Sitompul 177160019. PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS KONSERVASI GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020. Universitas Sumatera Utara.

(2) TINGKAT AKURASI PENENTUAN WARNA RESTORASI GIGI ANTARA METODE VISUAL DENGAN METODE ELABOR_AID PADA GIGI ANTERIOR DENGAN RESTORASI KLAS IV RESIN KOMPOSIT (IN VITRO). THESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Spesialis Konservasi Gigi (Sp.KG) Pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara Oleh: Ivan Poltak Sitompul 177160019 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS KONSERVASI GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020. Universitas Sumatera Utara.

(3) Tanggal Lulus :. Telah diuji. Pada Tanggal : 14 Februari 2020. PANITIA PENGUJI TESIS Ketua. : Prof. Trimurni Abidin, drg., Sp.KG(K)., M.Kes Dr.Ir. M. Sabri, MT. Anggota. :. 1. Prof. Dr. Rasinta Tarigan, drg., Sp.KG(K) 2. Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc.,M.Phil 3. Dr. Eng. Ir. Indra, ST., MT. Universitas Sumatera Utara.

(4) Judul Tesis. : Tingkat Akurasi Penentuan Warna Restorasi Gigi Antara Metode Visual dengan Metode eLABor_aid pada Gigi Anterior dengan Restorasi Klas IV Resin Komposit (In Vitro). Nama Mahasiswa. : Ivan Poltak Sitompul. Nomor Induk Mahasiswa. 177160019. Program Studi. : Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Konservasi Gigi. Menyetujui Pembimbing:. Pembimbing I. Pembimbing II. Prof. Trimurni Abidin, drg., M.Kes., Sp.KG(K) NIP. 195008281979022001. Dr. Ir. M. Sabri, MT NIP. 196323061989021001. Ketua Program Studi,. Dekan,. Prof. Trimurni Abidin, drg.,M.Kes.,SpKG(K). NIP. 196502141992032004. Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes, Sp.RKG(K). NIP. 195008281979022001. i Universitas Sumatera Utara.

(5) PERNYATAAN Tingkat Akurasi Penentuan Warna Restorasi Gigi Antara Metode Visual dengan Metode eLABor_aid pada Gigi Anterior dengan Restorasi Klas IV Resin Komposit (In Vitro). TESIS. Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.. Medan, 23 Januari 2020. Ivan Poltak Sitompul. ii Universitas Sumatera Utara.

(6) ABSTRAK. Pendahuluan: Pemilihan warna restorasi sewarna gigi sampai saat ini masih menjadi tantangan bagi para klinisi. Metode untuk penentuan warna restorasi gigi terbagi menjadi dua yaitu secara visual dan instrumental. Penentuan warna gigi secara visual menggunakan shade guide adalah metode yang sering dipakai para klinisi tetapi memiliki banyak kelemahan. Metode instrumental dengan pendekatan teknik digital fotografi yang terstandarisasi, yaitu eLABor_aid dinilai lebih objektif dalam menentukan warna restorasi gigi. Tujuan: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan membandingkan keakuratan pemilihan warna restorasi gigi antara metode visual dengan metode eLABor_aid sekaligus menilai apakah terdapat perbedaan tingkat akurasi antara penggunaan bahan resin komposit Nano Fill (3M Z350XT) dengan resin komposit Nano Hybrid (3M Z250XT). Metode: Dua puluh empat sampel gigi anterior dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing berisi enam sampel. Kelompok sampel pertama adalah sampel yang dilakukan pemilihan warna restorasi gigi menggunakan metode visual dengan resin komposit Nano Fill (3M Z350XT), kelompok sampel kedua adalah sampel yang dilakukan pemilihan warna restorasi gigi menggunakan metode visual dengan resin komposit Nano Hybrid (3M Z250XT), kelompok sampel ketiga adalah sampel yang dilakukan pemilihan warna restorasi gigi menggunakan metode eLABor_aid dengan resin komposit Nano Fill (3M Z350XT), kelompok sampel keempat adalah sampel yang dilakukan pemilihan warna restorasi gigi menggunakan metode eLABor_aid dengan resin komposit Nano Hybrid (3M Z350XT). Hasil penelitian dianalisis menggunakan sistem SPSS t-test indepent untuk menilai adanya hubungan yang signifikan dan korelasi Spearman untuk menilai adanya hubungan yang kuat. Hasil: Tingkat akurasi penentuan warna restorasi gigi anterior dengan metode visual menggunakan shade guide kurang akurat 37,5% (9/24) sedangkan akurat 12,5% (3/24), dengan metode eLABor_aid sangat akurat 12,5% (3/24), akurat 33% (8/24), kurang akurat 4,5% (1/24). Terdapat hubungan yang signifikan dan korelasi yang kuat antara penentuan warna restorasi gigi anterior menggunakan metode visual dengan metode eLABor_aid (p<0,05). Tidak terdapat hubungan yang signifikan pada penentuan warna restorasi gigi dengan metode visual dan metode eLABor_aid menggunakan resin komposit Nano Fill dengan Nano Hybrid (p>0,05). Kesimpulan : Metode eLABor_aid adalah metode yang lebih akurat dalam menentukan warna restorasi gigi anterior dibandingkan metode visual. Kata kunci : visual, eLABor_aid, shade guide, Nano Fill, Nano Hybrid. iii Universitas Sumatera Utara.

(7) ABSTRACT. Background: Matching shade guide still remain a challenge for dentists. Color determination can be divided into two categories: visual and instrumental. Visual color determination using shade guide is the most frequently applied method in clinical dentistry but had so many disadvantages. Instrumental method using standardized digital photography technique is more reliable and objective in tooth shade determination. Purpose: The purpose of this study was to identify and compare accuracy of shade guide determination between visual and eLABor_aid method and compare two types of composite resin, Nano Fill (3M Z350XT) and Nano Hybrid (3M Z250XT). Method: Twenty four anterior tooth samples were collected and divided into four groups, six samples each. The first group is tooth restorated with visual method using Nano Fill composite resin (3M Z350XT), the second group is tooth restorated with visual method using Nano Hybrid composite resin (3M Z250XT), the third group is tooth restorated with eLABor_aid method using Nano Fill composite resin (3M Z350XT), The fourth group is tooth restorated with eLABor_aid method using Nano Fill composite resin (3M Z350XT). The results were statistically analyzed using SPSS independent t-test and Spearman correlation. Result: Accuracy of tooth shade determination using visual method: less accurate 37,5% (9/24), accurate 12,5% (3/24), eLABor_aid method: very accurate 12,5% (3/24), accurate 33% (8/24), less accurate 4,5% (1/24). There was significant difference of accuracy of tooth shade determination using visual and eLABor_aid method (p<0,05). There was no significant difference of accuracy of tooth shade determination between composite resin Nano Fill and Nano Hybrid using visual and eLABor_aid method (p>0,05). Conclusion: eLABor_aid method in tooth shade determination is more accurate than visual method. Keyword. : visual, eLABor_aid, shade guide, Nano Fill, Nano Hybrid. iv Universitas Sumatera Utara.

(8) KATA PENGANTAR. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME. atas rahmat dan. karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Konservasi Gigi dari Universitas Sumatera Utara. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada orang tua tercinta, Bapak Sam H. Sitompul, S.E., dan Ibu Frieda yang telah membesarkan, memberikan kasih sayang selama hidupnya kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada istri tercinta, dr. Pepita Nesi Ginting yang telah sabar serta memberikan dukungan, kasih sayang, doa, dan semangat kepada penulis. Dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, bantuan, dan doa dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.. Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes., Sp. RKG(K) selaku Dekan Fakultas. Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 2.. Cut Nurliza, drg., Sp.KG(K)., M.Kes. selaku Ketua Departemen. Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi USU. 3.. Prof. Trimurni Abidin, drg., Sp.KG(K)., M.Kes. selaku Ketua Program. Studi Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi USU dan selaku pembimbing pertama penulis yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan bimbingan, arahan, dukungan, dan semangat kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.. v Universitas Sumatera Utara.

(9) 4. Nevi Yanti, drg., Sp.KG., M.Kes. selaku Sekretaris Departemen dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi USU. 5.. Dr. Ir. M. Sabri, MT, selaku pembimbing kedua penulis yang telah banyak. meluangkan waktu, memberikan bimbingan, arahan, dukungan, dan semangat kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. 6.. Prof. Dr. Rasinta Tarigan,drg.,Sp.KG(K) selaku anggota panitia penguji. yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis. 7.. Prof. Dr. Harry Agusnar, M.Sc., M. Phil selaku anggota panitia penguji. yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis. 8.. Dr. Eng. Ir. Indra, ST., MT selaku anggota panitia penguji yang telah. memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis. 9.. Seluruf staf Departemen Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi USU,. yaitu drg. Darwis Aswal, drg Wandania Farahanny, MDSc., Sp. KG(K), drg. Widi Prasetia Sp. KG(K), drg. Fitri Yunita B MDSc, atas segala dukungan serta bantuan selama proses pendidikan dan penulisan tesis. 10. Seluruh pegawai Departemen Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi USU, yaitu Ibu Roslaini, Kakak Rosmila, dan Abang Azhar yang juga telah banyak membantu penulis selama proses menjalani pendidikan. 11. Teman seangkatan dan seperjuangan pada Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi USU, yaitu Sally, Brian, Benny, Rani, Jihan, Namira, Daisy, Hilma dan seluruh residen pada Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi USU vi Universitas Sumatera Utara.

(10) mulai dari angkatan 6, 8, dan 9 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah ikut membantu, mendukung, dan memberikan semangat maupun dorongan kepada penulis dalam menjalani pendidikan dan menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah praktis.. Medan, 23 Januari 2020 Penulis. Ivan Poltak Sitompul NIM : 177160019. vii Universitas Sumatera Utara.

(11) RIWAYAT HIDUP. Keterangan Pribadi Nama. : Ivan Poltak SItompul. Alamat Tempat Tinggal. : Jl. G. Krakatau Gg. Lama no 4 Medan. Jenis Kelamin. : Laki-laki. Agama. : Protestan. Pekerjaan. : Dokter Gigi. No. Kontak. 087869916333. Nama Ayah. : Sam H. Sitompul. Nama Ibu. : Frieda. Istri. : Pepita Nesi Ginting. Pendidikan Formal Sekolah Dasar. : SD Budi Murni 1 Medan. Sekolah Menengah. : SMP Budi Murni 1 Medan. Sekolah Menengah Atas. : SMA Budi Murni 1 Medan. Pendidikan Sarjana/ S1. : Fakultas Kedokteran Gigi USU. viii Universitas Sumatera Utara.

