• Tidak ada hasil yang ditemukan

201210 ASASI Internet dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "201210 ASASI Internet dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

editorial

...

04

Internet Sebagai Hak Asasi Manusia:

Segenggam Harapan dengan Segudang

Tantangan

Seperti dua sisi mata uang, pada sisi lain, kita menghadapi kegagapan negara menghadapi perkembangan yang terkait dengan internet. Dalam soal ini, dikotomi negara maju dan berkembang sepertinya tak berlaku, semuanya seperti gagap untuk mengambil arah yang tepat dalam pengembangan regulasi yang tepat, yang tak hanya mampu menjamin hak atas akses terhadap kebebasan berinternet, namun juga melindungi baik dari kecenderungan pembatasan atas nama keamanan nasional maupun ancaman pihak ketiga seperti korporasi.

laporan utama

...

05-13

Hak atas Akses Internet dan Tantangan atas

Penikmatan Kebebasan Berekspresi dan

Berpendapat

Pembatasan apapun terhadap hak akan kebebasan berekspresi harus memenuhi kriteria yang ketat di bawah hukum hak asasi manusia internasional. Dalam beberapa kasus pembatasan, pengawasan, manipulasi dan sensor isi internet yang dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum. Atau dasar hukumnya terlalu luas atau ambigu.

Internet dan Kebebasan Berekspresi di

Indonesia

Pesatnya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia tersebut menimbulkan banyak persoalan baru. Salah satunya adalah tentang kebijakan pengendalian konten internet yang dilarang. Pemblokiran konten internet atau secara global lebih dikenal dengan internet censorship di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir menjadi sorotan banyak pihak.

Divonis Setelah Atheis

Alexander Aan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama dan disidangkan di Pengadilan Negeri Sijunjung. Dia disangka dan didakwa dengan Pasal 28 ayat (2) UU nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

monitoring sidang ...14-15

Menghukum Rendah, Mewajarkan Penyiksaan

Tahanan: Monitoring Persidangan Aparat

Kepolisian Terdakwa Penyiksaan Erik

Alamsyah di Pengadilan Negeri Bukittinggi,

Sumatera Barat

Erik Alamsyah, warga Sumatera Barat dinyatakan meninggal akibat penyiksaan yang dialaminya saat diinterogasi di Polsekta Bukittinggi pada 30 Maret 2012. Demikian kesimpulan Laporan Pemantauan Komnas HAM perwakilan Sumbar dan LBH Padang. Selain itu, Komnas HAM juga menyatakan bahwa dalam kematian Erik, diduga terjadi pelanggaran HAM.

daftar isi

Kolom

nasional ... 21-23

Minggu Pagi di Jejalen Jaya

Syiar kebencian (hate speech) dan tindakan kekerasan belakangan ini, tidak hanya berkembang karena kelompok intoleran menjadi ancaman terhadap keberagaman. Salah satu faktor yang harus dicermati juga adalah peran negara sebagai pemegang kekuasan.

Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing dalam

Perspektif HAM

Pada 3 Oktober 2012, kaum buruh Indonesia yang dipelopori oleh Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) melancarkan aksi Mogok Nasional. Salah satu slogan mereka adalah penghapusan outsourcing. Menurut salah seorang pimpinan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang tergabung dalam MPBI, sejak gerakan Hostum dimulai sampai menjelang Mogok Nasional, ada lebih dari 50.000 buruh outsourcing yang berhasil diubah statusnya menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaan.

RESENSI ... 23

Menuju Keadilan Global: Pengertian, Mandat

dan Pentingnya Statuta Roma

Prof. Soetandyo meninjau pertarungan paradigma [hukum] mengenai manusia dalam sejarah pembentukan pengadilan pidana internasional permanen. Dari Prof. Soetandyo, bisa disimpulkan bahwa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) merupakan pengejawantahan dari pergeseran paradigmatik yang melihat manusia sebagai warga umat yang berdaulat sekaligus warga yang menghadapi ancaman kekerasan dari negara.

pro

l elsam ...24

Persidangan Aparat Kepolisian Terdakwa Penyiksaan Erik Alamsyah di Pengadilan Negeri Bukittinggi, Sumatera Barat

(3)

dari redaksi

Redaksional

Penanggung Jawab:

Indriaswati Dyah Saptaningrum

Pemimpin Redaksi: Otto Adi Yulianto

Redaktur Pelaksana: Widiyanto

Dewan Redaksi:

Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Zainal Abidin, Wahyu Wagiman

Redaktur:

Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyu Wagiman,Wahyudi Djafar, Andi Muttaqien

Sekretaris Redaksi: Triana Dyah

Sirkulasi/Distribusi: Khumaedy

Desain & Tata Letak: alang-alang

Penerbit:

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Penerbitan didukung oleh:

Alamat Redaksi:

Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510,

Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519

E-mail:

offi ce@elsam.or.id, asasi@elsam.or.id

Website: www.elsam.or.id.

Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening

ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu No. 127.00.0412864-9

Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat dikirimkan via email di bawah ini:

asasi@elsam.or.id

DEKLARASI KEBEBASAN INTERNET

Kami berikrar untuk Internet yang bebas dan terbuka. Kami mendukung berbagai proses yang transparan dan partisipatif guna mewujudkan kebijakan tata kelola Internet (Internet Governance), secara global pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, berdasarkan penegakan 5 (lima) prinsip dasar berikut ini:

* Ekspresi: Jangan sensor Internet yang bertujuan dan/atau dapat membatasi hak asasi manusia.

* Akses: Tingkatkan pemerataan akses universal untuk jaringan Internet yang cepat dan terjangkau.

* Keterbukaan: Biarkan Internet menjadi sebuah jaringan terbuka dimana semua orang secara bebas dan bertanggung-jawab dapat berkomunikasi, belajar, berkarya, dan berinovasi.

* Inovasi: Lindungi kebebasan berinovasi dan berkarya di Internet, jangan menghambat teknologi baru dan menghukum sang inovator karena hal-hal yang dilakukan oleh penggunanya.

* Privasi: Lindungi privasi di Internet dan pertahankan hak setiap orang untuk mengontrol bagaimana ia menggunakan data dan piranti miliknya.

14 (empat belas) organisasi masyarakat sipil Indonesia yang pertama kali sepakat untuk mendukung dan/atau mendeklarasikan kebebasan Internet ini pada tanggal 2 Oktober 2012 adalah: ICT Watch, Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (RTIK), Center for Innovation, Policy and Governance (CIPG), Yayasan Air Putih, Indonesian Center for Deradicalisation and Wisdom (ICDW), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Arus Pelangi, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Combine Resource Institution (CRI), Indonesia Online Advocacy (IDOLA), Satu Dunia, Common Room Networks Foundation dan Suara Komunitas.

Untuk memberikan dukungan atas deklarasi ini, silakan akses di http://suarablogger.org/

(4)

editorial

Internet Sebagai Hak Asasi Manusia:

Segenggam Harapan dengan Segudang Tantangan

S

elama sepuluh tahun belakangan,

perkembangan teknologi komunikasi, khususnya melalui internet telah secara substansial mengubah lanskap dinamika sosial masyarakat. Tak hanya mampu meretas batas ruang dan waktu, kemajuan teknologi komunikasi diakui telah memberikan perubahan besar dalam mobilisasi gerakan sosial seperti dalam fenomena Arab Spring, mulai dari ‘jasmine-revolution’ di Tunisia, Mesir, dan Yordania. Tak hanya mempercepat persebaran informasi, perkembangan teknologi informasi memungkinkan penggunaan sosial media seperti facebook dan twitter memungkinkan mobilisasi semakin banyak orang untuk mendukung aksi-aksi protest langsung. Dalam konteks Indonesia, hal ini berulang kali terbukti memberi dampak positif, seperti kampanye ‘cicak-buaya’ atau dukungan terhadap KPK atas penyelidikan kasus simulator di Kepolisian beberapa saat lalu.

Perkembangan ini segera memperoleh penguatan di badan PBB melalui pengadopsian resolusi Dewan Ham yang mengakui akses terhadap internet sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (A/HRC/20/L.13). Resolusi ini memberikan penegasan pada laporan Pelapor khusus promosi dan perlindungan atas hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat (A/66/290) yang mencoba mengangkat isu yang sama. Resolusi badan ham ini, meski tak secara hukum mengikat jelas menunjukkan arah yang tepat dalam perlindungan terhadap ha katas akses terhadap internet sebagai bagian utuh dari hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Meskipun demikian, seperti dua sisi mata uang, pada sisi lain, kita menghadapi kegagapan negara menghadapi perkembangan yang terkait dengan internet ini. Dalam soal ini, dikotomi negara maju dan berkembang sepertinya tak berlaku, semuanya seperti gagap untuk mengambil arah yang tepat dalam pengembangan regulasi yang tepat, yang tak hanya mampu menjamin hak atas akses terhadap kebebasan berinternet, namun juga melindungi baik dari kecenderungan pembatasan atas nama keamanan nasional maupun ancaman pihak ketiga seperti korporasi. Perkembangan di dunia maya ini memunculkan kembali ketegangan antara keamanan dan kebebasan, diskursus lama yang dulu sangat dekat dengan penikmatan hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat di dunia nyata.

