• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Perusahaan

4.1.1 Profil Perusahaan

PT Krakatau Tirta Industri yang didirikan pada tanggal 28 Februari 1996, merupakan anak perusahaan yang sahamnya 99,99% dimiliki oleh PT Krakatau Steel (Persero) dan 0,01% dimiliki oleh PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (PT KIEC). Perusahaan ini sebelumnya merupakan unit penunjang kegiatan operasional PT Krakatau Steel (Persero) dalam bidang penyediaan air bersih yang mulai beroperasi sejak 1978. Sebagian besar air bersih yang dihasilkan digunakan untuk kebutuhan industri dan sebagian lain untuk kebutuhan masyarakat kota Cilegon.

Air baku yang diolah diambil dari sungai Cidanau yang bersumber dari danau alam Rawa Dano. Air kemudian dialirkan menggunakan pipa diameter 1,4 m sepanjang ± 28km untuk diolah menjadi air bersih di unit pengolahan air, yang terdiri dari beberapa tahapan proses yaitu koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi, yang diikuti dengan netralisasi dan desinfeksi. Kapasistas yang terpasang di unit pengolahan air saat ini adalah sebesar 2.000 liter /det, dan digunakan 60% untuk utilisasinya.

4.1.2 Instalasi Pengolahan Air Minum PT. Krakatau Tirta Industri

Proses pengolahan air yang dilakukan oleh PT. KTI terlihat pada Gambar 10 yang menampilkan proses dari sumber air baku hingga air dapat didistribusikan ke konsumen. Proses pengolahan air terdiri dari beberapa tahap yakni koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi, netralisasi dan desinfeksi.

Raw Water Intake

Cidanau Sand Trap

Surge Tank Pump Station I By Pass & Sump Pump Krenceng Reservoir Pump Station II 27.2 km Alum Sulphate Shock Chlorine Distribution Structure Shock Chlorine Sludge Blow of Sump Accelator Clarifier Distribution Chamber Vaccum Tank Sludge Field Green Leaf Filter Wash Water Outlet Sump Reservoir Pump Station III Pump Station IV Consumer Water Tower Lime Hydrate Chlorine Bak Penampung Backwash

(2)

pembagi) yang berfungsi untuk mengalirkan air yang datang dari Cidanau maupun Waduk (Pump Station II) ke instalasi pengolahan air dan jika debitnya melebihi kebutuhan pengolahan maka sebagian akan dialirkan ke waduk. Dari bak pembagi air baku masuk ke Distribution

Chamber, pada bak ini ditambahkan larutan koagulan alumunium sulfat. Setelah diberi

koagulan air masuk ke Accelator (3 unit) dan terjadi proses koagulasi,flokulasi serta sedimentasi dan menghasilkan lumpur slurry yang ditampung di sludge field sebanyak 3 unit dengan kapasitas tampung 12.000 m3/unit, dengan cara diuapkan secara alami maka akan didapatkan lumpur padat. Kemudian lumpur padat secara berkala diambil dan dikumpulkan ditempat penampungan akhir/ limbah padat yang berada di sekitar Waduk Krenceng.

Air dari Accelator mengalir secara gravitasi masuk ke Green Leaf Filter (5 unit filter, tiap unit filter memiliki 4 sel filter sehingga total filter sebanyak 20 sel filter) terjadi proses aerasi, disini air proses mengalami kontak langsung dengan udara luar guna mengurangi bau, warna dan kation yang terlarut (Fe, Al, Mn) dalam air proses. Pada proses filtrasi di Green Leaf Filter digunakan media filter pasir yang berfungsi untuk menyaring sisa partikel yang tidak mengendap pada proses sedimentasi, setelah pasir jenuh oleh partikel, maka filter harus dicuci dengan sistem cuci balik (backwash). Air backwash sebanyak 600 m3/sel mengalir melewati kanal ditampung dalam bak penampungan air backwash yang berfungsi untuk menampung air

backwash yang akan diproses kembali masuk dalam Distribution Chamber.

Air setelah mengalami proses filtrasi secara fisik sudah jernih namun perlu ditambahkan larutan kapur untuk proses netralisasi dan penambahan gas klorin untuk membunuh kuman dan bakteri yang berbahaya bagi kesehatan sepert bakteri E. Coli. Air bersih ditampung dalam bak penampungan air bersih (reservoir) dan sebelum air bersih didistribusikan ke konsumen, air dianalisa secara rutin di laboratorium PT. Krakatau Tirta Industri sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.416/MENKES/PER/IX/1990 mengenai syarat – syarat dan pengawasan kualitas air.

4.2 Dosis Aluminium Sulfat dengan Kualitas Air

4.2.1 Mekanisme Koagulasi di dalam Air

Koloid adalah sekelompok atom atau molekul berukuran sangat kecil yang tidak dapat diendapkan secara gravitasi namun tetap terlarut dalam air. Karena terlarut, koloid bersifat stabil. Stabilitas ini disebabkan oleh terjadinya tolak - menolak diantara partikel koloid (Sincero, 2003). Secara umum koagulasi merupakan proses kimia dimana ion- ion yang muatannya berlawanan dengan muatan koloid dimasukkan ke dalam air, sehingga meniadakan kestabilan koloid. Dalam suatu suspensi koloid mengendap (bersifat stabil) dan terpelihara dalam keadaan terdispensi karena memiliki gaya elektrostatis yang diperoleh dari ionisasi bagian permukaan serta adsorpsi ion – ion dari larutan sekitar. Bila koagulan ditambahkan kedalam air, reaksi yang terjadi antara lain:

a. Pengurangan zeta potensial (potensial elektrostatis) sehingga suatu titik dimana gaya van

der walls dan agitasi yang diberikan menyebabkan partikel yang tidak stabil bergabung

serta membentuk flok

b. Agresi partikel melalui rangkaian inter partikulat diantara berbagai kelompok reaktif pada koloid

c. Penangkapan partikel kolid negatif oleh flok – flok hidroksida yang mengendap

Pada penggunaan alumunium sulfat sebagai koagulan, air baku harus memilki alkanitas yang memadai agar dapat bereaksi dengan alumunium sulfat menghasilkan flok hidriksida. Reaksi kimia sederhana pada pembentukan flok adalah sebagai berikut:

