• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Satu dekade terakhir merupakan periode waktu perkembangan cepat jejaring sosial dan implikasinya terhadap berbagai aspek kehidupan manusia karena banyak sekali bermunculan media sosial. Kemunculan media sosial online (daring) dimulai sejak lahirnya IRC pada tahun 1988 yang kemudian populer pada tahun 1990-an (Hendricks, 2013), dan Friendster di tahun 2002. Selang setahun kemudian kompetisi media sosial disusul MySpace pada tahun 2003, Facebook dan YouTube pada tahun 2005, Twitter pada tahun 2006 dan Tumblr pada tahun 2007 (History Cooperative, 2015), WhatsApp (2009) (WhatsApp.com) dan sudah barang tentu Instagram pada tahun 2010 (Bruner, 2016). Terbukti, jejaring sosial menyediakan ruang dan kebebasan tanpa batas kepada setiap orang untuk berkespresi baik melalui pesan tertulis, sticker, pesan suara, foto, atau video.

Di media sosial seseorang bisa lebih bebas berekspresi mengungkapkan apa yang sedang dipikirkan, dirasakan atau dilakukannya sebagaimana dikatakan oleh Qiu et al. (2015) bahwa media sosial merupakan media baru bagi individu untuk mengekspresikan dan merepresentasikan diri serta membentuk identitas diri virtual (hlm. 443). Hal ini juga disebabkan oleh semakin tingginya intensitas aktivitas online pengguna media sosial (Ganda, 2014: 5). Lewat media sosial seseorang bisa berbagi informasi atau data dengan audiens tak terbatas dengan membangun identitas diri digital/virtual (Gündüz, 2017: 86) tanpa mengenal batas wilayah geografis, siapapun dia dan dari manapun dia berasal (Ogidi, 2015: 1).

Pembentukan identitas diri di dunia virtual terjadi seiring dengan semakin seringnya seseorang berinteraksi lewat media sosial (Turkle, 1997).

Kebebasan berekspresi di media sosial sangat memungkinkan seseorang untuk membangun identitas dirinya dengan mengunggah foto dirinya atau sekedar apa yang dipikirkannya melalui histori, profil atau statusnya di media sosial. Sehingga terkadang kita bisa menebak keberadaan seseorang atau apa yang sedang dilakukan commit to user

(2)

atau difikirkan berdasarkan profil atau statusnya di media sosial. Hal itu karena hari ini banyak orang yang merasa sudah menyatu dengan media sosial (Kaplan &

Haenlein, 2010), sehingga apapun yang sedang seseorang lakukan atau pikirkan kemudian diunggah ke media sosial. Hal-hal yang tidak bisa mereka sampaikan secara verbal dapat mereka ekspresikan melalui foto, khususnya foto selfie.

Berdasarkan riset, banyak orang yang lebih suka mengunggah foto diri (selfie) mereka ke media sosial (Suler, 2015: 179) untuk mengekspresikan diri dan merepresentasikan diri untuk mencari ketenaran.

Dalam Kajian Budaya, representasi merupakan isu sentral. Menurut Barker (2005: 8) representasi termaterialkan dalam berbagai bentuk yang meliputi bunyi, inskripsi, objek/ benda, gambar/ foto, buku, majalah dan program/acara televisi (hlm. 8). Dalam hal ini foto/ video selfie termasuk dalam kategori gambar/foto karena selfie merupakan produk new media yang baru populer sejak tahun 2013.

Dalam satu dekade terakhir fenomena selfie menjadi salah satu isu budaya yang banyak diteliti. Fenomena selfie memicu banyak interpretasi (Tifentale &

Manovich, 2015) karena selfie adalah “foto-diri digital” (Shah & Tewari, 2016) yang dapat dikonseptualisasikan sebagai sebuah “artifak budaya dan praktik sosial”

yang tidak hanya merepresentasikan sebuah subjek tetapi juga bisa mengirimkan pesan (Senft & Baym, 2015: 1589). Selfie juga memiliki banyak fungsi seperti untuk menunjukkan ekspresi diri (presentasi diri) dan berkomunikasi (Fallon, 2014:

59; Tifentale & Manovich, 2015: 1593), representasi diri, dokumentasi diri, peningkatan diri dan pengetahuan diri (Rettberg, 2014: 11). Disamping itu selfie juga merupakan sarana pemberdayaan dan agensi seperti dalam hal penggunaan tagar yang disertakan pada selfie, misalnya #nomakeupselfie yang digunakan untuk kampanye pengumpulan dana sosial (Deller & Tilton, 2015). Menurut Diefenbach

& Christoforakos (2017), selfie muncul sebagai fenomena dua sisi, di satu sisi aktivitas individu melakukan selfie, mengunggah foto selfie (ke media sosial), dan melihat foto selfie (di media sosial) merupakan aktivitas banyak orang saat ini, namun di sisi lain selfie sering menimbulkan kritik dan sikap tidak hormat (dari orang lain) (hlm. 1).

commit to user

(3)

Dilihat dari lokasi dan suasana selfie, banyak orang seolah sudah mulai bosan dengan selfie di tempat dan acara/suasana yang sudah lazim, seperti di depan kampus saat wisuda, di tempat jamuan resepsi pernikahan, di mall saat jalan-jalan, di restoran saat makan bersama keluarga atau teman, dan sebagainya. Belakangan ini banyak orang yang mulai melakukan selfie di tempat/ lokasi yang tidak wajar atau ekstrem seperti di tebing jurang, di atas gedung pencakar langit, di perlintasan kereta api, di atas kendaraan bermotor yang sedang berjalan, di dalam air dengan ikan hiu atau ubur-ubur, dan lain-lain. Maka muncullah istilah selfie berbahaya (#dangerousselfie) atau selfie ekstrem (#extremeselfie) yang juga dikenal dengan istilah killfie, yakni selfie yang dapat membahayakan keselamatan pelakunya (weapon of self-destruction) (Mohn, 2017: 1).

