• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu tonggak penting sebuah sistem demokrasi di Indonesia. Dimana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu tonggak penting sebuah sistem demokrasi di Indonesia. Dimana"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan mendapatkan informasi merupakan salah satu tonggak penting sebuah sistem demokrasi di Indonesia. Dimana hak publik untuk mendapatkan informasi merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki dan dijamin oleh konstitusi. Salah satu sarana untuk memperoleh informasi adalah dari pers. Jaminan terhadap kemerdekaan pers yang merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis adalah juga jaminan terhadap kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

1

Pers sebagai subsistem komunikasi mempunyai posisi yang khusus dalam masyarakat Indonesia. Ia menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat atau antar masyarakat sendiri. Itu sebabnya pers mempunyai fungsi yang melekat pada dirinya yakni sebagai pemberi informasi, alat pendidikan, sarana kontrol sosial, sarana hiburan maupun sarana perjuangan bangsa. Sebagai sarana perjuangan bangsa, terlihat sejak masa pra-kemerdekaan, yang antara lain tugasnya ialah mendorong lahirnya kesadaran nasional.

2

Pengaturan dasar terhadap pers di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, pertama kali diatur melalui Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1963 tentang pembinaan Pers. Kemudian MPRS menerbitkan Ketetapan MPRS

1 Hamid Syamsudin, Hukum Pers di Indonesia, Jakarta :Rineka Cipta, 2010,hlm 10.

2 R. Rachmadi, Perbandingan Sistem Pers, Jakarta: Gramedia, 1990,hlm. 183.

(2)

9

Nomor XXXII/MPRS/1966 Tentang Pembinaan Pers. Pada tahun 1996 Presiden Soekarno mensahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pers, kemudian selanjutnya diperbaharui oleh Presiden Soeharto melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pers. Sampai pada akhirnya pada tanggal 23 september 1999, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie Mensahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang dianggap sebagai penanda kemerdekaan pers di Indonesia.

3

Sejak Indonesia memiliki Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, penampilan pers Indonesia makin mengesankan. Setiap media pers bebas menyiarkan informasi sesuai dengan moto dan nilai-nilai yang dimiliki. Setiap media pers berlomba-lomba menggali fakta yang tersembunyi dan menyampaikannya kepada khalayak.

4

Kebebasan pers yang ditujukan untuk kepentingan publik, menyebabkan pers juga perlu memiliki landasan moral dan patuh pada etika profesi yang tertuang dalam kode etik jurnalistik sebagai pedoman operasional dalam menjalankan tugasnya untuk mencari, mengumpulkan, mengolah, dan menyiarkan informasi secara luas.

Namun jaminan dibalik pamor yang kian meninggi, kemerdekaan secara legal formal nampak belum cukup menjamin perangkat pers lepas dari segala bentuk tindak kekerasan fisik maupun non fisik dan juga berbagai tuntutan hukum, baik pidana ataupun perdata, dari individu atau kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya pemberitaan pers. Hal yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan fisik adalah pembunuhan, serangan berbentuk penganiayaan, atau

3 Hendra Makmur, Rony Saputra, Andhika D Khagen, Melawan Ancaman Kekerasan, Padang : LBH Pers Padang, 2013, hlm.65

4 Ana Nadhya Abrar, Mengurai Permasalahan Jurnalisme, Sinar Harapan, Jakarta, 1995,hlm.

116.

(3)

10

pengroyokan, penculikan serta perusakan alat-alat kerja jurnalis. Sedangkan yang dikategorikan sebagai kekerasan non fisik diantaranya pengusiran/ larangan meliput, kriminalisasi, intimidasi, dan ancaman kekerasan.

Menurut catatan Dewan Pers dan Aliansi Jurnal Independen (AJI), kasus kekersan baik fisik maupun non fisik yang menimpa wartawan jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu tahun 2006 sampai tahun 2013 tercata terjadi 148 kasus kekerasan fisik, sedangkan kasus kekerasan non fisik sejumlah 67 kasus. Bahkan terkadang kasus wartawan korban kekerasan fisik maupun non fisik yang menimpa wartawan di Indonesia selesai dengan perdamaian yang dimediasi Dewan Pers. Namun tentunya perdamaian itu seharusnya tidak serta merta menghentikan proses pidana yang tengah berlangsung.

5

Seperti kasus yang menimpa Andri Syaputra, wartawan Padang TV yang melakukan peliputan bersama Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) saat merazia kawasan Muaro Padang. Pada saat melakukan peliputan tersebut terjadi tindak penganiayaan yang dilakukan salah seorang pria paruh baya. Pria tersebut mengeluarkan benda mirip senjata senjata api dan mengarahkannya kepada para wartawan dan Satpol PP. Kemudian pria tersebut mendekati salah seorang wartawan dan terjadi kontak fisik. Merasa terancam para wartawan dan Satpol PP langsung mengamankan diri dengan menundukan badan. Setelah itu tepatnya tanggal 14 Februari tahun 2013 Andri didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Kota Padang melaporkan kejadian tersebut ke SPKT Polda Sumatera Barat.

5Dewan Pers, Kekerasan Terhadap Wartawan, melalui situs http://www.dewan pers.org/d pers.php, diakses tanggal 14 November 2013.

