• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat kemandirian emosional siswa kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016 dan implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat kemandirian emosional siswa kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016 dan implikasinya terhadap usulan topik-topik bimbingan."

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

vii ABSTRAK

TINGKAT KEMANDIRIAN EMOSIONAL SISWA KELAS VII SMP NEGERI 32 PURWOREJO TAHUN AJARAN 2015/2016 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN Puspita Damayanti

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2016

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat kemandirian emosional siswa kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016 dan membuat usulan topik-topik layanan bimbingan yang dapat meningkatkan tingkat kemandirian emosional mereka.

Jenis penelitian ini yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016 yang berjumlah 64 orang. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket kemandirian emosional. Instrumen penelitian dikonstruk dari empat aspek: yaitu memiliki kesadaran sebagai pribadi yang tidak ideal, memandang orang tuanya seperti memandang orang dewasa lainya, n sikap ketidaktergantungan terhadap orang lain, terutama orang tua, berani tampil sebagai pribadi yang unik. Teknik analisis data yang digunakan adalah kategorisasi norma yang berdasar pada PAN dengan 5 tingkat kemandirian emosional siswa kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo yaitu: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah..

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1 siswa (1,6%) memiliki tingkat kemandirian emosional sangat tinggi, 8 siswa (12,5%) memiliki tingkat kemandirian emosional tinggi, 20 siswa (39,1%) memiliki tingkat kemandirian emosional sedang dan ada 30 siswa (46,9%) memiliki tingkat kemandirian emosional rendah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disusunlah topik-topik bimbingan untuk meningkatkan tingkat kemandirian emosional siswa kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016.

(2)

viii ABSTRACT

LEVEL OF EMOTIONAL INDEPENDENCE

THE SEVENTH GRADE STUDENTS OF SMP NEGERI 32 PURWOREJO ACADEMIC YEAR 2015/2016 AND ITS IMPLICATIONS TO

THE PROPOSED TOPICS FOR GUIDANCE Puspita Damayanti

Sanata Dharma University Yogyakarta

2016

This study aims to have an overview of the level of emotional independence of the seventh grade students of SMPN 32 Purworejo, academic year 2015/2016 and to propose some guidance topics that can improve the level of their emotional independence.

This type of research was a descriptive research. The subject was the seventh grade students of SMP Negeri 32 Purworejo, academic year 2015/2016, who was 64 students in number. Data collection tool used in this study was a questionnaire of emotional independence. The research instrument was constructed mainly from four aspects: having consciousness as a person who is not ideal, looking at their parents as other adults, having an independence attitude towards others, especially the elderly, and being able to behave as a unique person. The data analysis technique used was based on the categorization of norms referring to PAN with 5 levels of emotional independence for the seventh grade students of SMPN 32 Purworejo namely: very high, high, medium, low and very low.

The results show that: 1 student (1.6%) has a very high degree of emotional independence, 8 students (12.5%) have a high degree of emotional independence, 20 students (39.1%) have a moderate level of emotional independence and 30 students (46.9%) have a low level of emotional independence. Based on these results, some guidance topics are then compiled to increase the level of emotional independence of the seventh grade students of SMPN 32 Purworejo, academic year 2015/2016.

(3)

SISWA KELAS VII SMP NEGERI 32 PURWOREJO

TAHUN AJARAN 2015/2016 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh: Puspita Damayanti

111114013

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

i

SISWA KELAS VII SMP NEGERI 32 PURWOREJO

TAHUN AJARAN 2015/2016 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Puspita Damayanti

111114013

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun dibawah langit ada waktunya.

Ada masa bahagia, ada masa duka, jadi semua yang terjadi dalam hidup kita tidak akan selalu menyenangkan dan menyedihkan pasti aka ada di mana kita berada di atas dan kadang kita di bawah. Semua diizinkan Tuhan terjadi untuk membentuk kita

menjadi pribadi yang lebih baik.” (Pengkotbah 3 : 1)

“Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana

-Mu yang gagal.” (Ayub 42:2)

Kupersembahkan skripsi ini untuk: Tuhan Yesus Kristus

Kedua orang tuaku tercinta; Bapak YB. Waluya dan Ibu Indriyati Agnes

Adikku Maria Rosalia Kartika Dewi

Program Studi Bimbingan dan Konseling USD

Teman- teman Mahasiswa Angkatan BK 2011

SMP Negeri 32 Purworejo

(8)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang ditulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 12 Januari 2016

Puspita Damayanti

(9)

vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Puspita Damayanti

Nomor Mahasiswa : 111114013

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul: TINGKAT

KEMANDIRIAN EMOSIONAL SISWA KELAS VII SMP NEGERI 32 PURWOREJO TAHUN AJARAN 2015/2016 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN.

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya

memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk

menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, dan mempublikasikannya di

internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin

dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan

nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan

sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 12 Januari 2016

Yang menyatakan,

(10)

vii ABSTRAK

TINGKAT KEMANDIRIAN EMOSIONAL SISWA KELAS VII SMP NEGERI 32 PURWOREJO TAHUN AJARAN 2015/2016 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN Puspita Damayanti

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2016

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat kemandirian emosional siswa kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016 dan membuat usulan topik-topik layanan bimbingan yang dapat meningkatkan tingkat kemandirian emosional mereka.

Jenis penelitian ini yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016 yang berjumlah 64 orang. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket kemandirian emosional. Instrumen penelitian dikonstruk dari empat aspek: yaitu memiliki kesadaran sebagai pribadi yang tidak ideal, memandang orang tuanya seperti memandang orang dewasa lainya, n sikap ketidaktergantungan terhadap orang lain, terutama orang tua, berani tampil sebagai pribadi yang unik. Teknik analisis data yang digunakan adalah kategorisasi norma yang berdasar pada PAN dengan 5 tingkat kemandirian emosional siswa kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo yaitu: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah..

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1 siswa (1,6%) memiliki tingkat kemandirian emosional sangat tinggi, 8 siswa (12,5%) memiliki tingkat kemandirian emosional tinggi, 20 siswa (39,1%) memiliki tingkat kemandirian emosional sedang dan ada 30 siswa (46,9%) memiliki tingkat kemandirian emosional rendah. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disusunlah topik-topik bimbingan untuk meningkatkan tingkat kemandirian emosional siswa kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016.

(11)

viii ABSTRACT

LEVEL OF EMOTIONAL INDEPENDENCE

THE SEVENTH GRADE STUDENTS OF SMP NEGERI 32 PURWOREJO ACADEMIC YEAR 2015/2016 AND ITS IMPLICATIONS TO

THE PROPOSED TOPICS FOR GUIDANCE Puspita Damayanti

Sanata Dharma University Yogyakarta

2016

This study aims to have an overview of the level of emotional independence of the seventh grade students of SMPN 32 Purworejo, academic year 2015/2016 and to propose some guidance topics that can improve the level of their emotional independence.

This type of research was a descriptive research. The subject was the seventh grade students of SMP Negeri 32 Purworejo, academic year 2015/2016, who was 64 students in number. Data collection tool used in this study was a questionnaire of emotional independence. The research instrument was constructed mainly from four aspects: having consciousness as a person who is not ideal, looking at their parents as other adults, having an independence attitude towards others, especially the elderly, and being able to behave as a unique person. The data analysis technique used was based on the categorization of norms referring to PAN with 5 levels of emotional independence for the seventh grade students of SMPN 32 Purworejo namely: very high, high, medium, low and very low.

The results show that: 1 student (1.6%) has a very high degree of emotional independence, 8 students (12.5%) have a high degree of emotional independence, 20 students (39.1%) have a moderate level of emotional independence and 30 students (46.9%) have a low level of emotional independence. Based on these results, some guidance topics are then compiled to increase the level of emotional independence of the seventh grade students of SMPN 32 Purworejo, academic year 2015/2016.

(12)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia yang

melimpah yang telah diberikan, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan

dengan baik sebagai tugas akhir syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana.

Penulisan skripsi ini tidak dapat selesai tanpa bantuan orang lain. Pada

kesempatan ini diucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph. D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Dr. Gendon Barus, M. Si., selaku Ketua Program Studi Bimbingan

dan Konseling Universitas Sanata Dharma, yang telah memberikan ijin untuk

melakukan penelitian.

3. Ibu Dra. M. J. Retno Priyani, M. Si., selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing dengan begitu sabar selama proses penulisan skripsi ini.

4. Bapak Juster Donal Sinaga . M . Pd., sebagai Wakil Ketua Program

Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

yang telah membantu dalam proses persiapan ujian pendadaran .

5. Para Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta atas ilmu - ilmu dan pengalaman yang diberikan

selama ini sehingga memberikan bekal dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Stefanus Priyatmoko yang telah dengan sabar memberikan pelayanan

selama menempuh studi di Program Studi Bimbingan dan Konseling.

7. Bapak Sukadi, S. Pd., M.M. Pd., selaku Kepala SMP Negeri 32 Purworejo

(13)

x

8. Ibu Heni Subekti, S. Pd., M.M. Pd., selaku guru BK kelas VII di SMP

Negeri 32 Purworejo yang telah membantu dalam penelitian.

9. Siswa-siswi kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016

atas kerjasamanya saat pelaksanaan penelitian.

10. Kedua orang tuaku tercinta: Bapak YB. Waluya dan Ibu Indriyati Agnes yang

senantiasa selalu memberikan cinta, kasih sayang, doa, dukungan, dan biaya

yang telah diberikan selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata

Dharma.

11. Adik Maria Rosalia Kartika Dewi yang selalu memberi semangat, dukungan

dan doa.

12. Teman-teman angkatan 2011 yang telah memberikan dukungan, motivasi,

dan doanya secara khusus kepada : Tika, Melani, Dewi, Reny, Grace, Carol,

Wulan, Yuli, Agnes, Aan, Sr. Siti, Fika, Resa, Nurul, Riska, dan lain-lain

yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

13. Teman-teman kost lama: Vidi, Ela, Niken, Dinda, Mbak Devi, Mbak Ririn,

Mbak Tirta yang telah memberikan dukungan dan doa.

14. Mbak Wiwik, Trimutmainah, Mbak Ita, Mas Ikko, Mas Hari, Mbak Nisa,

Mas Herman, Mbak Banon, Mbak Astin, Mbak Api, Yulia Dewi, Arin, Erlin,

Irene Dian yang telah membantu, memberikan motivasi dan doa.

15. Mas Anas Hana Purwanto yang selalu memberikan dukungan dan doa.

Disadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu masukan, saran dan kritik terhadap karya ini sangat diperlukan. Diharapkan

(14)

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN . ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

B. Identifikasi Masalah ... ... 5

C. Pembatasan Masalah ... ... 6

D. Rumusan Masalah... ... 6

E. Tujuan Penelitian ... ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 7

G. Definisi Operasional Variabel ... 8

BAB II LANDASAN TEORI... ... 9

A. Kajian Teori ... ... 9

1. Definisi Kemandirian Emosional ... ... 10

2. Aspek-aspek Kemandirian Emosional ... ... 12

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Emosional ... 18

4. Kemandirian Emosional pada Remaja ... ... 23

5. Dampak Kemandirian Emosional pada Remaja .... ... 25

6. Remaja dan Perkembangan Kemandirian Emosional .. ... 27

(15)

xvi

8. Bimbingan Klasikal untuk Meningkatkan Kemandirian

Emosional pada Remaja ... 30

B. Kajian Penelitian yang Relevan ... 35

C. Kerangka Pikir ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

A. Jenis Penelitian ... ... 40

B. Waktu dan Tempat Penelitian. ... 40

C. Subjek dan Sampel Penelitian ... 40

D. Alat dan Teknik Instrumen Pengumpulan Data ... 41

1. Alat Pengumpulan Data ... 41

2. Kisi-kisi Angket Uji Coba ... 43

3. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 44

a. Validitas ... 44

b. Reliabilitas ... 48

E. Prosedur dan Teknik Analisis Data ... 51

1. Persiapan & Pelaksanaan ... 51

2. Tahap Pengumpulan Data ... 52

3. Teknik Analisis Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... ... 58

A. Deskrispsi Data ... 58

1. Deskripsi tingkat kemandirian emosional ... 58

2. Analisis item-item kemandirian emosional ... 60

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 67

1. Deskripsi tingkat kemandirian emosional siswa ... 67

2. Analisis Item-item kemandirian emosional siswa ... 73

C. Implikasi Hasil Penelitian ... 75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 76

A. Kesimpulan ... 76

B. Keterbatasan Penelitian ... 77

C. Saran ... 78

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Norma Skoring Inventori Kemandirian Emosional ... 42

Tabel 2 : Kisi-kisi angket Uji Coba Tingkat Kemandirian Emosional ... 44

Tabel 3 : Hasil Penghitungan Koefisien Korelasi Item Instrumen Penelitian ... 47

Tabel 4 : Kriteria Guilford ... 49

Tabel 5 : Kisi-Kisi Angket Kemandirian Siswa Kelas VII Setelah Uji Coba ... 50

Tabel 6 : Norma Kategorisasi Karakter Subjek Penelitian ... 53

Tabel 7 : Kategorisasi Tingkat Kemandirian Emosional ... 55

Tabel 8 : Norma Kategorisasi Skor Item Tingkat Kemandirian Emosional... 56

Tabel 9 : Kategorisasi Item Tingkat Kemandirian Emosional ... 57

Tabel 10 : Kategorisasi Deskripsi Tingkat Kemandirian Emosional ... 59

Tabel 11 : Kategorisasi Skor Item Tingkat Kemandirian Emosional ... 61

Tabel 12 : Item Kemandirian Emosional yang Tergolong Sedang ... 64

Tabel 13 : Item Kemandirian Emosional yang Tergolong Rendah ... 66

(17)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Diagram Tingkat Kemandirian Emosional ... 59

Gambar 2 : Diagram Skor Item Tingkat Kemandirian Emosional ... 62

(18)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Izin Permohonan Penetian

Lampiran 2 : Tabulasi Data Uji Coba Tingkat Kemandirian Emosional

Lampiran 3 : Tabulasi Data Penelitian Tingkat Kemandirian Emosional

Lampiran 4 : Angket Uji Coba Tingkat Kemandirian Emosional

Lampiran 5 : Angket Penelitian Tingkat Kemandirian Emosional

Lampiran 6 : Hasil Uji Validitas Tingkat Kemandirian Emosional

Lampiran 7 : Hasil Uji Coba Reliabilitas Tingkat Kemandirian Emosional

Lampiran 8 : Hasil Uji Reliabilitas Tingkat Kemandirian Emosional

(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memaparkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan

masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

definisi operasional variabel penelitian.

A. Latar Belakang Masalah

Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan formal bagi remaja

yang didalamnya terdapat kegiatan pembelajaran dengan kurikulum yang

sesuai dengan ketetapan oleh Departemen Pendidikan. Sekolah juga

merupakan salah satu tempat untuk memperoleh pendidikan bagi siswa.

Sekolah bukan hanya sebagai sarana bagi siswa untuk mendapatkan ilmu

pengetahuan namun juga merupakan sarana untuk mengembangkan

potensi diri dan pembentukan kepribadian serta kemandirian emosional.

Dilihat dari tahap perkembangannya, siswa SMP digolongkan ke dalam

fase remaja awal.

Fase remaja awal merupakan transisi antara masa anak-anak ke masa

dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, sosial dan

emosional. Salah satu tugas perkembangan siswa yang harus dilaksanakan

pada periode remaja adalah kemampuan untuk mencapai kemandirian

emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya. Pada masa remaja

awal, secara fisik siswa SMP sudah mengalami perubahan menuju

kedewasaan diri, tetapi secara psikologis pengelolaan kognitif dan

pengelolaan emosi masih belum stabil. Di sisi lain, pada masa ini mereka

(20)

Bagi kebanyakan remaja, mengembangkan kemandirian emosional

merupakan hal yang sama pentingnya seperti orang dewasa

mengembangkan identitas. Diharapkan remaja memiliki kemandirian

emosional, karena dengan demikian banyak hal-hal positif yang bisa

diperoleh oleh para remaja tersebut, yaitu tumbuhnya rasa percaya diri,

tidak tergantung pada orang lain, tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain,

bisa menentukan mana yang baik dan yang buruk bagi dirinya, mampu

mengontrol dan mengendalikan emosinya, mampu bertanggung jawab atas

dirinya sendiri.

Situasi kehidupan yang dialami oleh remaja yang disebutkan di atas

sangat nyata dan bahkan sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Menjadi remaja yang mandiri yakni remaja yang menguasai dan mengatur

diri sendiri, merupakan salah satu tugas perkembangan yang paling

mendasar dalam masa remaja, bagi remaja tuntutan untuk memperoleh

kemandirian harus dicapai salah satunya merupakan aspek emosional,

remaja yang mandiri secara emosional antara lain dapat mengontrol dan

mengendalikan emosi yang ditampilkanya, kemandirian emosi juga harus

diiringi oleh kematangan emosi seseorang.

Di sisi lain, ada juga remaja yang masih tergantung secara emosional

pada orangtuanya, mereka menjadi “anak manja“ yang mengidolakan

orangtuanya, orang tuanya dianggap yang paling ideal sehingga remaja

merasa nyaman untuk menuruti keinginan orangtua dalam memperlakukan

(21)

masalah, tetapi menyebabkan remaja tidak menjadi mandiri secara

emosional. Keadaan tersebut memaksa siswa untuk memecahkan masalah

yang dihadapi dan menentukan sikap yang tepat tanpa harus bergantung

dengan orang lain. Oleh karena itu, sikap yang dibutuhkan untuk

menghadapi dan memecahkan suatu masalah dapat menggunakan sikap

kemandirian.

Mencapai kemandirian emosional seperti orang dewasa lainnya

merupakan salah satu tugas perkembangan remaja yang harus dicapai.

Tuntutan untuk memperoleh kemandirian secara emosional bagi remaja

merupakan dorongan internal dalam mencari jati diri, bebas dari

perintah-perintah dan kontrol orang tua. Remaja menginginkan kebebasan pribadi

untuk dapat mengatur dirinya sendiri tanpa bergantung secara emosional

pada orang tuanya. Bila remaja mengalami kekecewaan, kesedihan atau

ketakutan, mereka ingin dapat mengatasi sendiri masalah-masalah yang

dihadapinya. Meskipun remaja dapat mendiskusikan masalah-masalahnya

dengan ayah atau ibunya, tetapi mereka ingin memperoleh kemandirian

secara emosional dengan mengatasi sendiri masalah-masalahnya dan ingin

memperoleh status yang menyatakan bahwa dirinya sudah dewasa.

Melihat kenyataan tersebut, dibutuhkan dukungan serta bantuan dalam

pencapaian kemandirian emosional tersebut khususnya keluarga,

lingkungan sekitar dan sekolah. Selain itu guru pembimbing juga

mempunyai peran yang besar dalam proses pembentukan kemandirian

(22)

kesempatan pada siswa agar dapat mengembangkan kemampuan yang

dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai

apa yang ingin dilakukan dan belajar bertanggungjawab dengan apa yang

dilakukan. Dengan demikian siswa akan dapat mengalami perubahan dari

keadaan yang sepenuhnya tergantung pada orang tua menjadi mandiri.

Perkembangan kemandirian emosional pada remaja merupakan isu

yang penting dan menarik untuk diteliti dengan isu perkembangan

identitas. Pentingnya kajian secara serius terhadap isu perkembangan

kemandirian pada remaja didasarkan pada pertimbangan bahwa bagi

remaja, pencapaian kemandirian merupakan dasar untuk menjadi orang

dewasa yang sempurna.

Kemandirian emosional remaja dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor yang dapat membantu, membimbing, dan mendidik agar menjadi

pribadi yang mandiri secara emosional. Diantaranya faktor eskternal dan

internal. Faktor internal yang mempengaruhi kemandirian emosional yaitu

dorongan dari dalam diri remaja itu sendiri, antara lain usia, jenis kelamin.

Sedangkan faktor eksternal yaitu berbagai stimulasi yang datang dari

lingkungan. Faktor eksternal berkaitan dengan pola asuh orang tua, jenis

kelamin, dan tempat tinggal. Salah satu dari faktor tersebut, keluargalah

yang sangat berperan penting terhadap perkembangan remaja. Keluarga

merupakan unit terkecil pertama di mana anak tumbuh, dibesarkan,

dibimbing, dan diajarkan nilai-nilai kehidupan sesuai dengan harapan

(23)

Menurut hasil wawancara dari Guru BK SMP Negeri 32 Purworejo

tahun ajaran 2015/2016 masih banyak siswa yang masih tergantung pada

orang tua dalam memutuskan sesuatu, siswa belum berani mengambil

inisiatif sendiri, mudah sekali terpengaruh teman-temannya dan belum

mampu mengelola emosinya dengan baik. Untuk itu guru pembimbing

perlu mampu menyajikan topik-topik bimbingan yang sesuai untuk

mengembangkan kemandirian emosional siswa. Hal ini perlu dilakukan

karena para siswa juga perlu mampu mengembangkan kemandirian

emosionalnya sebagai bekal menghadapi tantangan dan tugas

perkembangan di masa dewasa. Maka diperlukanlah sebuah penelitian

untuk menjawab seberapa rendahkah tingkat kemandirian emosional siswa

kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016 guna

mendukung perkembangannya sebagai pribadi.

Setelah melihat semua hal di atas, maka peneliti tertarik untuk

mengangkat judul “Tingkat Kemandirian Emosional Siswa Kelas VII

SMP Negeri 32 Purworejo Tahun Ajaran 2015/2016 dan Implikasinya

Terhadap Usulan Topik-topik Bimbingan”.

B. Identifikasi Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, terkait dengan perilaku

kemandirian dapat diidentifikasikan berbagai masalah sebagai berikut:

1. Kurangnya rasa percaya diri pada siswa-siswi.

(24)

mengontrol emosi dengan baik.

3. Belum mampu menentukan mana yang baik dan yang buruk

bagi dirinya pada siswa-siswi.

4. Sekitar 75% siswa kelas VII kurang memiliki kesadaran akan

tanggung jawab pada diri siswa-siswi.

5. Sekitar 70 % siswa kelas VII belum bisa mengambil inisiatif

sendiri.

6. Sekitar 50 % siswa kelas VII masih mudah sekali terpengaruh

teman-temannya.

7. Siswa-siswi masih bergantung pada orang tuanya untuk

memutuskan sesuatu.

8. Belum ada topik-topik bimbingan pribadi yang sesuai dengan

kebutuhan siswa kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo tahun

ajaran 2015/2016.

C. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, fokus kajian di arahkan pada menjawab masalah

mengenai seberapa rendah tingkat kemandirian emosional pada siswa

kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016.

D. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

(25)

VII SMP Negeri 32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016?

2. Butir pengukuran kemandirian emosional mana yang teridentifikasi

rendah yang implikatif diusulkan sebagai topik-topik bimbingan siswa

kelas VII SMP Negeri 32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu:

1. Mendeskripsikan tingkat kemandirian emosional siswa kelas VII SMP

Negeri 32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016.

2. Menyusun topik-topik bimbingan pribadi yang sesuai untuk

mendukung kemandirian emosional pada siswa kelas VII SMP Negeri

32 Purworejo tahun ajaran 2015/2016?

F. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan muncul beberapa manfaat

sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan terhadap

pengembangan pengetahuan mengenai kemandirian emosional.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi para guru BK SMP Negeri 32 Purworejo.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tolak ukur yang

(26)

yang dapat diberikan kepada siswa untuk meningkatkan

kemandirian emosional siswa di sekolah tersebut.

b. Bagi siswa SMP Negeri 32 Purworejo

Siswa semakin mengetahui seberapa rendah tingkat

kemandirian emosional yang ada dalam diri mereka dan mampu

untuk mengembangkan kemandirian emosional dalam

kehidupan sehari-hari.

c. Bagi Peneliti

Semakin mengetahui dan memahami bagaimana tingkat

kemandirian emosional pada siswa kelas VII SMP Negeri 32

Purworejo tahun ajaran 2015/2016.

G. Definisi Operasional Variabel

Adapun definisi operasional variabel dalam penelitian ini yaitu :

1. Kemandirian Emosional merupakan kondisi dimana seseorang

mampu untuk mengambil sikap, keputusan, langkah dalam suasana

hati yang bebas, terlepas dari perasaan yang membebaninya.

2. Bimbingan Klasikal adalah suatu proses pemberian bantuan kepada

siswa untuk memahami dirinya dan lingkungannya secara optimal,

(27)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab ini memaparkan hakikat kemandirian emosional, hakikat remaja dan

bimbingan.

A. Kajian Teori

Istilah kemandirian oleh banyak orang didefinisikan berbeda-beda, ada

yang menggunakan istilah independence dan otonomi. Dalam psikologi,

konsep identitas pada umumnya merujuk pada suatu kesadaran akan kesatuan

dan kesinambungan pribadi, serta keyakinan yang relatif stabil sepanjang

rentang kehidupan, sekalipun terjadi perubahan (Desmita, 2013: 211).

Sedangkan Istilah otonomi juga digunakan oleh L. Steinberg dan Santrock.

Santrock, (2003 : 190) mendefinisikan otonomi remaja jauh lebih rumit dan

sulit dipahami dari pada kelihatannya. Bagi kebanyakan individu kata

otonomi berkonotasi mengatur diri sendiri dan bebas. Hill & Holmbeck

dalam Santrock, 2003: 191) menyatakan bahwa otonomi remaja bukanlah

sebuah dimensi kepribadian tunggal yang secara konsisten tampak dalam

setiap perilaku. Steinberg (2002: 290) menyatakan bahwa terdapat tiga

karakteristik kemandirian remaja yakni kemandirian emosional, kemandirian

perilaku, dan kemandirian nilai.

Istilah “autonomy” mengenai remaja sering disejajarkan artinya secara

silih berganti dengan kata “independence”, meskipun sesungguhnya ada

perbedaan yang sangat tipis diantara keduanya (Steinberg, 1993: 286).

Independence, “secara umum menunjuk pada kemampuan individu untuk

(28)

kontrol orang lain”. Sedangkan istilah autonomy = otonomi, (Kamus Inggris

Indonesia) berarti kemampuan untuk memerintah sendiri, mengurus sendiri,

atau mengatur kepentingan sendiri (Steinberg, 1993:286).

1. Definisi Kemandirian Emosional

Steinberg (2002: 290) menyatakan bahwa kemandirian emosional

adalah salah satu aspek yang berkaitan dengan perubahan hubungan

kedekatan individu, terutama dengan orangtua. Kemandirian emosional

menurut Douvan & Adelson (dalam Maya Puspaningtyas, 2008: 18)

“The degree to which the adolescence has managed to cast off infantile ties to

the family”.(Suatu tingkat masa remaja yang telah berhasil melepaskan ikatan

hubungan anak dengan keluarga).

Steinberg & Silverberg (Sprinthall & Collins: 1995) berpendapat bahwa

kemandirian emosional menunjuk pada pengertian yang dikembangkan

remaja mengenai individuasi dan melepaskan diri atas ketergantungan

mereka dari orang tua.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

kemandirian emosional merupakan aspek kemandirian yang berkaitan

dengan perubahan kedekatan hubungan keluarga khususnya orang tua

untuk berusaha melepaskan diri dari ikatan kekanak-kanakan, mampu

untuk tidak bergantung pada orang lain terutama orang tua dan berusaha

melepaskan diri dari ikatan kekanak-kanakan serta dapat bertanggung

jawab terhadap diri sendiri.

2. Aspek-aspek Kemandirian Emosional

(29)

Menurut Steinberg (2002: 292) aspek-aspek kemandirian emosional

tersebut, yakni:

a. Kesadaran bahwa Orang Tua sebagai Pribadi yang tidak Ideal

(De-idealized)

Remaja yang mandiri secara emosional pada aspek de-idealized

merupakan remaja yang tidak lagi memandang orang tua sebagai orang

yang mengetahui segala-galanya atau menguasai segala-galanya.

De-idealized sendiri mempuyai arti bahwa remaja mempunyai pandangan

tidak harus selalu sama dengan keinginan orang tuanya, remaja tidak

memandang orang tuanya sebagai orang yang mengetahui dan

menguasai segalanya (Steinberg 2002: 293). Remaja mampu

memandang orangtuanya sebagaimana adanya, maksudnya tidak

memandangnya sebagai orang yang idealis dan sempurna. Sejauh

mana remaja mengidealkan orang tua mereka. Ciri khas dari aspek ini

yakni kadang-kadang orang tua juga membuat kesalahan. Menurut

Zeman & Shipman (dalam Steinberg 2002 : 293) mempercayai bahwa

de-idealization merupakan salah satu yang pertama untuk

mengembangkan aspek kemandirian emosional, karena remaja

menumpahkan kesan kekanak-kanakan mereka dari kesan orang tua

mereka sebelumnya dan mengganti dengan yang lebih dewasa.

Sehingga remaja tidak lagi tergantung kepada orang tua saat

menentukan sesuatu. Remaja dapat memandang orang tua bahwa orang

(30)

memandang orang tua sebagai orang yang serba tahu, benar dan

memiliki kekuasaan. Oleh karena itu, pada saat menentukan sesuatu

mereka tidak lagi bergantung kepada dukungan emosional

orangtuanya. Remaja juga dapat mengerti keterbatasan orang tuanya.

Remaja tengah (madya) memiliki kemungkinan lebih kecil dari

pada remaja awal untuk mempertahankan gambaran idealized ketika

orang tua melihat mereka sebagai individu, remaja pada usia 15-20

tahun belum tentu mandiri secara emosional dari pada usia 10 tahun.

Pendapat dari Zeman & Shipman sangat berlawanan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Smollar dan Younis pada tahun 1985

(dalam Budiman, 2012) yang menyatakan tidak mudah bagi remaja

untuk melakukan de-idealized karena mereka masih menganggap

orang tua sebagai orang yang serba tahu, benar dan berhak atas dirinya

sendiri. Bayangan masa kecil mereka tentang kehebatan orang tua

tidak mudah dikritik. Kesulitan untuk melakukan de-idealized remaja

terbukti dari hasil riset yang dilakukan Steinberg (2002: 293) yang

menemukan bahwa masih banyak remaja awal yang sudah mandiri

secara emosional. Mereka masih menganggap orang tua mereka

sebagai orang yang serba tahu dan serba benar dan berkuasa atas

dirinya. Mereka terkadang masih sulit untuk sekedar menerima

pandangan bahwa orang tua terkadang melakukan kesalahan.

Beberapa penulis telah menelusuri munculnya proses perbedaan

(31)

akibat dari perceraian orang tua ((Feldman & Quatman (dalam

Steinberg 2002: 293). Penulis serupa berpendapat bahwa perceraian

orang tua mendorong para remaja untuk tumbuh cepat dewasa menuju

de – idealized orang tua dari pada ketika mereka berada pada usia

yang lebih dini.

b. Memandang Orang Tuanya seperti Orang Dewasa Lainnya. (Parent as

people)

Remaja yang mandiri secara emosional dalam aspek parent as

people yakni, mampu memandang dan berinteraksi dengan orang tua

sebagai orang pada umumnya – bukan semata-mata sebagai orang tua

Sejauh mana remaja melihat orang tuanya seperti orang dewasa

lainnya. Dapat memandang orang tua sebagai orang dewasa lainnya

berarti remaja memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan

orangtua, baik sebagai orangtua sesungguhnya maupun sebagai teman

dalam mendiskusikan berbagai hal (Steinberg, 2002: 291). Remaja

dapat berdiskusi secara leluasa menyampaikan pikiran dan perasaanya

kepada orang tuanya termasuk apabila terjadi perbedaan.

Remaja dapat melihat orang tuanya sebagai seorang individu selain

sebagai orang tuanya (orang lain) dan dapat berinteraksi dengan orang

tua tidak hanya dalam hubungan antara orang tua & anak tetapi juga

dalam hubungan antar individu (Budiman, 2012: 7). Di suatu sisi,

remaja juga dapat menolak pendapat orang tua dan dapat

(32)

itu, dalam berinteraksi dengan orang tua, remaja tetap dapat

menampilkan emosi cinta kepada orang tua.

Disisi lain remaja juga melihat orang tuanya bukan hanya sebagai

sumber dukungan emosionalnya saja, namun sebagai pihak yang

membutuhkan dukungan emosional saat mengalami kesusahan.

c. Memiliki Sikap Ketidaktergantungan terhadap Orang Lain, terutama

orang tua. (Non – dependency)

Remaja yang mandiri secara emosional dalam aspek

non-dependecy, yakni remaja tidak serta merta lari kepada orang tua ketika

mereka dirundung kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran atau

membutuhkan bantuan. Ketika remaja mempunyai masalah, ia tidak

selalu bergantung kepada orang tua untuk menyelesaikan masalah

tersebut. Contoh, remaja yang memiliki sikap ketergantungan pada

orang tuanya yakni ketika remaja tersebut dihadapkan pada sebuah

pilihan untuk mengambil keputusan akan melanjutkan sekolah

lanjutan Remaja bergantung kepada diri sendiri (non-dependency)

merupakan suatu tingkat dimana remaja memiliki sikap yang lebih

percaya kepada kemampuan sendiri daripada meminta bantuan

orangtua (Steinberg, 2002: 292). Remaja pada umumnya memiliki

kekuatan emosi yang hebat untuk dapat menyelesaikan berbagai

permasalahan di luar keluarga dan dalam kenyataannya remaja merasa

lebih dekat dengan teman dibanding dengan orangtua (Steinberg,

(33)

Remaja mampu untuk membuat keputusan dalam menyelesaikan

masalahnya, meskipun demikian remaja dapat mendiskusikan dengan

orang tuanya dan mampu mempertanggungjawabkan segala sesuatu

yang dipilihnya untuk mengatasi masalah-masalah pada dirinya

sendiri. Remaja yang kemandirian emosionalnya tinggi, mampu

menunda keinginannya untuk meluapkan apa yang sedang dirasakan

pada orang lain, mampu menunda untuk meminta dukungan

emosionalnya kepada orang tua atau orang lain ketika dia menghadapi

masalah. Ketika remaja berbuat salah, remaja mampu mengatasi

dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain.

d. Berani Tampil sebagai Pribadi yang Unik (Individuated)

Pada aspek individuated ini remaja yang mandiri emosionalnya,

sering memiliki energi emosional yang besar dalam rangka

menyelesaikan hubungan-hubungan di luar kelurga dan dalam

kenyataannya mereka merasa lebih dekat dengan teman-teman

daripada orang tua. Dimana tidak semua yang terkait dengan pribadi

saya, orang tua harus tahu. Contoh perilaku remaja yang

mencerminkan rasa tanggung jawab atas dirinya sendiri, misalnya

mampu mengelola uang jajan mereka dengan cara menabung tanpa

sepengetahuan orang tua mereka. Individuasi sendiri berarti

berperilaku lebih bertanggung jawab. Ini didukung pendapat dari

seorang Psikoanalis Peter Blos (dalam Steinberg 2002: 292)

(34)

meningkatkan tanggungjawabnya dalam mengambil keputusan yang

akan dilakukan, daripada menyimpan sendiri tanggungjawab tersebut

dari pengaruh dan pengawasan dari orang dewasa. Menurut Josselson

(dalam Desmita, 2013: 211) menyatakan bahwa proses pencarian

identitas merupakan proses di mana seorang remaja mengembangkan

suatu identitas personal atau sense of self yang unik, yang berbeda dan

terpisah dari orang lain, ini sering disebut dengan individuasi.

Menurut beberapa penelitian dari Bulcroff, Holmbeck (dalam

Steinberg: 1989) juga menyebutkan bahwa, penyebab utama pemicu

proses individuasi adalah masa pubertas. Perubahan pada masa remaja

seperti penampilan fisik dapat memicu perubahan cara pandang remaja

baik untuk diri sendiri maupun oleh orang tuanya yang mana dapat

memicu interaksi orang tua dengan anak. Konflik yang ditekan yang

pernah dialami remaja sejak usia dini akan bangkit kembali pada masa

remaja awal karena kebangkitan impuls seksual. Sesaat setelah

mengalami masa pubertas hampir sebagian besar keluarga mengalami

peningkatan percekcokan dan pertengkaran. Konflik tersebut ditandai

dengan adanya peningkatan ketegangan antara anggota keluarga,

argumen yang tidak tentu yang menimbulkan ketidaknyamanan berada

di dalam rumah.

Badai dan stress yang dialami oleh remaja merupakan suatu yang

biasa, aspek yang normal, sehat, dan tidak terhindarkan dari

(35)

Steinberg : 2002) juga percaya bahwa dengan tidak adanya konflik

antara remaja dan orang tuanya menandakan bahwa remaja itu

merupakan remaja yang bermasalah. Pendapat mengenai beberapa

penelitian tersebut juga didukung oleh pendapat dari Cooper,

Holmbeck & Hill (dalam Steinberg 2002: 293) yang menyebutkan

bahwa peningkatan konflik orang tua mereka dalam membantu remaja

melihat keterangan yang berbeda dalam mengembangkan rasa

individuasi.

Collins (dalam Steinberg 2002; 293) juga percaya bahwa gerakan

ke arah yang lebih tinggi dari tingkat remaja individuasi dirangsang

oleh perkembangan kognitif sosial mereka. Kognisi sosial yang

dilakukan untuk diri sendiri dan hubungan kita dengan orang lain.

Orang tua dan remaja akan mengubah hubungan mereka selama masa

remaja, namun ikatan emosional mereka tidak akan terputus. Hal ini

menunjukkan perbedaan penting bahwa kemandirian emosional selama

masa remaja melibatkan perubahan, bukan remaja yang berpisah

dengan orang tua akan menjadi mandiri secara emosional dari orang

tua tanpa harus berpisah dengan mereka.

Proses individuasi dimulai dari masa kanak-kanak dan berlanjut ke

akhir masa remaja, sedikit demi sedikit secara bertahap, melatih orang

untuk mandiri, kompeten, dan terpisah dari orang tua . Oleh karena itu

individuasi telah banyak menghasilkan sesuatu yang besar dengan

(36)

melihat dan merasakan tentang diri kita .

Individuasi tidak melibatkan stres dan kekacauan. Lebih baik,

melepaskan ketergantungan kekanak-kanakan pada orang yang lebih

dewasa, lebih mendukung, lebih bertanggung jawab, dan mengurangi

ketergantungan pada orang lain. Remaja yang berhasil membangun

sebuah kesan individuasi dapat menerima tanggung jawab mereka

untuk mengambil keputusan dan tindakan (Josselson, 1980 dalam

Steinberg, 2002 : 292 ).

Remaja tampil sebagai pribadi yang berbeda dengan orangtuanya,

remaja merasa berbeda dengan orang tuanya, remaja menegakkan

privasi. Remaja mempunyai pemikiran tentang sesuatu hal yang

menurut pandangannnya baik. Remaja mampu melepaskan diri dari

ikatan orang tuanya, remaja tidak lagi mencurahkan segala apa yang

dipikirkan atau dirasakan kepada orang tuanya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Emosional

Untuk mencapai kemandirian emosional diperlukan suatu proses dan

perkembangan, kemandirian emosional bukanlah semata-mata pembawaan

yang melekat pada diri individu sejak lahir. Perkembangan tersebut juga

dipengaruhi oleh situasi lingkungan baik di sekolah maupun masyarakat.

Perkembangan kemandirian emosional remaja tidak lepas dari faktor

internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kemandirian

emosional yaitu dorongan dari dalam diri remaja itu sendiri. Sedangkan

(37)

Faktor eksternal berkaitan dengan pola asuh orang tua, jenis kelamin, dan

tempat tinggal. Remaja laki-laki biasanya lebih mandiri dibandingkan

perempuan (Bumpus, Crouter, & McHale, 2001 dalam Santrock, 2014).

Remaja yang tinggal terpisah dengan orang tua biasanya akan lebih

berkembang secara mandiri dibandingkan dengan remaja yang masih

tinggal dengan orang tua (Bucx & van Wel, 2008; Nelson & others, 2011

dalam Santrock, 2014). Sementara itu, pola pengasuhan orang tua juga

perkembangan kemandirian emosional dilihat dari pola kontrol dan

kehangatan yang diberikan orang tua kepada remaja (Santrock, 2014).

Menurut Hurlock, 2003; Masrun dkk, (dalam Arifin, 2009 ) ada

beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian emosional antara lain :

a. Usia & Jenis Kelamin

Keinginan untuk berdiri sendiri dan mewujudkan diri sendiri,

sendiri merupakan kecenderungan yang benar-benar terwujud dalam

sikap mandiri ketika seseorang telah mencapai usia dewasa. Pada masa

ini bersikap mandiri merupakan hak dan kewajiban orang dewasa yang

penting dan mempengaruhi perkembangan pribadinya.

Pada masa dewasa ini tentunya mereka juga diharapkan untuk

mengambil keputusan sendiri. Menurut Setyawan (dalam Arifin, 2009:

10) pada usia di bawah umur, anak laki-laki maupun anak perempuan

masih tergantung dengan orangtua dalam hal keuangan, pengambilan

keputusan dan penyelesaian masalah. Seiring dengan kematangan sikap,

(38)

ketergantungan-ketergantungan itu semakin berkurang dan berganti

sikap mandiri. Menurut Sarwono (dalam Arifin, 2009: 10) anak- anak

terutama pada fase pertama di dalam perkembangan dalam keadaan

selalu tergantung atau keadaan selalu minta tolong pada orangtuanya.

Steinberg (1993: 144-145) memperlihatkan bahwa tidak banyak

pengaruh dari perbedaan jenis kelamin terhadap perkembangan

kemandirian emosional remaja. Hasil penelitian Alfredo Oliva dalam

Aprilia menemukan bahwa terdapat peningkatan kemandirian

emosional yang signifikan pada remaja laki-laki saja, di sepanjang masa

awal dan akhir masa remaja. Sedangkan nilai kemandirian emosional

pada remaja perempuan hampir sama pada semua kelompok umur

remaja.

b. Pendidikan

Masrun (dalam Arifin, 2009: 10) menyatakan bahwa pendidikan

yang dialami seseorang tidak harus berasal dari sekolah. Maka dapat

dikatakan bahwa pendidikan mempunyai peranan cukup besar bagi

terbentuknya kemandirian emosional seseorang, dan semakin tinggi

tingkat pendidikan individu akan semakin tinggi pula kemandirian

emosionalnya.

Suryabrata (dalam Arifin, 2009: 10) menegaskan pendidikan

adalah usaha manusia dengan penuh tanggung jawab membimbing anak

didik ke kedewasaan. Sebagai manusia yang belum dewasa, anak didik

(39)

pendapat atau bimbingan dari orang yang lebih dewasa sebagai

pedoman bagi sikap dan tingkah lakunya.

Pendidikan baik formal maupun non formal sangat membantu bagi

perkembangan kepribadian seseorang dan kemandirian emosional

merupakan salah satu aspek dari kepribadian. Maka dapat dikatakan

bahwa pendidikan mempunyai peranan yang cukup besar bagi

terbentuknya kemandirian emosional seseorang.

c. Konsep diri

Menurut Sukadji (dalam Arifin, 2009: 11) konsep diri yang positif

mendukung adanya perasaan kompeten pada diri individu untuk

menentukan langkah yang akan diambil didalam penyelesaian masalah.

d. Lingkungan keluarga, Pola asuh orang tua dan Urutan Posisi Anak

Lingkungan keluarga, lingkungan dimana individu bertempat

tinggal sangat mempengaruhi tingkah laku dan dapat membentuk pola

perilaku serta kebiasaan–kebiasaan seseorang dalam membentuk

kemandirian emosional.

Perlakuan orangtua mempunyai peranan yang sangat penting

dalam menentukan seberapa baik remaja akan dapat memenuhi tuntutan

peningkatan menjadi dewasa. Seifert dan Hoffnung (dalam Arifin,

2009: 11) menyatakan bahwa tanggung jawab orangtua untuk

menciptakan hubungan baik antara orangtua dan anak, dimana hal

tersebut akan menumbuhkan kemandirian emosional dan rasa percaya

(40)

Orang tua dengan pola asuh yang demokratis sangat

merangsang kemandirian emosional anak dimana orang tua memiliki

peran sebagai pembimbingnya untuk memperhatikan dan

memperlakukan terhadap setiap aktivitasnya dan kebutuhan anak,

terutama yang berhubungan dengan studi dan pergaulannya baik di

lingkungan keluarga maupun sekolah.

Soekanto (dalam Arifin, 2009: 11) mengatakan bahwa orangtua

yang bersifat otoriter akan membawa akibat yang tidak baik bagi

perkembangan anak, karena tidak memberi kesempatan pada anak

untuk berdiri sendiri. Maka untuk selamanya anak dari orangtua otoriter

akan tetap bergantung pada orangtuanya, keadaan ini bukanlah keadaan

yang ideal bagi anak-anak maupun mereka yang sudah pada tahap

perkembangan remaja, karena tidak menjadi mandiri dan tidak mampu

mengambil keputusan sendiri.

Menurut Gerungan (dalam Arifin, 2009: 12) bagaimana orangtua

membiasakan anak untuk bertindak mandiri pada usia awal, telah

banyak mempengaruhi sikap kemandirian emosionalnya pada masa

remaja dan dewasa. Jika sejak kecil orangtua sudah membiasakan anak

secara mandiri, membiasakan anak untuk memenuhi kebutuhannya

sendiri, memberikan dorongan, pujian terhadap sikap mandiri anak,

maka akan membuat anak semakin mandiri di masa remaja dan dewasa.

Conger (dalam Arifin, 2009: 12) menyatakan bahwa ada hubungan

(41)

anak-anaknya, orangtua dapat membantu atau sebaliknya membuat

anak tidak mampu untuk berusaha memperoleh

kesempatan-kesempatan dan mengatasi masalah-masalah yang ditemui di luar

rumah. .

Menurut (Hurlock, 2003 : 203) anak pertama yang diharapkan

untuk bisa menjadi contoh teladan dan menjaga adiknya, lebih

berpeluang untuk anak bungsu yang mendapatkan perhatian

berlebihan dari orang tua dan kakak-kakaknya berpeluang lebih

kecil.

Selain itu, tempat tinggal atau dengan siapa remaja tinggal juga

mempengaruhi kemandirian emosional. (Holmbeck, Durbin & Kung,

dalam Santrock, 2007). Berdasarkan penelitian mengenai hubungan

antara kedekatan keluarga dengan tingkat kemandirian emosional,

didapatkan hasil bahwa semakin tinggi tingkat kedekatan keluarga

maka semakin rendah tingkat kemandirian emosional seorang remaja

(Dibble, 1986).

4. Kemandirian Emosional pada Remaja

Kemandirian emosional perlu dan penting dimiliki remaja karena

kemandirian emosional pada remaja merupakan salah satu tugas

perkembangan remaja yakni mencapai kemandirian emosional seperti

orang dewasa lainnya. Kemandirian emosional berkembang lebih awal

dan menjadi dasar perkembangan kemandirian emosional nilai dan

(42)

Kemandirian emosional menjadi perhatian utama pada masa remaja,

dimana pada masa ini terjadi perubahan sosial, fisik, dan kognitif pada

remaja, (Santrok, dalam Yahya: 2009). Kemandirian emosional pada masa

anak-anak lebih ditekankan pada tingkah lakunya sedangkan pada masa

remaja kemandirian emosional sudah melibatkan perkembangan kognisi,

emosi dan psikomotor yang lebih matang dan tahap ini juga dibebankan

tanggung jawab (Santrock, dalam Yahya, 2009). Steinberg (2003: 290)

membagi tiga aspek dari kemandirian emosional, yaitu kemandirian

emosional (emotional autonomy), kemandirian dalam bertingkah laku

(behavioral autonomy), dan kemandirian nilai (value autonomy).

Perkembangan kemandirian emosional juga akan berlanjut ke masa

dewasa muda, dimana pada masa ini individu telah mencapai kematangan

kemandirian emosional, kemandirian emosional bertingkah laku dan

kemandirian emosional nilai yang dianutnya (Santrock, dalam Yahya,

2009).

Suatu penelitian yang dilakukan Nuryoto (dalam Arifin, 2009: 3)

membedakan tingkat kemandirian yang terbagi menjadi dua tahap

perkembangan yaitu masa remaja awal dan remaja akhir, hal ini untuk

mengetahui perkembangan kemandirian emosional remaja dalam kurun

waktu tertentu dengan pengertian masa remaja awal masih terpengaruh

masa anak-kanak dan masa remaja akhir diharapkan sudah menunjukan

sikap dewasa. Hasil penelitian Nuryoto menunjukkan bahwa secara

(43)

mengikuti fase atau tahap perkembangannya. Hal ini dapat dilihat dari

tingkat kemandirian emosional remaja akhir lebih tinggi daripada

kemandirian emosional remaja awal

Pada masa remaja ini disebut pula masa revolusi dimana

hentakan/ledakan perkembangan dari kemampuan fisik dan psikis yang

hebat. Namun pada masa ini juga terdapat gejala melemahnya ikatan

afektif dengan orang tua, pada masa ini sering timbul rasa tanggung

jawab, rasa kebebasan dan juga rasa aku/ego-nya. Semua kejadian

tersebut menumbuhan rasa diri yang kuat. Dia mulai menyadari kekuatan

sendiri, harga dirinya sebagai seorang individu atau sebagai aku yang

mandiri.

Namun perasaan hidup yang positif kuat ini juga sering membawa

anak muda pada aktivitas mengasingkan diri, dalam artian menjauhkan

diri dari kekuasaaan orang tua lalu menggerombol dengan teman yang

senasib dan seumuran, dalam usahanya mendapatkan pengakuan terhadap

Aku-nya. Secara sadar remaja juga mulai melepaskan relasi dengan

lingkungannya dan kekuasaan orang tua atau orang yang dianggap

memiliki kewibawaan terhadap dirinya.

5. Dampak Kemandirian Emosional pada Remaja

Pada umumnya remaja belum mandiri secara emosional.

Perkembangan kemandirian emosional remaja, tidak terlepas dari

interkasi antara remaja dengan orang tuanya. Orang tua merupakan

(44)

remajanya, sehingga mempunyai pengaruh yang paling besar pada

pembentukan kemandirian emosional remaja.

Remaja sering tidak mampu memutuskan simpul-simpul ikatan

emosional kanak-kanaknya dengan orang tua secara logis dan objektif.

Tidak jarang ditemukan seorang remaja menentang, berdebat, beradu

pendapat, atau mengkritik dengan pedas sikap-sikap orang tuanya.

Remaja berusaha mandiri secara emosi, bagi remaja tuntutan untuk

memperoleh kemandirian emosional secara emosional merupakan

dorongan internal dalam mencari jati diri, bebas dari perintah-perintah

dan kontrol orang tua.

Menurut Prayitno (dalam Jurnal Ilmiah Konseling Volume 1 No 1

September 2012) remaja yang mandiri secara emosi dapat meluapkan

emosinya dengan cara tidak berkelahi yang terjadi seperti masih dalam

periode anak-anak. Melainkan dengan cara yang lebih sopan, yaitu diam,

pergi keluar, latihan fisik keras sebagai pelarian emosi mereka.

Penelitian Lamborn dan Steinberg (dalam Desmita 2013 : 218)

menunjukkan bahwa perjuangan remaja untuk meraih otonomi tampaknya

berhasil dengan sangat baik dalam lingkungan keluarga yang secara

simultan memberikan dorongan dan kesempatan bagi remaja untuk

memperoleh kebebasan emosional. Sebaliknya, remaja yang tetap

tergantung secara emosional pada orang tuanya mungkin dirinya selalu

merasa enak, mereka terlihat kurang kompeten, kurang percaya diri,

(45)

yang mencapai kebebasan emosional (Dace & Keny dalam Desmita, 2013

: 218)

Remaja yang telah mencapai kemandirian emosional secara emosi

bisa memahami dirinya sendiri, menentukan apa yang baik dan yang

buruk bagi dirinya sendiri. Remaja belum mencapai kemandirian

emosional secara emosi terkadang merasa dirinya tidak puas sehingga

dapat memicu konflik.

6. Remaja dan Perkembangan Kemandirian Emosional

Menurut Hurlock (2003: 206) remaja merupakan peralihan dimana

perubahan secara fisik dan psikologis dari masa kanak-kanak ke masa

dewasa. Perubahan psikologis yang terjadi pada remaja meliputi

perubahan intelektual, kehidupan emosi, dan kehidupan sosial. Perubahan

fisik mencakup organ seksual yaitu alat-alat reproduksi sudah mencapai

kematangan dan mulai berfungsi dengan baik (Sarwono, 2009: 6). Ini juga

didukung oleh pendapat ahli lain yang mengatakan bahwa masa remaja

merupakan peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia

sekitar 10 atau 11 atau bahkan lebih awal sampai masa remaja akhir atau

usia 20an awal (Papalia dan Olds, 2009: 8)

Menurut pendapat lain yang dikemukakan Konopka (dalam Yusuf

2013: 71) remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus

perkembangan individu dan merupakan masa transisi yang dapat

diarahkan kepada perkembangan masa dewasa yang sehat. Sedangkan

(46)

menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja

belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak.

Dapat disimpulkan bahwa remaja adalah individu mengalami

perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan

masalah-masalah. Dimana remaja sebagai individu yang sedang

berkembang dengan segala potensi yang dimiliki sehingga membutuhkan

bimbingan dan arahan sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Masa remaja (12-21 tahun) merupakan masa peralihan antara masa

kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Masa remaja

yang sering dikenal dengan masa pencarian jati diri Desmita (2012: 37).

Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan periode

sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1980: 108)

antara lain :

a. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan

yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada

individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan

selanjutnya.

b. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan

masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang

dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu

padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menetukan pola

(47)

c. Masa remaja sebagai periode perubahan pada emosi, perubahan

tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan

pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan.

d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja

berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa perananya

dalam masyarakat.

e. Masa remaja adalah masa yang menimbulkan ketakutan, karena sulit

diatur, dan cenderung berperilaku yang kurang baik.

f. Masa remaja adalah masa yang tidak realistis. Remaja cenderung

memandang kehidupan dari kaca mata yang berbeda, melihat dirinya

sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan

sebagaimana adanya terlebih ketika menentukan cita-citanya.

g. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan

atau kesulitan di dalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia

sebelumnya dan di dalam memberikan kesan bahwa mereka hampir

atau sudah dewasa yaitu dengan merokok, minum-minuman keras,

menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks.

7. Pentingnya Kemandirian Emosional pada Remaja

Pentingnya kemandirian emosional bagi remaja, dapat dilihat dari

situasi yang kompleks terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh

komplektisitas kehidupan remaja tersebut sangat membutuhkan perhatian

dalam dunia pendidikan khususnya fenomena yang sekarang terjadi seperti

(48)

dan perilaku menyimpang lainnya. Oleh karena itu fenomena tersebut

menuntut dunia pendidikan untuk mengembangkan kemandirian

emosional remaja.

Kemandirian emosional sudah mulai berkembang sebelum mencapai

tahap dewasa. Hal ini bisa dilihat dari kebiasaan seorang yang dari kecil

mengatakan “tidak” terhadap berbagai hal yang diminta atau disuruh untuk

dilakukan oleh orang tua. Dari contoh ini terlihat bahwa dari sejak dini

seorang individu selalu mencoba untuk terlepas dari orang lain atas

kekuasaan atas dirinya sendiri. Kemandirian emosional berkembang pada

tiap tahapan sesuai dengan usia dan tuntutan pada tiap tahap

perkembangannya.