Di berbagai negara di dunia fenomena selfie berbahaya atau selfie ekstrem telah menelan banyak korban jiwa. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh The Institute of Medical Science di India pada tahun 2018, sejak tahun 2011 – 2017 tercatat sebanyak dua ratus lima puluh sembilan orang telah tewas karena selfie ekstrem (Damar, 2018; Newsbeat, 2018; Schetzer, 2019: 1). Data statistik menempatkan India di urutan pertama, kemudian disusul Rusia dan Amerika. India bahkan disebut sebagai “The world capital of selfie deaths” (Swan, 2020). Namun sumber lain menyebutkan negara dengan korban selfie tertinggi di dunia di peringkat ke dua adalah Pakistan. Yang agak mengejutkan adalah dari jumlah dua ratus lima puluh sembilan orang tersebut, mayoritas (tujuh puluh dua persen) adalah pria dan berusia dibawah tiga puluh tahun, walaupun wanita dianggap lebih sering melakukan selfie.

Studi tersebut mengungkap bahwa pria lebih berani mengambil resiko ketika melakukan selfie ekstrem di tempat-tempat yang berbahaya (Damar, 2018).

Walaupun Indonesia tidak masuk dalam data di atas, bukan berarti tidak ada kasus tewas karena selfie ekstrem di Indonesia. Hal ini dikarenakan berita tewas karena selfie di Indonesia tidak terarsip dengan baik, atau mungkin pihak yang melakukan riset di atas tidak memperoleh data resmi tentang korban selfie di Indonesia.

Insiden selfie yang merenggut nyawa pelakunya baik yang terjadi di Indonesia maupun di luar negeri hanyalah beberapa dari banyak kasus selfie ekstrem yang commit to user

(4)

berujung maut. Hanya saja, di Indonesia tampaknya belum ada pihak atau lembaga resmi yang melakukan survei secara nasional sehingga belum ada rilis resmi berupa laporan atau grafik mengenai jumlah korban tewas akibat selfie ekstrem seperti yang dilakukan di India, Rusia, dan Amerika. Di Indonesia, seringkali kecelakaan akibat selfie ekstrem hanya dianggap sebagai sebuah kecelakaan biasa, padahal trennya cenderung meningkat.

Menurut penelitian Lamba et al. (2017) korban selfie ekstrem terbanyak disebabkan karena jatuh dari ketinggian. Salah satunya adalah terjatuh dari bangunan buatan manusia yang terbuat dari beton atau baja seperti gedung tinggi, crane, atau menara komunikasi yang lebih populer dikenal dengan istilah rooftopping. Rooftopping merupakan sebuah hobi mengeksplorasi kota atau urban exploration (urbex) berupa mengeksplorasi (memanjat) gedung pencakar langit, jembatan, cerobong asap, atau menara untuk berfoto selfie yang mendebarkan ala stuntman yang umumnya kemudian diunggah ke media sosial untuk menarik perhatian atau menjadikan foto tersebut viral dan terkenal di media sosial (Griffiths, 2017).

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa selfie secara umum maupun selfie ekstrem termasuk rooftopping menjadi salah satu aktivitas urban exploration yang memikat sebagian generasi Z untuk merepresentasikan diri.

Media sosial menjadi media baru yang menawarkan kemudahan dan kenyamanan bagi penggunanya untuk merepresentasikan diri dengan berbagai macam cara.

Banyak orang seolah berlomba untuk merepresentasikan diri mereka di berbagai media sosial seperti YouTube dan Instagram; ada yang berperan sebagai tour guide, juru masak, instruktur gym, pelatih senam, pelaku hobi dan sebagainya. Harapan utama mereka tentu adalah agar para pengguna media sosial menonton foto atau video unggahan mereka dan mau menjadi subscriber atau follower di channel atau akun mereka. Sudah barang tentu, implikasi dari jumlah view atau like serta subscriber/follower tersebut adalah pundi-pundi keuangan.

Menurut Rettberg (2018), pada zaman digital ini seseorang dapat merepresentasikan diri melalui tiga mode, yakni mode visual, mode tulis dan mode kuantitatif. Seseorang bisa saja melakukan praktik representasi diri dengan salah commit to user

(5)

satu mode tersebut atau bahkan ketiga-tiganya sekaligus. Contoh, seseorang yang mengunggah sebuah foto atau video ke akun Instagram dia telah melakukan sebuah presentasi diri. Jika materi (konten) yang dia unggah tersebut dari waktu ke waktu memiliki kemiripan atau kesamaan karakteristik, maka sesungguhnya dia telah melakukan sebuah representasi diri visual (visual representation). Lalu ketika dia menuliskan sesuatu sebagai caption di bawah foto atau video yang diunggah tersebut, maka dia juga telah melakukan representasi diri secara tertulis (written representation). Kemudian apabila dia memperoleh like atau view dari foto atau video yang dia unggah ke media sosial tersebut dan lalu juga memperoleh follower atau subscriber, maka dia sudah merepresentasikan diri secara kuantitatif. Jumlah view, like, subscriber dan follower tampak pada halaman akun media sosialnya, maka secara tidak langsung itu merupakan representasi dirinya.

