DAN TINGKAT KEMANDIRIAN REMAJA CLUBBERS
Vienna Aniella Nauli
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter,
permissive – indulgent, dan permissive indifferent dengan kemandirian emosional, perilaku, dan
nilai pada remaja clubber. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan positif antara pola asuh otoritatif dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai remaja clubber.
Subjek penelitian ini adalah remaja dengan kriteria seorang clubbers berusia sekitar 15 tahun sampai 24 tahun. Koefisien reliabilitas pola asuh dari yang tertinggi sampai yang terendah, yaitu 0,904 untuk pola asuh otoritatif, 0,821 untuk pola asuh otoriter, 0,797 untuk pola asuh
permissive-indifferent, dan 0,606 untuk pola asuh permissive-indulgent.
Hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji statistika spearman, menunjukkan tidak adanya hubungan antara pola asuh otoriter, permissive – indulgent, dan permissive indifferent
dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai (p > 0,05). Selain itu, Hasil uji hipotesis dengan menggunakan spearman, menunjukkan tidak adanya hubungan negatif antara pola asuh otoritatif dengan kemandirian emosional remaja clubbers (p > 0,05).
Vienna Aniella Nauli
ABSTRACK
This study aimed to determine the relationship between authoritarian parenting, permissive - indulgent, and permissive indifferent to emotional independence, behaviors, and values in young clubber. In addition, this study aimed to determine the negative relationship between authoritative parenting with emotional independence, behaviors, and values teenage clubber.
The subjects were adolescents with a criterion clubbers around 15 years old to 24 years old. Reliability coefficient parenting from the highest to the lowest is 0.904 for authoritative parenting, 0.821 for authoritarian parenting, permissive parenting 0.797 for-indifferent, and 0.606 for the permissive-indulgent parenting.
The results showed no relationship between authoritarian parenting, permissive - indulgent, and permissive indifferent to emotional independence, behaviors, and values (p> 0.05). In addition, the results of hypothesis testing used Spearman, indicating the absence of a negative relationship between authoritative parenting adolescents with emotional independence clubbers (p> 0.05).
TINGKAT KEMANDIRIAN REMAJA CLUBBERS
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program
Studi Psikologi
Disusun oleh :
Vienna Aniella Nauli
109114060
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Saya mempersembahkan hasil perjuangan saya ini kepada:
“orang tua saya yang saya sayangi, lalu untuk opung boru saya dan
opung doli saya, beserta oma saya karena berkat dukungan dan doa-doa
mereka, saya berhasil menyelesaikan ini, mereka adalah orang-orang
yang memiliki peran penting dalam hidup saya”
HALAMAN MOTTO
Opung boru saya pernah berkata:
“Saat kamu sudah memulai segala sesuatu
dari
start
,
maka kamu
harus menyelesaikannya sampai
finish
. Jangan pernah kamu
berhenti di tengah-
tengah”
DAN TINGKAT KEMANDIRIAN REMAJA CLUBBERS
Vienna Aniella Nauli
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter,
permissive – indulgent, dan permissive indifferent dengan kemandirian emosional, perilaku, dan
nilai pada remaja clubber. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan positif
antara pola asuh otoritatif dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai remaja clubber.
Subjek penelitian ini adalah remaja dengan kriteria seorang clubbers berusia sekitar 15
tahun sampai 24 tahun. Koefisien reliabilitas pola asuh dari yang tertinggi sampai yang terendah,
yaitu 0,904 untuk pola asuh otoritatif, 0,821 untuk pola asuh otoriter, 0,797 untuk pola asuh
permissive-indifferent, dan 0,606 untuk pola asuh permissive-indulgent.
Hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji statistika spearman, menunjukkan tidak
adanya hubungan antara pola asuh otoriter, permissive – indulgent, dan permissive indifferent
dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai (p > 0,05). Selain itu, Hasil uji hipotesis
dengan menggunakan spearman, menunjukkan tidak adanya hubungan negatif antara pola asuh
otoritatif dengan kemandirian emosional remaja clubbers (p > 0,05).
Kata kunci : kemandirian, pola asuh
Vienna Aniella Nauli
ABSTRACK
This study aimed to determine the relationship between authoritarian parenting, permissive - indulgent, and permissive indifferent to emotional independence, behaviors, and values in young clubber. In addition, this study aimed to determine the negative relationship between authoritative parenting with emotional independence, behaviors, and values teenage clubber.
The subjects were adolescents with a criterion clubbers around 15 years old to 24 years old. Reliability coefficient parenting from the highest to the lowest is 0.904 for authoritative parenting, 0.821 for authoritarian parenting, permissive parenting 0.797 for-indifferent, and 0.606 for the permissive-indulgent parenting.
The results showed no relationship between authoritarian parenting, permissive - indulgent, and permissive indifferent to emotional independence, behaviors, and values (p> 0.05). In addition, the results of hypothesis testing used Spearman, indicating the absence of a negative relationship between authoritative parenting adolescents with emotional independence clubbers (p> 0.05).
Keywords: autonomy, parenting
Ungkapan rasa syukur penulis tujukan untuk Tuhan yang Maha Esa atas berkat rahmat
kebijaksanaan yang Dia berikan kepada penulis. Rahmat kebijaksanaa dariNya membuat penulis
dapat menyelesaikan skripsi penulis yang berjudul “Hubungan Antara Pola Pengasuhan Orang
tua Pada Kemandirian Remaja Clubbers” dengan sebaik-baiknya.
Penulis juga sangat berterima kasih kepada para dosen baik dosen pembimbing maupun
dosen penguji yang telah rela meluangkan waktunya untuk membimbing penulis sehingga dapat
melengkapi kekurangan yang penulis miliki.
Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis tujukan pada:
1. Orang tua penulis yang selalu mendukung penulis dalam setiap proses penulisan skripsi
dalam bentuk dukungan dan selalu mendoakan keberhasilan penulis.
2. Bapak/Ibu dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membimbing
penulis selama proses perkuliahan dari awal semester hingga akhir semester.
3. Rekan-rekan mahasiswa di Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang mendukung saya
dengan memberikan banyak masukan terkait skripsi saya.
