Prosiding Seminar Nasional Psikologi (SEMPSI) 2011 Universitas Islam Sultan Agung Semarang C‐83
PERAN ORANG TUA DAN PENDIDIK DALAM MENCEGAH PERILAKU AGRESIF PADA ANAK
Luh Putu Shanti K
Fakultas Psikologi Unissula Semarang
ABSTRAK
Makalah ini membahas tentang peran orangtua dan pendidik dalam mencegah perilaku agresif pada anak. Pada bab pendahuluan diuraikan tentang adanya fenomena anak agresif yang sebagian kecil mungkin dialami oleh orangtua melalui hasil penelitian dan artikel‐
artikel yang dikemukakan oleh orangtua tentang contoh perilaku agresif pada anaknya.
Selanjutnya diuraikan juga tentang bagaimana peluang peran pendidik dalam rangka membantu orangtua mengatasi perilaku agresif pada anaknya. Permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimanakah peran orangtua dan pendidik dalam mencegah perilaku agresif pada anak.
Pada bab pembahasan, penulis menguraikan tentang apa itu agresi secara umum, faktor apa saja yang berpengaruh terhadap agresi, dan tingkatan perilaku agresif pada anak.
Secara umum, agresfi pada anak masih dikategorikan wajar untuk batas usia tertentu yaitu 2‐3 tahun. Mengingat pada usia tersebut anak masih belum dapat mengendalikan emosi dan belum mencapai tahap perkembangan bahasa yang baik sehingga belum dapat berkomunikasi dengan sempurna. Disinilah faktor keluarga berperan dalam menentukan berkembang atau tidaknya perilaku agresif pada anak dengan cara mengendalikan emosi ketika menghadapi perilaku agresif anak.
Perilaku agresif juga dapat dialami pada anak usia sekolah yang disebabkan oleh teman sebaya, guru, dan disiplin sekolah. Peran pendidik dibutuhkan untuk dapat menjadi social model bagi anak di sekolah ketika tidak berada dalam pengawasan orangtua dengan cara memberikan pendidikan kesusilaan dan pendidikan sosial.
Kesimpulan dalam penulisan makalah ini adalah orangtua dan pendidik merupakan komponen penting yang tidak dapat dipisahkan dalam mencegah perilaku agresif pada anak, karena orangtua dan pendidik turut mewarnai keberhasilan anak baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Memahami tahap perkembangan anak menjadi salah satu poin penting yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi orangtua dan pendidik dalam mengetahui kadar agresifitas pada anak dan anak didiknya, agar orangtua dan pendidik dapat melakukan tindakan yang tepat dalam mencegah dan mengatasi perilaku agresi.
Kata Kunci : Agresifitas, Orang tua, pendidik
PENDAHULUAN
“Kenapa dirusak mobil‐mobilannya nak?”
teriak seorang ibu pada anaknya yang
baru berusia 3 tahun. Wajar si ibu kaget.
Pasalnya, kemarin anak itu merengek‐
rengek minta dibelikan mobil‐mobilan.
Tetapi belum genap sehari, mainan itu
C‐84 Prosiding Seminar Nasional Psikologi (SEMPSI) 2011 Universitas Islam Sultan Agung Semarang
sudah berantakan karena dipreteli (www.bundaraihan.multiply.com).
Sementara itu, kasus lain yang menceritakan tentang “kenakalan” anak dalam bentuk lain juga membahas tentang seorang anak yang berusia 7 tahun yaitu Aan yang sedang bermain dengan temannya tiba‐tiba berlari dengan mulut terbuka dan langsung menggigit tangan temannya karena marah ketika mainannya tidak disengaja dijatuhkan hingga rusak oleh teman si anak. Seketika, teman si anakpun tidak terima dan membalas gigitan dengan pukulan pada perut hingga gigitan Aanpun terlepas dilanjutkan dengan tangisan yang keras (www.blog.kenz.or.id).
Uraian diatas adalah sebagian kecil dari fenomena tanda‐tanda agresi yang terjadi pada anak yang mungkin dialami oleh sebagian kecil pula dari orangtua. Tidak sedikit orang tua yang sudah mulai dipusingkan ketika menghadapi kenyataan bahwa anaknya cenderung suka merusak suatu barang atau memukul dan menggigit temannya.