(12) PUBLIKASI. 1. Short Lecture. Retreatment of mandibular molar with separated instrument: a case report. Pada Seminar Ilmiah Nasional IKORGI III (SINI III) tanggal 2425 November 2018. Yogyakarta, Indonesia. 2. Poster. Perawatan retreatment pada gigi insisivus sentralis maksila dan molar mandibula dengan instrumen patah: laporan kasus. Pada Bandung Dentistry 2019 tanggal 19-20 Juli 2019. Bandung, Indonesia 3. Short Lecture. Bypassing instrument fragment on mandibular molar: case report. Pada Medan Conference of Dentistry tanggal 30-31 Agustus 2019. Medan, Indonesia.. ix Universitas Sumatera Utara.

(13) DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN JUDUL ..................................................................... i ABSTRAK .............................................................................................................. iii ABSTRACT ............................................................................................................ iv KATA PENGANTAR .............................................................................................. v DAFTAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... viii PUBLIKASI ............................................................................................................ ix DAFTAR ISI ........................................................................................................... x DAFTAR TABEL ................................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ xviii DAFTAR SINGKATAN .......................................................................................... xxi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xxiii BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................... 1. 1.1. Latar Belakang Masalah............................................... 1. 1.2. Rumusan Masalah ........................................................ 6. x Universitas Sumatera Utara.

(14) 7. 1.4. Tujuan Penelitian. 7. Tujuan Umum. 7. 1.4.2. Tujuan Khusus. 8. 1.5. 8. Manfaat Penelitian. Untuk Pengembangan Ilmu. 8. Untuk Peningkatan Kualitas Pelayanan ............. 9 1.5.3. BAB 2. Pertanyaan Penelitian. 1.4.1. 1.5.1 1.5.2. 1.3. Untuk Masyarakat. 9. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. 2.2. Komposisi Komposi. 10. 2.1.1. Matriks Resin. 11. 2.1.2. Filler. 15. 2.1.3. Coupling Agent. 16. 2.1.4. Inisiator dan Akselerator. 17. 2.1.5. Inhibitor. 18. 2.1.6. Pigmen dan Komponen Lain. 19. Reaksi Polimerisasi Komposit .................................... 20 2.3. Klasifikasi Komposit. 23. 2.3.1. Berdasarkan Aktivasi. 24. 2.3.2. Berdasarkan Tipe Matriks. 26. 2.3.3. Berdasarkan Filler. 28. xi Universitas Sumatera Utara.

(15) 2.3.4. Berdasarkan Viskositas dan Aplikasi Klinis .. 32 2.4. Sifat Resin Komposit. 33. 2.4.1. Sifat Mekanis Resin Komposit. 33. 2.4.2. Sifat Klinis Resin Komposit. 35. 2.4.3. Sifat Fisis Resin Komposit. 37. 2.5. 39. 2.5.1. Warna. Skema Warna Dasar. 39. 2.5.1.1 Harmoni Warna ................................. 41 2.5.1.2 Teori Warna Aditif ............................ 43 2.5.1.3 Teori Warna Subtraktif ....................... 44 2.5.1.4 Sifat Warna ........................................ 45 2.5.1.5 Cahaya............................................... 46 2.5.1.6 Persepsi Warna .................................. 46 2.5.2. Efek Warna Sekitar. 48. 2.5.2.1 Kualitas Cahaya ................................. 49 2.5.2.2 Tiga Dimensi Warna .......................... 50 2.5.2.3 Translusensi....................................... 52 2.5.2.4 Fluoresensi ........................................ 52 2.5.2.5 Opalesensi ......................................... 53 2.5.2.6 Metamerisme ..................................... 53 2.6. Alat dan Metode Pengukuran Warna Gigi Secara Visual ........................................................................ 54. xii Universitas Sumatera Utara.

(16) 2.6.1 Shade Guide. 56. 2.6.2 Standar Operasional Prosedur Pemilihan Warna ............................................................ 58 2.7. Alat dan Metode Pengukuran Warna Gigi dengan Teknik Instrumental................................................... 59 2.7.1 Kolorimeter..................................................... 60 2.7.2 Spektrofotometer dan Spektroradiometer ........ 61 2.7.3 Kamera Digital Sebagai Filter Kolorimeter...... 62 2.7.4 Sistem eLABor_aid ......................................... 62 2.7.4.1 Persyaratan Perangkat Keras .............. 63. 2.7.4.2 ........................................................................ Alur Kerja Digital 2.8. BAB 3. BAB 4. Kerangka Teori. 64 72. KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1. Kerangka Konsep Penelitian .......................................... 73. 3.2. Hipotesis Penelitian ....................................................... 73. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian ............... 75. 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian .................................. 75. 4.3. Populasi, Sampel, dan Besar Sampel Penelitian ...... 75 4.3.1 Populasi Peneltian ......................................... 75. xiii Universitas Sumatera Utara.

(17) 4.3.2 Sampel Penelitian............................................ 76 4.3.3 Besar Sampel Penelitan ................................... 76 4.4. Variabel, Identifikasi Variabel, dan Definisi Operasional ............................................................... 78 4.4.1 Variabel Penelitian .......................................... 78 4.4.2 Variabel Terikat .............................................. 78 4.4.3 Variabel Terkendali......................................... 78 4.4.4 Variabel Tidak Terkendali ............................... 79. 4.4.5. Identifikasi Variabel Penelitian. 79. 4.4.6. Definisi Operasional Variabel. 80. 4.5. 4.4.6.1. Definisi Operasional Variabel Bebas 80. 4.4.6.2. Definisi Operasional Variabel Terikat 82. Alat dan Bahan Penelitian ..........................................83 4.5.1 Alat Penelitian. 83. 4.5.2 Bahan Penelitian. 83. 4.6. Prosedur Penelitian. 4.6.1 Persiapan Sampel. 84 84. 4.6.2 Penentuan Warna Gigi Awal dengan Kolorimeter .................................................... 84 4.6.3 Penentuan Warna Gigi dengan eLABor_aid .... 84 4.6.4. Penentuan Warna Gigi dengan Metode Visual 85. 4.6.5 Preparasi Kavitas ............................................ 87. xiv Universitas Sumatera Utara.

(18) 4.6.6 Pengukuran Warna Sampel Gigi yang Telah Direstorasi dengan Kolorimeter ...................... 87 4.7. Analisa Data .............................................................. 88. 4.8. Alur Penelitian........................................................... 89. BAB 5. HASIL PENELITIAN ............................................................. 90. BAB 6. PEMBAHASAN ..................................................................... 98. BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ............................................................... 106. 7.2. Saran ......................................................................... 107. DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 108. xv Universitas Sumatera Utara.

(19) DAFTAR TABEL. Halaman Tabel 2.1. Ukuran filler pada tiap kelas komposit .......................................... 31. Tabel 4.1. Definisi operasional, cara mengukur, alat ukur, dan skala ukur variabel bebas penelitian ........................................................ 80. Tabel 4.2. Definisi operasional, cara mengukur, alat ukur, dan skala ukur variabel terikat penelitian .............................................................. 82. Tabel 5.1. Distribusi tingkat akurasi penentuan warna restorasi gigi antara metode visual dengan metode eLABor_aid .......................... 91. Tabel 5.2. Distribusi tingkat akurasi penentuan warna restorasi gigi menggunakan metode visual dengan resin komposit Nano Fill (3M Z350XT) dan resin komposit Nano Hybrid (3M Z250 XT) .............................................................................. 92. Tabel 5.3. Distribusi tingkat akurasi penentuan warna restorasi gigi menggunakan metode eLABor_aid dengan resin komposit Nano Fill (3M Z350XT) dan resin komposit Nano Hybrid (3M Z250 XT) ............................................................................... 93. Tabel 5.4. Korelasi nilai ∆E pada gigi anterior yang direstorasi dengan metode visual dan metode eLABor_aid ......................................... 94. xvi Universitas Sumatera Utara.

(20) Tabel 5.5. Korelasi nilai ∆E pada gigi anterior yang direstorasi menggunakan metode visual dengan resin komposit Nano Fill (3M Z350XT) dan resin komposit Nano Hybrid (3M Z250 XT) ............................................................................... Tabel 5.6. 95. Korelasi nilai ∆E pada gigi anterior yang direstorasi menggunakan metode eLABor_aid dengan resin komposit Nano Fill (3M Z350XT) dan resin komposit Nano Hybrid (3M Z250 XT) ............................................................................. 96. xvii Universitas Sumatera Utara.

(21) DAFTAR GAMBAR. Halaman Gambar 1. Struktur Bis-GMA .................................................................. 12. Gambar 2. Struktur UDMA ...................................................................... 12. Gambar 3. Struktur TEGDMA ................................................................. 14. Gambar 4. Struktur Bis-EMA ................................................................... 14. Gambar 5. Struktur Kimia Silane Coupling Agent yang Bereaksi dengan Matriks dan Filler .................................................................. 17. Gambar 6. Camphorquinone (CQ) sebagai Fotonisator ............................ 18. Gambar 7. Amina Organik sebagai Akselerator ........................................ 18. Gambar 8. Reaksi Polimerisasi Tahap Inisiasi .......................................... 21. Gambar 9. Reaksi Polimerisasi Tahap Propagasi ..................................... 22. Gambar 10. Reaksi Polimerisasi Tahap Terminasi ..................................... 23. Gambar 11. Partikel Nanomerik dan Nanocluster ...................................... 31. Gambar 12. Lingkaran Warna .................................................................... 40. Gambar 13. Skema Warna Komplementer ................................................. 41. Gambar 14. Skema Warna Analog ............................................................ 42. Gambar 15. Skema Warna Tetradik atau Persegi Panjang .......................... 42. Gambar 16. Skema Warna Split-Komplementer .......................................... 43. Gambar 17. Skema Warna Persegi ............................................................. 43. Gambar 18. Teori Warna Aditif .................................................................. 44. Gambar 19. Teori Warna Subtraktif ........................................................... 45. xviii Universitas Sumatera Utara.

