(Studi Kasus di Kelur ahan Ngagel Rejo Kecamatan Wonokromo Surabaya)
SKRIPSI
Diajukan Oleh :
Fariech Al Fikkr i 0813010149/FE/EA
Kepada
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL " VETERAN"
J AWA TIMUR
(Studi Kasus Kelur ahan Ngagel Rejo Kecamatan Wonokromo)
Disusun oleh :
Fariech Al Fikkr i 0813010149/FE/AK
telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur pada tanggal 22 Februari 2013
Pembimbing Utama Tim Penguji :
Ketua
Drs. Ec. Eko Riadi, M.Aks Drs. Ec. Eko Riadi, M.Aks
Sekretaris
Dra. Ec. Anik Yuliati, M.Aks
Anggota
Dra. Er ry Andaniwati, M.Aks, Ak
Mengetahui
Dekan Fakultas Ekonomi
Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: ”BEBERAPA
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEBERHASILAN PENERIMAAN
PAJ AK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)” (Studi Kasus Kelur aha n Ngagel Rejo
Kecamatan Wonokr omo Sur abaya)
Penulisan tugas akhir ini merupakan salah satu persyaratan guna memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi, Program studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan
Nasional “ Veteran “ Jawa Timur.
Sebelumnya Saya Mengucapkan Terimakasih Yang Sebesar-besarnya Kepada Bapak
Drs.Ec. Eko Riadi, MAKS selaku Dosen Pembimbing Utama yang penuh perhatian, kesabaran
dan ketelitian yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing serta
mengarahkan penulis untuk menyusun skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dari beberapa pihak, maka akan sulit
sekali penulis untuk dapat menyusun skripsi ini. Pada kesempatan yang baik ini, perkenalkan
penulis dengan segenap kerendahan dan ketulusan hati untuk menyampaikan ucapan terima
kasih kepada seluruh pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
mendukung kelancaran penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dari beberapa pihak, maka akan sulit
sekali penulis untuk dapat menyusun skripsi ini. Pada kesempatan yang baik ini, perkenalkan
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP, selaku Rektor Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Dr. Dhani Ichsanuddin Nur, MM, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Bapak Drs. Ec. Rahman A. Suwaidi, M.Si selaku Wakil Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
4. Bapak Drs.Ec. Hero Priono, MSi, selaku Kepala Program Studi Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
5. Seluruh dosen dan staf Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur, yang telah mendidik penulis selama menjadi mahasiswa.
6. Ayah Saifur, Mama Infiroh, Adek Rafi, Mas Dani dan seluruh keluarga besar. Terima
kasih yang sebesar-besarnya karena telah memberikan kasih sayang, doa, dukungan dan
semangat baik materiil maupun moril sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik.
7. Terima kasih banyak untuk “Nieka Ayu Anggareny Pendit” atas segala dukungan dan
do’anya selama ini.
8. Saudara seperjuangan saya Dedy Purnomo Hadi dan Mochammad Fadel Farid terima
semua.
10.Dan berbagai pihak yang turut membantu demi terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Amin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Surabaya, Februari 2013
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
ABSTRAK ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 7
1.3 Tinjauan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJ AUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Peneliti Terdahulu... 9
2.2 Landasan Teori ... 19
2.2.1 Sumber Penerimaan Daerah... 19
2.2.2 Pajak ... 22
2.2.3 Dasar Teori Pemungutan Pajak ... 26
2.2.4 Pajak Bumi dan Bangunan... 30
2.2.4.1 Sejarah ... 30
2.2.4.7 Subyek Pajak ... 40
2.2.4.8 Tarif Pajak (BAB IV) ... 41
2.2.4.9 Dasar Pengenaan dan
Cara Menhitung Pajak (BAB V) ... 41
2.2.4.10 Tahun Pajak, Saat, dan Tempat
Yang Menentukan Pajak Terutang
(BAB VI) ... 42
2.2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Tingkat Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan ... 43
2.2.5.1 Kesadaran Wajib Pajak Membayar Pajak ... 43
2.2.5.2 Pemahaman Akan Undang-Undang
Perpajakan... 44
2.2.5.3 Kepatuhan Wajib Pajak ... 46
2.2.6 Teori Yang Melandasi Pengaruh Tingkat
Kesadaran Wajib Pajak, Pemahaman Wajib Pajak,
Dan Kepatuhan Wajib Pajak Terhadap
Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan ... 48
2.2.6.1 Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak
Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak
Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan ... 50
2.2.6.3 Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan ... 51
2.2.7 Teori Yang Melandasi Pengaruh Tingkat Kesadaran Wajib Pajak, Pemahaman Wajib Pajak, Dan Kepatuhan Wajib Pajak Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan ... 52
2.3 Diagram Kerangka Pikir ... 53
2.4 Hipotesis ... 54
BAB III METODE PENELITIAN ... 55
3.1 Definisi Operasional Dan Pengukuran Variabel ... 55
3.1.1 Definisi Operasional ... 55
3.1.2 Pengukuran Variabel ... 58
3.2 Sampel, dan Teknik Penarikan Sampel ... 59
3.2.1 Populasi ... 59
3.2.2 Sampel ... 59
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 60
3.4.1.1 Uji Validitas ... 62
3.4.1.2 Uji Reliabilitas ... 62
3.4.2 Uji Normalitas ... 63
3.4.3 Uji Asumsi Klasik ... 64
3.5 Teknik Analisis ... 66
3.6 Uji Hipotesis ... 66
3.6.1 Untuk Pengujian Kecocokan Model ... 66
3.6.2 Uji T ... 67
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 69
4.1 Deskripsi Obyek Penelitian ... 69
4.2 Desklripsi Hasil Penelitian ... 74
4.2.1 Variabel Kesadaran Perpajakan Wajib Pajak (X1) ... 74
4.2.2 Variabel Pemahaman Wajib Pajak (X2)... 75
4.2.3 Variabel Kepatuhan Wajib Pajak (X3) ... 76
4.2.4 Variabel Keberhasilan Penerimaan PBB (Y) ... 77
4.3 Uji Kualitas Data ... 79
4.3.1 Uji Validitas dan Reliabilitas ... 79
4.3.1.1 Variabel Kesadaran Wajib Pajak (X1) ... 79
4.3.2 Uji Normalitas Data ... 81
4.4 Analisis Regresi Linier Berganda ... 82
4.4.1. Analisis Asumsi Klasik ... 82
4.4.2.Persamaan Regresi Linier Berganda ... 84
4.4.3. Uji F ... 85
4.4.4. Uji T ... 87
4.5.Pembahasan Hasil Penelitian ... 88
4.5.1. Perbedaan Dengan Penelitian Terdahulu ... 91
4.5.2. Keterbatasan Penelitian ... 93
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 95
5.1 Kesimpulan... 95
5.2 Saran ... 96
DAFTAR PUSTAKA
BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
TINGKAT KEBERHASILAN PENERIMAAN
PAJ AK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)
(Studi kasus di Kelur ahan Ngagel Rejo Kecamatan Wonokromo Surabaya)
Oleh:
Fariech Al Fikkr i
ABSTRAK
Pajak telah mengalami masa-masa sulit dan gemilang di Negara kita, yang indikasinya terlihat dari persentase penerimaan pajak dalam APBN maupun APBD. Untuk menyesuaikan pajak dengan iklim dan perkembangan yang dilami oleh pajak Negara kita, pemerintah telah melakukan reformasi terhadap perpajakan, baik atas pajak pusat maupun pajak daerah. Dengan semakin pahamnya Wajib Pajak atas ketentuan maupun peraturan perpajakan yang berlaku, maka Wajib Pajak akan lebih sadar dalam memuhi kewajibannya untuk membayar pajak yaitu PBB. Tujuan penelitian untuk menguji secara empiris pengaruh tingkat kesadaran wajib pajak, tingkat pemahaman wajib pajak, serta tingkat kepatuhan wajib pajak terhadap tingkat keberhasilan penerimaan PBB di Kelurahan Ngagel Rejo Kecamatan Wonokromo Surabaya. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak di Kelurahan Ngagel Rejo Kecamatan Wonokromo Surabaya yang berjumlah 4.398 Wajib Pajak.Teknik penentuan ukuran sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Convenience Sampling ditemukan sebanyak 98 responden Wajib Pajak PBB. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda dengan uji hipotesis uji kecocokan model dan uji t. Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa kesadaran wajib pajak (X1) dan Kepatuhan wajib pajak (X3)
berpengaruh terhadap keberhasilan penerimaan PBB (Y), sedangkan pemahaman
wajib pajak (X2) tidak berpengaruh terhadap keberhasilan penerimaan PBB.