4. Sahabat-sahabat penulis di Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang terdiri dari Daning,
Pudji, Ghea, Fiona, Esti, Lusi, Lolla, Pinno, Tista yang selalu
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACK ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 15
C. Tujuan Penelitian ... 16
D. Manfaat Penelitian ... 16
BAB II LANDASAN TEORI ... 18
A. Kemandirian (Autonomy) ... 18
1. Definisi Kemandirian ... 18
2. Dimensi Kemandirian ... 20
a) Kemandirian Emosional (Emotional Autonomy) ... 20
b) Kemandirian Behavioral (Behavioral Autonomy) . 22 c) Kemandirian Nilai (Values Autonomy) ... 23
B. Perkembangan Kemandirian ... 26
C. Faktor-Faktor Kemandirian ... 27
D. Gaya Pengasuhan ... 29
1. Definisi Gaya Pengasuhan ... 29
2. Bentuk-bentuk Pengasuhan ... 31
a) Pengasuhan otoriter (authoritarian parenting) ... 32
b) Pengasuhan otoritatif (authoritative parenting) ... 32
c) Pengasuhan permissive-indulgent ... 33
d) Pengasuhan permissive-indifferent ... 33
E. Remaja Clubbers ... 34
F. Hubungan Antara Pola Pengasuhan Orang tua Dan Tingkat Kemandirian Clubbers Usia Remaja ... 36
G. Hipotesis ... 45
BAB III METODE PENELITIAN ... 50
A. Jenis Penelitian ... 50
B. Variabel Penelitian ... 50
1. Variabel dependen ... 50
2. Variabel independen ... 50
C. Definisi Operasional ... 50
1. Kemandirian ... 50
2. Pola pengasuhan ... 51
D. Subjek Penelitian ... 52
E. Metode Dan Alat Pengumpulan Data ... 53
1. Metode ... 53
2. Alat Pengumpulan Data ... 53
a) Kemandirian ... 53
b) Pola Asuh ... 55
F. Validitas, Seleksi Item, Dan Reliabilitas ... 57
1. Validitas Skala ... 57
2. Seleksi Item ... 58
a) Skala Kemandirian ... 58
b) Skala Pola Asuh ... 58
3. Reliabilitas ... 65
a) Skala Kemandirian ... 65
b) Skala Pola Asuh ... 65
G. Pengkategorian Pola Asuh ... 66
H. Analisis Data ... 68
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 69
A. Persiapan Penelitian ... 69
1. Uji coba alat ukur ... 69
B. Pelaksanaan Penelitian ... 70
C. Hasil Penelitian ... 70
1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 70
2. Deskripsi Data Penelitian ... 72
a) Data kemandirian ... 72
b) Data pola asuh orang tua ... 72
3. Uji asumsi data penelitian ... 72
a) Uji normalitas ... 73
b) Uji Linearitas ... 75
c) Uji Hipotesis ... 80
D. Pembahasan ... 85
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87
A. KESIMPULAN ... 87
B. SARAN ... 88
DAFTAR PUSTAKA ... 91
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Karakteristik Anak Berdasarkan Pola Asuh ... 33
Tabel 2: Blueprint Skala Kemandirian Sebelum Uji Coba ... 54
Tabel 3: Blueprint Pola Asuh ... 56
Tabel 4: Blueprint Pola Asuh Orang Tua Sebelum Uji Coba ... 56
Tabel 5: Blueprint Skala Kemandirian Setelah Uji Coba ... 58
Tabel 6: Blueprint Skala Kemandirian Untuk Penelitian ... 60
Tabel 7: Blueprint Skala Pola Asuh Setelah Uji Coba ... 63
Tabel 8: Blueprint Skala Pola Asuh Untuk Penelitian ... 64
Tabel 9: Deskripsi Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 71
Tabel 10: Tabel Deskripsi Usia Subjek Penelitian ... 71
Tabel 11: Tabel Data Kemandirian Subjek ... 72
Tabel 12: Tabel Data Pola Asuh Orangtua ... 72
Tabel 13: Ringkasan Sebaran Distribusi Variabel Kemandirian ... 73
Tabel 14: Ringkasan Sebaran Distribusi Variabel Pola Asuh ... 74
Tabel 15: Ringkasan Uji Linearitas Pola Asuh dengan Kemandirian Emosional ... 75
Tabel 16: Ringkasan Uji Linearitas Pola Asuh dengan Kemandirian Perilaku ... 77
Tabel 17: Ringkasan Uji Linearitas Pola Asuh dengan Kemandirian Nilai ... 78
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Grafik Persentase jumlah pengunjung klub malam ... 3
Gambar 2. Skema Hubungan antara pola asuh otoriter
dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai ... 46
Gambar 3. Skema Hubungan antara pola asuh permissive - indulgent
dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai ... 47
Gambar 4. Skema Hubungan antara pola asuh permissive - indifferent
dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai ... 48
Gambar 5. Skema Hubungan antara pola asuh otoritatif
dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai ... 49
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A: Skala Kemandirian Dan Skala Pola Asuh ... 94
Lampiran B: Reliabilitas Uji Coba Dan Penelitian ... 107
Lampiran C: Uji Normalitas Dan Uji Linearitas ... 128
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Remaja berasal dari istilah adolescence yang memiliki arti tumbuh untuk
mencapai kematangan, baik mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1994).
Pada masa ini ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu
dari segi fisik, psikis dan sosialnya (Hurlock, 1994). Pada masa ini pula timbul
banyak perubahan yang terjadi, baik secara fisik maupun psikologis, seiring
dengan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja (Hurlock,
1994). Kemandirian dianggap penting karena seseorang khususnya remaja
berusaha untuk menyesuaikan diri secara aktif dengan lingkungan (Guritno dalam
Monica, 2008). Tanpa kemandirian usaha penyesuaian diri tidak mungkin berhasil
untuk mempengaruhi dan menguasai lingkungan, tapi sebaliknya akan
dipengaruhi dan dikuasai lingkungan (Guritno dalam Monica, 2008). Dengan kata
lain, kemandirian merupakan modal dasar bagi manusia dalam menentukan sikap
dan perbuatan terhadap lingkungan (Guritno dalam Monica, 2008).
Mutadin (dalam Santosa & Marheni, 2013) menjelaskan bahwa selama
masa remaja tuntutan terhadap kemandirian sangat besar dan jika tidak di respon
secara tepat bisa menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi
perkembangan psikologis remaja di masa datang. Rice (dalam Santosa &
Marheni, 2013) mengatakan bahwa pencapaian tingkat kemandirian pada masa
remaja merupakan suatu hal yang tidak mudah karena pada masa remaja terjadi
pergerakan psikososial dari arah lingkungan keluarga menuju lingkungan luar
keluarga. Kondisi atau situasi dalam lingkungan keluarga yang tidak dapat
memberikan hubungan komunikasi yang baik dan bentuk perhatian yang cukup
berkaitan dengan eksistensi diri remaja mengakibatkan remaja mencari jalan
keluar di luar lingkungan keluarga (Nindyastari, 2008). Hubungan keluarga yang
kurang harmonis membuat remaja melakukan aktivitas lain sebagai bentuk
pelarian, seperti pergi clubbing (Nindyastari, 2008).
Clubbing adalah bentuk aktivitas yang dilakukan oleh remaja dengan
kegiatan bersenang-senang ke tempat hiburan yang sedang menjadi trendsetter
seperti kafe dan diskotik (Ichsan & Handoyo, 2014). Hal yang perlu diperhatikan
mengenai aktivitas ini adalah bahwa clubbing memiliki dua persepsi dari
masyarakat (Nindyastari, 2008). Pertama, aktivitas ini hanyalah suatu aktivitas
untuk melepas stres, mencari kesenangan atau refreshing di akhir pekan (Ruz
dalam Nindyastari, 2008). Kedua, aktivitas ini dipandang negatif karena
menyertakan obat-obatan terlarang dan salah satu penghubung masuknya seks
bebas (Stevenio dalam Nindyastari, 2008). Hal tersebut didukung oleh pernyataan
dari Panjaitan (2009) yang mengatakan bahwa clubbing identik dengan hal-hal
negatif. Retno (dalam Nindyastari, 2008) mengungkapkan bahwa clubbing saat ini
merupakan kehidupan malam remaja perkotaan yang sedang menjadi tren.
Tempat-tempat clubbing mayoritas 50% pengunjung dipenuhi oleh anak muda
berusia 25 tahun kebawah yang masih berstatus pelajar atau mahasiswa. Dengan
kata lain, remaja masih ditemukan di klub malam. Berdasarkan survei dari
sekitar 19 tahun–40 tahun (90% dari total pengunjung keseluruhan), baik musisi
atau pengunjung. Remaja yang peneliti gunakan sebagai subjek penelitian masuk
dalam rentang umur yang peneliti sebutkan di atas. Mereka mempunyai
kehidupan yang berbeda-beda dalam kehidupan bermasyarakat sehari-harinya,
dari yang berprofesi sebagai mahasiswa, karyawan kantor, pengusaha, selebriti,
atau bahkan seseorang yang bergelut dalam bidang musik.
0%
> 40 tahun (Profesional, pengusaha)
Nindyastari (2008) mengatakan bahwa lingkungan keluarga berperan
besar pada kehidupan remaja. Dalam hasil penelitian tersebut terdapat tiga subjek
penelitian dimana dua subjek diantaranya memiliki kebebasan untuk melakukan
aktivitas clubbing (Nindyastari, 2008). Salah satu subjek juga tidak mendapatkan
larangan untuk merokok dan meminum alkohol. Subjek yang lainnya sudah
mendapatkan larangan dari orang tua untuk melakukan aktivitas clubbing karena
akan memberikan dampak negatif (Nindyastari, 2008). Nasehat dari orang tua
tidak dilakukan oleh subjek. Subjek justru melakukan hal-hal menyimpang di luar
pengetahuan orang tuanya (Nindyastari, 2008).