(22) Gambar 20. Simultaneous Contrast ............................................................... 47. Gambar 21. Succesive Contrast ..................................................................... 48. Gambar 22. Sistem Warna Munsell ............................................................... 57. Gambar 23. a) Vitapan 3D-Master Shade Guide b) Vita Lumin Shade Guide c) Chomascop Shade Guide ......................................................... 57. Gambar 24. Sistem L*a*b* ........................................................................... 59. Gambar 25. Alat Pengambilan Warna a) Vita Easyshade b) Shade eye NCC c) Shade scan d) Shade rite dental vision system e) Spectroshade ......................................................................... 61. Gambar 26. Digital PCM Setup .................................................................... 63. Gambar 27. Jarak Pengambilan Gambar Berdasarkan Lensa dan Sensor Kamera.......................................................................... 64. Gambar 28. Pengaturan Profil Kamera DSLR di Menu Dropdown pada Develope Mode................................................................. 65. Gambar 29. Grey Card.................................................................................. 66. Gambar 30. Pengaturan White Balance pada Aplikasi Lightroom .................. 67. Gambar 31. Pengaturan Exposure Balance pada Aplikasi Lightroom............. 68. Gambar 32. Penyesuaian Nilai Eksposur Gambar dengan Eksposur Grey Card ................................................................................. 69. Gambar 33. Pengukuran Warna Gigi Target .................................................. 70. Gambar 34. Kasus Klinis dengan Restorasi Metal Ceramic yang Didokumentasikan pada Beberapa Penyinaran yang Berbeda ..... 71. xix Universitas Sumatera Utara.

(23) Gambar 35. Kasus Klinis yang Menggunakan Sistem eLABor_aid pada Restorasi All Ceramic ........................................................ 71. xx Universitas Sumatera Utara.

(24) DAFTAR SINGKATAN. 1. Bis-GMA. : Bisphenol A-Glicydil Methacrylate. 2. TEGDMA. : Triethylene Glycol Dimethacrylate. 3. Bis-EMA(6). : Bisphenol A Ppolyethylene Glycol Diether Dimethacrylate. 4. UDMA. : Urethane Dimethacrylate. 5. CQ. : Camphorquinone. 6. HQ. : Hidroquinone. 7. BHT. : Butylated Hydroxytoluene. 8. DMAEMA. : Dimethylaminoethyl Metacrylate. 9. CRI. : Color Rendering Index. 10. LED. : Light Emitting Diode. 11. SV+. : Shademat Visual+. 12. CCDs. : Charge Coupled Devices. 13. PCM. : Pulse Code Modulation. 14. DSLR. : Digital Single Lens Reflex. 15. TTL. : Through The Lens. 16. L*. : Lightness, yaitu koordinat value yang berkisar dari 0 untuk hitam sempurna hingga 100 untuk putih sempurna. 17. a*. : memiliki rentang -100 sampai 100, nilai a positif (0 hingga 100) menunjukkan rentang warna merah dan nilai a negatif (0 hingga -100) menunjukkan rentang warna hijau. xxi Universitas Sumatera Utara.

(25) 18. b*. : memiliki rentang -100 sampai 100, nilai b positif (0 hingga 100) menunjukkan rentang warna kuning dan nilai b negatif (0 hingga -100) menunjukkan rentang warna biru. xxii Universitas Sumatera Utara.

(26) DAFTAR LAMPIRAN. 1. Alur Penelitian 2. Ethical Clearance 3. Prosedur Penelitian 4. Data Induk 5. Output Penelitian. xxiii Universitas Sumatera Utara.

(27) 1. BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini penggunaan bahan restorasi sewarna gigi sebagai pengganti struktur. gigi yang rusak sangat diminati guna memenuhi kebutuhan estetik. Bahan resin komposit populer digunakan karena memiliki sifat optik yang baik dan mempunyai nilai estetik yang baik karena dapat terlihat alami seperti gigi asli, termasuk dalam hal warna (Anusavice, 2013). Warna gigi seseorang pada dasarnya ditentukan oleh warna dentin. Dentin normal berwarna kuning putih dan sedikit gelap dibandingkan enamel. Salah satu permasalahan yang dapat menimbulkan persoalan estetik adalah karies yang mengenai gigi terutama pada gigi anterior dan pemilihan warna bahan restorasi yang tidak akurat (Sakaguchi, 2012). Kesulitan dalam memilih warna gigi yang akurat disebabkan hal ini merupakan suatu proses yang sangat subjektif. Proses pemilihan warna. ini. bergantung pada tiga faktor utama yakni sumber pencahayaan, objek (gigi), dan pengamat (dokter gigi / pasien / masyarakat) (Miletic, 2017) . Walaupun tidak ada satupun metode yang dapat ditetapkan sebagai suatu standar dalam pemilihan warna gigi, terdapat dua metode dalam memilih warna gigi, yakni secara visual dan instrumental (Nurhapsari, 2016). Pemilihan warna gigi secara visual dengan menggunakan shade guide, sedangkan secara instrumental menggunakan alat seperti. Universitas Sumatera Utara.

(28) 2. kolorimeter, serta yang berkembang baru-baru ini yaitu dengan pendekatan digital fotografi (Daculsi, 2003). Pemilihan warna gigi merupakan langkah pertama sebelum melakukan restorasi gigi. Pemilihan warna gigi dengan metode visual dengan menggunakan shade guide adalah metode yang paling sering digunakan oleh klinisi. Shade guide adalah alat bantu dalam pemilihan warna gigi yang akan direstorasi secara visual (Manappallil, 2003). Cara kerja metode visual adalah dengan mencocokkan warna gigi pasien dengan standar warna pada shade guide. Akan tetapi, metode ini memiliki banyak kekurangan karena tidak reliabel, tidak konsisten, dan sangat subjektif. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain respon fisiologis dan psikologis individu terhadap stimulus energi radiasi, usia tua, kelelahan, emosi, pencahayaan, objek dan posisi pencahayaan, serta metamerisme (Kenneth, 1992). Ketidak sempurnaan shade guide yang beredar untuk mencakup seluruh spektrum warna gigi dapat mengakibatkan penentuan warna gigi tidak konsisten dan mempengaruhi estetik restorasi gigi (Bhat, 2013). Todorovic et al. (2013) melakukan penelitian untuk menilai reliabilitas shade guide konvensional dalam penentuan warna gigi. Penelitian tersebut membandingkan 10 shade guide Vita Classical dan 10 VITA 3D Master Shade Guide yang baru dan dilakukan penilaian warna dengan menggunakan software Vita Easyshade spektofotometer pada titik yang sama. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa shade guide Vita Classical dan VITA 3D Master Shade Guide tidak reliabel karena setiap shade guide memiliki perbedaan warna yang signifikan antara satu sama lain.. Universitas Sumatera Utara.

(29) 3. Hal ini tidak hanya menunjukkan bahwa metode visual adalah metode yang subjektif, akan tetapi juga menunjukkan bahwa shade guide yang diproduksi oleh pabrik yang sama dapat menghasilkan warna antar shade guide yang bervariasi. Oleh karena itu, metode visual dianggap sebagai metode yang memiliki presisi yang rendah dan konvensional. Browning et al. (2009) meneliti tentang kecocokan warna antara resin komposit yang sudah dipolimerisasi dengan shade guide Vita Classical. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa tingkat kecocokan warna antara bahan resin komposit dengan shade guide Vitapan Classic sangat rendah. Pemilihan. warna. menggunakan. teknologi. terus. berkembang. untuk. mengurangi ketidak cocokan warna ketika memilih warna gigi dengan metode visual. Pemilihan warna gigi yang objektif dapat diubah ke dalam nilai spesifikasi warna sesuai dengan yang ditetapkan oleh Commission Internationale de l'Eclairage (CIE) atau dalam bahasa inggris disebut International Commission on Illumination. Instrumen. yang. paling. sering. digunakan. adalah. kolorimeter. tristimulus,. spektroradiometer, kamera digital, dan spektofotometer. Kebanyakan dari instrumen ini menggunakan sistem warna CIE-Lab untuk menentukan perbedaan warna (∆E) antara warna gigi dengan warna bahan restorasi yang akan digunakan. Salah satu penentuan warna gigi secara instrumental yaitu kolorimeter . Instrumen ini diklaim dapat mengkuantifikasi warna secara akurat sehingga mengurangi subyektifitas persepsi warna yang ditentukan secara visual. Kolorimeter adalah sebuah instrumen pengukur warna yang melakukan pengukuran tristimulus berdasarkan cahaya yang melewati tiga filter utama yaitu, merah, hijau, dan biru, dimana alat ini dapat. Universitas Sumatera Utara.

(30) 4. mensimulasikan sensitifitas mata manusia terhadap cahaya. Data tersebut dapat digunakan untuk mengatur komponen warna atau menentukan apakah warna dari produk yang dihasilkan sesuai dengan standar atau referensi (Manappalil, 2003) . Penelitian yang dilakukan oleh Okubo (1998) menemukan bahwa penentuan warna gigi dengan metode visual hasilnya tidak konsisten, sementara penentuan warna dengan metode instrumental menggunakan kolorimeter menghasilkan akurasi yang lebih baik walaupun tidak signifikan. Kroger et al. (2015) melakukan penelitian yang membandingkan metode pemilihan warna restorasi secara visual dan instrumental kolorimeter dengan berbagai pencahayaan. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa tingkat akurasi warna dengan menggunakan metode instrumental kolorimeter mencapai 92,2%, sedangkan dengan metode visual hanya sebesar 43,7%. Dalam 20 tahun belakangan ini terdapat kemajuan teknologi fotografi digital yang pesat dan memiliki peran yang sangat besar dalam dunia kedokteran gigi karena dapat menghasilkan foto gigi secara langsung. Akan tetapi, tidak terdapat standarisasi dalam teknik pemotretan dan analisa warna gigi. Hein (2016) melakukan penelitian pada 40 buah gigi yang diekstraksi untuk menilai penggunaan grey card yang terstandarisasi dalam memperbaiki warna pada foto karena efek pencahayaan yang berbeda. Penggunaan grey card ini dapat digunakan untuk mengkalibrasi variabilitas warna gigi pada hasil foto akibat pencahayaan yang berbeda sehingga mendapatkan hasil foto dengan warna gigi yang akurat . Maddulla (2018) meneliti tentang. Universitas Sumatera Utara.

