Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap Perbuatan Wanprestasi Dalam Hukum Perdata (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No.
74/Pid.B/2019/Pn.Tbt Tertanggal 28 Mei 2019)
Juni Kristian Telaumbanua
1, Sunarmi
2, Madiasa Ablisar
3, Mahmud Muliadi
41,2,3,4Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara
E-mail: [email protected] (CA)
Abstrak
Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019 tersebut dimana terdakwa, didakwa karena melakukan perbuatan telat membayar tagihan setelah melakukan pengambilan barang-barang milik PT. Agung Bumi Lestari dengan tunggakan sebesar Rp.
226.828.440.- yang diperjanjikan harus dibayar paling lambat setelah 30 hari sejak pengambilan barang.
Akibatnya, terdakwa harus menjalani hukuman 2 bulan penjara. Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai batasan yang membedakan antara wanprestasi dengan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian dan penerapan wanprestasi dan tindak pidana penggelapan dalam putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt.
Kata Kunci: Perjanjian, Wanprestasi dan Tindak Pidana Penggelapan
Abstract
Tebing Tinggi District Court Decision No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt dated May 28, 2019 where the defendant was charged for having committed late payment of bills after taking goods belonging to PT.
Agung Bumi Lestari with arrears of Rp. 226,828,440.- which was agreed upon must be paid no later than 30 days after taking the goods. As a result, the defendant had to serve 2 months in prison. Therefore, it is necessary to study the boundaries that distinguish between default and the criminal act of embezzlement in the agreement and the application of default and embezzlement in the decision of the Tebing Tinggi District Court No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt.
Keywords: Agreement, Default and the Crime of Embezzlement
Cara Sitasi:
Telaumbanua, JK. (2021), “Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap Perbuatan Wanprestasi Dalam Hukum Perdata (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/Pn.Tbt Tertanggal 28 Mei 2019)”, IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Vol . 2, No.2, Juni, Pages: 301-309.
A. Pendahuluan
Perbuatan wanprestasi merupakan bagian dari hukum perdata, sering sekali dikaitkan dengan penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal tersebut dapat dilihat dari putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019. Di dalam putusan tersebut terdakwa, didakwa karena melakukan perbuatan telat membayar tagihan setelah melakukan pengambilan barang-barang milik PT. Agung Bumi Lestari dengan tunggakan sebesar Rp. 226.828.440.- (dua ratus dua puluh enam juta delapan ratus dua puluh delapan ribu dua ratus empat puluh rupiah) yang diperjanjikan harus dibayar paling lambat setelah 30 (tiga puluh) hari sejak pengambilan barang. Akibatnya, terdakwa harus menjalani hukuman sebagaimana tercantum di dalam putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt, yakni 2 (dua) bulan penjara. Padahal jika dilihat dalam bagian pertimbangan hakim terdapat penguraian yang menunjukkan perbuatan terpidana sebenarnya bukan tindak pidana akan tetapi bagian wanprestasi, yaitu:
1. Bahwa Terdakwa mengalami penunggakan pembayaran antara Desember 2017 sampai dengan Maret 2018 barang-barang yang diambil oleh Terdakwa sesuai dengan 12 (dua belas) lembar bon pengambilan barang (sales invoice) tanggal 27 Desember 2017 sampai dengan Maret 2018 sebagaimana dalam barang bukti hingga tunggakan tersebut senilai lebih dari Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah);
ISSN ONLINE: 2745-8369
2. Bahwa terjadinya tunggakan pembayaran atau tidak dibayarkannya barang-barang yang diambil terdakwa dai PT. Agung Bumi Lestari adalah karena uang yang sudah dibayarkan pelanggan Terdakwa tidak Terdakwa setorkan ke perusahaan PT. Agung Bumi Lestari karena terpakai saat orang tuanya sakit sehingga kemudian perusahaan melaporkan Terdakwa ke kepolisian;
3. Menimbang, bahwa saat ini Terdakwa sudah melunasi tunggakannya ke pihak Perusahaan PT.
Agung Bumi Lestari dan telah melakukan perdamaian dengan PT. Agung Bumi Lestari;
Merujuk uraian di atas maka dapat dilihat secara seksama terpidana pada dasarnya melakukan wanprestasi namun telah dikenakan hukuman pidana. Kondisi tersebut jelas menggambarkan perbuatan kriminalisasi sehingga pelaku wanprestasi dihukum pidana padahal secara nyata dapat diselesaikan secara perdata.