Perilaku remaja dalam penelitian tersebut yang melanggar larangan orang
tuanya untuk pergi clubbing merupakan ketidakmandirian secara emosional
(Steinberg, 1995). Hal tersebut dapat dilihat dari ketidakmampuan remaja tersebut
untuk berkomunikasi secara nyaman dengan orang tuanya sehingga menimbulkan
pemberontakan (Steinberg, 1995). Liyansyah (2009) yang mengatakan bahwa
remaja clubbers tetap pergi ke tempat clubbing pada jam malam, walaupun sudah
dilarang oleh orang tua mereka. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang
mandiri secara emosional dapat menganggap orang tuanya sebagaimana individu
pada umumnya sehingga dapat berhubungan secara baik.
Ichsan dan Handoyo (2014) mengatakan remaja clubber merupakan remaja
yang menghibur diri karena mendapat tekanan dari orang tua mereka. Motif yang
melatarbelakangi karena dalam keseharian sering dimarahi oleh orang tuanya
tanpa alasan yang jelas (Ichsan; Handoyo, 2014). Solusi yang ditempuh untuk
menghilangkan masalah tersebut yakni dengan cara pergi clubbing (Ichsan;
Handoyo, 2014). Selain itu, permasalahan dalam keluarga mereka membuat
remaja tersebut kesepian karena tidak ada yang menemani mereka di rumah
(Ichsan; Handoyo, 2014). Hal ini membuat para remaja memanfaatkan waktu
luang mereka yang kosong tanpa keluarga dengan pergi ke club (Ichsan;
Handoyo, 2014).
Ajakan dari teman-teman untuk pergi clubbing juga mempengaruhi subjek.
Teman-teman subjek mengatakan bahwa pergi clubbing akan membawa suasana
baru dan semangat (Ichsan; Handoyo, 2014). Keputusan remaja dalam penelitian
semangat merupakan salah satu bentuk ketidakmandirian secara perilaku.
Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara perilaku mampu
menghindari situasi konformitas.
Salah satu contoh kasus remaja clubber pada siswi kelas 3 di salah satu
SMA Negeri di Medan yang melakukan clubbing mengatakan bahwa alasan atau
motifnya mengikuti clubbing karena diajak oleh teman-temannya untuk berpesta
di klub dan lambat laun menjadi ketagihan untuk clubbing (Panjaitan, 2009).
Siswi yang mengikuti ajakan teman-temannya untuk pergi clubbing (konformitas)
menunjukkan ketidakmandirian secara perilaku (Steinberg, 1995).
Seorang remaja bernama Bito (bukan nama sebenarnya) mengatakan bahwa
ia berani terjun ke dunia malam karena penasaran dan lambat laun menjadi
ketagihan (Panjaitan, 2009). Bito berasal dari keluarga yang kurang harmonis.
Bito kurang kasih sayang dari orang tuanya karena orang tua Bito sibuk bekerja
(Panjaitan, 2009). Hubungan Bito dengan saudara-saudaranya biasa saja
(Panjaitan, 2009). Hal itu membuat Bito sering merasa kesepian karena ia juga
hanya diasuh oleh pembantu dan tantenya (Panjaitan, 2009). Orang tua Bito tidak
mempunyai cukup waktu untuk meluangkan waktu untuk mengurus anak. Orang
tua tidak memiliki kontrol sama sekali terhadap Bito (Panjaitan, 2009). Pergaulan
Bito di klub malam membuat Bito terjerumus ke hal negatif seperti, mabuk dan
memakai narkoba. Bito menjadi biseksual dan menjalin hubungan dengan pria
pengedar narkoba (Panjaitan, 2009). Perilaku Bito yang terjerumus ke hal negatif
dan tidak menyadari resiko akibat perilakunya tersebut menunjukkan
mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara perilaku akan menyadari adanya
resiko dari tingkah lakunya.
Noerham (2012) mengatakan bahwa remaja yang menjadikan clubbing
sebagai alternatif pergaulannya lambat laun terjerumus ke dalam hal-hal negatif
seperti merokok, mabuk, narkoba, dan free sex. Perilaku remaja yang tidak
menyadari resiko dari perilaku negatifnya menunjukkan ketidakmandirian secara
perilaku (Steinberg, 1995). Salah satu alasan remaja pergi clubbing karena
keadaan keluarga yang broken home (Noerham, 2012). Kondisi atau situasi yang
tegang di rumah dan hilangnya keharmonisan dalam keluarga memacu anak
remaja untuk mencari kebahagiaan (Noerham, 2012). Broken home menjadi salah
satu faktor karena remaja kurang mendapat kasih sayang, sibuknya orang tua atau
dididik terlalu keras akan membuat mereka rapuh, sehingga mencari tempat yang
lebih nyaman yang dapat menerima kekurangannya, mendapat perhatian, dan
menawarkan kebebasan (Noerham, 2012).
Istilah broken home biasanya digunakan untuk menggambarkan keluarga
yang tidak utuh atau tidak ideal, dimana orang tua tidak lagi peduli dengan situasi
dan keadaan keluarga di rumah, tidak adanya perhatian orang tua terhadap anak
remaja sehingga membuat si anak remaja menjadi mudah frustasi, brutal dan
susah diatur, baik itu di rumah, sekolah, sampai pada perkembangan pergaulan
anaknya di masyarakat (Noerham, 2012). Remaja yang mudah frustasi sangat sulit
untuk mengelola emosinya sehingga menunjukkan ketidakmandirian secara
emosional (Steinberg, 1995). Jika remaja sulit untuk mengelola emosi, maka
sehingga remaja tidak menunjukkan kemandirian secara perilaku (Noerham,
2012). Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara perilaku
mampu bertanggung jawab atas situasi yang dihadapi baik di rumah atau di
sekolah.
Gea (2013) mengungkapkan alasan mahasiswa pergi ke klub malam untuk
dugem berawal dari penasaran dan ajakan teman. Mereka takut dianggap tidak
gaul dan ketinggalan zaman. Remaja yang mengikuti ajakan teman-temannya
untuk pergi clubbing (konformitas) menunjukkan ketidakmandirian secara
perilaku (Steinberg, 1995).
Noerham (2012) mengatakan bahwa remaja yang pergi clubbing sudah tidak
lagi menghiraukan arti sebuah nilai dan norma yang di tanamkan kepada mereka
sejak kecil, dimana mereka diajarkan agar menjadi sosok yang lembut, mandiri,
sopan, dan yang lebih penting menjaga kehormatan keluarga, harga diri dan kesucian
diri mereka. Hal ini menunjukkan remaja belum menunjukkan kemandirian secara
nilai karena menghiraukan hal tersebut. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja
yang mandiri secara nilai mampu untuk mempertimbangkan konsekuensi yang akan
diterima saat mengambil keputusan terkait norma dan nilai yang diajarkan.
Banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja, seperti kecerdasan
(Blair dalam Suryadi & Damayanti, 2003), pola asuh orang tua (Baumrind dalam
Bee, 1981), tingkat pendidikan orang tua (Widjaja dalam Suryadi & Damayanti,
2003), jumlah anak dalam keluarga dan sebagainya. Faktor yang paling
mempengaruhi ialah pola pengasuhan orang tua di dalam keluarga (Nuryoto
dalam Monica, 2008). Pola pengasuhan yang baik akan menghasilkan
mengatakan bahwa pola asuh adalah segala bentuk dan proses yang tejadi antara
orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang
akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Baurimnd
(dalam Santrock, 2002) menekankan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan
aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak: otoriter, otoritatif, dan
permisif. Para ahli perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan anak yang
permisif terjadi dalam dua bentuk: indulgent dan
permissive-indifferent (Santrock, 2002)
Pola asuh otoriter memiliki ciri membatasi hak anak tetapi dituntut untuk
tanggung jawab, memberi hukuman berupa hukuman fisik, serta kontrol sangat
ketat (Aisyah, 2010). Pola pengasuhan otoriter yang diterapkan orang tua
merupakan sumber terjadi stress dan perasaan cemas yang dialami oleh remaja
(Puspitaningtyas, 2007). Remaja yang diasuh oleh pola asuh otoriter cenderung
merasakan emosi yang tidak terkontrol seperti mudah marah, sedih, dan kecewa
(Puspitaningtyas, 2007). Pola asuh otoriter juga membuat remaja selalu dirundung
kesedihan dan merasa masalah selalu menghampiri dirinya (Puspitaningtyas,
2007). Hal tersebut menunjukkan ketidakmandirian secara emosional. Steinberg
(1995) mengatakan remaja yang mandiri secara emosional adalah remaja yang
mampu untuk mengelola emosinya sehingga tidak mudah untuk segera
menumpahkan perasaan.
