BAB II LANDASAN TEORI
F. Hubungan Antara Pola Pengasuhan Orang tua Dan
Remaja berasal dari istilah adolescence yang memiliki arti tumbuh untuk mencapai kematangan, baik mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1994). Pada masa ini pula timbul banyak perubahan yang terjadi, baik secara fisik maupun psikologis, seiring dengan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja (Hurlock, 1994). Kemandirian dianggap penting karena seseorang khususnya remaja berusaha untuk menyesuaikan diri secara aktif dengan lingkungan (Guritno dalam Monica, 2008). Kemandirian adalah suatu tindakan untuk mengatur perilaku, memilih dan memandu tindakan dan keputusan sehingga dapat menghubungkan perilaku dan tujuan pribadi dan nilai. Hal tersebut berhubungan dengan kebebasan individu dalam fungsinya sebagai anggota kelompok untuk mempengaruhi kinerja seseorang dan membantunya mencapai tujuan hidup sehingga akan sangat membantu baginya untuk mencapai hasil yang maksimal dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.
Mutadin (dalam Santosa & Marheni, 2013) menjelaskan bahwa selama masa remaja tuntutan terhadap kemandirian sangat besar dan jika tidak di respon secara tepat bisa menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologis remaja di masa datang. Rice (dalam Santosa & Marheni, 2013) mengatakan bahwa pencapaian tingkat kemandirian pada masa remaja merupakan suatu hal yang tidak mudah karena pada masa remaja terjadi pergerakan psikososial dari arah lingkungan keluarga menuju lingkungan luar keluarga. Kondisi atau situasi dalam lingkungan keluarga yang tidak dapat
memberikan hubungan komunikasi yang baik dan bentuk perhatian yang cukup berkaitan dengan eksistensi diri remaja mengakibatkan remaja mencari jalan keluar di luar lingkungan keluarga (Nindyastari, 2008). Hubungan keluarga yang kurang harmonis membuat remaja melakukan aktivitas lain sebagai bentuk pelarian, seperti pergi clubbing (Nindyastari, 2008).
Menurut Steinberg (1995), terdapat tiga dimensi kemandirian yaitu
emotional autonomy, behavioral autonomy, dan value autonomy. Emotional autonomy berhubungan dengan emosi, personal feelings, dan bagaimana cara
berhubungan dengan orang-orang di sekitar kita. Behavioral autonomy berhubungan dengan tindakan. Tipe otonomi ini merujuk pada kemampuan untuk membuat keputusan sendiri, dan bertindak sesuai keputusan yang sudah diambil tadi. Value autonomy memiliki tingkah laku yang mandiri, dan kepercayaan dalam spiritual, politik, dan moral.
Banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian remaja, seperti kecerdasan (Blair dalam Suryadi & Damayanti, 2003), pola asuh orang tua (Baumrind dalam Bee, 1981), tingkat pendidikan orang tua (Widjaja dalam Suryadi & Damayanti, 2003), jumlah anak dalam keluarga dan sebagainya. Faktor yang paling mempengaruhi ialah pola pengasuhan orang tua di dalam keluarga (Nuryoto dalam Monica, 2008). Pola pengasuhan yang baik akan menghasilkan kemandirian yang baik pada remaja. Baumrind (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa pola asuh adalah segala bentuk dan proses yang tejadi antara orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Baurimnd
(dalam Santrock, 2002) menekankan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak: otoriter, otoritatif, dan
permisif. Para ahli perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan anak yang
permisif terjadi dalam dua bentuk: permissive-indulgent dan permissive-
indifferent (Santrock, 2002).
Pola asuh otoriter memiliki ciri membatasi hak anak tetapi dituntut untuk tanggung jawab, memberi hukuman berupa hukuman fisik, serta kontrol sangat ketat (Aisyah, 2010). Pola pengasuhan otoriter yang diterapkan orang tua merupakan sumber terjadi stress dan perasaan cemas yang dialami oleh remaja (Puspitaningtyas, 2007). Remaja yang diasuh oleh pola asuh otoriter cenderung merasakan emosi yang tidak terkontrol seperti mudah marah, sedih, dan kecewa (Puspitaningtyas, 2007). Pola asuh otoriter juga membuat remaja selalu dirundung kesedihan dan merasa masalah selalu menghampiri dirinya (Puspitaningtyas, 2007). Hal tersebut menunjukkan ketidakmandirian secara emosional. Steinberg (1995) mengatakan remaja yang mandiri secara emosional adalah remaja yang mampu untuk mengelola emosinya sehingga tidak mudah untuk segera menumpahkan perasaan.
