昭和時代
芸者
生活
ア
0142022
マ
タキ
教大学
本語文学学科
バン
ン
映画 昭和時代 芸者 関 分析 序論
芸者 いう言葉 知 い人 い い う 芸者 いう
文字通 芸 人 あ 現在 芸者 言え 人 特 外 国人 売春 いうイメー 結 多い
いう映画 昭和時代 芸者 テーマ 上 あ 映画 芸者 生 方 い 描写し い
本論分 いう映画 通し 芸者 い 生
方 し い 分析 あ アプロ- 濃 理論 現象学 いう 使う
Universitas Kristen Marantha
本論
現在 芸者 言え マイ イメー 頭 浮
あ 女性 手入 身 売 い
うイメー あ し し 時代 溯 芸者 何 あ わ
芸者 簡単 い あ 芸者 う 女性
職業学校 入 そ 舞踊 茶 湯 学ぶ あ
さ う 楽器 い そ
う 学校 五年間学習し 舞子 あ 舞子 芸者見習 い う あ 芸者 本 伝統的 御茶屋 働 彼女
そ 客 踊 見 話し柤手 歌
あ 誰 性 渉 いうイメー う あ 彼 女 性 渉 自分 邦あ い 生活費 出し
生活 さ 男性 あ そ う 男性
芸者 本得 得 寝
芸者 過 本妻 い 補充し あ
いう映画 主人公 芸者
毎朝職業学校 舞踊 歌 さ 生 花 習い い う 給仕 し 働 彼女 先輩 芸者 給仕 あ
苦汁 彼女 頑張 生 い あ そし
結論
現象学 いうアプロー 使 いう映画
芸者 関し 分析し 結果 次 結論 引 出 ― 昭和時代 芸者 いう職業 マイ イメー い
― 芸者 さ さ 詩綶 い
― 芸者 茶屋 来 客 踊 見 君 歌 歌
し祖子 性 渉 し い
― 芸者 自分 生活 援助し 男性 性
渉柤手 場合 あ
Universitas Kristen Marantha
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……….i
DAFTAR ISI ………iii
BAB I PENDAHULUAN ………1
1.1 Latar Belakang Masalah ………..1
1.2 Pembatasan Masalah ………3
1.3 Tujuan Penelitian ……….4
1.4 Metode Penelitian ………...4
1.5 Organisasi Penelitian………10
BAB II LANDASAN TEORI ………..11
2.1 Sejarah Geisha ………..11
2.2 Penghidupan Geisha ……….18
BAB III KEBERADAAN GEISHA DI JAMAN SHOWA………26
3.1 Geisha Sebagai Pemuas Seks ………....26
3.2 Geisha Sebagai Teman Minum ……….31
3.3 Geisha Sebagai Wanita Simpanan ………....38
BAB IV KESIMPULAN ………..47
SINOPSIS ………...iv
DAFTAR PUSTAKA ………...viii
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : Rinaldi Sutjiadi
Tempat, Tanggal lahir : Bandung, 4 Mei 1982
Nama Orang Tua : Hendrik Tjia
Hermina Halim
Alamat : Komp. Parakan Mas Jl Parakan Mas Indah no
A13, Parakan Saat Bandung 40293
Telepon : 022 – 91756442
Pendidikan yang telah ditempuh penulis :
1989 – 1995………SD Gita Kirti
1995 – 1998………SMP Taruna Bhakti
1998 – 2001………SMU Taruna Bhakti
2001 – 2007………Universitas Kristen
Maranatha
Universitas Kristen Maranatha
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Jepang merupakan negara Asia Timur yang kemajuannya berkembang
pesat. Jepang sangat maju dalam bidang teknologi dan perekonomiannya, contoh
kemajuan dalam bidang teknologi adalah mampu membuat mobil dan motor
produksi dalam negeri dan mampu memasarkannya ke negara-negara yang
membutuhkannya. Contoh kemajuan dalam bidang ekonomi adalah mampu
membuat mata uang Jepang (Yen) bersaing dengan mata uang negara lain seperti
Dolar Amerika Serikat.
(http://id.wikipedia.org/wiki/japan)
Di samping itu, Jepang, mempunyai kebudayaan atau tradisi yang unik,
misalnya Kabuki (
歌舞伎
), Sumo相撲
, dan juga yang tidak kalah uniknyaadalah Geisha (
芸者
)(http://id.wikipedia.org/wiki/japan)
Geisha adalah wanita yang mahir dalam seni. Bertugas untuk
menghibur dengan memainkan alat musik Samisen (alat musik Jepang) dan
bernyanyi sekaligus menari.
(http://id.wikipedia.org/wiki/geisha)
Geisha sudah ada sejak jaman Edo , dahulu mereka bertugas untuk
menghibur pejabat-pejabat dengan cara menemani minum sake, dan menari.
Latar belakang masalah prostitusi. Gadis yang menjadi Geisha adalah gadis
yang berasal dari keluarga miskin dan mereka direkrut oleh senior Geisha yang
biasa dipanggil Okamisan みさん) Di dalam rumah Geisha yang disebut
Okiya (
き
), gadis yang akan menjadi Geisha dididik selama 5 tahun olehibu Geisha atau biasa disebut Okaasan (
さん
) yaitu yang mengelola rumah Geisha.Gadis tersebut yang dalam masa latihan disebut Maiko (舞子).Masyarakat Jepang tahun 1980-an pada umumnya terutama
pemerintah Jepang menentang keberadaan Geisha. Karena Geisha selalu
berkaitan dengan seks bebas sehingga Geisha dianggap merusak kebudayaan
tradisional Jepang.
(http://en.wikipedia.org/wiki/geisha)
Keberadaan Geisha pada jaman Showa digambarkan dalam film
ち . Film ini dibuat oleh Kinji Fukasaku yang bertindak pula selaku sutradara.
Film berdurasi 2 jam 28 menit ini menceritakan tentang seorang Maiko yang
bernama Tokiko yang diperankan oleh Maki Miyamoto yang bekerja pada
seorang Geisha senior yang sering dipanggil Okamisan (
み さ ん
).Okamisan juga mendidik Geisha lain yang sekaligus bekerja sebagai anak
buahnya. Di tempat ini Tokiko bekerja untuk melayani senior-seniornya mulai
dari membersihkan rumah, mempersiapkan makanan, mempersiapkan
perlengkapan bekerja Geisha sampai membangunkan senior-seniornya di pagi
hari. Ia juga tidak lupa untuk belajar menari dan merangkai bunga (生け花) di
Universitas Kristen Maranatha
sebuah tempat kursus menari. Sampai pada suatu waktu Okaasan merasa
Tokiko sudah siap untuk menjadi Geisha yang sesungguhnya, dan mencarikan
laki-laki yang mau memakai jasa Tokiko laki-laki yang memakai Geisha biasa
dipanggil Danna. Dan laki-laki yang menjadi Danna Tokiko. bernama Tamura
yang sudah berumur 55 tahun. Tokiko dijanjikan akan dibayar tiga juta yen
setiap bulannya. Dengan begitu Tokiko sudah menjadi Geisha.
Dalam film ini terlihat keberadaan Geisha yang cukup terorganisir.
Yang masing-masing kelompok Geisha diatur oleh Okiya-Okiya yang ada dalam
film tersebut.
1.2 PEMBATASAN MASALAH
Masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini dibatasi pada hal yang
keberadaan Geisha pada jaman Showa yang terdapat pada film ち
mengenai keberadaan Geisha.
Disini keberadaan Geisha sangat menarik karena geisha dipandang
sebagai suatu pekerjaan halal atau dengan kata lain seperti pekerjaan pada
umumnya misalnya di perkantoran atau wiraswasta meskipun bertentangan
dengan norma-norma masyarakat Jepang. Geisha begitu dihormati layaknya artis.
Penulis ingin melihat Geisha di mata masyarakat Jepang melalui buku-buku
yang sudah beredar atau film-film sebagai referensi terutama dari film ち .
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana status / fungsi Geisha menurut pandangan
masyarakat Jepang jaman Showa yang terdapat dalam film ち .
.2. Untuk mengetahui apakah keberadaan Geisha yang sebenarnya sesuai dengan
yang ada dalam film
ち
.1.4 METODE PENELITIAN
Dalam penyusunan skripsi penulis menggunakan pendekatan metode
Fenomenologi. Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “phainomenon”,
yang berarti apa yang terlihat atau yang menampakkan diri. Menampakkan diri
itu macam-macam, misalnya perasaan, benda, peristiwa, pikiran, lembaga sosial
dan seterusnya.
Kita cenderung menafsirkan fenomen yang kita lihat, maka fenomen tidak
selalu menampakkan diri apa adanya. Bukan hanya itu, fenomen yang kita lihat,
misalnya operasi jantung, sering sudah dimuati anggapan-anggapan masyarakat
sehingga operasi jantung tidak tampak adanya. Maksudnya disini adalah operasi
jantung menurut anggapan masyarakat itu mengerikan karena jantung yang ada
di tubuh kita di otak-atik memakai pisau bedah dan alat lainnya. Padahal
kenyataannya tidak nampak mengerikan karena kita sebagai pasien operasi
jantung akan dibius sehingga tidak akan merasa kesakitan ketika dioperasi.
Fenomenologi tidak puas dengan cara mendekati fenomen seperti yang kita
lakukan sehari-hari. Pendekatan ini menyingkap fenomen asli sebelum
Universitas Kristen Maranatha
ditafsirkan oleh masyarakat atau kebudayaan, yakni fenomen apa adanya.
Operasi jantung, misalnya jangan pertama-tama dilihat sebagai aktivitas
merubah fisik manusia, yakni sebagai sesuatu yang netral dari
penilaian-penilaian. Sebab itu, Fenomenologi adalah suatu pendekatan deskriptif murni,
bukan normatif.
(Martin Heidegger dan Mistik Keseharian. F Budi Hardiman, 2003, hal 21)
Fenomenologi adalah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari
manusia sebagai sebuah fenomena. Maksudnya pengalaman manusia itu
dihubungkan dengan yang ada di luar benda itu sendiri, tanpa perlu bergantung
pada teori, logika ataupun pendapat subyektif dari aturan-aturan yang sudah ada
sebelumnya seperti, ilmu alam dan menyingkirkan segala prasangka untuk
mencapai pengetahuan yang jernih atau tidak ternoda oleh prasangka itu sendiri
tentang kenyataan yang sebenarnya. Kita bisa melihat pengalaman kita sebagai
sesuatu fenomena yang terjadi di depan mata kita. Pada saat itu kita melihat
sebagai kejadian biasa tanpa mengaitkan dengan berbagai macam teori, logika
ataupun pendapat orang lain yang bersifat subjektif atau sepihak.
(http://id.wikipedia.org/wiki/fenomenologi)
Edmund Husserl merupakan ilmuwan Jerman yang pertama kali
menemukan Fenomenologi dipertengahan tahun 1890-an. Hurssel menyebutkan
bahwa memulai karyanya dengan dua metode, satu positif dan satu negatif.
Metode positif disebut dengan zu den Sachen selbst (kembali ke halnya sendiri).
Metode ini dimaksudkan untuk melepaskan jalan pikiran dari apa saja yang
adalah masalahnya sendiri, bukan gagasan tentang hal tersebut. Maksudnya bagi
Hurssel yang terpenting adalah hasil dari proses yang terjadi bukan proses yang
terjadi. Metode yang negatif disebut Voraussetzungslosigkeit yang mutlak
(terjemahan bebas: kekurangan pengandaian yang mutlak). Dalam kaitan ini,
Hurssel mendekatkan diri pada metode yang dikemukakan oleh Descartes,
walaupun terdapat perbedaannya juga. Descartes mulai dengan sikap ragu-ragu,
ia menyangkal segala sesuatu dan ingin memulai proses pemikirannya dari titik
yang benar-benar nol. Hurssel ingin memberikan tanda petik pada
keragu-raguannya atau memberikan kualitas dipertanyakan pada objek-objek. Sebagai
contoh misalnya: eksistensi objek adalah tidak esensial bagi objek itu sendiri,
atau sebuah segitiga akan tetap merupakan segitiga. Melalui dua metode yang
diketengahkan di atas, “yaitu kembali kepada halnya itu sendiri” dan
“kekurangan pengandaian yang mutlak”, ia boleh dikatakan memulai karyanya
dengan tepat. Ketika ia membicarakan tentang tiga tingkatan kesadaran, terutama
pada tingkatan ketiga dimana orang memperhitungkan phenomenologisches
Residuum atau ‘objek murni’ atau ‘esensi murni’, Hurssel mengemukakan
pendapatnya tentang tiga tingkatan kesadaran yang dapat dihubungkan dengan
tiga jenis objek, yaitu :
1. Tingkatan pertama atau tingkatan yang dangkal adalah kesadaran alamiah.
Kesadaran ini berhubungan dengan objek-objek alamiah.
2. Tingkatan kedua adalah tingkat kesadaran refleksi, yaitu kesadaran yang
muncul setelah memberi ‘tanda petik’ pada tingkat yang dangkal. Bila seseorang
memusatkan perhatiannya pada sebuah objek saja tanpa mempedulikan hal-hal
Universitas Kristen Maranatha
lain, ia sebenarnya sudah meningkat pada kesadaran yang lebih dalam. Di sini
objek muncul lebih jelas dan lebih tajam.
3. Tingkatan ketiga atau tingkat ‘kedalaman ego’, bila perhatian seseorang
difokuskan lebih jauh lagi pada objek, ia akan mencapai tingkat kesadaran jauh
lebih dalam lagi. Dalam keadaan kesadaran pada tingkat ini objek yang murni
atau yang sejati mengejawantah. Jadi sebenarnya setiap kesadaran itu bersifat
correlatum atau “diperhubungkan” (dengan sesuatu yang lain). Kiranya inilah
yang dimaksudkan Hurssel dengan istilah Bewusstsein von Etwas atau
“kesadaran tentang sesuatu”.
Kesadaran memang tidak pernah dalam keadaan ‘kosong’, selalu ada
isinya. Hurssel menyatakan bahwa kepastian atau ketentuan kita temukan bukan
pada tingkatan kesadaran pertama atau yang kedua, melainkan pada tingkat
ketiga di mana ‘yang individual’ telah memberi tanda petik pada ‘yang tidak
esensial’ dan ‘yang individual’ itu berhadapan muka dengan Wesenchau atau
esensi objek. Pada tingkatan kesadaran yang ketiga ini, yaitu tingkat kedalaman
ego, kita dalam keadaan lepas dari kerengka ruang dan waktu. Dimensi ruang
dan waktu ini ‘ditinggal’ pada tingkatan kesadaran pertama dan kedua, sekarang
yang tinggal hanyalah objek murni.
Fenomenologi mencoba untuk memahami bahwa masih ada objek-objek
yang yang berada didunia ini yang menjadikan hidup lebih jelas dan nyata.
(www.phenomenologycenter.org/phenom.htm)
Seorang filsuf sekaligus kritikus terkenal yang berasal dari Jerman,
dan menunjukkan yang tersembunyi dari hal-hal yang biasa, pengalaman
kehidupan sehari-hari. Ia juga menambahkan untuk dapat mengerti konsep dari
Fenomenologi, kita perlu menelusuri masalah dari konsep Fenomenologi itu.
Karena konsep Fenomenologi itu memiliki konsep yang bermacam-macam.
Tetapi, untuk membatasi masalah tersebut secara konkrit, kita tidak perlu
memotong habis dan mengerti sepenuhnya dari konsep Fenomenologi.
Maksudnya untuk dapat mengambil inti dari faham Fenomenologi, kita harus
mengikuti dan mengerti permasalahan dari masalah Fenomenologi itu sendiri.
Tetapi kita jangan mementingkan masalah itu, karena kita tidak akan bisa
mengambil inti permasalahannya, kita cukup mengerti setengahnya saja.
(http://phenomenologyonline.com/inquiry/49.htm)
Fenomenologi mempunyai slogan: “kembali pada kenyataan itu sendiri!”. Dengan kata lain tunda dulu semua keputusanmu tentang kenyataan. Biarlah kenyataan, atau istilah filosofisnya, fenomen, mewujudkan kebenarannya sendiri.
