• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERWUJUDAN EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERWUJUDAN EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

23 ISSN: 2541-3813

E-ISSN: 2655-1810

JURNAL THENGKYANG

Fakultas Hukum Universitas Sjakhyakirti Palembang

Alamat Redaksi : Fakultas Hukum Universitas Sjakhyakirti Palembang, Jl. Sultan Muhammad Mansyur Kb Gede, 32 Ilir, Kec. Ilir Bar. II, Kota Palembang, Sumatera Selatan 30145, Palembang, Sumatera Selatan 30139, Indonesia.

E-mail: jurnaltengkiang@gmail.com Website: http://jurnaltengkiang.ac.id

PERWUJUDAN EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS

Indianto Hasanuddin

Fakultas Hukum Universitas Sjahkyakirti Palembang Jl. Sultan Muh. Mansyur Kebon Gede 32 Ilir

ABSTRAK

Implementasi Penyelenggaraan Kesamaan Kesempatan terhadap Penyandang Disabilitas dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat, Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas, termasuk penyediaan Aksesibilitas dan Akomodasi yang Layak. Pengaturan pelaksanaan dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas bertujuan untuk mewujudkan taraf kehidupan Penyandang Disabilitas yang lebih berkualitas, adil, sejahtera lahir dan batin, serta bermartabat. Selain itu, pelaksanaan dan Pemenuhan hak juga ditujukan untuk melindungi Penyandang Disabilitas dari penelantaran dan eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan diskriminatif, serta pelanggaran hak asasi manusia

Kata Kunci : Equality Before the Law, Disabilitas.

ABSTRACT

Implementation of the Implementation of Equal Opportunity for Persons with Disabilities in all aspects of state and community administration, respect, protection, and fulfillment of the rights of Persons with Disabilities, including the provision of Accessibility and Adequate Accommodation.

The regulation of implementation and fulfillment of the rights of Persons with Disabilities aims to create a standard of living for Persons with Disabilities that is more qualified, fair, physically and mentally prosperous, and with dignity. In addition, the implementation and fulfillment of rights is also aimed at protecting Persons with Disabilities from neglect and exploitation, harassment and all discriminatory actions, as well as violations of human rights.

Keywords: Equality Before the Law, Disability.

(2)

24 7 7

(3)

25 A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2016 Pasal 1 ayat (1) mendefinisikan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu yang lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Istilah/definisi penyandang disabilitas ada beberapa yang hingga kini masih seringkali digunakan dalam konteks formal maupun populer di Indonesia, yaitu penyandang cacat, tuna (tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa, tuna grahita), anak berkebutuhan khusus/ABK, difabel, dan penyandang disabilitas.

Tidak hanya sebatas membuat aturan hukum, pemerintah juga telah mengembangkan sejumlah program untuk melindungi kaum disabilitas. Salah satunya, yakni Program Asistensi Penyadang Disabiltas berat. Selama kurun waktu empat tahun terahir program ini telah memberikan bantuan sebanyak 71448 orang. Ada juga program Keluarga Harapan khusus bagi penyandang disabililitas. Hingga kini sudah ada 73.932 penyandang disabiltas yang mendapat bantuan program ini. Pemerintah juga telah memberikan bantuan alat bantu bagi penyandang disabiltas sebanyak 3.164 orang.1

Atas dasar kesamaan hak tersebut maka diaturlah upaya pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang terdiri dari hak hidup, bebas dari stigma, privasi, keadilan dan perlindungan hukum, pendidikan, pekerjaan, kewirausahaan dan koperasi, kesehatan, politik, keagamaan, keolahragaan, kebudayaan dan pariwisata, kesejahteraan sosial, Aksesibilitas Pelayanan Publik, Pelindungan dari bencana, habilitasi dan rehabilitasi, Konsesi, pendataan, hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat, berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi, berpindah tempat dan kewarganegaraan, dan bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi.

Lahirnya undang-undang nomor 8 tahun 2016 merupakan angin segar bagi penyandang disabilitas yang mengubah paradigma terhadap seluruh kaum penyandang

1 https://ham.go.id/2020/03/06/upaya-memenuhi-hak-penyandang-disabilitas/. Diakses pada 20 November 2021.