Penelitian ini membahas representasi diri para rooftopper Indonesia melalui foto dan video rooftopping yang diunggah ke Instagram. Walaupun ada banyak cara orang merepresentasikan dirinya di media sosial, ada sebagian orang yang memilih merepresentasikan diri di media sosial dengan cara yang ekstrem, yakni dengan melakukan rooftopping.

Berbicara tentang representasi diri melalui rooftopping tidak bisa dipisahkan dari sejarah rooftopping. Berawal di Toronto Kanada pada tahun 2011, seorang fotografer bernama Tom Ryaboi naik ke atap sebuah pencakar langit tertinggi di Toronto dan mengambil foto selfie sambil duduk di pinggir atap dengan kedua kakinya tampak menggelantung ke bawah bebas dengan pemandangan lanskap kota Toronto dari ketinggian ratusan meter. Dalam tulisannya yang dimuat di Peta Pixel di menulis sebagai berikut:

One year ago today I took a photograph that would change my life. A single frame turned my whole world upside down, and brought on a storm of media attention, praise, criticism, confusion, wonder, and doubt. After one hell of a ride this past year, I think today is a good day to finally tell this photo’s story…(Ryaboi, 2012b).

Ryaboi mengunggah fotonya tersebut ke akun media sosial Flickr dan Reddit dan ternyata menjadi viral; bahkan membuat Ryaboi menjadi terkenal di seluruh dunia. Hanya dalam waktu dua puluh empat jam foto tersebut telah ditonton lebih dari 25.000 kali di Flickr dan Reddit. Terkait dengan foto viralnya tersebut, lebih commit to user

(6)

lanjut Ryaboi mengatakan bahwa hanya dalam waktu dua puluh empat jam hidupnya berubah. Hanya karena satu foto tersebut dia mendadak menjadi kaya raya dan terkenal di seluruh dunia.

Gambar 1

Foto rooftopping Tom Ryaboi pertama yang viral pada tahun 2011 Sumber: Instagram @roof_topper

When I woke up on the morning of May 19th I had 500 emails in my inbox, including requests for interviews by BBC, RTL, and National Geographic USA. The story had been picked up by several major newspapers around the world with the headlines proclaiming rooftopping to be the new “craze” (Ryaboi, 2012b).

Pada tahun 2015 Ryaboi ditangkap polisi saat sedang melakukan rooftopping di Toronto. Penangkapan Ryaboi sengaja dipublikasikan dengan maksud agar para rooftopper takut dan tidak melakukan rooftopping lagi. Namun, justru penangkapan Ryaboi tersebut membuat para rooftopper semakin nekat. Akhirnya tuduhan polisi terhadap Ryaboi dicabut kembali dan dia dibebaskan (Elgan, 2019). Poin pentingnya adalah karena foto Ryaboi tersebut rooftopping menjadi dikenal luas di seluruh dunia dan menjadi sebuah urban exploration populer di seluruh dunia hingga saat ini.

Perhatian terhadap rooftopping ini juga diberikan oleh seorang etnografer, jurnalis dan geografer pemegang gelar doktor di bidang Geografi Budaya di University of Southhampton Inggris bernama Bradley L. Garrett. Sejak tahun 2008 dia mengamati dinamika urban exploration (urbex) di London dan sering bersama para explorer dan rooftopper melakukan rooftopping di kota London (Garrett, commit to user

(7)

2012b). Garrett adalah satu-satunya etnografer di Inggris atau mungkin bahkan di dunia yang paling lama melakukan participant-observation dalam komunitas rooftopper.

Di Instagram tagar #rooftopping sudah bermetamorfosis menjadi banyak sekali dan sudah digunakan puluhan bahkan ratusan ribu kali. Tagar di Tabel 1 merupakan hasil penelusuran di Instagram. Tagar yang disebutkan dalam Tabel 1 adalah tagar yang tepat sasaran dan sudah digunakan minimal dalam seribu post. Adapun tagar yang kurang spesifik dan hit nya kurang tepat sasaran tidak dicantumkan, misalnya

#artofvisual dan #urbanphotography, karena lingkup hasil pencariannya terlalu luas dan hasil pencariannya lebih dominan ke seni visual dan fotografi perkotaan.

Sedangkan #chasing_antennas dan #chasing_bridges jumlah tagarnya baru mencapai 100.