Kata Kunci: Kesadaran Wajib Pajak, Pemahaman Wajib Pajak, Kepatuhan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peranan Pemerintah dalam menjalankan Pemerintahan dan
Pembangunan Indonesia yang mempunyai tujuan akhir yaitu menciptakan
suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur, materiil dan spiritual,
pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut
dikumpulkan dari segenap potensi sumber daya yang dimiliki oleh suatu
Negara, baik berupa hasil kekayaan alam maupun iuran dari
masyarakat.(www.jurnalskripsi.com).
Selama ini berlaku anggaran bahwa keberadaan sesuatu Negara
ditopang oleh tiga pilar utama, yakni adanya penduduk, wilayah teritorial
jelas dan adanya pemerintahan yang mendapat pengakuan internasional,
namun masih ada pilar yang keempat yang tak kalah penting, yakni
topangan sistem perpajakan yang berjalan dengan baik, adil dan
bersih.(www.jurnalskripsi.com).
Pajak merupakan suatu fenomena yang menarik dalam kehidupan
masyarakat dan Negara, saat ini pajak bukan lagi merupakan sesuatu yang
paling asing bagi masyarakat Indonesia, sebagian kalangan telah
menempatkan pajak sebagai salah satu kewajiban dalam bernegara, yaitu
merupakan sarana untuk ikut berpartisipasi dalam membantu pelaksanaan
semakin banyaknya jumlah Wajib Pajak, demikian juga keikutsertaan
masyarakat dari berbagai kalangan apabila ada penyelenggaraan kegiatan
mengenai perpajakan.
Sejarah Pemungutan pajak telah ada sejak jaman nenek moyang yang
dikenal dengan upeti, yaitu pemberian hasil bumi kepada raja sebagai tanda
bakti rakyat kepada Raja, hal inilah yang kemudian melatarbelakangi adanya
pemungutan pajak. Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan,
tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam
memelihara kepentingan Negara, seperti menjaga keamanan Negara,
menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai, dan lain
sebagainya.(Gardina dan Haryanto, 2006 : 10).
Pemerintah berusaha keras untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
dalam membayar pajak, apalagi dalam kondisi politik Indonesia pada saat
ini terutama pada saat terjadinya kenaikan BBM akan sangat berdampak
besar pada Perekonomian Indonesia, tidak stabilnya situasi dan kondisi
perekonomian Indonesia menyebabkan pendapatan pemerintah berkurang,
oleh karena itu pemerintah berusaha meningkatkan peranan Sumber
Penerimaan Negara terutama berasal dari Non Migas dan penerimaan ini
sebagian akan ditingkatkan melalui penerimaan dari Sektor Pajak. Pajak
sebagai iuran wajib pajak yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintahnya,
selain Pajak Pendapatan dan Pajak Penghasilan maka Pajak Bumi dan
Bangunan atau PBB juga memberikan peranan penting dalam Sumber
Pajak telah mengalami masa-masa sulit dan gemilang di Negara kita,
yang indikasinya terlihat dari presentase penerimaan pajak dalam APBN
maupun APBD, untuk menyesuaikan pajak dengan iklim dan perkembangan
yang dialami oleh Negara kita, pemerintah telah melakukan reformasi
terhadap perpajakan, baik atas pajak pusat/ nasional maupun pajak daerah.
Reformasi pajak diupayakan untuk dapat meningkatkan kepatuhan wajib
pajak dalam membayar pajak, disamping itu juga sebagai reposisi pajak
sebagai sumber penerimaan, baik itu penerimaan pusat (APBN) maupun
untuk daerah (APBD) (Pandiangan, 2002 : 11).
Pada Official Assesment System, petugas pajak berkewajiban
menetapkan berapa besar sesungguhnya pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak (WP), sedangkan pada Self Assesment System, WP berkewajiban
menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah
pajak yang terutang. Walaupun berbeda, kedua sistem penetapan pajak
tersebut dalam praktiknya tetap memerlukan pengawasan dari pihak
pemerintah dalam bentuk pemeriksaan untuk menguji kepatuhan WP dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya (Sofyan, 2003 : 30).
Ditinjau dari fungsinya, pajak dibedakan menjadi dua fungsi yaitu
fungsi budgetair (sumber penerimaan Negara) dan fungsi regulerend
(mengatur). Fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber
penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun
pembangunan, sedangkan fungsi regulerend, artinya pajak sebagai alat
sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang
keuangan. Kedua fungsi ini, pada dasarnya pemerintah ingin kembali
menegaskan peranan penting pajak baik sebagai alat penerimaan Negara
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maupun sebagai alat untuk
melaksanakan berbagai kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. (Siti Resmi,
2007 :3).
Tujuan Pemerintah dalam melakukan perubahan kebijakan di bidang
perpajakan tentunya guna meningkatkan pemasukan pajak kas Negara dan
menunjang peningkatkan pertumbuhan perekonomian. Kebijakan tersebut
(peraturan perundang-undangan perpajakan) seharusnya mengatur sistem
perpajakan secara menyeluruh yang sejalan dengan perkembangan
perekonomian saat ini dan di masa yang akan datang. Pemerintah dalam
menjalankan fungsi pajak (budgetair dan regulerend) salah satunya tentu
saja membutuhkan system penetapan pajak yang efisien, fleksibel, dan
terintegrasi dengan system subsistem secara internal dan system yang lain
secara eksternal (dengan peradilan pajak) dalam menunjang kebijakan
pendapatan Negara (fiscal policy). (Sofyan, 2003 : 29).
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak property di Indonesia
sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994. Pajak
Bumi dan Bangunan sebagai pajak obyektif, yaitu pajak Negara yang
sebagian besar penerimanya merupakan pendapatan daerah yang antara lain
dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh
pemerintah pusat juga membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. ( Suhardito dan Sudibyo , 1999:3 ).
