• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERMUSYAWARATAN RAKYAT

2.1 Tinjauan Umum Mengenai Pengujian Peraturan Perundang- Undangan

Hak konstitusional adalah hak-hak yang dijamin oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar, baik jaminan itu dinyatakan secara tegas maupun tersirat.

Karena dicantumkan di dalam konstitusi atau sehingga seluruh cabang kekuasaan negara wajib menghormatinya.1 Karena hak konstitusional merupakan bagian dari konstitusi dan untuk menjamin hak-hak konstitusional dari setiap warga negara, negara berkewajiban untuk membentuk lembaga yang memiliki kewenangan tersebut. Indonesia saat ini memiliki lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk menjamin hak-hak konstitusional dari setiap warga negara dengan mekanisme melakukan pengaduan konstitusional yang salah satu bentuknya adalah pengujian materi terhadap peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang- undangan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang

1 I Dewa Gede Palguna, Op.Cit., h. 111.

(2)

melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Jenis dan hierarkinya diatur didalam Pasal 7 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Sebagai salah satu produk hukum sebagai produk keputusan, peraturan perundang- undangan yang keputusan-keputusannya bersifat umum dan abstrak (general and abstract) biasanya bersifat mengatur. Sedangkan yang bersifat individual dan konkret (concrete and individual) dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking).2

Produk hukum yang terdiri dari berbagai bentuk tersebut dapat dilakukan kontrol atau pengawasan melalui mekanisme kontrol norma hukum (legal norm control mechanism). Kontrol dapat dilakukan melalui pengawasan atau pengendalian politik, pengendalian administratif, atau kontrol hukum melalui lembaga-lembaga negara yang kewenangannya telah diatur oleh peraturan perundang-undangan .3

2.1.1 Pengertian dan Istilah Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Pengujian peraturan perundang-undangan secara terminologi bahasa terdiri dari kata “pengujian” dan “peraturan perundang-undangan”. Pengujian berasal dari kata “uji” yang memiliki arti percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu, sehingga pengujian diartikan sebagai proses, cara, perbuatan, menguji. sedangkan peraturan perundang-undangan diartikan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma

2 Jimly Asshiddiqie, 2014, Prihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta, (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie III), h. 7.

3 Ibid, h. 5.

(3)

hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian pengujian peraturan perundang- undangan dapat diartikan sebagai proses untuk menguji peraturan tertulis baik yang dibentuk oleh lembaga negara maupun pejabat yang berwenang yang memiliki kekuatan mengikat secara umum.4

Pengujian peraturan perundang-undangan telah dikenal lama dalam berbagai tradisi hukum, sehingga ada dikenal dengan istilah toetsingsrecht dan judicial review. Bila diartikan secara etimologis dan terminologis toetsingsrecht berarti hak untuk menguji dan judicial review berarti peninjauan oleh lembaga pengadilan. Pada dasarnya kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau.5 Jika dikaitkan dengan subyek, maka Pengujian peraturan perundang-undangan dapat dilekatkan pada lembaga kekuasaan negara yudikatif, legislatif dan eksekutif. Jika hal atau kewenangan menguji tersebut diberikan kepada lembaga kekuasaan kehakiman atau hakim, maka hal tersebut disebut judicial review. akan tetapi, jika kewenangan tersebut diberikan kepada lembaga legislatif, maka istilahnya menjadi legislative review, dan demikian pula jika kewenangan dimaksud diberikan kepada lembaga eksekutif maka istilahnya juga menjadi executive review.6

4 Zainal Arifin Hoesein, 2009, Judicial Review di Mahkamah Agung Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 37.

5 I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang- Undangan Di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h.117.

6 Zainal Arifin Hoesein, Op.Cit., h. 40.

(4)

Penggunaan istilah toetsingsrecht dan judicial review sering menimbulkan kerancuan apabila yang digunakan adalah Bahasa Indonesia. Kekeliruan yang sering terjadi dikalangan akademisi ialah adanya anggapan bahwa judicial review identik dengan toetsingsrecht atau hak menguji. Kekeliruan yang menganggap judicial review dengan toetsingsrechtdapat diperbaiki dengan memahami sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Judicial review biasanya dianut oleh negara-negara dengan sistem hukum common law, sedangkan toetsingsrecht dianut oleh negara-negara dengan sistem hukum civil law.7 sehingga terlihat perbedaan pada keduanya, yaitu sebagai berikut:

1. Hak menguji (toetsingsrecht) merupakan kewenangan untuk menilai peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar, sedangkan judicial review tidak hanya menilai peraturan perundang- undangan tetapi juga administrative action terhadap Undang-Undang Dasar.