Pola asuh otoriter tidak memberi peluang pada anak untuk berbicara
(Baumrind, dalam Santrock, 2002). Barnadib (dalam Aisyah, 2010) mengatakan
mengutarakan perasaan-perasaan memberikan peluang pada anak untuk menjadi
agresi. Adanya hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresi remaja itu
dikarenakan keluarga yang suka melakukan hukuman terutama hukuman fisik
menyebabkan anak mempunyai sifat pemarah. Selain itu, anak yang ditekan
karena aturan suatu saat akan meluapkan amarahnya sebagai perilaku agresi
(Baumrind, dalam Aisyah 2010). Herbert (dalam Aisyah, 2010) berpandangan
bahwa tingkah laku agresi menyebabkan luka fisik, psikis pada orang lain, atau
yang bersifat merusak benda. Agresi merupakan salah satu bentuk
ketidakmandirian secara perilaku karena remaja tidak memikirkan resiko dari
tingkah laku agresinya (Steinberg, 1995).
Baumrind (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa pola asuh otoriter
tidak pernah memberi kesempatan pada anak untuk berpendapat. Hal tersebut
menyebabkan remaja sulit diminta untuk menjelaskan sesuatu dengan bahasa
mereka sendiri, dan melontarkan pertanyaan yang dilontarkan persis yang
dicantumkan di buku (Rahmawati, 2007). Hal tersebut menunjukkan
ketidakmandirian secara perilaku. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja
yang mandiri secara perilaku dapat dengan percaya diri dan berani untuk
mengemukakan ide atau gagasan.
Hurlock (2004) mengatakan bahwa pola asuh otoriter untuk mendesak anak
remaja mengikuti aturan yang sudah dibuat oleh orang tua, menetapkan disiplin
ketat pada kehidupan anak. Anak yang tidak diberikan kesempatan untuk
bereskplorasi orang tuanya, akan mencari hal-hal di luar keluarganya yang dapat
(dalam Kustanti, 2014) mengatakan bahwa remaja yang diasuh secara otoriter
memiliki kecenderungan untuk melanggar norma-norma yang diberikan. Remaja
yang cenderung melanggar norma yang diajarkan belum mandiri secara nilai
(Steinberg, 1995). Remaja yang mandiri secara nilai adalah remaja yang bertindak
sesuai dengan prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan dalam bidang nilai
(Steinberg, 1995)
Pola asuh permisif dibagi menjadi dua, yaitu permissive indulgent dan
permissive indifferent. Permissive – indulgent merupakan suatu gaya pengasuhan
di mana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi
menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka (Baumrind, dalam
Santrock, 2002). Pola asuh permisif yang tinggi juga menyebabkan remaja kurang
dapat mengelola emosinya sendiri (Wahyuni, 2014). Apabila remaja kurang dapat
mengelola emosinya, mudah untuk menumpahkan perasaannya, maka dapat
dipastikan remaja tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain (Wahyuni,
2014). Baumrind (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa pola asuh permisif
menyebabkan anak jarang belajar menaruh hormat karena orang tua tidak
memberi kontrol dalam kehidupan anak. Remaja yang mudah untuk
menumpahkan perasaannya dan kurang dapat mengelola emosinya menunjukkan
ketidakmandirian secara emosional (Steinberg, 1995). Steinberg (1995)
mengatakan remaja yang mandiri secara emosional adalah remaja yang mampu
untuk mengelola emosinya sehingga tidak mudah untuk segera menumpahkan
Orang tua permissive – indulgent sangat terlibat dan memiliki kasih sayang
tinggi sehingga cenderung memanjakan (Wahyuni, 2014). Hal ini membuat
remaja menjadi tidak bertanggung jawab (Wahyuni, 2014). Remaja yang belum
mampu untuk bertanggung jawab atas dirinya dikatakan tidak percaya diri dalam
menghadapi kehidupannya, sehingga dikatakan belum mandiri secara perilaku
(Steinberg, 1995).
Pola asuh permissive – indulgent tidak mampu membedakan membuat anak
remaja tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah karena
orang tua tidak mengajarkannya (Wahyuni, 2014). Remaja juga cenderung
menyalahgunakan kebebasan bahkan jika mereka tahu itu salah karena orang tua
sedikit memberi batasan atau kontrol kepada anak (Wahyuni, 2014). Hal ini
menunjukkan bahwa remaja belum mandiri secara nilai. Steinberg (1995)
mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara nilai adalah remaja yang memiliki
kemampuan untuk memaknai seperangkat prinsip benar dan salah, serta penting
dan tidak penting.
Permissive – indifferent merupakan merupakan suatu gaya dimana orang tua
sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak (Baumrind, dalam Santrock, 2002).
Anak remaja dengan pola asuh permissive – indifferent belum memiliki perilaku
bertanggung jawab karena cenderung berperilaku buruk terhadap orang lain
(Mahmud, dalam). Remaja yang belum memiliki perilaku bertanggung jawab
dikatakan belum mandiri secara emosional (Steinberg, 1995). Steinberg (1995)
memberi istilah belum terindividuasi bagi perilaku yang belum bertanggung
Orang tua permissive – indifferent berkonsentrasi pada diri sendiri dan tidak
mempedulikan kebutuhan anak (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Aisyah (2010)
mengatakan bahwa saat anak tidak digubris oleh orang tuanya, anak cenderung
mencari perhatian dengan cara melakukan perbuatan yang negatif. Apabila cara
yang ditempuh dapat membuat anak mendapatkan reinforcement, maka anak akan
terus melakukan perbuatan negatif (Aisyah, 2010). Saat anak mencari perhatian
dengan melakukan perbuatan negatif tanpa memikirkan resiko yang terjadi, maka
ini merupakan suatu bentuk ketidakmandirian secara perilaku (Steinberg, 1995).
Orang tua permissive – indifferent yang sama sekali tidak peduli pada
kehidupan anak membuat anak remaja kurang dapat membedakan nilai yang baik
dan yang buruk (Monica, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa remaja belum
mandiri secara nilai belum mampu untuk memaknai seperangkat prinsip benar dan
salah, serta penting dan tidak penting (Steinberg, 1995)
Beberapa kasus mengenai kehidupan keluarga remaja yang pergi clubbing
yang sudah peneliti uraikan sebelumnya, menunjukkan keluarga menerapkan pola
asuh otoriter dan permisif. Pola asuh otoriter ini tampak dari perilaku orang tua
dari remaja clubbers yang sering memarahi remaja tanpa alasan yang jelas
sehingga remaja merasa stress dan penuh tekanan di dalam rumah (Ichsan;
Handoyo, 2014). Ajakan dari teman-teman mempengaruhi remaja demi
membawanya ke suasana baru dan menyenangkan daripada di rumahnya yang
penuh stress dan tekanan ((Ichsan; Handoyo, 2014). Pola asuh permisif tampak
dari pengabaian orang tua atas perilaku remaja sehingga remaja memiliki
(Nindyastari, 2008). Pengabaian orang tua juga terjadi sehingga membuat remaja
melakukan clubbing karena merasa kesepian di rumahnya (Ichsan; Handoyo,
2014). Hal ini terjadi karena orang tua sibuk melakukan aktivitas tanpa
mempedulikan remaja di rumah (Ichsan; Handoyo, 2014).