(3)

Al2(SO4)3. 14 H2o + 3 Ca (HCO3)2  2 Al (OH)3 + 3 CaSO4 + 14 H2O + 6 CO2 Pemilihan koagulan sangat penting agar tercapainya proses koagulasi yang baik. Jenis koagulan yang biasanya digunakan adalah koagulan garam logam dan koagulan polimer kationik. Contoh dari koagulan logam diantaranya adalah

a. Aluminium sulfat (Al2(SO4)3. 14 H2O), nilai 14 bervariasi dari 13 – 18 b. Feri klorida (FeCl3)

c. Fero klorida (FeCl2) d. Feri sulfat ( Fe2 (SO4)3)

Koagulan garam logam yang biasa digunakan adalah tawas atau aluminium sulfat dan koagulan polimer atau sintesis contohnya adalah

a. Poli Aluminium Klorida (PAC) b. Sitosan

c. Currie flock

Koagulan yang digunakan oleh PT. KTI adalah aluminium sulfat bubuk dengan konsentrasi 8% dan aluminium sulfat cair dengan konsentrasi 17% yang merupakan koagulan baru yang digunakan sejak Juli 2011. Pembubuhan dosis koagulan pada proses koagulasi mengacu pada hasil dari jar test yang dilakukan di laboratorium kualitas air PT. KTI setiap harinya dengan batas toleransi peningkatan dosis di bak koagulasi sebesar 5 – 10 ppm.

Prosedur jar test yang dilakukan oleh PT. KTI sama seperti prosedur jar test yang biasa dilakukan. Terdapat enam buah batang pengaduk yang masing – masing mengaduk satu buah gelas dengan kapasitas satu liter. Satu buah gelas berfungsi sebagai kontrol dan kondisi operasi dapat bervariasi diantara lima gelas yang tersisa. Pengadukan dilakukan dengan kecepatan 65 rpm. Pengujian dilakukan setiap harinya, sejak tahun 2007 jar test dalam satu hari dilakukan sebanyak 3 shift yang awalnya hanya dilakuakn 1 shift per hari. Pencatatan hasil jar test berupa beberapa parameter seperti pH, turbiditas, konduktivitas dan warna serta dosis koagulan yang diberikan.

4.2.2 Penentuan Dosis Aluminium Sulfat Bubuk

Penentuan dosis optimum koagulan untuk aluminium sulfat bubuk dapat dilakukan dengan membandingkan nilai parameter air (pH, warna dan turbiditas) sebelum dan sesudah dilakukan

jar test. Dengan menggunakan data tahun 2008, 2009 dan 2010 diperoleh beberapa grafik yang

menampilkan penurunan nilai parameter air untuk masing – masing dosis yang diberikan. Dilakukan pengelompokan berdasarkan dosis yang diberikan agar dapat terlihat grafik air sebelum dan sesudah dilakukan jar test. Dosis optimum terlihat dari grafik setelah dilakukan jar

test yang menghasilkan nilai turbiditas terendah dengan pH mendekati 7. Dosis dapat dikatakan

optimum apabila dilakukan perbandingan terhadap parameter warna adalah apabila dosis aluminium sulfat bubuk yang diberikan dapat menurunkan nilai warna air hingga mencapai nilai 20 PtCo (standar nilai warna air bersih PT. KTI).

a. Tahun 2008

Pemberian dosis koagulan aluminium sulfat bubuk yang terjadi selama tahun 2008 berkisar antara 40 – 115 ppm. Hasil parameter air terbaik yang diperoleh pada tahun 2008 adalah pada saat pemberian dosis koagulan aluminium sulfat bubuk sebesar 55 ppm.

(4)

terbaik yang diperoleh adalah 6,96 dengan nilai pH tertinggi sebelum jar test sebesar 8,31. Grafik penurunan terlihat pada Gambar 10 dan Gambar 11.

Gambar 10. Turbiditas vs pH sebelum jar test tahun 2008 dosis 55 ppm

Gambar 11. Turbiditas vs pH sesudah jar test tahun 2008 dosis 55 ppm Nilai warna air tertinggi sebelum dilakukan jar test mencapai 1167 PtCo dengan nilai terendah 94 PtCo. Dengan dosis 55 ppm yang diberikan selama tahun 2008 nilai standar warna sebesar 20 PtCo selalu tercapai. Perbandingan antara turbiditas dan warna sebelum dilakukan jar test ditampilkan pada Gambar 12.

(5)

Gambar 12. Turbiditas vs warna sebelum jar test tahun 2008 dosis 55 ppm Nilai warna setelah diberikan koagulan selalu mencapai nilai 20 PtCo. Gambar 13 menampilkan grafik ketika nilai 20 PtCo tercapai. Perbandingan dilakukan dengan turbiditas. Walau terjadi keragaman dalam pemberian dosis koagulan namun nilai akir yang diperoleh selalu sama yaitu 20 PtCo sehingga grafik untuk menggambarkan penurunan warna selalu sama bentuknya seperti Gambar 13 yakni berupa garis lurus dengan nilai dari sumbu- y nya yang tetap yakni 20 PtCo.