Anak agresif adalah bagian dari fenomena kehidupan keluarga yang tak jarang dihadapi oleh orang tua dan banyak pula orangtua yang mengeluhkan perilaku anaknya. Sejalan dengan hal tersebut, diketahui ada banyak faktor yang dimungkinkan bisa memberikan pengaruh terhadap pribadi anak, yaitu pengalaman awal, pengaruh budaya, kondisi fisik, daya
tarik, inteligensi, emosi, nama, keberhasilan dan kegagalan, penerimaan sosial, pengaruh keluarga, dan perubahan fisik.
Berkaitan dengan faktor‐faktor yang berpengaruh terhadap pribadi tersebut, pengaruh keluarga ternyata juga menjadi salah satu faktor yang berperan sebagai pembentukan pribadi anak. Hal ini dikarenakan waktu terbanyak anak adalah keluarga dan didalam keluarga itulah diletakkan sendi‐sendi dasar kepribadian
(www.popodhya.wordpress.com).
Orangtua memang pada dasarnya merupakan unsur penting dan utama dalam mencegah dan mengatasi perilaku agresi pada anak. Sikap orangtua dalam memperlakukan anaknya dapat mempengaruhi bagaimana anak dalam berperilaku. Berlebihnya perilaku agresi pada anak biasanya didapatkan pada anak yang orangtuanya bersikap terlalu memanjakan, terlalu melindungi, atau bersikap terlalu menguasai anak.
Orangtua sangat berperan dalam bagaimana menekan watak agresif pada anaknya, karena, tidak sedikit juga orangtua yang secara tidak disadari justru mendorong anak untuk mengembangkan agresivitasnya.
Namun, bagaimana dengan peran pendidik? Tidak adakah yang dapat dilakukan oleh seorang pendidik dalam rangka mencegah perilaku agresif pada
Prosiding Seminar Nasional Psikologi (SEMPSI) 2011 Universitas Islam Sultan Agung Semarang C‐85 anak meskipun perannya tidak besar
seperti peran orangtua yang secara prosentase lebih memiliki banyak waktu bersama anaknya.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menyebutkan bahwa sekitar 5‐10% anak usia sekolah menunjukkan perilaku agresif. Secara umum, anak laki‐laki lebih banyak menampilkan perilaku agresif, dibandingkan anak perempuan.
Perbandingannya, 5 berbanding 1, artinya jumlah anak laki‐laki yang melakukan perilaku agresif kira‐kira 5 kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan (www.belajarpsikologi.com).
Penelitian ini menuntut adanya perhatian yang lebih dari seorang pendidik terhadap perkembangan kepribadian anak didiknya. Pendidik dituntut untuk dapat memberikan pengawasan yang lebih untuk mencegah perilaku agresif ketika anak tidak berada dalam pengawasan orangtuanya.
Sayangnya, tidak semua pendidik dapat menjalankan tugasnya sebagai pendidik dengan baik. Beberapa kasus kekerasan guru pada anak juga sering ditemui dalam pemberitaan di masyarakat akhir‐akhir ini. Seperti contoh seorang guru yang memukul anak didiknya dengan penggaris kayu ketika si anak tidak bisa mengerjakan soal yang ditugaskan oleh gurunya.
Bagaimanapun, ketika seorang individu diangkat menjadi seorang pendidik, otomatis individu tersebut seharusnya sudah memenuhi beberapa persyaratan secara intelektual maupun psikologis, agar dapat melaksanakan proses pendidikan sesuai dengan standar mutu kependidikan. Ketika seorang pendidik melakukan suatu hal yang dapat merusak citranya sebagai seorang pendidik, maka perannya sebagai pendidik dianggap gagal.
Menghadapi fenomena tentang adanya perilaku agresif pada anak, maka dituntut adanya kerjasama yang baik antara orang tua dan pendidik dalam mencegah dan mengatasinya. Orangtua dan pendidik tidak bisa berdiri sendiri‐sendiri dalam melakukan pencegahan terhadap perilaku agresif pada anak. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan komunikasi yang intensif antara orangtua dan pendidik.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang muncul dalam makalah ini adalah bagaimanakah peran pendidik dan orangtua dalam mencegah perilaku agresif pada anak.