Meskipun Pajak Bumi dan Bangunan memiliki nilai rupiah kecil
dibandingkan dengan pajak pusat lainnya, tetapi memiliki dampak luas
sebab hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dikembalikan untuk
pembangunan daerah yang bersangkutan. Pada dasarnya, Pajak Bumi dan
Bangunan merupakan Wajib Pajak terbesar dibandingkan pajak-pajak
lainnya dan merupakan satu-satunya pajak property di Indonesia yang
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Tabel 1. Data Penerimaan PBB di Kelur ahan Ngagel Rejo, Surabaya
s/d Tanggal 20 September 2012
No. Tahun Pokok Ketetapan
PBB (Rp)
Realisasi Penerimaan
PBB (Rp)
Prosentase
(%) Jumlah WP
1 2008 1.446.509.710 1.329.283.716 91,90 6.057
2 2009 1.695.271.665 1.533.271.625 90,44 5.946
3 2010 1.782.955.626 1.604.427.517 89,99 5.916
4 2011 1.740.371.535 1.482.069.213 85,16 5.504
5 2012 1.952.638.885 957.873.325 49,06 4.398
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa prosentase realisasi
penerimaan PBB tahun 2011 mengalami penurunan yang cukup signifikan
di bandingkan tahun 2009 dan tahun 2010. Dimana Prosentase Realisasi
penerimaan tertinggi adalah 91,90% pada tahun 2008 s/d tanggal 20
september 2012. Sedangkan prosentase realisasi penerimaan PBB terendah
adalah 85,16% pada tahun 2011 s/d tanggal 20 september 2012. Potensi
penerimaan PBB dan Realisasi penerimaan PBB di kota Surabaya khusunya
Kelurahan Ngagel Rejo tidak stabil atau mengalami fluktuasi. Hal ini berarti
ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan
penerimaan PBB di Kelurahan Ngagel Rejo Kecamatan Wonokromo
Surabaya.
Penyebab dari menurunnya tingkat nilai penerimaan PBB tersebut
adalah kemungkinan adanya keanekaragaman tingkat pendidikan di dalam
masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh oleh Wajib
Pajak, maka semakin baik pemahaman mengenai ketentuan pajak yaitu
PBB. Begitu juga sebaliknya.
Dengan semakin pahamnya Wajib Pajak atas ketentuan maupun
peraturan perpajakan yang berlaku, maka Wajib Pajak akan lebih sadar
dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak yaitu PBB. Selain
pemahaman dan kesadaran yang dimiliki Wajib Pajak mengenai perpajakan,
kepatuhan Wajib Pajak juga harus diperhatikan oleh segenap instansi yaitu
Kantor Pelayanan Pajak Wilayah Surabaya dalam proses pembayaran atau
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka perlu diperhatikan
kesadaran Wajib Pajak, pemahaman perpajakan Wajib Pajak, serta
kepatuhan Wajib Pajak yang berpengaruh terhadap realisasi penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ). Dalam penelitian ini akan melihat
pengaruh dari Kesadaran Wajib Pajak, Pemahaman Wajib Pajak, serta
Kepatuhan Wajib Pajak terhadap keberhasilan penerimaan PBB.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka akan dilakukan
penelitian dengan judul “Beberapa Faktor Yang Mempengar uhi Tingkat
Keberhasilan Pener imaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) (Studi
Kasus di Wilayah Kelur ahan Ngagel Rejo Kecamatan Wonokromo
Sur abaya).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
Apakah Tingkat kesadaran Wajib Pajak, Tingkat pemahaman Wajib Pajak ,
serta Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh terhadap keberhasilan
Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kelurahan Ngagel Rejo
Kecamatan Wonokromo Surabaya.
1.3Tujuan Penelitian
Untuk menguji secara empiris pengaruh tingkat kesadaran wajib
terhadap keberhasilan Penerimaan PBB di Kelurahan Ngagel Rejo
Kecamatan Wonokromo Surabaya.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian antara lain dapat memberikan masukan bagi
beberapa pihak, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Bagi Direktorat Jendral Pajak dan Wajib Pajak Kota Surabaya
1. Dapat memberikan tambahan informasi tentang indikator-indikator
yang mempengaruhi keberhasilan Pajak Bumi dan Bangunan.
Khususnya adalah bagaimana kesadaran Wajib Pajak, pemahaman
Wajib Pajak serta Kepatuhan Wajib Pajak.
2. Memberikan dasar yang kuat bahwa tekanan-tekanan, sanksi-sanksi,
dan pemahaman yang diberikan oleh pemerintah pada Wajib Pajak
mutlak diperlukan dalam rangka untuk meningkatkan penerimaan
pajak melalui peningkatan kepatuhan Wajib Pajak.
b. Bagi Universitas
Penelitian ini bermanfaat untuk tambahan referensi perkuliahan serta
sebagai tambahan perpustakaan yang sudah ada.
c. Bagi Peneliti
Sebagai Sarana untuk menerapkan dan mengaplikasikan teori-teori yang
telah diperoleh selama masa studi dan untuk memperoleh pengalaman
BAB II
TINJ AUAN PUSTAKA
2.1 Peneliti Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian
sekarang adalah sebagai berikut :
1. Suhardito dan Sudibyo ( 1999 )
a. Judul
Pengaruh Faktor-Faktor yang Melekat Pada Wajib Pajak Terhadap
Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
b. Perumusan Masalah
1. Apakah faktor-faktor yang melekat pada WP berpengaruh
terhadap keberhasilan penerimaan PBB di Sidoarjo
2. Apakah faktor-faktor yang melekat pada WP Wiraswasta
berpengaruh terhadap keberhasilan penerimaan PBB di Sidoarjo
3. Apakah faktor-faktor yang melekat pada WP Nir-Wiraswasta
berpengaruh terhadap keberhasilan penerimaan PBB di Sidoarjo
c. Hipotesis
1. Diduga faktor-faktor yang melekat pada WP berpengaruh pada
2. Diduga faktor-faktor yang melekat pada WP Wiraswasta
berpengaruh terhadap keberhasilan penerimaan PBB di Sidoarjo
3. Diduga faktor-faktor yang melekat pada WP Nir Wiraswasta
berpengaruh terhadap keberhasilan penerimaan PBB di Sidoarjo
d. Kesimpulan
1. Faktor-faktor yang telah terbukti berpengaruh terhadap
keberhasilan penerimaan PBB di Sidoarjo adalah faktor-faktor
kesadaran perjakan WP, rasio beban PBB dibandingkan
pendapatan WP, sikap WP terhadap prioritas pembangunan
pemerintah , dan tax avoidance WP.
2. Untuk WP PBB Wiraswasta, faktor-faktor kesadaran perpajakan
WP, rasio beban PBB dibandingkan pendapatan WP, sikap WP
terhadap prioritas pembangunan pemerintah, dan tax avoidance
WP.
3. Untuk WP PBB Nir-Wiraswasta, faktor-faktor kesadaran
perpajakan WP, rasio beban PBB dibandingkan pendapatan WP,
rasio beda hitung permanen difference, sikap WP terhadap
prioritas pembangunan pemerintah, persepsi WP tentang
pelaksanaan sanksi denda PBB, tax avoidance WP, pendidikan,
2. Sur yadi ( 2006 )
a. Judul
Model Hubungan Kausal Kesadaran, Pelayanan, Kepatuhan Wajib
Pajak dan Pengaruhnya terhadap Kinerja Penerimaan Pajak: Suatu
survei di Wilayah Jawa Timur.
b. Perumusan Masalah
Apakah Hubungan Kausal Kesadaran, Pelayanan, Kepatuhan Wajib
Pajak dan Pengaruhnya terhadap Kinerja Penerimaan Pajak: Suatu
Survei di Wilayah Jawa Timur.
c. Hipotesis
1. Ada pengaruh positif signifikan kesadaran wajib pajak terhadap
kinerja penerimaan pajak.
2. Ada pengaruh positif signifikan pelayanan perpajakan terhadap
kinerja penerimaan pajak.
3. Ada pengaruh positif signifikan kepatuhan wajib pajak terhadap
kinerja penerimaan pajak.