Gambar 13. Turbiditas vs warna sesudah jar test tahun 2008 dosis 55 ppm b. Tahun 2009

Rentang nilai dosis koagulan aluminium sulfat bubuk yang diberikan selama tahun 2009 adalah 22 – 105 ppm. Hasil dari parameter terbaik yang diperoleh pada tahun 2009 adalah ketika dosis koagulan yang diberikan sebesar 60 ppm. Nilai turbiditas tertinggi sebelum dilakukan pemberian koagulan mencapai 278 NTU dan nilai pH tertingginya sebesar 7,7 seperti terlihat pada Gambar 15. Penurunan nilai turbiditas setelah dilakukan

jar test mencapai nilai 4 NTU dengan pH tertinggi 6,79. Nilai pH yang diperoleh secara

(6)

Gambar 14. Turbiditas vs pH sebelum jar test tahun 2009 dosis 60 ppm

Nilai pH yang diperoleh cukup baik karena cenderung berada diatas 6 dengan nilai pH terendah yang diperoleh sebesar 5,9. Gambar 14 menampilkan perbandingan kualitas air setelah dilakukan jar test dengan membandingkan pH dan turbiditas.

Gambar 15. Turbiditas vs pH sesudah jar test tahun 2009 dosis 60 ppm

Nilai tertinggi parameter warna sebelum diberikan koagulan mencapai 1480 PtCo dan nilai terendah 87 PtCo seperti yang terlihat pada Gambar 16. Nilai 20 PtCo berhasil dicapai dengan pemberian dosis koagulan alumunium sulfat bubuk sebesar 60 ppm.

(7)

Gambar 16. Turbiditas vs Warna sebelum jar test tahun 2009 dosis 60 ppm

c. Tahun 2010

Rentang nilai dosis koagulan aluminium sulfat bubuk yang diberikan selama tahun 2010 adalah 45- 85 ppm. Hasil dari parameter air terbaik yang diperoleh pada tahun 2010 adalah ketika dosis koagulan yang diberikan sebesar 55 ppm. Nilai turbiditas tertinggi sebelum dilakukan pemberian koagulan mencapai 284NTU dan nilai pH tertingginya sebesar 7,39 seperti terlihat pada Gambar 17. Penurunan nilai turbiditas terendah setelah dilakukan jar test mencapai nilai 1,75 NTU dengan pH tertinggi 6,43. Nilai pH yang diperoleh secara garis besar cenderung mendekati 6,5.

(8)

Gambar 18. Turbiditas vs pH sesudah jar test tahun 2010 dosis 55 ppm

Nilai tertinggi parameter warna sebelum diberikan koagulan mencapai 1530 PtCo dan nilai terendah sebesar 112 PtCo seperti yang terlihat pada Gambar 19. Dengan pemberian dosis koagulan aluminium sulfat bubuk sebesar 55 ppm nilai 20 PtCo selalu berhasil dicapai.

Gambar 19. Turbiditas vs warna sebelum jar test tahun 2010 dosis 55 ppm

Dari Gambar 12 dan 19 yang menampilkan perbadingan antara nilai turbiditas dengan warna terlihat semakin meningkatnya nilai turbiditas maka nilai warna juga meningkat, menandakan bahwa nilai turbiditas dan niai warna saling mempengaruhi. Hal ini mungkin saja terjadi karena nilai warna di suatu perairan dipengaruhi oleh nilai turbiditas dan kandungan zat organik yang terdapat didalamnya.

Hasil perbandingan parameter air dari tahun 2008, 2009 dan 2010 terlihat parameter air terbaik yang diperoleh ketika koagulan aluminium sulfat bubuk yang diberikan sebesar 55 dan 60 ppm. Tahun 2008 dengan dosis sebesar 55 ppm dapat diperoleh nilai turbiditas yang baik (cukup rendah) sebesar 4 NTU dengan pH yang cenderung mendekati 7, pada tahun 2009 dengan dosis sebesar 60 ppm dapat diperoleh nilai turbiditas yang cukup rendah yakni 4 NTU dan pH cenderung berada di atas nilai 6 dan mendekati angka 7. Untuk tahun 2010 dengan dosis 55 ppm dapat diperoleh turbiditas dengan nilai terendah sebesar 1,75 dan pH yang cenderung berada di atas 5,5 dan mendekati angka 6,5. Untuk parameter warna kedua dosis baik 55 maupun 60 ppm tetap mampu mencapai angka 20 PtCo.

(9)

Dapat ditarik kesimpulan bahwa dosis yang optimum diberikan adalah sebesar 60 ppm, karena selain nilai pH yang diperoleh lebih cenderung mendekati angka 7 juga nilai turbiditas yang diperoleh cukup rendah, sebesar 4 NTU. Pemberian dosis 55 ppm cukup memberikan penurunan yang signifikan terhadap parameter turbiditas, namun bila melihat pH yang diperoleh cukup rendah dibandingkan dengan pemberian dosis 60 ppm, maka dosis optimum koagulan aluminium sulfat bubuk yang tepat adalah sebesar 60 ppm.

Dengan mengacu pada data hasil jar test pada tahun 2009 dengan dosis koagulan aluminium sulfat bubuk yang diberikan sebesar 60 ppm maka dapat diperoleh nilai efisiensi pH dan turbiditas dari pemberian dosis 60 ppm tersebut dengan menggunakan persamaan (6). Untuk pH diperoleh efisiensi sebesar 11,82% dan efisiensi turbiditas sebesar 99,32%. Dengan diperolehnya nilai efisiensi untuk turbiditas yang hampir mendekati 100% ini dapat disimpulkan bahwa dosis 60 ppm pemberian koagulan aluminium sulfat bubuk sangat efisien untuk penurunan nilai turbiditas air.