1Hal tersebut menunjukkan tidak berjalannya asas ultimum remidium dalam penegakan hukum di Indonesia. Adapun yang menjadi pokok pembahasan dalam penulisan ini adalah; Apakah batasan yang membedakan antara wanprestasi dengan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian?
Bagaimana penerapan wanprestasi dan tindak pidana penggelapan dalam putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt?.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Sesuai dengan jenis dan sifat penelitiannya, sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku, jurnal ilmiah, makalah dan artikel ilmiah yang dapat memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer.
2Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research),
3dengan analisis data dilakukan secara kualitatif.
4Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan masalahnya adalah dengan melakukan pendekatan hasil kajian empiris teoritik dengan melihat berbagai pendapat para ahli, penulis dan kajian-kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan persoalan berdasarkan asas-asas hukum dan merumuskan definisi hukum.
5B. Pembahasan
1. Batasan Yang Membedakan Antara Wanprestasi Dengan Tindak Pidana Penggelapan Dalam Perjanjian
Wanprestasi kemungkinan terjadi dikarena 2 (dua) hal pokok, yaitu: Karena kesalahan debitor dan Karena keadaan memaksa (overmacht/force majure), sesuatu yang terjadi diluar kemampuan debitor, debitor tidak bersalah.
6Keadaan memaksa secara hukum tentunya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata walaupun untuk membuktikannya harus diajukan dipersidangan atau melalui putusan pengadilan. Demikian kesalahan di dalam perjanjian untuk melihat wujud nyata harus melalui sengketa dipengadilan atau tidak dengan menginventarisasi poin-poin pelanggaran yang dilakukan oleh debitor. Artinya, timbulnya wanprestasi ini dapat terjadi karena kesengajaan dan kelalaian. Wanprestasi yang timbul akibat dari kesalahan debitor, artinya debitor tidak melaksanakan kewajiban kontraktual yang seharusnya ditunaikan.
71 Kebijakan kriminalisasi ialah kebijakan untuk mengangkat/menetapkan/menunjuk suatu perbuatan yang semula tidak merupakan pidana menjadi suatu tindak pidana (delik/tindak kriminal). Tan Kamello, Kriminalisasi Perjanjian Kredit Bank, Makalah Seminar Publik, Diselenggarakan Oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013, hal. 4. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (socialpolicy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social-welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social-defense policy). Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak Tanah Di Indonesia: Suatu Pemikiran :Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria Pada Fakultas Hukum USU, (Medan: USU Press, 2006), hal. 2-3
2 Zainuddin dan Rahmat Ramadhani, “The Legal Force Of Electronic Signatures In Online Mortgage Registration”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21, No. 2, (2021): p. 244.
3 Rahmat Ramadhani, “Legal Consequences of Transfer of Home Ownership Loans without Creditors' Permission”, IJRS:
International Journal Reglement & Society 1, No. 2, (2020): p. 33.
4 Jhonny Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media, 2005), hal. 393
5 Rahmat Ramadhani, “Peran Poltik Terhadap Pembangunan Hukum Agraria Nasional”, SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi 1, No. 1, (2020): p. 2.