(4)

26

disabilitas yang awalnya masuk dalam objek kebijakan yang hanya fokus terhadap kesejahteraan, kesehatan dan program santunan namun berdasarkan asas persamaan hak maka dilaksanakanlah upaya penghormatan, pelindungan dan pemenuhan hak serta pemberdayaan penyandang disabilitas.

Meski telah memiliki payung hukum, diskriminasi masih terjadi bagi penyadang disabilitas. Salah sektor yang rawan diskriminasi itu adalah pendidikan. Sekedar contoh pada mekanisme Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2014 lalu misalnya masih mencantumkan calon mahasiswa disyaratkan tidak tuna netra, tuna runggu, tuna wicara, dan buta warna. Akibatnya, penyandang disabilitas banyak yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Data di Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015, menyebutkan penyandang disabilitas usia 5-29 tahun hanya 36,49 persen yang sekolah, sebanyak 41,89 persen tidak bersekolah/putus sekolah dan sebanyak 21,61 persen tidak pernah sekolah, Data di Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial menyebutkan pada 2012 lalu, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 1.250.780 orang. Mereka terdiri dari tuna daksa, tunanetra, tuli dan penyandang disabilitas mental. Dan Data di Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) menyebutkan, pada tahun 2014 jumlah penyandang disabiltas yang tidak bekerja sebanyak 1,5 juta orang.2

Penyandang Disabilitas, sebelumnya dikenal dengan istilah Penyandang Cacat.

Namun perkembangan terakhir Komnas HAM dan Kementerian Sosial memandang bahwa istilah Penyandang Cacat dalam perspektif bahasa Indonesia mempunyai makna yang berkonotasi negatif dan tidak sejalan dengan prinsip utama hak asasi manusia sekaligus bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Kemudian disepakati istilah Penyandang cacat diganti dengan istilah Penyandang Disabilitas. Hal ini juga telah diperkuat dengan terbitnya Undang- Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabiitas. Seperti dalam penyebutan Difabel merupakan akronim dari Different Ability istilah ini digunakan untuk menyebut individu yang mengalami kelainan fisik. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas sebagai amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 merupakan acuan teknis berupa

2 Ibid.

(5)

27

perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial, dan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas. Sedangkan istilah Disabilitas merupakan sebuah pendekatan demi mendapatkan istilah yang netral dan tidak menyimpan potensi diskriminasi dan stigmatisasi.

Sejak diterbitkannya peraturan tersebut, maka Pemerintah Indonesia telah menetapkan pengertian atau defenisi dan kategori resmi tentang siapa yang dimaksud penyandang disabilitas di Indonesia. Penyandang disabilitas merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, serta peran yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya dalam kehidupan dan penghidupannya. Maka diperlukan adanya kebijakan pemerintah yang memperhatikan dan memfasilitasi tentang hak penyandang disabilitas dalam kegiatan kehidupannya dalam masyarakat.

Di dalam konteks hak asasi manusia (HAM), salah satu tanggung jawab utama pemerintah dan juga pemerintah daerah adalah untuk melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, pemajuan dan penegakan hak asasi manusia. Tanggung jawab tersebut melingkupi semua aspek kehidupan masyarakat dan bersifat universal sesuai dengan karakter hak asasi manusia itu sendiri. Salah satu upaya penghormatan, pelindungan dan pemenuhan hak tersebut yakni kepada penyandang disabilitas.

2. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah program dari pemerintah bagi kesetaraan penyandang Disabilitas ? 2. Baaimana Implementasi Equality Before the Law Di Pengadilan Dalam Pemenuhan

Hak Bagi Penyandang Disabilitas ?

3. Metode Penelitian

Metode penelitian yuridis normatif menurut Soerjono Soekanto, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder dengan melakukan inventarisasi hokum positif. Metode penelitian ini akan menitik beratkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pedoman pembahasan masalah juga dikaitkan dengan masalah yang ada dalam praktek dan aspek-aspek social yang berpengaruh dimana ketentuan-ketentuan hokum.