4.2.3 Penentuan Dosis Aluminium Sulfat Cair

Langkah – langkah yang dilakukan untuk menentukan dosis yang optimum pada penggunaan koagulan aluminium sulfat cair sama dengan langkah – langkah yang dilakukan untuk menentukan dosis optimum aluminium sulfat bubuk. Data hasil jar test yang digunakan adalah data sejak alumunium sulfat cair mulai digunakan sebagai koagulan yakni sejak bulan Juli tahun 2011 hingga April 2012. Dilihat dari konsentrasi aluminium sulfat cair sebesar 17% maka dosis yang diberikan pada proses koagulasi dua kali lebih besar dibandingkan dosis yang diberikan untuk penggunaan aluminium sulfat bubuk (konsentrasi 8%). Aluminium sulfat cair belum sepenuhnya digunakan sebagai koagulan pada proses koagulasi.

(10)

Gambar 21. Turbiditas vs pH sesudah jar test dosis100 ppm

Dari data hasil jar test yang diperoleh nilai dosis yang diberikan sebesar 100, 110, 115 dan 120 ppm. Dari keempat dosis tersebut, dosis 100 ppm yang memberikan nilai hasil yang cukup baik dengan nilai turbiditas yang yang rendah yakni 5,07 NTU dan nilai pH yang mendekati 6,5 seperti terlihat pada Gambar 22. Untuk parameter warna sebelum diberi koagulan aluminium sulfat cair parameter nilai tertinggi mencapai 472 PtCo. Setelah diberi koagulan sebesar 100 ppm, nilai standar 20 PtCo selalu tercapai. Pada pemberian koagulan aluminium sulfat cair dengan dosis 110, 115 dan 120 nilai 20 PtCo tetap tercapai. Maka dapat disimpulkan baik dengan menggunakan aluminium sulfat bubuk dan cair, nilai standar untuk parameter air sebesar 20 PtCo selalu tercapai. Untuk efisiensi dengan menggunakan persamaan (6) diperoleh nilai efisiensi turbiditas sebesar 85,8% dan untuk pH sebesar 19,8%.

Gambar 22. Turbiditas vs warna sebelum jar test dosis100 ppm

Pada Gambar 22 yang merupakan perbandingan antara turbiditas dan pH sesudah jar test, terlihat seiring meningkatnya nilai turbiditas maka nilai pH menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh mekanisme Al2SO4 didalam air.

Aluminium sulfat atau tawas dengan rumus kimia Al2S04 .11H2O atau 14 H2O atau 18 H2O umumnya yang digunakan adalah 18H2O. Semakin banyak ikatan molekul hidrat maka semakin banyak ion lawan yang nantinya akan ditangkap akan tetapi umumnya tidak stabil. Pada pH lebih besar dari 7 terbentuk Al (OH)2+, Al (OH)24+, Al2 (OH)24+. Pada pH >7 terbentuk Al (OH)-4. Flok-flok Al (OH)3 mengendap berwarna putih.

(11)

Gugus utama dalam proses koagulasi adalah senyawa aluminat yang optimum pada pH netral. Apabila pH tinggi atau boleh dikatakan kekurangan dosis maka air akan nampak seperti air baku karena gugus aluminat tidak terbentuk secara sempurna. Akan tetapi apabila pH rendah atau kelebihan dosis maka air akan tampak keputih – putihan karena terlalu banyak konsentrasi alum yang cenderung berwarna putih. Dalam cartesian terbentuk hubungan parabola terbuka, sehingga memerlukan dosis yang tepat dalam proses penjernihan air. Reaksi aluminium dalam larutan dapat dituliskan.:

Al2S04 + 6 H2O  Al ( OH )3 + 6 H +

+ SO4

2-Reaksi ini menyebabkan pembebasan ion H+ dengan kadar yang tinggi ditambah oleh adanya ion aluminium. Ion Aluminium bersifat amfoter sehingga bergantung pada suasana lingkungan yang mempengaruhinya. Karena suasananya asam maka alumunium akan juga bersifat asam sehingga pH larutan menjadi turun. Warna dan kekeruhan pada air dapat berkurang apabila suasana dalam air bersifat asam. Karena telah terjadi penurunan pH diakibatkan dari reaksi alumunium sulfat dengan air yang terjadi maka suasana air menjadi lebih asam dari sebelumnya, dan penurunan warna pun dapat terjadi.

4.2.4 Hubungan Dosis Koagulan dengan Kadar Alkalinitas di dalam Air

Alkalinitas adalah kapasitas air untuk menetralkan tambahan asam tanpa menurunkan pH larutan. Alkalinitas terdiri dari ion – ion bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO3-) dan hidroksida (OH-) yang merupakan penyangga (buffer) terhadap pengaruh keasaman. Apabila aluminium sulfat (Al2(SO4)3 .14 H2O) ditambahkan kedalam air yang mengandung alkalinitas, reaksi yang akan terjadi adalah sebagai berikut :

Al2(SO4)3 .14 H2O + 6 HCO3 ↔ 2 Al (OH3) . 3H2O(s) + 6CO2 + 8 H2O + 3SO42- Masing – masing mol aluminium yang ditambahkan menggunakan enam buah mol alkalinitas dan menghasilkan enam molekul karbon dioksida. Reaksi ini menyebabkan pergeseran kesetimbangan karbon dan menurunkan pH.