4. Terdapat perbedaan kesadaran antara kelompok WP besar
dengan WP kecil dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
5. Terdapat perbedaan kepatuhan antara kelompok WP besar
d. Kesimpulan
1. Kesadaran Wajib Pajak dan pelayanan Wajib Pajak tidak
berpengaruh signifikan terhadap kinerja penerimaan pajak
2. Kepatuhan Wajib Pajak memiliki pengaruh besar terhadap
kinerja penerimaan pajak
3. Wulandar i ( 2006 )
a. Judul
Pengaruh Tekanan Sosial, Persepsi Sanksi, dan Pemahaman, Wajib
Pajak akan Undang-undang Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib
Pajak.
b. Perumusan Masalah
1. Apakah tekanan sosial, persepsi tentang sanksi, dan pemahaman
WP akan Undang-undang Perpajakan mempunyai pengaruh
secara simultan terhadap kepatuhan WP?
2. Apakah tekanan sosial, persepsi tentang sanksi, dan pemahaman
WP akan Undang-undang Perpajakan mempunyai pengaruh
c. Hipotesis
Diduga tekanan sosial, persepsi sanksi dan pemahaman WP akan
Undang-undang Perpajakan berpegaruh terhadap kepatuhan WP.
d. Kesimpulan
Berdasarkan hipotesis bahwa tekanan sosial, persepsi tentang
sanksi, dan pemahaman WP mempunyai pengaruh terhadap,
kepatuhan WP, teruji kebenarannya.
4. Wiraswati ( 2008 )
a) Judul
Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Keberhasilan
Penerimaan PBB di Kelurahan Kecamatan Mejoroto Kediri.
b) Perumusan Masalah
Apakah Pemahaman Wajib Pajak, Tingkat Kemampuan Wajib Pajak,
Kesadaran Wajib Pajak, dan Sistem Pemungutan berpengaruh
terhadap keberhasilan penerimaan PBB di kelurahan Dermo
kecamatan Mejoroto Kediri.
c) Hipotesis
Diduga bahwa Pemahaman Wajib Pajak, Tingkat Kemampuan Wajib
Pajak, Kesadaran Wajib Pajak, dan Sistem Pemungutan berpengaruh
terhadap keberhasilan penerimaan PBB di kelurahan Dermo
d) Kesimpulan
1. Pemahaman Wajib Pajak, Tingkat Kemampuan Wajib Pajak,
Kesadaran Wajib Pajak, dan Sistem Pemungutan berpengaruh
terhadap keberhasilan penerimaan PBB teruji kebenarannya.
2. Tingkat kemampuan WP mempengaruhi paling Dominan
terhadap keberhasilan peneriman PBB.
5. Medhani ( 2009 )
a. Judul
Pengaruh Pemahaman Wajib Pajak, Kesadaran Perpajakan Wajib
Pajak, dan Kepatuhan Wajib Pajak Terhadap Keberhasilan
Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan.
b. Perumusan Masalah
Apakah Tingkat Pemahaman Wajib pajak, Tingkat Kesadaran
Perpajakan Wajib Pajak, dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak
berpengaruh Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan di Kecamatan Kutisari Tenggilis Mejoyo Surabaya.
c. Hipotesis
Diduga Tingkat Pemahaman Wajib pajak, Tingkat Kesadaran
Perpajakan Wajib Pajak, dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak
berpengaruh Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi dan
d. Kesimpulan
Berdasarkan Hipotesis Tingkat Pemahaman Wajib pajak, Tingkat
Kesadaran Perpajakan Wajib Pajak, dan Tingkat Kepatuhan Wajib
Pajak berpengaruh Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan di Kecamatan Kutisari Tenggilis Mejoyo Surabaya
Teruji kebenarannya.
Berdasarkan dari penelitian sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa persamaan dalam penelitian yang dilakukan
sekarang ini dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama
membahas mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan teknik
analisis data yang digunakan. Namun yang membedakan adalah
terletak pada waktu penelitian dan objek yang diteliti. Objek
Penelitiannya adalah Wajib Pajak rumahan yang merupakan warga
dari Kelurahan Krembung Kecamatan Krembung, sehingga
penelitian yang dilakukan sekarang ini bukan merupakan duplikasi
6 Fariech Al
Berdasarkan Tabel diatas, Penelitian yang terdahulu memiliki
Persamaan dengan penelitian sekarang yaitu pada penggunaan Independent
Variabel ( Variabel Bebas ) yaitu Kesadaran Wajib Pajak (X1),
Pemahaman Wajib Pajak ( X2) , dan Kepatuhan Wajib Pajak (X3).
Sedangkan perbedaan dalam penelitian ini adalah Pada Objek
Landasan Teori
2.2.1 Sumber Penerimaan Daerah
Untuk mendukung penyelenggaran otonomi daerah diperlukan
kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab di daerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan Pemerintah dan Daerah.Sumber pembiayaan pemerintah daerah
dalam rangka perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonstruksi, dan tugas
pembantuan (Kansil, 2001:6).
Dengan pemberian wewenang yang luas, nyata dan
bertanggungjawab dalam bidang keuangan kepada pemerintah daerah oleh
pemerintah pusat diharapkan pemerintah daerah mampu mengatur dan
mengelola sendiri keuangan dan anggarannya secara efektif dan efisien
serta mampu mengambil keputusan dengan tepat untuk setiap aktivitas
rumah tangganya yang akan dilakukan sehingga dapat mewujudkan suatu
kehidupan masyarakat yang sejahtera. Dengan demikian maka APBD
harus dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan
potensi dan keanekaragaman daerah (Nirzaman dalam Halim,2004:74)
Sesuai dengan ketentuan UU No 25 tahun 1999, sumber-sumber
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD):
Yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan
yang diperoleh dari daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya
sendiri dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku terdiri dari:
1. Pendapatan Asli Daerah
2. Hasil pajak daerah
3. Hasil retribusi daerah
4. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan
daerah lainnya yang dipisahkan.
5. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah
2. Dana Perimbangan yang terdiri dari
a. Bagian daerah dari perimbangan meliputi:
1. Pajak Bumi dan Bangunan
2. Bea perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
3. Sumber Daya Alam (SDA)
b. Dana Alokasi Umum (DAU)
c. Dana Alokasi Khusus (DAK)
e. Lain-lain penerimaan yang sah
Lain-lain penerimaan yang sah antara lain, hibah, Dana darurat,
dan penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sumber keuangan yang baru berdasarkan UU No 25 tahun 1999
adalah Dana Perimbangan. Dana Perimbangan yang terdiri dari tiga jenis
sumber dana, merupakan sumber pembiayaan pelaksanaan Desentralisasi
yang aplikasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, mengingat
tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan
melengkapi (Kansil, 2001: 13).
Penerimaan Negara yang berasal dari PBB dibagikan dengan
imbangan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk daerah. Penerimaan
Negara dari Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan
imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah. Penerimaan
Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan
umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbalan 20% untuk pemerintah
pusat dan 80% untuk daerah ( Kansil, 2001 :14).
Dana Alokasi Umum dimaksudkan menjaga pemerataan dan
perimbangan keuangan antar daerah, sedangkan Dana Alokasi Khusus
dialokasikan untuk membantu pembiayaan tertentu, yaitu merupakan
program nasional atau program kegiatan yang tidak terdapat di daerah lain
Berdasarkan Undang-Undang No.25 Tahun 1999 Pemerintah Daerah
dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri atau sumber luar
negeri dengan persetujuan Pemerintah Pusat untuk membiayai sebagian
anggarannya. Pinjaman dalam negeri dapat bersumber dari pemerintah
pusat dan atau lembaga komersial, atau melalui penerbitan obligasi daerah.