(6)

28 B. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tentang Penyandang Disabilitas

Berdasarkan data berjalan tahun 2020 dari BPS, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 Juta atau sekitar 5 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dari data tersebut begitu banyaknya kaum disabilitas di Indonesia, maka sangat diperlukan adanya dukungan program dan kegiatan yang mengacu pada asas kesetaraan hak bagi penyandang disabilitas tersebut yang dilaksanakan secara komprehensif dan berkelanjutan yang didukung dengan sarana dan prasarana khusus bagi kaum penyandang disabilitas yang memiliki hak yang sama dengan masyarakat pada umumnya.

Penyandang disabilitas digolongkan juga sebagai salah satu kelompok rentan. Kelompok rentan yakni kelompok yang paling sering menerima perlakuan diskriminasi dan hak-haknya sering tidak terpenuhi. Hal ini bukan tanpa sebab, karena penyandang disabilitas sering kali dianggap sebagai orang cacat yang paling banyak mendapatkan perlakuan diskriminasi serta masih banyak hak-hak lain yang belum terpenuhi bagi kaum disabilitas.

Pemerintah telah memiliki berbagai program bagi kesetaraan penyandang disabilitas. Salah satunya, program Atensi yaitu layanan rehabilitasi sosial yang menggunakan pendekatan keluarga, komunitas, dan resedensial dengan pemenuhan kebutuhan hidup layak hingga pemenuhan aksesibilitas," ujarnya saat mewakili Menko PMK pada acara Seminar Internasional "Discovering Recent Approaches in the Field of Neuroscience and Brain Disorder yang diselenggarakan FIK UMM secara daring.3

Hak dasar yang kita miliki sebagai manusia dan warga Negara Indonesia, maka penyandang disabilitas secara konstitusional mempunyai hak dan kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan. Oleh karena itu, perhatian pemerintah dengan adanya kebijakan atau peraturan perundang-undangan tentang penyandang disabilitas merupakan sarana untuk mewujudkan kesamaan hak, memberikan kesempatan dan memfasilitasi agar kekurangan yang ada masih dapat memberikan kebanggaan bagi keluarga serta dapat disumbangkan untuk membangun nusa dan bangsa menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi.

Upaya pemerintah dalam melindungi kehidupan penyandang disabilitas sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai pengganti dari

3 https://www.kemenkopmk.go.id/penyandang-disabilitas-harus-diberi-peluang-kesetaraan. Diakses pada 21 November 2021.

(7)

29

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Sedangkan untuk mewujudkan kesejahteran penyandang disabilitas perlu adanya peraturan pemerintah yang mengatur terkait pemenuhan hak-hak hukum sesuai asas equality before the law kemudian untuk memanipestasikan ide tersebut perlunya kajian dan pemikiran untuk membentuk wadah sebagai sarana masyarakat penyandang disabilitas.

2. Implementasi Equality Before the Law Di Pengadilan Dalam Pemenuhan Hak Bagi Penyandang Disabilitas.

Pada Pasal 18 undang-undang nomor 8 tahun 2016 menyatakan bahwa Hak Aksesibilitas untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak mendapatkan aksesibilitas untuk memanfaatkan fasilitas publik dan mendapatkan akomodasi yang layak sebagai bentuk aksesibilitas bagi individu. Setiap penyandang disabilitas berhak memperoleh aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya. Agar para penyandang disabilitas mampu berperan dalam lingkungan sosialnya, dan memiliki kemandirian dalam mewujudkan kesejahteraan dirinya, maka dibutuhkan aksesibilitas terhadap prasarana dan sarana pelayanan umum, sehingga para penyandang disabilitas mampu melakukan segala aktivitasnya seperti orang normal. Penyediaan aksesibilitas tersebut dapat berbentuk fisik dan non fisik. Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas menurut peraturan tersebut harus memiliki empat asas, yaitu asas keselamatan, asas kemudahan, asas kegunaan, dan asas kemandirian.

Persamaan Kedudukan Warga Indonesia dalam Kehidupan Bernegara ini didalam hukum humaniter sering dipopulerkan dengan istilah Asas Equality Before The Law yang merupakan manifestasi dari Negara Hukum (Rechstaat) sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum (Gelijkheid van ieder voor de wet).