Dosis optimum untuk penggunaan aluminium sulfat bubuk adalah sebesar 60 ppm, diperoleh nilai alkalinitas sebesar 37,2 mg / L. Dengan menggunakan persamaan (7) langkah – langkah perhitungannya sebagai berikut :

1. Diketahui bahwa 6 buah mol HCO3 digunakan untuk masing – masing mol alum yang ditambahkan

2. Nilai mol / L alum yang digunakan :

=

= 1,01 x 10

-4 mol/ L

3. mol/ L HCO3- yang digunakan

6(1,01 x 10-4 mol/ L) = 6,06 x 10-4 mol/ L 4. ke Mg/ L

= (6,06 x 10-4 mol/ L) (BM HCO3

(12)

Perhitungan alkalinitas juga dilakukan dengan langkah yang sama seperti pada perhitungan alkalinitas untuk penggunaan aluminium sulfat bubuk. Dosis optimum aluminium sulfat cair adalah sebesar 100 ppm maka perhitungan alkalinitasnya :

1. Diketahui bahwa 6 buah mol HCO3- digunakan untuk masing – masing mol aluminium yang ditambahkan

2. Nilai mol / L aluminium yang digunakan :

=

= 1,68 x 10

-4 mol/ L 3. mol/ L HCO3- yang digunakan

6 (1,68 x 10-4 mol/ L) = 1,01 x 10-3 mol/ L 4. Konversi ke Mg/ L

= (1,01 x 10-3 mol/ L) (BM HCO3-) = (1,01 x 10-3 mol/ L) (61 gr/ mol) = 61,6 mg / L HCO3

Dari perhitungan diperoleh baik pada penggunaan aluminium sulfat cair dan aluminum sulfat bubuk nilai alkalinitas yang diperoleh lebih besar dari 20 ppm hal ini menunjukkan bahwa perairan tersebut relatif stabil terhadap perubahan asam atau basa sehingga kapasitas buffer basa lebih stabil.

4.2.5 Probabilitas 90% Dosis Aluminium Sulfat Bubuk dengan Kualitas Air

Kualitas air yang dibandingkan dengan dosis aluminium bubuk yakni warna (PtCo), turbiditas (NTU) dan zat organik (Mg/l) dari tahun 2001 – 2011. Grafik probabilitas menggambarkan trend baik dari penggunaan dosis aluminium sulfat bubuk yang diberikan dan parameter air yang dituju. Dengan menggunakan Forecast yang terdapat pada Crystal Ball maka dapat terlihat gambaran besarnya kemungkinan suatu nilai muncul pada suatu waktu tertentu. Probabilitas 90% ini menampilkan trend munculnya nilai tersebut (besarnya dosis, nilai zat organik, nilai turbiditas dan warna) selama rentang waktu 10 tahun.

Gambar 23. Grafik probabilitas 90% dosis aluminium sulfat bubuk vs warna

Terlihat bahwa grafik warna pada Gambar 23 yang cenderung stabil berada dikisaran nilai dua puluh yang merupakan standar nilai warna PT. KTI. Walaupun terjadi peningkatan ataupun penurunan dosis aluminium sulfat yang diberikan namun standar nilai warna yang dituju tetap dapat diperoleh. Nilai 20 ini selalu diperoleh dengan pemberian dosis berapapun di rentang waktu sepuluh tahun tersebut. Dapat dikatakan bahwa aluminium sulfat bubuk sensitif terhadap

(13)

parameter warna, sehingga apabila nilai parameter warna pada air baku tinggi, aluminium sulfat bubuk adalah koagulan yang tepat digunakan pada proses koagulasi.

Gambar 24. Grafik probabilitas 90% dosis aluminium sulfat bubuk vs turbiditas

Gambar 24 menampilkan grafik probabilitas 90% pemberian dosis dan nilai parameter turbiditas. Pemberian dosis koagulan aluminium sulfat bubuk mengalami fluktuasi menyebabkan kestabilan nilai turbiditas yang diperoleh. Dapat dikatakan aluminium sulfat bubuk sensitif terhadap parameter turbiditas, maka apabila nilai turbiditas air baku tinggi koagulan aluminium sulfat bubuk tepat untuk digunakan.

Gambar 25. Grafik probabilitas 90% dosis aluminium sulfat bubuk vs zat organik

Gambaran probabilitas pemberiaan dosis dan parameter kandungan zat organik ditampilkan pada Gambar 25. Baik dosis maupun kandungan zat organik mengalami fluktuasi setiap bulannya selama sepuluh tahun. Pada beberapa keadaan seperti pada bulan Mei, Juni dan November peningkatan dosis yang diberikan tidak menurunkan kandungan zat organik yang diperoleh.

(14)

tetap stabil dan sesuai dengan standar nilai air bersih PT. KTI meskipun pada bulan November parameter kualitas air baku dan dosis koagulan yang diberikan meningkat. Hal lain terlihat pada Gambar 25 yang menampilkan peningkatan nilai dosis koagulan juga diiringi peningkatan nilai kandungan zat organik. Maka dapat dikatakan bahwa aluminium sulfat bubuk sensitif terhadap parameter warna dan turbiditas sehingga apabila kedua parameter tersebut pada air baku yang akan diolah tinggi, dengan menggunakan aluminium sulfat bubuk nilai standar nilai air bersih untuk keduanya dapat dicapai.