Dari beberapa contoh kasus mengenai remaja clubbers yang peneliti uraikan
di atas, orang tua tampak tidak menerapkan pola asuh otoritatif pada remaja
clubbers. Oleh karena itu, peneliti menangkap kesempatan untuk meneliti juga
terkait pola asuh otoritatif karena semakin orang tua remaja clubbers tidak
mengasuh secara otoritatif, semakin remaja clubbers tidak mandiri secara
emosional, perilaku, dan nilai. Widiana & Nugraheni (2008) mengatakan bahwa
ada hubungan positif yang signifikan antara pola asuh demokratis dengan
kemandirian. Pola asuh otoritatif mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih
menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka
(Baumrind, dalam Santrock, 2002).
Pola asuh otoritatif merupakan pola asuh yang memberi kehangatan pada
anak dan pendampingan kepada anak dalam menghadapi kehidupan mereka
(Ngahu, 2006). Anak yang diberi kehangatan oleh orang tuanya cenderung
mampu untuk mengelola emosi yang dimiliki, terutama saat memiliki emosi
negatif (Ngahu, 2006). Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri
secara emosional adalah remaja yang mampu mengelola emosinya sehingga tidak
mudah untuk segera menumpahkan perasaan saat ada masalah.
Anak yang diasuh secara otoritatif akan memiliki rasa percaya diri
mengatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pola asuh orang tua
dengan kepercayaan diri siswa dengan asumsi semakin tinggi pola asuh orang tua
otoritatif pada anaknya, maka semakin tinggi tingkat kepercayaan diri. Steinberg
(1995) mengatakan bahwa remaja yang memiliki kepercayaan diri adalah remaja
yang mandiri secara perilaku.
Orang tua dengan pengasuhan otoritatif menerapkan nilai-nilai dan
norma-norma yang diterapkan kepada anak remaja (Ngahu, 2006). Anak remaja dibiasakan
untuk menaati nilai dan norma yang diajarkan (Ngahu, 2006). Hal tersebut akan
melatih kemandirian remaja secara nilai. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja
yang mandiri secara nilai mampu menimbang segala kemungkinan yang terjadi dalam
bidang nilai.
Perkembangan kemandirian nilai didukung juga oleh perkembangan
kemandirian emosional (emotional autonomy) dan kemandirian perilaku
(behavioral autonomy). Kemandirian emosional membekali remaja dengan
kemampuan untuk melihat pandangan orang tua mereka secara lebih objektif
sedangkan kemandirian perilaku dapat menjadi bekal bagi remaja dalam upayanya
mencari kejelasan dari nilai-nilai yang telah ditanamkan orangtua selaku figur
otoritas kepadanya. Oleh karena itu perkembangan kemandirian nilai berlangsung
belakangan, umumnya pada masa remaja akhir atau dewasa muda.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, peneliti ingin melihat hubungan antara
pola pengasuhan orang tua pada kemandirian clubbers usia remaja. Dari
penelitian sebelumnya, peneliti menangkap kesempatan untuk meneliti secara
khusus tentang bagaimana pola pengasuhan yang diterapkan orang tua di rumah
tertarik untuk melihat apakah pola pengasuhan memiliki hubungan dengan tingkat
kemandirian clubbers pada usia remaja.
Peneliti mengambil variabel pola asuh dan kemandirian karena dari
beberapa penelitian sebelumnya, beberapa peneliti belum menghubungkan secara
spesifik hubungan antara keempat bentuk pola asuh dengan tiga dimensi
kemandirian yang dimiliki oleh anak remaja. Para peneliti sebelumnya
kebanyakan hanya menghubungkan satu bentuk pola asuh dengan tingkat
kemandirian secara umum. Hal ini biasanya mereka nyatakan dengan belum
mandiri dan sudah mandiri, serta memiliki tingkat kemandirian yang tinggi dan
tingkat kemandirian yang rendah.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat hubungan signifikan antara pola asuh otoriter dengan
kemandirian emosional, perilaku, dan nilai pada remaja clubber?
2. Apakah terdapat hubungan signifikan antara pola asuh otoritatif dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai pada remaja
clubber?
3. Apakah terdapat hubungan signifikan antara pola asuh
permissive-indulgent dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai pada
remaja clubber?
4. Apakah terdapat hubungan signifikan antara pola asuh
permissive-indifferent dengan kemandirian emosional, perilaku, dan nilai pada
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara pola pengasuhan orang tua pada
kemandirian remaja clubbers.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis:
a. Bagi praktisi pengajar baik guru atau dosen diharapkan untuk dapat
meningkatkan komunikasi dengan pelajar/mahasiswa sehingga
dapat mengetahui permasalahan yang dialami anak didik. Hal ini
juga dapat dilakukan sebagai pencegahan bagi pelajar/mahasiswa
untuk beralih ke situasi yang tidak membuat mereka berkembang
ke arah yang lebih baik.
b. Bagi profesi psikolog khususnya psikolog pendidikan untuk dapat
lebih menjangkau pelajar/mahasiswa yang mempunyai masalah
dengan keluarga. Hal ini bertujuan agar pelajar/mahasiswa
diberikan tritmen positif.
2. Manfaat praktis
a. Bagi keluarga diharapkan dapat memberikan pola pengasuhan yang
tepat bagi remaja sehingga anak meningkatkan perilaku mandiri
dan perilaku positif dalam lingkungan pergaulan.
b. Bagi masyarakat umum diharapkan dapat membantu orang tua
rumah, misalnya: memberikan peraturan yang harus ditaati remaja
BAB II
LANDASAN TEORI A. Kemandirian (Autonomy)
1. Definisi Kemandirian
Ryan dan Lynch (dalam Newman & Newman, 1991) mendefinisikan
kemandirian sebagai suatu kemampuan untuk mengatur perilaku, memilih
dan memandu tindakan dan keputusan, tanpa kendali yang tak pantas dari
orang tua atau ketergantungan pada orang tua.
Conell (dalam Kupermic, Allen, & Arthur, 1996) mendefinisikan
kemandirian sebagai latihan untuk berinisiatif dalam memilih, memelihara,
dan mengatur perilaku serta latihan dalam menghubungkan perilaku dan
tujuan pribadi dan nilai. Shaw (dalam Suryadi, 2013) mengemukakan
bahwa kemandirian berhubungan dengan kebebasan individu dalam
fungsinya sebagai anggota kelompok.
Conger (dalam Suryadi, 2013) berpendapat bahwa kemandirian
sebagai salah satu aspek kepribadian dapat mempengaruhi kinerja seseorang
dan membantunya mencapai tujuan hidup, prestasi, kesuksesan serta
memperoleh penghargaan. Dengan dukungan sifat mandiri dalam diri
seseorang, maka akan sangat membantu baginya untuk mencapai hasil yang
maksimal dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah diuraikan sebelumnya,
peneliti menyimpulkan bahwa kemandirian adalah suatu tindakan untuk
mengatur perilaku, memilih dan memandu tindakan dan keputusan sehingga
dapat menghubungkan perilaku dan tujuan pribadi dan nilai. Hal tersebut
berhubungan dengan kebebasan individu dalam fungsinya sebagai anggota
kelompok untuk mempengaruhi kinerja seseorang dan membantunya
mencapai tujuan hidup sehingga akan sangat membantu baginya untuk
mencapai hasil yang maksimal dalam menyelesaikan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya.
2. Dimensi Kemandirian
Steinberg (1995) membagi kemandirian dalam tiga tipe, yaitu
kemandirian emosional (emotional autonomy), kemandirian behavioral
(behavioral autonomy), dan kemandirian nilai (values autonomy).