Pola asuh otoriter tidak memberi peluang pada anak untuk berbicara (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Barnadib (dalam Aisyah, 2010) mengatakan bahwa orang tua yang tidak membiarkan anak mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaan memberikan peluang pada anak untuk menjadi agresi. Adanya hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresi remaja itu dikarenakan keluarga yang suka melakukan hukuman terutama hukuman fisik
menyebabkan anak mempunyai sifat pemarah. Selain itu, anak yang ditekan karena aturan suatu saat akan meluapkan amarahnya sebagai perilaku agresi (Baumrind, dalam Aisyah 2010). Herbert (dalam Aisyah, 2010) berpandangan bahwa tingkah laku agresi menyebabkan luka fisik, psikis pada orang lain, atau yang bersifat merusak benda. Agresi merupakan salah satu bentuk ketidakmandirian secara perilaku karena remaja tidak memikirkan resiko dari tingkah laku agresinya (Steinberg, 1995).
Baumrind (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa pola asuh otoriter tidak pernah memberi kesempatan pada anak untuk berpendapat. Hal tersebut menyebabkan remaja sulit diminta untuk menjelaskan sesuatu dengan bahasa mereka sendiri, dan melontarkan pertanyaan yang dilontarkan persis yang dicantumkan di buku (Rahmawati, 2007). Hal tersebut menunjukkan ketidakmandirian secara perilaku. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara perilaku dapat dengan percaya diri dan berani untuk mengemukakan ide atau gagasan.
Hurlock (2004) mengatakan bahwa pola asuh otoriter untuk mendesak anak remaja mengikuti aturan yang sudah dibuat oleh orang tua, menetapkan disiplin ketat pada kehidupan anak. Anak yang tidak diberikan kesempatan untuk bereskplorasi orang tuanya, akan mencari hal-hal di luar keluarganya yang dapat lebih memberi dirinya kebebasan tanpa sepengetahuan orang tuanya. Petranto (dalam Kustanti, 2014) mengatakan bahwa remaja yang diasuh secara otoriter memiliki kecenderungan untuk melanggar norma-norma yang diberikan. Remaja yang cenderung melanggar norma yang diajarkan belum mandiri secara nilai
(Steinberg, 1995). Remaja yang mandiri secara nilai adalah remaja yang bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat dipertanggungjawabkan dalam bidang nilai (Steinberg, 1995)
Pola asuh permisif dibagi menjadi dua, yaitu permissive indulgent dan
permissive indifferent. Permissive – indulgent merupakan suatu gaya pengasuhan
di mana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi menetapkan sedikit batas atau kendali terhadap mereka (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Pola asuh permisif yang tinggi juga menyebabkan remaja kurang dapat mengelola emosinya sendiri (Wahyuni, 2014). Apabila remaja kurang dapat mengelola emosinya, mudah untuk menumpahkan perasaannya, maka dapat dipastikan remaja tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain (Wahyuni, 2014). Baumrind (dalam Santrock, 2002) mengatakan bahwa pola asuh permisif menyebabkan anak jarang belajar menaruh hormat karena orang tua tidak memberi kontrol dalam kehidupan anak. Remaja yang mudah untuk menumpahkan perasaannya dan kurang dapat mengelola emosinya menunjukkan ketidakmandirian secara emosional (Steinberg, 1995). Steinberg (1995) mengatakan remaja yang mandiri secara emosional adalah remaja yang mampu untuk mengelola emosinya sehingga tidak mudah untuk segera menumpahkan perasaan.
Orang tua permissive – indulgent sangat terlibat dan memiliki kasih sayang
tinggi sehingga cenderung memanjakan (Wahyuni, 2014). Hal ini membuat remaja menjadi tidak bertanggung jawab (Wahyuni, 2014). Remaja yang belum mampu untuk bertanggung jawab atas dirinya dikatakan tidak percaya diri dalam
menghadapi kehidupannya, sehingga dikatakan belum mandiri secara perilaku (Steinberg, 1995).
Pola asuh permissive – indulgent tidak mampu membedakan membuat anak
remaja tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah karena orang tua tidak mengajarkannya (Wahyuni, 2014). Remaja juga cenderung menyalahgunakan kebebasan bahkan jika mereka tahu itu salah karena orang tua sedikit memberi batasan atau kontrol kepada anak (Wahyuni, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa remaja belum mandiri secara nilai. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara nilai adalah remaja yang memiliki kemampuan untuk memaknai seperangkat prinsip benar dan salah, serta penting dan tidak penting.
Permissive – indifferent merupakan merupakan suatu gaya dimana orang tua
sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Hal ini membuat anak remaja dengan pola asuh permissive – indifferent belum
memiliki perilaku bertanggung jawab karena cenderung berperilaku buruk terhadap orang lain (Mahmud, dalam Monica, 2008). Remaja yang belum memiliki perilaku bertanggung jawab dikatakan belum mandiri secara emosional (Steinberg, 1995). Steinberg (1995) memberi istilah belum terindividuasi bagi perilaku yang belum bertanggung jawab.
Orang tua permissive – indifferent berkonsentrasi pada diri sendiri dan tidak
mempedulikan kebutuhan anak (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Aisyah (2010) mengatakan bahwa saat anak tidak digubris oleh orang tuanya, anak cenderung mencari perhatian dengan cara melakukan perbuatan yang negatif. Apabila cara
yang ditempuh dapat membuat anak mendapatkan reinforcement, maka anak akan terus melakukan perbuatan negatif (Aisyah, 2010). Saat anak mencari perhatian dengan melakukan perbuatan negatif tanpa memikirkan resiko yang terjadi, maka ini merupakan suatu bentuk ketidakmandirian secara perilaku (Steinberg, 1995).