6 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 17
7 Kesalahan dalam wanprestasi adalah kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi kreditor. Perbuatan berupa wanprestasi tersebut menimbulkan kerugian terhadap kreditor, dan perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada debitor. Jika unsur kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang menimbulkan kerugian pada diri kreditor dan dapat dipertanggungjawabkan pada debitor. Kerugian yang diderita kreditor tersebut dapat berupa ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan kreditor, kerugian yang menimpa harta benda milik kreditor, atau hilangnya keuntungan yang dharapkan. Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, (Yogyakarta: UII Press, 2014), hal. 281
Wujud wanprestasi dikelompokkan kedalam 4 (empat) peristiwa, yaitu:
8a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali dimana hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa, sebagai berikut: Kedai minuman menjual sejumlah minumannya secara online dimana ada seseorang yang memesan selanjutnya dalam proses pengantaran akan dilakukan sejam kemudian tetapi waktu yang dijanjikan lewat. Akibat hal tersebut penjual telah melakukan wanprestasi, karena tidak bisa melakukan janji yang telah disanggupinya.
b. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru dimana hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa, sebagai berikut: seorang pembeli memesan celana melalui online. Pada saat memesan, pembeli melihat contoh bentuk celana yang ditawarkan di layar monitornya lalu pembeli memesan celana tersebut. Selanjutnya, celana dikirim sampai ke tempat pembeli, celana tidak sesuai seperti pada gambar. Karena itu penjual dikatakan wanprestasi karena tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana mestinya.
c. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya dimana hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa, sebagai berikut: seorang pembeli memesan alat pancing dari toko online. Pesanan tersebut harusnya sampai dalam waktu 4 (empat) hari, tetapi ternyata pesanan tersebut baru sampai pada hari ke-10 (kesepuluh). Akibat hal tersebut penjual dikatakan wanprestasi tetapi karena barang yang dipesanmasih dapat dipergunakan maka wanprestasi ini digolongkan wanprestasi yang terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan dimana hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa, sebagai berikut: penjual yang berkewajiban untuk tidak menyebarkan ke khalayak umum tentang identitas dan data diri pembeli, tetapi penjual telah melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, penjual dikatakan wanprestasi.
Selanjutnya, kondisi wanprestasi di atas sering sekali dialihkan kedalam perkara pidana dimana salah satunya ialah penggelapan. Tindak pidana penggelapan yang diatur pada KUHP yang termuat di dalam 6 (enam) pasal untuk unsur tindak pidananya mengacu pada Pasal 372 KUHP. Pasal 372 KUHP pada hakikatnya memiliki kesamaan dengan pasal tindak pidana lainnya, yakni memiliki unsur subjektif dan unsur objektif.
9Pasal 372 KUHP menunjukkan subjek hukum dengan kalimat “barang siapa”. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Andi Hamzah, yakni subjek hukum terwujud dalam kalimat “barang siapa” dan “setiap orang”.
10Unsur-unsur tindak pidana Pasal 372 KUHP, yaitu:
a. Unsur subjektif dapat dilihat melalui kata, sebagai berikut:
1) Kesengajaan yang terdapat dalam 372 KUHP dapat dikategorikan sebagai sengaja dengan maksud (oogmerk). Sengaja dengan maksud (oogmerk) memiliki makna si pelaku benar- benar mengkehendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana (constitutief gevolg).
11Artinya, jika dikaitkan dengan Pasal 372 maka barang siapa atau orang dikatakan sengaja dengan maksud disebabkan orang menghendaki barang yang dikuasainya (tanpa melawan hukum) tetapi bukan miliknya menjadi milik pribadi.
Oleh karena itu, orang memiliki kehendak dan membayangkan perbuatan pelaku, yakni orang menghendaki barang yang dikuasainya tanpa melawan hukum menjadi milik pribadi.
12Selanjutnya, bayangan kesengajaan ini ada karena pelaku pada waktu menghendaki barang yang dikuasainya tanpa melawan hukum menjadi milik pribadi, mempunyai bayangan atau gambaran dalam pikirannya untuk menjadikan barang yang dikuasai bukan milik sendiri menjadi milik pribadi sebagaimana yang terbayang tadi. Oleh karena itu, pasal ini termasuk pada delik formil yang mana tidak perlu melihat akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
8 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1963), hal. 45
9 Unsur subjektif merupakan kemampuan bertanggungjawab dan kesalahan atau schuld dan unsur objektif merupakan perbuatan, akibat dan keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. Tongat (II), Hukum Pidana Materiil, (Malang, UMM Press, 2015), hal. 45
10 Kata orang atau kalimat barang siapa dan setiap orang merupakan golongan subjek hukum yang dikenal secara umum, yakni orang (persoon) dan badan hukum (rechtpersoon). Zaeni Asyhadie & Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2016), hal. 61
11 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan Disertai Teori-Teori Pengantar Dan Beberapa Komentar, (Yogyakarta: Rangkang Education PuKAP Indonesia, 2012), hal. 78
12 Ibid, hal. 79
2) Melawan hukum; Hukum pidana sebagai salah satu hukum publik mengenal istilah perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dalam ruang lingkup pidana dikenal dengan istilah wedderechtelijkheid. Perbuatan melawan hukum dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: ajaran melawan hukum formil (formele wederrechtelijkheid) dan ajaran melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid).
