• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADAT DI TANGAN PEMERINTAH DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ADAT DI TANGAN PEMERINTAH DAERAH"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ADAT

DI TANGAN

PEMERINTAH DAERAH

(3)
(4)

ADAT DI TANGAN PEMERINTAH DAERAH

PANDUAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH UNTUK PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

Myrna A. Safitri Luluk Uliyah

Epistema Institute

2015

(5)

Adat di tangan Pemerintah Daerah: Panduan penyusunan produk hukum daerah untuk pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat/ Myrna A. Safitri dan Luluk Uliyah- Ed.rev- Jakarta: Epistema Institute, 2015.

viii, 154 hlm: ill. 16,7 x 23 cm ISBN: 978-602-1304-03-7

Adat di tangan Pemerintah Daerah: Panduan penyusunan produk hukum daerah untuk pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat

© 2015 Epistema Institute

Penulis:

Myrna A. Safitri Luluk Uliyah

Foto sampul koleksi Luluk Uliyah

Foto-foto isi koleksi Andi Sandhi, Luluk Uliyah dan Myrna A. Safitri

Pracetak: Andi Sandhi

Desain sampul: Doddy Suhartono

Penerbit:

Epistema Institute

Jalan Jati Padang Raya No. 25 Jakarta 12540

Telepon : 021-78832167

E-mail : epistema@epistema.or.id Website : www.epistema.or.id Edisi Revisi: 2015

Buku panduan ini disusun dengan dukungan dari Rakyat Amerika melalu Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi buku ini merupakan tanggungjawab Epistema dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

Epistema adalah mitra USAID/Program Representasi; program tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) berdurasi lima tahun dari USAID. ProRep bertujuan untuk memperbaiki representasi di Indonesia dengan meningkatkan inklusifitas and efektivitas dari kelompok dan institusi yang mengaspirasikan kepentingan publik kepada pemerintah melalui perbaikan transparansi dan efektivitas proses legislasi. ProRep dilaksanakan oleh Chemonics International, bekerja sama dengan Urban Institute, Social Impact dan Kemitraan.

(6)

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR vii

1. PENDAHULUAN 1

2. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 35/PUU-X/2012 7

3. SIAPA MASYARAKAT HUKUM ADAT 17

4. KERANGKA HUKUM 39

5. KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB

PEMERINTAH DAERAH 67

6. PRODUK HUKUM DAERAH UNTUK

PENGAKUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT 77

7. PENUTUP 89

REFERENSI 91

LAMPIRAN-LAMPIRAN CONTOH PERATURAN DAERAH DAN

KEPUTUSAN KEPALA DAERAH 93

(7)
(8)

vii

KATA PENGANTAR

Buku ini adalah revisi dari buku yang telah kami terbitkan pada Desember 2014. Edisi pertama buku ini diterbitkan tepat 585 hari setelah dibacakannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012. Perubahan besar dalam konsep hukum, kebijakan dan arah gerakan sosial untuk pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Hukum Adat dibawa oleh Putusan MK ini. Tidak terhitung pertemuan diselenggarakan untuk membahasnya. Riset pun juga banyak dilakukan. Lalu, sejumlah peraturan perundang-undangan dibentuk oleh Pemerintah Pusat untuk menanggapi Putusan ini.

Sayangnya, keriuhan yang berlangsung di panggung nasional itu tidak berbanding lurus dengan fakta di daerah, dan di kampung-kampung. Hingga awal Desember 2015, belum ada satupun hutan adat atau wilayah Masyarakat Hukum Adat di dalam kawasan hutan yang mendapat pengakuan Pemerintah. Penghambatnya adalah ketiadaan produk hukum daerah yang tepat untuk dijadikan dasar mengklaim kembali wilayah adat tersebut.

Kami menyusun buku ini untuk menjadikan wilayah adat itu senyatanya diakui dan membantu Pemerintah Daerah untuk mewujudkan pengakuan tersebut. Apa yang dipaparkan dalam buku ini adalah hasil dari perjalanan panjang kami melakukan advokasi kebijakan yang berbasis pada riset di berbagai lokasi di Indonesia.

Kami berterima kasih kepada kolega yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan buku ini. Demikian pula terima kasih atas masukan dari para pihak lain dalam pelatihan penyusunan Peraturan Daerah untuk pengakuan Masyarakat Hukum Adat yang diselenggarakan oleh Epistema Institute dan pelatihan lain yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.

Kami berharap Buku ini dapat menginspirasi kerja yang lebih konkrit untuk mewujudkan pengakuan hukum yang nyata bagi Masyarakat Hukum Adat dan wilayahnya.

Jakarta, 10 Desember 2015

Myrna A. Safitri dan Luluk Uliyah

(9)
(10)

1. PENDAHULUAN

Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 merupakan pengakuan dan perlindungan atas keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat.

Hal demikian merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai “living law” yang sudah berlangsung sejak lama, dan diteruskan sampai sekarang. Oleh karena itu, menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.

K utipan di atas bersumber dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/ PUU- X/2012. Putusan ini (selanjutnya disebut Putusan MK 35) membuat koreksi mendasar terhadap konsep dan praktik penguasaan tanah di Indonesia.

Mengapa demikian?

Pertama-tama marilah kita melihat terlebih dahulu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebelum ada Putusan MK 35 ini, Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan ini menyatakan bahwa “hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat”. Tentu saja hal ini menimbulkan ketidakpuasan dari Masyarakat Hukum Adat karena wilayah adat mereka harus menjadi bagian dari hutan negara. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya pada tanggal 19 Maret 2012, wakil dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua kelompok Masyarakat Hukum Adat yakni dari Kenegerian Kuntu di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dan Kasepuhan Cisitu di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, mendaftarkan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian terhadap beberapa pasal dalam UU No. 41 Tahun 1999. Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 Mei 2013 membacakan Putusan MK 35, yang salah satu amar atau putusannya menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara.

Kedua, ketika Mahkamah Konstitusi menyatakan hutan adat bukan hutan

negara, pada saat bersamaan Mahkamah menyatakan bahwa hutan adat

adalah bagian dari hutan hak. Dengan demikian maka Mahkamah Konstitusi

meluruskan konsep penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Selama ini

(11)

2

Kementerian Kehutanan (sekarang menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, KLHK) dan Kementerian/Lembaga lain termasuk Pemerintah Daerah meyakini bahwa kawasan hutan itu adalah kawasan yang bebas dari penguasaan tanah oleh warga negara.

Pemahaman di atas sebenarnya adalah sebuah kesalahkaprahan.

1

UU No. 41 Tahun 1999 tidak menyatakan demikian. UU Kehutanan ini menganut pandangan bahwa kawasan hutan adalah wilayah yang direncanakan menjadi hutan tetap, yang di dalamnya terdapat penguasaan negara dan warga negara. Karena hal ini maka kawasan hutan itu meliputi hutan negara dan hutan hak. Hutan hak dimaksud terdiri dari hutan adat dan hutan hak perorangan atau badan hukum.

Setelah keluarnya Putusan MK 35, Pemerintah Pusat menerbitkan sejumlah peraturan perundang-undangan. Di antaranya adalah Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 62/Menhut-II/2013 yang merupakan perubahan dari Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Selain itu juga ada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Pada tanggal 17 Oktober 2014, dikeluarkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan.

2

Jauh sebelum ini, terdapat Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini dicabut dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu. Kemudian, beberapa peraturan perundang-undangan nasional lain juga memerintahkan pengaturan dan penetapan masyarakat hukum adat

1 Salah kaprah adalah kesalahan yang sudah umum dilakukan sehingga banyak orang tidak lagi merasakannya sebagai sebuah kesalahan (www.kbbi.web.id).

2 Peraturan Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor

17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014.

(12)

3

melalui produk hukum daerah. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, misalnya memberikan mandat kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menetapkan tanah ulayat.