Orang tua permissive – indifferent yang sama sekali tidak peduli pada
kehidupan anak, sehingga tidak pernah mengajarkan norma, membuat anak remaja kurang dapat membedakan nilai yang baik dan yang buruk (Monica, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa remaja belum mandiri secara nilai belum mampu untuk memaknai seperangkat prinsip benar dan salah, serta penting dan tidak penting (Steinberg, 1995)
Beberapa kasus mengenai kehidupan keluarga remaja yang pergi clubbing yang sudah peneliti uraikan sebelumnya, menunjukkan keluarga menerapkan pola asuh otoriter dan permisif. Pola asuh otoriter ini tampak dari perilaku orang tua dari remaja clubbers yang sering memarahi remaja tanpa alasan yang jelas sehingga remaja merasa stress dan penuh tekanan di dalam rumah (Ichsan; Handoyo, 2014). Ajakan dari teman-teman mempengaruhi remaja demi membawanya ke suasana baru dan menyenangkan daripada di rumahnya yang penuh stress dan tekanan ((Ichsan; Handoyo, 2014). Pola asuh permisif tampak dari pengabaian orang tua atas perilaku remaja sehingga remaja memiliki kebebasan untuk clubbing disertai dengan merokok dan meminum alkohol (Nindyastari, 2008). Pengabaian orang tua juga terjadi sehingga membuat remaja melakukan clubbing karena merasa kesepian di rumahnya (Ichsan; Handoyo,
2014). Hal ini terjadi karena orang tua sibuk melakukan aktivitas tanpa mempedulikan remaja di rumah (Ichsan; Handoyo, 2014).
Dari beberapa contoh kasus mengenai remaja clubbers yang peneliti uraikan di atas, orang tua tampak tidak menerapkan pola asuh otoritatif pada remaja
clubbers. Oleh karena itu, peneliti menangkap kesempatan untuk meneliti terkait
pola asuh otoritatif karena semakin orang tua remaja clubbers tidak mengasuh secara otoritatif, semakin remaja clubbers tidak mandiri secara emosional, perilaku, dan nilai. Widiana & Nugraheni (2008) mengatakan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh demokratis dengan kemandirian.
Pola asuh otoritatif merupakan pola asuh yang memberi kehangatan pada anak dan pendampingan kepada anak dalam menghadapi kehidupan mereka (Ngahu, 2006). Anak yang diberi kehangatan oleh orang tuanya cenderung mampu untuk mengelola emosi yang dimiliki, terutama saat memiliki emosi negatif karena orang tua mendampingi dan memberi arahan (Ngahu, 2006). Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara emosional adalah remaja yang mampu mengelola emosinya sehingga tidak mudah untuk segera menumpahkan perasaan saat ada masalah.
Anak yang diasuh secara otoritatif akan memiliki rasa percaya diri (Baumrind, dalam Santrock, 2002). Nirwana (dalam Longkutoy, 2015) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri siswa dengan asumsi semakin tinggi pola asuh orang tua otoritatif pada anaknya, maka semakin tinggi tingkat kepercayaan diri. Steinberg
(1995) mengatakan bahwa remaja yang memiliki kepercayaan diri adalah remaja yang mandiri secara perilaku.
Orang tua dengan pengasuhan otoritatif menerapkan nilai-nilai dan norma- norma yang diterapkan kepada anak remaja (Ngahu, 2006). Anak remaja dibiasakan untuk menaati nilai dan norma yang diajarkan (Ngahu, 2006). Hal tersebut akan melatih kemandirian remaja secara nilai. Steinberg (1995) mengatakan bahwa remaja yang mandiri secara nilai mampu menimbang segala kemungkinan yang terjadi dalam bidang nilai.
Perkembangan kemandirian nilai didukung juga oleh perkembangan kemandirian emosional (emotional autonomy) dan kemandirian perilaku (behavioral autonomy). Kemandirian emosional membekali remaja dengan kemampuan untuk melihat pandangan orang tua mereka secara lebih objektif sedangkan kemandirian perilaku dapat menjadi bekal bagi remaja dalam upayanya mencari kejelasan dari nilai-nilai yang telah ditanamkan orangtua selaku figur otoritas kepadanya. Oleh karena itu perkembangan kemandirian nilai berlangsung belakangan, umumnya pada masa remaja akhir atau dewasa muda.
Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa pola asuh otoriter,
permissive–indulgent, dan permissive–indifferent akan menghasilkan remaja yang
tidak mandiri secara emosional, perilaku, dan nilai. Pola asuh yang lebih baik diterapkan oleh orang tua kepada remaja clubbers adalah pola asuh otoritatif sehingga anak remaja akan mandiri secara emosional, perilaku, dan nilai.