13Awalnya, menurut ajaran melawan hukum formil, suatu perbuatan dianggap melawan hukum (wederrechtelijk), apabila perbuatan tersebut telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan dari suatu delik menurut undang-undang. Sedangkan menurut paham ajaran hukum materiil, suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum (wederrechtelijk), atau tidak, bukan hanya harus ditinjau kesesuaiannya dengan ketentuan- ketentuan hukum tertulis, melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas umum hukum yang tidak tertulis. Namun, telah terjadi pergeseran dalam literatur hukum dari yang tadinya mengikuti literatur hukum Belanda, dimana ajaran melawan hukum secara materiil tidak dimaknai dengan fungsi positifnya, yaitu hanya digunakan untuk membatasi keberlakuan rumusan delik apabila terdapat alasan pembenar berdasarkan keadaan nyata kasus terkait, menjadi melawan hukum secara materiil dengan fungsi positif.
14Merujuk uraian di atas maka Pasal 372 KUHP merupakan perbuatan melawan hukum formil (formele wederrechtelijkheid).
b. Unsur objektif dapat dilihat dari beberapa kalimat dibawah ini, sebagai berikut:
1) Memiliki dimana kata tersebut di dalam Pasal 372 KUHP mengandung arti sebagai menguasai suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak yang memiliki atas benda itu dimana tidak selalu mengandung sifat bermanfaat bagi diri pribadi.
15Seseorang yang memiliki sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 372 KUHP disebut petindak. Petindak telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sifat dari hak atas barang yang dikuasainya. Orang yang menguasai benda tersebut, tidak berhak untuk melakukan perbuatan memiliki hanya sebatas menguasai saja sehingga apabila terdapat penyalahgunaan maka tidak dibenarkan untuk melebihi dari hak yang dipunyainya tersebut.
Artinya, perbuatan memiliki ialah perbuatan terhadap suatu benda oleh orang yang seolah- olah pemiliknya, perbuatan mana bertentangan dengan sifat dari sifat hak yang ada padanya atas benda tersebut.
162) Benda; Benda yang dimaksud disini ialah benda bergerak dan berwujud saja. Hal tersebut senada dengan Pendapat Adami Chazawi yang mengatakan:
17“Apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan tidak tetap”.
3) Sebagian atau seluruhnya milik orang lain; Benda yang diambil haruslah barang/benda yang dimiliki baik seluruhnya ataupun sebagian oleh orang lain. Jadi harus ada pemiliknya, barang atau benda yang tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Dengan demikian dalam tindak pidana penggelapan, tidak dipersyaratkan barang yang dicuri itu milik orang lain secara keseluruhan. Penggelapan tetap ada meskipun itu hanya sebagian yang dimiliki oleh orang lain.
184) Ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, Van Bemmelen dan Van Hattum mengatakan:
19“Untuk dapat disebut yang ada padanya itu tidak perlu bahwa orang harus menguasai sendiri benda tersebut secara nyata. Dapat saja orang mendapat penguasaan sendiri benda tersebut secara nyata. Dapat saja orang mendapat penguasaan atas suatu benda melalui orang lain. Barang siapa harus menyimpan suatu benda, ia dapat menyerahkannya
13 Shinta Agustian et.al, Penjelasan Unsur Melawan Hukum, (Jakarta: Judicial Sector Support Program, 2016), hal. 21
14 Ibid
15 Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. No.69 K/Kr/1959 tanggal 11 Agustus 1959 dan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 92 K/Kr/1955 tanggal 7 April 1956
16 Adami Chazawi (II), Kejahatan Terhadap Harta Benda, (Malang: Bayumedia, 2003), hal. 73
17 Ibid, hal. 77
18 Tongat (II), Op.Cit, hal. 74
19 P.AF Lamintang, Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 131
kepada orang lain untuk menyimpan benda tersebut. Jika kemudian telah memerintahkan orang lain untuk menjualnya maka ia telah melakukan suatu penggelapan”.