Perubahan dan perkembangan fisik yang dialami remaja juga

mempengaruhi psikologisnya. Yang menyebabkan konflik batin, perasaan

tersebut berakibat timbulnya rasa tertekan, kesal, ingin marah, mudah

tersinggung dan canggung dalam pergaulan. Keadaan yang mudah

berubah-ubah ini disebabkan oleh perubahan fisik dan psikisnya karena

remaja dalam masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa.

Yang sering disebut masa perpanjangan dari masa anak-anak, jadi belum

mencapai kedewasaan. Melihat keadaan tersebut sebenarnya remaja belum

memiliki tempat yang jelas dan tetap. Ada suatu sisi dimana remaja tidak

lagi dikatakan sebagai anak-anak, namun di pihak lain remaja juga belum

tergolong orang dewasa. Remaja belum mempunyai pekerjaan yang tetap

(49)

dengan memikul tanggung jawab sendiri namun mereka masih tergantung

terhadap bimbingan dan bantuan orang tua.

Fenomena-fenomena diatas, menuntut dunia pendidikan untuk

mengembangkan kemandirian khususnya kemandirian emosional.

Kartodinata (dalam Desmita, 2012: 189) menyebutkan beberapa gejala

yang berhubungan dengan permasalahn kemandirian yang perlu menjadi

perhatian dunia pendidikan, yaitu :

a. Ketergantungan disiplin pada kontrol luar dan bukan karena dari niat

sendiri yang ikhlas. Perilaku ini akan mengarah pada formalistik,

ritualistik dan tidak konsisten yang akan menghambat etos kerja dan

etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu ciri dari kualitas sumber

daya dan kemandirian manusia.

b. Sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Ketidakpedulian

terhadap lingkungan merupakan gejala perilaku impulsif yang

menunjukkan kemandirian masyarakat rendah.

c. Sikap hidup yang konformistik tanpa pemahaman dan mengorbankan

prinsip. Mitos bahwa segala sesuatu bisa diatur dan berkembang dalam

masyarakat menunjukkan ketidakjujuran dalam berpikir dan bertindak

serta kemandirian yang masih rendah.

Gejala tersebut merupakan kendala utama dalam mempersiapkan

individu-individu yang mengarungi kehidupan masa mendatang yang

(50)

kemandirian emosional menuju ke arah kesempurnaan menjadi sangat

penting untuk dilakukan secara serius, tertata dan terprogram.

8. Bimbingan Klasikal untuk Meningkatkan Kemandirian Emosional pada Remaja

Kemandirian emosional merupakan kecakapan yang berkembang

sepanjang rentang kehidupan individu yang sangat dipengaruhi oleh faktor

pengalaman dan pendidikan. Oleh sebab itu pendidikan khususnya di

sekolah perlu melakukan upaya-upaya pengembangan kemandirian

emosional remaja salah satunya dengan melakukan bimbingan (Ali, 2005:

119) antara lain :

a. Penciptaan partisipasi dan keterlibatan remaja dalam keluarga. Ini

dapat diwujudkan dalam bentuk :

1) Saling menghargai antar anggota keluarga.

2) Keterlibatan dalam memecahkan masalah remaja atau keluarga.

b. Penciptaan keterbukaan. Ini dapat diwujudkan dalam bentuk:

1) Toleransi terhadap perbedaan pendapat

2) Memberikan alasan terhadap keputusan yang diambil bagi remaja.

3) Keterbukaan terhadap minat remaja.

c. Memberi kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi lingkungan

dan mendorong rasa ingin tahu mereka. Ini dapat diwujudkan dalam

bentuk :

(51)

2) Adanya jaminan rasa aman dan kebebasan untuk mengeksplorasi

lingkungan.

3) Adanya aturan tetapi tidak cenderung mengancam bila ditaati.

d. Penerimaan positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak

membeda-bedakan satu dengan yang lain. Ini dapat diwujudkan dalam

bentuk :

1) Menerima apa pun kelebihan maupun kekurangan yang ada pada

diri anak.

2) Tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan yang lain.

3) Menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk kegiatan

produktif apapun meskipun sebenarnya hasilnya kurang

memuaskan.

e. Empati terhadap remaja. Ini dapat diwujudkam dalam bentuk:

1) Memahami dan menghayati pikiran dan perasaan remaja.

2) Melihat berbagai persoalan remaja dengan menggunakan

perpekstif atau sudut pandang remaja.

3) Tidak mudah mencela karya remaja betapa pun kurang bagusnya

karya itu.

f. Menjalin hubungan yang akrab dengan yang lain. Ini dapat

diwujudkan dalam bentuk :

1) Interaksi secara akrab tetapi saling menghargai.

2) Menambah frekuensi interaksi dan tidak bersikap dingin terhadap

(52)

3) Membangun suasana humor dan komunikasi ringan dengan

remaja.

Menurut Stone (dalam Winkel & Hastuti 2010: 1) bimbingan adalah

suatu proses membantu orang-perorangan untuk memahami dirinya sendiri

dan lingkungannya. Menurut (Winkel, 1997: 520) menyatakan bahwa

bimbingan klasikal adalah suatu bimbingan yang diberikan kepada

kelompok siswa yang tergabung dalam satu-satuan kelas dalam tingkat

tertentu pada suatu jenjang pendidikan, pada waktu yang diterapkan pada

jadwal bimbingan. Kegiatan-kegiatan dalam bimbingan klasikal

dilaksanakan sejalan dan disepakati oleh pihak-pihak terkait.

Menurut Winkel dan Hastuti (2010: 565-566) bimbingan klasikal

bermanfaat bagi tenaga bimbingan dan juga para siswa. Manfaat bimbingan

klasikal bagi siswa antara lain :

a. Menjadi lebih sadar akan tantangan yang dihadapi sehingga mereka

memutuskan untuk berwawancara secara pribadi dengan konselor.

b. Lebih rela menerima dirinya sendiri, setelah menyadari bahwa

teman-temannya sering menghadapi persoalan, kesulitan dan tantangan yang

kerap kali sama.

c. Lebih berani mengemukakan pandanganya sendiri bila berada dalam

kelompok.

d. Diberi kesempatan untuk mendiskusikan sesuatu bersama dan dengan

demikian mendapat latihan untuk bergerak dalam suatu kelompok, yang

Gambar

Gambar 1 : Diagram Tingkat Kemandirian Emosional ......................................
Tabel 1 Norma Skoring Inventori Kemandirian Emosional
tabel 2.
Tabel 2 Kisi-Kisi Angket Tingkat Kemandirian Emosional
+7

Referensi

Dokumen terkait

social, emosional, kognitif, bahasa, fisik atau motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar. Program kegiatan belajar pada tingkat TK meliputi

Sebelum pelaksanaan praktik mengajar di kelas, mahasiswa PPL harus membuat skenario atau langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan di kelas yang meliputi

Agar dapat mengembangkan watak dapat bertindak dengan kemandirian berpendapat dan bertanggung jawab pribadi yang makin besar. Prosses pendidikan

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui proses pembelajaran pada mata diklat Sistem Pemindah Tenaga (SPT) pada Kompetensi Dasar memperbaiki/merawat transmisi manual

Karena fitur keamanan yang ada pada standar 802.11 tidak menyediakan integritas pesan yang kuat, bentuk lain dari serangan aktif yang membobol integritas sistem sangat

Merupakan pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang dipungut oleh bendahara pemerintah baik pusat maupun swasta berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan

Peran perpustakaan universitas di era kemajuan Teknologi Informasi perlu dikembangkan menuju ke arah integrasi data. Pembentukan jaringan perpustakaan dapat menjadi sarana

Penelitian kandungan klorofil dan karotenoid ekstrak kasar sayuran hijau tokal dilakukan dengan menggunakan metode Lichtenthaler (1987), sedangkan potensinya sebagai