Perkembangan terkait kebebasan atas akses terhadap internet membawa sejumlah tantangan baru seperti perlindungan data pribadi, privasi. Hal ini muncul terkait dengan semakin banyaknya

aksi-aksi pengintaian baik yang dilakukan perangkat negara atas nama keamanan nasional dan perang melawan terorisme, maupun oleh entitas swasta untuk mendeteksi perilaku netizen untuk kepentingan pemasaran. Sebagian bentuk control negara atas akses terhadap internet ini juga muncul dalam uraian mengenai mekanisme fi ltering, dan bloking ( seperti dilakukan beberapa negara seperti Cina). Persoalannya, sampai saat ini belum terbentuk suatu regulasi yang jelas mengenai hal ini, dan bahkan mungkin para netizen masih sangat sedikit juga yang menyadari berlangsungnya praktek seperti ini. Kesemuanya ini memunculkan tantangan baru dalam menggagas model tata kelola internet yang sesuai, proses yang sampai saat ini masih terus berlangsung dan membutuhkan keterlibatan penuh dari masyarakat.

Selain itu, perkembangan ini pun memunculkan pertanyaan mengenai kesetaraan akses yang disebabkan oleh ketimpangan infrastruktur yang mendukung adanya kualitas akses terhadap internet. Sebab, perbedaan kualitas akses berpengaruh terhadap adanya keterasingan suatu kelompok secara digital dibandingkan dengan satu kelompok masyarakat yang lain, fenomena yang sering dirujuk dengan istilah ‘digital-divide’.

Dalam fase yang masih sangat dini inilah justru keterlibatan dan pemantauan terus menerus atas perkembangan kebijakan yang ada sangat diperlukan, agar perkembangan teknologi informasi, khususnya terkait dengan akses terhadap internet, bukan jadi pedang yang membunuh kebebasan itu sendiri. Secara khusus, sejumlah tantangan tersebut akan menjadi perbincangan penting dalam perhelatan forum internasional Internet Governance Forum di tahun 2013, di mana Indonesia akan menjadi tuan rumahnya. Oleh karenanya, mari bersiap dan terus mengkonsolidasikan gagasan masyarakat sipil atas berbagai tantangan ini.

.

Indriaswati Dyah Saptaningrum
(5)

laporan utama

“The Internet has become a key means by which individuals can exercise their right to freedom of opinion and expression.” -UN Special Rapporteur Frank La Rue-

I

nternet telah menjadi alat untuk mewujudkan sejumlah hak manusia, memerangi ketidak-setaraan dan mempercepat pembangunan dan kemajuan manusia. Internet dikenal sebagai teknologi multiguna dan broadband (jaringan ‘pita lebar’) sebagai infrastrukturnya telah dianggap seperti listrik, air, dan jalan, sehingga akses internet telah ditetapkan menjadi hal mendasar bagi warga negara di banyak negara.

Berdasarkan white paper1 yang dikeluarkan

oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Keminfo), Indonesia menargetkan 100% desa akan mendapatkan akses telekomunikasi dan 80%-nya akan terlayani akses internet pada tahun 2014. Target ini sejalan dengan tujuan ke-8 Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan pada tahun 2000, yaitu mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan dengan target kerjasama dengan

Oleh

Triana Dyah

(Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi ELSAM)

Hak atas Akses Internet

dan Tantangan atas Penikmatan

Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat

sektor swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi.

Perkembangan teknologi informasi telah membentuk suatu tatanan warga negara yang semakin melek terhadap informasi (well-informed society), menciptakan dunia sendiri dan memunculkan terminologi baru yaitu ‘demokrasi digital’. Perbedaan persepsi kemudian muncul di antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan internet, yaitu Pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat sipil. Sehingga tata kelola internet2 menjadi sesuatu yang

krusial dalam era di mana internet menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern saat ini. Semakin masyarakat modern bergantung pada internet, semakin relevan pula tata kelola internet bagi kehidupan sehari-hari.

Merujuk pada data ITU (International Telecommunication Unions), di akhir 2011 ada 65 juta pengguna internet di seluruh Indonesia, atau 26% dari total populasi. Data ICTWatch mengatakan pengguna facebook 40,6 juta dan pengguna twitter sebanyak 29,4 juta. Jakarta bahkan dinobatkan sebagai the most active twitter city di dunia. Selain itu ada 3,3 juta

blogger dan 33 komunitas blogger lokal.

Dari sisi infrastruktur Internet, Indonesia memiliki 150 Internet Service Provider (ISP), 35 Network Access Provider (NAP), dan 5 operator selular 3G. Untuk melakukan interkoneksi data di dalam Indonesia, terdapat sekitar 5 node Indonesian Internet eXchange (IIX) yang dikelola Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).3

Sejalan dengan pertumbuhan yang pesat tersebut, pembuat kebijakan membuat peraturan yang mengatur internet. Satu aturan yang dibuat adalah UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU ini mengesahkan sensor terhadap internet (Pasal 40 ayat (2)), berpotensi mengkriminalisasi kebebasan berekspresi dan mengancam perlindungan privasi dalam konteks penyadapan. Di luar UU tersebut, pasal-pasal pembatasan kebebasan bereskpresi di Indonesia sebenarnya tersebar di berbagai perundang-undangan.

(6)

Potensi dan banyaknya keuntungan dari internet berada pada karakternya yang unik, seperti kecepatannya dalam penyebaran informasi, daya jangkaunya yang bisa meliputi seluruh dunia dan kemungkinan kerahasiaan untuk penggunanya (anonymous).

Pada sisi lain karakter tersebut menciptakan ketakutan bagi pemerintah dan penguasa. Hal ini mendorong meningkatnya pembatasan penggunaan internet melalui penggunaan teknologi canggih untuk memblokir isi, memonitor dan mengidentifi kasi para aktivis dan kritikus. Dalam hal pembatasan, penekanan adanya standar hak asasi manusia internasional khususnya pasal 19, paragraf 3 dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik bisa digunakan dalam menentukan jenis-jenis pembatasan-pembatasan yang merupakan pelanggaran kewajiban negara dalam menjamin hak kemerdekaan berekspresi.

Seperti yang dijelaskan pada pasal 19, paragraf 3 dari Kovenan tersebut, ada beberapa jenis ekspresi tertentu yang bisa secara sah dibatasi di bawah hukum hak asasi manusia internasional, yang secara mendasar berperan sebagai pelindung hak asasi dari pihak lainnya.

Jenis-jenis informasi yang dilarang meliputi pornografi anak (untuk menjaga hak-hak anak), ujaran kebencian (hate speech), fi tnah (untuk menjaga hak dan reputasi orang lain dari serangan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab) hasutan publik, ajakan langsung untuk melakukan genosida, dan ujaran kebencian pada agama atau ras tertentu yang menimbulkan hasutan diskriminasi, serta kekerasan atau perwujudan permusuhan (untuk menjaga hak-hak orang lain, seperti hak-hak untuk hidup).

Pembatasan apapun terhadap hak akan kebebasan berekspresi harus memenuhi kriteria yang ketat di bawah hukum hak asasi manusia internasional. Dalam beberapa kasus pembatasan, pengawasan, manipulasi dan sensor isi internet yang dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum. Atau dasar hukumnya terlalu luas atau ambigu; tidak ada pembenaran tujuan dari tindakan yang dilakukan; atau dengan cara yang jelas-jelas tidak perlu dan atau tidak seimbang dalam mencapai tujuan yang direncanakan. Tindakan-tindakan tertentu benar-benar tidak sesuai dengan kewajiban negara di bawah hukum hak asasi international, dan sering hanya menimbulkan “chilling effect” (efek menakut-nakuti) pada hak akan kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Pembatasan melalui internet bisa dilakukan dalam berbagai bentuk. Dari tindakan teknis untuk mencegah akses ke konten tertentu, seperti pemblokiran dan penyaringan (fi ltering), kurangnya jaminan akan hak atas privasi dan perlindungan terhadap data pribadi, sampai yang menghambat penyebaran pendapat dan informasi.

Pelapor khusus PBB mengenai promosi dan perlindungan kebebasan berekspresi, Frank La Rue berpendapat, penggunaan hukum pidana secara semena-mena pada pengungkapan ekspresi menimbulkan salah satu bentuk pembatasan yang paling keras pada hak ini, karena tidak hanya menciptakan efek menakut-nakuti (chilling effect), tapi juga menjurus pada pelanggaran hak asasi manusia yang lain seperti penahanan dan penyiksaan yang semena-mena serta bentuk-bentuk kejahatan yang lain.

Intimidasi, penahanan, dan penyiksaan saat ini banyak menimpa blogger, web master, jurnalis online yang menyuarakan kondisi sosial politik dan pemerintahan. Di Vietnam, terhitung hingga September 2012, terdapat 19 kasus pemenjaraan terhadap netizen/blogger karena menyuarakan kritik terhadap pemerintahannya.

Terdapat tiga syarat yang ditetapkan Pasal 18 dan 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang harus terpenuhi sebelum pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi dilakukan, yaitu: (1) harus diatur menurut hukum; (2) harus untuk suatu tujuan yang sah/memiliki legitimasi; (3) harus dianggap perlu untuk dilakukan (proporsional).

Terkait dengan syarat kedua, pembatasan hanya dapat dilakukan untuk tujuan “melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak

Kebijakan yang menghambat kebebasan berekspresi di Indonesia:

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang KUHP

2. Undang-undang No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan agama

3. Undang-undang No. 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap keamanan negara 4. Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang

Penyiaran

5. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah

6. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum

7. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Transaksi dan informasi elektronik

8. Undang-undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan presiden

9. Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

10.Undang-undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, bahasa resmi, lambang negara dan lagu kebangsaan

11.Undang-undang No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen

(7)

laporan utama

laporan utama

dan kebebasan dasar orang lain” (Pasal 18) atau untuk “menghormati hak dan reputasi orang lain atau untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan atau moral masyarakat” (Pasal 19).

Selain itu, peraturan yang membatasi hak akan kebebasan berekspresi harus diaplikasikan oleh sebuah badan yang bebas dari pengaruh politik, komersil, atau pihak lain yang tidak diskriminatif dan semena-mena, dan dilakukan dengan perlindungan yang cukup terhadap kemungkinan penyalahgunaan dari pembatasan itu.