Merujuk penguraian di atas tentunya antara penggelapan dan wanprestasi dalam sebuah perjanjian tidak dapat dikatakan sama. Artinya, terjadinya wanprestasi dalam perjanjian merupakan bagian dari hukum perdata sedangkan penggelapan dalam perjanjian sudah masuh dalam hukum pidana. Namun, perlu menjadi perhatian dalam menerapkan hukum pidana dalam ranah keperdataan (perjanjian) maka yang lebih diutamakan tetap hukum perdata untuk menyelesaikan persoalan hukumnya. Hal tersebut karena sifat hukum pidana yang ultimum remidium. Persoalan ultimum remidium yang melekat pada hukum pidana disebabkan oleh beberapa hal atau alasan yang merujuk pada pendapat Yoserwan dan P.A.F. Lamintang, yaitu:
20“Mengingat fungsi dan karakteristik hukum pidana yang demikian, keberadaan norma hukum pidana baru diperlukan bilamana norma hukum lainnya tidak dapat atau tidak berfungsi untuk melindungi kepentingan masyarakat. Norma hukum pidana dipandang sebagai upaya atau sarana terakhir untuk melindungi kepentingan bersama. Fungsi hukum pidana yang demikian disebut ultimum remidium. Doktrin ultimum remidium dalam hukum pidana selain dilatarbelakangi oleh fungsi hukum pidana, juga erat dengan keberadaan sanksi pidana. Mengingat sanksi pidana biasanya sangat keras dan mendatangkan penderitaan maka dia akan sangat terkait dengan kepentingan dan hak-hak individu atau hak asasi manusia. Keberadaan sanksi pidana yang sangat keras dan mendatangkan penderitaan tersebut menempatkan hukum pidana pada 2 (dua) sisi atau fungsi yang berhadap-hadapan. Disatu segi dia bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat yang juga kepentingan individu, sedangkan dipihak lain sanksi pidana juga dapat merugikan kepentingan individu. Fungsi hukum pidana yang demikian dikatakan sebagai dua sisi mata pisau yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Oleh sebab itu, penetapan dan pelaksanaan hukum pidana baru diperlukan bila kepentingan umum benar- benar menghendaki. Penetapan dan penerapan sanksi pidana baru dilakukan setelah sanksi lain tidak dapat berfungsi. Dalam ilmu hukum pidana, fungsi yang demikian disebut dengan fungsi sekunder dan subsider dari hukum pidana (secondary or subsidiary function)”.
Dengan demikian, perbedaan antara wanprestasi dengan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian ialah perbuatan wanprestasi dalam perjanjian termasuk kategori kelalaian debitor dalam memenuhi prestasi sesuai kesepakatan dengan kreditur baik debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru, debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
21Selanjutnya, tindak pidana penggelapan dalam perjanjian ialah terpenuhinya unsur niat (mens rea) dan unsur perbuatan tindak pidana penggelapan (actus reus).
22Artinya, unsur mens rea/niat dalam tindak pidana penggelapan berupa sengaja dengan maksud (oogmerk) dan perbuatan melawan hukum formil (formele wederrechtelijkheid) harus terpenuhi disertai dengan terpenuhinya unsur actus reus/perbuatan dalam tindak pidana penggelapan, yakni perbuatan memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau keseluruhan milik orang lain dan yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Dengan demikian, bila actus reus dan mens rea dalam tindak pidana penggelapan dapat ditemukan dalam perjanjian maka dapat dilakukan penegakan hukum pidana. Misalnya, Si A dan si B melakukan perjanjian penitipan barang dimana si B menjadi pihak atau tempat dititipkan barang milik si A.