Pinjaman luar negeri dimungkinkan dilakukan daerah, namun
mekanismenya harus melalui pemerintah pusat. Ketentuan mengenai
pinjaman daerah selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 107
Tahun 2000 tentang pinjaman daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diterapkan
dengan peraturan daerah paling lambat satu bulan setelah Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah ditetapkan dengan peraturan daerah
selambat-lambatnya tiga bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran. Perhitungan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan peraturan
daerah paling lambat tiga bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang
bersangkutan.
2.2.2 Pajak
Ditinjau dari sejarahnya, masalah pajak sudah ada sejak zaman
dahulu. Walaupun pada saat itu belum dinamakan “Pajak” namun masih
merupakan pemberian yang bersifat sukarela dari rakyat kepada rajanya.
pemberiannya dipaksakan dalam artinya bahwa pemberian itu bersifat
“wajib” dan ditetapkan secara sepihak oleh Negara.
Menurut Suandy ( 2005: 7-8 ) pengertian definisi pajak dari
beberapa sarjana yang dimuat secara kronologis adalah sebagai berikut:
1. Francis, termuat dalam buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de
lascience des afainances, 1996 (terjemahan) “Pajak adalah bantuan,
baik yang secara maupun yang tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan
publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja
pemerintah.”
2. Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919), (terjemahan) “
Pajak adalah bantuan uang secara insindental atau secara periodik (
dengan tidak ada kontrasepsinya), yang dipungut oleh badan yang
bersifat umum (Negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana
terjadi suatu Tatbestand (sasaran pemajakan), yang karena
undang-undang telah menimbulkan utang pajak”
3. Smeets dalam bukunya De Economische Beteker is der Belastungen,
1951, adalah : (terjemahan) “ Pajak adalah prestasi kepada pemerintah
yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat
dipaksakan, tanpa adanya kontrasepsi yang dapat ditunjukkan dalam
hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran
4. Feldmann, dalam bukunya De Overheidsmiddelen van Indonesia,
Leiden, 1949, adalah (terjemahan) “Pajak adalah prestasi yang
dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada ( menurut norma-norma
yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontrasepsi, dan
semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.”
5. Edwin R.A. Seligman dalam Assays Taxation, (New York, 1925),
berbunyi : (terjemahan) adanya kontribusi seseorang yang ditujukan
kepada Negara tanpa adanya manfaat yang ditujukan secara khusus
pada seseorang. Banyak terdengar keberatan atas kalimat “without
reference” karena bagaimana juga uang-uang pajak tersebut
digunakan untuk produksi barang dan jasa, jadi benefit diberikan
masyarakat, hanya tidak mudah ditujukan, apalagi secara
DerOranzam
6. Philip E. Taylor dalam bukunya The Economic of Public Finance,
1984, memberikan batasan pajak seperti diatas hanya mengenai
“Without reference” menjadi “With little reference”.
7. Soeparman Soemahamidjaja dalam desertasinya yang berjudul “Pajak
Berdasarkan Asas Gotong Royong”, Universitas Padjajaran, Bandung,
1964: “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang
dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna
menutup biaya produksi barang barang dan jasa-jasa kolektif dalam
8. Rochmat Soemitro, dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pajak dan
Pajak Pendapatan adalah sebagai berikut: “Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (kontrasepsi),
yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dapat digunakan untuk
membayar pengeluaran umum”.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri
yang melekat pada pengertian pajak (Waluyo dan Ilyas, 2002: 5-6) adalah:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang
bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk
membiayai public investment.
5. Pajak adalah dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu
2.2.3 Dasar Teori Pemungutan Pajak
Pemahaman akan teori pemungutan pajak berikut ini diharapakan
membawa suatu kesadaran akan pentingnya pemungutan pajak bukan lagi
menjadi beban semata, tetapi menjadi suatu kewajiban yang
menyenangkan dalam hidup bermasyarakat, (Mardiasmo, 2003: 3-4),
beberapa landasan yang menjadi dasar pembenaran pemungutan pajak
(Tjahjono dan Husein, 2005:18) adalah:
1. Teori Asuransi
Pajak yang dibayarkan oleh masyarakat kepada Negara
dianalogikan seperti pembayaran premi asuransi. Pembayaran premi
asuransi ini dilakukan karena Negara bertugas melindungi rakyat dan
harta bendanya. Perbedaan yang utama adalah dalam asuransi jika
terjadi musibah akan menerima ganti rugi, tetapi dalam pajak. Negara
tidak akan memberikan ganti rugi bilamana rakyat mengalami musibah.
2. Teori Kepentingan
Teori ini dalam ajaran yang semula, hanya memperhatikan
pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya.
Pembagian beban harus didasarkan atas kepentingan masing-masing
dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk
juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya.
Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
3. Teori Gaya Pikul
Dasar teori yang digunakan adalah keadilan yaitu setiap orang
harus dikenakan pajak yang sama beratnya. Namun demikian besarnya
pemungutan pajak didasarkan berdasarkan gaya pikul adalah besarnya
penerimaan yang diterima dan pengeluaran yang dilakukan.
4. Teori Kewajiban Mutlak (Teori Bakti)
Mengajarkan Teori mendasarkan pada pemahaman Organische
Staatsleer, mengajarkan bahwa karena sifat Negara sebagai suatu
perkumpulan dari individu-individu maka timbul hak mutlak Negara
untuk memungut pajak. Dari sudut pandang rakyat, membayar pajak
kepada negara merupakan bukti rasa baktinya rakyat atau kepada warga
Negara.
5. Teori Asas Daya Beli
Menurut teori ini maka fungsi pemungutan pajak jika dipandang
sebagai gejala dalam masyarat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu
mengambil gaya beli dari rumah tangga rumah tangga dalam
masyarakat untuk rumah tangga Negara, dan kemudian
menyalurkannya kembali ke masyarakat dan untuk membawa kearah
tertentu.
Asas-asas pemungutan sebagaimana dikemukakan oleh Adam
Smith dalam buku An Inquiry the Nature and Cause of the Wealth of
1. Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan
kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kempuan
membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang
diterima.
Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak menyumbangkan uang
untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan
manfaat yang diminta.
2. Certainty
Penetapan pajak tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena
itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak
terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.
3. Convenience
Kapan Wajib Pajak harus membayar pajak sebaiknya harus sesuai
dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak, sebagai contoh
pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan
4. Economy
Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan
kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin,
demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak.
Menurut Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave dalam
buku Public Finance in Theory and Practice terdapat dua macam
asas keadilan dalam keadilan pemungutan pajak yaitu:
1. Benefit Principle
Dalam sistem perpajakan yang adil setiap Wajib Pajak harus
membayar sejalan dengan manfaat dinikmatinya dari pemerintah.
Pendekatan ini disebut Revenue and Expenditure Approach.
2. Ability Principle
Dalam pendekatan disarankan agar pajak dibebankan kepada Wajib
Pajak atas dasar kemampuan membayar.
Masalah keadilan dalam pemungutan pajak, dibedakan secara lain dalam:
1. Keadilan Horizontal
Pemungutan pajak adil secara horizontal apabila beban pajaknya atas
semua Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan yang sama dengan
jumlah tanggungan yang sama, tanpa membedakan jenis penghasilan
2. Keadilan Vertikal
Keadilan dapat dirumuskan (Horizontal dan Vertikal) bahwa
pemungutan pajak adil, apabila orang dalam kondisi ekonomi yang
sama dikenakan pajak yang sama, demikian sebaliknya.