4.2.6 Sensitivitas Koagulan Dengan Parameter Air

Penggunaan aluminium sulfat cair yang dosisnya dua kali lipat dari dosis aluminium sulfat bubuk yang diberikan. Hal ini diperoleh dari perbedaan konsentrasi aluminium sulfat tersebut, dimana aluminium sulfat cair dengan konsentrasi 8% dan alumunium sulfat bubuk dengan konsentrasi 17%. Berdasarkan bahan baku yang digunakan sejak masa beroperasinya, alumina kering hanya digunakan pada bulan desember tahun 2011. Parameter yang dibandingkan dengan dosis adalah warna dan turbiditas. Besarnya pengaruh masing – masing koagulan terhadap parameter dapat dilihat pada tabel sensitivitas berikut :

Tabel 3.Sensitivitas koagulan aluminium sulfat bubuk

Keterangan Sensitivitas Minimal Maksimum Mean Standar Deviasi Warna 2011 -1,50 25,7 1070 319,87 100,3 Warna 2012 -33,68 19,6 1724 844,32 319,07 Turbiditas 2011 -0,6 -1,21 441,98 37,167 30,85 Turbiditas 2012 -8,32 18,68 276,86 140,51 66,96

Tabel 4.Sensitivitas koagulan aluminium sulfat cair

Keterangan Sensitivitas Minimal Maksimum Mean Standar Deviasi Warna 2011 -1,21 25.7 672 353,35 114,21 Warna 2012 11,59 185 2275 1067,28 390,32 Turbiditas 2011 0,096 11,06 186,60 36,21 30,99 Turbiditas 2012 2,34 20,70 376,91 171,04 71,345

Nilai sensitivitas diperoleh dengan membagi nilai delta parameter dengan dosis yang diberikan. Nilai delta itu sendiri adalah selisih antara nilai parameter air baku dan nilai parameter

(15)

setelah diberikan koagulan. Dari tabel terlihat bahwa sensitivitas baik untuk warna dan turbiditas pada penggunaan aluminium sulfat bubuk bernilai negatif, hal ini menandakan bahwa walaupun kualitas air meningkat (dimana nilai penurunan parameter air baku dan air hasil jar test mengalami penurun yang cukup besar) apabila jumlah dosis ditambahkan, namun nilainya tidak sebesar saat pemberian dosis yang lebih rendah. Dapat dikatakan bahwa dengan dosis yang lebih rendah diperoleh nilai delta (selisih penurunan nilai kualitas) yang lebih besar. Dan untuk sensitivitas yang bernilai postif hal ini menandakan bahwa dengan semakin tingginya dosis yang diberikan maka semakin besar nilai delta (selisih penurunan nilai kualitas air) yang diperoleh.

4.3 Perhitungan Biaya dan Harga Pokok Produksi Aluminium Sulfat Cair

Tabel 5.Perhitungan biaya produksi aluminium sulfat menggunakan alumina basah

Uraian Satuan Jumlah Harga (Rp) Biaya (Rp)

Alumina Basah Kg 1421 1.760 2.500.960

Asam Sulfat Kg 2024 1.430 2.894.320

Biaya Listrik Kwh/batch 150 1.000 300.000

Biaya Penyusutan Rp 605.700,12 Biaya Tenaga kerja Rp 2 3.725.747 124.191,57 Biaya Perawatan Rp 2.000.000 66.666,67 Total Rp 6.491.838,36

Tabel 5.Perhitungan biaya produksi aluminium sulfat menggunakan alumina kering

Uraian Satuan Jumlah Harga (Rp) Biaya (Rp)

Alumina Kering Kg 1512 3.200 4.838.400

Asam Sulfat Kg 2024 1.430 2.894.320

Biaya Listrik Kwh/batch 150 1.000 300.000

Biaya Penyusutan Rp 605.700,12

Biaya Tenaga kerja Rp 2 3.725.747 124.191,57

Biaya Perawatan Rp 2.000.000 66.666,67

(16)

produksi maka diperoleh nilai untuk harga pokok produksi sebesar Rp 1.131,17/ kg untuk aluminium sulfat dengan alumina basah dan Rp 1.538,46 / kg untuk aluminium sulfat cair dengan alumina kering. Dari perhitungan ini terlihat bahwa harga aluminium sulfat cair sebagai koagulan baik dengan menggunakan alumina kering atau basah lebih murah dibandingkan dengan harga aluminium sulfat bubuk yang harganya Rp 1.760 / kg. Namun perlu dilakukan perhitungan berdasarkan keadaan yang sebenarnya dilapangan, maka perhitungan harga pokok produksi ini baik dengan alumina kering dan alumina basah harus disesuaikan dengan hari produksi pabrik aluminium cair dalam memproduksi aluminium sulfat cair setiap bulannya agar lebih terlihat nilai sebenarnya dari harga pokok aluminium sulfat cair tersebut.

Tabel 6. Harga Pokok Produksi Aluminium Sulfat Cair

Bulan Jumlah Hari Produksi

(Hari )

Harga Pokok Produksi (Rp/kg) Juli 2011 6 2209,94 Agustus 2011 8 1440.25 Sepetember 2011 15 1211,97 Oktober 2011 10 1282,33 November 2011 8 1152,77 Desember 2011 9 1034,39 Januari 2012 10 1075,44 Februari 2011 17 994,04 April 2011 21 1026,71

Gambar 26. Grafik harga pokok produksi aluminium sulfat cair

Dari Gambar 26 terlihat penurunan harga pokok produksi aluminium sulfat cair seiring dengan meningkatnya hari produksi aluminium sulfat cair itu sendiri. Namun terlihat pada bulan April 2012 terjadi peningkatan harga dibandingkan bulan Februari 2012 meskipun jumlah hari produksinya meningkat, hal ini disebabkan oleh pengaruh yang cukup besar dari jumlah aluminium sulfat cair yang digunakan. Jumlah konsum aluminium cair disini digunakan sebagai faktor pembagi dari biaya produksi setiap bulannya sehingga dapat diperoleh harga pokok produksinya.