Selanjutnya, si B memiliki niat untuk memiliki barang tersebut dimana si B mengatakan kepada si A barang yang dititipkan kepadanya telah hilang karena di curi oleh maling. Selanjutnya, diketahui si B menjual sebuah barang kepada si C dimana barang tersebut merupakan barang milik si A.
Ilustrasi tersebut di atas menunjukkan si B melakukan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian yang terjadi antara dirinya (si B) dengan Si A. Tindak pidana penggelapan dalam perjanjian yang dilakukan si B dalam ilustrasi di atas dikarenakan adanya unsur mens rea/niat dalam tindak pidana penggelapan berupa sengaja dengan maksud (oogmerk) berupa si B menghendaki barang yang dititipkan kepadanya tanpa melawan hukum menjadi milik pribadi dan perbuatan melawan hukum formil (formele
20 Sondy Raharjanto, Analisis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 3135/Pid.B/PN.Mdn, (Medan: Tesis (S2) Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum USU, 2019), hal. 94
21 Argumentasi itu berdasarkan referensi yang ditemukan, pada umumnya ketentuan Buku III KUH Perdata tentang perikatan diterjemahkan oleh para ahli hukum bahwa kesalahan dalam melaksanakan perjanjian adalah kelalaian bukan kesengajaan.
Sugirhot Marbun, “Perbedaan Wanprestasi Dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian”, Dalam USU Law Journal Vol.
3 No. 2, Agustus 2015, (Medan: Pasca Sarjana S2 Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU), hal. 132
22 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal. 35
wederrechtelijkheid) berupa tidak adanya alasan pembenar untuk menghapus pidana yang dilakukan si B dan actus reus/perbuatan dalam tindak pidana penggelapan, yakni perbuatan memiliki berupa si B memiliki barang si A hanya terbatas pada penguasaan saja bukan berhak untuk menggunakan barang tersebut, sesuatu benda berupa barang, yang sebagian atau keseluruhan milik orang lain berupa barang milik si A dan yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan berupa barang yang dikuasai si B merupakan barang milik si A yang dikuasainya dikarena perjanjian penitipan barang antar si A dengan si B.
2. Penerapan Wanprestasi Dan Tindak Pidana Penggelapan Dalam Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/Pn.Tbt
Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt memiliki kesamaan peristiwa dengan peristiwa yang terdapat didalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1868K/Pid/2012 mengenai penggunaan bilyet giro kosong untuk pembayaran pembelian barang yang mana pembayaran awal telah dilakukan secara patut. Uraian peristiwa yang terkandung di dalam yurisprudensi tersebut, yakni:
“Awalnya pada hari Senin tanggal 20 Desember 2010, Yonathan mendatangani CV. Mitra Tungal Anugerah Cabang Palu dan melakukan pembelian barang-barang spare part sepeda motor roda dua merk Aspira dan Federal Parts untuk toko “Gabriel Motor” milik Yonathan sehingga Agung Joko Purnomo, SPd menyerahkan barang-barang yang diminta oleh Yonathan melalui bagian marketing, yakni Basuki dengan dibuatkan Nota Picking (picking slip) Nomor: 2010.3275 dengan jumlah sebesar Rp 19.541.160,00 (sembilan belas juta lima ratus empat puluh satu ribu seratus enam puluh rupiah) yang jatuh tempo pada tanggal 19 Januari 2011. Senin tanggal 27 Desember 2011, Yonathan kembali melakukan pembelian barang-barang spare part sepeda motor roda dua merk Aspira dan Federal Parts untuk toko “Gabriel Motor” milik Yonathan sehingga Agung Joko Purnomo, SPd