2. Hak menguji (toetsingsrecht) terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki hakim, tapi juga oleh lembaga lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedangkan judicial review hanya merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam kasus konkret di pengadilan.8

2.1.2 Jenis - Jenis Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

Mahkamah Agung dan Mahakamh Konstitusi merupakan dua lembaga tinggi negara yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk melakukan pengujian peraturan perundang- undangan dibawah Undang- Undang Dasar terhadap Undang-Undang Dasar.

Kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan secara teoritik dan

7 Fatmawati, 2005, Hak Menguji (Toetsingsrecht) yang dimiliki hakim dalam sistem hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. h.10.

8 Ibid., h.11.

(5)

praktek dikenal ada dua macam yaitu: pengujian formal (formale toetsingsrecht) dan pengujian materiil (materiele toetsingsrecht). Pengujian formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif misalkan undang-undang, terjelma melalui cara-cara atau prosedur sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Sementara itu pengujian materiil adalah untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.9

2.1.3 Dasar Hukum dan Lembaga Negara yang berwenang melakukan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Pengujian peraturan perundang-undangan pada hakikatnya bertujuan untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan agara tidak merugikan hak-hak konstitusional dari setiap warga negara, bahkan substansi dari undang-undang itu tidak boleh bertentangan dengan atau konstitusi. Dalam konteks hukum di Indonesia, hak untuk pengujian peraturan perundang-undangan ini dilakukan oleh kekuasaan kehakiman, baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan-ketentuan yang mengatur pengujian peraturan perundang- undangan dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan ini, yaitu:

9 Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajuddin, 2004, Memahami Keberadaan Mahakamah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 22.

(6)

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24A ayat (1) menentukan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang terhadap undang-undang, mempunyai wewenang lainnya diberikan oleh undang-undang.

2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24C ayat (1) menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik,dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 20 ayat (2) huruf b menentukan bahwa Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang terhadap undang-undang

4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 29 Ayat (1) menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 1 Angka 3 Huruf (a) menentukan bahwa

(7)

Mahkamah Konstitusi mempunyai berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.2 Tinjauan Umum Mengenai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Penjelasan Pasal 7 huruf b Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Ketetapan MPR adalah:

“Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat”

adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”.

Hingga saat ini 8 dari 139 Ketetapan MPR secara riil masih ada dan sah berlaku di Indonesia, tetapi untuk selanjutnya sudah tidak dapat diproduksi lagi.

Dikatakan masih ada, karena prasyaratan yang diatur dalam Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 terdapat beberapa Ketetapan MPR yang masih berlaku sampai saat ini. Dikatakan sudah tidak dapat diproduksi lagi, karena sejalan dengan perubahan kedudukan,

(8)

tugas, dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi merupakan lembaga tertinggi yang memegang dan melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Walaupun demikian, dalam hal pelaksanaan fungsi konstitusional, hanya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat merubah dan menetapkan peraturan perundang-undangan tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mempunyai tugas dan wewenang yaitu memilih dan melantik Presiden dan/ Wakil Presiden apabila berhalangan dalam masa jabatannya.10 Dihapusnya ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen yang dulunya berbunyi

“Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan dan Garis Besar Haluan Negara”.

Esensi norma ini memberi kemungkinan bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk berwenang membentuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan, yang dikenal dengan Ketetapan MPR.11

Dihapuskannya wewenang pembentukan Ketetapan MPR, bukan berarti Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak diperbolehkan untuk membentuk Ketetapan MPR, akan tetapi masih tetap diperbolehkan hanya sebatas Ketetapan MPR mengenai pelantikan maupun pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ini

10 Sekretariat Jendral Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2012, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indoneisa, Jakarta, h. 214.

11Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonrsia Pasca Reformasi.

PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie IV) h. 232.