Pemahaman yang kurang mendalam dan kegagapan dalam menyikapi perkembangan internet akan berujung pada problematika di ranah dunia maya, baik antara Pemerintah dan masyarakat maupun di antara masyarakat itu sendiri. Perkembangan yang terjadi saat ini di Indonesia telah menunjukkan indikasi timbulnya gesekan-gesekan karena kurangnya pemahaman tentang hal ini.

Masih segar dalam ingatan Indonesia, pada tahun 2009 Prita Mulyasari, seorang ibu, dipidana karena menuliskan keluhan tentang pelayanan rumah sakit swasta di email pribadi. Seorang selebritas ibukota terjerat pasal penyebaran pornografi melalui internet pada pertengahan 2010. Peristiwa terakhir ini menjadi momentum bagi Pemerintah untuk melakukan pemblokiran situs yang ditengarai mengandung konten pornografi .

Gesekan sosial yang disebabkan aktivitas di dunia maya juga mulai banyak terjadi, seperti kasus pemecatan seorang pegawai negeri sipil di Padang yang terang-terangan mengaku atheis di akun jaring sosial facebook; kasus pencemaran nama baik yang melibatkan seorang guru yang menulis tentang dugaan korupsi di blog-nya; dan masih banyak lagi. Data terbaru didapat dari Polda Metro Jaya, sejak Januari hingga Oktober 2012 kasus ‘cyber-crime’ yang masuk ke Polda mencapai 489 laporan,4 belum

termasuk laporan dari polsek dan polres. Kejahatan di dunia maya tersebut berupa kasus penipuan, penghinaan dan pencemaran nama baik.

Hak akan kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan sebuah hak dasar di wilayahnya karena hak tersebut menjadi hak yang bisa mewujudkan hak-hak lainnya (“enabler”) meliputi hak ekonomi, sosial, dan budaya, seperti hak akan pendidikan dan hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya dan menikmati keuntungan perkembangan ilmu pengetahuan dan penerapannya, seperti juga halnya dengan hak sipil dan politik contohnya hak akan kebebasan dalam berorganisasi dan berkumpul.

Sehingga, dengan berperan sebagai katalisator untuk para individu dalam menggunakan hak akan kebebasan berpendapat dan berekspresi, internet juga memfasilitasi perwujudan sejumlah hak-hak asasi manusia.

Daftar Bacaan

Donny BU. Catatan kecil pertemuan APJII, blogger dan civil society. Jakarta: Agustus 2012. (sirkulasi terbatas)

Supriyadi W. Eddyono (ed.). 2000-2010 kebebasan internet Indonesia: perjuangan meretas batas. Jakarta: Indonesia Media Defense Litigation Network, Institute for Criminal Justice Reform, 2011

Jovan Kurbalija. Tata Kelola Internet: sebuah pengantar. Jakarta: APJII, 2012

Konsultasi publik: white paper penggunaan pita frekuensi 2300-2360 MHz untuk layanan pita lebar nirkabel (wireless broadband). Jakarta: Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Januari 2012.

http://www.freedomhouse.org/report/freedom-net/2012/indonesia akses tanggal 15 Oktober 2012

United Nations Special Rapporteur Frank La Rue. Special Rapporteur on the promotion and Protection of the Right to Freedom of Opinion and Expression.

ELSAM. Hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia serta tantangan UU Informasi dan Transaksi Elektronik: pengantar singkat. Jakarta: ELSAM, 2012.

www.megapolitan.kompas.com. Sehari, 10 kasus ‘cyber crime” diterima Polda Metro. Akses 7 November 2012.

http://suarablogger.org/category/petisi/akses 27 September 2012

Keterangan

1 Dokumen ini merupakan draft kebijakan pemerintah yang disusun dalam rangka memberikan deskripsi potensi layanan wireless broadband.

2 Tata kelola internet diperkenalkan dalam Pertemuan Tingkat

Tinggi Dunia Masyarakat Informasi (World Summit of

Information Society/WSIS) yang diselenggarakan di Jenewa pada 2003. Pertemuan tersebut menghasilkan Kelompok

Kerja tentang Tata Kelola Internet (Working Group on

Internet Governance/WGIG) yang bertugas menyiapkan laporan yang digunakan sebagai landasan perundingan

WSIS Kedua di Tunisia (November 2005). Agenda WSIS

di Tunisia adalah mengadopsi batasan, menyusun daftar

isu dan membentuk Forum Tata Kelola Internet (Internet

Governance Forum/IGF). IGF terdiri dari sejumlah

pemangku kepentingan (stakeholder) dalam

pertemuan-pertemuan dengan Sekretaris Jenderal PBB. Pemangku kepentingan IGF adalah pemerintah, sektor bisnis/korporasi dan masyarakat sipil.

3 Catatan kecil pertemuan dengan APJII, Agustus 2012

(8)

Kebijakan Internet Censorship di Indonesia

P

enetrasi pertumbuhan internet di

Indonesia dapat dikatakan luar biasa. Data dari www.internetwroldstats.com menunjukkan pada awal tahun 2000-an hanya dua juta pengguna dan pada akhir tahun 2011 mengalami kenaikan signifi kan menjadi lebih dari 55 juta pengguna atau users. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar keempat di Asia dengan jumlah pengguna internet terbanyak di bawah China, India, dan Jepang. (Lihat Grafi k 1.0)

Grafi k 1.0

Lima Besar Negara Pengguna Internet di Asia per 31 Desember 2011

per juta pengguna, sumber: www.internetworldstats.com

Pesatnya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia tersebut menimbulkan banyak persoalan baru. Salah satunya adalah tentang kebijakan pengendalian konten internet yang dilarang. Pemblokiran konten internet atau secara global lebih dikenal dengan internet censorship di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir menjadi sorotan banyak pihak. Sensor terhadap internet merupakan isu sensitif di negara manapun di dunia karena berkaitan dengan pembatasan hak atas informasi warga negara.

Secara normatif belum ada ketentuan spesifi k yang mengamanatkan Pemerintah untuk melakukan pembatasan hak atas informasi dalam bentuk sensor terhadap konten internet. Kebijakan eksplisit sensor internet tertuang dalam Pasal 40 ayat (2) UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyebutkan

bahwa “Pemerintah melindungi kepentingan

umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi

Oleh

Teguh Ari

yadi

(Ketua Indonesia Cyber Law Community/ICLC)

Internet dan Kebebasan

Berekspresi di Indonesia

Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”

Pasal 27 UU ITE lebih kongkret lagi mengatur larangan atas seseorang untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, dan pemerasan/pengancaman (Illegal Content). Pasal tersebut merupakan cermin kebijakan yang merujuk pada Convention on Cyber Crime1yang digagas oleh Council of Europe sejak

tahun 2001 di Budapest.

Khusus terkait sensor konten pornografi , Pemerintah berlandaskan pada pasal 17 UU No. 44 tahun 2009 tentang Pornografi yang memberi porsi tentang kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi .

Selain itu, Pemerintah juga berpegang pada Pasal 7 UU Pornografi yang melarang setiap orang untuk memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat, persenggamaan, kekerasan seksual, mastrubasi, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin atau pornografi anak.

Secara kelembagaan, pemblokiran konten internet di Indonesia tidak pernah ditetapkan di bawah pengawasan suatu institusi tertentu. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tidak memiliki kewenangan struktural yang diamanatkan undang-undang untuk melakukan pembatasan atas akses informasi/konten internet di Indonesia. Alhasil, kebijakan sensor internet di Indonesia secara sistematis tidak pernah diberlakukan. Praktik sensor internet di Indonesia terbatas pada isu-isu berskala nasional seperti SARA maupun kesusilaan karena dianggap dapat mengganggu ketertiban umum dan keamanan nasional.

(9)

laporan utama

pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi

hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait.

Sebagai contoh, selain kebijakan pemblokiran konten pornografi , Kementerian Kominfo juga telah melakukan pemblokiran atas konten yang berisi “kartun nabi Fitna” pada tahun 2010, video penyerangan penganut Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang Banten pada tahun 2011, dan yang terbaru adalah pemblokiran konten video “Innocents of Moslems”. Alasan pemblokiran adalah karena konten-konten tersebut dianggap berpotensi menimbulkan gangguan sosial dan keamanan.

Indikator lain suatu negara dikatakan telah cukup memberikan kebebasan internet terhadap warganya adalah dengan tidak termasuknya Indonesia sebagai bagian dari musuh internet (enemies of internet) yang dirilis oleh Reporters Without Borders (RWB).2 RWB merilis 12 negara di

dunia yang menurut kriteria mereka sebagai musuh atas kebebasan berekspresi di Internet,3 seperti

China, Bahrain, Kuba, Belarusia, dan beberapa negara otoriter lainnya.

Kebijakan internet censorship di Indonesia sebagaimana negara-negara lain bergantung pada rezim kekuasaan yang berlaku saat ini. Reformasi di Indonesia yang melahirkan demokrasi dan kebebasan pers turut mempengaruhi arah kebijakan

internet censorship di Indonesia. Fakta di atas menunjukan bahwa iklim kebebasan berkespresi dan memperoleh akses informasi melalui media internet di Indonesia masih cukup moderat.

Pembatasan Akses Informasi/Konten yang Dilarang

Secara teknis, banyak metode yang bisa digunakan Pemerintah sebuah negara termasuk di Indonesia untuk melakukan pembatasan/sensor terhadap konten yang dilarang. Namun, permasalahannya di Indonesia tidaklah semudah yang dibayangkan dengan melihat kembali bagaimana sejarah hadirnya internet di Indonesia.