menyerahkan barang-barang yang diminta oleh Terdakwa melalui bagian marketing, yakni Basuki dengan dibuatkan Nota Picking (picking slip) Nomor: 2010 3336 tanggal 27 Desember 2010 dengan jumlah sebesar Rp 27.854.230,00 (dua puluh tujuh juta delapan ratus lima puluh empat ribu dua ratus tiga puluh rupiah) yang jatuh tempo pada tanggal 26 Januari 2011 dan untuk pembayarannya. Selanjutnya, pada hari Senin tanggal 20 Januari 2011, Yonathan kembali melakukan pembelian barang-barang spare part sepeda motor roda dua merk Aspira dan Federal Parts untuk toko “Gabriel Motor” milik Yonathan sehingga Agung Joko Purnomo, SPd menyerahkan barang-barang yang diminta oleh Yonathan melalui bagian marketing, yakni Basuki dengan dibuatkan Nota Picking (picking slip) Nomor: 2011 205 tanggal 20 Januari 2011 dengan jumlah sebesar Rp 8.322.450,00 (delapan juta tiga ruatus dua puluh dua ribu empat ratus lima puluh rupiah) yang jatuh tempo pada tanggal 19 Februari 2011. Pada hari Jumat tanggal 04 Februari 2011, Yonathan kembali melakukan pembelian barang-barang spare part sepeda motor roda dua merk Aspira dan Federal Parts untuk toko “Gabriel Motor” milik Yonathan sehingga Agung Joko Purnomo, SPd menyerahkan barang-barang yang diminta oleh Yonathan melalui bagian marketing, yakni Basuki dengan dibuatkan Nota Picking (picking slip) Nomor: 2011 172 tanggal 04 Februari 2011 dengan jumlah sebesar Rp 5.540.540,00 (lima juta lima ratus empat puluh ribu lima ratus empat puluh rupiah) dan Nota Picking (Picking Slip) Nomor: 2011.430 tanggal 04 Februari 2011 dengan jumlah sebesar Rp 11.215.770,00 (sebelas juta dua ratus lima belas ribu tujuh ratus tujuh puluh rupiah) yang jatuh tempo pada tanggal 06 Maret 2011. Setelah barang-barang spare part yang diambil Yonathan, berhasil dijual kepada pembeli di tersebut toko “Gabriel MotorPalu”, Yonathan menggunakan uang hasil penjualan barang-barang tersebut sebagai modal untuk membeli barang-barang spare part lain di toko yang lain tanpa sepengetahuan CV. Mitra Tunggal Anugerah Cabang Palu sehingga pada saat Nota Picking atas barang-barang yang diambil Yonathan sampai pada tanggal jatuh tempo, Yonathan menggunakan bilyet giro kosong untuk menutupi tagihan atas barang-barang yang diambilnya di CV. Mitra Tunggal Anugerah Cabang Palu hingga akhirnya ketahuan oleh pihak CV. Mitra Tunggal Anugerah Cabang Palu pada saat dilakukan pengajuan pencairan bilyet giro di Bank Mandiri Cabang Palu pada tanggal 21 September 2011.
Akibat perbuatan Terdakwa tersebut, Febrianto, S.Si selaku pimpinan CV. Mitra Tunggal
Anugerah Cabang Palu mengalami kerugian sebesar Rp 70.264.150,00 (tujuh puluh juta dua ratus
enam puluh empat ribu seratus lima puluh rupiah)”.
Majelis hakim agung memberikan pertimbangan hukum, sebagai berikut:
“Terdakwa telah melakukan perbuatan membeli spare part motor roda dua merk Aspira dan Federal Parts untuk toko Terdakwa Gabriel Motor, Pembelian telah berlangsung beberapa kali antara tahun 2010-2011 yang pembayarannya melalui Bilyet Giro Bank Mandiri Cabang Palu, pembelian tersebut telah mencapai Rp 853.000.000,00, tidak ternyata sisa hutang Rp.
70.000.000,00 tidak akan dibayar Terdakwa dengan menguasai spare part tersebut tetapi karena Terdakwa kesulitan keuangan sehingga sisa hutang tersebut adalah berupa wanprestasi dari Terdakwa dalam bidang hukum keperdataan, bukan tunduk pada Pasal 372 atau Pasal 378 KUHP.
Oleh karena itu harus diselesaikan melalui peradilan perdata bukan peradilan pidana”.