PEMBAHASAN
Sebenarnya, agresi merupakan kekuatan hidup (life force) dan energi yang bisa bersifat membangun dan juga menghancurkan. Kekuatan ini adalah sesuatu yang membuat bayi bisa memiliki
C‐86 Prosiding Seminar Nasional Psikologi (SEMPSI) 2011 Universitas Islam Sultan Agung Semarang
dan memegang kehidupan dan yang bisa membuatnya berteriak atau menangis ketika sedang merasa lapar (www.asiaaudiovisualexc09nitarusnitasari .wordpress.com).
Agresi bisa didefinisikan sebagai tingkah laku yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datanya tingkah laku tersebut. Didalamnya terdapat beberapa unsur agresi, yaitu adanya tujuan untuk mencelakakan, ada individu yang menjadi pelaku, ada individu yang menjadi korban, dan ketidakinginan si korban untuk menerima tingkah laku si pelaku (Baron, 2005, dalam www.blog.kenz.or.id).
Ada dua macam sebab yang bisa mendasari tingkah laku agresif pada anak.
Pertama, tingkah laku agresif yang dilakukan untuk menyerang atau melawan orang lain. Macam tingkah laku agresif ini biasanya ditandai dengan kemarahan atau keinginan untuk menyakiti orang lain. Kedua, tingkah laku agresif yang dilakukan sebagai sikap mempertahankan diri terhadap serangan
dari luar
(www.asiaaudiovisualexc09nitarusnitasari .wordpress.com).
Perilaku agresif anak dapat dibedakan menjadi 2 tingkatan, yaitu :
a. Perilaku agresif ringan (minor), biasanya lebih sulit dideteksi dan seringkali luput dari perhatian orangtua. Hal yang biasa dilakukan oleh anak‐anak seperti merengek,
melotot, menangis, menjerit‐jerit yang mungkin sebelumnya tidak menjadi masalah bagi orangtua. Jika anak diatas usia 2 tahun masih mempertahankan perilaku tersebut, maka anak akan bereaksi agresif ketika tidak senang terhadap sesuatu.
Jika orangtua tidak mengenali dan tidak berusaha mencegah perilaku ini, maka anak‐anak akan memahaminya sebagai sesuatu yang dibenarkan.
b. Perilaku agresif tingkat ekstrim yaitu perilaku dimana anak bertindak pada agresivitas yang lebih serius dan mengarah pada perilaku kriminal (Fauzan, dalam www.idshvoong.com).
Sifat agresif yang sesekali muncul pada masa kanak‐kanak sangat umum untuk anak‐anak antara usia satu sampai tiga saat anak‐anak memukul dan menggigit karena berbagai alasan, seperti meniru teman, rasa sakit tumbuh gigi, frustasi atau menguji sebab akibat. Menurut American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, berbagai bentuk agresi fisik pada anak‐anak cukup umum karena anak‐anak belum belajar bagaimana cara mengendalikan emosinya (www.theasiaparent.com).
Hal ini dikarenakan pada usia 2 s.d 3 tahun bisa dikatakan merupakan usia transisi awal pada perkembangan anak, dimana anak sedang mengalami keinginan yang sangat besar untuk menjadi mandiri. Dilain pihak, kemampuan bahasa anak masih belum mencapai tahap yang cukup untuk
Prosiding Seminar Nasional Psikologi (SEMPSI) 2011 Universitas Islam Sultan Agung Semarang C‐87 berkomunikasi dengan sempurna
(www.balitacerdas.com).
Keluarga diketahui sebagai salah satu faktor yang dapat menyebabkan anak berperilaku agresif, misalnya dari pola asuh yang tidak konsisten, sikap permisif orang tua, sikap keras dan penuh tuntutan, kegagalan dalam memberikan hukuman yang tepat, memberi hadiah untuk perilaku agresif dan memberi hukuman untuk perilaku prososial, kurang memonitor anak‐anak, kurang memberikan aturan, adanya tingkat komunikasi verbal yang rendah, gagal menjadi model, dan karena keberadaan ibu yang depresif dan mudah marah (www.belajarpsikologi.com).
Apabila ditinjau dari banyaknya contoh akan besarnya pengaruh keluarga terhadap perilaku agresif anak, maka dapat disimpulkan bahwa orangtua memegang peranan utama dalam melakukan pencegahan perilaku tersebut.