Kemandirian emosional (emotional autonomy) pada remaja ialah dimensi
kemandirian yang berhubungan dengan perubahan keterikatan hubungan
emosional remaja dengan orang lain, terutama dengan orang tua. Oleh
karena itu kemandirian emosional didefinisikan sebagai kemampuan remaja
untuk tidak tergantung terhadap dukungan emosional orang lain, terutama
orang tua. Kemandirian behavioral (behavioral autonomy) pada remaja
ialah dimensi kemandirian yang merujuk kepada kemampuan remaja
membuat keputusan secara bebas dan konsekuen atas keputusannya itu.
Kemandirian nilai (values autonomy) pada remaja ialah dimensi
kemandirian yang merujuk kepada kemampuan untuk memaknai
a). Kemandirian Emosional (Emotional Autonomy)
Pemudaran ikatan emosional anak dengan orang tua pada masa
remaja terjadi dengan sangat cepat. Percepatan pemudaran hubungan itu
terjadi seiring dengan semakin mandirinya remaja dalam mengurus diri
sendiri. Proses psikososial lainnya yang mendorong remaja
mengembangkan kemandirian emosional adalah perubahan
pengungkapan kasih sayang, meningkatnya pendistribusian kewenangan
dan tanggung jawab, dan menurunnya interaksi verbal dan kesempatan
perjumpaan bersama antara remaja dan orang tua, di satu pihak dan
semakin larutnya remaja dalam pola-pola hubungan teman sebaya untuk
menyelami hubungan dunia kehidupan yang baru di luar keluarga di
pihak lain. Menurut Silverberg dan Steinberg (Steinberg, 1995: 291) ada
empat aspek kemandirian emosional, yaitu:
(1) Aspek pertama dari kemandirian emosional adalah de-idealized,
yakni kemampuan remaja untuk tidak mengidealkan orang tuanya.
Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja memandang orang tua
tidak selamanya tahu, benar, dan memiliki kekuasaan, sehingga
pada saat menentukan sesuatu maka mereka tidak lagi bergantung
kepada dukungan emosional orang tuanya.
(2) Aspek kedua dari kemandirian emosional adalah pandangan
tentang parents as people, yakni kemampuan remaja dalam
memandang orang tua sebagaimana orang lain pada umumnya.
individu selain sebagai orang tuanya dan berinteraksi dengan orang
tua tidak hanya dalam hubungan orang tua-anak tetapi juga dalam
hubungan antar individu.
(3) Aspek ketiga dari kemandirian emosional adalah nondependency,
yakni suatu derajat di mana remaja tergantung kepada dirinya
sendiri dari pada kepada orang tuanya untuk suatu bantuan.
Perilaku yang dapat dilihat ialah mampu menunda keinginan untuk
segera menumpahkan perasaan kepada orang lain, mampu
menunda keinginan untuk meminta dukungan emosional kepada
orang tua atau orang dewasa lain ketika menghadapi masalah.
(4) Aspek keempat dari kemandirian emosional pada remaja adalah
mereka memiliki derajat individuasi dalam hubungan dengan orang
tua (individuated). Individuasi berarti berperilaku lebih
bertanggung jawab. Contoh perilaku remaja yang memiliki derajat
individuasi di antaranya mereka mengelola uang jajan dengan cara
menabung tanpa sepengetahuan orang tua. Collins dan Smatana
(Steinberg, 1995) berkeyakinan bahwa perkembangan individuasi
ke tingkat yang lebih tinggi didorong oleh perkembangan kognisi
sosial mereka. Kognisi sosial remaja yang dimaksud merujuk pada
pemikiran mereka tentang diri mereka dan hubungannya dengan
orang lain. Misalnya, remaja berpandangan “Teman saya
berpendapat bahwa saya adalah seorang gadis baik, maka saya
b). Kemandirian Behavioral (Behavioral Autonomy)
Kemandirian perilaku (behavioral autonomy) merupakan
kapasitas individu dalam menentukan pilihan dan mengambil
keputusan. Remaja yang memiliki kemandirian perilaku (behavioral
autonomy) bebas dari pengaruh pihak lain dalam menentukan pilihan
dan keputusan. Hal ini bukan berarti mereka tidak perlu pendapat orang
lain. Bagi remaja yang memiliki kemandirian behavioral memadai,
pendapat/nasehat orang lain yang sesuai dijadikan sebagai dasar
pengembangan alternatif pilihan untuk dipertimbangkan dalam
pengambilan keputusan. Ini bisa terjadi karena didukung oleh
perkembangan kognitif mereka yang semakin berkualitas. Dengan
perkembangan kognitif seperti ini remaja semakin mampu memandang
ke depan, memperhitungkan risiko-risiko dan kemungkinan hasil-hasil
dari alternatif pilihan mereka, dan mampu memandang bahwa nasehat
seseorang bisa tercemar/ternoda oleh kepentingan-kepentingan dirinya
sendiri. Menurut Steinberg (1995) ada tiga domain kemandirian
perilaku (behavioral autonomy) yang berkembang pada masa remaja:
(1) Pertama, mereka memiliki kemampuan mengambil keputusan yang
ditandai oleh:
(a) menyadari adanya resiko dari tingkah lakunya
(b) memilih alternatif pemecahan masalah didasarkan atas
(c) bertanggung jawab atas konsekuensi dari keputusan yang
diambilnya.
(2) Kedua, mereka memiliki kekuatan terhadap pengaruh pihak lain
yang ditandai oleh:
(a) tidak mudah terpengaruh dalam situasi yang menuntut
konformitas
(b) tidak mudah terpengaruh tekanan teman sebaya dan orang tua
dalam mengambil keputusan
(c) memasuki kelompok sosial tanpa tekanan.
(3) Ketiga, mereka memiliki rasa percaya diri (self reliance) yang
ditandai oleh:
(a) merasa mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah dan
di sekolah
(b) merasa mampu memenuhi tanggung jawab di rumah dan di
sekolah
(c) merasa mampu mengatasi sendiri masalahnya
(d) berani mengemukakan ide atau gagasan.
c). Kemandirian Nilai (Values Autonomy)
Kemandirian nilai (values autonomy) merupakan proses yang
paling kompleks, tidak jelas bagaimana proses berlangsung dan
pencapaiannya, terjadi melalui proses internalisasi yang pada lazimnya
tidak disadari, umumnya berkembang paling akhir dan paling sulit
Kemandirian nilai (values autonomy) yang dimaksud adalah
kemampuan individu menolak tekanan untuk mengikuti tuntutan orang
lain tentang keyakinan (belief) dalam bidang nilai. Menurut Steinberg
(1995), dalam perkembangan kemandirian nilai, terdapat tiga
perubahan yang teramati pada masa remaja:
(1) Pertama, keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak (abstract
belief). Perilaku yang dapat dilihat ialah remaja mampu
menimbang berbagai kemungkinan dalam bidang nilai. Misalnya,
remaja mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan
terjadi pada saat mengambil keputusan yang bernilai moral.
(2) Kedua, keyakinan akan nilai-nilai semakin mengarah kepada yang
bersifat prinsip (principled belief). Perilaku yang dapat dilihat:
(a) berpikir
(b) bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam bidang nilai.
(3) Ketiga, keyakinan akan nilai-nilai semakin terbentuk dalam diri
remaja sendiri dan bukan hanya dalam sistem nilai yang diberikan
oleh orang tuanya atau orang dewasa lainnya (independent belief).
Perilaku yang dapat dilihat:
(a) remaja mulai mengevaluasi kembali keyakinan dan nilai-nilai
yang diterimanya dari orang lain
(c) bertingkah laku sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri.
Misalnya remaja menggali kembali nilai-nilai yang selama ini
diyakini kebenarannya. Upaya remaja ini hakekatnya
merupakan proses evaluasi akan nilai-nilai yang diterimanya
dari orang lain.
Sebagian besar perkembangan kemandirian nilai dapat
ditelusuri pada karakteristik perubahan kognitif. Dengan
meningkatnya kemampuan rasional dan makin berkembangnya
kemampuan berpikir hipotetis remaja, maka timbul minat-minat
remaja pada bidang-bidang ideologi dan filosofi dan cara mereka
melihat persoalan-persoalan semakin mendetail.
Steinberg (1995) menyatakan bahwa perkembangan
kemandirian nilai didukung oleh perkembangan kemandirian
emosional dan kemandirian perilaku. Kemandirian emosional
membekali remaja dengan kemampuan untuk melihat pandangan
orang tua mereka secara lebih objektif sedangkan kemandirian
perilaku dapat menjadi bekal bagi remaja dalam upayanya mencari
kejelasan dari nilai-nilai yang telah ditanamkan orang tua selaku
figur otoritas kepadanya. Oleh karena itu perkembangan
kemandirian nilai berlangsung belakangan, umumnya pada masa
B. Perkembangan Kemandirian
Kemandirian (autonomy) merupakan salah satu tugas perkembangan yang
fundamental pada tahun-tahun perkembangan masa remaja. Steinberg (1995)
menegaskan bahwa menjadi orang yang mandiri, dapat menentukan diri sendiri,
merupakan tugas perkembangan yang fundamental pada tahun-tahun remaja.
Disebut fundamental karena pencapaian kemandirian pada remaja sangat penting
artinya dalam kerangka menjadi individu dewasa. Bahkan pentingnya
kemandirian diperoleh individu pada masa remaja sama dengan pentingnya
pencapaian identitas diri oleh mereka. Steinberg (1995) menegaskan bahwa
kebanyakan remaja membangun kemandiriannya sebagai bagian menjadi orang
dewasa seperti membangun identitas diri. Oleh karena itu mereka begitu gigih
dalam memperjuangkan kemandirian.
Sesungguhnya tidak mudah bagi remaja dalam memperjuangkan
kemandiriannya. Kesulitannya terletak pada upaya pemutusan ikatan infantile
yang telah berkembang dan dinikmati dengan penuh rasa nyaman selama masa
kanak-kanak. Bahkan pemutusan ikatan infantile itu seringkali menimbulkan
reaksi yang sulit dipahami (misunderstood) bagi kedua belah pihak remaja dan
orang tua (Rice, 1996). Terkadang remaja sering kali kesulitan dalam
memutuskan simpul-simpul ikatan emosional kekanak-kanakannya secara logis
dan objektif. Dalam upayanya itu mereka kadang-kadang harus menentang
keinginan dan aturan orang tua. Orang tua terkadang mempersepsi upaya
pemutusan simpul-simpul ikatan infantil yang dilakukan remaja sebagai
Steinberg (1995) menyatakan kemandirian sering dikaitkan dengan
pemberontakan dan sering disamakan dengan berpisah dari keluarga. Jika remaja,
terutama remaja awal, mampu memutuskan simpul-simpul ikatan infantile maka
ia akan melakukan separasi, yakni pemisahan diri dari keluarga. Hal ini berarti
kemandirian yang pertama muncul pada diri individu adalah kemandirian yang
bersifat independence, yakni lepasnya ikatan-ikatan emosional infantile individu
sehingga ia dapat menentukan sesuatu tanpa harus selalu ada dukungan emosional
dari orang tua. Oleh karena itu pada masa remaja ada suatu pergerakan
kemandirian yang dinamis dari ketidakmandirian individu pada masa kanak-kanak
menuju kemandirian yang lebih bersifat autonomi pada masa dewasa.
C. Faktor-Faktor Kemandirian
Dalam proses perkembangannya, kemandirian dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti kecerdasan (Blair dalam Suryadi & Damayanti, 2003), pola asuh
orang tua (Baumrind dalam Bee, 1981), tingkat pendidikan orang tua (Widjaja
dalam Suryadi & Damayanti, 2003), jumlah anak dalam keluarga dan sebagainya.
Dengan demikian kemandirian tidak muncul begitu saja atau terjadi dalam tempo
yang singkat melainkan harus dimulai sejak kecil melalui latihan kemandirian
dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Berikut ini akan
diberikan penjelasan singkat tentang masing-masing faktor tersebut.
Blair (dalam Suryadi & Damayanti, 2003) menyatakan bahwa kecerdasan
seseorang berhubungan dengan tingkat kemandiriannya, artinya semakin tinggi
dilakukan oleh Gilmore (dalam Suryadi & Damayanti, 2003) pada subyek anak
cerdas dan kurang cerdas menunjukkan bahwa anak yang cerdas lebih berperilaku
mandiri dibandingkan dengan anak yang kurang cerdas.
Williams (dalam Suryadi & Damayanti, 2003) berpendapat bahwa orang
yang paling dekat atau paling sering berhubungan dengan anak di dalam keluarga
pada umumnya adalah ibu, sehingga sikap ibu merupakan faktor yang penting
dalam perkembangan anak. Tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi sikap dan
tingkah lakunya dalam menghadapi anak-anaknya (Watson dalam Suryadi &
Damayanti, 2003). Conger (dalam Suryadi & Damayanti, 2003) menyatakan
bahwa perlakuan yang diberikan oleh orang tua berpengaruh terhadap
kemandirian anak-anaknya. Dalam penelitian Widjaja (dalam Suryadi &
Damayanti, 2003) ditemukan bahwa faktor pendidikan ibu berperan dalam
pembentukan kemandirian pada anak, dalam arti makin tinggi tingkat pendidikan
ibu, maka ia akan lebih mendorong kemandirian sehingga anak-anak juga menjadi
lebih mandiri.
Baumrind (dalam Bee, 1981) menyatakan bahwa anak-anak yang diasuh
secara demokratik oleh orang tuanya menunjukkan rata-rata kemandirian yang
lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang tidak diasuh secara demokratik.
Hurlock (1980) menyatakan bahwa keluarga kecil mempunyai kemungkinan
paling besar untuk menerapkan pola asuh yang demokratik pada anak-anaknya.
Cole (1973) mengatakan bahwa pola asuh demokratik adalah orang tua sebagai
individu yang matang secara emosional selalu mengajak anak-anak mereka untuk
mengasuh anak. Dalam pola asuh yang demikian, anak dihargai sebagai individu,
didorong untuk mengemukakan pendapatnya dan keputusan yang mereka buat
dihargai tanpa ada tekanan dari pihak orang dewasa lainnya.
D. Gaya Pengasuhan
1. Definisi Gaya Pengasuhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Widowati, 2013),
pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap.
Sedangkan, kata asuh dapat berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak
kecil, membimbing (membantu; melatih, dan sebagainya), memimpin
(menggepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga.
Elaine Donelson (dalam Widowati, 2013) berpendapat bahwa kata
asuh adalah mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan,
perawatan, dukungan, dan bantuan sehingga anak tetap berdiri dan
menjalani hidupnya secara sehat.
Widowati (2013) berpendapat bahwa pola asuh orang tua
diidentifikasi melalui adanya perhatian dan kehangatan, yaitu orang tua
dalam mengasuh dan menjalin hubungan interpersonal dengan anak disadari
adanya perhatian, penghargaan dan kasih sayang, kebebasan berinisiatif,
yaitu kesediaan orang tua untuk memberikan kesempatan kepada anak
untuk menyampaikan dan mengembangkan pendapat ide, pemikiran dengan
tetap mempertimbangkan hak-hak orang lain, nilai dan norma yang berlaku;
cara memberikan bimbingan, arahan dan pengawasan terhadap sikap dan
perilaku anak; Pemberian tanggung jawab, yaitu kesediaan orang tua
memberikan peran dan tanggung jawab kepada anak atas segala sesuatu
yang dilakukan.
Aisyah (2010) berpendapat bahwa pola asuh orang tua merupakan
interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan
pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan
mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai
dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pola asuhan merupakan
sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua
ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun
hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua
memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah diuraikan di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa definisi pola pengasuhan itu sendiri adalah kegiatan
merawat, membimbing, mendidik, dan memberi dukungan kepada anak
sehingga anak dapat memperoleh kehangatan kasih sayang dan perhatian
berupa kontrol, kedisiplinan, dan kesempatan untuk berkembang yang
diberikan orang tua kepada anak.