(31) 5. perbandingan standarisasi warna gigi dengan metode fotografi digital dengan dan tanpa bantuan grey card. Ketika dinilai secara visual, hasil foto yang dikalibrasi dengan menggunakan grey card menghasilkan warna gigi yang lebih akurat dibandingkan dengan hasil foto warna gigi yang tidak menggunakan gray card. Hasil foto gigi yang tidak menggunakan grey card dapat menghasilkan warna yang sangat bervariasi dan tidak terstandar.. Dalam beberapa tahun belakangan ini, ditemukan suatu metode instrumental dalam memilih warna bahan restorasi gigi, yaitu metode eLABor_aid . Metode eLABor_aid adalah metode instrumental yang terstandarisasi dalam menentukan warna gigi dengan menggunakan metode fotografi digital. Metode eLABor_aid diklaim efisien dan efektif dalam menentukan warna restorasi gigi yang akurat . Untuk mencapai standarisasi warna, dilakukan fotografi dengan bantuan filter polarisasi silang, kalibrasi warna menggunakan grey card yang. dipotret. menggunakan kamera digital single lens reflex (DSLR), dan hasil foto yang diproses dengan fotografi digital dengan software CIE L*a*b* (1976) color space. Pendekatan sistematik ini dilakukan guna mendapatkan pengukuran warna yang akurat dan dapat dimunculkan dalam kuantifikasi numerik (Camey, 2016). Dalam penelitian ini, peneliti mencoba membandingkan metode penentuan warna shade guide yang paling baik pada gigi anterior dengan restorasi direct composite. Metode yang akan dibandingkan adalah metode visual dengan metode instrumental eLABor_aid yang dinilai dengan kolorimeter.. Universitas Sumatera Utara.

(32) 6. 1.2. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas dapat diajukan beberapa masalah yang dapat. dirangkum, yaitu sebagai berikut: 1.. Permasalahan yang dapat menimbulkan persoalan estetik adalah karies yang mengenai gigi terutama pada gigi anterior dan pemilihan warna bahan restorasi yang tidak akurat.. 2.. Metode yang paling sering digunakan oleh klinisi adalah metode visual dengan menggunakan shade guide. Akan tetapi, shade guide memiliki banyak kekurangan karena tidak reliabel, tidak konsisten, dan sangat subjektif.. 3.. Kesulitan dalam memilih warna gigi yang akurat dikarenakan hal ini merupakan suatu proses sangat subjektif. Proses pemilihan warna ini bergantung pada tiga faktor utama yakni sumber pencahayaan, objek (gigi), dan pengamat (dokter gigi / pasien / masyarakat).. 4.. Walaupun tidak ada satupun metode yang dapat ditentukan sebagai suatu standar dalam pemilihan warna gigi, terdapat dua metode dalam memilih warna gigi, yakni secara visual dan instrumental. Pemilihan warna gigi secara visual dengan menggunakan shade guide, sedangkan secara instrumental. menggunakan. alat. seperti. kolorimeter,. serta. yang. berkembang baru-baru ini yaitu dengan pendekatan digital fotografi.. Universitas Sumatera Utara.

(33) 7. 5.. Metode pemilihan warna gigi dengan metode instrumental dinilai lebih objektif dan dapat menilai keakuratan warna gigi yang diubah dalam nilai L*, a*, dan b*.. 1.3. Pertanyaan Penelitian Dari permasalahan yang diajukan di atas, timbul pertanyaan penelitian sebagai. berikut: 1.. Apakah penentuan warna restorasi gigi dengan metode visual pada gigi anterior akurat?. 2 Apakah penentuan warna restorasi gigi dengan metode eLABor_aid pada gigi anterior akurat? 3.. Apakah terdapat perbedaan tingkat akurasi penentuan warna restorasi gigi anterior antara metode visual dengan metode eLABor_aid?. 4.. Apakah terdapat perbedaan tingkat akurasi penentuan warna restorasi gigi menggunakan resin komposit Nano Fill (3M Z350XT) dengan Nano Hybrid (3M Z250XT)?. 1.4. Tujuan Penelitian. 1.4.1. Umum Untuk menganalisis metode penentuan warna restorasi gigi yang akurat pada. gigi anterior dengan restorasi klas IV resin komposit.. Universitas Sumatera Utara.

(34) 8. 1.4.2. Khusus 1.. Untuk menganalisis akurasi warna restorasi gigi (∆E) pada gigi anterior yang ditentukan dengan metode visual menggunakan shade guide.. 2.. Untuk menganalisis akurasi warna restorasi gigi (∆E) pada gigi anterior yang ditentukan dengan metode instrumental menggunakan sistem eLABor_aid.. 3. Untuk membandingkan metode visual atau eLABor_aid yang lebih akurat dalam menentukan warna restorasi gigi anterior. 4.. Untuk membandingkan penggunaan dua bahan resin komposit, yaitu resin komposit Nano Fill (3M Z350XT) dengan Nano Hybrid (3M Z250XT) terhadap tingkat akurasi penentuan warna restorasi gigi anterior.. 1.5. Manfaat Penelitian. 1.5.1. Untuk Pengembangan Ilmu Diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan estetik bahan restorasi gigi. khususnya dalam hal penentuan warna.. Universitas Sumatera Utara.

(35) 9. 1.5.2. Untuk Peningkatan Kualitas Pelayanan Dapat memberikan gambaran pentingnya memilih metode yang akurat untuk. penentuan warna gigi anterior sehingga dapat tercapai estetik yang diharapkan.. 1.5.3. Untuk Masyarakat. Dengan adanya alat penentuan warna restorasi gigi yang akurat, diharapkan masyarakat akan mendapatkan kualitas warna restorasi gigi anterior yang sesuai dengan tuntutan estetika.. Universitas Sumatera Utara.

(36) 10. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Resin komposit pertama kali diperkenalkan oleh Bowen pada tahun 1962 (Anusavice, 2013). Komposit adalah salah satu perkembangan paling revolusioner di bidang restorasi gigi (Sakaguchi,2012). Komposit telah berkembang pesat dengan berbagai macam kemajuan selama lima dekade terakhir (Miletic, 2017). Resin komposit merupakan bahan restorasi berbasis resin yang dikembangkan dari bahan sebelumnya yaitu semen silikat dan resin akrilik (Nurhapsari, 2016). Kelebihan komposit dibandingkan semen silikat dan resin akrilik adalah dari segi sifat mekanisnya (Sakaguchi, 2012). Komposit sering menjadi pilihan restorasi gigi anterior atau posterior karena warnanya yang serupa dengan warna gigi (Sakaguchi, 2012; Miletic, 2017). Prosedur restorasi komposit bertujuan untuk mengganti struktur gigi yang hilang dari segi estetis dan fungsional (Miletic, 2017). Keuntungan bahan resin komposit adalah dapat dibuat dalam berbagai konsistensi, dari pasta yang sangat cair sampai kaku, yang dapat dimanipulasi dan dibentuk dengan mudah kemudian dikeraskan melalui reaksi polimerisasi sehingga menjadi kuat dan tahan lama (Anusavice, 2013).. 2.1. Komposisi Komposit Komposit terdiri dari tiga komponen utama yaitu matriks resin organik, filler. anorganik, serta coupling agent yang berfungsi untuk mengikat partikel filler dan. Universitas Sumatera Utara.

(37) 11. matriks resin dengan ikatan kimia. Selain komponen tersebut, matriks komposit mengandung bahan penting lainnya, seperti inisiator untuk mengaktifkan reaksi polimerisasi, inhibitor untuk mencegah polimerisasi spontan dan pigmen untuk memberi warna pada komposit agar sesuai dengan warna gigi (Miletic, 2017).. 2.1.1. Matriks Resin. 1. Bis-GMA (Bisphenol A-Glicydil Methacrylate) Bis-GMA (2,2 - bis [4(2-hydroxy-3-methacryloxy-propyloxy) - phenyl] propane) merupakan matriks resin yang paling banyak digunakan pada komposit restoratif (Daclusi, 2016). Bis-GMA merupakan gabungan dari grup bisphenol A dan glicidyl methacrylate dan mengandung ikatan karbon reaktif rangkap ganda pada setiap ujungnya yang dapat mengalami polimerisasi (Sakaguchi,2012; Daclusi, 2016). Bis-GMA memiliki sifat mekanis dan sifat fisik yang baik karena berat molekulnya yang tinggi dan gugus aromatiknya. Penggunaan gugus aromatik memberikan sifat optis yang baik pada komposit. Bis-GMA bersifat hidrofobik serta memiliki viskositas yang tinggi sehingga sulit. untuk dimanipulasi dan. menghalangi penambahan jumlah filler (Anusavice, 2013; Miletic, 2017). Tingginya viskositas disebabkan oleh interaksi ikatan hidrogen yang terjadi antara gugus hidroksil pada molekul monomer (Daclusi, 2016). Dalam upaya mendapatkan konsistensi yang baik, ditambahkan monomer dengan berat molekul rendah seperti TEGDMA (triethylene glycol dimethacrylate) dan Bis-EMA(6). Universitas Sumatera Utara.

(38) 12. (Bisphenol A polyethylene glycol diether dimethacrylate) (Anusavice, 2013, Sakaguchi, 2012).. Gambar 1 Struktur Bis-GMA (Anusavice, 2013). 2. UDMA (Urethane Dimethacrylate) Pada tahun 1974, Foster dan Walker memperkenalkan resin dimetakrilat yang lain yaitu urethane dimethacrylate (UDMA) (Daclusi, 2016). Sama seperti Bis-GMA, UDMA mengandung ikatan karbon reaktif rangkap ganda dan membentuk ikatan silang (Gambar 2) (Sakaguchi, 2012; Daclusi, 2016). Berat molekul yang tinggi menyebabkan UDMA memiliki viskositas yang tinggi pula. Meskipun demikian, UDMA memiliki rantai yang lebih pendek dan viskositas yang lebih rendah dari BisGMA sehingga mengurangi kebutuhan monomer pengencer dan memungkinkan peningkatan filler (Miletic, 2017; Daclusi, 2016). Komposit berbasis UDMA menunjukkan penyusutan polimerisasi yang lebih tinggi daripada komposit berbasis Bis-GMA. Bis-GMA dan UDMA menjadi monomer utama untuk sebagian besar komposit yang banyak digunakan saat ini (Daclusi, 2016).. Universitas Sumatera Utara.