(17)

Tabel 7. Tabel Konsumsi Aluminium Sulfat Cair

Bulan Konsumsi Aluminium Cair

(Kg) Juli 2011 26.276 Agustsu 2011 48.227 Sepetember 2011 90.205 Oktober 2011 63.049 November 2011 60.254 Desember 2011 98.145 Januari 2012 69.882 Februari 2012 121.440 April 2012 139.764

Apabila jumlah hari produksi meningkat maka biaya produksi pun akan meningkat namun hal lain yang mempengaruhi nilai akhir dari harga pokok produksi itu sendiri adalah jumlah aluminium cair yang digunakan. Terlihat bahwa apabila hari produksi setiap bulannya lebih dari 17 hari maka dapat menyebabkan kenaikan harga pokok produksi aluminium sulfat sebab biaya produksinya akan jauh meningkat dan harga pokok tersebut dapat turun lebih murah apabila konsum aluminium yang digunakan juga sangat besar. Sebab nilai dari konsum aluminium yang berfungsi sebagai pembagi. Jumlah hari produksi apabila dilihat dari harga pokok produksi yang diperoleh setiap bulannya yang tepat adalah apabila diatas 10 hari sehingga harga yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan harga yang diperoleh dari perhitungan harga pokok produksi senilai Rp 1.100,31 / kg. Penggunaan alumina basah ataupun alumina kering sebagai bahan baku belum dapat dianalisis lebih lanjut karena penggunaan alumina kering sebagai bahan baku hanya di bulan Desember tahun 2011 saja selama sembilan bulan pabrik aluminium sulfat beroperasi. Dan pada bulan tersebut harga pokok produksi yang diperoleh lebih rendah dari perhitungan harga pokok produksi sebelumnya. Harga pokok produksi alum sulfat cair pada bulan Maret tidak dapat diperoleh disebabkan keadaan dilapangan dimana pada bulan tersebut tidak dilakukan produksi aluminium sulfat sehingga selama sebulan penuh koagulan yang digunakan adalah aluminium sulfat bubuk.

Agar biaya produksi dapat semakin spesifik maka perlu dilakukan perhitungan biaya produksi aluminium sulfat cair untuk per m3 air produksi. Dengan menggunakan asumsi produksi air sebesar 100.000 m3 maka diperoleh perhitungan sebagai berikut

(18)

Tabel 8. Biaya Produksi Per m3 Air

Keterangan Satuan Alumina Basah Alumina Kering Aluminium Sulfat Bubuk Harga Pokok Produksi Rp/ kg 1.131,17 1538,46 1.760 Koefisien 2,125 2,125 1 Rasio Pemakaian 1,008 1,016 1 PPM Pemakaian ppm 107.10 107.95 50 Produksi Air m3 100.000 100.000 100.000 Pemakaian Aluminium Ton 10,710 10,795 5 Perbandingan Dengan Alum Bubuk Ton 5,04 5,3 5 Biaya Produksi Rp 5.559.526 7.923.500 8.800.000

Biaya produksi per m3

Rp 55 79 88

.

4.4 Sensitivitas Biaya

4.4.1 Sensitivitas Harga Pokok Produksi Alumina Basah

(19)

Gambar 28. Tornado Chart HPP alumina basah

Dengan menggunakan Crystal Ball dilakukan uji untuk mengetahui sensitivitas dari harga pokok produksi aluminium sulfat cair baik dengan menggunakan alumina basah dan alumina kering.dengan memasukkan variabel asumsi pada distribusi Triangular dan Normal. Pada Gambar 28 terlihat Tornado Chart yang menunjukkan besarnya nilai dari variabel yang mempengaruhi perubahan nilai harga pokok produksi alum sulfat cair dengan bahan baku alumina basah. Variabel yang memiliki nilai sensitivitas tertinggi adalah asam sulfat sebesar 51%, alumina basah sebesar 15,5 %, tenaga kerja 10%, listrik 1,5 % , perawatan 0,7%, jumlah produksi -2,9 dan penyusutan -6,6% seperti yang terlihat pada Gambar 27. Perubahan harga pokok produksi aluminium sulfat cair dengan bahan baku alumina basah sangat dipengaruhi atau paling sensitiv terhadap harga asam sulfat. Kenaikan HPP asam sulfat dengan alumina basah paling maksimum yang dapat diterima adalah hingga menjadi Rp 1.200 /kg.

Apabila harga asam sulfat meningkat menjadi Rp 3.093.857 atau sebesar 23,7% maka HPP asam sulfat dengan menggunakan alumina basah menjadi Rp 1.200. begitu juga dengan variabel alumina basah apabila terjadi kenaikan harga menjadi Rp 2.5593.562 atau sebesar 3,7% maka HPP asam sulfat dengan alumina basah menjadi Rp 1.200/ kg begitu juga terhadap variabel lainnya. Kenaikan HPP pada saat itu ditentukan oleh perubahan dari satu variabel produksi saja, bukan dari keseluruhan variabel secara bersamaan. Biaya penyusutan dan biaya tenaga kerja jika dilihat pada Tornado Chart berada pada bagian bawah (urutan keenam dan ketujuh) grafik hal ini cukup menjelaskan bahwa pengaruh dari perubahan harga yang mungkin terjadi pada varibael – variabel tersebut tidak memberikan dampak yang begitu signifikan terhadap perubahan HPP dan nilai dari ketiga variabel tersebut cenderung tetap (biaya tetap) atau biasa disebut dengan keadaan

(20)

kerusakan alat atau sebagainya. Biaya listrik berada pada urutan ketiga hal ini dapat dilihat dari pengaruh kemungkina perubahan harga satuan listrik sehingga dapat menyebabkan perubahan pula pada biaya listrik yang harus dikelurakan. Pada saat pelaksanaan penggunaan alumina basah sebagai bahan baku dalam memproduksi aluminium sulfat variabel yang perlu mendapat perhatian khusus adalah asam sulfat dan harga dari alumina basah itu sendiri. Karena kedua variabel ini yang menunjukkan nilai sensitivitas yang cukup tinggi.

4.4.2 Sensitivitas Harga Pokok Produksi Alumina Kering

Dengan cara yang sama dilakukan juga uji sensitivitas HPP aluminium sulfat basah dengan menggunakan bahan baku berupa alumina kering.