Jelaslah, Pemerintah Daerah menjadi ujung tombak penting untuk implementasi Putusan MK 35. Namun demikian, banyak Pemerintah Daerah ragu terhadap kewenangan ini. Sementara itu, sejumlah peraturan daerah yang ada di berbagai kabupaten pada umumnya bersifat pengaturan dan bukan penetapan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan wilayahnya.

Padahal, KLHK berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 meminta adanya peraturan daerah yang bersifat penetapan sebagai syarat pengakuan hutan adat.

Untuk mendorong percepatan implementasi Putusan MK 35, maka pembentukan produk hukum daerah yang baik dan tepat sangat diperlukan.

Buku ini membantu eksekutif dan legislatif di daerah untuk menyusun

produk hukum mengenai pengakuan Masyarakat Hukum Adat, hak-hak serta

wilayahnya. Bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan? Bagaimana

format produk hukum yang benar? Bagaimana materi muatan yang tepat

(13)

4

sesuai dengan keragaman kondisi Masyarakat Hukum Adat di daerah dan tidak bertentangan dengan produk hukum nasional?

Kami membagi buku panduan ini ke dalam pokok-pokok bahasan berikut.

Setelah bagian pendahuluan, kita masuk ke bagian kedua yang menjelaskan secara ringkas mengenai Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Kemudian dilanjutkan dengan bagian ketiga dimana kita akan menemukan pembahasan mengenai definisi dan konsep Masyarakat Hukum Adat, baik yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan ataupun pendapat para ahli. Pada bagian keempat dibahas mengenai kerangka hukum untuk menyusun produk hukum daerah. Di dalamnya dibahas peraturan perundang-undangan nasional, rancangan undang-undang mengenai Masyarakat Hukum Adat, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi dan instrumen perjanjian internasional mengenai Masyarakat Hukum Adat, baik yang sudah atau belum disetujui atau diadopsi oleh Pemerintah Indonesia.

Bagian kelima membahas kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Bagian keenam menjelaskan bentuk produk hukum daerah yang dapat digunakan, langkah-langkah penyusunan dan contoh formatnya. Buku ini diakhiri dengan bagian penutup yang mengikhtisarkan pokok-pokok bahasan sebelumnya.

Buku ini membantu eksekutif dan legislatif di daerah untuk menyusun produk hukum yang tepat dan benar untuk pengakuan Masyarakat Hukum Adat. Bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan? Bagaimana format produk hukum yang benar? Bagaimana materi muatan yang tepat sesuai dengan keragaman kondisi Masyarakat Hukum Adat di daerah dan tidak bertentangan dengan produk hukum nasional?

(14)
(15)
(16)

7

2. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 35/PUU-X/2012

3

P utusan MK 35 yang dibacakan pada 16 Mei 2013 merupakan tonggak penting dari perjuangan panjang Masyarakat Hukum Adat dan kelompok masyarakat sipil pendukungnya untuk mengoreksi kekeliruan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kekeliruan dimaksud secara khusus berkaitan dengan konsep, kebijakan dan praktik penguasaan tanah dan hutan di Indonesia.

Pasal 1 angka 6 dan sejumlah pasal lain dalam UU No. 41 Tahun 1999 merumuskan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara. Putusan MK 35 menyatakan ketentuan ini diskriminatif terhadap kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Apa saja hal penting yang terdapat dalam Putusan MK 35 itu, bagaimana tanggapan Pemerintah Pusat dan apa yang penting dilakukan oleh Pemerintah Daerah? Kita akan menemukan jawabannya dalam penjelasan berikut.

Membedah Pokok-pokok Pendapat MK

Pokok-pokok pendapat MK terkait dengan Masyarakat Hukum Adat dan hutan adat sebagaimana terdapat pada halaman 166-188 Putusan MK 35 adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat Hukum Adat adalah subjek hukum.

Secara jelas MK menyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah penyandang hak dan kewajiban. Dengan kata lain adalah subjek hukum.

3 Disarikan dari Safitri, M.A., 2014, Kembali ke daerah: Sebuah pendekatan realistik untuk pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, makalah disampaikan dalam diskusi memperingati setahun Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Jakarta, 13 Mei 2014.

Putusan MK No.

35/PUU-X/2012 telah mengoreksi kekeliruan

konsep hukum, kebijakan dan praktik

penguasaan tanah di Indonesia.

(17)

8

Oleh karena itu maka Masyarakat Hukum Adat seharusnya mempunyai kedudukan yang sama dengan subjek hukum lain dalam penguasaan tanah. Subjek hukum lain itu misalnya orang perorangan atau badan hukum.

2. UU No. 41 Tahun 1999 telah bersikap diskriminatif terhadap Masyarakat Hukum Adat sebagai subjek hukum dengan menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara. MK berpendapat ketentuan-ketentuan terkait hal ini dalam UU No. 41 Tahun 1999 mencerminkan ketidakpastian hukum dan anti keadilan.

3. Terjadi pengabaian negara terhadap Masyarakat Hukum Adat.

Sejalan dengan pokok pikiran MK mengenai diskriminasi yang dilakukan oleh UU No. 41 Tahun 1999 kepada Masyarakat Hukum Adat, MK menegaskan lagi bahwa penempatan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara adalah pengabaian hak-hak Masyarakat Hukum Adat.

4. Pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hutan adat dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.

Dengan pandangan ini maka MK tidak bermaksud mendukung faham

antroposentrisme dalam pengelolaan hutan adat. Faham ini

menempatkan kepentingan manusia menjadi yang utama dalam

pemanfaatan tanah dan sumber daya alam. MK memandang bahwa

(18)

9

aspek kelestarian hutan tetap menjadi pertimbangan dalam pengelolaan hutan adat.

5. Penguasaan hutan terbagi atas hutan negara dan hutan hak; Di dalam hutan hak terdapat hutan adat dan hutan perorangan/ badan hukum.

Dalam hal ini, MK memberikan kejelasan terhadap konsep penguasaan hutan. Memasukkan hutan adat ke dalam hutan negara merupakan bentuk tumpang tindih penguasaan hutan. MK menyatakan bahwa penguasaan tanah/hutan ada pada perorangan, Masyarakat Hukum Adat (secara kolektif dengan hak ulayat) dan negara. Wewenang negara dibatasi oleh wewenang Masyarakat Hukum Adat. Wewenang Masyarakat Hukum Adat dibatasi oleh wewenang perorangan atas tanah.

6. Hutan adat adalah salah satu fungsi wilayah hak ulayat Masyarakat Hukum Adat; di wilayah tersebut terdapat fungsi-fungsi penggunaan lahan lainnya.

7. Masyarakat Hukum Adat berkembang secara evolutif.

MK mengikuti pendapat Émile Durkheim pada abad ke 19 mengenai perkembangan masyarakat. Masyarakat menurut Durkheim (1997) berkembang dari solidaritas mekanis menjadi masyarakat dengan solidaritas organis. Teori sosiologi klasik yang digunakan MK ini mungkin tidak sesuai dengan realitas yang ada sekarang. Pemisahan secara tajam antara masyarakat solidaritas mekanis dan solidaritas organis tidak lagi dapat ditemukan, demikian pula pada Masyarakat Hukum Adat. Karena itu, definisi yang realistik terhadap Masyarakat Hukum Adat perlu dibangun bersama sesuai dengan perkembangan terkini.

8. Hak Masyarakat Hukum Adat untuk menentukan nasib sendiri hanya mungkin dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa batasan ini maka MK khawatir pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri akan menimbulkan ancaman separatis.

9. Peraturan Daerah (Perda) merupakan pendelegasian wewenang mengatur mengenai Masyarakat Hukum Adat dari Pemerintah Pusat.