Internet di Indonesia lahir dari masyarakat melalui komunitas telekomunikasi dan teknologi informasi, awal tahun 1990-an. Pemerintah memfasilitasinya dengan memberi dukungan dalam bentuk regulasi. Pada periode berikutnya sampai saat ini swasta tampil lebih dominan membangun infrastruktur internet di Indonesia. Sementara pemerintah melanjutkan dengan terus menyiapkan regulasi pendukung.

Hal ini berbeda dengan negara-negara penganut sensor ketat terhadap konten internet seperi Arab Saudi, Iran, Tunisia maupun negara lainnya yang

secara institusional menempatkan negara sebagai institusi dominan yang membidani ‘lahir’nya internet. Negara-negara tersebut membangun hampir sebagian besar infrastrukur internet yang disediakan untuk kebutuhan warga negaranya.

Dengan mengintegrasikan pembangunan infrastruktur internet, negara tersebut dapat mengendalikan internet melalui model single gateway. Artinya, seluruh saluran internet bersumber pada satu pipa utama yang memungkinkan negara mengendalikan internet secara leluasa.

Melihat sejarah lahirnya internet di Indonesia, dapat dikatakan bahwa infrastruktur internet di indonesia menganut model multiple gateway, karena masing-masing internet gateway secara mandiri dibangun oleh sektor privat melalui Internet Service Provider (ISP). Jumlah ISP tercatat di Indonesia menurut data Kementerian Kominfo saat ini lebih dari 180-an.

ISP secara otomatis berfungsi sebagai

gateway atas seluruh konten yang ada di Internet. Konsekuensinya adalah tidak mudah menerapkan kebijakan internet censorship dengan model

mulitiple gateway seperti di Indonesia.

Pornografi sebagai Informasi/Konten yang Dilarang

Kebijakan internet censorship di Indonesia yang bersifat sangat spesifi k adalah terkait konten pornografi yang merupakan wujud perlindungan negara terhadap warga negara dari bahaya pornografi . Kebijakan serupa juga diterapkan dibanyak negara di dunia dan bukan merupakan sebuah kebijakan yang dianggap membatasi kebebasan berekspresi di internet.

Memang sampai sejauh ini tidak ada protes masyarakat atas upaya pemerintah untuk melakukan pemblokiran terhadap konten pornografi di Indonesia. Namun permasalahan tentang pemblokiran konten pornografi internet di Indonesia justru adalah tentang bagaimana mendefi nisikan batasan pornografi yang menurut banyak ahli bahasa masih bersifat relatif. Pemerintah tidak pernah memiliki keberanian untuk mendefi nisikan pornografi internet secara kongret dalam regulasi termasuk pengecualian atas batasan akses konten tersebut. Alhasil semua konten yang menurut pendapat subyektif pemerintah bermuatan pornografi dilarang!

(10)

Jasa Akses Internet (Internet Service Provider) dan penyelenggara Jasa Interkoneksi Internet (Network Access Point/NAP) untuk turut memerangi pornografi sesuai ketentuan perundang-undangan.

Surat edaran ini merupakan bentuk nyata perlawanan pemerintah terhadap pornografi yang sesuai dengan Pasal 18 UU Pornografi dimana pemerintah berwenang melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi , termasuk pemblokiran pornografi melalui internet.

Di periode yang sama, Pemerintah juga merilis aplikasi “Trust Positif” yang merupakan aplikasi

fi ltering konten pornografi di Indonesia. Metode yang digunakan adalah dengan penyaringan daftar hitam (black list fi ltering) dan penyaringan daftar putih (white list fi ltering). Blacklist fi ltering mengacu pada nama URL dan domain yang masuk kategori negatif yang ditengarai memuat konten pornografi , sedangkan white list fi ltering berisi URL atau nama domain yang dapat dipastikan aman (terpercaya) dari konten pornografi untuk dapat diakses oleh pengguna internet.

Menurut data Kementerian Kominfo, sampai dengan semester pertama tahun 2012, jumlah URL maupun domain bermuatan pornografi yang sudah diblokir adalah sebanyak 835.494 dengan rincian sebagai berikut:4

Periode Pengaduan Masyarakat

Kajian Tim Kominfo

Total 31 Desember 2011 444 181 833.107

30 Juni 2012 2302 729 835.494

Jika diamati dengan baik, maka kita dapat mengambil kesimpulan sementara bahwa kesadaran masyarakat di Indonesia untuk mengadukan URL atau domain yang bermuatan pornografi semakin baik. Terjadi lonjakan pengaduan lebih dari 500% hanya dalam tempo enam bulan terakhir. Angka tersebut dapat mengindikasikan bahwa masyarakat di Indonesia sepakat menjadikan pornografi internet sebagai musuh bersama.

Kebebasan Berkeyakinan di Dunia Siber

Selain isu tentang pornografi , dampak kebebasan berekspresi di internet memunculkan fenomena baru tentang cara berekspresi dan berpendapat. Hadirnya jejaring sosial, pemanfaatan blog, maupun media komunikasi online interaktif (chatting) telah mengubah gaya komunikasi masyarakat, dari yang bersifat individu dan terbatas menjadi bersifat publik. Ekspresi berkeyakinan pun menjadi salah satu topik paling sering diungkapkan oleh pengguna internet.

Keyakinan individu bisa diekspresikan secara lebih luas dengan maksud sengaja atau tidak sengaja mempengaruhi keyakinan pengguna lain. Meskipun demikian, banyak juga pengguna internet yang mengekspresikan keyakinan sebagai bentuk euforia kebebasan berbicara di dunia siber.

Pemerintah saat ini tidak pernah melarang masyarakat untuk mengekspresikan keyakinan apapun di internet sesuai dengan norma yang ada. Ekspresi atas pemikiran maupun keyakinan bukan merupakan sebuah tindak pidana berdasarkan UU ITE, terkecuali jika ekspresi tersebut berisi fi tnah, atau hasutan untuk berbuat kriminal, serta menyinggung SARA.

Sayangnya ketentuan normatif tersebut tidak sepenuhnya diikuti oleh faktanya. Kasus Alexander, seorang PNS penganut atheis di Padang yang dipecat akibat menuliskan keyakinannya melalui jejaring sosial menunjukan bahwa masih banyak masyarakat yang belum bisa menerima ekspresi sebuah keyakinan sebagai bagian dari hak asasi manusia dengan dalih hal tersebut dianggap mengganggu keyakinan orang lain.

Jika kasus-kasus serupa bermunculan, maka tidak ada lagi persamaan hak untuk mengekspresikan keyakinan di dunia siber. Pada akhirnya hukum dikuasai dan menjadi milik golongan tertentu.

Keterangan

1. Konvensi ini merupakan perjanjian internasional pertama pada kejahatan yang dilakukan lewat internet dan jaringan komputer lainnya.

2. RWB merupakan LSM internasional yang bergerak dalam bidang kebebasan pers dan informasi yang berbasis di Perancis

3. Internet Enemies, Reporters Without Borders (Paris), 12 March 2012

(11)

laporan utama

A

lexander Aan panggilan Aan adalah

seorang calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang bekerja di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Dharmasraya. Dia lahir dari pasangan Armas, seorang guru SD, dan ibunya bernama Nuraini, ibu rumah tangga. Alexander Aan dikenal sebagai anak yang cerdas. Dia menamatkan studi Strata-1 di Jurusan Statistik Universitas Padjajaran, Bandung. Menurut data LBH Padang, berkat kecerdasannya itu, Aan berhasil lolos menjadi CPNS di Dharmasraya.

Alexander Aan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama dan disidangkan di Pengadilan Negeri Sijunjung. Kasus yang menimpa Alexander Aan bermula dari kedatangan warga Pulau Punjung ke kantor Bappeda Kabupaten Dharmasraya pada 18 Januari 2012. Mereka mencari Alexander Aan.

Aan dituduh melakukan penghinaan terhadap Agama Islam karena tulisan di halaman Facebook-nya yang berjudul “Nabi Muhammad tertarik kepada menantunya sendiri” dan sebuah komik yang diambilnya dari grup Facebook “Atheis Minang” dan di-posting di dinding “Alex Aan” dengan judul “Nabi Muhammad bersetubuh dengan pembantu istrinya”.

Dengan alasan keamanan, Aan kemudian dibawa ke kantor Polsek Sijunjung. Di kantor Polsek Sijunjung Aan mengaku bahwa dia seorang atheis sejak tahun 2008. Dia sempat diminta bertobat, namun Aan menolak karena menurutnya itu merupakan bagian dari hak kebebasannya. Alexander Aan kemudian ditahan oleh Polres Dharmasraya. Dia ditetapkan sebagai tersangka pelaku penodaan agama.

Alexander Aan disangka dan didakwa dengan Pasal 28 ayat (2) UU nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, antargolongan (SARA)” dengan ancaman hukuman paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Selain itu, Alexander Aan juga didakwa dengan Pasal 156 huruf a KUHP yang berbunyi “Dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya

Divonis Setelah Atheis

Oleh

Harry Kurniawan

(Staf Perkumpulan Q-Bar Padang)

bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dan Pasal 156 a huruf b KUHP yang berbunyi “dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ketuhanan yang maha esa”. Dalam hal ini diancam dengan hukuman selama-lamanya 5 (lima) tahun.

Pada waktu di Polres Dharmasraya Alexander Aan secara sadar dan tanpa paksaan juga menyatakan permintaan maaf kepada umat Islam, keluarga, dan pihak Pemerintahan Dharmasraya. Karena posting-an dengan judul “Nabi Muhammad tertarik kepada menantunya sendiri” yang ada dalam Facebook “Aan Aan” bukan bertujuan untuk menyudutkan dan atau menghina Agama Islam, dan gambar yang bertuliskan kisah “Nabi Muhammad bersetubuh dengan pembantu istrinya” bukan merupakan karya/tulisannya, melainkan diambil dari tautan Facebook “Atheis Minang” yang diduga dikelola oleh Jusfi q Hadjar.