Equality before the Law merupakan salah satu cara yang efektif untuk memfasilitasi dan pemenuhan aksesibilitas penyandang disabilitas dengan menjunjung tinggi filar-filar supremasi hukum dan menjunjung tinggi penegakan hukum, tentunya selalu mengkedepankan azas-azas keadilan dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Prinsip kemanusiaan erat kaitannya dengan hal-hal yang berhubungan dengan unsur-unsur kemanusiaan, seperti memberikan perlakuan yang sama di dalam hukum, memperoleh kesempatan kerja yang sama secara adil tanpa harus membeda-bedakan ras, suku dan agama.

Pada konstitusi kita telah mengamanatkan di UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) menegaskan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Makna equality before the law ditemukan di hampir semua konstitusi negara. Inilah norma yang melindungi hak asasi warga negara. Kesamaan

(8)

30

di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Maka setiap aparat penegak hukum terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik.

Dalam hal manifestasi equality before the law dalam perspektif memperoleh kesempatan kerja yang sama yang disebut equality of opportunity atau disingkat dengan equal opportunity atau memberikan kesempatan dengan penerapan Equal Employment Opportunity (EEO) atau Peluang Kerja yang Sama adalah perlakuan dalam cara yang adil dan tidak melihat latar belakang terhadap individu dalam segala aspek ketenagakerjaan seperti perekrutan, promosi, pelatihan dan lain lain.

Namun menegakkan equality before the law bukan tanpa hambatan. Bisa berupa hambatan yuridis dan politis, atau hambatan sosiologis dan psikologis. maka perlu diadakannya kajian ini dalam mencari solusi – solusi permasalahan tersebut.

Konsekuensi yang kemudian muncul sebagai dampak dari ketiadaan aturan pelaksana atas undang-undang Penyandang Disabilitas yakni dengan tidak terjaminnya kepastian hukum bagi para penyandang disabilitas, tidak dapat ditegakkannya aturan riil yang terkandung di dalam pasal-demi- pasal undang-undang yang dimaksud, dan lahirnya celah hukum yang dapat memicu para oknum untuk membuat kebijakan yang tidak tepat sehingga berpotensi tidak terpenuhinya hak-hak bagi penyandang disabilitas sebagaimana telah diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Equality Before the Law adalah konsep yang sangat universal (berlaku dimana saja) dan tekstual bagi hukum. Secara universal EBTL sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap orang. Sedangkan tekstual, EBTL tertulis dalam dokumen hukum yang induk aturan hukum yang menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang ditempat hukum tersebut berlaku. Sebaliknya, dari sisi hukum, bisa dilihat bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang sah dimuka hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep hukum.

Lebih jauh, salah satu unsur penting dalam hukum adalah substansinya yang patut memuliakan manusia, dalam bahasa Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) disebut sebagai Kehormatan Manusia (Human Dignity). Pada rezim hukum HAM, EBTL adalah tema yang historis memiliki sejarah yang panjang. Berbagai peristiwa yang mengganggu nilai asasi manusia diakibatkan oleh praktik buruk dan penggunaan hukum sekedar untuk melayani kemauan

(9)

31

penguasa. Hal ini kemudian menjadi dasar perlawanan berbagai korban, komunitas terdampak yang menyuarakan hak asasi mereka.

EBTL merupakan salah satu konsep untuk melawan diskriminasi, sebagaimana tergambar di atas. Upaya melawan praktik ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab Negara.

Penjelasannya adalah, Pertama, setiap negara atau otoritas harus mendasarkan kekuasaan dan pengaturannya berdasarkan pada hukum. Bagi Indonesia, hal ini bisa dilihat dari pasal 1 ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Kedua, hukum tersebut harus berlaku bagi setiap orang, bukan sekedar warga negara. Pasal 28D menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Sedangkan pasal 27 ayat (1) menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Dari kedua pasal diatas, bisa digambarkan bahwa ada perlakuan, yang seharusnya, sama baik bagi setiap orang maupun bagi setiap warga negara. Perbedaannya, pada pasal 27 (1) ada dalam bab Warga Negara dan Penduduk. Sementara pada pasal 28D berada pada bab HAM. Artinya, kesetaraan dimata hukum adalah sesuatu yang mendasar baik untuk tanggung jawab negara terhadap setiap orang yang berada di Indonesia.