Pendelegasian ini adalah upaya menjalankan Pasal 18B ayat (2) UUD

1945. Pengaturan mengenai Masyarakat Hukum Adat sejatinya dilakukan

dalam undang-undang, namun untuk menghindari kekosongan hukum

(19)

10

Menurut Mahkamah Konstitusi Perda merupakan pendelegasian wewenang mengatur mengenai Masyarakat Hukum Adat dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.

maka MK berpendapat bahwa pengaturan oleh Pemerintah Daerah dibenarkan.

Respon Pemerintah Pusat terkait Putusan MK 35

Bagian ini memuat sejumlah pernyataan politik dan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat setelah adanya Putusan MK 35. Pemaparan setiap respon dilakukan secara kronologis.

1. Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pembukaan International Workshop on Tropical Forest Alliance 2020, 20 Juni 2013.

Setelah panjang lebar menjelaskan strategi pembangunan yang meliputi pro-growth, pro-environment, pro-poor dan pro-job, Presiden SBY secara khusus mengomentari Putusan MK 35 dalam kaitan dengan komitmen pemerintahannya untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan. Beliau menyatakan:

“…recently the Indonesian Constitutional Court has decided that customary forest, or ‘hutan adat’, is not part of the state forest zone.

This decision marks an important step towards a full recognition of land and resources rights of adat community and forest-dependent communities. This will also enable Indonesia’s shift toward sustainable growth with equity in its forests and peatlands sector.

I am personally committed to initiating a process that registers and recognizes the collective ownership of adat territories in Indonesia.

This is a critical first step in the implementation process of the Constitutional Court’s decision.”

2. Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2013.

Diterbitkan tepat dua bulan setelah Putusan MK 35, Surat Edaran (SE) ini

ditujukan kepada Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepada Dinas yang

membidangi urusan kehutanan. Surat Edaran ini menjelaskan kembali

amar putusan dan pendapat MK dalam perkara pengujian

konstitusionalitas pasal-pasal dalam UU No. 41 Tahun 1999 terkait hutan

(20)

11

adat dan Masyarakat Hukum Adat. Namun, secara eksplisit SE ini menegaskan bahwa hutan adat itu harus ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, dengan syarat keberadaan Masyarakat Hukum Adat terlebih dahulu ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sebelum penetapan ini perlu dilakukan penelitian oleh Tim sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 dan penjelasannya.

3. Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 62/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 44/ Menhut- II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.

Peraturan ini secara eksplisit menyatakan tujuannya untuk menjalankan Putusan MK 35. Masyarakat Hukum Adat didefinisikan oleh Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) ini sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Sedangkan wilayah Masyarakat Hukum Adat adalah tempat berlangsungnya hidup dan menyelenggarakan kehidupan Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan yang letak dan batasnya jelas serta dikukuhkan dengan Peraturan Daerah.

Hal kontroversial dari Permenhut ini adalah Pasal 24A yang menyatakan pada ayat (3) bahwa jika sebagian atau seluruh wilayah Masyarakat Hukum Adat berada dalam kawasan hutan maka wilayah tersebut akan dikeluarkan dari kawasan hutan. Kemudian Peraturan ini juga menyatakan: “Terhadap wilayah Masyarakat Hukum Adat yang berada dalam kawasan hutan sesuai Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, maka wilayah Masyarakat Hukum Adat dikeluarkan keberadaannya dari kawasan hutan” (Pasal 57 ayat (2)).

Dengan menyebutkan bahwa wilayah adat yang berada dalam kawasan hutan dikeluarkan dari kawasan hutan maka Peraturan Menteri ini telah bertentangan dengan Putusan MK 35. Putusan MK tidak menyatakan bahwa kawasan hutan hanya berupa hutan negara. Di dalamnya terdapat hutan hak yang terdiri dari hutan adat dan hutan perorangan/badan hukum.

Persoalan lain dari Permenhut ini adalah sebagaimana disampaikan oleh

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yakni pengingkaran terhadap

status Masyarakat Hukum Adat sebagai subjek hukum. Permenhut ini

(21)

12

membuat definisi mengenai hak-hak pihak ketiga dan inventarisasi dan identifikasi hak-hak pihak ketiga tersebut, tetapi tidak menyebutkan hak Masyarakat Hukum Adat.

4

4. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 522/8900/SJ tanggal 20 Desember 2013 tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat

5

. SE ini juga menyatakan diri sebagai pelaksana Putusan MK 35.

Menariknya, dengan surat ini Menteri Dalam Negeri mengusulkan definisi baru mengenai tanah ulayat. Tanah adat—yang dipersamakan oleh SE ini dengan tanah ulayat—disebutkan sebagai bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu Masyarakat Hukum Adat tertentu; tanah ulayat termasuk tanah kerajaan, kraton maupun kesultanan (Sultan Ground).

Dimasukkannya tanah kerajaan ke dalam kategori tanah ulayat mempunyai implikasi serius terhadap cara pandang Menteri Dalam Negeri mengenai Masyarakat Hukum Adat. SE ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kesultanan, kerajaan dan sebagainya itu termasuk ke dalam kategori Masyarakat Hukum Adat yang memegang hak atas tanah ulayat. Tentu saja hal ini meresahkan karena penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen, secara tegas menyebutkan adanya dua kategori berbeda mengenai pemerintahan asli di Republik Indonesia.

Keduanya adalah "Zelfbesturende landschappen" dan

“Volksgemeenschappen”. Masyarakat Hukum Adat termasuk ke dalam kategori yang kedua (volksgemeenschappen). Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan contoh volksgemeenschappen itu adalah nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Sementara zelfbesturende landschappen adalah pemerintahan swapraja yaitu suatu pemerintahan pribumi yang memperoleh otonominya karena sejumlah perjanjian dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

4 Selengkapnya mengenai keberatan AMAN terhadap Permenhut No. P.62/ Menhut-

II/2013 lihat pada tautan ini: http://www.aman.or.id/2014/01/25/ pernyataan-sikap- aliansi-masyarakat-adat-nusantara-aman-terhadap-peraturan-menteri-kehutanan- republik-indonesia-nomor-p-62menhut-112013-tentang-perubahan-atas-peraturan- menteri-kehutanan-nomor-p-4/#.U3ECR4LNcXx.

5 Bagian ini dimuat dalam Editorial Epistema April 2014, lihat www.epistema.or.id.

(22)

13

Desa Adat adalah pilihan.

Masyarakat Hukum Adat dapat memilih apakah bentuk pemerintahannya akan dijadikan Desa Adat atau tidak. Jika berbentuk Dssa Adat maka Pemerintahan Desa akan menjalankan urusan adat dan urusan pemerintahan umum.

Di tengah upaya memperjuangkan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan wilayah adat, dimana tanah-tanah komunal yang disebut tanah ulayat itu berada, maka SE Mendagri ini jelas suatu langkah mundur. Surat ini bersifat kontradiktif dengan misi Undang-undang No. 5 Tahun 1960 atau Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) untuk membentuk hukum agraria yang bersih dari anasir feodalisme.

5. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Undang-undang ini mengatur secara khusus mengenai Desa Adat.

Penetapan Desa Adat dilakukan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/

Kota. Perdebatan yang muncul terkait UU ini adalah: apakah lahirnya UU ini akan melemahkan atau menguatkan pengakuan Masyarakat Hukum Adat?

Pertanyaan ini muncul karena rumusan pasal-pasal dalam UU No. 6 Tahun 2014 ini serta penjelasannya menimbulkan banyak tafsir.

Sebagai contoh adalah Pasal 97 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa penetapan Desa Adat dilakukan jika memenuhi salah satu kriteria yakni

“kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional”. Di sini kita bisa melihat bahwa kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersifat teritorial, genealogis, dan fungsional dapat menjadi Desa Adat. Namun, dalam penjelasan umum UU No. 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa Desa Adat adalah sebuah kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.

Penjelasan UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan tidak mengatur seluruh

tipologi Masyarakat Hukum Adat. UU ini hanya mengatur kesatuan

Masyarakat Hukum Adat yang merupakan gabungan antara genealogis

dan teritorial.