Jusfi q Hadjar adalah pria yang berumur 70 Tahun yang berasal dari Cingkariang, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, yang sekarang menetap di Leiden, Belanda. Sebelum berada di Belanda yang bersangkutan tinggal di Prancis sejak tahun 1960 dan menjadi dosen di salah satu universitas di Prancis. Sejak tinggal di Belanda, Jusfi q Hadjar aktif menulis di berbagai milis dan sering menyerang ajaran Islam dan menonjolkan sisi-sisi buruk dari Islam dan Nabi Muhammad.

Jusfi q Hadjar mengaku sebagai penganut Islam Mu’tazillah, yang bertujuan memanusiawikan ajaran Islam.1 Aan sendiri tidak pernah bertemu

dan berbicara langsung dengan Jusfi q Hadjar. Aan diundang sebagai pengelola akun “Atheis Minang”.

Alexander Aan kemudian dituntut 3 tahun 6 bulan penjara dengan Pasal 28 UU ITE. Hakim memvonis Aan bersalah dengan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara. Putusan ini sangat disayangkan karena pada dasarnya unsur pasal yang didakwakan terhadap Alexander Aan tidak terbukti di persidangan.

Permusuhan dan kebencian yang timbul di masyarakat bukanlah akibat perbuatan Alexander

Aan mem-posting komentar-komentarnya di

(12)

untuk kemudian dicetak dan dibagi-bagikan kepada masyarakat. Atas putusan majelis hakim baik jaksa penuntut umum maupun penasihat hukum sama-sama mengajukan banding.

Bermula dari posting tersebut kemudian Aan mendapat perhatian dari berbagai pihak yang sejalan dengan pemahaman Aan, baik dari nasional maupun internasional. Semakin gencarnya Aan berdinamika di jejaring sosial sehingga kemudian Aan dipercaya untuk menjadi administrator grup “Atheis Minang” yang dimotori oleh Jusfi q Hadjar. Aktivitas ini sudah Aan lakukan semenjak tahun 2011, dengan grup “Atheis Minang” ini kemudian Aan berhasil menggaet kurang lebih 1.200 orang anggota yang memiliki pemahaman yang sama.

Dengan adanya pernyataannya di dunia maya itu, sekelompok pemuda Sungai Kambuik Pulau Punjung yang dipimpin Ketua Pemudanya Os, mendatangi Kantor Bupati Dharmasraya untuk mendesak bupati Dharmasraya/Pemerintah Kabupaten Dharmasraya menindak tegas Aan yang merupakan CPNS di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Dharmasraya. Setelah ditemui, Alexander Aan bersikeras bahwa apa yang ia sampaikan itu benar menurutnya dan karena itu merupakan pendapat pribadinya.

“Hal itu sudah saya pikirkan semenjak SD dulu. Saya juga sudah mempelajari berbagai agama dan saya menyimpulkan bahwa Tuhan itu tidak ada. Jika ada Tuhan, mengapa masih banyak orang yang menderita dan kejahatan-kejahatan. Jika Tuhan itu ada, maka tidak akan ada kesenjangan terjadi di dunia ini,” kata Alexander beralasan mengapa ia atheis.2

Dampak dari Group “Atheis Minang” ini mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk tokoh-tokoh Islam di Sumatera Barat. Sebelumnya tidak diketahui siapa yang menjadi motor dari grup tersebut. Secara tidak sengaja, akun jejaring sosial Facebook milik Aan diketahui oleh salah seorang CPNS yang juga bekerja di BAPPEDA Kabupaten Dharmasraya dan kemudian membongkar siapa yang selama ini menjadi admin

grup “Atheis Minang”.

Dengan telah terungkapnya Alexander Aan sebagai penganut paham Atheis serta “berkicau” di jejaring sosial Facebook sebagai Atheis Minang, maka hal ini menyulut kemarahan kelompok pemuda di Kabupaten Dharmasraya yang ingin menghakimi Aan karena dianggap telah menyebarkan ajaran sesat di Sumatera Barat umumnya dan Dharmasraya khususnya.

Proses hukum terhadap Alexander Aan terus berlanjut sampai ke meja hijau. Para penentang Aan mendesak supaya Aan diberhentikan sebagai CPNS di BAPPEDA Kabupaten Dharmasraya, walaupun sampai saat ini status Aan sebagai CPNS BAPPEDA Dharmasraya belum dicabut karena menunggu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun

tidak menutup kemungkinan nantinya Aan dapat diberhentikan secara tidak hormat.

Kebebasan beragama memang dilindungi dalam Konstitusi, yaitu Pasal 29 Ayat (1) dan (2) yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya serta kepercayaannya itu, namun tetap berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai3 dengan butir

pertama Pancasila. Kasus yang terjadi terhadap Alexander Aan ini memperlihatkan terjadinya pertentangan antara Kebebasan beragama dan berpendapat dengan nilai-nilai agama di tengah-tengah masyarakat, sehingga perlu didudukkan bagaimana sikap atau langkah yang dapat menyelesaikan problem ini tanpa harus ada yang dilanggar hak asasinya.

DAFTAR BACAAN:

Anwar, Chairul. Hukum Adat Minangkabau. Jakarta: Segara, 1967.

Little, David. Kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. Navis, A.A. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan

Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafi ti Pers, 1966.

Tahir Azhary, Muhammad. Negara Hukum suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Kencana, 2004.

Perundang-undangan dan Lain-lain

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 29 Ayat (1) dan (2).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 156a Huruf (a) dan (b).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, sebagai Kuasa Hukum Alexander Aan.

Keterangan

1 Lihat:www.opensubscriber.com//message//zamanku@ yahoogroups.com//10229086.html

2 Harian Haluan Padang, Jum’at/15 Juni 2012

(13)

monitoring sidang

Menghukum Rendah, Mewajarkan

Penyiksaan Tahanan

1

Monitoring Persidangan Aparat Kepolisian Terdakwa Penyiksaan Erik Alamsyah di Pengadilan Negeri Bukittinggi, Sumatera Barat

Oleh

Andi Muttaqien

(Staf Pelaksana Program Bidang Advokasi Hukum ELSAM)

Erik Alamsyah, Tahanan Yang Alami Kekejian Aparat

E

rik Alamsyah, warga Sumatera Barat dinyatakan meninggal akibat penyiksaan yang dialaminya saat diinterogasi di Polsekta Bukittinggi pada 30 Maret 2012. Demikian kesimpulan Laporan Pemantauan Komnas HAM perwakilan Sumbar dan LBH Padang. Selain itu, Komnas HAM juga menyatakan bahwa dalam kematian Erik, diduga terjadi pelanggaran HAM, yakni pelanggaran terhadap hak hidup, hak bebas dari penyiksaan dan hak atas perlakuan hukum yang adil, yang diduga dilakukan oleh anggota Polri Polsek Bukittinggi.2 Erik bersama 2 (dua) rekannya, Nasution

Setiawan dan Marjoni ditangkap Kepolisian karena dituduh mencuri sepeda motor. Dalam tahanan Polsekta Bukittinggi itulah ketiganya mengalami penyiksaan ketika interogasi, dan berakibat pada kematian Erik.

Diawali tatkala Polisi menangkap Marjoni pada 22 Maret 2012 di Madina, Sumatera Utara. Polisi kemudian membawa Marjoni ke Polsek Bukittinggi pada 23 Maret 2012. Marjoni diinterogasi di Polsekta Bukittinggi dan dipaksa berbicara terkait kasusnya. Dalam interogasi tersebut, sebagaimana laporan Komnas HAM, Marjoni kerap mengalami kekerasan. Dari Marjoni, Kepolisian akhirnya tahu keberadaan Erik dan Nasution Setiawan.

Akhirnya, siang hari tanggal 30 Maret 2012, Erik dan Nasution Setiawan ditangkap di sekitar rumah kontrakannya. Mereka disergap 6 anggota Polsekta Bukittinggi. Awalnya, keduanya hendak melarikan diri dengan sepeda motor, namun karena Polisi lebih banyak, keduanya tertangkap bahkan sempat terjatuh motornya. Keduanya pun dibawa ke Polsekta Bukittinggi, dan diperiksa di ruang Subnit Opsnal Reskrim.3 Di ruang itu mereka berkali-kali mendapat

kekerasan, dipukul dengan gitar kecil (ukulele), balok besar + 4 Cm X 6 Cm, sapu, sabuk/ikat pinggang, potongan bambu besar, dijepit dengan pena, bahkan Nasution sempat dipukul dengan martil pada bagian lututnya. Keduanya berada di ruang itu sekitar 10 menit sampai akhirnya dipisahkan. Nasution mengaku, dari ruangan terpisah dirinya berkali-kali mendengar Erik berteriak.

Sekitar pukul 16.00 WIB, Nasution dan Marjoni dipertemukan dengan Erik Alamsyah di Ruang Subnit Opsnal Reskrim. Mereka melihat banyak luka

di tubuh Erik yang saat itu tertelungkup, di lantai pun terdapat ceceran darah. Erik juga mengeluh sakit perut. Akhirnya, Erik tak sadarkan diri dan dibawa ke RS. Ahmad Muchtar. Setiba di Rumah Sakit, Erik dinyatakan sudah meninggal dunia.