Turunan konstitusi dalam hukum atas kepastian EBTL bisa dilihat dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 4 ayat (1) yang menyebutkan

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Undang-undang ini menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan badan Peradilan yang berada dibawahnya seperti peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara. Termasuk peradilan khusus yang berada dibawah peradilan umum, seperti pengadilan HAM, pengadilan anak, pengadilan hubungan industrial, pengadilan perikanan, pengadilan tindak pidana korupsi dan pengadilan niaga (pasal 18, pasal 25 dan pasal 27).

Selain Mahkamah Agung, juga secara sejajar Kekuasaan Kehakiman berlaku bagi Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian sudah jelas bahwa Peradilan di Indonesia dalam hal ini melalui Mahkamah Agung dan Badan-badan Peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi mengemban tugas menjamin persamaan setiap orang di muka hukum (Equality Before the Law).

Negara hukum akan menempatkan warga negara-nya setara atau sama kedudukannya di depan hukum (band. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945). Kesetaraan kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan

(10)

32

yang setara, maka warga negara dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. 'No man above the law', artinya: tidak ada keistimewaan yang diberikan oleh hukum terhadap siapa saja. EBTL menjadi jaminan untuk mencapai keadilan (hukum), Jaminan perlindungan hukum tersirat dalam prinsip EBTL, yaitu tidak hanya jaminan mendapatkan perlakuan yang sama tetapi juga jaminan bahwa hukum tidak akan memberi keistimewaan subyek hukum lain. Karena kalau terjadi demikian maka dapat melanggar prinsip EBTL dan mendorong terciptanya diskriminasi di depan hukum.

Sejak terbentuknya undang-undang Nomor 8 tahun 2016 hingga saat ini baru ada Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas; Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 Tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, Dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Pelindungan, Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas; dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Akomodasi Yang Layak Untuk Peserta Didik penyandang Disabilitas.

Dengan perbandingan jumlah angka penyandang disabilitas dengan penanganannya di Indonesia, sejumlah pengamat berasumsi pemerintah belum maksimal dalam memberikan perhatian terhadap pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Sebagai contoh misalnya belum adanya pemenuhan hak penyandang disabilitas dengan penyediaan di gedung-gedung fasilitas publik, penyediaan tenaga penerjemah bagi tuna wicara di fasilitas-fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit, bantuan hukum gratis, memprioritaskan hak-hak konstitusionalnya, membuat garis putus-putus di jalan-jalan atau trotoar untuk penyandang disabilitas, masih memberlakukan batas usia penampungan penyandang disabilitas di sarana pemerintah dan juga para penyandang disabilitas masih belum mendapatkan fasilitasi dari pemerintah daerah untuk menyediakan pemasaran produk kerajinan hasil karya penyandang disabilitas. Selain itu para penyandang disabilitas jarang dilibatkan dalam perencanaan pembangunan mulai dari tingkat RT/RW atau desa/kelurahan.

Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mencegah dan menghapuskan diskriminasi di dunia kerja Untuk mewujudkannya Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-undang No.

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melalui ketentuan yang diatur dalam pasal 5 dan 6.

Ketentuan tersebut merupakan dasar strategi nasional dalam upaya persamaan hak dan penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan. Akan tetapi penerapan pasal tersebut perlu didukung dengan panduan yang diharapkan mampu menggiring kearah pelaksanaan ketentuan yang tepat dengan melibatkan instansi-instansi pemerintah dan swasta.

(11)

33

Penyandang disabilitas, disamping jaminan harus memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat non disabilitas, sudah sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus, yakni sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi, diberikan pendampingan hukum dari perkara, memberikan penyuluhan dalam pada setiap aspek bidang dan terutama perlindungan dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Di dalam konteks hak asasi manusia (HAM), salah satu tanggung jawab utama pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah untuk melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, pemajuan dan penegakan hak asasi manusia terhadap penyandang disabilitas.

Tanggung jawab tersebut melingkupi semua aspek kehidupan masyarakat dan bersifat universal sesuai dengan karakter hak asasi manusia itu sendiri.

C. DAFTAR PUSTAKA

1. BUKU/ TESIS

Mansyur, A Effendi, 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia, Bogor: Ghalia Indonesia.

Soekanto Soerjono, 2002, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta

Tumanduk Doddy, Agustinus. 2018. Pemenuhan Hak Asasi Bagi Penyandang Disabilitas Dalam Proses Hukum Di Tingkat Kepolisian, (Fulfillment Of Human Rights For People With Disabilities In Legal Process At Police Level).Tesis. Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.

2. MAJALAH/ARTIKEL/ JURNAL

Arrista, Trimaya. “Upaya Mewujudkan Penghormatan, Perlindungan, Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.” Jurnal Legislasi Indonesia 13, no. 4 (2016): 401–410.

Dwiyanto, Agus. 2008. Pelayanan Inklusif, makalah disampaikan pada diskusi terbatas Pusat Kajian Manajemen Pelayanan LAN RI di Hotel Sahira Bogor, 9-10 Oktober 2008.

(12)

34

LAN. (2008). Kajian Pelayanan Untuk Masyarakat dengan Kebutuhan Khusus.

Jakarta; LAN RI.

Frichy Ndaumanu, Jurnal HAM, Volume 11 Nomor 1, April 2020, Hak Penyandang Disabilitas: Antara Tanggung Jawab Dan Pelaksanaan Oleh Pemerintah Daerah (Disability Rights: Between Responsibility and Implementation By the Local Government).

Sudarwati, Erlin. Kebijakan Penanganan Penyandang Disabilitas Personel Kemhan Dan TNI, Artikel Majalah Wira.

Widinarsih, Dini. 2019. Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Perkembangan Istilah Dan Definisi, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 Tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, Dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Pelindungan, Dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas;

Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Akomodasi Yang Layak Untuk Peserta Didik penyandang Disabilitas.

Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas

D. INTERNET

https://difabel.tempo.co/read/1266832/berapa-banyak-penyandang-disabilitas-di-indonesia- simak-data-ini.

https://ham.go.id/2020/03/06/upaya-memenuhi-hak-penyandang-disabilitas/.

https://id.beritasatu.com/home/mewujudkan-kota-ramah-disabilitas/148721Arie, Purnomosidi. “Inklusi Penyandang Disabilitas Di Indonesia.

https://www.kemenkopmk.go.id/penyandang-disabilitas-harus-diberi-peluang-kesetaraan.

Referensi

Dokumen terkait

3.1 Perencanaan Topologi dan Konfigurasi Jaringan Pada tugas akhir ini topologi yang digunakan untuk membentuk suatu sistem pemantauan kondisi struktur bangunan

Sesuai dengan jenis permasalahan dan tujuan yang ingirt dicapai yaitu mengembangkan model pembelajaran inkuiri dalam pendidikan agama Islam di SLTP, maka metode yang digunakan

kelembaban (%) yang sama menggunakan Soil Tester Lutron Dari hasil pengukuran diperoleh data hasil kalibrasi menggunakan Soil Tester Lutron dan kurva yang

Untuk uji total logam bahan untuk bahan mineral hasil pemurnian asbuton kabungka dapat dilihat pada tabel 3.2.3-1.. Kandungan logam untuk hasil pemurnian asbuton kabungka

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditi yang menjadi potensi unggulan sektor pertanian tanaman pangan di Kabupaten Sidrap adalah jenis komoditi padi sawah berlokasi

Target dari penelitian ini adalah suatu alat yang dapat memberitahu penggunanya akan adanya listrik dengan komponen yang sederhana sehingga rendah biaya.. Prosedur yang

Seperti yang kita ketahui twitter bootstrap menyediakan beberapa fitur javascript dan user tinggal menggunakannya, akan tetapi fitur-fitur tersebut masih monoton (menurut saya)..