(4)

11

Pada saat melapor Andri (saksi pelapor) tidak langsung dibuat Berita Acara Pemeriksaan dengan alasan SPKT harus menaikkan laporan ke Reskrim ke Polda Sumbar selaku penyelidik dan penyidik kasus. Setelah beberapa hari Andri tidak juga dipanggil untuk dilakukan pemberkasan. Barulah pada tanggal 20 Februari tahun 2013 penyidik Reserse Kriminal (Reskrim) Polresta Kota Padang melakukan pemanggilan saksi pelapor dan saksi-saksi. Setelah mendapat keterangan dari saksi pelapor dan saksi-saksi yang ada, penyidik berhasil menangkap tersangka atas nama Jhon Kenedi yang merupakan warga sipil dan melakukan penahanan.

Namun dalam proses penyidikan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap wartawan, penyidik tidak menerapkan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya mengenai sanksi pidana bagi siapa saja yang menghalangi wartawan dalam melakukan peliputan dalam rangka melakukan tugas jurnalistik.

Padahal pada Pasal 18 Ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, secara jelas menjelaskan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (Lima Ratus Juta Rupiah).

Wartawan sebagai korban masih dianggap sebelah mata oleh berbagai

kalangan. Banyak yang menuding bahwa wartawan yang mengalami tindakan

kekerasan baik fisik maupun non fisik wajar apabila dilihat dari pekerjaannya yang

dilakukannya. Padahal dalam hal ini wartawan yang mendapat perlakuan kekerasan

baik fisik maupun non fisik tersebut, dalam kerangka tugas peliputan seharusnya

(5)

12

mendapat perlindungan berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6

Jika memang negara Indonesia adalah benar-benar negara hukum (rechtstaat) yang mengagungkan dan mengedepankan nilai equality before the law, semua orang sama dihadapan hukum seharusnya perkara-perkara pidana khususnya perkara yang menyangkut kekerasan yang menimpa wartawan khususnya mengenai tindak pidana penganiayaan, dapat diselesaikan secara hukum melalui proses penegakan hukum.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis melakukan pengkajian tentang pelaksanaan penyidikan oleh aparat kepolisian terhadap wartawan sebagai korban penganiayaan pada saat melakukan kegiatan jurnalistik. Agar lebih jelasnya dan tampak kongkrit atas penulisan ini, penulis mengangkat judul yaitu PENEGAKAN HUKUM ATAS DELIK PENGANIAYAAN TERHADAP WARTAWAN DALAM MENJALANKAN TUGAS JURNALISTIK PADA TINGKAT PENYIDIKAN. (Studi Polres Kota Padang)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis membatasi lingkup permasalahan sebagai beikut :

1. Bagaimana penegakan hukum atas delik penganiayaan terhadap wartawan

6 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 8

(6)

13

dalam menjalankan tugas jurnalistik pada tingkat penyidikan?

2. Apa kendala yang ditemui dalam proses penegakan hukum atas delik penganiayaan terhadap wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik pada tingkat penyidikan?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan.

Maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui penegakan hukum atas delik penganiayaan terhadap wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik pada tingkat penyidikan.

2. Untuk mengetahui kendala yang ditemui dalam penegakan hukum atas delik penganiayaan terhadap wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik pada tingkat penyidikan.

D. Manfaat Penelitian

Dari penulisan ini, penulis berharap agar hasil dari penulisan ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Bagi penulis sendiri, menambah pengetahuan dan wawasan penulis

dalam penyusunan karya ilmiah, yang merupakan sarana untuk

memaparkan dan memantapkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya

diperoleh dibangku perkuliahan, terutama memantapkan pengetahuan

penulis dibidang hukum pidana.

Referensi

Dokumen terkait

7.115.258,58/ha/MT, maka dengan demikian nilai Revenue Cost Ratio(R/C- ratio) Usahatani semangka adalah sebesar 3,31 menunjukan bahwa R/C > 1 artinya adalah

Orang Karo zaman sekarang, hanya melihat rumah adat khususnya simbol pengeret-ret sebagai peninggalan budaya yang bisa dimanfaatkan untuk mata pencaharian yang

Pada konteks ini lebih mengacu pada pemahaman lama seperti yang dijelaskan diatas di nomer tiga yakni kiai sebagai pemimpin pesantren dan memiliki pesantren. Kiai

Seluruh Dosen serta Staf Fakultas Kesehatan M asyarakat USU, khususnya Dosen dan Staf Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku yang telah memberikan bekal ilmu kepada

Dengan melihat bahwa ada banyak aturan-aturan hukum yang menormakan bahwa sejatinya Negara Indonesia melindungi anak-anak beserta hak-haknya agar tidak dieksploitasi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan minat membaca novel teenlit dengan sikap kreatif siswa di MTs Negeri 1 Bojonegoroi. Variabel dalam penelitian

Umumnya limbah elektronik dikategorikan sebagai limbah B3 karena mengandung komponen atau bagian yang memiliki sifat berbahaya dan beracun seperti misalnya

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Polresta Malang memiliki kendala dalam menertibkan pelaku usaha rental film yang menyewakan film tanpa lulus