(39) 13. Gambar 2 Struktur UDMA (Daclusi, 2016). 3. TEGDMA (Trietyhlene Glycol Dimethacrylate) Bis-GMA dan UDMA merupakan monomer dengan viskositas yang tinggi sehingga harus diencerkan dengan resin yang memiliki viskositas rendah seperti trietyhlene glycol dimethacrylate (TEGDMA) (Gambar 3). Penambahan TEGDMA memungkinkan komposit memiliki viskositas yang baik sehingga meningkatkan fleksibilitas komposit dan adaptasi permukaan (Daclusi, 2016). Penambahan komponen pengencer seperti TEGDMA juga memungkinkan penambahan jumlah filler untuk meningkatkan kekuatan resin (Anusavice, 2013). TEGDMA memiliki ukuran molekul yang lebih kecil dari Bis-GMA dan memiliki jumlah ikatan ganda yang lebih banyak sehingga meningkatkan derajat konversi tetapi juga meningkatkan penyusutan polimerisasi. Pengontrol viskositas lainnya adalah bisphenol A-dimethacrylate (Bis-DMA) dan etilen glikol dimetakrilat (EGDMA) (Daclusi, 2016).. Universitas Sumatera Utara.

(40) 14. Gambar 3 Struktur TEGDMA (Daclusi, 2016). 4. Bis-EMA (Ethoxylated Bisphenol-A-Dimethacrylate) Ethoxylated bisphenol-A-dimethacrylate (Bis-EMA) adalah monomer yang secara struktural mirip dengan Bis-GMA tetapi tanpa dua gugus hidroksil sehingga dapat menurunkan absorbsi air pada resin (Gambar 4). Bis-EMA memiliki viskositas yang lebih rendah daripada UDMA dan Bis-GMA (Daclusi, 2016). Bis-EMA dan TEGDMA memiliki penyusutan polimerisasi yang lebih besar sehingga meningkatkan risiko terjadinya kebocoran marginal (Anusavice, 2013).. Gambar 4 Struktur Bis-EMA (Daclusi, 2016). Universitas Sumatera Utara.

(41) 15. 2.1.2. Filler Resin komposit menggunakan tiga tipe filler yaitu:. 1. Quartz Pada awalnya quartz digunakan sebagai filler pada komposit. Material quartz sulit dipoles serta bersifat sangat keras sehingga dapat mengikis gigi atau restorasi lawannya. Lalu, dikembangkanlah filler baik dari segi kekerasan, translusensi maupun dari segi kemampuannya untuk dipoles (Anusavice, 2013; Goncalves dkk, 2018). 2. Silika koloidal Silika koloidal hanya ditambahkan sedikit pada komposit (5% berat) untuk memodifikasi viskositas pasta komposit. Partikel koloidal silika memiliki area permukaan yang besar (50 sampai 300 m1/g); sehingga walaupun hanya ditambahkan dalam jumlah kecil, silika koloidal dapat mengentalkan resin (Mannapalil, 2003). 3. Kaca/keramik yang mengandung logam berat Filler kaca/keramik yang mengandung logam berat memberikan radioopasitas pada komposit, dengan indeks refraktif 1,. Contohnya adalah filler barium (Ba), stronsium (Sr) dan zirkonium (Zr) (Mannapalil, 2003). Penggunaan filler pada resin komposit dapat meningkatkan kekuatan, modulus elastisitas serta daya tahan pada rongga mulut. Filler juga dapat mengurangi penyusutan polimerisasi, mengurangi koefisien ekspansi termal, mengontrol viskositas. komposit. bersama. monomer,. mengurangi penyerapan. air. serta. meningkatkan radioopasitas (Anusavice, 2013).. Universitas Sumatera Utara.

(42) 16. 2.1.3. Coupling Agent Ikatan yang kuat antara permukaan partikel filler dan permukaan matriks. polimer dicapai dengan penggunaan coupling agent (Gambar 5). Coupling agent yang paling sering digunakan adalah silikon organik (organosilane) seperti γmethacryloxypropyl trimethoxysilane atau yang disebut silane coupling agent.2 Coupling agent memiliki rantai molekul terhidrolisis yang panjang dengan dua ujung reaktif; satu berikatan dengan partikel filler dan yang lainnya berikatan dengan matriks polimer (Miletic, 2017). Ujung yang berikatan dengan filler memiliki gugus silanol (Si-OH) dimana atom silikon dan oksigen berikatan dengan permukaan filler. Molekul bifungsional ini mampu membentuk ikatan ion siloksan (Si-O-Si) dengan reaksi kondensasi. Ujung yang lain memiliki gugus metakrilat yang mengandung ikatan rangkap C = C yang terkonjugasi dengan matriks polimer dan membentuk ikatan kovalen yang kuat melalui reaksi adisi saat diaktivasi oleh cahaya (Miletic, 2017). Coupling agent yang baik dapat meningkatkan sifat fisis dan mekanis serta mencegah penetrasi air sepanjang antarmuka filler dan matriks (Daclusi, 2016). Beberapa coupling agent dapat berfungsi sebagai peredam stres antara permukaan filler dan resin sehingga memungkinkan matriks polimer lebih fleksibel karena stres dapat ditransfer ke filler yang lebih kaku (Baht, 2013).. Universitas Sumatera Utara.

(43) 17. Gambar 5 Struktur Kimia Silane Coupling Agent yang Bereaksi dengan Matriks dan Filler (Anusavice, 2013). 2.1.4. Inisiator dan Akselerator Proses polimerisasi komposit diaktivasi oleh reaksi cahaya atau kimia.. Aktivasi cahaya menggunakan cahaya biru dengan panjang gelombang 465 nm. Cahaya ini kemudian diabsorbsi oleh photo-sensitizer, seperti camphorquinone (CQ) (Gambar 6) (Daclusi, 2016). Pada komposit metakrilat, radikal bebas dihasilkan saat aktivasi. Reaksi polimerisasi diakselerasi dengan amina organik (Gambar 7). Amina organik dan camphorquinone stabil pada temperatur ruangan selama komposit tidak terpapar oleh cahaya (Daclusi, 2016). Walaupun camphorquinone paling sering digunakan, beberapa fotoinisiator yang lain sering digunakan sebagai pertimbangan estetik. Camphorquinone menyebabkan komposit yang belum dipolimerisasi sedikit berwarna kuning. Walaupun warna yang dihasilkan oleh camphorquinone hilang selama proses polimerisasi, beberapa dokter sering menemukan kesulitan dalam mencocokkan warna yang tepat karena perubahan warna tersebut (Daclusi, 2016).. Universitas Sumatera Utara.

(44) 18. Gambar 6 Camphorquinone (CQ) sebagai Fotoinisiator (Daclusi, 2016). Gambar 7 Amina Organik sebagai Akselerator (Daclusi, 2016). Aktivasi secara kimia dengan amina organik sebagai pasta katalis dan peroksida organik sebagai pasta universal menghasilkan radikal bebas, yang kemudian bereaksi dengan ikatan rangkap ganda, sehingga terjadi polimerisasi. Setelah dua pasta dicampur, polimerisasi terjadi dengan cepat (Daclusi, 2016).. 2.1.5. Inhibitor Reaksi kimia pada saat polimerisasi dapat terjadi dengan cepat dan dapat. diperlambat. dengan. inhibitor,. seperti. hydroquinone. (HQ). dan. butylated. hydroxytoluene (BHT) (Daclusi, 2016). Inhibitor ditambahkan pada sistem resin untuk meminimalisir atau mencegah polimerisasi dini pada monomer. Inhibitor memiliki reaksi potensial yang kuat dengan radikal bebas. Jika radikal bebas. Universitas Sumatera Utara.

(45) 19. terbentuk, misalnya oleh paparan cahaya ruangan, radikal bebas lebih cepat bereaksi dengan inhibitor sebelum bereaksi dengan monomer (Anusavice, 2013). Polimerisasi dimulai setelah seluruh inhibitor bereaksi. Inhibitor memiliki dua fungsi yaitu untuk memastikan waktu kerja tercukupi dan memperpanjang umur penyimpanan komposit (Daclusi, 2016).. 2.1.6. Pigmen dan Komponen Lain Komposit harus memiliki warna visual dan translusensi yang dapat. menyerupai struktur gigi. Translusensi dan opasitas diatur sedemikian rupa untuk mendapatkan warna yang sesuai dengan email dan dentin sehingga memberikan kesan alami (Anusavice, 2013). Pabrik menyediakan komposit dengan berbagai opasitas, translusensi, dan warna dari yang terang hingga kuning dan abu-abu untuk mendapatkan kualitas estetik yang baik pada restorasi (Daclusi, 2016). Oksida anorganik biasanya ditambahkan dalam jumlah kecil untuk memberikan warna yang sesuai dengan sebagian besar warna gigi. Komponen kimia seperti pigmen, bahan pembuat warna opak, dan penyerap sinar UV ditambahkan pada resin untuk meningkatkan estetik dan sifat optis pada komposit. Pigmen metal oksida ditambahkan untuk memberikan nuansa warna dan kontras yang sesuai dengan struktur gigi (Daclusi, 2016). Titanium dioksida dan aluminium dioksida digunakan untuk meningkatkan opasitas (Anusavice, 2013). Pigmen yang paling umum adalah besi oksida (Sakaguchi, 2012).. Universitas Sumatera Utara.

(46) 20. Penyerap sinar UV ditambahkan untuk meminimalisir perubahan warna yang disebabkan oleh oksidasi (Sakaguchi, 2012). Penyerap sinar UV menyerap radiasi elektromagnetik yang dapat menyebabkan perubahan warna. Penyerap sinar UV yang paling umum digunakan adalah 2-hidroksi-4-metoksi-benzofenon (Daclusi, 2016). Fluorescent agents kadang ditambahkan untuk meningkatkan vitalitas optik komposit dan mengikuti penampilan alami gigi. Fluorescent agents adalah pewarna atau pigmen yang menyerap cahaya di daerah ultraviolet dan violet (340-370 nm) pada spektrum elektromagnetik, dan memancarkan kembali cahaya di daerah biru (420-470 nm). Fluorescent agent sering digunakan untuk memperbaiki penampilan warna dengan menghasilkan efek “pemutihan” dengan meningkatkan jumlah cahaya biru yang dipantulkan (Sakaguchi, 2012).. 2.2 Reaksi Polimerisasi Komposit Polimerisasi adalah proses konversi monomer bermolekul kecil menjadi polimer. Bersamaan dengan reaksi ini, terdapat perubahan dimensi dan kontraksi kimia yang disebut dengan penyusutan polimerisasi. Penyusutan polimerisasi disebabkan oleh pertukaran jarak interatomik antara molekul-molekul dimana ikatan rangkap berubah menjadi ikatan kovalen tunggal. Konversi ini menyebabkan pemendekan jarak intermolekul antara unit monomer saat membentuk rantai polimer dan menyebabkan penyusutan polimerisasi (Daclusi, 2016). Reaksi polimerisasi komposit dibentuk dari sebuah proses yang disebut polimerisasi adisi radikal bebas (Anusavice, 2013). Proses ini disebut sebagai. Universitas Sumatera Utara.