Kematian Erik Alamsyah baru terungkap ke publik pada 1 April 2012, saat dilakukan otopsi jenazah di RS. M. Jamil, Padang.4 Awalnya, pihak Kepolisian

menyatakan kepada keluarga bahwa Erik meninggal akibat kecelakaan saat penangkapan, sehingga keluarga awalnya menerima kematian Erik dan tak bersedia jenazah Erik diotopsi. Namun Polres Bukittinggi tetap otopsi korban. Karena itulah jenazah Erik akhirnya diotopsi di RS. M. Jamil, Padang. Pada jenazah Erik akhirnya ditemukan5: 2 luka robek di

kepala bagian belakang sebelah atas; luka memar di bagian pelipis mata, hidung, dahi, bibir, dagu sebelah kiri dan luka goresan di bagian dahi sebelah kiri; luka memar di bagian bahu kanan dan bahu kiri, serta beberapa bagian dari bahu kanan dan kiri tersebut terdapat trauma yang mengakibatkan lukanya membengkak, sehingga seperti luka sayatan, namun memar tersebut tidak terbuka; luka memar di beberapa bagian punggung, dan satu luka memar yang membengkak di sebelah kanan dari punggung tersebut; luka memar di bagian paha kanan dan kiri, tungkai kiri dan kanan; memar di bagian paha kanan dan kiri, tungkai kiri dan kanan; dan luka memar di bagian kepala dalam lebih dari satu.

Persidangan Para Pelaku

Pada 3 April 2012, penyidik Polda Sumbar menetapkan 6 orang anggota Polsekta Bukittinggi sebagai Tersangka, yakni AM. Muntarizal, Riwanto Manurung, Deki Masriko, Fitria Yohanda, Boby Hertanto, Dodi Hariandi, dengan sangkaan melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian.

(14)

mengatakan bahwa Erik mengalami pemukulan, dan dirinya juga mengalami pemukulan, serta keterangan bahwasanya Erik tidak terjatuh saat penangkapan, mencabut keterangannya di BAP dengan alasan bahwa saat proses BAP, dirinya stress karena terlalu banyak pertanyaan dari Polisi serta dirinya sakit hari kepada Polisi yang telah menangkap dirinya. Hal ini melemahkan tuntutan Jaksa dan akhirnya keterangan-keterangan di persidangan pun mengarah bahwa kematian Erik utamanya disebabkan karena terjatuhnya Erik saat penangkapan, bukan dikarenakan pemukulan yang dilakukan Polisi saat interogasi.

Pencabutan BAP ini, dicurigai akibat tidak berjalannya perlindungan yang diberikan LPSK. Padahal, Permohonan perlindungan Saksi yang diajukan melalui LBH Padang ini telah diterima LPSK sebagaimana surat Nomor: R–0576/1.3/ LPSK/06/2012, perihal: Pemberitahuan Diterimanya Perlindungan an. Nasution Setiawan, tertanggal 1 Juni 20127. Namun, kenyataannya Saksi Nasution

Setiawan dan Marjoni tidak mendapatkan perlindungan, hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa Nasution Setiawan dan Marjoni ditahan di Lapas Biaro, Baso, Kab. Agam, Sumatera Barat, yakni Lapas yang sama dengan para Terdakwa penyiksaan. Meskipun menurut JPU ditempatkan pada blok yang berbeda8. Selain itu, Nasution Setiawan dan

Marjoni yang juga sedang menjalani sidang perkara pencurian di PN Bukittinggi, beberapa kali berada dalam satu mobil tahanan dengan para Terdakwa penyiksaan. Padahal kendaraan tahanan Kejari Bukittinggi tersebut sangat kecil, yakni hanya muat mungkin 12 penumpang.

Atas pencabutan BAP ini, Komnas HAM melalui surat bernomor 1.938/K/PMT/X/2012, tertanggal 1 Oktober 2012 (terlampir) menerangkan kepada Ketua PN Bukittinggi bahwa dicurigai pencabutan itu adalah akibat intimidasi dari Terdakwa.

Pada 24 September 2012, Jaksa Penuntut Umum pun akhirnya hanya menuntut 1 tahun penjara terhadap Terdakwa AM. Muntarizal; Riwanto Manurung; Fitria Yohanda; dan Boby Hertanto. Sedangkan terhadap Deky Masriko dan Dodi Hariandi, Jaksa menuntut 1 tahun 2 bulan penjara, karena dianggap etrbukti melakukan penganiayaan, sebagaimana diatur Pasal 351 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. Padahal, awalnya para Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana kekerasan yang mengakibatkan maut; penganiayaan yang mengakibatkan kematian; penganiayaan ringan; serta pengeroyokan yang mengakibatkan kematian.

Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum mengesampingkan pasal-pasal dan fakta-fakta persidangan. Luka-luka tak wajar, adanya darah saat di proses penyidikan, dan visum et repertum

tidak dipertimbangkan dan dilihat secara baik oleh Jaksa untuk mengaitkannya dengan perbuatan para Terdakwa. Bahkan Jaksa Penuntut Umum tidak melihat perbuatan pelaku sebagai pengeroyokan. kematian, dengan ancaman pidana maksimal 7 tahun

penjara; Ketiga, Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, yakni tindak pidana ppenganiayaan, dengan ancaman pidana maksimal 2 tahun 8 bulan penjara; dan Keempat, Pasal 358 ayat (2) KUHP, yakni tindak pidana penyerangan atau perkelahian yang mengakibatkan kematian, dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara.

Dalam persidangan, para Terdakwa didampingi 3 orang Penasehat Hukum dari Kepolisian Daerah Sumatera Barat Republik Indonesia6, yakni Zulfi a,

SH., Hafnizal, SH., dan Hamrizal, SH.

Berdasarkan surat dakwaan, JPU menyatakan para Terdakwa pada 30 Maret 2012, setelah menangkap Erik dan Nasution, di dalam ruang Opsnal Polsekta Bukittinggi, mereka secara bersama-sama melakukan pemukulan terhadap korban Erik. Terdakwa I memukul kening korban menggunakan tangan, serta menendang dengan kaki ke arah kaki korban Erik; Terdakwa II memukul punggung Erik sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan tangan; Terdakwa III memukul korban dengan menggunakan bambu sebanyak 5 (lima) kali sehingga korban menjerit kesakitan, selain itu Terdakwa III juga memukul korban menggunakan ikat pinggang yang diambil dari saksi Nasution ke kepala korban. Sedangkan Terdakwa IV menendang korban dengan menggunakan kakinya sembari menyerukan agar Erik jujur; Terdakwa V menampar kepala korban serta menendang kaki korban sebanyak 1 (satu) kali; Terdakwa VI memukul korban dengan menggunakan balok kayu sebanyak 2 (dua) kali ke arah kaki serta bahu korban dan juga memukul korban dengan tangkai sapu sebanyak 5 (lima) kali ke arah tubuh korban, sehingga korban berteriak “ampun pak, sakit pak”.

Akibat perbuatan Para Terdakwa tersebut, Erik mengalami luka memar pada bagian kepala serta anggota tubuh lainnya. Pada pukul 17.00 WIB korban mengeluh sakit pada bagian perutnya dan tak lama kemudian korban jatuh pingsan dan dilarikan ke RSAM Bukittinggi. Sesampainya di RSAM, Dokter Rumah sakit menyatakan bahwa korban telah meninggal dunia.

Bahwa setelah dilakukan pemeriksaan terhadap jenazah korban atau visum et repertum tanggal 1 April 2012 oleh Dr. Rika Susanti Sp.F di RSUP Djamil, Padang, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat luka terbuka pada belakang kepala kiri, luka memar pada punggung, lengan, tungkai serta luka lecet pada dahi, pelipis, bibir, dagu, lengan dan jari akibat kekerasan benda tumpul. Hal yang mengakibatkan kematian korban adalah kekerasan benda tumpul pada kepala.

Saksi Cabut BAP di Persidangan, Jaksa Tak Serius

(15)

Putusan Hakim Mewajarkan Penyiksaan

Setelah berjalan persidangan sejak Juni 2012, Majelis Hakim perkara Putusan No. 75/PID.B/2012/ PN.BKT pada Senin, 22 Oktober 2012 akhirnya membacakan putusan terhadap 6 (enam) orang Polisi Polsekta Bukittinggi, yang melakukan penyiksaan terhadap Erik Alamsyah. Majelis Hakim menyatakan para Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yakni turut serta melakukan penganiayaan. Terdakwa a.n 1) AM. Muntarizal; 2) Riwanto Manurung; 3) Fitria Yohanda; da 4) Boby Heryanto dihukum dengan hukuman 10 bulan penjara. Sedangkan Terdakwa a.n 5) Deky Masriko; dan Dody Hariandi dihukum dengan hukuman 1 tahun penjara. Hukuman ini dipotong masa tahanan. Masing-masing hukuman ini 2 bulan lebih rendah dibandingkan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Hukuman yang dijatuhkan terhadap 6 (enam) Terdakwa sangat ringan, dan tidak memberikan efek jera terhadap para terdakwa yang notabene adalah aparat kepolisian yang seharusnya dapat menjadi contoh bagi masyarakat. Hukuman ringan tersebut menambah rentetan kasus penyiksaan yang melibatkan aparat kepolisian yang dihukum secara tidak maksimal, sehingga mengakibatkan perilaku penyiksaan dan merendahkan martabat kerap terjadi di institusi Kepolisian.

Dalam pertimbangan putusannya, Majelis Hakim hampir sepenuhnya mengikuti logika-logika yang dibangun Penasehat Hukum Terdakwa dan argumentasi-argumentasi JPU, yakni bahwasanya adalah benar para Terdakwa melakukan penganiayaan terhadap Erik Alamsyah, namun penganiayaan tersebut bukanlah menjadi sebab yang mengakibatkan kematian Erik. Padahal seharusnya, Majelis Hakim seharusnya bisa menggali sendiri fakta-fakta selama di persidangan, terutama ketika saksi Nasution Setiawan yang mencabut keterangannya di BAP. Ketika saksi mencabut BAP-nya ini, seharusnya hakim memperhatikan kondisi psikologis saksi Nasution, yang juga menjadi Terdakwa dalam kasus pencurian motor. Selain itu, ketika dihadirkan sebagai saksi, Nasution dibawa menggunakan mobil tahanan yang sama dengan para terdakwa dan ditempatkan di dalam ruang tahanan PN yang sama.

Kemudian, dalam pertimbangan “hal meringankan” Terdakwa, Majelis Hakim menyatakan beberapa hal, yang salah satunya adalah: tindakan para Terdakwa adalah dalam rangka mengungkap kasus pencurian sepeda motor yang sedang marak di Bukittinggi. Kami melihat pertimbangan Hakim ini tidak tepat, karena secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa Majelis Hakim mewajarkan pemukulan-pemukulan yang dilakukan para Terdakwa, karena dalam aktivitas pekerjaannya.

Selain itu, Hakim juga menolak permohonan restitusi yang diajukan keluarga Erik melalui LPSK dengan alasan tidak terpenuhinya syarat formil sebagaimana diatur PP No. 44 tahun 2008 tentang

Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (Pasal 20 s.d Pasal 33). Majelis Hakim berpendapat, karena permohonan tersebut tidak melampirkan kwitansi atau bukti biaya yang dikeluarkan korban atau keluarganya paska meninggalnya Erik, sehingga Restitusi tidak dikabulkan. Seharusnya, demi memenuhi hak korban, Hakim dapat mengabaikan syarat formil tersebut sepanjang dia meyakini benar adanya tindak pidana itu dan ada korban yang mengalami kerugian. Melihat perjalanan kasus Erik, bisa dilihat bahwa Pengadilan tidak dapat digunakan sebagai salah satu sarana untuk menghalangi merebaknya praktek penyiksaan. Apalagi untuk memenuhi keadilan dan hak-hak korban. Situasi ini akan mendorong dan memberikan pembenaran diam-diam bagi aparat penegak hukum atau mewajarkan praktek penyiksaan atau penganiayaan yang dilakukan pada saat penyidikan di Kepolisian. Oleh karenanya Pemerintah dan DPR harus segera memasukkan dan menyesuaikan pengertian penyiksaan sebagaimana didefi nisikan dalam Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Anti Penyiksaan), karena KUHP yang selama ini menjadi landasan penghukuman bagi kejahatan penyiksaan, masih mendasarkan pada delik penganiayaan dan delik-delik lainnya, sehingga penghukumannya pun seringkali sangat lemah.

Keterangan

1 Berdasarkan Pemantauan Persidangan Aparat Kepolisian Terdakwa Penyiksaan Erik Alamsyah Perkara Nomor 75/ PID.B.2012.PN/BKT Juni – Oktober 2012

2 Laporan Pemantauan, Kasus Kematian Tersangka di Mapolsek Kota Bukittinggi. Komnas HAM RI, 4 April 2012, hal 9.

3 Pihak kepolisian sedari awal menekankan bahwa dalam penyergapan tersebut, Erik Alamsyah dan Nasution Setiawan mengalami benturan akibat terjatuh dan menabrak pagar pada saat hendak melarikan diri dengan sepeda motornya (Satria FU Warna Hitam Putih). Namun, berdasarkan hasil investigasi LBH Padang bersama Komnas HAM saat mewawancarai Nasution Setiawan, Erik dan rekannya Nasution tidak pernah terjatuh dan mengalami benturan apalagi menabrak pagar.

4 LBH Padang mengetahui kejadian ini karena ditelpon oleh pihak keluarga korban. Pada saat itu pihak keluarga menginformasikan bahwa jenazah Erik Alamsyah akan di Otopsi di Rumah Sakit M. Jamil dan meminta LBH Padang untuk ikut menyaksikan proses otopsi.

5 Keterangan Dokter Forensik sesuai dengan photo pemeriksaan pihak kepolisian terhadap jenazah.

6 Kop Surat dari Naskah Eksepsi Tim Penasehat Hukum Para

Terdakwa bertuliskan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

7 Keterangan ini juga bisa dilihat dalam Pers Release Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Nomor: 32/ PR/LPSK/V/2012, LPSK Menerima Perlindungan Saksi Kunci Tewasnya Erik Alamsyah, http://www.lpsk.go.id/ page/4fb38b6d378c3

8 Hal ini dikemukakan juga oleh Jaksa Penuntut Umum pada 5

September 2012

(16)

nasional

Minggu Pagi di Jejalen Jaya

Oleh

Daywin Prayogo

(Staf ELSAM)

C

erita di atas hanya sebuah ilustrasi

singkat bagaimana sikap intoleransi terus merebak. Tidak hanya kisah desa kecil di Tambun Utara itu, tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia. Dalam kurun waktu lima bulan di tahun 2012, tercatat beberapa kelompok agama terpaksa berhenti beribadah. Beberapa kelompok tersebut adalah HKBP Filadelfi a, kelompok Syiah di Sampang, serta dua kelompok Ahmadiyah di Singaparna dan Tasikmalaya, Jawa Barat.

Rombongan jemaat berkumpul kurang dari tigapuluh orang pagi itu. Beriringan, mereka bergerak menuju sebuah bangunan yang belum rampung. Tempat yang dituju berjarak sekitar 300 meter dari lokasi berkumpul. Berkaus putih-putih dan beberapa mengenakan topi, mereka berjalan dikawal para polisi dan Satpol PP. Para aparat berjaga sepanjang rute menuju gereja HKBP Filadelfi a, Jejalen Jaya, Tambun Utara. Hari itu mereka hendak berangkat beribadah, ritual yang seharusnya biasa mereka lakukan tiap minggu. Tujuan ibadah itu mungkin mencari

kesejukan rohani, namun yang tampak adalah deretan wajah lesu dan tertunduk. Belum sampai di depan gereja, mereka dihadang sekelompok orang yang mengatasnamakan

warga desa Jejalen Jaya. Di jarak yang tinggal 200 meter lagi, warga menyuruh mereka pulang. Dengan tegas mereka menolak aktivitas peribadatan minggu pagi yang belum lagi terlaksana. “Pulang loe, dasar gak tahu diri! Sudah tahu gak dikasih ibadah, masih aja kesini!”,

teriak seorang warga. Di tengah keributan itu, beberapa jemaah diam tak bergeming.

***

Semuanya berhenti beribadah akibat serangan kelompok yang lebih populer disebut sebagai kelompok intoleran.

Selain tidak mentolerir agama lain beribadah, mereka juga tidak bisa menerima suara yang mengkritisi. Bahkan ketika suara kritis itu hanya tertera di selembar kaos. Tulisan kaos itu singkat, padat dan mengena: Lawan Tirani Mayoritas”. Dari pesan singkat itu, salah satu kelompok intoleran menjadi berang seketika. Seorang yang memakai kaos itu adalah aktivis yang bertugas meliput penolakan ibadah HKBP Filadelfi a. Seketika kelompok intoleran menyeretnya untuk dihakimi bersama.

Lalu kalimat itu bertransformasi sebagai simbol. Sebuah simbol penolakan atas penindasan terhadap kelompok yang tidak sepakat dengan kehidupan toleransi di Indonesia. Tetapi apakah benar kelompok ini hanya menjadi satu-satunya pendorong maraknya kasus kekerasan belakangan ini?

Toleransi dalam “Tangan Besi”

Noam Chomsky pernah mengatakan, “If we don’t believe in freedom of expression for people we despise, we don’t believe in it at all..” Kata-kata Chomsky tersebut benar adanya. Syiar kebencian (hate speech) dan tindakan kekerasan belakangan ini, tidak hanya berkembang karena kelompok intoleran menjadi ancaman terhadap keberagaman. Salah satu faktor yang harus dicermati juga adalah peran negara sebagai pemegang kekuasan. Negara harusnya mampu mempengaruhi tingkah laku orang sesuai dengan cita – cita negara yang berkeadilan. Juga lewat perangkat hukum untuk menindak tegas aksi – aksi tersebut.

(17)

nasional

Kasus penyerangan di atas merupakan bukti

nyata bahwa hukum tidak lagi mampu memfasilitasi toleransi kehidupan umat beragama di Indonesia. Di luar konteks keagamaan, tindakan yang bertentangan dengan hukum harus diselesaikan dengan peraturan yang berlaku.

Tetapi apa yang sudah terjadi justru berseberangan. Negara yang memiliki peran penegakan hukum melalui institusi-institusi seperti kepolisian, malah melakukan pembangkangan terhadap peraturan yang mereka buat sendiri. Dalam kasus HKBP Filadelfi a dan GKI Yasmin, putusan hukum yang mendukung pendirian gedung ibadah, “diabaikan” oleh pemerintah. Seolah– olah ada kolaborasi disengaja dengan kelompok intoleran, dan terus melakukan penolakan ibadah para jemaat.

Toleransi kemudian hanya jadi poster usang di pinggir jalan. Setiap hari dilihat namun tanpa makna dalam keseharian. Masyarakat awam pun tak ubahnya penonton yang hanya memuntahkan sinisme kepada yang tiran. Hampir tak ada yang sadar bahwa ada yang salah dalam tanggung jawab negara memfasilitasi kebebasan dalam beragama.

Dalam era komunikasi dan informasi digital, pesan–pesan kebencian lewat media sosial bergerak dalam hitungan detik. Berulang–ulang pesan kebencian dibaca oleh para pengguna media sosial, menjadikannya semakin mudah mengendap di kepala. Ide dan gagasan toleransi dengan mudah terabaikan, termasuk dalam kasus yang terjadi belakangan ini.

Semangat perubahan menuju toleransi umat beragama makin lama makin terkubur. Gagasan itu tergantikan oleh provokasi murahan yang menempatkan kita dalam pusaran kebencian tanpa ujung. Toleransi pun seperti terkurung dalam sebuah tangan besi.

Katakan Lawan! kepada “Tirani Mayoritas”

Serangan oleh kelompok tirani mayoritas semakin menegaskan bahwa toleransi dalam kehidupan berdemokrasi berada dalam ancaman. Kesempatan untuk siapapun mengekspresikan ide dan gagasan masing–masing seakan tak terjamin. Namun sering muncul kebingungan ketika kita berada di antara kelompok intoleran dengan penonton yang semangat mengutuk tindakan kekerasan. Lalu kepada siapa seharusnya perlawanan dialamatkan? Tirani mayoritaskah?

Mungkin kita bisa tidak sepakat bahwa slogan “Lawan Tirani Mayoritas” hanya ditujukan kepada kelompok intoleran. Sekali lagi, negara juga bisa dibilang berada di balik tumbuh pesatnya kelompok yang bertindak vigilan. Menjadikan mereka imun terhadap hukum. Dan kasus seperti di Jejalen akan kembali terulang di wilayah lain di Indonesia.

Selain abai, negara juga menunjukkan pemahaman toleransi yang banal. Seperti halnya ketika Menteri Agama Suryadharma Ali

menanggapi isu diskriminasi dalam pembangunan rumah ibadah, pada 21 September 2012. Dengan picik dia mengatakan bahwa pembangunan masjid di Indonesia mencapai 64%, sedangkan Gereja 152%, maka tidak ada diskriminasi. Kebanalan pemahaman negara tampak ketika menakar kebebasan beribadah hanya lewat banyaknya jumlah rumah ibadat.

Dalam Konstitusi jelas tertulis bahwa perlindungan warga terhadap tindakan melawan hukum merupakan domain negara. Apalagi terhadap tindakan yang sengaja merusak bangunan toleransi keberagaman atas nama suatu kelompok.

Dengan demikian, menjamin kebebasan beribadah warga negara adalah harga mati dalam sebuah republik demokratis. Pendiaman negara atas tindak kekerasan adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan landasan negara.

Artikel ini pernah dimuat di Sorge Magazine. http://www.sorgemagz.com/?p=1490.

(18)

nasional

Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing

dalam Perspektif HAM

Oleh

Mohamad Zaki Hussein

(Staf Biro Litbang ELSAM)

P

ada 3 Oktober 2012, kaum buruh Indonesia yang dipelopori oleh Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) melancarkan aksi Mogok Nasional. Salah satu slogan mereka adalah penghapusan outsourcing. Mogok Nasional ini sendiri bisa dikatakan sebagai salah satu puncak dari gerakan Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah (Hostum) yang digulirkan sejak Mei 2012. Sejak itu, mereka sudah melakukan aksi-aksi pengepungan pabrik untuk memaksa pengusaha mengubah status buruhnya yang outsourcing menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaan tempat ia bekerja.

Menurut Roni Febrianto, salah seorang pimpinan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), salah satu elemen MPBI, sejak gerakan Hostum dimulai sampai menjelang Mogok Nasional, ada lebih dari 50.000 buruh outsourcing yang berhasil diubah statusnya menjadi hubungan kerja langsung dengan perusahaan.1

Outsourcing memang merupakan momok bagi buruh. Bersama-sama dengan sistem kerja kontrak,

outsourcing adalah cara untuk membuat hubungan kerja buruh-pengusaha menjadi fl eksibel. Fleksibel atau biasa disebut market labour fl exibility di sini bermakna hubungan kerja menjadi lebih mudah untuk diubah atau ditiadakan, tanpa konsekuensi yang berat bagi pengusaha, sesuai dengan kondisi bisnis yang berubah-ubah. Perjanjian kerja dibuat hanya untuk sementara atau jangka waktu tertentu. Inilah yang disebut dengan sistem kerja kontrak yang biasa dibedakan dengan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu atau kerja tetap.

Cara fl eksibel lainnya adalah dengan menggunakan buruh dari perusahaan penyalur tenaga kerja, di mana urusan rekrutmen dan administrasi ketenagakerjaan serta pemenuhan hak-hak buruh dilimpahkan kepada perusahaan penyalur tersebut. Inilah yang disebut dengan sistem outsourcing tenaga kerja.

Dalam sistem outsourcing, hubungan kerja resmi si buruh adalah dengan perusahaan penyalur tenaga kerja, tetapi si buruh bekerja untuk dan menerima perintah dari perusahaan pengguna tenaga kerja.

UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) sebenarnya menetapkan pembatasan-pembatasan atas kerja kontrak dan outsourcing. Kerja kontrak, misalnya, hanya boleh untuk ”pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu” dan ”tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.” Kerja kontrak hanya “dapat diadakan

untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.” Pembaruan perjanjian kerja kontrak juga hanya dapat “dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.”

Kemudian, untuk outsourcing, dinyatakan bahwa

outsourcing hanya bisa diterapkan pada pekerjaan yang ”dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama” dan ”merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan.” Outsourcing ”tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan secara langsung dengan proses produksi.”

Perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi buruh

outsourcing harus ”sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”2

Namun, nyaris semua peraturan ini dilanggar di lapangan. Outsourcing, misalnya, banyak diterapkan pada pekerjaan yang merupakan core-business dari sebuah perusahaan. Ini bisa dilihat dari jenis-jenis buruh yang disalurkan oleh berbagai perusahaan penyalur ini.

PT FBP, misalnya, menyediakan buruh setingkat operator yang bekerja di bidang produksi. Lalu, PT TKI menyalurkan buruh kontrak untuk operator telepon, operator komputer, kasir, dan sebagainya. PT QSM menyediakan buruh untuk programmer, call center, dan sebagainya. Di antara buruh yang disalurkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut, memang ada yang disalurkan untuk memiliki hubungan kerja langsung dengan perusahaan pengguna tenaga kerja. Tetapi, ini biasanya hanya berlaku untuk buruh setingkat manajer dan jumlahnya hanya satu dua orang. Untuk sisanya, yang disalurkan secara masif, biasanya memiliki status sebagai buruh outsourcing.3

(19)

nasional

Berikut ini tabel hasil surveinya:

KUANTITAS KONTRAK PROSENTASE 1 kali 31,60% 2 kali 28,60% 3 kali 10,70% 4 - 15 kali 29,10%

TOTAL 100,00%

Temuan lain dari riset mereka adalah, di Kepulauan Riau ada buruh yang dikontrak sampai 9 kali, di Jawa Timur ada yang dikontrak sampai 11 kali, dan di Jawa Barat ada yang dikontrak sampai 15 kali.4

Mengenai perlindungan dan syarat-syarat kerja buruh outsourcing sebagaimana diatur dalam UUK yang harus sekurang-kurangnya sama dengan buruh bukan outsourcing, riset Indrasari et al. Justru menemukan adanya diskriminasi antara tiga jenis buruh, yaitu buruh tetap, buruh kontrak dan buruh outsourcing, untuk jenis pekerjaan yang sama di tempat yang sama dengan jam kerja yang sama.

Untuk upah pokok, misalnya, rata-rata upah pokok buruh kontrak lebih rendah 14% dari upah pokok buruh tetap, sementara upah pokok buruh outsourcing lebih rendah 17,45% dari upah pokok buruh tetap. Lalu, terkait upah total, rata-rata upah total buruh kontrak 16,71% lebih rendah dari upah total buruh tetap, sementara upah total buruh otusourcing 26% lebih rendah dari upah total buruh tetap.5

Dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM), tentu diskriminasi ini bertentangan dengan Pasal 38 ayat (3) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, di mana dinyatakan bahwa, “Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.”

Diskriminasi ini juga bertentangan dengan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) yang disahkan dengan UU No. 11 Tahun 2005, di mana pekerja memiliki hak untuk mendapatkan “remunerasi yang setara untuk pekerjaan yang nilainya setara tanpa pembedaan apapun.”

Diskriminasi ini bisa terjadi karena posisi tawar buruh kontrak dan outsourcing yang lemah. Hubungan kerja mereka yang sementara dan rentan membuat p

Referensi

Dokumen terkait

Syarat pokok terakhir pelayanan kesehatn yang baik adalah bermutu, yaitu menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang di satu pihak dapat

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara stress dengan kejadian hipertensi pada lansia dengan kekuatan hubungan kuat dan arah

Retur Pembelian dan Pengurangan Harga (Purchases return and allowances), rekening ini digunakan untuk mencatat transaksi yang berkaitan dengan pengembalian barang yang telah

Sumber data pada penelitian ini adalah Rubrik opini yang diterbitkan pada www.thejakartapost.com ( Versi Elektronik) and edisi Koran The Jakarta Post berjudul

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Putra (2010) yang meneliti tentang pengaruh penerapan anggaran berbasis kinerja dan sistem informasi pengelolaan keuangan

analisis normalitas dan homogenitas pretest, gambaran pelaksanaan pembelajaran yaitu gambaran pelaksanaan pembelajaran pada kelas kontrol dan gambaran pelaksanaan

2.3.5 Mengekspresikan perasaan apabila dapat melaksanakan tanggungjawab diri dalam keluarga.. 2.3.6 Merealisasikan tanggungjawab diri

- Pengecatan Marka Jalan 3030.00 M' Taksir - Pengecatan Marka Parkir 800.50 M' Taksir 2.00 Unit Taksir - Pengecoran Rambu parkir 0.13 m³ SNI 7394-2002.6.1.