Hampir 75% waktu anak adalah bersama orangtuanya, sehingga orangtua dituntut untuk dapat memberikan perhatian lebih.
Namun, orangtua diharapkan juga tidak terlalu panik akan kondisi perilaku agresi yang ditemui pada anaknya.
Perilaku agresif merupakan perilaku yang normal dalam tahap perkembangan anak, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya tentang adanya kondisi anak yang belum belajar tentang cara mengendalikan emosi dan kemampuan bahasa yang
belum mencapai tahap yang cukup untuk bisa berkomunikasi dengan sempurna.
Untuk itu, orangtua diharapkan tidak panik dalam menghadapi perilaku agresif anak dengan cara mengenali dan memahami penyebab dari munculnya agresi pada anak, agar tidak berdampak pada perlakuan kekerasan pada anak.
Orangtua hendaknya dapat mengendalikan emosi atau rasa marah, karena hal ini merupakan langkah pertama yang akan menentukan apakah orangtua dapat mengendalikan anaknya atau tidak.
Secara spesifik, ada beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua dalam mencegah berkembangnya perilaku agresif pada anak, yaitu memberikan peringatan awal dan batasan yang jelas, mengajarkan tindakan alternatif untuk melampiaskan rasa agresi anak, dan memberikan pujian ketika anak melakukan tindakan yang baik untuk meminimalisir rasa agresinya (www.balitacerdas.com).
Agresivitas merupakan refleksi emosional seorang anak. Anak merasa puas melakukan tindakan kasar tertentu untuk mencapai keinginan. Perilaku agresif yang dilakukan seorang anak perlu ditangani secara serius, agar tidak berdampak terhadap perkembangan kepribadian anak. Sebagai sosok yang juga berperan dalam mencegah perilaku agresif, pendidik harus menentukan dan menemukan tindakan‐tindakan efektif
C‐88 Prosiding Seminar Nasional Psikologi (SEMPSI) 2011 Universitas Islam Sultan Agung Semarang
guna mengatasi perilaku agresif anak (Ratnasari, 2003, dalam www.lib.atmajaya.ac.id).
Selain keluarga, sekolah juga menjadi salah satu faktor yang berperan dalam menimbulkan perilaku agresif pada anak.
Oleh karena itu, peran pendidik juga dibutuhkan dalam mencegah munculnya perilaku agresif khususnya pada anak usia sekolah. Meskipun, beberapa anak dapat mengalami masalah emosi atau perilaku sebelum masuk sekolah, namun beberapa anak lainnya tampak mulai menunjukkan perilaku agresif ketika mulai bersekolah.
Faktor teman sebaya, guru, dan disiplin sekolah merupakan faktor yang berpengaruh. Seorang pendidik sangat berperan dalam munculnya masalah emosi dan perilaku agresi. Sebagai pendidik, seorang individu dituntut untuk dapat menjadi social modell yang baik bagi anak didiknya, caranya adalah dengan tidak berperilaku agresif didepan anak saat tidak mampu mengendalikan emosi, sehingga anak tidak meniru perilaku tersebut karena tidak memiliki
“model” (www.belajarpsikologi.com).
Menurut Aprianto (2008), secara umum peranan pendidik dalam dunia pendidikan dapat dikelompokkan ke dalam 4 peranan, yaitu pertama, berperan dalam proses belajar mengajar ; sebagai demonstrator ; pengelola kelas ; mediator
; fasilitator dan evaluator. Kedua, pendidik dapat berperan dalam masalah pengadministrasian. Ketiga, peranan
secara pribadi di masyarakat. Keempat, peranan secara psikologis, bahwa pendidik dipandang sebagai ahli psikologi pendidikan, seniman dalam hubungan antar manusia, dan orang yang berpengaruh dalam menimbulkan pembaharuan.
Segi pemikiran yang terdapat dalam dunia pendidikan dan dirasa perlu dikembangkan oleh pendidik untuk mencegah berkembangnya perilaku agresi adalah pendidikan kesusilaan dengan mengajarkan mana yang baik dan buruk agar sesuai norma, dan pendidikan sosial agar dapat menghargai dan menerima nilai‐nilai hidup bersama orang lain. Pendidikan dapat diwujudkan dalam berbagai cara yang bersifat positif yaitu dengan memberi teladan yang baik, latihan untuk membentuk kebiasaan, memberi perintah, memberi pujian dan hadiah, dan memberikan kebebasan untuk menyalurkan hasrat berbuat sehingga menjadi kreativitas (Norsanie, 2010, dalam www.e‐majalah.com).