Pertimbangan majelis hakim di atas menguatkan putusan majelis hakim tingkat pertama, yakni Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum. Hal tersebut seharusnya menjadi rujukan atau perhatian majelis hakim pada putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt dimana peristiwa serupa dan letak perbedaannya dalam putusan tersebut terpidana pada saat laporan polisi dilakukan kreditur maka terpidana melunasi utang/prestasi yang belum dibayar. Namun, demikian kondisi hakim berpendapat dapat dihukumnya persoalan perdata di dalam ranah pidana tidak dapat dipersalahkan. Hal itu disebabkan karena sering terjadi atau tersinggungnya di dalam persoalan perdata sebuah aspek pidana. Hal tersebut sebagaimana pendapat hakim pengadilan negeri Tebing Tinggi Nelly Rakhmasuri Lubis, sebagai berikut:
23“Kasus perdata tidak akan bisa berubah menjadi sebuah kasus pidana. Bila dalam proses tersebut terjadi perubahan kasus perdata menjadi pidana dikarenakan ada ditemukan unsur-unsur pidana”.
Tanty Helen Manalu hakim pengadilan negeri Tebing Tinggi mengatakan, sebagai berikut:
24“Jika di dalam sebuah persoalan hukum muncul ruang perdata dan pidana maka sebaiknya diselesaikan terlebih dahulu ranah perdata yang mana kemungkinan dapat menghapus pidana. Jika, ranah pidana yang diselesaikan terlebih dahulu maka seharusnya hakim memberikan pertimbangan yang maksimal”.
Kemudian, untuk melihat hubungan keperdataan yang coba dikriminalisasi dapat pula dilihat dalam putusan pengadilan Medan No. 440/Pid.B/2019/PN.Mdn jo Putusan Mahkamah Agung No. 1204 K/PID/2019 dimana terdakwa dituntut jaksa penuntut umum sesuai Pasal 372 KUHP dimana terhadap tuntutan jaksa penuntut umum tersebut majelis hakim menjatuhkan putusan pada intinya berupa melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslagh Van Alle rechtsvervolging) dan dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung. Hal tersebut terjadi karena hubungan hukum yang terjalin antara pelapor dengan terdakwa ialah hubungan jual beli barang tanpa perjanjian tertulis dimana terdakwa belum bisa melunasi pembayaran namun telah melakukan pencicilan. Atas pencicilan utang yang dilakukan oleh terdakwa maka hakim beranggapan peristiwa penggelapan yang dituduhkan jaksa terdapat alasan penghapus pidana. Oleh karena itu, hakim menjatuhkan putusan onslagh Van Alle rechtsvervolging.
Selanjutnya, jika diperhatikan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 531K/Pid/1984 yang menyatakan: “Dasar kepemilikan dari saksi pengadu dalam perkara ini adalah surat perjanjian tanggal 30 Januari 1979 sehingga persoalan ini seharusnya diselesaikan berdasarkan surat perjanjian tersebut.
Kalau saksi merasa dirugikan dapatlah ia minta agar perjanjian dibatalkan dengan minta ganti kerugian”.
Kondisi di atas dipertegas oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 129K/Pid/2015 yang menerangkan dimana jika perbuatan yang dilandasi oleh hubungan keperdataan harus diselesaikan secara perdata bukan dikenakan Pasal 372 KUHP atau 378 KUHP. Hal tersebut dapat dilihat melalui petikan pertimbangan hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 129K/Pid/2015, yaitu:
“Putusan Judex Facti yang menyatakan Terdakwa terbukti melakukan penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP sebagaimana dalam dakwaan Kedua Jaksa/Penuntut Umum tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana dan karena itu melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang benar. Hubungan hukum antara Terdakwa dan pelapor/korban adalah hubungan hukum keperdataan, jual beli tas, dimana
23 Wawancara dengan hakim pengadilan negeri Tebing Tinggi Nelly Rakhmasuri Lubis tanggal 30 Juli 2020
24 Wawancara dengan hakim pengadilan negeri Tebing Tinggi Tanty Helen Manalu tanggal 30 Juli 2020