2. Bentuk-bentuk Pengasuhan
Diana Baurimnd (dalam Santrock, 2002) menekankan tiga tipe
perilaku sosial anak: otoriter, otoritatif, dan permisif. Para ahli
perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan anak yang permisif terjadi
dalam dua bentuk: permissive-indulgent dan permissive-indifferent.
a) Pengasuhan otoriter (authoritarian parenting)
Suatu gaya membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk
mengikuti perintah-perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan
usaha. Orang tua yang otoriter menetapkan batas-batas tegas dan tidak
memberi peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara
(bermusyawarah). Pengasuhan yang otoriter diasosiasikan dengan
inkompetensi sosial anak-anak.
Anak-anak yang orang tuanya otoriter seringkali cemas akan
perbandingan sosial, gagal memprakarsai kegiatan, dan memiliki
keterampilan komunikasi yang rendah. Disiplin awal yang terlalu kasar
diasosiasikan dengan agresi anak (Weiss & Others dalam Santrock, 2002)
b) Pengasuhan otoritatif (authoritative parenting)
Pola asuh otoritatif mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih
menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka.
Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan, dan orang tua
memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Pengasuhan
yang otoritatif diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak-anak.
Anak-anak yang mempunyai orang tua yang otoritatif bekompeten
secara sosial, percaya diri, dan bertanggung jawab.
Suatu gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dalam
kehidupan anak-anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali
terhadap mereka. Pengasuhan yang pemissive-indulgent diasosiasikan
dengan inkompetensi sosial anak, khususnya kurang kendali diri. Orang tua
seperti itu membiarkan anak-anak mereka melakukan apa saja yang mereka
inginkan, dan akibatnya ialah anak-anak tidak pernah belajar
mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu mengharapkan kemauan
mereka dituruti.
Anak-anak yang orang tuanya permissive-indulgent jarang belajar
menaruh hormat pada orang lain dan mengalami kesulitan mengendalikan
perilaku mereka.
d) Pengasuhan permissive-indifferent
Suatu gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan
anak. Tipe pengasuhan ini diasosiasikan dengan inkompetensi sosial anak,
khusunya kurang kendali diri. Anak-anak memiliki keinginan kuat agar
orang tua mereka perduli terhadap mereka.
Anak-anak yang orang tuanya bergaya permissive-indifferent
mengembangkan suatu perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orang
tua lebih penting daripada anak mereka. Anak-anak yang orang tuanya
bergaya permissive-inddiferent inkompeten secara sosial, mereka
memperlihatkan kendali diri yang buruk dan tidak membangun kemandirian
Keempat klasifikasi pengasuhan mencakup dimensi penerimaan dan
kemampuan untuk mendengar, serta menuntut dan mengendalikan.
Tabel 1: Karakteristik Anak Berdasarkan Pola Asuh
POLA ASUH KARAKTERISTIK ANAK
Pengasuhan otoriter
Kehangatan yang rendah serta keterlibatan positif yang rendah juga, tidak mempertimbangkan keinginan anak dan pendapat anak, memaksakan peraturan tanpa menjelaskan pada anak secara jelas, menunjukkan kemarahan mudah stress, menarik diri, tidak percaya terhadap orang lain.
Pengasuhan otoritatif
Hangat, terlibat, menunjukkan dukungan dan rasa senang terhadap tingkah laku anak yang konstruktif,
mempertimbangkan keinginan anak, memberikan berbagai alternatif pilihan, berkomunikasi dengan mereka secara jelas, menunjukkan rasa tidak senang terhadap tingkah laku yang buruk.
Ceria, memiliki tujuan, memiliki kontrol diri, mandiri orientasi terhadap prestasi, menunjukkan minat dan rasa ingin tahu terhadap situasi baru, memiliki energi yang banyak, menjaga hubungan dengan teman sebaya, dapat bekerja sama dengan orang dewasa, dapat jelas dan tidak memaksa mereka untuk mematuhinya, membiarkan ataupun menerima perilaku buruk anak, memiliki kedisiplinan yang tidak konsisten, tingkah laku yang mandiri, tidak menuntut ataupun mengendalikan.
Agresif, cepat marah tetapi cepat pula untuk langsung dapat ceria, tidak memiliki kontrol diri, menunjukkan sifat mandiri yang rendah, impulsif, rendah dalam orientasi prestasi, tidak memiliki tujuan, kurang memiliki rasa ingin tahu.
Pengasuhan permissive-indifferent
E. Remaja Clubbers
Sarwono (2011) mengatakan bahwa batasan remaja yang mendekati batasan
usia PBB adalah kurun usia 14–24 tahun. Ichsan dan Handoyo (2014) mengatakan
remaja clubber merupakan remaja yang menghibur diri karena mendapat tekanan
dari orang tua mereka. Solusi yang ditempuh untuk menghilangkan masalah
tersebut yakni dengan cara berdugem. Ajakan dari teman-teman juga
mempengaruhi subjek karena akan membawa suasana baru dan semangat. Selain
itu, permasalahan dalam keluarga mereka membuat remaja tersebut kesepian
karena tidak ada yang menemani mereka di rumah. Hal ini membuat para remaja
memanfaatkan waktu luang mereka yang kosong tanpa keluarga dengan pergi ke
club. Kepenatan akan jadwal sekolah yang padat juga menjadi alasan mereka
untuk pergi ke club. Noerham (2012) menambahkan bahwa remaja menjadi
clubber karena ingin mencari uang di dalam club itu sendiri. Selain itu, jauh dari
orang tua seperti harus kos membuat mereka merasa bebas melakukan segala hal.
Hal ini juga berhubungan dengan rasa ingin tahu remaja yang cukup besar.
Ichsan & Handoyo (2014) mengatakan bahwa permasalahan dalam keluarga
membuat remaja clubber merasa kesepian karena tidak ada yang menemani di
rumah karena orang tua sudah bercerai, dan tidak peduli lagi dengan anak. Remaja
clubber tinggal bersama dengan ibunya sedangkan ayahnya sudah menikah lagi
dan sudah tidak peduli dengan anaknya. Ibu subjek mempunyai kesibukan bekerja
sehingga tidak ada yang mengawasi dan mengurusi. Tindakan dari orang tua
memanfaatkan waktu luangnya dengan cara memilih dugem sebagai media untuk
menghabiskan waktu luang karena merasa kesepian.
Kondisi atau situasi dalam keluarga seperti kurangnya perhatian dan
komunikasi yang berkaitan dengan eksistensi diri di dalam keluarga
mengakibatkan remaja mencari jalan keluar di luar lingkungan keluarga, yaitu
lingkungan teman sebaya dan dengan cara berdugem (Nindyastari, 2008). Hal
tersebut ditunjukkan apabila terjadi masalah dengan remaja clubber, maka mereka
cenderung untuk mencari penyelesaian masalah dengan bercerita kepada teman
dibandingkan keluarga. Remaja clubber lebih mendapatkan kenyamanan di luar
rumah. Hal ini juga disebabkan kemampuan mereka diakui dan dihargai saat
berada di luar rumah. Nindyastari (2008) melakukan penelitian pada tiga subjek
remaja dimana subjek 1 dan 3 memiliki latar belakang kondisi yang kurang baik,
dimana kedua orang tua subjek harus terpisah. Terutama bagi subjek 3 yang
menjadikan clubbing sebagai pelarian karena orang tuanya bercerai. Meskipun
orang tua subjek 3 sudah bercerai, ibu subjek 3 memberikan nasehat-nasehat yang
bertujuan agar subjek terhindar dari hal-hal yang buruk berkaitan dengan dunia
malam namun yang terjadi adalah subjek melakukan hal-hal yang menyimpang di
luar sepengetahuan ibunya.
Subjek 1 dan 2 memiliki kebebasan dalam menjalankan aktivitas termasuk
melakukan aktivitas clubbing, bahkan subjek 2 tidak mendapatkan larangan untuk
merokok dan meminum alkohol. Orang tua subjek 2 lebih menegakkan
norma-norma kecil seperti tidak boleh menyisakan makanan yang tinggal sedikit, atau