(47) 21. polimerisasi adisi karena sebuah molekul ditambahkan ke rantai polimer sebagai proses reaksi. Reaksi polimerisasi terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama yaitu aktivasi dan inisiasi yang membutuhkan agen eksternal seperti panas, kimia atau cahaya untuk membentuk sebuah elektron reaktif yang disebut sebagai radikal bebas. Radikal bebas kemudian bereaksi dengan grup reaktif yaitu ikatan rangkap ganda karbon pada gugus monomer fenil, kemudian membentuk ikatan tunggal dengan karbon lain dan sebuah elektron yang belum berpasangan. Monomer yang berikatan dengan radikal bebas membentuk radikal bebas yang baru (Gambar 8) (Alrahlah, 2013).. Gambar 8 Reaksi Polimerisasi Tahap Inisiasi (Sakaguchi, 2012). Tahap kedua yaitu tahap propagasi. Pada tahap propagasi, radikal bebas berikatan lagi dengan ikatan rangkap ganda lainnya, sehingga terbentuk perpanjangan. Universitas Sumatera Utara.

(48) 22. rantai. Tahap propagasi terus berlanjut hingga tidak terdapat radikal bebas lagi yang kemudian masuk ke tahap terminasi (Gambar 9) (Alrahlah, 2013).. Gambar 9 Reaksi Polimerisasi Tahap Propagasi (Sakaguchi, 2012). Tahap terminasi dapat terjadi dalam beberapa cara. Huruf n mewakili jumlah unit repetisi (Gambar 10). Polimerisasi resin komposit akan terus berlanjut walaupun sudah selesai curing (Alrahlah, 2013).. Universitas Sumatera Utara.

(49) 23. Gambar 10 Reaksi Polimerisasi Tahap Terminasi (Sakaguchi, 2012). 2.3 Klasifikasi Komposit Klasifikasi komposit dibagi berdasarkan atas aktivasi, matriks, filler serta viskositas dan aplikasi klinisnya (Anusavice, 2013; Sakaguchi, 2012; Daclusi, 2016).. Universitas Sumatera Utara.

(50) 24. 2.3.1. Berdasarkan Aktivasi Polimerisasi monomer metakrilat diinisiasi dengan radikal bebas. Radikal. bebas dihasilkan melalui aktivasi kimia atau energi eksternal seperti panas dan cahaya (Daclusi, 2016). 1. Heat-Activated Resins Reaksi polimerisasi heat-activated resins diinisiasi oleh benzoyl peroxide, yang diaktivasi oleh panas dengan suhu di atas 65oC untuk menghasilkan radikal bebas benzoyl. Panas dan tekanan harus dikontrol dengan baik untuk menghasilkan konsentrasi radikal bebas yang lebih tinggi agar polimerisasi optimal. Heat-activated resins biasanya digunakan sebagai basis gigitiruan (Daclusi, 2016). 2. Chemically Activated Resins Chemically activated resins disediakan dalam dua pasta. Pasta yang satu mengandung aromatic tertiary amine, seperti n,n-dimethyl-p-toluidine sebagai aktivator. Pasta yang lain mengandung benzoyl peroxide sebagai inisiator, yang bereaksi dengan aktivator dan menghasilkan radikal bebas (Daclusi, 2016). Kekurangan resin yang diaktivasi dengan reaksi kimia adalah kemungkinan terbentuknya gelembung udara selama proses pencampuran yang dapat melemahkan struktur komposit dan menjebak oksigen, sehingga menghambat proses polimerisasi (Anusavice, 2013). Chemically activated resins memiliki nilai kekerasan dan derajat konversi yang lebih rendah daripada heat activated resins. Chemically activated resins biasanya digunakan untuk retainer orthodontik, provisional crown, dan custom trays (Daclusi, 2016).. Universitas Sumatera Utara.

(51) 25. 3. Light Activated Resins Untuk mengatasi masalah resin yang diaktivasi secara kimia, pabrik telah mengembangkan resin yang tidak perlu dicampur sehingga meminimalisir kemungkinan terjebaknya oksigen. Resin tersebut menggunakan sistem inisiator fotosensitif dan sumber cahaya sebagai aktivator. Light activated resins tersedia dalam satu pasta di dalam syringe kedap cahaya (Anusavice, 2013). Pada awalnya, resin menggunakan cahaya UV untuk menginisiasi radikal bebas. Seiring perkembangan zaman, cahaya UV diganti dengan sinar biru dengan panjang gelombang sekitar 460-480 nm (Anusavice, 2013; Daclusi, 2016). Keuntungan aktivasi resin dengan menggunakan cahaya biru dibandingkan dengan cahaya UV adalah peningkatan depth of cure, stabilitas warna, dan lain-lain (Anusavice, 2013). Camphorquinone merupakan photosensitizer yang sering digunakan yang menyerap cahaya biru dengan panjang gelombang sekitar 400-500 nm. Beberapa amina. organik. dapat. berinteraksi. dengan. camphorquinone,. seperti. dimethylaminoethyl methacrylate (DMAEMA). Kedua komponen ini tidak akan berinteraksi selama tidak terpapar cahaya (Anusavice, 2013). 4. Dual Activated Resins Salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan depth of cure adalah dengan mengkombinasikan komponen chemical curing dengan visible-light curing. Resin dual cure disediakan dalam dua pasta, yang satu mengandung inisiator berupa benzoyl peroxide dan yang lain mengandung akselerator berupa aromatic tertiary amine. Ketika kedua pasta tersebut dicampurkan, mereka akan memulai polimerisasi. Universitas Sumatera Utara.

(52) 26. dengan sangat lambat melalui mekanisme self-cure. Kemudian, polimerisasi akan dipercepat melalui mekanisme light-curing oleh camphorquinone atau amina organik (Anusavice, 2013). Keuntungan dari sistem ini adalah kemungkinan komposit untuk tetap dapat matang seluruhnya walaupun kurang terpapar cahaya. Kekurangan sistem ini adalah kemungkinan terbentuknya porus yang disebabkan oleh terjebaknya oksigen pada saat mencampur kedua pasta. Selain itu, resin dual cure memiliki stabilitas warna yang lebih rendah daripada resin light cure karena penggunaan akselerator aromatic amine. Stabilitas warna resin dual cure lebih baik dari resin self cure karena lebih sedikitnya konsentrasi akselerator aromatic amine bila dibandingkan dengan resin self cure (Anusavice, 2013). Resin dual cure ini cocok digunakan pada situasi dimana kurangnya penetrasi cahaya ke area tertentu dimana polimerisasi dibutuhkan (Anusavice, 2013; Daclusi, 2016).. 2.3.2. Berdasarkan Tipe Matriks Masalah utama pada komposit adalah penyusutan polimerisasi yang terjadi. saat curing, sehingga mendorong perkembangan matriks resin dengan penyusutan yang rendah (Anusavice, 2013). 1. Matriks organik konvensional Matriks organik konvesional biasanya adalah senyawa dimetakrilat, terutama Bis-GMA dan monomer lain seperti TEGDMA (Sakaguchi, 2012). 2. Matriks anorganik, yaitu ormocers. Universitas Sumatera Utara.

(53) 27. Ormocers merupakan singkatan dari originically modified ceramics. Ormocers terdiri dari kopolimer organik dan anorganik (Mahmoud, 2014). Bila dibandingkan dengan komposit konvensional, ormocers memiliki penyusutan polimerisasi yang lebih rendah, biokompatibilitas yang tinggi serta estetik yang sangat baik karena komponen uniknya yaitu ceramic polysiloxane (rantai silikonoksigen) (Anusavice, 2013; Rao, 2014). 3. Matriks acid modified dimethacrylate, yaitu compomers Compomers merupakan komposit yang ditambahkan komponen glass ionomer. Compomers memiliki sifat fisis yang lebih baik daripada glass ionomer tradisional dan RMGI, tetapi lebih buruk bila dibandingkan dengan komposit. Compomers memiliki indikasi klinis yang terbatas. Walaupun compomers dapat melepaskan fluor, pelepasannya tidak berkelanjutan pada tingkat yang konstan dan antikariogenik diragukan (Heymann, 2015). 4. Matriks ring opening epoxide, yaitu silorane Nama silorane berasal dari komposisi kimianya yaitu siloxane dan oxirane yang dikenal juga sebagai epoxy. Siloxane bersifat hidrofobik sehingga memiliki daya serap air yang rendah (Sakaguchi, 2012). Oxirane memiliki penyusutan dan stres polimerisasi yang lebih rendah (Daclusi, 2016). Bila dibandingkan dengan komposit konvensional, silorane memiliki hidrofobisitas yang lebih baik dan penyusutan polimerisasi yang lebih kecil (Heymann, 2015).. Universitas Sumatera Utara.

(54) 28. 2.3.3. Berdasarkan Filler Salah satu perkembangan pada komposit adalah dengan mengubah komponen. filler. Perkembangan pada komponen filler yaitu dengan memodifikasi ukuran, volume dan distribusi filler (Daclusi, 2016). 1. Komposit Macrofiller (Komposit Konvensional) Komposit macrofiller atau disebut juga komposit tradisional, merupakan komposit yang diperkenalkan pertama kali. Komposit macrofiller mengandung filler ground amorphous silica dan quartz dengan ukuran yang sangat besar dari 10 hingga 100 µm dan berat sekitar 75% sampai 80% (Anusavice, 2013; Heymann, 2015). Kekerasan yang dimiliki oleh filler menyebabkan abrasi selektif pada matriks resin sehingga menghasilkan permukaan yang kasar (Anusavice, 2013). Kekasaran permukaan menyebabkan komposit lebih rentan terhadap diskolorasi karena pewarnaan ekstrinsik (Heymann, 2015). 2. Komposit Small (Fine)-Particle Komposit small-particle memiliki diameter rata-rata partikel antara 0,1 sampai 10 µm (minifiller dan midifiller). Komposit small-particle lebih mudah dipoles daripada komposit macrofiller, tetapi komposit small-particle tidak dapat dipoles hingga sangat halus. Komposit small-particle memiliki jumlah filler hampir sama atau lebih tinggi daripada komposit macrofiller sehingga memiliki sifat mekanis yang lebih baik (Anusavice, 2013).. Universitas Sumatera Utara.

(55) 29. 3. Komposit Microfiller Komposit microfiller dirancang untuk memperbaiki permukaan komposit macrofill dari yang kasar menjadi permukaan yang halus mirip dengan email. Komposit microfiller mengandung filler silika koloidal dengan diameter rata-rata sekitar 0.01 sampai 0.04 µm. Ukuran partikel yang kecil menghasilkan permukaan yang halus dan dapat dipoles sehingga kurang retentif terhadap plak atau pewarnaan ekstrinsik. Komposit microfiller memiliki berat filler anorganik yang lebih kecil daripada komposit macrofiller yaitu sekitar 35% sampai 60%. Berat filler anorganik yang lebih kecil menyebabkan komposit microfiller memiliki sifat fisis dan mekanis yang lebih rendah sehingga tidak cocok untuk merestorasi area dengan tegangan stres yang tinggi. Komposit microfiller sebaiknya digunakan untuk merestorasi lesi karies pada permukaan halus gigi karena sifatnya yang dapat dipoles, halus dan tidak tahan terhadap stress (Anusavice, 2013). 4. Komposit Hybrid Komposit hybrid dikembangkan sebagai usaha untuk mengkombinasi sifat fisis dan mekanis komposit macrofiller dengan karakteristik permukaan yang halus pada komposit microfiller. Komposit hybrid memiliki berat filler anorganik sekitar 75% hingga 85%. Filler pada komposit hybrid merupakan campuran dari partikel microfiller dan filler kecil, sehingga memiliki diameter rata-rata yang lebih kecil daripada komposit macrofiller. Perbedaan diameter memungkinkan filler yang kecil dapat mengisi ruang yang dihasilkan di antara partikel filler yang besar (Sakaguchi, 2006). Karena kandungan filler anorganiknya yang relatif tinggi, sifat fisis dan. Universitas Sumatera Utara.

(56) 30. mekanis komposit hybrid biasanya lebih unggul daripada komposit macrofiller (Heymann, 2015). 5. Komposit Nanofiller Komposit nanofiller memiliki partikel filler yang sangat kecil dengan ukuran 1 sampai 100 nm (Sakaguchi, 2012). Terdapat dua tipe komposit yang mengandung partikel nano, yaitu: a) Nanofills Nanofills mengandung filler dengan ukuran nanometer (1-100 nm) pada matriks resin dan tidak memiliki partikel dengan ukuran yang lebih besar. Ukuran partikel nanomerik lebih kecil dari cahaya tampak (400-800 nm) sehingga material nanofills memiliki translusensi yang sangat tinggi. Terdapat dua tipe partikel nano yang digunakan pada komposit. yaitu partikel nanomerik dan nanoclusters. Partikel nanomerik terdiri dari partikel silika atau zirkonia berukuran nano yang tidak teraglomerasi. Permukaan partikel nanomerik berikatan dengan matriks resin melalui silane coupling agent. Partikel nanoclusters merupakan partikel nanomerik yang bergabung membentuk kelompok. Kedua partikel dikombinasikan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Keistimewaan dari komposit nanofills adalah komposit nanofills memiliki kekuatan mekanis seperti microhybrid tetapi memiliki kehalusan permukaan seperti microfiller (Gambar 11) (Sakaguchi, 2012).. Universitas Sumatera Utara.

(57) 31. Gambar 11 Partikel Nanomerik dan Nanocluster (Daclusi, 2016). b) Nanohybrid Nanohybrid mengandung filler berukuran lebih besar yang ditambahkan partikel berukuran nano, sehingga menyebabkan komposit nanohybrid dianggap sebagai komposit hybrid, bukan komposit true nanofilled (Sakaguchi, 2012).. Ukuran partikel filler pada masing-masing kelas komposit dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Anusavice, 2013). Tabel 2.1 Ukuran Filler pada Tiap Kelas Komposit Klasifikasi Filler. Ukuran Filler. Macrofillers. 10 sampai 100 µm. Small/fine fillers. 0,1 sampai 10 µm. Midifillers. 1 sampai 10 µm. Minifillers. 0,1 sampai 10 µm. Microfillers. 0,01 sampai 10 µm (agglomerated). Nanofillers. 0,005 sampai 0,1 µm 5 sampai 100 nm (non-agglomerated). Universitas Sumatera Utara.

(58) 32. 2.3.4. Berdasarkan Viskositas dan Aplikasi Klinis Klasifikasi komposit lain diperkenalkan berdasarkan viskositas dan aplikasi. klinisnya yaitu: 1. Komposit Universal Komposit universal merupakan komposit dengan filler hybrid atau microhybrid (Daclusi, 2016). Komposit universal memungkinkan dokter gigi dapat menggunakan satu jenis komposit yang sama untuk gigi anterior dan posterior (3M ESPE, 1998). 2. Komposit Flowable Komposit flowable diperkenalkan pada akhir tahun 1990-an dan dianggap sebagai subkelas dari microfill. Pada komposit flowable ditambahkan monomer pengencer atau jumlah filler dikurangi sebanyak 20-25% lebih rendah daripada komposit konvensional. Pengurangan jumlah filler menyebabkan komposit flowable memiliki sifat mekanis yang kurang baik sehingga biasanya digunakan pada daerah dengan tegangan stres yang minimal. Viskositas yang rendah menyebabkan komposit flowable dapat mengalir ke area undercut dan memiliki adaptasi yang sangat baik (Daclusi, 2016). 3. Komposit Bulk fill Komposit bulk fill dirancang untuk dapat dipolimerisasi sekaligus dengan ketebalan 4 mm sehingga diharapkan dapat mempermudah aplikasi klinis dan menghemat waktu (Daclusi, 2016; Gonçalves, dkk. 2018). Peningkatan. Universitas Sumatera Utara.

(59) 33. kemampuan polimerisasi dapat dicapai dengan berbagai cara seperti dengan menambahkan fotoinisiator selain camphorquinone, memodifikasi filler untuk meningkatkan translusensi, atau memodifikasi monomer matriksnya (Gonçalves, dkk. 2018; Monterubbianesi dkk, 2016). Berdasarkan viskositasnya, terdapat dua jenis komposit bulk fill, yaitu komposit bulk fill dengan viskositas rendah yang digunakan sebagai basis dan memerlukan capping layer serta komposit bulk fill dengan viskositas tinggi yang tidak memerlukan capping layer (Kelić, 2016).. 2.4. Sifat Resin Komposit Pada komposit, dikenal istilah derajat konversi komposit. Derajat konversi. komposit merupakan jumlah persentase ikatan ganda karbon yang sudah dikonversi menjadi ikatan tunggal untuk membentuk resin polimer. Semakin tinggi derajat konversi, maka semakin baik sifat fisis dan sifat mekanis komposit. Derajat konversi ditentukan oleh beberapa faktor seperti komposisi resin serta transmisi cahaya pada komposit. Transmisi cahaya bergantung pada intensitas cahaya, hamburan cahaya oleh partikel filler dan opasitas material tersebut (Anusavice, 2013).. 2.4.1. Sifat Mekanis Resin Komposit Komposit harus memiliki sifat mekanis yang mirip dengan struktur gigi. Sifat. mekanis yang baik harus dapat menahan stres yang tinggi pada saat fungsi ataupun saat kebiasaan parafungsi (Daclusi, 2016).. Universitas Sumatera Utara.

(60) 34. 1. Kekuatan lentur Kekuatan lentur komposit mengukur tingkat ketahanan dan kelenturan material untuk dibengkokkan sebelum patah. Pada umumnya, komposit memiliki kekuatan lentur sekitar 100-150 MPa. Sedangkan kekuatan lentur gigi pada bagian enamel sebesar 61-64 MPa, dan pada dentin sebesar 11,49 MPa. (Daclusi, 2016). 2. Kekerasan Kekerasan komposit adalah daya tahan material terhadap degradasi dan meningkatkan kualitas restorasi. Degradasi disebabkan oleh keausan abrasif, gaya pengunyahan dan cairan oral. Kekerasan komposit berhubungan dengan derajat konversinya (Chang, 2013). Kekerasan suatu komposit akan memengaruhi daya tahan bahan restorasi untuk jangka panjang di dalam rongga mulut. Tingkat kekerasan gigi secara keseluruhan, atau vickers hardness test adalah sebesar 250-360 VHN (Nari, 2017). 3. Modulus elastisitas Modulus elastisitas merupakan derajat kekakuan suatu material. Komposit dengan modulus elastisitas yang tinggi memiliki konsistensi yang lebih rigid, sedangkan material dengan modulus elastisitas yang rendah memiliki konsistensi yang lebih lunak. Elastisitis gigi pada bagian dentin sebesar 40-42 GPa, dan pada enamel sebesar 72-75 GPa (Anusavice, 2013).. Universitas Sumatera Utara.

(61) 35. 2.4.2. Sifat Klinis Resin Komposit Sifat klinis resin komposit meliputi depth of cure, radioopasitas, tingkat. keausan dan biokompatibilitas (Sakaguchi, 2012). 1. Depth of cure Kemampuan penetrasi cahaya ke dalam komposit bergantung pada panjang gelombang cahaya, jarak antara sumber cahaya dengan komposit serta penghamburan cahaya pada komposit. Konsentrasi fotoinisiator atau penyerap cahaya pada komposit harus cukup agar dapat bereaksi dengan panjang gelombang yang tepat. Jumlah dan ukuran filler termasuk aspek yang memengaruhi tingkat penghamburan cahaya. Aspek penting lain yang memengaruhi depth of cure adalah warna dan tingkat opasitas komposit. Komposit dengan tingkat opasitas yang tinggi menghamburkan lebih banyak cahaya sehingga memiliki depth of cure yang lebih rendah. Pada kasus seperti ini, peningkatan durasi paparan cahaya dan penurunan ketebalan tiap increment merupakan hal yang penting untuk keberhasilan klinis. Intensitas cahaya merupakan faktor penting yang memengaruhi tingkat polimerisasi komposit. Ujung sumber cahaya sebaiknya berjarak 1 mm dari permukaan komposit agar polimerisasi optimal. Standar durasi paparan cahaya selama 20 detik. Semakin lama durasi paparan cahaya, maka polimerisasi semakin optimal. 2. Radioopasitas Batas email dan komposit sulit ditentukan secara radiograf karena rendahnya tingkat opasitas komposit. Komposit dengan filler kaca harus dicampurkan dengan. Universitas Sumatera Utara.