(9)

berarti bahwa Ketetapan MPR tidak lagi bersifat mengatur secara umum dan abstrak (regeling) akan tetapi sudah bersifat konkrit dan individual (beschiking).12

2.2.1 Kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia

Sebelum dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan MPR merupakan produk hukum yang memiliki kedudukan tertinggi dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Posisinya sendiri berada diantara dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan undang- undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Hal itu terjadi karena Majelis Permusyawaratan Rakyat sendiri dianggap sebagai lembaga tinggi negara dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari segi isinya, Ketetapan MPR itu pada pokoknya berisikan haluan-haluan negara atau state policies yang tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta bersifat mengatur dan mengikat secara umum (algemene verbindende voorschriften).13

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa Ketetapan MPR merupakan bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang- undangan yang ditempatkan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik

12Mahfud MD, 2012, Politik Hukum di Indonesia Edisi Revisi Cetakan ke 5, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (Selanjutnya disebut Mahfud MD. I), h. 34.

13 Jimly Asshiddiqie IV, Lock. Cit.

(10)

Indonesia Tahun 1945 dan diatas undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Ini berarti Ketetapan MPR tidak lagi hanya bersifat beschiking tetapi juga bersifat regeling. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa yang dimaksud hirarki peraturan perundang-undangan meliputi:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah Provinsi, dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, serta

8. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut maka Ketetapan MPR merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia.

Kedudukan Ketetapan MPR dalam sistem perundang-undangan di Indonesia dapat ditentukan dengan teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie) yang diperkenalkan oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki, dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, begitu seterusnya sampai pada suatu

(11)

norma yang tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Gurndnorm).14 Berdasarkan terori jenjang norma hukum tersebut, Hans Nawiasky mengembangkannya menjadi apa yang disebut dengan die lehre von dem stufenaufbau der Rechtsordnung atau die stufenordnung der Rechtsnormen. Menurut Hans Nawiasky, norma-norma hukum dalam negara selalu berjenjang, yakni sebagai berikut:

1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm)

2. Aturan-Aturan dasar negara/aturan pokok negara (Staatsgrundgesetz) 3. Undang-Undang (formal) (Formellgesetz)

4. Peraturan pelaksana serta peraturan otonomi (Verordnung & Autonomi Satzung). 15

Merujuk pada desain teori hierarki perundang-undangan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. A. Hamid S. Attamimi membuat desain tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebagaimana berikut:

1. Konstitutive Rechsidee & Regulative Rechtsidee : Pancasila

2. Staatsfundamentalnorm : Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

3. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan MPR, Hukum Tak Tertulis

4. Formellgesetz : Undang-Undang

5. Verordnung en Autonome Satzung : Peraturan pelaksana dan Peraturan Otonom hukum tidak tertulis16

Selain itu menurut pendapat Bagir Manan yang menguraikan mengenai hakikat dan kedudukan Ketetapan MPR sebagai berikut:

“Ketetapan MPR adalah bentuk peraturan perundang-undangan yang tidak disebutkan dalam Undang-Undang Dasar, melainkan sesuatu yang tumbuh dalam praktik ketatanegaraan yang diikuti secara terus menerus sejak tahun 1960, sehingga menjadi suatu kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan”17

14 Maria Farida, Op.Cit. h. 35.

15 I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op.Cit. h. 38.

16 Ibid. h. 39.

17 Ibid. h. 76.

(12)

Jadi merujuk kepada pendapat A. Hamid S. Attamimi dan Bagir Manan yang berdasarkan teori dari Hans Nawiasky, Ketetapan MPR berada satu kelompok dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Sehingga setelah dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat diberikan tugas berdasarkan Aturan Tambahan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa: ”Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhdap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang majelis Permusyawaratan Rakyat thun 2003.” Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2002 Tentang Penetapan Pelaksanaan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2003 yang menentukan bahwa: “Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang majelis Permusyawaratan Rakyat thun 2003”, Sehingga Majelis Permusyawaratan wajib meninjau kembali Ketetapan MPR dari tahun 1960 samapi dengan 2002.