2.2.4 Pajak Bumi dan Bangunan
2.2.4.1 Sejar ah
Menurut Pudyatmoko (2002: 31-33), pengenaan pajak terhadap
tanah atau sesuatu yang berhubungan dengan tanah sudah ada sejak
jaman kolonial. Seperti Contingenten dan Verplichte Laverantieen yang
lebih dikenal dengan nama Tanam Paksa, yang seperti diketahui
menimbulkan perang jawa pada tahun 1825-1830. Kemudian oleh
Gubernur Jendral Raffles, pajak atas tanah tersebut disebut Landrent
yang arti sebenarnya sewa tanah.
Setelah penjajahan Inggris berakhir maka kemudian Indonesia
dijajah kembali oleh Belanda, pajak tersebut kemudian diganti nama
menjadi Landrente dengan sistem atau cara pengenaan yang sama.
Untuk penertiban pemungutannya, menurut Munawir (1985 : 297),
maka pemerintah Belanda mengadakan pemetaan desa untuk keperluan
klasiran dan pengukuran tanah milik perorangan yang disebut rincikan.
Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian
Pada jaman penjajahan Jepang namanya diganti dengan Pajak
Tanah, dan setelah Indonesia merdeka namanya diubah menjadi Pajak
Bumi. Kemudian istilah pajak Bumi ini diubah menjadi Pajak Hasil
Bumi. Yang dikenakan pajak tidak lagi nilai tanah, melainkan hasil
yang keluar dari tanah, sehingga timbul frustasi, karena hasil yang
keluar dari tanah merupakan objek dari pajak penghasilan, pada saat itu
namanya pajak Peralihan. Oleh karena itu, Pajak Hasil Bumi ini
dihapuskan pada tahun 1952 sampai tahun 1959. Rupanya pemerintah
menyiasati kekeliruannya, sehingga sejak tahun 1959 dipungut lagi
Pajak Hasil Bumi atas nilai tanah, bukan atas hasil yang keluar dari
tanah dan bangunan, dengan mendasarkan pada Undang-undang No. 11
Prp 1959, yang dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1961 telah
ditetapkan menjadi Undang-undang.
Undang-undang ini semula hanya mengatur pungutan pajak atas
tanah adat, tanah yang dimiliki atau dikuasain oleh orang-orang
Indonesia asli, tidak termasuk tanah hak barat tersebut diatur
berdasarkan ordonansi/Undang-undang Verponding Indonesia Tahun
1923 dan Ordonansi Verponding Tahun 1928. Tetapi kemudian tahun
1960 dikeluarkan Undang-undang No.5 Tahun 1960 yang
mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di
Indonesia. Hal ini dipertegas lagi dengan Keputusan Presiden Kabinet
tanggal 10 Februari tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967.
Bumi oleh karenanya harus ditafsirkan bahwa semua tanah di Indonesia
dipungut Pajak Hasil Bumi, termasuk tanah-tanah yang diatur dalam
Ordonansi Verponding Indonesia Tahun 1923 dan Verponding 1928.
Dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada Pemerintah
Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian namanya diubah menjadi IPEDA
(Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Iuran Negara No.PM PPU 1-1-3 Tanggal 29 November 1965 yang
berlaku mulai 1 November 1965. Pada saat yang bersamaan juga ada
pajak-pajak lain yang berkaitan dengan tanah atau bangunan, seperti
misalnya Inlands Verponding. Hal tersebut terjadi karena sekalipun
IPEDA dimaksudkan untuk menghapuskan Verponding, Inlands
Verponding dan Pajak Hasil Bumi. Di samping itu masing-masing
daerah dapat mengubah peraturan IPEDA.
Oleh karena itu terjadi pengaturan yang tidak seragam, serta
tumpang tindih. Berangkat dari kondisi yang demikian itulah maka
kemudian dikeluarkan Undang-undang Tentang Pajak Bumi dan
Bangunan, yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang mulai
berlaku sejak tanggal 1Januari 1986.
2.2.4.2 Umum
Menurut uraian Rusjdi (2008:3-4), Pajak Bumi dan Bangunan
adalah pajak baru yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986
1994 yang mulai berlaku terhitung 1 Januari 1995. Pajak ini
dimaksudkan untuk menggantikan peraturan-peraturan pajak seperti
tersebut dibawah ini :
1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 (Personel Pelasting
Ordonantie 1908, Staatsblad tahun 1908 Nomor 13), sebagaimana
telah beberapa kali diubah berakhir dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959, yang dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan menjadi
Undang-undang.
2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923 (Indlandsche Verponding
Ordinantie 1923, Staatsblad tahun 1923 Nomor 425) sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Algemeene
Verodeningen Binnenlandsche Bestuur Java en Madnera
(Staatsblad 1931 Nomor 168).
3. Ordonansi Verponding 1928 (Verponding Ordonantie 1928,
Staatsblad tahun 1928 Nomor 342) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959.
4. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Ordonantie op De Vermogens
Belasting 1932, Staatblad Tahun 1932 Nomor 405) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 8 Tahun
5. Ordonansi Pajak Jalan 1942 (Weggled Ordonantie 1942, Staatsbalad
Tahun 1941 Nomor 97) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Algemeene Verordening Oorlogsmisdnjven
(Staatsblad 1946 no 47).
6. Pasal 14 huruf j, k, dan l, Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun
1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, yang dengan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan menjadi
Undang-undang.
7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1957 tentang Pajak Hasil Bumi ysng dengan UU Nomor 1 Tahun
1961 telah ditetapkan menjadi Undang-undang.
Dari apa yang telah diuraikan diatas jelas kiranya bahwa Pajak
Bumi dan Bangunan bermaksud untuk menyederhanakan berbagai
Peraturan Pajak yang sampai sekarang masih berlaku dan menimbulkan
banyak kesalahpahaman, karena pajak itu oleh rakyat dirasa
menimbulkan pajak ganda.
Menurut Resmi (2004:611-612), mengemukakan pengertian Pajak
Bumi dan Bangunan sebagaimana termuat dalam pasal 1 UU No 12.
Tahun 1985 sebagaiman telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994
adalah sebagai berikut:
1. Bumi, yang dimaksud dengan Bumi adalah permukaan bumi dan
dan perairan padalam (termasuk rawa, tambak perairan) serta laut
wilayah Republik Indonesia.
2. Bangunan, yang dimaksud dengan Bangunan adalah Konstriksi
teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan
atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha, dan tempat yang
diusahakan.
Adapun prinsip pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah untuk
menjamin kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan serta ditunjang
oleh sistem administrasi perpajakan yang memudahkan wajib pajak
dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajaknya (Tjahjono dan
Husein, 2005:438).
2.2.4.3 Maksud dan Tujuan
Sementara itu menurut Soemitro (1990: 4), hal-hal yang dijadikan
alasan untuk dipungutnya Pajak Bumi dan Bangunan adalah:
1. Dasar falsafah yang digunakan dalam berbagai Undang-Undang
yang berasal dari zaman kolonial adalah tidak sesuai dengan
Pancasila.
2. Berbagai Undang-Undang mengenakan pajak atas harta tak gerak
sehingga membingungkan masyarakat.
3. Undang-Undang yang berasal dari zaman kolonial sukar dimengerti
4. Undang-Undang zaman kolonial tidak lagi sesuai dengan aspirasi
dan kepribadian bangsa Indonesia.
5. Undang-Undang yang lama tidak lagi sesuai dengan pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
6. Undang-Undang yang lama memberi kepastian hukum.
Selanjutnya, yang menjadi tujuan Pajak Bumi dan Bangunan
menurut Soemitro (1990:4) adalah :
1. Menyederhanakan peraturan perundang-undangan pajak sehingga
mudah dimengerti oleh rakyat.
2. Memberi dasar yang kuat pada pungutan pajak atas harta tak
bergerak dan menyerasikan atas harta tak gerak di semua daerah dan
menghilangkan simpang siur.
3. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, sehingga rakyat
tahu sejauh mana hak dan kewajibannya.
4. Menghilangkan pajak ganda yang terjadi sebagai akibat
Undang-Undang pajak yang sifatnya aman.
5. Memberikan penghasilan kepada daerah yang sangat diperlukan
untuk menegakkan otonomi daerah dan pembangunan daerah.
Sebagaimana diketahui Pajak Bumi dan Bangunan adalah
merupakan pajak pusat, akan tetapi hasil terbesar dari pajak ini
dikembalikan kepada daerah dan menjadi pemasukan daerah. Oleh
karena itu, pajak ini sangat penting keberadaannya untuk mendukung
keuangan daerah.
Mengingat Pajak Bumi dan Bangunan menyentuh dan melibatkan
masyarakat dari berbagai lapisan maka adanya ketentuan yang mudah
dimengerti, sederhana dan jelas sangat diperlukan.
2.2.4.4 Sifat Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta
tak bergerak yang dipentingkan adalah obyeknya. Oleh karena itu
keadaan atau status orang atau badan yang dijadikan subyek tidak
penting dan tidak mempengaruhi besarnya pajak yang obyektif.
Walaupun pajak ini merupakan pajak yang obyektif tetapi dipungut
dengan surat ketetapan Pajak yang pada prinsipnya setiap tahun
dikeluarkan (Soemitro dalam Pudyatmoko,2002:5).
2.2.4.5 Ketentuan Umum
Pasal 1 (Kompilasi Undang-undang Perpajakan Terlengkap, 2005 : 251)
a. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada
dibawahnya.
b. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
c. Nilai Jual Obyek Pajak tanah adalah harga rata-rata yang diperoleh
dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana
tidak terdapat transaksi jual beli, nilai jual obyek pajak ditentukan
melalui perbandingan harga dengan obyek yang lain yang sejenis
atau perolehan baru atau nilai jual Obyek pajak pengganti.
d. Surat Pemberitahuan Obyek pajak adalah surat yang dipergunakan
oleh Wajib pajak untuk melaporkan data obyek pajak menurut
ketentuan Undang-Undang.
e. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang adalah surat yang digunakan
oleh Direktorat Jendral Pajak untuk memberitahukan besarnya
pajak terutang kepada Wajib Pajak.
2.2.4.6 Obyek Pajak (BAB II)
Pasal 2 (Kompilasi Undang-undang Perpajakan Terlengkap: 252)
a. Yang Menjadi Obyek Pajak adalah Bumi dan Bangunan.
b. Klasifikasi Obyek pajak sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1)
diatur oleh Menteri Keuangan.
Pasal 3 (Kompilasi Undang-undang Perpajakan Terlengkap, 2005 : 253)
1. Obyek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan
adalah Obyek pajak yang:
a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum
nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuantungan.
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang
sejenis dengan itu.
c. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah pengembalaan, yang dikuasai oleh desa dan
tanah Negara belum dibebani suatu hak.
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik.
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional
yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
2. Obyek pajak yang digunakan oleh Negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
3. Batas Nilai Jual Bangunan tidak kena pajak ditetapkan sebesar 8
Juta untuk setiap satuan bangunan.
4. Batas nilai jual bangunan tidak kena pajak sebagaiman
dimaksudkan dalam ayat (3) akan disesuaikan dengan suatu faktor
2.2.4.7 Subyek Pajak
Pasal 4 (Kompilasi Undang-undang Perpajakan Terlengkap, 2005: 255 )
1. Yang menjadi Subyek Pajak adalah orang atau badan yang secara
nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh
manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau
memperoleh manfaat atas bangunan.
2. Subyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak
menurut Undang-Undang ini.
3. Dalam hal atas suatu obyek pajak belum jelas diketahui Wajib
Pajaknya, Direktorat Jendral Pajak dapat menetapkan Subyak Pajak
sebagimana dimaksud pasal (1) sebagai Wajib Pajak.
4. Subyek Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dapat memberikan keterangan secara tertulis pada Direktorat
Jendral Pajak bahwa ia bukan Wajib Pajak terhadap obyek pajak
yang dimaksud.
5. Bila keterangan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana yang
dimksud dalam ayat (4) disetujui maka Direktorat Jendral Pajak
membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dalam jangka waktu satu bulan sejak
6. Bila keterangan yang dimaksud tidak disetujui, maka Direktorat
Jendral Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan
disertai alasan-alasannya.
7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak diterimanya
keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Direktorat
Jendral Pajak tidak memberi keputusan, maka keterangan yang
diajukan dianggap tidak disetujui.
2.2.4.8 Tarif Pajak ( BAB IV)
Pasal 5 (Kompilasi Undang-undang Perpajakan Terlengkap, 2005
:257) Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah sebesar
0,5%(lima per sepuluh persen).
2.2.4.9 Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung Pajak (BAB V )
Pasal 6 (Kompilasi Undang-undang Perpajakan Terlengkap, 2005 : 257)
1. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak.
2. Besarnya Nilai Jual Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan,
kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan
perkembangan daerahnya.
3. Dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang
setinggi tingginya 100% (seratus persen) dan Nilai Jual Obyek
Pajak.
4. Besarnya prosentase Nilai Jual Obyek Pajak sebagaiman
dimaksudkan dalam ayat (3) ditetapkan dengan peraturan
Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Pasal 7 (Kompilasi Undang-undang Perpajakan Terlengkap,2005 : 258)
Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tariff
pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak.
2.2.4.10 Tahun Pajak, Saat, dan Tempat yang Menentukan Pajak Ter utang
(BABVI)
Pasal 8 (Kompilasi Undang-undang Perpajakan Terlengkap, 2005 : 259)
1. Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun.
2. Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan
obyek pajak pada tanggal 1 Januari.
3. Tempat pajak terutang:
a. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
b. Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II
atau Kotamadya Daerah tungkat II, yang meliputi letak obyek
2.2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengar uhi Tingkat Penerimaan Pajak
Bumi Dan Bangunan
2.2.5.1 Kesadar an Wajib Pajak Membayar Pajak
Penerimaan pajak merupakan sumber dana yang penting bagi
pembiayaan pembangunan oleh karena itu, diperlukan usaha-usaha
untuk melakukan intensifukasi pemungutannya. Keberhasilan upaya ini
akan ditentukan oleh dua hal yang saling berkaitan, yaitu kesadaran
masyarakat untuk membayar pajak dalam melakukan tugasnya
dilapangan.
Kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, terutama
tergantung pada tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat.
Semakin tinggi pengetahuan masyarakat, akan semakin mudah bagi
pemerintah untuk menyadarkan mereka. Bahwa di dunia ini tak satupun
yang dapat diperoleh tanpa membayar, atau tanpa mengobarbankan
sesuatu. Oleh karena itu, pemerintah harus menyadarkan masyarakat
mengenai hubungan antara manfaat dan biaya (benefit and cost) dari
setiap aktivitas pemerintah.
Guna menumbuhkan toleransi masyarakat dalam menggugah
kesadaran tentang arti pentingnya pajak bagi pemerintah untuk
pembiayaan pembangunan, perlu dilakukan sosialisasi dan pendidikan
dilapisan masyarakat. Upaya ini dapat ditempuh antara lain dengan
menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak.
Kesadaran untuk membayar pajak baru akan timbul apabila masyarakat
dapat merasakan hubungan langsung antara pembayaran pajak dengan
manfaat yang diterima, sehingga merekapun akan terdorong untuk
patuh membayar pajak.
Usaha untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam
membayar pajak lebih mudah dilakukan pada jenis pajak yang secara
langsung dirasakan manfaatnya, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur daerah. Untuk
jenis pajak yang tidak berhubungan langsung antara pembayaran dan
manfaat, memang akan lebih sulit untuk menumbuhkan kesadaran
masyarakat.(Mangkoesoebroto,1994: 137).
2.2.5.2 Pemahaman akan Undang-Undang Perpajakan
Pemahaman adalah usaha seseorang untuk mengartikan atau
menginterpretasikan stimulus. Engel, Blackwell and Miniard (1995)
menyebut pemahaman sebagai tahap memberikan makna kepada
stimulus. Maka ini tergantung kepada bagaimana stimulus
diklasifikasikan dan dielaborasi dalam kaitannya dengan pengetahuan
seseorang dalam hai ini adalah wajib pajak.
Pajak didasarkan pada undang-undang yang berarti bahwa
antara pemerintah dengan rakyat, maka sudah sewajarnya kalau
masyarakat sadar akan kewajibannya di bidang perpajakan.
Mengingat betapa pentingnya peran masyarakat untuk
membayar pajak dalam peran sertanya menanggung pembiayaan
Negara, dituntut kesadaran warga Negara untuk memenuhi kewajiban
kenegaraan. Terlepas dari kesadaran sebagai warga Negara sebagian
besar masyarakat tidak memenuhi kewajiban membayar pajak.
Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan
menjadi (Suandy, 2005:16-17).
a. Perlawanan Pasif
Perlawanan secara pasif ini berkaitan erat dengan keadaan sosial
ekonomi masyarakat di Negara yang bersangkutan.
b. Perlawanan Aktif
Perlawanan pajak secara aktif ini merupakan serangkaian usaha
yang dilakukan oleh wajib pajak untuk tidak membayar pajak atau
mengurangi jumlah pajak yang seharusnya di bayar.
Perlawanan secara aktif dapat dibagi menjadi:
a. Penghindaran Pajak (tax avoidance)
merupakan usaha pengurangan secara legal yang dilakukan
dengan cara memanfaatkan ketentuan-ketentuan dibidang
b. Penggelapan Pajak (tax evasion)
Merupakan pengurangan pajak yang dilakukan dengan
melanggar peraturan perpajakan seperti memberikan data-data
palsu atau menyembunyikan data.
Upaya masyarakat untuk menghindarkan pajak merupakan suatu
hal yang alami mengingat pajak merupakan suatu pungutan paksaan
dan sesuatu yang dipaksakan akan menimbulkan reaksi negatif yang
dapat berupa perlawanan terhadap pembayaran pajak. Perlawanan pajak
akan sangat merugikan bagi Negara, oleh karena itu dalam rangka
untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali kondisi
yang membuat masyarakat sebagian wajib pajak menjadi sadar, mau
dan mampu membayar pajak.
2.2.5.3 Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 654), kepatuhan
memiliki kata dasar patuh, patuh berarti suka menurut perintah: taat
kepada perintah dan aturan berdisiplin, setia dan bersedia melakukan
sesuatu yang sudah disepakati dan ditentukan, kepatuhan menurut arti
katanya berarti sifat patuh, keadaan taat.
Jadi, kepatuhan dalam hal perpajakan berarti merupakan suatu
ketaatan melakukan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan perpajakan
yang diwajibkan, diharuskan, dilaksanakan menurut peraturan
kepada pelanggar ketentuan perpajakan, yang dimaksudkan untuk
mencegah tingkah laku yang tidak dikehendaki, sehingga akan tercipta
kepatuhan yang lebih baik dari wajib pajak.
Kepatuhan pemenuhan kewajiban perpjakan mengandung
maksud bahwa di dalam melaksanakan kewajiban perpajakan ada
derajat-derajat kepatuhan. Oleh direktorat Jendaral Pajak melalui surat
edaran nomor 04/PJ.05/86 tanggal 25 april 1986 diberikan tafsir derajat
ketidakpatuhan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Wajib pajak dengan sengaja tidak mendaftarkan diri.
b. Wajib Pajak dengan sengaja menyalahgunakan atau menggunakan
dengan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak.
c. Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan.
d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau
tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar.
e. Wajib Pajak dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, catatan,
atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar.
f. Wajib Pajak dengan sengaja tidak bersedia meminjamkan
pembukuan, catatan, atau dokumen lainnya.
g. Wajib Pajak dengan sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah
2.2.6 Teori Yang Melandasi Pengaruh Tingkat Kesadar an Wajib Pajak,
Pemahaman Wajib Pajak, Dan Kepatuhan Wajib Pajak Ter hadap
Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan
2.2.6.1 Pengaruh Kesadar an Wajib Pajak Terhadap Keberhasilan
Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
Mengacu pada teori kewajiban pajak mutlak atau teori bakti
maka teori ini berlawanan dengan teori asuransi, teori kepentingan dan
teori gaya pikul yang tidak mengutamakan kepentingan Negara diatas
kepentingan warganya. Teori ini mendasarkan pada paham Organische
Staatler,artinya tingkat kesadaran wajib pajak terhadap keberhasilan
penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) tidak berdiri sendiri
sebagai individu tetapi juga dipengaruhi adanya faktor
persekutuan.Tingkat kesadaran wajib pajak lebih dipengaruhi karena
faktor keinsyafannya untuk membuktikan tanda baktinya terhadap
kepentingan Negara diatas kepentingan individu.
Paham Organische Staatsler mengajarkan bahwa karena sifat
suatu Negara maka timbullah hak mutlak untuk memungut
pajak.Orang-orang tidaklah berdiri sendiri, dengan tidak adanya
persekutuan tidaklah aka nada individu. Oleh karenanya maka
persekutuan (yang menjelma menjadi Negara) berhak atas satu dan
yang lain. Akhirnya setiap orang menginsyafi bahwamenjadi suatu
kewajiban asli untuk membuktikan tanda batinya terhadap Negara
Kesadaran perpajakan adalah suatu sikap terhadap fungsi
pajak, berupa konstelasi komponen kognitif, afektif, dan konatif dalam
memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap makna dan fungsi
pajak. Kesadaran perpajakan bekonsekuensi logis untuk para wajib
pajak agar mereka rela memberikan kontribusi dana untuk pelaksanaan
fungsi perpajakan dengan cara membayar kewajiban pajak secara tepat
waktu dan tepat jumlahnya.
Menurut Azwar (2007: 24-27), komponen Kognitif berisi
kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar
bagi objek sikap. Komponen Afektif menyangkut emosional subjektif
seseorang terhadap suatu objek sikap.Sedangkan komponen konatif
menunjukkan perilaku, kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri
seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.
PBB walaupun nilai rupiahnya kecil dibandingkan dengan pajak
pusat lain, tetapi mempunyai dampak yang lebih luas sebab penerimaan
PBB dikembalikan untuk kegiatan-kegiatan pembangunan daerah yang
bersangkutan.Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat
menciptakan persepsi positif terhadap wajib pajak, sehingga dapat
meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab wajib pajak untuk