Misalnya fenomen-fenomen seperti keadilan, cinta, dan simpati. Ketiganya jangan diukur berdasarkan utilitarianime dan hedonisme (faham yang meagung-agungkan kebebasan). Diukur berdasarkan untung-rugi, nikmat-sakit, dan lain sebagainya. Persahabatan yang tulus tetap sebuah kemungkinan terbuka
(Martin Heidegger. Donny Gahral Adian terj., 2002, hal 13)
Disini Fenomenologi lebih mengutamakan kenyataan yang terlihat
daripada prasangka-prasangka yang dibuat dari pemikiran yang sudah ada. Dan
menjelaskannya masalah tersebut secara rasional.
Para ahli fenomenologi terus mengembangkan Fenomenologi tersebut
hingga dapat dipakai untuk meneliti masalah-masalah yang ada. Contohnya,
Edith Stein meneliti filosofi tentang hak asasi manusia yang menggunakan
Universitas Kristen Maranatha
berbagai macam sumber (pengalaman hidup, ilmu bahasa, batasan arti). Dalam
penelitian ini penulis memilih metode Fenomenologi yang digunakan oleh
Martin Heidegger.
Hubungan antara Geisha dan metode penelitian Fenomenologi adalah
penulis mengharapkan keberadaan Geisha di Jepang dapat dilihat sebagai suatu
fenomen yang terjadi di masyarakat Jepang. Fenomena Geisha tersebut dapat
mengundang pendapat negatif dan positif. Dalam hal ini penulis ingin melihat
fenomen Geisha tersebut dilihat secara negatif. Yang disorot hanya yang negatif,
karena setelah melihat data-data yang didapatkan ternyata keberadaan Geisha
dipandang sebagai suatu pekerjaan yang halal meskipun itu bertentangan dengan
norma-norma masyarakat Jepang. Geisha begitu dihormati layaknya artis.
Penulis ingin melihat apakah ada sisi gelap atau negatifnya dari keberadaan
Geisha dan apakah pandangan negatif masyarakat Jepang dari Geisha dan
membuat mereka menentangnya atau menganggap sebagai suatu fenomen biasa
yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Karena setiap masalah yang ada di dunia
ini pasti ada positif dan negatifnya. Dalam penelitian ini melalui metode
penelitian Fenomenologi, penulis berharap dapat menemukan inti dari
permasalahan Geisha tersebut. Penulis memakai metode Fenomenologi Hurssel.
Dalam skripsi ini tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah
studi pustaka, yaitu untuk mendapatkan penjelasan mengenai teori dan metode
1.5 ORGANISASI PENULISAN
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah mengenai referensi film
ち
dan sedikitpenjelasan mengenai Geisha.
1.2. Pembatasan masalah, yaitu Jepang mengenai keberadaan Geisha pada Jaman
Showa yang tercermin dalam film
ち
.1.3. Tujuan penelitian.
1.4. Metode penelitian yang akan dipakai.
1.5. Organisasi Penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Sejarah Geisha pertama kali muncul di Jepang dan asal-usulnya Geisha.
2.2. Penghidupan Geisha
BAB III ANALISIS
Menganalisis keberadaan Geisha pada Jaman Showa dan yang tercermin dalam
Geisha House (
ち
).BAB IV KESIMPULAN
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari bab satu sampai bab tiga.
Universitas Kristen Maranatha
BAB IV
KESIMPULAN
Dalam film Omocha (Geisha House), Geisha pada jaman Showa
memperlihatkan bahwa profesinya itu tidak seperti anggapan orang-orang
awam pada umumnya. Geisha tidak berkaitan dengan prostitusi. Begitu pula
dengan Geisha yang ada di Jepang sekarang.
Geisha merupakan wanita yang mahir dalam bidang seni dalam hal
yang berhubungan dengan dunia seni. Ia mempunyai profesi menghibur
laki-laki yang datang padanya di rumah minum teh atau yang disebut dengan
Ochaya. Geisha biasanya sebelum menjalankan profesinya diminta
kehadirannya ke Okiya melalui telepon. Karena profesi inilah masyarakat
khususnya masyarakat di luar negara Jepang menganggap Geisha sama
dengan pelacur yang menghibur laki-laki dengan berbagai cara seperti
berhubungan seks atau minum-minum bersama. Padahal profesi yang
sebenarnya tidak seperti apa yang dianggap oleh masyarakat Jepang dan
masyarakat di luar Jepang itu.
Geisha dalam melayani laki-laki tamunya tersebut bukan dengan
berhubungan seks tetapi hanya mengobrol biasa sambil minum-minum
layaknya seorang teman. Geisha tidak pernah berhubungan seks dengan
sembarang laki-laki. Geisha hanya mau berhubungan seks dengan Danna
nya atau laki-laki yang bersedia menanggung biaya penghidupannya dengan
menikah Geisha bisa dianggap sebagai istri yang menggantikan peran istri.
Dan bagi laki-laki yang sudah menikah, Geisha hanya melengkapi kebutuhan
suami yang tidak didapati dari istri dan hanya ada di dalam diri Geisha.
Seperti membicarakan hal-hal atau kejadian yang terjadi di kantor yang
riskan untuk diceritakan pada istri, bisa dibicarakan dengan Geisha tanpa
takut kejadian-kejadian tersebar luas itu karena Geisha dituntut untuk
menjaga rahasia setiap laki-laki yang datang padanya
Geisha mempunyai tiga fungsi yaitu pemuas seks bagi Danna atau
penyokong Geisha, teman minum-minum bagi laki-laki yang datang padanya,
dan wanita simpanan bagi Danna. Pemuas seks bagi Danna ini maksudnya
adalah balasan dari Geisha atas sikap Danna yang telah memberinya
penghidupan yang layak dan nyaman dengan memberinya kepuasan seks
secara batiniah dan lahiriah yang mungkin tidak didapati dari istrinya bagi
yang sudah menikah. Teman minum-minum maksudnya adalah Geisha
menjadi teman mengobrol sekaligus minum sake di Ochaya bagi laki-laki
yang memintanya datang. Ia di sana berusaha menghibur dengan nyanyian,
tarian ataupun menceritakan lelucon-lelucon yang lucu dan menjadi teman
untuk tempat curahan hati. Sebagai wanita simpanan, Geisha menjadi wanita
yang mempunyai fungsi yang sama seperti istri dan melengkapi kebutuhan
suami yang tidak didapati dari istrinya. Geisha tidak dinikahi karena itu
merupakan salah satu hukum tradisi Geisha.
Universitas Kristen Maranatha
Dalam film Omocha (Geisha House), Geisha memperlihatkan tiga
fungsi statusnya dengan jelas. Geisha yang bisa menjadi teman
minum-minum, wanita simpanan, dan pemuas seks laki-laki bagi Danna.
Kesimpulannya, Geisha pada jaman Showa yang ada di film Omocha
(Geisha House) dengan Geisha yang ada sekarang mempunyai kesamaan
dalam statusnya. Mereka bekerja sebagai penghibur bagi laki-laki yang
datang padanya sekaligus sebagai wanita simpanan bagi laki-laki yang
membiayai penghidupannya.
DAFTAR PUSTAKA
Gahral Adian, Donny. 2002, Martin Heidegger (terjemahan), Kanisius:
Yogyakarta
Hardiman, F.Budi. 2003, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar
Menuju Sein und Zeit, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia): Jakarta.
Golden, Arthur. 2002, Memoars Seorang Geisha, PT.Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta.
E. Sumaryono. 1999, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Kanisius:
Yogyakarta.
Film Omocha (Geisha House)
Film Secret Life of Geisha
http://id.wikipedia.org/wiki/fenomenologi, 28 Mei 2006
www.phenomenologycenter.org/phenom.htm, 28 Mei 2006
Http://en.wikipedia.org/wiki/Geisha, 2 Juli 2006
www.japan-zone.com, Http://honyaku.yahoo.jp, 2 Juli 2006
www.immortalgeisha.com, 2 Juli 2006
Universitas Kristen Maranatha