(62) 36. komponen lain untuk meningkatkan radioopasitas. Beberapa komposit menggunakan partikel logam berat, partikel metal oksida dan beberapa partikel lain untuk meningkatkan radioopasitas. 3. Tingkat keausan Restorasi komposit selalu berkontak dengan permukaan lain seperti gigi lawan, partikel makanan dan cairan mulut yang dapat menyebabkan degradasi. Studi klinis menunjukkan bahwa komposit yang ideal untuk gigi anterior adalah komposit yang baik secara estetik. Komposit yang digunakan tidak mengutamakan kekuatan karena rendahnya gaya oklusal pada anterior. Tingkat keausan membutuhkan perhatian yang lebih besar di segmen posterior karena tingginya gaya oklusal di segmen tersebut. Tingkat keausan pada gigi adalah suatu hal yang fisiologis, dan diperkirakan sekitar 11 μm per tahun. 4. Biokompatibilitas Komposit resin melepaskan beberapa produk yang terdiri dari resin yang tidak terpolimerisasi dengan baik dan bahan tambahan seperti stabilisator UV dan inisiator. Beberapa material yang terlepas dari komposit dapat menyebabkan hipersensitivitas. Resin komposit masih dianggap aman digunakan karena hipersensitivitas yang disebabkan oleh resin komposit sangat jarang terjadi. Komposit dengan polimerisasi yang adekuat dapat meminimalisir jumlah produk yang dilepaskan (Noort, 2007). Penyusutan polimerisasi dan kebocoran marginal dapat terjadi. Kebocoran marginal memungkinkan pertumbuhan bakteri sehingga dapat menyebabkan karies sekunder. Prosedur restorasi harus dilakukan dengan benar untuk meminimalisir penyusutan polimerisasi dan kebocoran marginal (Anusavice, 2013).. Universitas Sumatera Utara.

(63) 37. 2.4.3. Sifat Fisis Resin Komposit Komposit harus memiliki sifat fisis yang cukup baik untuk mendapatkan sifat. klinis yang baik dan tahan lama (Sakaguchi, 2012). 1. Waktu polimerisasi Waktu pengerasan komposit chemically activated (self cured) berkisar sekitar 3 sampai 5 menit. Pada komposit light cure, polimerisasi dimulai ketika komposit terpapar cahaya light curing. Pengerasan dengan light curing berlangsung selama beberapa detik. Walaupun komposit sudah tampak keras setelah proses penyinaran, reaksi pengerasan sebenarnya masih berlanjut hingga 24 jam setelahnya. Komposit dapat langsung dipoles walaupun reaksi pengerasan masih berlanjut. 2. Penyusutan dan stres polimerisasi Semua komposit mengalami penyusutan polimerisasi selama pengerasan. Penyusutan polimerisasi menyebabkan terjadinya peningkatan stres sebesar 13 MPa antara komposit dan gigi. Stres menarik ikatan antara komposit dan gigi dan menimbulkan terbentuknya celah kecil yang memungkinkan terjadinya kebocoran marginal saliva dan mikroogranisme. Karies sekunder dan pewarnaan marginal juga dapat terjadi. Stres polimerisasi dapat melebihi kekuatan tarik email dan menyebabkan email retak atau fraktur. Penyusutan polimerisasi dapat dikurangi dengan mengubah komposisi dari komposit. Upaya penelitian dan pengembangan intensif sedang dalam proses untuk mengembangkan resin dengan penyusutan dan ekspansi termal yang rendah.. Universitas Sumatera Utara.

(64) 38. Sementara itu, berbagai teknik sudah dikembangkan untuk mengurangi stress polimerisasi. Teknik incremental setebal 2 mm dan kontrol waktu polimerisasi merupakan beberapa teknik untuk mengurangi stres polimerisasi (Anusavice, 2013). 3. Ekspansi termal Ekspansi termal pada komposit tiga kali lipat lebih besar dibandingkan struktur gigi. Ekspansi termal yang lebih besar menyebabkan komposit memiliki kontraksi yang lebih besar di bawah stimulus panas dan dingin sehingga meningkatkan stres pada ikatan permukaan filler dan matriks yang menyebabkan hilangnya adhesi (Daclusi, 2016). 4. Daya serap air Daya serap resin komposit terhadap air bergantung dari ukuran partikel filler. Kualitas dan stabilitas coupling agent sangat penting dalam meminimalisir jumlah daya serap air. 5. Solubilitas Kelarutan resin komposit bervariasi dari 0,25 hingga 2,5 mg/mm3. Intensitas dan durasi cahaya polimerisasi yang inadekuat dapat menyebabkan polimerisasi yang tidak sempurna, terutama pada dasar komposit. Polimerisasi yang tidak sempurna menyebabkan komposit memiliki daya serap dan solubilitas yang lebih besar, dengan manifestasi klinis awal berupa ketidakstabilan warna. 6. Warna dan Stabilitas Warna Warna dan campuran warna adalah faktor penting restorasi dari segi estetik. Seiring perkembangan zaman, pabrik menyediakan komposit dengan berbagai warna, tingkat opasitas, dan translusensi (Skaguchi, 2012; Daclusi, 2016). Komposit dengan. Universitas Sumatera Utara.

(65) 39. warna opak dirancang untuk menutupi warna dasar yang tidak diinginkan seperti pewarnaan, perubahan warna pada dentin dan lapisan logam. Lapisan paling luar menggunakan komposit dengan warna translusen agar sesuai dengan warna email (Daclusi, 2016). Penggunaan berbagai warna dengan tingkat opasitas yang berbeda dalam membangun restorasi memungkinkan hasil yang lebih baik dari segi estetik. Komposit resisten terhadap perubahan warna yang disebabkan oleh oksidasi tetapi rentan terhadap pewarnaan (Sakaguchi, 2012).. 2.5 Warna Faktor fungsional dan estetika menentukan tingkat keberhasilan restorasi. Untuk memenuhi faktor estetika, diperlukan empat faktor penentu dasar; yaitu. posisi,. kontur, tekstur dan warna. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip warna restorasi sangat penting untuk mencapai estetika yang optimal. Kombinasi warna tidak hanya meningkatkan faktor estetika, tetapi juga membuat restorasi tampak lebih alami dan menarik (Sikri, 2010).. 2.5.1. Skema Warna Dasar Panjang gelombang warna yang masih bisa ditangkap mata manusia berkisar. antara 380-780 μm. Spektrum warna dasar antara lain sebagai berikut: a) Warna ungu dengan panjang gelombang 380-450 μm. b) Warna biru dengan panjang gelombang 450-495 μm.. Universitas Sumatera Utara.

(66) 40. c) Warna hijau dengan panjang gelombang 495-570 μm. d) Warna kuning dengan panjang gelombang 570-590 μm. e) Warna jingga dengan panjang gelombang 590-620 μm. f) Warna merah dengan panjang gelombang 620-750 μm. Lingkaran warna (Gambar 12) adalah alat dasar untuk menggabungkan beberapa warna. Diagram lingkaran warna pertama dirancang oleh Isaac Newton pada tahun 1666. Diagram lingkaran warna terdiri dari berbagai macam desain, tetapi versi yang paling umum digunakan adalah roda 12 warna. Warna-warna utama adalah warna merah, kuning dan biru. Tiga warna sekunder (hijau, oranye dan ungu) dibuat dengan mencampur dua warna primer. Enam warna tersier dibuat dengan mencampur warna primer dan sekunder (Sikri, 2010). Lingkaran warna dapat dibagi menjadi warna panas dan dingin. Warna panas memberikan kesan energetik sedangkan warna dingin memberikan kesan tenang. Warna putih, hitam dan abu-abu dianggap netral (Sikri, 2010).. Gambar 12 Lingkaran warna (Sikri, 2010). Universitas Sumatera Utara.

(67) 41. 2.5.1.1 Harmoni Warna Harmoni warna terdiri dari dua warna atau lebih yang memiliki hubungan di lingkaran warna. Skema warna merupakan pedoman untuk memperoleh susunan warna yang selaras dan menarik. Skema warna terdiri dari (Sikri, 2010): 1. Skema warna komplementer Skema warna komplementer adalah warna yang terletak saling berlawanan pada roda warna dianggap sebagai warna yang saling melengkapi (Gambar 13). Contoh: merah dan hijau (Sikri, 2010).. Gambar 13 Skema Warna Komplementer (Sikri, 2010). 2. Skema warna analog Skema warna analog adalah warna-warna yang terletak bersebelahan pada roda warna (Gambar 14). Contoh: hijau dengan hijau kekuningan dan hijau kebiruan (Sikri, 2010).. Universitas Sumatera Utara.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dentin dalam keadaan lembab lebih baik untuk penetrasi resin komposit dan penggunaan teknik ethanol wet-bonding pada restorasi Klas II resin komposit nanoybrid lebih

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh Stress Decreasing Resin (SDR) dan resin flowable sebagai intermediate layer pada restorasi Klas V resin komposit

Perawatan saluran akar pada sisa akar gigi dengan restorasi akhir resin komposit direk yang diperkuat pasak dapat menjadi satu alternatif metode perawatan untuk

Perawatan saluran akar pada sisa akar gigi dengan restorasi akhir resin komposit direk yang diperkuat pasak dapat menjadi satu alternatif metode perawatan untuk

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh resin komposit bulk-fill pada restorasi klas II MOD gigi premolar maksila terhadap

RESTORASI TERHADAP INTERNAL ADAPTASI DARI KOMPOSIT RESIN KLAS V.

Dentin dalam keadaan lembab lebih baik untuk penetrasi resin komposit dan penggunaan teknik ethanol wet-bonding pada restorasi Klas II resin komposit nanoybrid lebih

Berdasarkan dari laporan kasus dapat disimpulkan bahwa resin komposit nanohybrid dapat digunakan sebagai pilihan untuk melakukan restorasi kavitas Klas I pada gigi posterior dengan