(23)

14

Desa Adat pada prinsipnya sebuah pilihan. Masyarakat Hukum Adat dapat memilih apakah bentuk pemerintahannya akan dijadikan Desa Adat atau tidak. Pasal 106 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan penugasan kepada Desa Adat untuk penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat, pelaksanaan Pembangunan Desa Adat, pembinaan kemasyarakatan Desa Adat, dan pemberdayaan masyarakat Desa Adat. Meskipun disebutkan ada biaya pada penugasan yang diberikan ini tetapi penugasan ini sejatinya penambahan beban kerja bagi Desa Adat. Selain mengurus adat, Desa Adat juga menjalankan tugas-tugas pemerintahan desa pada umumnya.

6. Program Nasional Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat melalui Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (REDD+).

Ditandatangani oleh sembilan Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintahan/Komisi Negara dan disaksikan wakil-wakil organisasi Masyarakat Hukum Adat, Program ini bertujuan untuk menjalankan delapan agenda sebagai berikut:

(1) Mengembangkan kapasitas dan partisipasi Masyarakat Hukum Adat dalam menjalankan program dan kegiatan pemerintah.

(2) Sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait Masyarakat Hukum Adat.

(3) Adanya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

(4) Penetapan Peraturan Daerah untuk Masyarakat Hukum Adat.

(5) Penyelesaian konflik.

(6) Pemetaan dan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk rakyat termasuk Masyarakat Hukum Adat.

(7) Memperkuat kapasitas kelembagaan dan kewenangan berbagai pihak untuk pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat di tingkat Pusat dan Daerah.

(8) Mendukung pelaksanaan REDD+ sebagai upaya menjalankan

partisipasi Masyarakat Hukum Adat.

(24)

15

7. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Peraturan Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB. 3/Menhut-II/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan.

Peraturan Bersama ini menyediakan prosedur untuk verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan, termasuk hak Masyarakat Hukum Adat atas wilayah adat yang berada dalam kawasan hutan. Lebih lanjut mengenai isi Peraturan ini dapat dilihat pada bab 4.

8. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada di dalam kawasan tertentu

Peraturan ini mencabut Peraturan Menteri Agraria No. 5 Tahun 1999 mengenai pengakuan hak ulayat. Di dalam Peraturan Menteri ini diperkenalkan istilah baru yaitu hak komunal. Ini merupakan hak milik bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat atau hak milik bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada dalam kawasan hutan atau perkebunan.

Bupati/walikota menetapkan hak komunal. Hak tersebut selanjutnya didaftarkan kepada Kantor Pertanahan dan diterbitkan sertifikatnya.

Sertifikat hak komunal untuk Masyarakat Hukum Adat diterbitkan atas nama anggota Masyarakat Hukum Adat atau kepala adat. Sedangkan bagi masyarakat lainnya, sertifikat itu dapat diterbitkan atas nama anggota masyarakat lain, pengurus koperasi, lembaga desa, atau pimpinan kelompok masyarakat.

9. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.

32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak.

Peraturan Menteri ini mempertegas Putusan Mahkamah Konstitusi No.

35/PUU-X/2012 yang menjelaskan bahwa kawasan hutan terdiri dari

hutan Negara dan hutan hak. Dalam Peraturan ini juga dijelaskan tentang

syarat permohonan penetapan hutan hak, insentif yang diberikan kepada

pemangku hutan hak dan kewenangan Pemerintah dan pemerintah

daerah dalam memenuhi hak-hak pemangku hutan hak. Peraturan ini

memerintahkan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan, memfasilitasi pemerintah daerah untuk menyusun

produk hukum yang mengakui masyarakat hukum adat atau hak ulayat.

(25)

16

Demikian juga, ia mendorong pentingnya peran pemerintah daerah dan keberadaan peraturan daerah dalam mempercepat pengakuan masyarakat hukum adat.

Peran Pemerintah Daerah

Ketujuh respon Pemerintah Pusat yang dibahas di atas menunjukan satu

simpul yang sama bahwa Pemerintah Daerah dan keberadaan Peraturan

Daerah (Perda) memegang peran penting dalam pelaksanaan Putusan MK 35

ini. Pemerintah Pusat bahkan Mahkamah Konstitusi telah menyerahkan

tanggung jawab kepada Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, bekerja di

daerah, melakukan pendampingan dan pengawasan kepada Pemerintah

Daerah adalah hal yang tidak bisa ditunda lagi untuk melaksanakan Putusan

MK 35 ini.

(26)
(27)
(28)

19

3. SIAPA MASYARAKAT HUKUM ADAT

P ada bagian sebelumnya kita telah mengetahui bahwa pelaksanaan Putusan MK 35 sangat bergantung pada keberadaan Peraturan Daerah (Perda) untuk mengatur dan menetapkan Masyarakat Hukum Adat. Namun, klarifikasi tentang siapakah komunitas yang dapat dikategorikan sebagai Masyarakat Hukum Adat di suatu daerah penting dirumuskan. Tanpa ada kejelasan tentang subyek pengaturannya, maka suatu peraturan akan kehilangan kesempurnaannya. Sayangnya, kita masih belum mempunyai kesepakatan yang jelas tentang persoalan ini. Salah satu masalah adalah beragamnya istilah dan kriteria yang digunakan oleh peraturan perundang-undangan.

UUD 1945 menggunakan istilah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Pasal 18B ayat (2) menyebutkan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

Selain itu terdapat pula istilah masyarakat tradisional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” UUD 1945 tidak menjelaskan apakah istilah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat tradisional itu adalah konsep yang sama atau tidak. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, istilah yang digunakan pada umumnya adalah Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Adat atau Desa Adat.

Selengkapnya mengenai istilah, definisi dan kriteria pengakuan masyarakat (hukum) adat dalam peraturan perundang-undangan nasional dapat dilihat dalam tabel 1. Pada tabel itu kita dapat mengetahui bahwa beberapa peraturan hanya menyebutkan istilah saja namun tidak menjelaskan definisi Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat. Contohnya adalah UU No. 5 Tahun 1960 (dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria, UUPA), UU No.

Konsep Masyarakat Hukum Adat yang khas

penting dirumuskan karena menunjukkan

subjek pengaturan sebuah produk hukum

daerah.

(29)

20

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ada pula peraturan yang tidak menerangkan definisi tetapi menyebutkan unsur-unsur Masyarakat Hukum Adat, misalnya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Definisi Masyarakat Hukum Adat dapat kita temukan dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014), UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Selain itu ada pula Keputusan Presiden No. 111 Tahun 1999 yang menyebutkan definisi Komunitas Adat Terpencil.

Meskipun istilah yang digunakan beragam, dalam kenyataannya yang

disebut Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat itu merujuk pada

komunitas yang sama. Dalam masyarakat pada umumnya tidak digunakan

istilah Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat, melainkan istilah yang

menunjukkan identitas lokal suatu komunitas. Misalnya, Kasepuhan, Orang

Rimba, Nagari Sijunjung dan sebagainya.

(30)

T ab el 1 .Is ti la h, d ef ini si ,k ri ter ia d an p en g at u ra n kh u su s Ma sy ara ka t Hu ku m A d at d al am p er at u ra n p er u n d ang -u nda ng an na si o na l

Peraturan Perundang- undangan

Istilahyang digunakanDefinisiKriteriapengakuanMHAoleh negara/pengaturankhususMHA UUD1945KesatuanMasyarakat HukumAdatNegaramengakuidanmenghormatikesatuan- kesatuanMasyarakatHukumAdatbesertahak- haktradisionalnyasepanjangmasihhidup dansesuaidenganperkembanganmasya- rakatdanprinsipNegaraKesatuanRepublik Indonesia,yangdiaturdalamUndang- Undang. Masyarakat TradisionalIdentitasbudayadanhakmasyarakattradisio- naldihormatiselarasdenganperkembangan zamandanperadaban. Peraturanperundang-undanganagraria/sumberdayaalam UUNo.5Tahun 1960tentang PeraturanDasar Pokok-Pokok Agraria(UUPA)

MasyarakatHukum AdatHakmenguasaiNegaraatasbumi,airdan kekayaanalamyangterkandungdidalamnya pelaksanaannyadapatdikuasakankepada masyarakat-masyarakathukumadat,sekedar diperlukandantidakbertentangandengan kepentingannasional,menurutketentuan- ketentuanPeraturanPemerintah.