Gambar 29. Tornado Chart HPP alumina kering

Gambar 30. Diagram sensitivitas harga pokok produksi alumina kering

Dari gambar 30 terlihat bahwa urutan variabel yang diperoleh hampir sama dengan

(21)

urutan variabel pertama yaitu alumina kering dan asam sulfat berada di urutan kedua. Alumina kering dengan nilai sensitivitas sebesar 35,7 %, asam Sulfat 33,7 %, Perawatan 16,4 %, Listrik 1,3%, biaya penyusutan 0 %, biaya tenaga kerja -0,4%, dan jumlah produksi sebesar -8,3%.

Apabila harga alumina kering meningkat menjadi Rp 5.047.568 atau sebesar 4,3% dan juga harga asam sulfat meningkat menjadi Rp 3.093.857 atau sebesar 23,7 % maka dapat menyebabkan peningkatan HPP asam sulfat dengan alumina kering menjadi Rp 1.650 dari HPP awal sebesar Rp 1.538,46 / kg atau sebesar 7,23% . Sama dengan HPP asam sulfat dengan alumina basah biaya penyusutan dan biaya tenaga kerja jika dilihat pada Tornado Chart berada pada bagian bawah (urutan keenam dan ketujuh) grafik hal ini cukup menjelaskan bahwa pengaruh dari perubahan harga yang mungkin terjadi pada varibael – variabel tersebut tidak memberikan dampak yang begitu signifikan terhadap perubahan HPP dan nilai dari ketiga variabel tersebut cenderung tetap (biaya tetap) atau biasa disebut dengan keadaan non- monotomik. Biaya perawatan berada pada urutan keempat cukup memberikan dampak terhadap HPP karena biaya perawatan mempengaruhi dari biaya overhead pabrik, dan biaya perawatan dapat berubah- ubah setiap waktunya tergantung pada keadaan pabrik apabila pabrik mengalami kerusakan alat atau sebagainya. Biaya listrik berada pada urutan ketiga hal ini dapat dilihat dari pengaruh kemungkina perubahan harga satuan listrik sehingga dapat menyebabkan perubahan pula pada biaya listrik yang harus dikelurkan.

Jumlah dari produksi aluminium sulfat itu sendiri juga member pengaruh terhadap HPP aluminium sulfat cair baik alum sulfat cair dengan alumina basah ataupun alumina kering. Hal itu dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah produksi akan semakin menurunkan nilai HPP aluminium sulfat. Dari kedua uji yang telah dilakukan pada saat memproduksi alum sulfat baik dengan bahan baku alumina basah ataupun kering hal yang harus diperhatikan adalah harga dari asam sulfat, dari kedua tornado chart yang diperoleh asam sulfat menempati urutan teratas, sehingga selain dari harga alumina itu sediri harga asam sulfat memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan HPP yang mungkin terjadi.

Dapat dikatakan bahwa harga dari bahan baku sangat mempengaruhi dari harga pokok produksi yang diperoleh. Dalam industri pembelian bahan baku turut menunjang keberhasilan produksi. Berdasarkan itu, dapat dijelaskan bahwa perusahaan tidak akan berhasil memproduksi barang berkualitas baik apabila bahan baku yang digunakannya berkualitas buruk, meskipun dalam proses produksi telah didukung oleh mesin yang berteknologi modern serta metode dan sumber daya manusia yang baik (Djatmiko, 2012). Secara kualitas, berdasarkan uji kualitas parameter air yang telah dilakukan, bahan baku yang digunakan dalam memproduksi aluminium sulfat cair sudah cukup memadai, karena kualitas air yang diolah sudah memenuhi kriteria perusahaan. Dan secara harga selama 9 bulan sejak beroperasinya pabrik aluminium sulfat bubuk biaya produksi untuk aluminium sulfat bubuk lebih rendah dibandingkan dengan biaya produksi aluminium sulfat cair.

Gambar

Grafik penurunan terlihat pada Gambar 10 dan Gambar 11.
Gambar 22. Turbiditas vs warna sebelum jar test dosis100 ppm
Gambar 24. Grafik probabilitas 90% dosis aluminium sulfat bubuk vs turbiditas                                   Gambar  24  menampilkan  grafik  probabilitas  90%  pemberian  dosis  dan  nilai  parameter
Gambar 28. Tornado Chart HPP alumina basah
+2

Referensi

Dokumen terkait

Semua hadiah, produk dan/atau perkhidmatan ditawarkan dan/atau diberi semata-mata oleh penjual-penjual dan pembekal-pembekal yang berkenaan, di bawah terma-terma

The zookeeper, Joan Embery, has been told by Paco Underhill that more exhibits will attract more visitors to enter the zoo but, as the space between exhibits decreases, more

Pemberdayaan sumber daya manusia di PT SIMNU pada dimensi “perlindungan” (protecting) terhadap para karyawan salah satunya adalah memberi suasana atau iklim

Sekretariat Mahkamah Agung RI, Kepala Badan Pengawasan MA RI melantik dan mengambil sumpah Hakim Yustisial dan pejabat eselon IV pada Badan Pengawasan MA RI. Andi Maderumpu, S.H.,

Dimana lipopolisakarida (LPS) dan sitokin akan menurunkan kadar kolesterol total pada primata, sedangkan pada tikus akan meningkat karena infeksi akan merangsang sintesis

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan yaitu dalam pemodelan regresi linear di penelitian ini, variabel number of days

[r]

Berdasarkan penelitaian atas pengelolaan barang/aset daerah pada Pemerintah Kabupaten Sampang tersebut diketahui hal-hal: (1) Secara umum, masih banyak Pengguna Barang