Tabel 1

Tagar #rooftopping dan variannya yang digunakan oleh para rooftopper di Instagram Data per 17 Juni 2020

No Tagar Jumlah

1. #citygrammers 1.9M

2. #roofs 408K

3. #ontheroofs 258K

4. #chasing_rooftops 240K

5. #rooftopping 195K

6. #rooftop_prj 142K

7. #chasingrooftops 86,5K

8. #rooftoplife 45,7K

9. #chasing_cranes 24,5K

10. #roofworld 22,2K

11. #rooftop_project 19,4K

12. #rooftopper 19.3K

13. #rooftoppers 17.8K

14. #aroundtheroofs 16.8K

15. #exploreyourhood 15.6K

16. #rooftoppingofficial 11.8K

17. #rooftop_crew 11.1K

18. #rooftopproject 5K

19. #citykillerz 4,4K

20. #rooftopillegal 1,6K

Sumber: Instagram

commit to user

(8)

Tidak semua rooftopper baik Indonesia atau asing menggunakan tagar dalam setiap posting-nya. Banyak rooftopper Indonesia tidak menggunakan tagar dalam setiap konten yang diunggah ke Instagram. Dari empat belas informan penelitian ini hanya dua orang yang dalam posting foto atau videonya di Instagram menggunakan tagar. Tagar yang digunakan dalam posting rooftopper Indonesia juga diidentifikasi, dan akhirnya diperoleh sejumlah tagar khusus yang mencirikan rooftopper Indonesia, yaitu #rooftopjakarta, #rooftopilegal, #rooftopindonesia,

#rooftoppingindonesia, #rooftoppingilegaljakarta dan #rooftopilegaljkt.

Gedung bertingkat sampai tower pemancar/ komunikasi menjadi latar belakang yang semakin sering terlihat dalam foto atau video rooftopping. Kengerian seakan menjadi keindahan baru dalam foto atau video selfie yang diambil dengan konsep tersebut. Para rooftopper telah mengubah paradigma latar belakang selfie yang mengerikan bagi banyak orang menjadi latar belakang yang indah dan menakjubkan. Di berbagai belahan dunia, korban tewas karena rooftopping pun tak terelakkan. Banyak insiden rooftopping terjadi di Amerika, Inggris, Rusia, China dan lain-lain.

Rusia adalah negara yang mempunyai data korban tewas karena rooftopping paling tinggi di dunia. Hal ini berlatar belakang luasnya dan banyaknya gedung bekas industri di Rusia pada era Uni Soviet. Banyak bangunan yang tidak digunakan dan terbengkelai. Akhirnya bangunan-bangunan tersebut menjadi ajang rooftopping yang menantang bagi para remaja dan anak muda Rusia (Shevchenko, 2014).

Berikut ini adalah sejumlah insiden rooftopping yang terjadi di sejumlah negara. Pada bulan Juni 2015 seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang baru saja lulus kuliah terjatuh hingga tewas dari jembatan Moskow pada ketinggian dua belas meter ketika dia mencoba berpose menggantung pada jembatan tersebut untuk berfoto selfie (Siegel, 2015: 6). Pada bulan Oktober tahun yang sama, Andrey Retrovsky, tujuh belas tahun tewas karena terjatuh saat dia melakukan aksi stunt rooftopping. Dia mengikatkan tali di pinggangnya yang kemudian tali tersebut dia ikatkan ke sebuah tiang. Lalu dia menjatuhkan dirinya dengan direkam kamera untuk menunjukkan seolah-olah dia terjatuh. Namun naas, tali yang dia ikatkan commit to user

(9)

tersebut lepas dan dia terjun bebas dari lantai sembilan. Tubuh Andrey tertahan oleh semak-semak namun akhirnya dia tewas (Wolfe, 2019: 13-17).

Di Amerika seorang warga New York bernama Jackson Coe berusia dua puluh lima tahun tewas karena terpleset saat melakukan selfie di atap sebuah apartemen enam lantai di Manhattan. Coe adalah termasuk penggemar ketegangan (thrill- seeker) (Polianskaya, 2018: 1-2). Pada tahun yang sama, seorang fotografer rooftopping Conner Cummings terjatuh dari atap Four Seasons Hotel di New York yang berlantai lima puluh dua. Dia naik ke atap hotel lewat scafolding. Karena baru saja hujan, maka atap bangunan licin, sehingga dia terpleset dan jatuh sembilan tingkat di bawahnya hingga akhirnya tewas (Zhang, 2015: 2).

Di China, seorang rooftopper ternama bernama Wu Yongning, 26 tahun, terjatuh dari puncak gedung pencakar langit setinggi 62 lantai, Huayuan International Center di Changsha pada tanggal 8 November 2017 setelah dia gagal meraih pegangan saat melakukan aksi pull-up yang dia rekam sendiri dengan kamera yang dia tempatkan di gedung lain (Pleasance, 2017; Griffiths, 2017). Wu Yonging menyebut dirinya “Rooftopper pertama China” (Wolfe, 2019). Video jatuhnya Wu Yongning tersebut telah ditonton lebih dari 15 juta kali (Knox, 2017).

Kematian Yongning sangat fenomenal karena hampir semua media di seluruh dunia meliputnya dan diliput ulang dalam beberapa tahun sesudahnya. Sesaat setelah kematiannya, media di China memperingatkan agar warganya tidak mengulang apa yang telah dilakukan oleh Yongning (Hauser, 2017). Sedianya Yongning akan dibayar sebanyak $15.000 oleh sponsor yang mendukungnya untuk live-streaming videonya tersebut (Hafner, 2017), yang sedianya uang tersebut akan dia pergunakan untuk mengobatkan ibunya yang sedang sakit dan untuk melamar kekasihnya (Lock, 2019). Hal ini sempat memicu perdebatan siapa pihak yang bersalah.

Mestinya bukan hanya Wu Yongning tetapi juga sponsor yang membiayai aksinya (Westcott & Wang, 2017).

Di Indonesia juga ada seorang tokoh rooftopping bernama Arief Fandy (kerap dipanggil Ipan) yang muncul dan viral di Instagram di tahun 2015 hingga 2017.

Arief mulai mengunggah foto rooftopping ke Instagram pertama kali pada tanggal 18 April 2014. Pada saat itu di Indonesia orang sama sekali belum mengenal commit to user

(10)

rooftopping; sehingga foto rooftopping yang diunggah oleh Arief belum memperoleh banyak respon dari pengguna Instagram. Foto pertama kali yang dia unggah adalah pemandangan jalan raya di kota Jakarta yang diambil dari atap sebuah gedung. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2 foto rooftopping unggahan Arief Fandy tersebut hanya memperoleh lima puluh satu likes dan dua komentar (per 23 Desember 2020). Meskipun Arief adalah seorang WNI dia kerap menggunakan bahasa Inggris dalam hampir setiap konten yang dia unggah ke akun Instagram-nya.

Gambar 2

Konten rooftopping pertama Arief Fandy di Instagram Sumber: Instagram @arieffandy

Dia mempunyai misi menaklukkan semua gedung pencakar langit di Jakarta.

Arief dianggap sebagai pelopor rooftopping di Indonesia dan bahkan ada yang memberinya julukan Spiderman Indonesia karena keberaniannya memanjat gedung-gedung pencakar langit dan crane tinggi serta tidak kalah dengan keberanian rooftopper asing. Foto-foto rooftoppingnya membuat banyak orang merasa ngeri karena keberaniannya menantang maut (Syafi’i, 2016). commit to user

(11)

Arief yang memiliki nama akun Instagram @arieffandy tersebut mengaku sering kucing-kucingan dengan security agar bisa menyelinap ke dalam gedung dan naik ke atap gedung (Sooperboy, 2015: 3). Namun Arief Fandy sekarang telah berhenti dari kegiatan rooftopping dan akunnya di Instagram dia non-aktifkan sejak Januari 2018. Dia mengatakan dalam posting terakhirnya tanggal 4 Januari 2018 sebagai berikut:

I will deactivate this account tonight in a purpose to retrospective time, I’ve been struggling to get off of thinking too much for social media since a long time so that I can only hope this will be the best decision I made. Thank you again for being around and all the support since last couple of years, it means a lot to me. For anyone who want to contact me outside this account, you will know where to go. See you later!

Salam. (Instagram: @arieffandy)

Dalam kutipan di atas Arief tidak menjelaskan secara spesifik alasan dia berhenti melakukan rooftopping. Dia hanya mengatakan akan merenung tentang apa yang telah dia lakukan, tetapi menurut sebuah sumber adalah karena misinya telah selesai, yakni menaklukkan semua gedung pencakar langit di Jakarta (Syafi’i, 2016). Peneliti mencoba menghubungi Arief via IDM pada tanggal 16 November 2017 namun tidak direspon hingga sekarang.

Berikut ini adalah screenshot posting akun Instagram Arief Fandy yang terakhir pada tanggal 4 Januari 2018.

commit to user

(12)

Gambar 3

Konten terakhir Instagram Arief Fandy Sumber: Instagram @arieffandy

Hengkangnya Arief Fandy dari dunia rooftopping ternyata tidak membuat rooftopping menjadi infertil di Indonesia, khususnya di Jakarta. Justru setelah dia tidak aktif lagi menjadi rooftopper, banyak sekali bermunculan Arief Fandy baru di Jakarta. Munculnya akun-akun baru Instagram rooftopper Jakarta rata-rata terjadi pada tahun 2016. Walaupun ada akun rooftopper yang dibuat pada tahun 2015, pemiliknya mengunggah foto rooftopping baru pada tahun 2016, misalnya akun milik @hanzdays. Dia pertama kali mengunggah foto (posting pertama) ke Instagram pada tanggal 24 Desember 2015, tetapi dia mengunggah posting rooftopping baru pada bulan Agustus 2016. Liputan berita tentang Arief Fandy rata- rata juga muncul pada bulan November 2016 meskipun ada satu media yang merilis berita tentang Arief Fandy pada bulan Februari 2015. Ini menunjukkan bahwa di Indonesia rooftopping baru mulai dikenal sekitar tahun 2016 walaupun Arief telah mulai melakukan rooftopping sejak 2014. Maka Arief Fandy dikenal sebagai pelopor rooftopping di Indonesia. commit to user

(13)

Gambar 3 menunjukkan perayaan Dirgahayu Kemerdekaan ala Arief Fandy dan Gambar 4 menunjukkan Arief sedang beraksi di atas sebuah crane di Jakarta.

Tampak dari wajahnya dia sangat percaya diri; tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun dengan ketinggian ekstrem. Kedua tangan Arif tampak tidak berpegangan sama sekali; tangan kanannya memegang tongkat selfie dan tangan kirinya memegang smartphone. Jagat maya Instagram saat itu sudah mulai mengakui dan menyukai eksistensi Arief di dunia maya terbukti dengan banyaknya like yang diperoleh oleh dua posting tersebut. Dibandingkan jumlah like yang diperoleh Arief pada posting awal di medio 2014, jumlah like dan follower yang diperolehnya di tahun 2015 jauh lebih banyak. Hingga tahun 2020 (per 28 Desember 2020) jumlah Follower Arief Fandi mencapai lebih dari 28.000 walaupun dia sudah tidak mengunggah konten apapun sejak Januari 2018.

Gambar 4

Gaya Aried Fandy merayakan Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70

Sumber: Instagram @arieffandy

Gambar 5

Arief Fandy berpose berdiri di samping crane Sumber: Instagram @arieffandy

Terkait dengan jumlah korban karena rooftopping, di Indonesia agak sulit diperoleh. Saya mencoba menelusuri kasus kecelakaan karena rooftopping di commit to user

(14)

Indonesia melalui mesin pencari Google dan YouTube namun hanya menemukan satu kasus, yakni tewasnya seorang remaja berusia lima belas tahun yang jatuh dari lantai lima sebuah gedung perkantoran yang sudah kosong di Jakarta Utara karena melakukan selfie (Damarjati, 2016). Sedikitnya jumlah kasus yang ditemukan bukan berarti tidak pernah ada korban jiwa karena rooftopping di Indonesia.

Menurut pengakuan seorang sekuriti di sebuah plasa di Jakarta, banyak insiden rooftopping dengan korban tewas di Jakarta yang tidak diungkap di media massa karena kasusnya sengaja disembunyikan karena dikhawatirkan mencemarkan nama gedung tempat terjadinya insiden jika diberitakan ke publik (Eno, Komunikasi pribadi, Mei 2019). Informasi yang sama juga diberikan oleh seorang rooftopper Jakarta dalam sebuah wawancara bahwa beberapa kali dia mendengar berita orang tewas karena jatuh dari pencakar langit di Jakarta (Dimas, Komunikasi pribadi, Mei 2019).

Pernyataan dua orang tersebut menguatkan keyakinan saya bahwa jumlah korban tewas karena selfie esktrem maupun rooftopping di Indonesia jauh lebih banyak daripada yang diberitakan. Atau bisa jadi karena pemberitaan di media massa tidak menyebut kata rooftopping tetapi hanya selfie yang berujung maut, sedangkan istilah rooftopping sendiri belum populer di kalangan masyarakat Indonesia. Seperti berita tentang tewasnya remaja lima belas tahun di atas juga disebutkan karena selfie; padahal apa yang dilakukan oleh remaja tersebut masuk kategori rooftopping.

Maka, setidaknya ada dua hal penting yang mendorong penelitian ini untuk dilakukan. Pertama, jumlah korban tewas karena selfie ekstrem menunjukkan tren yang terus meningkat. Dipicu dengan meningkatnya jumlah posting rooftopping di Instagram. Berdasarkan Tabel 1, jumlah posting di Instagram yang menggunakan tagar #rooftoppers mencapai tujuh belas ribu delapan ratusan (per 17 Juni 2020), sedangkan pada tanggal 25 Februari 2018 baru sebanyak seribu tiga ratus sembilan puluh lima. Sebuah lonjakan yang luar biasa, sebanyak enam belas ribu empat ratus lima hanya dalam waktu dua setengah tahun tahun. Hal ini tentu akan meningkatkan kemungkinan meningkatnya korban tewas karena rooftopping,

commit to user

(15)

Kedua, belum ada penelitian tentang representasi diri melalui selfie ekstrem rooftopping, terlebih lagi di Indonesia. Sementara itu jumlah akun rooftopper Indonesia di Instagram terus meningkat. Maka penelitian ini perlu dilakukan untuk memahami fenomena budaya tersebut.

Mengamati popularitas selfie ekstrem rooftopping yang sedemikian besar, pertanyaan pertama yang muncul adalah mengapa para individu melakukan selfie ekstrem dan nilai-nilai apa yang mereka harapkan dari tindakan tersebut dalam konteks kondisi masyarakat yang sedang berubah. Asumsi yang muncul adalah dengan semakin banyaknya individu yang menghabiskan waktunya untuk berselancar di dunia maya maka interaksi, persepsi dan pendapat juga akan berubah sejalan dengan interaksi digital yang mereka lakukan. Pada tingkat individu, meskipun para individu tersebut menghabiskan banyak waktu dengan melakukan konstruksi diri yang berubah-ubah dan tidak tunggal sifatnya, namun mereka juga menganggap bahwa konstruksi yang mereka bangun tersebut juga merupakan sumber penghargaan (jumlah like, follower dan uang).

Teknologi digital, interaksi online dan presentasi diri melalui selfie tidak hanya sekedar bermakna bahwa mereka sedang mengkomunikasikan diri mereka ke dunia luar. Lebih dari itu, mereka juga sedang mengkomunikasikan bagaimana mereka membangun identitas diri mereka dan bagaimana presentasi diri mereka juga dipengaruhi oleh teknologi. Dengan demikian, pertanyaan mendasar selanjutnya adalah memahami manifestasi diri mereka pada era digital.

Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, maka fokus penelitian ini adalah membahas tentang rooftopping sebagai representasi diri di dunia maya yang membahas tiga persoalan utama, yaitu bagaimana bentuk representasi diri para rooftopper Indonesia di media sosial Instagram, faktor-faktor yang mendorong para rooftopper Indonesia melakukan rooftopping sebagai praktik representasi diri di media sosial, dan ideologi apa yang dapat diidentifikasi dari praktik representasi diri tersebut.

commit to user

(16)

B. Kebaruan Penelitian

Penelusuran melalui mesin pencari Google, Google Scholar, Ebsco, Scopus, Emerald Insight, Sage, dan Taylor & Francis ditemukan lebih dari empat puluh artikel hasil penelitian yang berkaitan dengan selfie dan representasi diri di media sosial. Namun dari jumlah tersebut dipilih yang relevan dengan isu penelitian ini hingga menjadi hanya dua puluh tujuh artikel. Belum ditemukan artikel hasil penelitian mengenai representasi diri di media sosial melalui selfie ekstrem rooftopping oleh para rooftopper Indonesia.

Berdasarkan review dua puluh tujuh artikel tersebut dapat diperoleh bentuk- bentuk representasi diri melalui selfie di media sosial sebagai berikut: selfie kampanye menyusui bayi dengan ASI (Boon & Pentney, 2015; Locatelli, 2017) dan kampanye politik (Fitri, 2016), selfie di lokasi berkabung, kematian atau bencana (Ibrahim, 2015; Meese et al., 2015; Hodalska, 2017, Kurniawan et al., 2017b), selfie pada saat mengungsi (Risam, 2018), selfie di lokasi berbahaya (Lamba et al,.

2016; Lamba et al., 201; Subrahmanyam et al., 2016; Kurniawan et al., 2017a), sejarah selfie rooftopping (Deriu, 2016), selfie rooftopping (Garrett, 2012a; Garrett, 2012b; Garrett, 2014a; Garrett, 2014b: Garrett, 2015; Fadhilah, 2016 dan Kurniawan, 2020a; Kurniawan, 2020b; Kurniawan, 2020c), representasi diri di media sosial melalui selfie olah raga (Toffoletti & Thorpe, 2018; Xu & Armstrong, 2019).

Maka posisi penelitian disertasi ini dapat digambarkan sebagai berikut: telah ada penelitian tentang rooftopping di Inggris oleh Garrett (2012 & 2015) walaupun tulisannya tidak masuk di jurnal ilmiah melainkan di artikel khusus di harian The Guardian (online) di Inggris. Garrett (2012b & 2015) meneliti praktik rooftopping yang dilakukan oleh para rooftopper di kota London. Deriu (2016) memberikan latar belakang perkembangan representasi diri melalui fotografi rooftopping di Amerika Serikat. Sedangkan di Indonesia, Fadhilah (2016) melakukan penelitian kemunculan fenomena rooftopping di Jakarta. Namun penelitian Fadhilah masih sangat terbatas; dalam hal informan penelitian, teori yang digunakan dan kedalaman analisisnya. Fadhilah hanya melibatkan satu orang rooftopper yang dia wawancara commit to user

(17)

secara online melalui media sosial. Disamping itu, dia menggunakan teori Fenomenologi sosial Alfred Schultz. Jumlah informan tersebut dirasakan belum mencukupi untuk menarik sebuah simpulan tentang motivasi. Selain itu, Kurniawan et al. (2020a) dan Kurniawan et al. (2020b) memberikan penguatan tentang penelitian rooftopping dengan melibatkan rooftopper asing. Salah satu temuan yang sangat penting adalah tentang motivasi seorang rooftopper dari Swiss yang melakukan rooftopping demi semata-mata karena ultimate freedom. Hal ini sedikit bertolak belakang dengan pernyataan Garrett dalam dua artikelnya (2012b dan 2015).

Adapun contoh aplikasi teori Dramaturgi Erving Goffman ditemukan dalam artikel penelitian Fitri (2016), Pounders (2016) dan Xu & Armstrong (2018). Ketiga artikel tersebut menggunakan teori Dramaturgi Erving Goffman (1959) dalam konteks representasi diri melalui selfie dalam konteks politik Fitri (2016), wanita millenial (Pounders, 2016) dan olah raga/ atlit (Xu & Armstrong, 2018).

Penelitian disertasi ini meneliti tentang representasi diri, bukan rooftopping sebagaimana yang dilakukan oleh Garrett (2012b & 2015), Fadhilah (2016) dan Deriu (2016) dengan menggunakan pendekatan Hermeneutik yang belum pernah digunakan oleh para peneliti di atas, serta menggunakan alat bedah atau teori Dramaturgi Erving Goffman (1959) dan teori Lingkaran Hermeneutik (Hermeneutic Circle) Wilhelm Dilthey. Selain itu, kebaruan penelitian ini juga terletak pada sumber data penelitian yakni para rooftopper Indonesia yang berjumlah empat belas orang informan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penelitian disertasi ini belum pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.

C. Rumusan Masalah

Pertanyaan-pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk representasi diri para rooftopper Indonesia di media sosial?