Ketetapan MPR merupakan (staatsgrundgesetz) atau Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara. Seperti juga Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berarti Ketetapan MPR ini juga berisi garis-garis besar atau pokok-pokok kebijakan negara. sifat norma hukumnya masih secara garis besar dan merupakan norma hukum tunggal dan tidak dilekati oleh

(13)

norma hukum yang berisi sanksi. Norma yang terdapat dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara. Meskipun demikian, kedudukan Ketetapan MPR setingkat lebih rendah dibawah Batang Tubuh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hal itu disebabkan karena noma-norma dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dibentuk oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ketika lembaga tertinggi ini melaksanakan kewenangannya selaku Konstituante yang berkedudukan diatas dalam arti lebih tinggi dari pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan norma-norma dalam ketetapan MPR dibentuk oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara yang melaksanakan kewenangan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara, dan sebagai pemilih Presiden dan/atau Wakil Presiden yang menjalankan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu Ketetapan MPR memiliki kedudukan lebih rendah daripada Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.18

2.2.2 Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003

Perubahan kedudukan, tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah di amandemen mengakibatkan hilangnya kewenangan Majelis

18 Maria Farida, Op.Cit. h. 54.

(14)

Permusyawaratan Rakyat untuk membentuk Ketetapan-ketetapan MPR yang bersifat mengatur keluar membawa pula akibat perubahan pada kedudukan dan status hukum Ketetapan MPR.19 Dalam perjalanan waktu antara tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat telah mengeluarkan 139 Ketetapan MPR.20

Peninjauan yang telah dilakukan, menyatakan tidak semua Ketetapan MPR memiliki norma hukum yang sejenis untuk keseluruhan pasalnya dan juga sifat yang dimiliki Ketetapan MPR tersebut. Dalam suatu Ketetapan MPR tidak jarang pasal-pasalnya merupakan campuran dari norma hukum yang bersifat peraturan (regeling) dan norma hukum yang bersifat ketetapan (beschikking).21 Yang dimaksudkan dengan peraturan adalah suatu perbuatan hukum yang dalam bidang legislasi yang dilakukan oleh badan legislasi dan badan pemerintah berdasarkan wewenang badan tersebut bersifat umum dan universal, sedangkan ketetapan adalah perbuatan hukum dalam bidang pemerintahan yang dilakukan oleh alat pemerintah berdasarkan wewenang istimewa alat pemerintahan itu yang bersifat konkrit dan individual.22

Ketetapan MPR dari tahun 1960 sampai dengan 2002 mengenai materi dan status hukumnya diatur didalam Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan

19 Sekretariat Jendral Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Op.Cit., h.

224.

20Ibid,. h. 220.

21Ibid.h. 229

22Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 62

(15)

MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 yang berjumlah 139 dikelompokan kedalam 6 pasal (kategori) yaitu:

1. Kategori I: TAP MPRS/TAP MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan)

2. Kategori II: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan)

3. Kategori III: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan) 4. Kategori IV: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai

dengan terbentuknya Undang-Undang (11 Ketetapan)

5. Kategori V: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan)

6. Kategori VI: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 Ketetapan)

Ketatapan MPR masih berlaku samapai saat ini berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 berjumlah 8 ketetapan yaitu:

1. Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

(16)

2. Ketetapan MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang pengangkatan pahlawan Ampera

3. Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

4. Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi

5. Ketatapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa 6. Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa

Depan.

7. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

8. Ketatapn MPR Nomor XI/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Sehingga delapan Ketetapan MPR yang masih berlaku hingga saat ini yang bersfat regeling apabila dinilai terdapat ketentuan atau norma yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga merugikan hak-hak konstitusional warga negara Indonesia ataupun obyek hukum yang dilindungi hak dan kewenangan konstitusionalnya oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga harus ada lembaga negara yang berwenang untuk melakukan pengujian materi terhadap Ketetapan MPR yang masih berlaku.

(17)
(18)

18

Referensi

Dokumen terkait

6 Lihat Pasal 1 angka (2), Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) kembali dimasukkan

B Menukar pasu lama yang kurang menarik C Menukar pasu yang kecil dengan yang besar. D Menukar medium dan pasu lama yang

Watts (2003) juga menyatakan hal yang sama bahwa konservatisme merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting dalam mengurangi biaya keagenan dan meningkatkan kualitas

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara

Undang – undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 28, Tambahan

Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka diambil suatu pemahaman bahwa dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga