• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA

Volume 19 Nomor 1 Maret 2013 Nomor Akreditasi: 455/AU2/P2MI/LIPI/08/2012

(Periode: Agustus 2012 - Agustus 2015)

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia adalah wadah informasi perikanan, baik laut maupun perairan umum daratan. Jurnal ini menyajikan hasil penelitian

sumber daya, penangkapan, oseanografi, lingkungan, rehabilitasi lingkungan, dan pengkayaan stok ikan.

Terbit pertama kali tahun 1994. Tahun 2006, frekuensi penerbitan Jurnal ini tiga kali dalam setahun pada

bulan April, Agustus, dan Desember.

Tahun 2008, frekuensi penerbitan menjadi empat kali yaitu pada bulan MARET, JUNI, SEPTEMBER, dan DESEMBER.

Ketua Redaksi:

Prof. Dr. Wudianto, M.Sc Anggota:

Prof. Dr. Ir. Ngurah Nyoman Wiadnyana, DEA Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc.

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya Prof. Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA

Dr. Ir. Abdul Ghofar, M.Sc.

Mitra Bestari untuk Nomor ini:

Prof. Dr. Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, M.Sc.

Redaksi Pelaksana:

Dra. Endang Sriyati Arief Gunawan, S.Kom.

Desain Grafis : Kharisma Citra, S.Sn

Alamat Redaksi/Penerbit:

Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430

Telp. (021) 64711940; Fax. (021) 6402640 Email: drprpt2009@gmail.com

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan- Kementerian Kelautan dan Perikanan.

(2)

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Pedoman Bagi Penulis

UMUM

1. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia memuat hasil-hasil penelitian bidang biologi perikanan, teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan, pengkajian potensi dan pemacuan sumberdaya ikan.

2. Naskah yang dikirim asli dan jelas tujuan, bahan yang digunakan, maupun metode yang diterapkan dan belum pernah dipublikasikan atau dikirimkan untuk dipublikasikan di mana saja.

3. Naskah ditulis/diketik dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak umum 4. Naskah diketik dengan program MS-Word dalam 2 spasi , margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan), kertas A4, font 12-times news roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya. Penulis dapat mengirimkan naskah ke Redaksi Pelaksana Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jl. Pasir Putih No.1 Ancol, Jakarta Utara 14430, Telp.: (021) 64711940, Fax.: (021) 6402640, E-mail: dewanredaksi@yahoo.com.

5. Dewan Redaksi berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan.

PENYIAPAN NASKAH

1. Judul : Naskah hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama penulis.

Jabatan atau instansi penulis ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama.

2. Abstrak : Dibuat dengan Bahasa Indonesia dan Inggris paling banyak 250 kata, isinya ringkas dan jelas serta mewakili isi naskah.

3. Kata Kunci : Ditulis dengan Bahasa Indonesia dan Inggris, terdiri atas 4 sampai 6 kata ditulis dibawah abstrak dan dipilih dengan mengacu pada agrovocs.

4. Pendahuluan : Secara ringkas menguraikan masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian. Jangan menggunakan sub bab.

5. Bahan dan Metode : Secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait.

6. Hasil dan Bahasan : Hasil dan bahasan dipisah, diuraikan secara jelas serta dibahas sesuai dengan topik atau permasalahan yang terkait dengan judul.

7. Kesimpulan : Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian.

8. Persantunan : Memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah.

9. Daftar Pustaka : Disusun berdasarkan pada abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut.

Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kota, serta jumlah atau nomor halaman.

Contoh : Sunarno, M. T. D., A. Wibowo, & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar, dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. J.Lit.Perikan.Ind. 13 (3). 1-14.

Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Ind.Fish Res J. 12 (2). 129-157.

Boyd, C.E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scintific Publishing Company. New York. 318 p.

Defeo, O., T. R. Mc Clanahan, & J. C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J. C. Castilla (eds). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing. Singapore. p. 3-24.

Utomo, A. D., M. T. D. Sunarno, & S. Adjie. 2005. Teknik peningkatan produksi perikanan perairan umum di rawa banjiran melalui penyediaan suaka perikanan. In Wiadnyana, N. N., E. S. Kartamihardja, D. I. Hartoto, A. Sarnita, & M. T. D. Sunarno (eds). Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia Ke-1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

p. 185-192.

Publikasi yang tak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali tesis, seperti contoh sebagai berikut:

Anderson, M.E, Satria F. 2007. A New Subfamily, Genus, and Species of Pearlfish (Teleostei: Ophidiiformes:

Carapidae) from Deep Water off Indonesia. Species Diversity 12: 73-82.

10. Tabel : Disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan.

11. Gambar : Skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka Arab. Judul dan keterangan gambar diletakkan di bawah gambar dan disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.

12. Foto : Dipilih warna kontras atau foto hitam putih, judul foto ditulis dalam dua Bahasa Indonesia dan Inggris, dan nomor urut di sebaliknya. Dicetak dalam kertas foto atau dalam bentuk digital.

13. Cetak Lepas (Reprint) : Penulis akan menerima cetak lepas secara cuma-cuma. Bagi tulisan yang disusun oleh lebih dari seorang penulis, pembagiannya diserahkan pada yang bersangkutan.

(3)

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia (JPPI) di tahun 2013 memasuki Volume ke-19. Pencetakan jurnal ini dibiayai oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan anggaran tahun 2013. Semua naskah yang terbit telah melalui proses evaluasi oleh Dewan Redaksi dan editing oleh Redaksi Pelaksana.

Penerbitan pertama di Volume 19 tahun 2013 menampilkan tujuh artikel hasil penelitian perikanan di perairan laut Indonesia. Ketujuh artikel tersebut mengulas tentang: Karakteristik Teknis Alat Tangkap Pukat Cincin di Perairan Teluk Apar, Kabupaten Paser-Kalimantan Timur; Komposisi Tangkapan dan Laju Pancing Longline serta Daerah Penangkapannya di Perairan Laut Banda; Aktivitas Penangkapan Individu Kapal Purse Seine di Laut Maluku: Sistem Pemantauan Kapal (VMS) dan Observer; Efisiensi Teknis Perikanan Rawai Tuna di Benoa (Studi Kasus: PT. Perikanan Nusantara); Perkembangan Perikanan Cumi-cumi di Sentra Pendaratan Ikan Utara Pulau; Efisiensi Penangkapan Pukat Cincin di Beberapa Daerah Penangkapan Watampone; dan Taktik Penangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia Berdasarkan Data Hook Timer dan Minilogger.

Diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi para pengambil kebijakan dan pengelola sumber daya perikanan di Indonesia. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi aktif para peneliti dari lingkup dan luar Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan.

Redaksi

(4)

ISSN 0853 - 5884 JURNAL PENELITIAN PERIKANAN INDONESIA

Volume 19 Nomor 1 Maret 2013 DAFTAR ISI

Halaman i ii

1-7

9-16

17-24

25-30

31-38

39-45

47-53 KATA PENGANTAR ………...

DAFTAR ISI ……….

Karakteristik Teknis Alat Tangkap Pukat Cincin di Perairan Teluk Apar, Kabupaten Paser- Kalimantan Timur

Oleh : Mahiswara, Tri Wahyu Budiarti, dan Baihaqi………

Komposisi Tangkapan dan Laju Pancing Longline Serta Daerah Penangkapannya di Perairan Laut Banda

Oleh : Umi Chodrijah dan Budi Nugraha………

Aktivitas Penangkapan Individu Kapal Purse Seine di Laut Maluku: Sistem Pemantauan Kapal (VMS) dan Observer

Oleh : Mohamad Natsir dan Suherman Banon Atmaja………

Efisiensi Teknis Perikanan Rawai Tuna di Benoa (Studi Kasus: PT. Perikanan Nusantara) Oleh : Budi Nugraha dan Hufiadi………

Perkembangan Perikanan Cumi–Cumi di Sentra Pendaratan Ikan Utara Pulau Jawa

Oleh : Suherman Banon Atmaja………

Efisiensi Penangkapan Pukat Cincin di Beberapa Daerah Penangkapan Watampone

Oleh : Hufiadi dan Erfind Nurdin...

Taktik Penangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia Berdasarkan Data Hook Timer dan Minilogger

Oleh : Andi Bahtiar, Abram Barata, dan Dian Novianto………

(5)

KARAKTERISTIK TEKNIS ALAT TANGKAP PUKAT CINCIN DI PERAIRAN TELUK APAR, KABUPATEN PASER - KALIMANTAN TIMUR

TECHNICAL CHARACTERISTICS OF THE PURSE SEINE FISHING GEAR IN APAR BAY, DISTRIC PASER, EAST KALIMANTAN

Mahiswara, Tri Wahyu Budiartidan Baihaqi

Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru Jakarta

Teregistrasi I tanggal: 22 Oktober 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 4 Maret 2013;

Disetujui terbit tanggal: 5 Maret 2013 e-mail: mahiswr@yahoo.com

ABSTRAK

Pukat cincin merupakan salah satu alat tangkap yang dioperasikan nelayan di Perairan Teluk Apar, Kalimantan Timur. Pukat cincin Teluk Apar tergolong pukat cincin jaring lingkar dan menggunakan material sederhana dalam konstruksinya. Penelitian pukat cincin bertujuan untuk mengetahui karakteristik secara teknis. Metode deskriptif-observatif digunakan untuk menghimpun data. Analisis data digunakan untuk menentukan nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung. Hasil analisis menunjukkan bahwa, nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung pukat cincin Teluk Apar adalah 1,68. Penggunaan material polyvynil chloride (PVC) dan batu kali, mengurangi efektivitas pukat cincin. Penggunaan material yang tepat (kuningan untuk cincin, timah hitam untuk pemberat), penambahan waktu rendam rumpon dan meningkatkan kemampuan jangkauan daerah penangkapan dapat mengoptimalkan kinerja pukat cincin Teluk Apar.

KATA KUNCI: Karakteristik, alat tangkap, pukat cincin, teluk apar ABSTRACT

Purse seine is one of the fishing gear that operated in Teluk Apar water, East Kalimantan. Teluk apar purse seine is categorized a ring net and constructed by using simple materials. The aims of study is to determine the technical characteristics of teluk apar purse seine. Descriptive and observation methods are used to gather data. Analysis of the data used to determine the value of the ratio between the sinking force and buoyancy. The result showed that the ratio between the sinking force and buoyancy of teluk apar purse seine is 1,68. The use of polyvynil chloride (PVC) and the stone, reducing the effectiveness of purse seine. The use of appropriate materials (bronze for ring and plumbum for sinker), the addition of FADs soak time and improve the fishing ground coverage can optimize the performance of Teluk Apar purse seine.

KEYWORDS: Characteristic, fishing gear, purse seine, apar bay

PENDAHULUAN

Perairan Teluk Apar merupakan salah satu daerah penangkapan utama kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Paser. Kabupaten Paser adalah salah satu wilayah di Provinsi Kalimantan Timur yang terletak di bagian paling selatan,yang secara geografis berada pada posisi antara 000 58 10,54’’ - 020 24 29,19’’ LS dan 1150 36 14,59’’ - 1160 57 35,03’’BT. Sebagian besar produksi perikanan tangkap Kabupaten Paser berasal dari wilayah perairan laut Teluk Apar.

Produksi perikanan dari perairan Teluk Apar dihasilkan dari berbagai jenis alat tangkap seperti;

jaring insang, jaring trammel, pukat cincin, pancing tonda, rawai, bagan, sero, jermal dan berbagai tipe bubu. Kelompok alat tangkap jaring insang serta jaring trammel merupakan penyumbang utama produksi perikanan laut Kabupaten Paser, diikuti oleh pukat

cincin dan alat tangkap lainnya. Data yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Paser menunjukkan bahwa, produksi perikanan laut pada tahun 2009 sebesar 12.523 ton.

Jumlah unit penangkapan pukat cincin yang memberikan konstribusi produksi perikanan kedua terbesar (1.165 ton) pada tahun 2009, dengan jumlah unit penangkapan tercatat sebanyak 32 unit (Anonim, 2010).

Alat tangkap pukat cincin mulai berkembang di wilayah Teluk Apar pada tahun 1990-an. Jumlah unit penangkapan pukat cincin mengalami perkembangan mulai tahun 1996, dan mencapai puncaknya pada tahun 2001 sebanyak 84 unit pukat cincin. Jumlah pukat cincin terus mengalami penurunan hingga mencapai setengahnya setelah hampir satu dekade.

Meskipun dari sisi jumlah unit pada tahun 2009 relatif kecil, 0.5% dari total unit alat tangkap yang ada di

(6)

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 1-7

Kabupaten Paser, namun pukat cincin di perairan Teluk Apar cukup produktif.

Pukat cincin di Teluk Apar memiliki rancang bangun berbeda dengan yang umum dioperasikan di wilayah perairan Indonesia. Dalam rancangannya tidak menggunakan pemotongan jaring (tappering) khususnya untuk membentuk bagian bawah jaring.

Hal lain yang membedakan pukat cincin yang dioperasikan nelayan Teluk Apar adalah penggunaan material dalam konstruksinya. Rancang bangun dan konstruksi alat tangkap akan menentukan kinerja produktif, disamping faktor eksternal lain seperti cara pengoperasian, ketrampilan nelayan dan kondisi daerah penangkapan.

Penelitian pukat cincin di Teluk Apar bertujuan untuk mengetahui karakteristik yang menentukan kinerja alat tangkap dan produktivitanya. Tulisan ini berisi hasil analisis karakteristik teknis alat tangkap pukat cincin yang dioperasikan oleh nelayan di perairan Teluk Apar, Kalimantan Timur. Informasi terkait hasil tangkapan disajikan untuk memberikan gambaran mengenai tingkat produktivitas pukat cincin.

BAHAN DAN METODE BAHAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret dan Agustus 2011. Bahan penelitian adalah unit penangkapan pukat cincin, khususnya alat tangkap pukat cincin yang dioperasikan nelayan dan berbasis di Muara Pasir dan Tanjung Aru, Tanah Grogot - Kabupaten Paser (Gambar 1).

-4°

-3°

-2°

-1°

Latitude

116° 118° 120°

Longitude

-5°

Latitude

110° 115° 120°

Longitude

Gambar 1. Wilayah perairan Teluk Apar, Kalimantan Timur

Figure 1. Teluk Apar Waters, Esat Kalimantan

Unit penangkapan pukat cincin terdiri atas kapal motor, alat tangkap pukat cincin dan anak buah) serta dilengkapi dengan alat bantu pengumpul ikan (rumpon). Panjang tali ris atas atas pukat cincin antara 700-900 m. Material utama jaring adalah nylon (polyamida/PA). Sebagai penguat badan jaring bagian pinggir (srampat) digunakan jaring dari bahan polyethelene (PE). Pelampung berbentuk bola dari bahan plastik dan synthetic rubber dipasangkan di bagian ris atas. Pemberat jaring menggunakan batu (kali), sedangkan cincin tempat tali kerut (purse line) digunakan pipa paralon (polyvinylchloride) (Gambar 2).

Gambar 2. Bagian kontruksi alat tangkap pukat cincin Teluk Apar

Figure 2. Construction Parts of Apar Bay purse seine

BAHAN DAN METODE Pengumpulan Data

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif, suatu pendekatan yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat keadaan tertentu.

Data dan informasi terkait perikanan pukat cincin diperoleh dengan cara melakukan wawancara secara langsung, melakukan pengukuran dan penghitungan objek alat tangkap serta melakukan wawancara dengan nelayan pelaku usaha. Pengumpulan data perkembangan perikanan pukat cincin dihimpun dari institusi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Paser serta kelompok nelayan yang terdapat di Muara Pasir dan Tanjung Aru.

Analisis Data

Karakteristik pukat cincin didasarkan pada analisis parameter teknis alat tangkap. Perhitungan parameter alat tangkap didasarkan pada formula yang dikembangkan oleh Prado & Dremire (1991). Prinsip

(7)

perhitungannya adalah menentukan rasio antara daya apung dengan daya tenggelam seluruh komponen yang membentuk pukat cincin. Beberapa parameter yang dihitung adalah:

Bobot Jaring (Bersimpul),

W = H * L * Rtek/1000 x K .………(1)

dimana:

W = bobot jaring yang dihitung (Kg) H = jumlah baris simpul pada tinggi jaring L = panjang jaring (stretched mesh) (m) Rtex = ukuran benang jaring

K = faktor koreksi simpul (sesuai dengan berat simpul)

Daya Apung dan Daya Tenggelam,

P = A * (1 – DW/DM)……….(2)

dimana:

P = bobot dalam air (Kg) A = bobot di udara (Kg)

DW = densitas air (g/cc); air laut = 1,026 DM = densitas material (g/cc)

Kinerja produktivitas pukat cincin didasarkan pada rasio antara data hasil tangkapan per unit upaya. Data dan informasi yang digunakan adalah data statistik perikanan ditunjang dengan informasi yang berhasil dihimpun di lapang.

HASIL DAN BAHASAN HASIL

Pukat cincin Teluk Apar memiliki ukuran panjang (tali ris atas) antara 700-900 m, dengan tinggi jaring (bagian tertinggi) 45 m. Material utama jaring yang digunakan adalah nylon (PA=polyamida) multifilament. Beberapa bagian menggunakan jaring berbahan PE (polyethelene), berfungsi sebagai penguat bagian pinggir jaring. Tali temali menggunakan bahan PE.

Pelampung yang digunakan pada pukat cincin teluk apar menggunakan bola berbahan plastik dan pelampung yang terbuat dari bahan synthetic rubber.

Pemberat menggunakan bahan timah dan sebagian besar menggunakan batu kali. Cincin (ring) tempat alur tali kerut (purse line) menggunakan bahan PVC (polyvinyl chloride) berupa pipa pralon yang dipotong membentuk cincin. Secara terinci, spesifikasi alat tangkap pukat cincin Teluk Apar disajikan pada Gambar 3.

Pengamatan dan pengukuran terhadap sampel unit penangkapan pukat cincin Teluk Apar yang dilakukan terhadap (KM Sapaat Marwah) diperoleh nilai-nilai spesifikasi material yang yang menentukan nilai rasio antara data apung (bouyancy) dan daya tenggelam (sinking force) seperti disajikan pada Tabel 1.

Gambar 3. Deskripsi pukat cincin Teluk Apar Figure 3. Design of Apar Bay purse seine

(8)

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 : 1-7

Tabel 1. Daya apung dan daya tenggelam pukat cincin Teluk Apar Table 1. Bouyancy and sinking force of teluk apar purse seine

Kapal yang digunakan untuk mengoperasikan pukat cincin memiliki dimensi panjang (P), lebar (L) dan dalam (D) yang berkisar antara; 10.5–14.0 (m) x 3.20 -5,5 (m) x 1.50-2.25 (m). Tenaga penggerak utama menggunakan mesin Mitsubishi PS 120 (4 sylinder), mesin gardan menggunakan Dongfeng 24 PK serta genset berkekuatan 1,5 kW. Pada umumnya pukat cincin Teluk Apar menggunakan mesin motor dalam.

Pukat cincin Teluk Apar yang wilayah operasinya relatif masih di sekitar perairan pantai, memberikan konstribusi produksi yang signifikan terhadap perikanan di Kabupaten Paser. Pada tahun 2009 dengan produksi perikanan laut sebesar 12.532 ton, sebanyak 10% (1.164 ton) merupakan produksi yang didaratkan armada pukat cincin. Dalam kurun waktu antara 2003 hingga 2009 produksi pukat cincin

cenderung mengalami perkembangan, meskipun jumlah unit penangkapan relatif tetap, seperti tersaji pada Gambar 4.

Hasil pemantauan terhadap kinerja produksi unit penangkapan pukat cincin antara bulan April – September 2011, yang dilakukan terhadap pukat cincin yang berbasis di Tanjung Aru melalui kegiatan enumerasi, diperoleh gambaran produktivitas seperti tercantum dalam Tabel 2. Jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap pukat cincin utamanya adalah kelompok ikan pelagis kecil seperti layang (Decapterus spp), selar (Selaroides spp), tetengek, tembang (Sardinella spp.) dan siro (Amblygaster sp.p). Produktivitas unit penangkapan pukat cincin Teluk Apar pada musim timur (periode April – September) berkisar antara 500 – 600 kg/unit.

0 200 400 600 800 1000 1200

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Pukat cincin (unit) Produksi (ton)

Gambar 4. Upaya (unit) dan produksi pukat cincin Teluk Apar 2003 – 2009 Figure 4. Catches and effort of Apar Bay purse seine 2003 – 2009

(9)

Tabel 2. Produktivitas pukat cincin Teluk Apar bulan April–September 2011 Table 2. Productivity of Apar Bay rse seine April–September 2011

nd: tidak ada data BAHASAN

Secara umum terdapat dua tipe pukat cincin yang telah dikembangkan di Indonesia, yaitu, pukat cincin tipe Amerika dan tipe Jepang. Letak perbedaan kedua tipe tersebut adalah pada posisi terbentuknya kantong. Pukat cincin tipe Amerika posisi terbentuknya kantong di bagian pinggir, sedangkan tipe Jepang di bagian tengah (Ayodhyoa, 1981; Brandt, 1984). Posisi terbentuknya kantong berada di bagian pinggir, menjadikan pukat cincin teluk apar dikategorikan sebagai pukat cincin tipe Amerika.

Kebiasaan nelayan mengoperasikan jaring insang diduga menjadi pertimbangan utama pemilihan pukat cincin kantong pinggir.

Pukat cincin dioperasikan dengan melingkarkan pada gerombolan ikan, baik yang sudah terkumpul dengan bantuan alat bantu penangkapan (rumpon, cahaya lampu), maupun yang dalam posisi bergerak dengan cara diburu (hunting system). Efektivitas pengoperasian pukat cincin ditentukan oleh kecepatan melingkar jaring, kecepatan tenggelam jaring untuk segera membentuk dinding guna menahan gerak kelompok ikan keluar secara horisontal, serta kecepatan untuk menarik tali kolor (purse line) untuk menahan larinya ikan ke arah vertikal (bagian bawah jaring) (Sainsbury, 1971).

Rancang bangun pukat cincin teluk apar tergolong kelompok ‘pukat cincin jaring lingkar’ (BBPPI, 2010), dengan posisi pembentukan kantong di bagian pinggir jaring. Kelompok pukat cincin ini salah satunya dicirikan dengan bentuk bagian bawah yang tidak mengalami potongan (tapering), lembar jaring bagian bawah langsung dikerut untuk memperoleh nilai panjang tali ris bawah (Gambar 3). Penggunaan bahan jaring model ini lebih boros dibandingkan dengan model lain untuk ukuran panjang jaring sama.

Seperti alat tangkap ikan pada umumnya, keberhasilan pukat cincin dalam menangkap ikan

ditentukan oleh banyak faktor, baik yang bersifat internal (rancang bangun dan konstruksi) maupun eksternal (ketersediaan sumberdaya, kondisi cuaca, arus, ketrampilan dalam pengoperasian. Pukat cincin merupakan alat tangkap yang ditujukan untuk menangkap kelompok sumberdaya ikan pelagis.

Rancang bangun dan konstruksi merupakan salah faktor internal yang menentukan keberhasilan pukat cincin. Penggunaan material nylon merupakan pilihan yang tepat untuk pukat cincin, oleh karena material nylon memliki kekuatan dan lebih baik serta mudah melepaskan air dibanding bahan dari kuralon, teteron maupun polyester (Klust, 1987). Kelemahan material nylon adalah nilai massa jenisnya yang rendah sehingga kecepatan tenggelamnya relatif rendah.

Kondisi ini perlu diimbangi dengan pemilihan material yang tepat untuk bagian lain seperti, pemberat, cincin (ring) tali temali dan pelampung.

Penggunaan material PVC untuk cincin (ring) suatu hal yang tidak lazim, meskipun merupakan pilihan yang mungkin sejauh parameter dasar alat tangkap pukat cincin (rasio daya apung dengan daya tenggelam) dapat dipenuhi. Kelemahan material PVC adalah massa jenisnya yang kecil, sehingga akan berpengaruh terhadap kecepatan tenggelamnya.

Keunggulan material PVC adalah mudah diperoleh dan harganya relative murah dibandingkan dengan material logam. Material PVC juga memiliki kelebihan tidak bersifat korosive. Umumnya material cincin yang digunakan adalah kuningan, oleh karena disamping memiliki massa jenis yang besar, juga tidak bersifat korosif.

Material pemberat yang digunakan pada pukat cincin Teluk Apar adalah batu (kali). Batu memiliki massa jenis yang relatif besar, kekurangan batu adalah sulit mendapatkan ukuran yang sama (bentuk dan berat). Pemasangan pemberat yang tidak merata di sepanjang tali ris bawah akan mempengaruhi tampilan jaring dan kinerja produksinya.

(10)

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.19 No. 1 Maret 2013 :

Berdasarkan aspek teknis alat tangkap, efektivitas pukat cincin ditentukan oleh nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung. Nilai daya tenggelam dan daya apung sangat ditentukan oleh material yang digunakan dalam pembuatan pukat cincin (Nomura

& Yamazaki, 1975). Pada pukat cincin mini yang berbasis di Pemalang, Jawa Tengah dengan daerah pengoperasian di perairan utara Jawa, diperoleh nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung sebesar 2.0 (Nurdin & Hufiadi, 2006). Hasil analisis terhadap seluruh komponen material yang digunakan pada pukat cincin teluk apar, diperoleh nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung sebesar 1,68. Nilai rasio yang diperoleh masih di dalam ambang kisaran nilai yang disyaratkan yaitu antara 1,5 – 2,5 (Prado

& Dremier, 1991).

Pemilihan material yang digunakan dalam mengkonstruski pukat cincin Teluk Apar memiliki keunggulan dan kelemahan yang secara keseluruhan berpengaruh terhadap performa jaring. Untuk jaring dengan dimensi yang sama, penggunaan jaring nylon tanpa simpul akan mengurangi total bobot jaring. Jenis dan dimensi pelampung yang digunakan menjadikan tampilan pukat cincin Teluk Apar baik, oleh karena tersebar secara merata dengan jarak antar pelampung yang cukup. Pilihan material PVC untuk untuk cincin kurang tepat, oleh karena massa jenisnya kecil, sehingga mengakibatkan kecepatan tenggelam jaring rendah. Sementara penggunaan batu kali sebagai pemberat, dengan bentuk dan ukuran yang tidak sama berpengaruh terhadap tampilan bagian bawah jaring.

Meski secara perhitungan nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung pukat cincin teluk apar dalam batas kisaran yang disyaratkan, namun kecepatan tenggelam pada saat dioperasikan rendah.

Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai jaring terentang sempurna secara vertikal. Kondisi ini dapat mengurangi efektivitas pukat cincin oleh karena terciptanya kesempatan ikan lolos lebih besar.

Menilik pada dimensi kapal, tenaga penggerak yang digunakan dan jumlah ABK dalam satu unit penangkapan, pukat cincin teluk apar tergolong pukat cincin ukuran mini. Ukuran jaring yang relatif panjang tidak merupakan kendala dalam pengoperasiannya, khususnya saat penarikan jaring, oleh karena tinggi jaring yang relatif pendek. Potier & Sadhotomo (1995) menuliskan bahwa pukat cincin ukuran mini dioperasikan dengan menggunakan kapal kayu berukuran panjang antara 15-20 m, tenaga penggerak menggunakan mesin berkekuatan 35-100 HP. Kapal dilengkapi dengan palka berkapasitas 20-25 ton ikan segar. Operasi penangkapan dilakukan tidak jauh dari

pantai pada perairan dengan kedalaman sampai dengan 30 m. Pada umumnya pukat cincin mini melakukan trip harian (one day trip).

Pukat cincin Teluk Apar yang memiliki karakteristik teknis baik, dikaitkan dengan kinerja unit penangkapan dengan indikator hasil tangkapan, belum menggambarkan perolehan hasil yang optimal. Kuat diduga faktor teknis alat tangkap berkonstribusi nyata terhadap rendahnya kinerja produksi pada pukat cincin Teluk Apar. Mengamati kondisi perikanan pukat cincin di Teluk Apar, faktor lain yang diduga berpengaruh adalah ketrampilan ABK dan daerah penangkapan (ketersediaan sumberdaya ikan). Upaya untuk meningkatkan produktivitas pukat cincin perlu diketahui faktor yang berpengaruh terhadap total hasil tangkapan. Hasil penelitian pukat cincin yang berbasis di utara Jawa, menunjukkan bahwa kekuatan mesin kapal, kekuatan lampu dan volume pukat cincin (dimensi alat tangkap) merupakan factor yang secara signifikan berpengaruh terhadap daya tangkap (Purwanto & Nugroho, 2012). Hasil penelitian ini masih relevan dengan hasil kajian produktivitas pukat cincin yang dilakukan sebelumnya, dimana faktor teknis alat tangkap memberikan pengaruh yang signifikan (Iskandar et al., 2007). Perbaikan dalam system perakitan (rigging) untuk mendapatkan tampilan yang lebih baik alat tangkap pukat cincin di dalam air, serta penggunaan material yang tepat diharapkan dapat meningkatkan kinerja produksinya.

Analisis terhadap data produksi dan upaya (jumlah unit penangkapan) menunjukkan bahwa perikanan pukat cincin Teluk Apar, tidak mengalami perkembangan yang signifikan selama periode 2003- 2009. Lonjakan produksi tertinggi hasil tangkapan terjadi pada tahun 2009 (Gambar 4). Pencatatan data produksi dan upaya pukat cincin melalui kegiatan enumerasi yang dilakukan antara bulan April – Oktober 2011 menegaskan bahwa produktivitas pukat cincin teluk apar belum optimal. Analisis terhadap data enumerator memberikan nilai CPUE antara 572–613 kg/kapal/hari. Trip harian yang dilakukan nelayan pukat cincin Teluk Apar menjadikan jumlah rumpon yang terbatas mengalami intensitas pengoperasian yang tinggi. Keberadaan ikan di sekitar rumpon belum mencapai jumlah optimal pada saat dilakukan operasi penangkapan. Keterbatasan wahana kapal, menjadikan kemampuan untuk memperluas jangkauan daerah penangkapan menjadi hal yang tidak mungkin dilakukan. Ekploitasi berlebih pada daerah penangkapan yang terbatas mengakibatkan menurunnya kestersediaan ikan dan berkurangnya hasil tangkapan.

1-7

(11)

KESIMPULAN

Pukat cincin Teluk Apar tergolong pukat cincin jaring lingkar dengan rancang bangun sederhana, tanpa menggunakan pemotongan jaring. Nilai rasio antara daya tenggelam dan daya apung pukat cincin adalah 1,68. Material sederhana yang digunakan (PVC untuk cincin dan batu kali untuk pemberat) mengurangi kecepatan tenggelam pukat cincin Teluk Apar, sehingga mempengaruhi efektivitasnya. Desain yang sederhana mempermudah dalam perakitan, sementara material yang digunakan sangat jamak ditemukan sehingga memudahkan dalam pemeliharaan. Dengan rancang bangun dan kosntruksi yang ada pukat cincin Teluk Apar produktivitasnya relatif rendah, berkisar antara 500–600 kg/unit/hari.

Pukat cincin Teluk Apar dapat dioptimalkan kinerjanya melalui perbaikan system perakitan, penggunaan material yang tepat dalam konstruksinya (bahan kuningan untuk cincin, timah untuk pemberat), menambah durasi penanaman rumpon serta memperluas jangkauan daerah penangkapan.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan konstribusi dari hasil kegiatan penelitian Kapasitas Penangkapan Perikanan Jaring Dogol di Perairan Selat Makasar dan Perikanan Pukat Cincin di Selat Makasar dan Teluk Bone, Tahun Anggaran 2010 di Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Ayodhyoa, A.U., 1981. Metode Penangkapan Ikan.

Yayasan Dewi Sri, Bogor. 94 p.

Anonim, 2010. Statististik Perikanan Kabupaten Paser 2003 – 2009. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Paser. 76 p.

Iskandar, B., Lilis, S., & Kusno, S., 2006. Produktivitas Alat Tangkap Pukat cincin (Purse seine) Untuk Ikan Pelagis di Pantai Utara Jawa. Jur. Pen. Perik.

Indonesia. Pusat Penelitian Perikanan Tangkap, Jakarta. 12 (1): 33-45.

Klust, Gerhard, 1987. Bahan jaring Untuk Penangkapan Ikan (Terjemahan dari Buku Asli Netting Material for Fishing Gear, Edisi 2). Balai Pengembangan Penangkapan Ikan, Semarang. 187 p.

Nurdin, E. & Hufiadi, 2006. Karakteristik Pukat Cincin Mini di Pemalang, Jawa Tengah. Bawal, Widya Riset Perikanan Tangkap Vol.1 No.3, 2006. Pus.

Ris. Perik. Tangkap, Jakarta. p 89-94.

Prado, J. & P.Y. Dremiere, 1991. Fisherman Work Book. FAO Rome, Italia. 174 p.

Potier, M. & B. Sadhotomo, 1995. Seine Fisheries in Indonesia in BIODYNEX, Editor Subhat Nurhakim and M. Potier. AARD Ministry of Agriculture, ORSTOM, European Community, Jakarta. p 49-86.

Purwanto & D. Nugroho, 2011. Daya Tangkap Kapal Pukat Cincin dan Upaya Penangkapan Pada Perikanan Pelagis Kecil di Laut Jawa. Jur. Pen.

Perik. Indonesia. Pusat Penelitian Perikanan Tangkap, Jakarta. 17 (1): 23-30.

Sainsbury, John C., 1971. Commercial Fishing Methods. Fishing News Ltd., London. 119 p.

Von Brandt, Andres,1984. Fish Catching Methods of The World 3rd Ediation. Fishing News Book Ltd.

Farnham-Surrey-England. 418 p.

(12)

Distribusi Ukuran Tuna Hasil ……… di Perairan Laut Banda (Chodrijah, U & B. Nugraha.)

DISTRIBUSI UKURAN TUNA HASIL TANGKAPAN PANCING LONGLINE DAN DAERAH PENANGKAPANNYA DI PERAIRAN LAUT BANDA

SIZE DISTRIBUTION OF TUNA CAUGHT BY LONGLINE AND ITS FISHING GROUND IN THE BANDA SEA WATERS

Umi Chodrijah1) dan Budi Nugraha2)

1)Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru – Jakarta

2)Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna Benoa – Bali

Teregistrasi I tanggal: 2 Nopember 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 1 Maret 2013;

Disetujui terbit tanggal: 6 Maret 2013 e-mail : umi_chodriyah@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pemanfaatan sumber daya ikan tuna di perairan Laut Banda sudah berlangsung lama. Penelitian tentang komposisi jenis hasil tangkapan dan distribusi ukuran tuna hasil tangkapan longline di perairan Laut Banda yang didaratkan di Pelabuhan Benoa dilakukan pada bulan Februari, Juni, Oktober dan November 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil tangkapan longline yang dominan dari perairan Laut Banda adalah madidihang dan tuna mata besar. Ukuran madidihang yang tertangkap berada pada kisaran 95–165 cmFL dengan modus pada ukuran 105 cmFL dan tuna mata besar pada kisaran 75–185 cmFL dengan modus 115 dan 125 cmFL. Daerah penangkapan kapal longline di perairan Laut Banda berada pada koordinat 5–60 LS dan 124-1280 BT.

KATA KUNCI: Distribusi ukuran, daerah penangkapan, longline, tuna, Laut Banda ABSTRACT:

Utilization of tuna resources in the Banda Sea waters had been conducting on since long time ago.

Research on species composition and size distribution caught by tuna longline in the Banda Sea waters that landed in the port of Benoa was conducted in February, June, October and November 2011. The results showed that the caught of dominant fish from longline in the Banda Sea waters were yellowfin and bigeye tuna. Size of yellowfin caught was 95–165 cmFL with a mode size of 105 cmFL and bigeye tuna was 75–185 cmFL with mode 115 and 125 cmFL. The fishing ground of longline vessels in the Banda Sea waters were 5–60 S and 124–1280 E.

KEYWORDS: Size distribution, fishing ground, longline, tuna, Banda Sea

PENDAHULUAN

Sumberdaya tuna tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia mulai dari perairan Indonesia bagian barat (Samudera Hindia) sampai dengan kawasan timur Indonesia (Laut Banda dan Utara Irian Jaya).

Eksploitasi sumberdaya tuna dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap, antara lain pukat cincin (purse seine), huhate (pole and line), rawai tuna (tuna longline) dan pancing ulur (hand line) (Diniah et al., 2001).

Laut Banda merupakan kawasaan perairan Indonesia Timur yang termasuk ke dalam perairan Samudera Pasifik Barat dan berbatasan dengan Samudera Hindia. Secara topografi, kawasan perairan Indonesia Timur memiliki kedalaman lebih dari 2.000 m bahkan di beberapa tempat mencapai 5.000 – 6.000 m. Berdasarkan atas laporan PT. Perikanan Samodra Besar Benoa, Laut Banda merupakan salah satu

daerah penangkapan yang cukup potensial. Hampir sepanjang tahun perusahaan tersebut melakukan penangkapan tuna di perairan Laut Banda (Uktolseja et al., 1991).

Pemanfaatan sumberdaya tuna di perairan Laut Banda sudah berlangsung sejak lama. Sekitar tahun 1975 armada milik PT. Perikanan Samodra Besar (sekarang PT. Perikanan Nusantara) sudah mengoperasikan armada kapal rawai tunanya di perairan tersebut, bahkan sebelum tahun 1975 melalui perjanjian Banda Sea Agreement sekitar 100 armada rawai Jepang sudah beroperasi di perairan Laut Banda.

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis dan ukuran ikan tuna hasil tangkapan longline serta gambaran daerah penangkapan di perairan Laut Banda. Data dan informasi tersebut merupakan bahan dasar untuk menganalisis status sumberdaya tuna di perairan Laut Banda.

___________________

(13)

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Pelabuhan Benoa pada bulan Februari, Juni, Oktober dan November 2011.

Jenis data yang dikumpulkan adalah data operasional penangkapan yaitu daerah penangkapan, komposisi hasil tangkapan serta data biologi yaitu frekuensi ukuran panjang cagak (fork length).

Data daerah penangkapan dan komposisi hasil tangkapan diperoleh dari hasil observasi dengan mengikuti kapal longline KM. Bintang Samudera 01 milik PT. Gilontas pada bulan Oktober sampai November 2011. Pengambilan data biologi berupa frekuensi ukuran panjang cagak dan berat terhadap dua jenis ikan tuna yang dominan tertangkap yaitu madidihang (Thunnus albacares) dan tuna mata besar (Thunnus obesus). Pencatatan tuna hasil tangkapan longline dibantu oleh satu orang petugas enumerator di Pelabuhan Benoa, Bali.

Data ukuran panjang (FL) digunakan untuk mengetahui sebaran panjang tuna yang tertangkap dari perairan Laut Banda dan dianalisis dengan menggunakan program Microsoft Office Excel.

Untuk mengetahui kelimpahan ikan tuna diukur dengan laju pancingnya (hook rate) dengan rumus :

LP = x 100%

dimana:

LP = laju pemancingan (hook rate) E = jumlah ikan tuna yang tertangkap P = jumlah pancing yang digunakan

HASIL DAN BAHASAN HASIL

Deskripsi Longline

Spesifikasi longline terdiri dari tali utama (main line), tali cabang (branch line), pancing (hooks), tali pelampung (float line), pelampung (float) dan radio bouy. Tali utama dan tali cabang terbuat dari bahan monofilament dengan diameter 3,8 mm dan 1,8 mm.

Panjang tali utama bervariasi, tergantung jumlah dan jarak antar pancing serta pelampung yang digunakan setiap kali tawur (setting). Tali utama panjangnya diperkirakan sekitar 46.305 – 51.450 m, sedangkan panjang tali cabang 21 m. Tali pelampung terbuat dari PA monofilament dengan panjang 22,5 m dan berdiameter 5 mm. Pelampung terbuat dari bahan plastik berbentuk bulat. Terdapat 2 jenis pelampung yang digunakan yaitu yang memiliki diameter 18 cm dan 30 cm. Mata pancing yang digunakan adalah type J hook dan terbuat dari besi stainless. Jumlah pancing antar pelampung tetap yaitu 7 buah. Jumlah pancing dan jumlah pelampung yang digunakan setiap setting bervariasi. Jumlah pancing yang digunakan mulai dari 882 hingga 980 buah pancing, sedangkan jumlah pelampung 126 hingga 140 buah. Radio buoy yang digunakan berjumlah 5 buah merk ocean star buatan Taiwan. Umpan yang digunakan adalah ikan bandeng hidup (Chanos chanos Forskal), lemuru (Sardinella lemuru), cumi- cumi (Loligo sp.) dan ikan layang (Decapterus sp.). Konstruksi longline pada KM.

Bintang Samudera 01 yang berbasis di Pelabuhan Benoa dapat dilihat pada Gambar 1.

52.5 m 22,5 m

21 m Tali pelampung

Main line Branch line

Gambar 1. Konstruksi longline KM. Bintang Samudera 01 yang berbasis di Pelabuhan Benoa Figure 1. Longline construction of KM. Bintang Samudera 01 based on Benoa Port

(14)

Distribusi Ukuran Tuna Hasil……… di Perairan Laut Banda (Chodrijah, U & B. Nugraha.)

Distribusi Ukuran

Pengukuran frekuensi panjang ikan dilakukan terhadap dua jenis tuna hasil tangkapan dari perairan Laut Banda dan yang dominan didaratkan di Pelabuhan Benoa, yaitu madidihang (Thunnus albacares) dan tuna mata besar (Thunnus obesus).

Dominasi kedua jenis tuna tersebut dikarenakan

kedua jenis tuna tersebut merupakan target utama ekspor tuna dari Benoa. Menurut Nugraha dan Chodrijah (2010), komposisi hasil tangkapan kapal longline yang diperoleh dari perairan Laut Banda dan didaratkan di Benoa didominasi oleh madidihang 49,69% dan tuna mata besar 11,74%. Distribusi panjang cagak ikan madidihang dan tuna mata besar disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

0 10 20 30 40 50

75 85 95 105 115 125 135 145 155 165

Frekuensi (%)

Mid length FL (Cm) YFT n = 34 Feb. 2011

0 10 20 30 40 50

75 85 95 105 115 125 135 145 155 165

Frekuensi(%)

Mid length FL (Cm) YFT n = 52 Mar. 2011

0 10 20 30 40 50

75 85 95 105 115 125 135 145 155 165

Frekuensi (%)

Mid length FL (Cm) YFT n = 37 Mei 2011

0 10 20 30 40 50

75 85 95 105 115 125 135 145 155 165

Frekuensi (%)

Mid length FL (Cm) YFT n = 47 Juni 2011

0 10 20 30 40 50

75 85 95 105 115 125 135 145 155 165

Frekuensi (%)

Mid length FL (Cm) YFT n = 33 Sep. 2011

Gambar 2. Distribusi bulanan panjang cagak madidihang hasil tangkapan longline yang didaratkan di Benoa pada bulan Februari – September 2011

Figure 2. Monthly distribution of fork length for yellowfin tuna caught by longline at Benoa in February – September 2011

0 10 20 30 40 50

75 85 95 105 115 125 135 145 155 165 175 185

Frekuensi (%)

Mid length FL (Cm) BET n = 57 Mar. 2011

0 10 20 30 40 50

75 85 95 105 115 125 135 145 155 165 175 185

Frekuensi (%)

Mid length FL (Cm) BET n = 21 Mei 2011

0 10 20 30 40 50

75 85 95 105 115 125 135 145 155 165 175 185

Frekuensi (%)

Mid length FL (Cm) BET n = 44 Juni 2011

0 10 20 30 40 50

75 85 95 105 115 125 135 145 155 165 175 185

Frekuensi (%)

Mid length FL (Cm) BET n = 23 Juli 2011

(15)

0 10 20 30 40 50

75 85 95 105 115 125 135 145 155 165 175 185

Frekuensi (%)

Mid length FL (Cm) BET n = 80 Ags. 2011

0 10 20 30 40 50

75 85 95 105 115 125 135 145 155 165 175 185

Frekuensi (%)

Mid length FL (Cm) BET n = 52 Sep.. 2011

0 15 30 45 60

75 85 95 105 115 125 135 145 155 165 175 185

Frekuensi (%)

Mid length FL (Cm) BET n = 40 Okt.. 2011

Gambar 3. Distribusi bulanan panjang cagak tuna mata besar hasil tangkapan longline yang didaratkan di Benoa pada bulan Maret – Oktober 2011

Figure 3. Monthly distrbution of fork length for bigeye tuna caught by longline at Benoa in March – October 2011

Komposisi Hasil Tangkapan

Hasil tangkapan utama (target species) kapal longline terdiri dari madidihang (yellowfin tuna; Thunnus albacares), tuna mata besar (bigeye tuna; Thunnus obesus), sedangkan hasil tangkapan sampingan (by- catch) diantaranya adalah lemadang (Coryphaena hippurus), ikan pedang (Xiphias gladius), bawal bulat (Taracticthys steindachneri), ikan naga (lancetfish;

Alepisaurus sp.), pari lumpur (Dasyatis sp.), ikan gindara (oilfish; Ruvettus pretiosus), cakalang (Katsuwonus pelamis), setuhuk biru (Makaira mazara) dan setuhuk hitam (Macaira indica). Komposisi hasil tangkapan utama KM. Bintang Samudera 01 didominasi oleh madidihang (17,4%) dan tuna mata besar (7,4%), sedangkan hasil tangkapan sampingan didominasi oleh ikan pari lumpur (41,4%) dan ikan naga (19,8%) (Gambar 4).

Laju Pancing (Hook Rate) Tuna Longline

Laju pancing atau hook rate dalam perikanan rawai tuna adalah jumlah ikan yang tertangkap dalam 100 mata pancing. Daerah penangkapan berada pada koordinat 5 – 60 LS dan 124 – 1280 BT. Nilai hook rate tertinggi untuk jenis tuna mata besar adalah 0,31 dengan rata-rata 0,09, sedangkan untuk madidihang 0,41 dengan rata-rata 0,22 (Tabel 1).

KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN

7.4

17.4

41.3 19.8

1.6 3.3

2.1 0.4

0.8 1.6

4.1

Big eye tuna Yellow fin tuna Ikan pari Ikan naga Ikan meka Cakalang Gindara Ikan todak Marlin hitam Marlin biru Bawal

Gambar 4. Komposisi hasil tangkapan KM. Bintang Samudera 01 pada bulan Oktober – November 2011 di perairan Laut Banda Figure 4. Catch composition of KM. Bintang

Samudera 01 at October – November 2011 from Banda Sea waters

Tabel 1. Laju pancing hasil tangkapan utama KM.

Bintang Samudera 01

Table 1. Hook rate of the target species from KM.

Bintang Samudera 01

Jenis ikan Hook rate

Min Max Rataan±SE Madidihang 0,10 0,41 0,22±0,115 Tuna mata besar 0,10 0,31 0,09±0,096

(16)

Distribusi Ukuran Tuna Hasil ……… di Perairan Laut Banda (Chodrijah, U & B. Nugraha.)

Daerah Penangkapan (Fishing Ground)

Menurut Gunarso (1998), beberapa daerah penangkapan ikan tuna di Indonesia antara lain adalah Laut Banda, Laut Maluku dan perairan Selatan Jawa terus menuju Timur. Begitu pula di perairan Selatan dan Barat Sumatera serta perairan lainnya. Di Samudera Hindia dan Samudera Atlantik tuna menyebar di antara 400LU dan 400LS (Collette &

Nauen, 1983). Daerah penangkapan KM. Bintang Samudera 01 berada di perairan Laut Banda pada koordinat 5 – 60 LS dan 124 – 1280 BT (Gambar 5).

Daerah penangkapan ini dapat dikatakan merupakan daerah penangkapan potensial. Sejak adanya perjanjian Laut Banda (Banda Sea agreement), daerah ini merupakan daerah penangkapan yang diberikan kepada nelayan-nelayan Jepang untuk mengeksploitasi tuna di perairan Laut Banda.

Berdasarkan perjanjian tersebut, areal Laut Banda yang diberikan kepada nelayan-nelayan Jepang adalah berada pada koordinat 2 – 80 LS dan 124 – 1320 BT (Jusuf, 1983).

Eksploitasi sumberdaya tuna di perairan Laut Banda dilakukan sepanjang tahun. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh PT. Perikanan Samodra Besar dimana perusahaan tersebut melakukan penangkapan tuna di Laut Banda sepanjang tahun (Uktolseja et al., 1991). Hasil penelitian Sukresno &

Suniada (2007) menyebutkan bahwa koefisien korelasi antara hasil tangkapan dan perubahan musim menunjukkan nilai yang kecil yang berarti bahwa potensi perikanan di Laut Banda tidak berpengaruh terhadap perubahan musim sehingga dapat dikatakan bahwa potensi perikanan selalu tersedia dan dapat ditangkap sepanjang tahun.

Gambar 5. Daerah penangkapan kapal longline di perairan Laut Banda Figure 5. Fishing ground of longline vessel in the Banda Sea Waters

BAHASAN

Distribusi ukuran panjang madidihang diperoleh dari bulan Februari – September 2011. Pada bulan Februari dan Maret 2011 terlihat bahwa distribusi ukuran panjang madidihang yang tertangkap berkisar 95 – 165 cmFL dengan modus pada ukuran 105 cmFL, sedangkan pada bulan Mei, Juni dan September 2011 terdistribusi pada ukuran 135 cmFL. Anugrahawati (2005) menyebutkan bahwa panjang madidihang yang tertangkap di perairan Laut Banda pada bulan September – Desember 2002 terbanyak terdapat pada selang 116,5 – 126,5 cm dan yang terpanjang mencapai 154 cm.

Madidihang yang tertangkap memiliki ukuran yang hampir sama dengan hasil tangkapan longline yang didaratkan di Cilacap yaitu 91 – 170 cmFL dan Muara Baru 151 – 160 cmFL (Wudianto et al., 2003) dan sebagian besar diduga telah matang gonad. Hal ini sesuai dengan penelitian Itano (2004) dimana ukuran pertama kali matang gonad (size at first maturity) untuk madidihang di perairan Samudera Pasifik bagian tengah dan barat (termasuk perairan selatan Maluku) memiliki panjang 104,6 cm.

Distribusi ukuran panjang tuna mata besar yang diperoleh dari bulan Maret – Oktober 2011 berkisar antara 75 – 185 cmFL dengan modus 115 dan 125

(17)

cmFL (Gambar 3). Panjang tuna mata besar yang tertangkap di perairan Laut Banda dapat mencapai 183 cm (Anugrahawati, 2005). Ukuran tuna mata besar yang tertangkap di perairan Laut Banda cukup besar dibandingkan dengan hasil tangkapan dari perairan Samudera Hindia. Hasil penelitian Faizah &

Aisyah (2011) diperoleh bahwa ukuran tuna mata besar hasil tangkapan hand line di Sendang Biru hanya berkisar 40 – 140 cm. Begitu pula dengan hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan Laut (2011) yang melaporkan bahwa tuna mata besar hasil tangkapan longline dari perairan Samudera Hindia yang didaratkan di Cilacap memiliki ukuran antara 90 – 165 cm.

Menurut Lehodey et al., 1999, ukuran tuna mata besar dianggap dewasa apabila mencapai ukuran 91 – 100 cm dan setara dengan umur 2 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat ukuran tuna mata besar yang tertangkap didominasi oleh ukuran ikan yang sudah dewasa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nootmorn (2004) yang menyebutkan bahwa ukuran pertama kali matang gonad tuna mata besar di Samudera Hindia tercapai pada ukuran panjang 88,08 cm. Farley et al. (2003) juga menyatakan bahwa ukuran pertama kali matang gonad untuk tuna mata besar di Samudera Hindia adalah 102,4 cm, sedangkan menurut Yuen (1955) ukuran pertama kali matang gonad tuna mata besar di Pasifik 91 – 100 cm dengan berat 14 – 20 kg. Begitu pula hasil penelitian Sun et al. (2006) diperoleh bahwa ukuran pertama kali matang gonad tuna mata besar di barat Pasifik adalah 99,7 cm.

Menurut Nugraha & Wagiyo (2002), komposisi hasil tangkapan sampingan (HTS) tuna longline di perairan Laut Banda pada bulan Oktober – Desember 2002 didominasi oleh ikan pari lumpur (stingray) sekitar 38,52% dan diikuti oleh ikan naga (lancetfish) sekitar 33,52%. Hasil tangkapan sampingan longline di perairan Samudera Hindia juga didominasi oleh ikan naga dan pari lumpur (Setyadji & Nugraha, 2012).

Kedua spesies hasil tangkapan sampingan tersebut hampir ditemukan disemua perikanan longline.

Menurut Romanov et al. (2008) yang diacu dalam Setyadji & Nugraha (2012), menyebutkan bahwa kedua spesies ini mempunyai peranan penting pada rantai makanan pelagis yakni sebagai predator pada organisme mikronekton dan juga sebagai mangsa dari jenis ikan berparuh dan tuna (Potier et al., 2007 diacu dalam Setyadji & Nugraha, 2012).

Hasil penelitian Nugraha & Chodriyah (2010) menyatakan bahwa nilai hook rate di perairan Laut Banda berkisar 1,19 – 1,48 dengan nilai rata-rata 1,34 pada koordinat 5 – 6o LS dan 129 – 130o BT. Apabila

dibandingkan dengan hasil penelitian Balai Riset Perikanan Laut (2002) yang menyatakan bahwa nilai rata-rata hook rate tuna di perairan Laut Banda yaitu 0,18 untuk tuna mata besar dan 0,02 untuk madidihang maka nilai hook rate di perairan Laut Banda pada tahun 2011 ini lebih besar daripada nilai hook rate tahun 2002. Perbedaan ini diduga karena daerah penangkapan longline pada tahun 2002 berbeda dengan 2010, dimana pada tahun 2002 daerah penangkapan longline berada pada koordinat 6 – 7o LS dan 122 – 126o BT (Gafa et al., 2004). Amin &

Nugroho (1990) yang diacu dalam Suharsono (2003), menyebutkan bahwa hasil tangkapan tuna di Perairan Laut Banda mencapai puncaknya pada awal musim barat yaitu antara bulan Oktober sampai bulan November. Hal ini bertepatan dengan saat dilakukannya operasi penangkapan ikan. Jadi dapat dikatakan bahwa hook rate tuna tersebut tergolong tinggi untuk kategori perairan Laut Banda, karena mungkin saja didapatkan hook rate tuna yang jauh lebih kecil dari 0,31 dan 0,41 apabila operasi penangkapan ikan dilakukan pada bulan yang berbeda. Selanjutnya menurut Collete & Nauen (1983), tuna banyak dieksploitasi pada musim semi dan panas di Samudera Pasifik Barat Laut dan Timur. Jadi berdasarkan acuan tersebut, penangkapan tuna efektif dilakukan pada musim panas, dimana suhu perairan akan naik dan bertepatan dengan musim pemijahan tuna. Dengan diketahuinya nilai hook rate dan musim penangkapan setiap daerah penangkapan, maka kapal longline yang akan melakukan operasi penangkapan dapat langsung menuju ke daerah- daerah yang memiliki nilai hook rate cukup tinggi, sehingga dapat menekan biaya operasional kapal.

KESIMPULAN

Hasil tangkapan utama longline dari perairan Laut Banda didominasi oleh madidihang dan tuna mata besar, sedangkan hasil tangkapan sampingan didominasi oleh ikan pari lumpur dan ikan naga.

Madidihang yang tertangkap memiliki ukuran 95–165 cmFL dengan modus pada ukuran 105 dan 135 cmFL, sedangkan tuna mata besar memiliki ukuran 75–185 cmFL dengan modus pada ukuran 115 dan 125 cmFL.

Perairan Laut Banda merupakan salah satu daerah penangkapan tuna yang potensial.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian Indeks Kelimpahan Sumber Daya Ikan Pelagis Besar Dan Oseanografis di WPP Laut Banda T.A. 2011, di Balai Penelitian Perikanan Laut Muara Baru, Jakarta.

(18)

Distribusi Ukuran Tuna Hasil ……… di Perairan Laut Banda (Chodrijah, U & B. Nugraha.)

DAFTAR PUSTAKA

Anugrahawati, N. 2005. Kedalaman mata pancing tuna longline : Pengaruhnya terhadap komposisi hasil tangkapan tuna di Laut Banda. Skripsi.

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Institut Pertanian Bogor. Bogor. 87 p.

Balai Riset Perikanan Laut. 2002. Penelitian produktivitas lapisan perairan terhadap penangkapan ikan yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan bigeye tuna (Thunnus obesus) dengan tuna longline di Laut Banda dan sekitarnya.

Laporan Akhir Tahun 2002. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta. 40 p.

Balai Penelitian Perikanan Laut. 2011. Riset perikanan tangkap di perairan Samudera Hindia. Laporan Akhir Tahun 2011. Balai Penelitian Perikanan Laut.

Jakarta. 258 p.

Collete, B.B. & Nauen C.E. 1983. FAO species catalogue. Vol. 2. Scombrids of the world. an annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. FAO Fish. Synop. 125 (2). Food and Agricultural Organization. Rome. 137 p.

Diniah, M., Ali Yahya, S. Pujiyati, Parwinia, S.

Effendy, M. Hatta, M. Sabri, Rusyadi, & A. Farhan.

2001. Pemanfatan sumberdaya tuna cakalang secara terpadu. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 9 p.

Faizah, R. & Aisyah. 2011. Komposisi jenis dan distribusi ukuran ikan pelagis besar hasil tangkapan pancing ulur di Sendang Biru, Jawa Timur. Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap. 3 (6): 77-385.

Farley J., Clear N., Leroy B., Davis T., & Mcpherson G. 2003. Age and growth of bigeye tuna (Thunnus obesus) from the Eastern and Western AFZ.

Report No. 2000/100. CSIRO Marine Research.

Australia. 93 p.

Gafa, B., Karsono W. & B. Nugraha. 2004. Hubungan antara suhu dan kedalaman mata pancing terhadap hasil tangkapan ikan bigeye tuna (Thunnus obesus) dan yellowfin tuna (Thunnus albacares) dengan tuna longline di perairan Laut Banda dan sekitarnya. Prosiding Hasil-Hasil Riset. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. p. 63 – 80.

Gunarso W. 1998. Tingkah laku ikan dan perikanan pancing. Diktat Kuliah. Laboratorium Tingkah Laku Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 119 p.

Itano, D.G. 2004. The Reproductive Biology of Yellowfin Tuna (Thunnus albacares) in Hawaiian Waters and the Western Tropical Pasific Ocean:

Project Summary. SOEST 00-01 JIMAR Contribution 00-328. 69 p.

Jusuf, G.D.H. 1983. Suatu studi perjanjian Indonesia- Jepang tentang penangkapan ikan tuna di Laut Banda (Banda Sea Agreement). Karya Ilmiah.

Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Bogor. 115 p.

Lehodey, P., J. Hampton & B. Leroy. 1999. Preliminary results on age and growth of bigeye tuna (Thunnus obesus) from the Western and Cental Pacific Ocean as indicated by daily growth increments and tagging data. Working Paper BET-2. Standing Committee on tuna and Billfish. Tahiti 16-23 June 1999.18 p.

Nootmorn, P. 2004. Reproductive biology of bigeye tuna in the Eastern Indian Ocean, IOTC.

Proceedings 2004. 7: 1-5.

Nugraha, B. & K. Wagiyo. 2002. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) tuna longline di perairan Laut Banda. Bawal. 1 (2). 71-75.

Nugraha, B. & Chodriyah, U. 2010. Komposisi hasil tangkapan dan daerah penangkapan kapal tuna longline di perairan Laut Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 16 (4). 305-309.

Setyadji, B. & B. Nugraha. 2012. Hasil tangkapan sampingan (HTS) kapal rawai tuna di Samudera Hindia yang berbasis di Benoa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 18 (1). 43-51.

Suharsono. 2003. Kondisi terumbu karang di Kepulauan Banda dan suksesi karang di bekas muntahan lahar Pulau Gunung Api. Jurnal Pesisir dan Lautan. ISSN 1410 – 7821. 5 (1). 5 (1) : 1 - 4.

Sukresno, B. & K.I. Suniada. 2007. Observasi pengaruh ENSO terhadap produktifitas primer dan potensi perikanan dengan menggunakan data satelit di Laut Banda. Publikasi Balai Penelitian dan Observasi Laut. http://www.bpol.litbang.

kkp.go.id/publikasi/detail/30.

(19)

Sun C.L., Chu S.L., & Yeh S.Z. 2006. The reproductive biology of female tuna (Thunnus obesus) in Western Pasific. Scientific Committee Second Regular Session. Manila, Philippines. 22 p.

Uktolseja, J.C.B., B. Gafa & S. Bahar. 1991. Potensi dan penyebaran sumberdaya ikan tuna dan cakalang. Di dalam: Martosubroto P, N Naamin, BBA Malik, editor. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia.

Direktorat Jenderal Perikanan. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Jakarta. p. 29-43.

Wudianto, K. Wagiyo & B. Wibowo. 2003. Sebaran daerah penangkapan ikan tuna di Samudera Hindia.

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 9 (7):19-27.

Yuen, H.S.H. 1955. Maturity and fecundity of bigeye tuna in the Pacific. U.S. Fish Wild. Serv. Spec.

Sci. Rept. Fish. 150: 30 p.

Gambar

10. Tabel : Disajikan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan judul di bagian atas tabel dan keterangan.
Gambar 3. Deskripsi pukat cincin Teluk Apar Figure 3. Design of Apar Bay purse seine
Tabel 2. Produktivitas pukat cincin Teluk Apar bulan April–September 2011 Table 2. Productivity of Apar Bay rse seine April–September 2011
Gambar 1. Konstruksi longline KM. Bintang Samudera 01 yang berbasis di Pelabuhan Benoa Figure 1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Seluruh dokumen di ilmuti.org dapat digunakan, dimodifikasi dan disebarkan secara bebas untuk tujuan bukan komersial (nonprofit), dengan syarat tidak menghapus atau

Titer virus tidak selalu berkorelasi dengan gejala, sehingga untuk menentukan respons ketahanan tanaman harus menggunakan beberapa parameter (Strausbaugh et al. Pengamatan

Penelitian kualitatif dalam hal ini adalah untuk mengidentifikasi lingkungan internal dan eksternal Perusahaan Daerah Kabupaten Natuna sehingga dapat mengetahui mengapa

Pendekar Plastik melakukan social buzzer dan menggunakan publik figure yang mereka juga menjadi aktivis lingkungan, duta lingkungan dan influencer-influencer lainnya berbentuk

249 -259 Analisis ketelitian pemosisian machining center dengan sistem pengukuran ketelitian mesin perkakas berbasis laser

Indofood Fritolay Makmur berdasarkan kepada data permintaan berupa CMO, yang merupakan dasar bagi bagian produksi dalam memproduksi, serta terutama bagian distribusi

Daripada menggunakan mesin Java tradisional virtual (VM) seperti Java ME (Java Mobile Edition), Android menggunakan VM kustom yang dirancang untuk memastikan bahwa

tidaknya pengaruh kompetensi pedagogik terhadap kemampuan guru mengelola pembelajaran IPS di SMPN Kota Singaraja Uji t perhitungan dibantu dengan IBM SPSS 16 for