Meskipun tidak sebesar peran orangtua dalam mencegah perilaku agresif pada anak, namun kehadiran pendidik dalam mendukung pencegahan perilaku agresif tersebut juga sangat diperlukan.
Orangtua dan pendidik adalah komponen penting yang tidak dapat dipisahkan karena orangtua dan pendidik turut mewarnai keberhasilan anak baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Prosiding Seminar Nasional Psikologi (SEMPSI) 2011 Universitas Islam Sultan Agung Semarang C‐89 KESIMPULAN
Memahami tahap perkembangan anak menjadi salah satu poin penting yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi orangtua dan pendidik dalam mengetahui kadar agresifitas pada anak dan anak didiknya, agar orangtua dan pendidik dapat melakukan tindakan yang tepat dalam mencegah dan mengatasi perilaku agresi.
Sejalan dengan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya pada bab pendahuluan dan pembahasan, maka kesimpulan dari penulisan makalah ini adalah perlu adanya saling mendukung antara orangtua dan pendidik dalam rangka mencegah perilaku agresif pada anak sesuai dengan porsinya masing‐
masing.
Orangtua berperan dalam membantu anak “mengkomunikasikan” kelemahan anak pada tahap perkembangan tertentu yang belum bisa mengendalikan emosi dan belum mencapai tahap perkembangan bahasa yang sempurna agar perilaku agresif tidak perlu terjadi.
Orangtua diharapkan tidak bersifat reaksioner dan gegabah dalam menilai perilaku agresif anak.
Sementara pendidik berperan sebagai model sosial yang ideal dan diharapkan jauh dari perilaku agresif dengan menanamkan pendidikan kesusilaan dan pendidikan sosial yang tepat pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Airsyad. “Urgensi Peran Pendidik Dalam Upaya Untuk Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa”.
www.id.shvoong.com. Diakses pada tanggal 5 Mei 2011.
Aprianto. 2008. “Peranan Pendidik : Suatu Kajian dalam Pendidikan Islam”.
www.apri76.wordpress.com.
Diakses pada tanggal 12 Mei 2011.
Fauzan, Iwan. 2011. “Tingkatan Perilaku
Agresif pada Anak”.
www.id.shvoong.com. Diakses pada tanggal 13 Mei 2011.
Noorsanie. 2010. “Peran Pendidik dan Tenaga Kependidikan”. www.e‐
majalah.com. Diakses pada tanggal 12 Mei 2011.
Raihan, Bunda. 2005. “Kiat Menghadapi
Anak Agresif”.
www.bundaraihan.multiply.com.
Diakses pada tanggal 5 Mei 2011.
Ratnasari, Catrin. 2003. “Fenomena Perilaku Agresif Seorang Anak Usia TK A (4‐5 Tahun) Santo Antonius,
Jakarta Timur”.
www.lib.atmajaya.ac.id. Diakses pada tanggal 12 Mei 2011.
Rusnitasari, Nita. 2009. “Mengatasi Tingkah laku Agresif pada Anak”.
www.asiaaudiovisualexc09nitarus nitasari.wordpress.com. Diakses pada tanggal 13 Mei 2011.
www.id.theasianparent.com. 2009. “Sifat Agresif pada Anak‐anak yang Suka Berkelahi”. Diakses pada tanggal 12 Mei 2011.
C‐90 Prosiding Seminar Nasional Psikologi (SEMPSI) 2011 Universitas Islam Sultan Agung Semarang
www.balitacerdas.com. 2008. “Anak Anda Agresif”. Diakses pada tanggal 13 Mei 2011.
www.blog.kenz.or.id. 2005. “Agresifitas pada Anak Kecil : Aan dan Ulil”.
Diakses pada tanggal 13 Mei 2011.
www.belajarpsikologi.com. 2010. “Faktor Penyebab Anak Berperilaku Agresif”. Diakses pada tanggal 13 Mei 2011.
www.popodhya.wordpress.com. 2011.
“Faktor‐faktor yang
Mempengaruhi Kepribadian”.
Diakses pada tanggal 12 Mei 2011.