21

(31)

HakUlayatPelaksanaanhakulayatdanhak-hakyang serupaitudarimasyarakat-masyarakathukum adat,sepanjangmenurutkenyataannyamasih ada,harussedemikianrupasehinggasesuai dengankepentingannasionaldanNegara, yangberdasarkanataspersatuanbangsa sertatidakbolehbertentangandengan Undang-undangdanperaturan-peraturan lainyanglebihtinggi. UUNo.41Tahun 1999tentang Kehutanan

HutanAdatHutanadatadalahhutanyangberadadalam wilayahMasyarakatHukumAdat. MasyarakatHukum AdatMasyarakathukumadatdiakuikeberadaannya, jikamenurutkenyataannyamemenuhiunsur antaralain: (1)Masyarakatnyamasihdalambentukpagu- yuban(rechtsgemeenschap); (2)Adakelembagaandalambentukperangkat penguasaadatnya; (3)Adawilayahhukumadatyangjelas; (4)Adapranatadanperangkathukum,khu- susnyaperadilanadat,yangmasihditaati; dan (5)Masihmengadakanpemungutanhasil hutandiwilayahhutansekitarnyauntuk

22

(32)

pemenuhankebutuhanhidupsehari-hari. UUNo.7Tahun 2004tentang SumberDayaAir

MasyarakatHukum AdatdanHakUlayatPenguasaansumberdayaairdiselenggarakan olehPemerintahdan/ataupemerintahdaerah dengantetapmengakuihakulayatmasyarakat hukumadatsetempatdanhakyangserupa denganitu,sepanjangtidakbertentangan dengankepentingannasionaldan peraturanperundang-undangan. Hakulayatmasyarakathukumadatatas sumberdayaairtetapdiakuisepanjang Kenyataannyamasihadadantelahdikukuh- kandenganperaturandaerahsetempat. UUNo.39Tahun 2014tentang Perkebunan

MasyarakatHukum AdatMasyarakatHukumAdatadalahsekelompokorang yangsecaraturun-temurunbermukimdiwilayah geografitertentudiNegaraKesatuanRepublik Indonesiakarenaikatanpadaasalusulleluhur, hubunganyangkuatdengantanah,wilayah, sumberdayaalam,yangmemilikipranata pemerintahanadatdantatananhukumadatdi wilayahadatnya.

MasyarakatHukumAdatditetapkansesuai denganperaturanperundang-undangan. UUNo.1Tahun 2014tentang PerubahanAtas UUNomor27

MasyarakatHukum AdatMasyarakatHukumAdatadalahsekelompokorang yangsecaraturun-temurunbermukimdiwilayah geografistertentudiNegaraKesatuanRepublik Indonesiakarenaadanyaikatanpadaasalusulle-

23

(33)

Tahun2007 tentang Pengelolaan WilayahPesisirdan Pulau-pulauKecil

luhur,hubunganyangkuatdengantanah,wilayah, sumberdayaalam,memilikipranatapemerintahan adat,dantatananhukumadatdiwilayahadatnya sesuaidenganketentuanperaturanperundang- undangan. UUNo.32Tahun 2009tentang Perlindungandan Pengelolaan LingkunganHidup

MasyarakatHukum AdatMasyarakatHukumAdatadalahkelompokmasya- rakatyangsecaraturuntemurunbermukimdi wilayahgeografistertentukarenaadanyaikatan padaasalusulleluhur,adanyahubunganyangkuat denganlingkunganhidup,sertaadanyasistemnilai yangmenentukanpranataekonomi,politik,sosial, danhukum. PeraturanMenteri Agraria/Kepala BPNNo.5Tahun 1999tentang Pedoman Penyelesaian PermasalahanHak UlayatMasyarakat HukumAdat

MasyarakatHukum AdatMasyarakatHukumAdatadalahsekelompokorang yangterikatolehtatananhukumadatnyasebagai wargabersamasuatupersekutuanhukumkarena kesamaantempattinggalataupunatasdasarke- turunan. HakUlayatHakulayatdanyangserupaitudarimasyarakat hukumadatadalahkewenanganyangmenurut hukumadatdipunyaiolehmasyarakathukumadat tertentuataswilayahtertentuyangmerupakan lingkunganhidupparawarganyauntukmengambil manfaatdarisumberdayaalam,termasuktanah, dalamwilayahtersebut,bagikelangsunganhidup dankehidupannya,yangtimbuldarihubungan secaralahiriahdanbatiniah,turun-menurundan tidakterputusantaramasyarakathukumadatter- Hakulayatdiakuijika: (1)Terdapatsekelompokorangyangmasih merasaterikatolehtatananhukumadatnya sebagaiwargabersamasuatupersekutuan hukumtertentu,yangmengakuidan menerapkanketentuan-ketentuan persekutuantersebutdalamkehidupannya sehari-hari; (2)Terdapattanahulayattertentuyang

24

(34)

sebutdenganwilayahyangbersangkutan.menjadilingkunganhidupparawarga persekutuanhukumtersebutdantempat- nyamengambilkeperluanhidupnyasehari- hari;dan (3)Terdapattatananhukumadatmengenai pengurusan,penguasaandanpenggunaan tanahulayatyangberlakudanditaatioleh parawargapersekutuanhukumtersebut. PeraturanBersama MenteriDalam Negeri,Menteri Kehutanan, Menteri PekerjaaanUmum danKepalaBPN PeraturanNomor 79Tahun2014, Nomor PB.3/Menhut- II/2014,Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014.

MasyarakatHukum AdatPengakuanhakmasyarakathukumadat adalahpengakuanpemerintahterhadap keberadaanhak-hakmasyarakathukumadat sepanjangpadakenyataannyamasihada. Pengakuanhakmasyarakathukumadat dilaksanakansesuaidenganketentuan peraturanperundang-undangan. HakUlayatHakulayatdanyangserupaitudarimasyarakat hukumadatadalahkewenanganyangmenurut hukumadatdipunyaiolehmasyarakathukumadat tertentuataswilayahtertentuyangmerupakan lingkunganhidupparawarganyauntukmengambil manfaatdarisumberdayaalam,termasuktanah, dalamwilayahtersebut,bagikelangsunganhidup dankehidupannya,yangtimbuldarihubungan secaralahiriahdanbatiniah,turun-menurundan tidakterputusantaramasyarakathukumadat tersebutdenganwilayahyangbersangkutan.

25

(35)

Otonomidaerahdandesa UU23Tahun2014 tentang Pemerintahan Daerah

DesaAdatDesaadatatauyangdisebutdengannamalain, adalahkesatuanmasyarakathukumyangmemiliki bataswilayahyangberwenanguntukmengatur danmengurusUrusanPemerintahan,kepenting- anmasyarakatsetempatberdasarkanprakarsamas- yarakat,hakasalusul,dan/atauhaktradisionalyang diakuidandihormatidalamsistempemerintahan NegaraKesatuanRepublikIndonesia. UUNo.6Tahun 2014DesaAdatDesaAdatatauyangdisebutdengannamalain adalahkesatuanmasyarakathukumyangmemiliki bataswilayahyangberwenanguntukmengaturdan mengurusurusanpemerintahan,kepentinganmas- yarakatsetempatberdasarkanprakarsamasyarakat, hakasalusul,dan/atauhaktradisionalyangdiakui dandihormatidalamsystempemerintahanNegara KesatuanRepublikIndonesia.

Pasal97ayat(1)menyebutkanpenetapandesa adatharusmemenuhisyarat: (1)Kesatuanmasyarakathukumadatbeserta haktradisionalnyasecaranyatamasih hidup,baikyangbersifatteritorial,genea- logis,maupunyangbersifatfungsional; (2)Kesatuanmasyarakathukumadatbeserta haktradisionalnyadipandangsesuai denganperkembanganmasyarakat;dan (3)Kesatuanmasyarakathukumadatbeserta haktradisionalnyasesuaidenganprinsip NegaraKesatuanRepublikIndonesia.

26

(36)

KesatuanMasyarakatHukumAdatbesertahak tradisionalnyadianggapmasihhidupjika memilikiwilayahdanpalingkurangme- menuhisalahsatuataugabunganunsur adanya: (1)Masyarakatyangwarganyamemilikipe- rasaanbersamadalamkelompok; (2)Pranatapemerintahanadat; (3)Hartakekayaandan/ataubendaadat;dan/ atau (4)Perangkatnormahukumadat. Kesatuanmasyarakathukumadatbeserta haktradisionalnyadipandangsesuai denganperkembanganmasyarakatapabila: (1)Keberadaannyatelahdiakui berdasarkanundang-undangyang berlakusebagaipencerminan perkembangannilaiyangdianggapideal dalammasyarakatdewasaini,baik undang-undangyangbersifatumum maupunbersifatsektoral;dan (2)Substansihaktradisionaltersebut diakuidandihormatiolehwarga kesatuanmasyarakatyang bersangkutandanmasyarakatyang

27

(37)

lebihluassertatidakbertentangan denganhakasasimanusia. Kesatuanmasyarakathukumadatbeserta haktradisionalnyasesuaidenganprinsip NegaraKesatuanRepublikIndonesiaapabila kesatuanmasyarakathukumadattersebut tidakmengganggukeberadaanNegaraKesatu- anRepubliklndonesiasebagaisebuahkesatu- anpolitikdankesatuanhukumyang: (1)Tidakmengancamkedaulatandan integritasNegaraKesatuanRepublik lndonesia;dan (2)Substansinormahukumadatnyasesuai dantidakbertentangandengan ketentuanperaturanperundang- undangan. Otonomikhusus UUNo.18Tahun 2001(Otonomi KhususAceh)

MukimMukimadalahkesatuanmasyarakathukumdalam ProvinsiNanggroeAcehDarussalamyangterdiri atasgabunganbeberapagampongyangmem- punyaibataswilayahtertentudanhartakekayaan sendiri,berkedudukanlangsungdibawahKeca- matan/SagoeCutataunamalain,yangdipimpin olehImumMukimataunamalain. GampongGampongataunamalainadalahkesatuan

28

(38)

masyarakathukumyangmerupakanorganisasi pemerintahanterendahlangsungdibawahMukim ataunamalainyangmenempatiwilayahtertentu, yangdipimpinolehKeuchikataunamalaindan berhakmenyelenggarakanurusanrumahtangga- nyasendiri. UUNo.21Tahun 2001(Otonomi KhususPapua)

MasyarakatAdatWargamasyarakatasliPapuayanghidupdalam wilayahdanterikatsertatundukkepadaadatter- tentudenganrasasolidaritasyangtinggidiantara paraanggotanya. MasyarakatHukum AdatWargamasyarakatasliPapuayangsejak kelahirannyahidupdalamwilayahtertentudan terikatsertatundukkepadahukumadattertentu denganrasasolidaritasyangtinggidiantarapara anggotanya. OrangAsliPapuaOrangyangberasaldarirumpunrasMelanesiayang terdiridarisuku-sukuaslidiProvinsiPapuadan/atau orangyangditerimadandiakuisebagaiorangasli PapuaolehmasyarakatadatPapua. Hakasasimanusia UUNo.39Tahun 1999tentangHak AsasiManusia MasyarakatHukum AdatDalamrangkapenegakanhakasasimanusia, perbedaandankebutuhandalamMasyarakat HukumAdatharusdiperhatikandandilindungi olehhukum,masyarakat,danpemerintah. IdentitasbudayaMasyarakatHukumAdat,

29

(39)

termasukhakatastanahulayatdilindungi, selarasdenganperkembanganzaman. Pendidikan UUNo.20Tahun 2003tentang SistemPendidikan Nasional

MasyarakatAdatWarganegaradidaerahterpencilatau terbelakangsertamasyarakatadatyangter- pencilberhakmemperolehpendidikanlayanan khusus. Transmigrasi UUNo.29Tahun 2009tentang PerubahanatasUU No.15Tahun1997 tentang Ketransmigrasian

Adat-istiadatPemerintahdan/ataupemerintahdaerahmem- berikaninformasimengenaiketersediaan lapangankerja,kesempatanberusaha,tempat tinggal,kondisigeografis,danadatistiadatdi kawasantransmigrasi. Kesejahteraansosial Keputusan PresidenNo.No. 111Tahun1999

KomunitasAdat Terpencil(1)Berbentukkomunitaskecil,tertutup,dan homogen; (2)Pranatasosialbertumpupadahubungan kekerabatan; (3)Padaumumnyaterpencilsecarageografi danrelatifsulitdijangkau; (4)Padaumumnyamasihhidupdengan sistemekonomisubsisten;

30

(40)

(5)Peralatandanteknologinyasederhana; (6)Ketergantunganpadalingkunganhidup dansumberdayaalamsetempatrelatif tinggi; (7)Terbatasnyaaksespelayanansosial,eko- nomi,danpolitik. Kekuasaankehakiman UUNo.24Tahun 2003tentang Mahkamah Konstitusi

KesatuanMasyarakat HukumAdatKesatuanMasyarakatHukumAdatdapatmen- jadipemohon (1)Sepanjangmasihhidup; (2)Sesuaidenganperkembanganmasya- rakatdanprinsipNegaraKesatuan RepublikIndonesiayangdiaturdalam undang-undang. Sumber:SafitridanArizona,2013denganpemutakhiran.

31

(41)

32

Jelaslah, bahwa Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat atau Desa Adat itu adalah konsep. Secara sederhana kita dapat menyatakan bahwa konsep merupakan pernyataan abstrak mengenai kenyataan yang diungkapkan melalui kata atau simbol untuk membangun pengetahuan mengenai realitas tersebut. Untuk menjelaskan bahwa Nagari Sijunjung atau Orang Rimba adalah komunitas yang berbeda dengan komunitas lain maka kita perlu memasukkannya ke dalam sebuah konsep yang disebut Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat.

Perdebatan mengenai konsep Masyarakat Hukum Adat di Indo- nesia bermula di masa kolonial.

Cornelis van Vollenhoven adalah orang yang secara serius mengembangkan konsep ter- sebut. Ia adalah ahli hukum tata negara dan perbandingan hukum yang menjadi guru besar di Fakultas Hukum Universitas Leiden di Negeri Belanda.

Sebagai sarjana hukum, fokus utama penelitian van Vollenhoven adalah menemukan karakteristik hukum yang unik dari yang disebut

‘hukum’ pribumi. Demikian pula ia mempelajari komunitas yang memproduksi dan menjalankan hukum tersebut. Hukum pribumi itu kemudian dikenal sebagai hukum adat. Seorang etnolog

Belanda lainnya, Snouck Hurgronje, adalah yang pertama menggunakan istilah hukum adat atau disebutnya adat recht ketika menggambarkan hukum lokal di Aceh.

Van Vollenhoven membuat studi perbandingan dari beragam hukum-hukum lokal pribumi. Dari perbandingan inilah ia menggolongkan hukum-hukum lokal itu ke dalam 19 golongan yang dinamakannya rechtskringen atau

Cornelis van Vollenhoven, perintis studi hukum adat. Sumber: www.wikipedia.com.

(42)

33

Istilah dan definisi yang beragam mengenai Masyarakat Hukum Adat bergantung pada konteks hubungan yang akan dijelaskan. Pemerintah Daerah perlu menetapkan terlebih dahulu aspek apa yang akan diatur dalam produk hukum daerahnya.

wilayah berlakunya hukum (hukum adat). Metode yang dilakukan van Vollenhoven ini serupa dengan metode yang dilakukan ahli antropologi Wilhelm Schmidt yang membuat klasifikasi kebudayaan-kebudayaan di dunia ke dalam wilayah kebudayaan yang disebutnya Kulturkreise (Koentjaraningrat, 1982:115).

Hukum adat yang terbagi ke dalam 19 golongan itu diampu oleh komunitas yang disebut van Vollenhoven sebagai rechtsgemeenschappen. Masyarakat Hukum Adat merupakan terjemahan bebas dari konsep rechtsgemeenschappen atau kadang-kadang disebut juga adat rechtgemeenschappen.

Van Vollenhoven sendiri tidak menerangkan lebih jauh tentang apa yang dimaksudkannya dengan rechtsgemeenschappen tersebut. Dalam sebuah kuliahnya pada tahun 1909, misalnya, van Vollenhoven mengatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda wajib mengakui rechtsgemeenschappen karena ia merefleksikan berbagai komunitas adat yang otonom di Hindia Belanda.

Komunitas ini mempunyai beragam bentuk sesuai dengan wilayah hukum adat di mana mereka berada (Burns 2004:13). J.F. Holleman, seorang ahli hukum lain yang mengkompilasi dan menyunting karya-karya van Vollenhoven menyatakan bahwa meski van Vollenhoven tidak menjelaskan dengan rinci dan membuat definisi yang ketat tentang rechtsgemeenschappen itu, tetapi jelas apa yang dimaksudkannya dari penggunaan yang konsisten terhadap istilah tersebut. Karena itulah Holleman (1981) mengartikan rechtsgemeenschappen yang dimaksud van Vollenhoven sebagai sebuah unit sosial yang terorganisir dari masyarakat pribumi yang mempunyai pengaturan

yang khusus dan otonom terhadap

kehidupan masyarakatnya karena

adanya dua faktor: (1) adanya

representasi otoritas lokal

(kepemimpinan adat) yang khusus; (2)

adanya properti komunal, utamanya

tanah, yang memungkinkan komunitas

tersebut menjalankan pengaturannya.

(43)

34

Istilah Masyarakat Hukum Adat mewarnai literatur hukum adat Indonesia pasca kemerdekaan dan digunakan oleh beberapa peraturan perundang- undangan seperti halnya UUPA yang diberlakukan pada tahun 1960.

Pada tahun 1980-an muncul istilah lain yakni Masyarakat Adat. Istilah ini umumnya dikembangkan oleh gerakan masyarakat sipil (lembaga swadaya masyarakat) untuk advokasi hak-hak masyarakat atas tanah, kekayaan alam dan identitas lokal. Sebuah definisi mengenai Masyarakat Adat dapat dilihat dari definisi yang digunakan oleh AMAN di bawah ini:

Sekelompok penduduk yang hidup berdasarkan asal usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat.

6

Definisi tentang Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat di atas berbeda dengan kriteria Komunitas Adat Terpencil yang dikembangkan oleh Kementerian Sosial. Kriteria ini sama sekali tidak mensyaratkan adanya penguasaan terhadap suatu wilayah secara turun-temurun. Komunitas Adat Terpencil menurut Keputusan Presiden No. 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil bercirikan:

 Berbentuk komunitas kecil, tertutup, dan homogen;

 Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan;

 Pada umumnya terpencil secara geografi dan relatif sulit dijangkau;

 Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten;

 Peralatan dan teknologinya sederhana;

 Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi;

 Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik.

6Anggaran Dasar AMAN, Pasal 11 ayat (2).

(44)

35

Tabel 2. Perbedaan Konsep Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Adat

Elemen Masyarakat Hukum Adat Masyarakat Adat

Penggunaan Digunakan oleh pemerintah

kolonial untuk menyebut suatu

subjek hukum susunan asli

masyarakat pribumi

Digunakan Lembaga Swadaya Masyarakat untuk menyebut orang-orang kampung yang

teguh memegang tradisi

namun menjadi korban pem- bangunan Orde Baru

Waktu kemunculan Pada akhir abad XIX dan awal abad XX

Pada dekade 1980-1990-an

Tujuan awal Digunakan oleh sarjana dan

penguasa kolonial dalam rangka indirect rule dan menunjukan bahwa terdapat keunikan pada masyarakat pribumi

Gerakan pengembalian tanah dan perlawanan terhadap dis- kriminasi

Pencetus dan pengembang

Dicetuskan oleh sarjana hukum Belanda dan dikembangkan me- lalui penelitian, pengajaran dan kebijakan negara pasca kemer- dekaan

Dicetuskan dari gerakan sosial oleh para aktivis dan aka- demisi. Dikembangkan dalam gerakan-gerakan perlawanan rakyat

Faktor pembentuk dominan

Dibentuk dari hasil-hasil peneliti- an antropologi kolonial

Dibentuk atas inspirasi dari gerakan indigenous peoples internasional

Sumber: Arizona, 2014.

Peraturan perundang-undangan dan konsep-konsep akademik yang telah

kita bahas di atas memuat pengertian berbeda mengenai realitas komunitas

yang disebut Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Adat atau Desa Adat. Pada

tabel 2 kita dapat mengetahui bahwa perbedaan Masyarakat Hukum Adat

dan Masyarakat Adat lebih banyak terletak dari asal-mula dan tujuan

penggunaannya. Perbedaan Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat

Tradisional dalam UUD 1945 terjadi karena perbedaan penekanan

perlindungannya. Masyarakat Hukum Adat untuk melindungi komunitas dan

penguasaan atas tanah dan kekayaan alam, Masyarakat Tradisional untuk

melindungi identitas lokal. Demikian pula halnya perbedaan Masyarakat

Hukum Adat dengan Desa Adat. Desa Adat secara khusus merujuk pada

(45)

36

pemerintahan adat yang dijalankan oleh Masyarakat Hukum Adat. Desa Adat yang disebut dalam UU No. 6 Tahun 2014 adalah penamaan umum atau generik yang diberikan undang-undang. Desa Adat ini dapat saja disebut dengan nama-nama lokal yang dikenal masyarakat.

Di antara semua istilah itu, Masyarakat Hukum Adat, jika dikembalikan pada

konsep rechtsgemeenschappen, mempunyai cakupan yang lebih luas. Bagi

Pemerintah Daerah yang akan membuat produk hukum daerah perlu

menetapkan terlebih dahulu aspek apa yang akan diatur dari komunitas yang

disebut Masyarakat Hukum Adat tersebut.

(46)
(47)
(48)

39

4. KERANGKA HUKUM

P ada bagian ini kita membahas sejumlah peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang penting dijadikan rujukan untuk membentuk produk hukum daerah yang mengakui dan melindungi Masyarakat Hukum Adat dan hak-haknya.

Peraturan Perundang-undangan Nasional

(1) UUD 1945:

a) Pasal 18 ayat (6:): Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan- peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

b) Pasal 18B ayat (2): Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.

c) Pasal 28I ayat (3): Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Inilah beberapa peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum pengakuan Masyarakat Hukum Adat:

 UUD 1945

 TAP MPR No.

IX/MPR/2001

 UU No. 5 Tahun 1960

 UU No. 7 Tahun 1984

 UU No. 5 Tahun 1990

 UU No. 5 Tahun 1994

 UU No. 39 Tahun 1999

 UU No. 41 Tahun 1999

 UU No. 20 Tahun 2003

 UU No. 26 Tahun 2007

 UU No. 32 Tahun 2009

 UU No. 11 Tahun 2010

 UU No. 11 Tahun 2013

 UU No. 6 Tahun 2014

 UU No. 23 Tahun 2014

 UU No. 39 Tahun 2014

 Sejumlah Peraturan Pemerintah

(49)

40 (2) Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001:

Pasal 4: Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip, a.l.: mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam.

(3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria (UUPA):

a) Pasal 2 ayat (4): Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

b) Pasal 3: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang- undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

c) Pasal 5: Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan- peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

d) Pasal 22 ayat (1): Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(4) Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita:

Penjelasan Umum: dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam

Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat

yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma

(50)

41

keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia.

(5) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya:

a) Pasal 3: Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

b) Pasal 37 ayat (1): Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.

(6) Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati):

Pasal 4: Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.

(7) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:

a) Pasal 6 ayat (1): Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.

b) Pasal 6 ayat (2): Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

(8) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana

telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah ditetapkan dengan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004:

(51)

42

a) Pasal 1 ayat (6) sesuai Putusan MK 35: Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

b) Pasal 4 ayat (3) sesuai Putusan MK 35 ditafsirkan: Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang-undang.

c) Pasal 5 ayat (2) sesuai Putusan MK 35: Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat.

d) Pasal 5 ayat (3): Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

e) Pasal 67 ayat (1): Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:

i. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;

ii. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang;

dan

iii. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

f) Pasal 67 ayat (2): Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(9) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:

a) Pasal 5 ayat (3): Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

b) Pasal 32 ayat (2): Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan

bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat

(52)

43

adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

(10) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang:

a) Penjelasan Umum angka 9 huruf (f): Hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang.

b) Penjelasan Pasal 5 ayat (5): Yang termasuk kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya, antara lain, adalah kawasan adat tertentu, kawasan konservasi warisan budaya, termasuk warisan budaya yang diakui sebagai warisan dunia, seperti Kompleks Candi Borobudur dan Kompleks Candi Prambanan.

(11) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:

a) Pasal 63 ayat (1) huruf t: Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang antara lain menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

b) Pasal 63 ayat (2) huruf n: Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah Provinsi bertugas dan berwenang antara lain menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi.

c) Pasal 63 ayat (3) huruf k: Dalam perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup, Pemerintah Kabupaten/Kota bertugas dan

berwenang antara lain melaksanakan kebijakan mengenai tata cara

pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan

hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.

(53)

44

(12) Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya:

a) Pasal 13: Kawasan Cagar Budaya hanya dapat dimiliki dan/atau dikuasai oleh Negara, kecuali yang secara turun-temurun dimiliki oleh masyarakat hukum adat.

b) Pasal 87 ayat (2) Pemanfaatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan peringkat Cagar Budaya dan/atau masyarakat hukum adat yang memiliki dan/atau menguasainya.

c) Pasal 97 ayat (3) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat hukum adat.

(13) Undang-Undang No. 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati):

Protokol Nagoya mengakui bahwa pengetahuan tradisional yang

berkaitan dengan sumber daya genetik merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari sumber daya genetik dan secara berkelanjutan

diwariskan oleh nenek moyang masyarakat hukum adat dan komunitas

lokal kepada generasi berikutnya. Protokol ini mengatur pembagian

keuntungan yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan terhadap

sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan

dengan sumber daya genetik; pembagian keuntungan, finansial

dan/atau non finansial, yang adil dan seimbang dari setiap pemanfaatan

sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional diberikan

berdasarkan kesepakatan bersama (Mutually Agreed Terms); akses pada

sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang berkaitan

dengan sumber daya genetik yang dilakukan melalui persetujuan atas

dasar informasi awal (Prior Informed Consent/PIC) dari penyedia sumber

daya genetik.

(54)

45

(14) Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa:

a) Desa terdiri dari desa dan desa adat.

b) Pemerintah Daerah menetapkan Desa Adat melalui Peraturan Daerah.

(15) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten dalam hal pengakuan Masyarakat Hukum Adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, penetapan tanah ulayat dan penataan Desa Adat (lihat tabel 7 dalam bab 5).

(16) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan:

a) Pasal 12 ayat (1): Dalam hal tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat Pemegang Hak Ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya.

b) Pasal 13: Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c) Pasal 17 ayat (1): Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan Izin Usaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

d) Pasal 17 ayat (2): Perkecualian terhadap larangan ini diberikan jika telah terjadi penyerahan tanah oleh Masyarakat Hukum Adat kepada Pelaku Usaha Perkebunan, disertai dengan imbalannya.

(17) Undang-undang mengenai Pembentukan Provinsi.

(18) Undang-undang mengenai otonomi khusus (untuk produk hukum di daerah berotonomi khusus).

(19) Undang-undang mengenai Pembentukan Kabupaten.

(20) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

(55)

46

(21) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan.

(22) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Ini yang perlu Anda ketahui tentang Desa Adat

1. Desa adat diakui oleh UU No. 6 Tahun 2014 dan PP No. 43 Tahun 2014.

2. Desa adat dapat disebut dengan nama-nama lokal seperti nagari, pekon atau lembang.

3. Desa adat tidak sama dengan desa administratif. Desa adat adalah bentuk masyarakat hukum adat yang bersifat gabungan genealogis dan teritorial.

4. Desa adat menjalankan fungsi pemerintahan sesuai dengan adat ditambah dengan fungsi pemerintahan desa pada umumnya.

5. Desa adat ditetapkan dengan Perda Kabupaten/Kota.

6. Desa atau kelurahan dapat berubah status menjadi desa adat; desa adat dapat berubah status menjadi desa/kelurahan atas prakarsa

masyarakatnya.

7. Desa adat dapat digabungkan atas prakarsa dan kesepakatan antar desa adat.

8. Penetapan desa adat untuk pertama kali tunduk pada ketentuan Bab XIII UU No. 6 Tahun 2014. Selanjutnya penetapan desa adat dilakukan melalui pembentukan desa.

9. Kewenangan desa adat ada yang berasal dari hak asal usul dan ada yang diperoleh dari Pemerintah/Pemerinta Daerah.

10.Kewenangan yang berasal dari hak asal usul misalnya pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat; penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah; atau

penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(56)

47

(23) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

(24) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

(25) Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor 17/PRT/M/2014, Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan.

Rancangan Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

Pada periode 2009-2014, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR- RI) berinisiatif merancang Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA). Rancangan ini sudah disampaikan kepada Pemerintah. Tanggapan Pemerintah telah diserahkan kepada DPR-RI namun tidak sempat dibahas mengingat berakhirnya masa tugas DPR-RI.

Berdasarkan Rancangan tanggal 20 Maret 2014, beberapa pokok pengaturan penting dalam RUU PPHMHA dapat dilihat di bawah ini:

Definisi Masyarakat Hukum Adat

Rumusan DPR-RI Rumusan Pemerintah

Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya.

Masyarakat Hukum adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki karakteristik tertentu, hidup secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur atau kesamaan tempat tinggal,

terdapat hubungan yang kuat dengan

lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik,

sosial, budaya, hukum memiliki dan

memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun.

Gambar

Tabel 5. Perjanjian Internasional terkait Masyarakat Hukum Adat yang diratifikasi/ditandatangani Pemerintah Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

[r]

method is used to illustrate the dispersive effects on tsunami-type of wave propagation. Received 20-09-2007,

Berdasarkan Penetapan Pemenang Pelelangan Pekerjaan tersebut di atas dengan ini diumumkan Pemenang Pelelangan Pekerjaan Belanja Makanan dan Minuman , sebagai berikut

Kepada para peserta yang merasa keberatan atas penetapan tersebut diatas, diberikan hak untuk menyampaikan sanggahan baik secara sendiri maupun bersama-sama, mulai hari

Kami dari Pusat Studi Kebijakan Nasional (Pusdiknas) Bersama Lembaga Training Keuangan Dan Pengadaan Indonesia (LTKPi) (salah satu Institusi yang difasilitasi LKPP untuk

[r]