2. Faktor-faktor apa yang mendorong para rooftopper Indonesia melakukan rooftopping sebagai representasi diri di media sosial? commit to user

(18)

3. Ideologi apa yang dapat diidentifikasi dari praktik representasi diri tersebut?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. mendeskripsikan dan menjelaskan makna bentuk-bentuk representasi diri para rooftopper Indonesia di media sosial yang dapat dilihat dari foto dan video rooftopping yang diunggah ke akun Instagram mereka,

2. menjelaskan faktor-faktor yang mendorong para rooftopper Indonesia melakukan rooftopping sebagai praktik representasi diri di media sosial, baik mencakup faktor internal (dari dalam diri para rooftopper sendiri) dan faktor eksternal (dari luar diri para rooftopper seperti

3. menjelaskan ideologi yang dapat diidentifikasi dari praktik representasi diri di media sosial yang dilakukan oleh para rooftopper Indonesia.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat metodologis

Metode penelitian dalam kajian media baru (new media) masih belum sepenuhnya mapan, karena sifat kajiannya yang juga masih relatif baru dan cepatnya dinamika media sosial dan cara dan pola individu merepresentasikan diri melalui media sosial. Sebagian besar peneliti masih menggunakan metode penelitian kualitatif pada umumnya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menciptakan sebuah metode penelitian baru untuk kajian new media khususnya media sosial dan membuat peta jalan (road map) untuk penelitian tentang pembentukan identitas diri virtual dan representasi diri melalui media sosial.

Disamping itu, masih sedikitnya studi tentang rooftopping, khususnya di Indonesia, maka diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi utama dalam melakukan penelitian tentang representasi diri di media sosial khususnya melalui rooftopping. commit to user

(19)

2. Manfaat teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa proposisi yang merupakan kristalisasi dari temuan-temuan penelitian yang mengacu kepada tiga rumusan masalah penelitian, yakni bentuk-bentuk representasi diri di media sosial melalui rooftopping, faktor-faktor yang mempengaruhi para rooftopper untuk melakukan representasi diri di media sosial dan ideologi yang dapat diidentifikasi dari praktik merepresentasikan diri di media sosial yang dikaitkan dengan konteks kajian budaya secara luas, bukan hanya dalam konteks rooftopping atau rooftopping di Indonesia.

Dengan demikian penelitian ini akan membuka jalan bagi para peneliti berikutnya yang akan melakukan penelitian tentang representasi diri di dunia maya dan tentang urban exploration.

3. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang bersifat informatif, edukatif dan advokatif. Manfaat praktis yang informatif ditargetkan kepada masyarakat luas khususnya yang tinggal di kota-kota besar. Selama ini banyak orang yang belum tahu apa rooftopping itu. Masyarakat luas mempersepsikan rooftopping itu sama dengan selfie pada umumnya, hanya saja lokasinya di atap gedung-gedung pencakar langit atau crane. Disamping itu, minimnya pemahaman tentang rooftopping juga dialami oleh wartawan; sehingga ketika ada berita insiden orang tewas karena terjatuh dari atap sebuah mall misalnya dan setelah diseliki ternyata penyebabnya adalah karena melakukan selfie, maka headline beritanya tidak pernah menggunakan kata rooftopping.

Biasanya hanya seperti misalnya “Karena selfie seorang remaja 15 tahun meregang nyawa karena jatuh dari lantai 6 sebuah gedung kompleks perkantoran di Jakarta.” Padahal sesungguhnya itu adalah rooftopping.

Manfaat praktis yang bersifat edukatif ditujukan kepada masyarakat luas agar lebih bijaksana dalam menghadapi fenomena rooftopping ini, karena kebanyakan orang tua tidak setuju atau melarang anaknya melakukan rooftopping. Namun seringkali tekanan dari orang tua justru menimbulkan commit to user

(20)

sebuah pembrontakan dalam diri si anak, terutama yang masih remaja. Jadi bukannya si anak akan taat tetapi malah nekat. Maka perlu ada edukasi kepada para orang tua dalam menghadapi kemauan anak secara lebih bijaksana. Relasi kuasa antara orang tua dan anak harus diminimalisir. Apalagi di Indonesia, masa ketergantungan anak kepada orang tua lebih lama daripada masa ketergantungan anak kepada orang tua di Barat. Di Indonesia, orang tua masih banyak turut campur dalam menentukan rencana hidup mereka, seperti memilih sekolah, kegiatan ekstra kurikuler, kursus dan lain-lain. Termasuk dalam memilih hobi pun, orang tua seringkali masih ikut campur dengan tindakan yang represif dan intimidatif, sehingga anak tidak memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri.

Ketika anak merasa terlalu diatur atau dikekang oleh orang tuanya dan dia tidak berdaya menghadapinya, maka biasanya anak akan mencari pelampiasan di luar rumah. Dikhawatirkan jika anak tersebut berteman dengan anak atau orang yang tidak baik atau penggemar hobi ekstrem seperti rooftopping ini, maka dia mungkin akan ikut-ikutan padahal dia belum mempunyai pengalaman apapun dalam melakukan rooftopping.

commit to user

Gambar

Gambar  3  menunjukkan  perayaan  Dirgahayu  Kemerdekaan  ala  Arief  Fandy  dan Gambar 4 menunjukkan Arief sedang beraksi di atas sebuah crane di Jakarta

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

Alhamdulillahirobbil’alamin segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberi rahmat serta nikmat-Nya sehingga penulis mampu

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

Konsep Pieper tentang manusia dan masyarakat, sebagaimana dipaparkan dalam artikel ini, menjadi perspektif penulis untuk mengemukakan konsep tentang persahabatan yang disimpulkan

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut

(2) Bank Indonesia mencabut status BDP apabila Bank Indonesia telah menerima surat penetapan dari BPPN yang menyatakan program penyehatan terhadap Bank yang bersangkutan telah

Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam