• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. Oleh. PERIS MAHA / M.Kn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS. Oleh. PERIS MAHA / M.Kn"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

(STUDI DI KOTA MEDAN)

TESIS

Oleh

PERIS MAHA 157011274 / M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

(STUDI DI KOTA MEDAN)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

PERIS MAHA 157011274 / M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H, MS, CN Anggota : 1. Notaris Syafnil Gani, S.H, M.Hum

2. Notaris Dr. Suprayitno, S.H, M.Kn

3. Dr. T. Keizerina Devi A, S.H, C.N, MHum 4. Dr. Edy Ikhsan S.H, M.A

(5)

Nama : PERIS MAHA

Nim : 157011274

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : AUTENTISITAS SURAT KUASA MEMBEBANKAN

HAKTANGGUNGAN (SKMHT) FORMAT PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2012 YANG DIBUAT OLEH NOTARIS DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS (STUDI DI KOTA MEDAN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : PERIS MAHA Nim : 157011274

(6)

(selanjutnya disebut PP Pendaftaran Tanah) mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA. Ketentuan hukum yang diatur dalam Perkaban 8/2012 yang merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana UUHT.

Berlakunya Perkaban 8/2012 yang menentukan bentuk SKMHT wajib dibuat berdasarkan format dan bentuk akta dalam lampiran Perkaban sedangkan Pasal 15 ayat (1) UUHT menentukan bahwa SKMHT dapat dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta PPAT. Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1868 KUHPerdata maka suatu akta notaris dapat dikatakan sebagai suatu akta otentik apabila akta tersebut memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1) Akta itu harus dibuat “oleh” (door) atau di hadapan (ten overstan) seorang pejabat umum, 2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang- undang, 3) Pejabat umum oleh-atau dihadapan siapa akta tersebut dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Pokok permasalahan dalam penelitian ini : Bagaimana Autentisitas, kekuatan pembuktian, akibat hukum, harmonisasi dan sikronisasi, antara Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

Adapun hasil penelitian adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang dibuat dihadapan Notaris dengan menggunakan format akta SKMHT sesuai huruf H (Lampiran 23) Pasal 96 ayat (1) Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Terhadap PMNA/Ka BPN RI Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik bertentangan dengan Pasal 1868 KUHPerdata dan Pasal 1 angka (7) dan Pasal 38 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Selanjutnya Akibat hukum yang dapat timbul dari Akta SKMHT yang tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik mengakibatkan akta SKMHT hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dan karena itu akta tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan APHT. Kondisi ini membawa akibat hukum bagi Notaris karena jika para pihak merasa dirugikan dari akta tersebut.

Kata Kunci : Autentisitas, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional, Notaris Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

(7)

PP on Land Registration) regulate the implementation of land registration stipulated in Article 19 of UUPA. Legal provision found in Perkaban No 8/2012 which is the administrative regulation of PP No 24/1997 as the administrative regulation of UUHT. The imposition of Perkaban No 8/2012 which determines SKMHT has to be made in the form of Notarial or PPAT deed. Based on the provision in Article 1868 of the Civil Code, a notarial deed can be considered authentic provided that it meets the requirements as follows: 1) the Deed has to be made “by” (door) or before (ten overstan) a public official, 2) the Deed has to be made in the form determined by law, 3) the public official has to have the authority to draw up that Deed.

The research problems are as follows: how about the authenticity, evidentiary value, legal consequence, harmonization, and synchronization between the Directive of the Head of the National Land Agency No 8/2012 and law No 2/2014 on the Amendment of Law No. 30/2004 on Notarial Position.

The result of the research showed that SKMHT made before a Notary by using the format of SKMHT deed according to letter H (Appendix 23) Article 96, paragraph 1 of Perkaban No. 8/2012 on the Amendment of PMNA/Ka BPN RI No.

3/1997 on the Implementation of PP No. 24/1997 on Land Registration does not meet the requirements as an authentic deed because it is contrary to Article 1868 of the Civil Code and Article 1, figure 7 and Article 38 of Law No. 2/2014 on the Amendment of Law No. 30/2004 on Notarial Position. The legal consequence of SKMHT deed which does meet the requirements as authentic deed will cause SKMHT deed only has evidentiary value as an underhanded deed and, therefore, the deed cannot be used for making APHT. This condition brings about legal consequence for a Notary when the parties feel harmed by the deed.

Keywords: Authenticity, Power of Attorney on Burdening Hypothecation, Directive of the Head of the National Land Agency, Notary, Law No. 2/2014 on Amendment of Law No. 30/2004 on Notarial Position

(8)

Yesus Kristus yang senantiasa melimpahkan berkat dan kasih-Nya kepada penulis sehingga dapat mennyelesaikan penulisan Tesis ini dengan lancar dan baik.

Adapun judul dan Tesis ini adalah “Autentisitas Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Format Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Yang Dibuat Oleh Notaris Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004”. Tesis ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Melalui Tesis ini penulis banyak belajar sekaligus memperoleh ilmu dan pengalaman tersebut bermanfaat dimasa yang akan datang.

Dalam proses penyusunan Tesis ini, penulis telah banyak menerima bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis dengan rasa hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan kepada

(9)

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H, CN, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang menyetujui pengangkatan judul Tesis ini dan sekaligus penguji yang telah banyak memberikan saran dan pengarahan kepada penulis selama mengikuti dan menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H, MA, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang menyetujui pengangkatan judul Tesis ini dan sekaligus penguji yang telah banyak memberikan saran dan pengarahan kepada penulis selama mengikuti dan menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H, MS, CN, selaku Pembimbing I Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas segala dedikasi dan pengarahan, serta masukan kepada penulis selama mengikuti dan menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Notaris Syafnil Gani, S.H, M.Hum, selaku Pembimbing II Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas segala dedikasi dan pengarahan, serta masukan kepada penulis selama

(10)

7. Bapak Notaris Dr. Suprayitno, S.H, M.Kn, selaku Pembimbing III Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas segala dedikasi dan pengarahan, serta masukan kepada penulis selama mengikuti dan menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Guru Besar Sumatera Utara dan Dosen-Dosen Universitas Sumatera Utara beserta staff Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penulis yang sangat bermanfaat dikemudian hari.

9. Para Pegawai Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dan memberikan kemudahan administrasi kepada penulis selama mengikuti Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Karyawan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara atas segala bantuan dalam penyedian bahan referensi dalam penyusunan Tesis ini.

11. Keluargaku yang luar biasa yang ku sayangi dan kubanggakan, yaitu istriku Rosida Br. Sebayang dan kedua anakku Arie Nanda Maha dan Andreas Lukita Maha, terimakasih banyak atas perhatian kalian yang senantiasa memberikan dukungan, doa dan pertolongan kalian. Kalian adalah semangat hidup ku.

(11)

S.H, M.Kn, Rudi Tua Panjaitan, S.H, M.Kn, Juanto Padang, S.H, Ada Tua Simbolon, S.H, M.Kn, Risma Sinaga, S.H, M.Kn, serta rekan-rekan-rekan M.Kn USU angkatan 2015 khususnya kelas penyertaraan yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis baik berupa masukan dan dukungan dalam penulisan Tesis ini, sehingga penulisan Tesis ini menjadi lebih baik.

13. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan semangat dan dorongan dalam penyusunan Tesis ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis berdoa semoga bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Akhirnya penulis berharap semaga Tesis ini bermanfaat bagi kita semua di bidang hukum demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.

Medan, Juli 2018 Penulis

PERIS MAHA

(12)

Nama : Peris Maha

Tempat/Tanggal Lahir : Karo/14 Januari 1967

Alamat : Jalan Bunga Sedap Malam IX Nomor 14 Medan

Jenis Kelamin : Laki-Laki Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Katolik

Nama Ayah : Benben Maha

Nama Ibu : Alm. Ngore Br Ginting II. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : SD RK Lau Baleng Lulus tahun 1980

Sekolah Menengah Pertama : SMP Negeri Lau Baleng Lulus tahun 1983

Sekolah Menengah Atas : SMA Negeri Buluh Pancur Lulus tahun 1986

S1 Universitas : Universitas Pembangunan Panca Budi Medan

Lulus tahun 1991 S2 Universitas : Program Studi Magister

Kenotaritan FH USU Lulus tahun 2018

(13)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 17

E. Keaslian Penelitian ... 18

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 19

1. Kerangka Teori ... 19

2. Konsepsi ... 30

G. Metode Penelitian... 33

BAB II AUTENTISITAS DAN KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) FORMAT PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2012 YANG DIBUAT OLEH NOTARIS DITINJAU BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS (STUDI DI KOTA MEDAN) ... 38

A. Tinjauan Umum Mengenai Akta Otentik Dan Akta Notariil 38 B, Tinjauan Umum Mengenai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) ... 66

(14)

Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris... 88

BAB III AKIBAT HUKUM SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG DIBUAT OLEH NOTARIS SERTA TANGGUNG JAWAB NOTARIS DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS (STUDI DI KOTA MEDAN)... 113

A. Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris Dari Segi Hukum Administrasi ... 113

B. Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris Dari Segi Hukum Perdata... 119

C. Akibat Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Yang Dibuat Oleh Notaris Serta Tanggungjawab Notaris Ditinjau Berdasarkan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Studi Di Kota Medan) ... 124

BAB IV HARMONISASI DAN SINKRONISASI ANTARA PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2012 DENGAN UNDANG- UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS ... 136

A. Harmonisasi dan Sinkronisasi Vertikal Terhadap Akta SKMHT ... 139

B. Harmonisasi Dan Sinkronisasi Perkaban No 8 Tahun 2012 Dengan UUJN Melalui Hak Uji Materill Ke Mahkamah Agung Republik Indonesia ... 141

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 145

A. Kesimpulan ... 145

B. Saran ... 146

DAFTAR PUSTAKA ... 149

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian maka kebutuhan masyarakat semakin banyak pula. Banyak masyarakat yang membutuhkan modal dalam pengembangan usaha maupun memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membutuhkan pihak lain untuk memberikan pinjaman modal atau kredit. Pihak yang biasanya berperan dalam pemberian kredit adalah bank.

Dalam prakteknya, bank selaku kreditur dalam memberikan fasilitas kredit meminta kepada debitur untuk menyerahkan jaminan berdasarkan persyaratan- persyaratan yang sebelumnya telah disepakati antara bank selaku kreditur dengan peminjam selaku debitur. Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disingkat Undang-Undang Perbankan) menentukan bahwa:

“dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.1

Penjelasan pada Pasal 8 tersebut menegaskan bahwa untuk memperoleh keyakinan tersebut, pihak bank sebelum memberikan kredit harus melakukan penilaian yang seksama terhadap “The 5 C” yaitu character (karakter/watak),

1 Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

(16)

capacity (kemampuan), capital (modal), collateral (agunan), dan condition of economy (kondisi ekonomi nasabah).2 Jaminan diserahkan oleh debitur kepada kreditur dalam rangka pemberian fasilitas kredit dan merupakan unsur penilaian yang dilakukan oleh kreditur sebelum memberikan kredit kepada pihak yang memerlukannya. Hukum jaminan di Indonesia diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata) dan Staatblad 1908 Nomor 542 dan telah diubah dengan Staatblad 1937 Nomor 190 Tentang Credietverband.3

Salah satu bentuk jaminan yang digunakan sebagai jaminan oleh debitur adalah tanah. Tanah sebagai jaminan kredit tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) sebagai ketentuan dasar yang mengatur pertanahan nasional.

Dengan berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, maka hak jaminan atas tanah disebut dengan hak tanggungan. Kemudian pada tanggal 9 April 1996 diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya disingkat UUHT) yang merupakan perwujudan ketentuan Pasal 51 UUPA sebagai ketentuan hukum mengenai hak tanggungan.

Tahap pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak tanggungan. Debitur sebagai pemberi hak tanggungan wajib hadir sendiri dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat

2 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, (Jakarta : PT. Sinar Grafika, 2010) Jakarta, hal. 97.

3 Salim HS., Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 1.

(17)

PPAT), karena pembebanan hak tanggungan dilakukan oleh debitur sebagai subjek yang bertindak atas objek hak tanggungan.

Dalam perjanjian pemberian kredit, debitur yang tidak dapat hadir pada saat pemberian hak tanggungan dihadapan PPAT dapat membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disingkat SKMHT). SKMHT merupakan surat kuasa khusus yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT yang mana debitur sebagai pemberi kuasa memberikan haknya kepada kreditur sebagai penerima kuasa untuk membebankan hak tanggungan pada objek jaminan berupa tanah. SKMHT dapat dibuat dalam 2 (dua) bentuk yaitu akta notaris atau akta PPAT sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT yaitu :

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan.

b. tidak memuat kuasa substitusi;

c. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.

Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana diamanatkan oleh UUPA maka pada tanggal 8 Juli 1997 ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP Pendaftaran Tanah) menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah yang sejak tahun 1961 mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA.4

4Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Djambatan, 2008), hal.

459.

(18)

Diundangkannya PP Pendaftaran Tanah yang baru ini kemudian mulai berlaku 3 bulan sejak diundangkannya, maka Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1997 mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 sebagai ketentuan pelaksana PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Perkaban 3/1997). Peraturan ini mengatur mengenai pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah nasional dan setiap kegiatan pendaftaran tanah harus dan wajib tunduk pada ketentuan yang diatur didalam peraturan tersebut. Pada tanggal 27 Desember 2012, Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat Perkaban 8/2012). Dikeluarkannya Perkaban 8/2012 ini mengakibatkan ketentuan-ketentuan pelaksana kegiatan pendaftaran tanah sepanjang belum diatur dalam Perkaban 8/2012 ini maka ketentuan Perkaban 3/1997 masih tetap berlaku.

Perkaban 8/2012 mengatur mengenai tata cara pembuatan akta PPAT yang awalnya menggunakan blangko PPAT yang diperoleh dari Kantor Badan Pertanahan Nasional menjadi setiap akta PPAT dibuat oleh masing-masing PPAT dengan ketentuan bentuk dan format akta yang ditentukan baku oleh Perkaban 8/2012. Salah satu bentuk akta PPAT yang diatur dalam Perkaban 8/2012 adalah

(19)

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

Ketentuan hukum yang diatur dalam Perkaban 8/2012 yang merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana UUHT. Berlakunya Perkaban 8/2012 yang menentukan bentuk SKMHT wajib dibuat berdasarkan format dan bentuk akta dalam lampiran Perkaban sedangkan Pasal 15 ayat (1) UUHT menentukan bahwa SKMHT dapat dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta PPAT.

Kewenangan seorang notaris untuk dapat membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dapat dilakukan dengan membuat akta notaris sendiri atau dengan menggunakan Blanko akta yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI). Namun demikian, dalam hal pengisian Blanko Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tersebut ada hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), Sehingga menyebabkan akta tersebut kehilangan keautentisitasnya apabila yang mengisi blanko SKMHT tersebut adalah seorang notaris.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah atau yang dikenal dengan Undang-Undang Hak Tangungan (UUHT), maka Hak Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah dalam hukum tanah nasional yang tertulis, dimana sebelumnya masih dikenal dua macam jaminan atas tanah yaitu lembaga jaminan Hipotik dan Credietverband.

(20)

Dengan adanya unifikasi jaminan atas tanah ini, maka dapat lebih menjamin kepastian hukum bagi para kreditur pemegang jaminan atas tanah.

Pemberian Hak Tanggungan sendiri dilakukan dengan membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pembuatan APHT tersebut wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan, Kreditur sebagai penerima Hak Tanggungan dan dua orang saksi.

Pada asasnya pemberian Hak Tanggungan ini wajib dihadiri dan dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan sebagai pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum untuk membebankan Hak Tanggungan atas obyek yang dijadikan jaminan. Namun apabila pemberi Hak Tanggungan berhalangan untuk hadir sendiri dihadapan PPAT untuk membuat APHT, maka pemberi Hak Tanggungan tersebut dapat memberikan kuasa kepada pihak lain untuk menandatangani APHT. Pemberian Kuasa tersebut dilakukan dengan membuat SKMHT.

Berdasarkan Pasal 15 (1) Undang-Undang Hak Tanggungan: “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT…”5. Dengan adanya ketentuan ini maka seorang notaris diberi wewenang oleh undang-undang untuk membuat SKMHT. Sesuai dengan bunyi dari Pasal 15 (1) UUHT tersebut maka kewenangan notaris untuk membuat SKMHT ini dapat dilakukan dengan membuat akta notaris ataupun dengan menggunakan blanko akta sebagaimana telah diterbitkan oleh BPN-RI.

Namun apabila kita membaca ketentuan Pasal 96 (1) Peraturan Kepala

5Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda- Benda yang berkaitan dengan tanah, UU No. 4 Tahun 1996, LN No.117, TLN. No. 4432, Ps.15 (1).

(21)

Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemeritah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan membaca bunyi formulir SKMHT yang merupakan Lampiran 8 dari PMNA/KaBPN tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa hanya ada satu bentuk SKMHT yang dapat dibuat baik oleh notaris maupun oleh PPAT.

Berbeda dengan notaris, seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tunduk pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan peraturan pelaksanaanya. Dimana dalam pengisian blanko akta harus dilakukan dengan mengisi blanko akta yang tersedia secara lengkap sesuai dengan petunjuk pengisiannya. Sedangkan bagi seorang notaris karena pada waktu mengisi blanko SKMHT tersebut notaris tersebut bertindak dalam kedudukan selaku notaris maka notaris tersebut selain berpedoman pada petunjuk pengisian blanko SKMHT, juga terikat pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang.

Hukum Perdata dan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) yang merupakan pedoman utama seorang notaris dalam menjalankan jabatannya, sehingga SKMHT yang dibuat notaris tersebut memenuhi syarat-syarat untuk dinyatakan sebagai akta notaris yang mempunyai kekuatan sebagai akta otentik.

Wewenang dari seorang notaris adalah untuk membuat suatu akta otentik.

Otentisitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 (1) UUJN yang berbunyi:

(22)

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”6Dari ketentuan Pasal 1 (1) UUJN tersebut seorang notaris dijadikan sebagai “Pejabat Umum” (openbaar ambtenaar), sehingga dengan demikian akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.”7

Dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1868 KUHPerdata tersebut maka suatu akta notaris dapat dikatakan sebagai suatu akta otentik apabila akta tersebut memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1. Akta itu harus dibuat “oleh” (door) atau di hadapan (ten overstan) seorang pejabat umum.

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang- undang

3. Pejabat umum oleh-atau dihadapan siapa akta tersebut dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.8

Dari ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata, maka salah satu syarat agar suatu akta notaris dapat dikatakan sebagai suatu akta otentik adalah jika akta tersebut dibuat dalam bentuk-bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, mengenai bentuk-bentuk dari suatu akta notaris sendiri hal ini telah diatur dalam Pasal 38 UUJN yang berbunyi:

6 Indonesia, Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, UU No. 30 Tahun 2004, LN No.117, TLN. No. 4432, Ps. 1(1)

7Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Bugerlijk Wetboek],Cet.34. diterjemahkan oleh R.Subekti dan R.Tjitrosudio (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2004), hal.475.

8 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cet.5, (Jakarta: Erlangga, 1999), hal. 48.

(23)

1. Setiap akta Notaris terdiri atas:

a. awal akta atau kepala akta;

b. badan akta; dan

c. akhir atau penutup akta.

2. Awal akta atau kepala akta memuat:

a. judul akta;

b. nomor akta;

c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.

3. Badan akta memuat:

a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;

b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;

c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan

d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

4. Akhir atau penutup akta memuat:

a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7);

b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;

c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan

d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.

5. Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya.9

Berdasarkan uraian ketentuan mengenai bentuk akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UUJN tersebut diatas, maka apabila kita telaah mengenai bentuk blanko akta SKMHT yang dikeluarkan oleh BPN-RI sebagaimana tercantum dalam huruf h (lampiran 23) Pasal 96 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

9Indonesia, Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, Op.cit., Ps. 38.

(24)

1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Ternyata bagian awal dan akhir dari blanko tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUJN. Sehingga blanko tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai akta notaris.

Hal ini tentunya sangat berbahaya, karena hal ini sangat berpengaruh atas keotentitasan dari SKMHT yang dibuat seorang notaris. Jika tindakan notaris tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap pihak yang namanya tersebut dalam akta, yang tadinya berharap akta yang diinginkan dalam bentuk akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, maka pihak yang namanya tersebut dalam akta dapat mengajukan gugatan perdata kepada Pengadilan Negeri terhadap notaris, agar notaris dijatuhi sanksi perdata, berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris yang bersangkutan.

Konsumen paling besar yang mempergunakan SKMHT adalah perbankan (Bank) yang berkedudukan sebagai kreditur, tidak dapat dibayangkan jika ternyata ada debitur yang mengetahui dan memahami kedudukan SKMHT sebagaimana tersebut di atas, maka debitur yang bersangkutan dapat mengajukan pembatalan penjaminannya dengan alasan SKMHT yang dibuat adalah bukan akta notaris karena tidak memenuhi syarat dan ketentuan sebagai akta notaris berdasarkan Pasal 38 UUJN, dan sudah tentu peluang seperti ini terbuka untuk dilakukan oleh debitur, dan apabila hal ini terjadi maka dapat menimbulkan ketidakpercayaan dari klien kepada kualitas dari akta yang dibuat notaris tersebut.

Lebih lanjut lagi, akibat dari hal tersebut maka notaris dapat digugat oleh Bank secara perdata, karena akta yang dibuat oleh notaris tersebut hanya

(25)

mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta yang dibuat dibawah tangan.

Dari uraian yang telah disebutkan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana sebenarnya otensitas suatu SKMHT yang dibuat notaris dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UUJN dan bagaimana kekuatan pembuatan dari SKMHT tersebut, hal ini dilakukan agar apabila seorang notaris hendak membuat suatu SKMHT, dapat mengetahui hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan agar SKMHT tersebut tetap dapat dinyatakan sebagai suatu akta otentik dan dapat melindungi pihak-pihak yang menjadi pihak dalam akta notaris tersebut.

Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana diamanatkan oleh UUPA maka pada tanggal 8 Juli 1997 ditetapkan dan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP Pendaftaran Tanah) menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah yang sejak tahun 1961 mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 19 UUPA.10

Diundangkannya PP Pendaftaran Tanah yang baru ini kemudian mulai berlaku 3 bulan sejak diundangkannya, maka Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1997 mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 sebagai ketentuan pelaksana PP Nomor 24 Tahun 1997

10Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Djambatan, 2008), hal.

459.

(26)

tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut Perkaban 3/1997). Peraturan ini mengatur mengenai pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah nasional dan setiap kegiatan pendaftaran tanah harus dan wajib tunduk pada ketentuan yang diatur didalam peraturan tersebut.

Pada tanggal 27 Desember 2012, Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat Perkaban 8/2012).

Dikeluarkannya Perkaban 8/2012 ini mengakibatkan ketentuan-ketentuan pelaksana kegiatan pendaftaran tanah sepanjang belum diatur dalam Perkaban 8/2012 ini maka ketentuan Perkaban 3/1997 masih tetap berlaku.

Perkaban 8/2012 mengatur mengenai tata cara pembuatan akta PPAT yang awalnya menggunakan blangko PPAT yang diperoleh dari Kantor Badan Pertanahan Nasional menjadi setiap akta PPAT dibuat oleh masing-masing PPAT dengan ketentuan bentuk dan format akta yang ditentukan baku oleh Perkaban 8/2012. Salah satu bentuk akta PPAT yang diatur dalam Perkaban 8/2012 adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

Ketentuan hukum yang diatur dalam Perkaban 8/2012 yang merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sebagai peraturan pelaksana UUHT. Berlakunya Perkaban 8/2012 yang menentukan bentuk SKMHT wajib dibuat berdasarkan format dan bentuk akta dalam lampiran Perkaban sedangkan Pasal 15 ayat (1) UUHT menentukan bahwa SKMHT dapat

(27)

dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta PPAT.

Pelaksanaan pembuatan SKMHT berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUHT dan Perkaban 8/2012 tersebut menimbulkan ketidakseragaman sehingga terjadi ketidakpastian hukum mengenai bentuk SKMHT yang digunakan sebagai surat kuasa untuk membebankan hak tanggungan. Bentuk SKMHT yang dibuat oleh Notaris/PPAT setelah dikeluarkannya Perkaban 8/2012 dibuat dengan berbagai bentuk akta notaris dan akta PPAT. Beberapa Notaris menggunakan format akta notaris untuk SKMHT yang tanahnya berada pada wilayah jabatan Notaris.

Namun, beberapa Notaris menggunakan format SKMHT sesuai dengan lampiran Perkaban 8/2012 untuk tanah yang berada pada wilayah jabatan Notaris.

Persoalan yang timbul dari Perkaban 8/2012, yaitu ketika notaris akan membuat SKMHT sesuai dengan amanat Pasal 15 UUHT, di mana SKMHT yang diwajibkan bentuk dan tata cara pengisiannya tidak sesuai dengan bentuk akta yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat UUJN) kepada notaris dalam membuat akta notaris. Apabila notaris membuat akta notaris tidak sesuai dengan Pasal bentuk yang telah ditentukan UUJN, maka menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun UUJN telah tegas menyatakan bahwa akta notaris tersebut akan hanya mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan atau kehilangan otentisitasnnya. Di sisi lain jika tidak dibuat berdasarkan bentuk dan tata cara pengisian sesuai Perkaban Nomor 8 Tahun 2012, maka menurut Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah tidak dapat dilakukan.

(28)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris adalah pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik. Akta otentik yang dibuat oleh notaris tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat sempurna. Suatu akta Notaris dapat dikatakan otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat sempurna, maka akta tersebut wajib memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Selanjutnya dalam Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak. Notaris selaku pejabat umum yang membuat akta otentik harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku agar akta yang dibuat bersifat otentik.

Akta yang dibuat notaris dapat menjadi sebuah akta otentik apabila akta tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan formil yang disyaratkan undang-undang.

Ketentuan di Indonesia yang saat ini khusus mengatur mengani jabatan notaris terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN). Dalam UUJN mengatur mengenai bentuk akta otentik yang wajib ditaati oleh notaris. Bentuk akta notaris tersebut diatur dalam Pasal 38

(29)

UUJN terdiri dari awal akta atau kepala akta, badan akta, dan akhir atau penutup akta.

Notaris dalam pembuatan akta otentik tidak memenuhi atau lalai memenuhi ketentuan mengenai bentuk akta tersebut di atas, maka akta otentik tersebut tidak memenuhi syarat akta otentik sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 41 UUJN sendiri telah mengatur apabila ketentuan mengenai bentuk akta otentik tersebut dilanggar, maka akta otentik hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

Berdasarkan uraian di atas saya tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Autentisitas Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Format Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Yang Dibuat Oleh Notaris Ditinjau Berdasarkan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Studi di Kota Medan).

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang tersebut diatas maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yakni:

1. Bagaimana Autentisitas dan kekuatan pembuktian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Format Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Yang Dibuat Oleh Notaris ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang

(30)

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Studi di Kota Medan) ?

2. Bagaimana akibat hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang dibuat oleh Notaris serta tanggungjawab Notaris ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Studi di Kota Medan) ?

3. Bagaimana harmonisasi dan sinkronisasi antara Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang merupakan tujuan dari penulisan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan jawaban dari perumusan masalah, sehingga dapat memberikan penjelasan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Autentisitas Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Format Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Yang Dibuat Oleh Notaris ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Studi di Kota Medan)

2. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian dan akibat hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang dibuat oleh Notaris serta tanggungjawab Notaris ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun

(31)

2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Studi di Kota Medan)

3. Untuk mengetahui harmonisasi dan sinkronisasi antara Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

D. Manfaat Penelitian

Di samping mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penulisan ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat. Manfaat penulisan ini dapat diklasifikasikan atas dua jenis yaitu Manfaat Teoritis dan Manfaat Praktis.

a. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para akademisi serta mahasiswa lainnya untuk memberi masukan yang positif bagi pengembangan substansi disiplin dibidang ilmu hukum, khususnya mengenai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dan akta otentik.

b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat diterapkan serta dapat memberikan informasi dalam kalangan masyarakat, Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang membuat akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan serta dapat memberikan suatu informasi bagi Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang ke-autensitas SKMHT format Perkaban 8/2012 yang dibuat oleh Notaris, sehingga adanya informasi ini adanya kesinkronisasi antara Perkaban 8/2012 dengan UUJN.

(32)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul: “Autentisitas Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Format Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 Yang Dibuat Oleh Notaris Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Studi di Kota Medan)” ini belum ada yang membahasnya.

Namun penulis ada menemukan beberapa tesis karya mahasiswa, yang mengangkat tentang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, akan tetapi judul dan permasalahan yang diangkat tidak sama, yaitu:

1. Penelitian oleh AULIA RAHMAN AMIRTIN S (NIM : 117011031), dengan judul tesis: Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) berdasarkan Pasal 96 ayat (1) Perkaban No. 8 Tahun 2012 dikaitkan dengan Pasal 38 UUJN No 30 tahun 2004 dalam melindungi kreditor, dengan pokok permasalahan dalam penelitian tersebut adalah:

a. Bagaimana kedudukan SKMHT yang dibuat dengan akta Notaris berdasarkan Pasal 96 ayat (1) Perkaban dikaitkan dengan Pasal 38 UUJN?

b. Bagaimana kekuatan pembuktian SKMHT yang dibuat dengan akta Notaris berdasarkan Pasal 96 ayat (1) Perkaban dikaitkan dengan ketentuan akta otentik?

(33)

c. Bagaimanakah kekuatan hukum akta SKMHT dalam melindungi hak kreditor?

2. Penelitian oleh GABRIEL A. BARHMANA (NIM : 070200360), dengan judul tesis: Tinjauan Hukum Terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (Skmht) Yang Termuat Dalam Pasal 15 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, dengan pokok permasalahan dalam penelitian tersebut adalah:

a. Bagaimana bentuk SKMHT berupa surat kuasa yang bersifat khusus ? b. Bagaimana larangan kuasa substitusi dalam Pembuatan SKMHT

terhadap pemegang hak tanggungan ?

c. Bagaimana aspek hukum dari SKMHT terhadap UU No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kontiunitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.11 Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus dilalui dengan menghadapkan pada fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.12

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan

11Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1982), hal. 6.

12Ibid.

(34)

filosofisnya yang tertinggi.13 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.14

Oleh sebab itu, teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:15

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi- defenisi;

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan memperkirakan serta menjelaskan gejala yang diamati.16

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

13Satjipto Rahardjo, llmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 254.

14Ibid., hal. 23.

15Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1998), hal. 121.

16JJJ. M. Wisman, Penelitian Ilmu Ilmu Sosial, Jilid I Penuntun M. Hisyam, (Jakarta : Uji Press, 1996), hal. 203.

(35)

Menurut Mukti Fajar, teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.17 Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.18 Oleh karena itu teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Pembuktian, Teori Tanggungjawab, dan Teori Sinkronisasi Hukum.

Teori hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa syarat- syarat sebagai berikut :

1) Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.

2) Alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya, tidak palsu) 3) Alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.

4) Alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.

Dalam hukum acara perdata, terdapat beberapa teori pembuktian yang dikenal, yaitu:

1) Teori hukum subyektif ( teori hak ).

Dalam teori ini menetapkan bahwa barang siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya.

17Mukti Fajar, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: PT.

Pustaka Pelajar, 2010), hal. 134.

18Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 19.

(36)

2) Teori hukum Obyektif

Teori ini mengajarkan bahwa seorang hakim harus melaksanakan peraturan hukum atas fakta-fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.

3) Teori hukum acara dan teori kelayakan

Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama, yakni hakim seyogyanya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian.19Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, dengan demikian hakim harus memberi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan adil sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.

Sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan adalah hakim, dan hanya judex facti.

Terdapat 3 ( tiga ) buah teori bagi hakim di dalam menilai alat bukti yang diajukan oleh para pihak : .

1) Teori pembuktian bebas

Teori ini menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya bagi hakim, di dalam menilai alat bukti. Hakim tidak terikat oleh suatu ketentuan

19Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa &

Praktisi, (Bandung : CV Mandar Maju, 2005), hal. 21.

(37)

hukum, atau setidak-tidaknya ikatan-ikatan oleh ketentuan hukum harus dibatasi seminimum mungkin. Menghendaki kebebasan yang luas berarti menaruh kepercayaan atas hakim untuk bersikap penuh rasa tanggung jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan tidak terpengaruh oleh apapun dan oleh siapapun.

2) Teori pembuktian negatif

Teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif. Ketentuan tersebut membatasi hakim dengan larangan untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim dilarang dengan pengecualian. ( Pasal 306 RBg/169 HIR, Pasal 1905 KUHPerdata )

Pasal 306 RBg/169 HIR : “ Keterangan seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercayai di dalam hukum.

Pasal 1905 KUHPerdata :“ Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya. “20

3) Teori pembuktian positif

Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat. ( Pasal 285 RBg/165 HIR, Pasal 1870 KUHPerdata )

Pasal 285 RBg/165 HIR :“ Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat

20Ibid, hal. 22.

(38)

itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. “ Pasal 1870 KUHPerdata :“ Suatu akta otentik memberikan di antara para

pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang- orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. “21

Adapun alat bukti berdasarkan Pasal 1866 BW, terdiri dari 1) Alat bukti tertulis;

2) Pembuktian dengan saksi;

3) Persangkaan-persangkaan;

4) Pengakuan;

5) Sumpah.

Adapun urutan-urutan alat bukti di atas menunjukkan bahwa dalam hukum perdata bukti tertulis mempunyai kedudukan yang lebih diutamakan atau lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya, hal ini dikarenakan dalam lalu lintas keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan, dan bukti yang disediakan lazimnya berupa tulisan. 22 Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama terhadap bukti tulisan dalam hukum perdata ada beberapa bentuk, diantaranya yang paling kuat dan sangat berharga untuk pembuktian adalah “akta”.23

Hal yang terpenting dari suatu akta adalah suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan

21Ibid, hal,23.

22Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, (Jakarta: Rineka Cipta,1993), hal. 25.

23Ibid.

(39)

ditandatangani, sehingga unsur-unsur yang penting untuk suatu akta adalah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu. Adapun syarat penandatanganan suatu akta dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1874 BW.

Sedangkan makna akta Autentik berdasarkan UUJN sebagaimana dimaksud dalam makna akta notaris, sebagaimana secara eksplisir diatur dalam Pasal 1 angka 7 UUJN, yang menyatakan bahwa Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Pada dasarnya akta notaris yang didalamnya berisikan tentang perbuatan-perbuatan dan hal-hal lain yang dikonstatir oleh notaris, umumnya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengenai hal ini antara lain BW dan UUJN. Akta yang dibuat notaris adalah akta otentik dan autensitasnya bertahan terus, bahkan sampai notaris itu meninggal dunia. Oleh karena itu, berlaku juga terhadap akta SKMHT yang dibuat dihadapan Notaris. SKMHT yang dibuat dihadapan notaris harus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan tunduk terhadap BW dan UUJN. Jika tidak dipenuhinya syarat suatu akta otentik maka akta tersebut akan kehilangan ke-autensitas akta otentiknya.

Teori yang kedua yang digunakan untuk menjawab permasalahan kedua dalam penelitian ini adalah menggunakan teori tanggungjawab. Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang

(40)

menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab. Liability meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.24

Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:

a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.

b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.25

Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum (liability). Seseorang yang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi

24Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 335-337.

25Ibid., hal.365.

(41)

dalam kasus perbuatannya bertentangan atau berlawanan hukum. Sanksi dikenakan deliquet karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab. Subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama.

Dalam teori tradisional, ada dua jenis tanggung jawab:

pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility). Tanggung jawab mutlak yaitu suatu perbuatan menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang dan ada suatu hubungan antara perbuatan dengan akibatnya. Tiada hubungan antara keadaan jiwa si pelaku dengan akibat dari perbuatannya.

Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa, “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”.26 Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa:27

Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.

26Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta, Konstitusi Press, 2006), hal.61.

27 Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, terjemahan Somardi, (Jakarta : BEE Media Indonesia, 2007 (selanjutnya ditulis Hans Kelsen II)), hal.81.

(42)

Hans Kelsen selanjutnya membagi tanggung jawab menjadi 4 (empat) bagian yang terdiri dari:28

a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;

b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;

c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;

d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.

Apabila dihubungkan dengan penelitian ini maka teori tanggung jawab dipergunakan untuk mengetahui tanggung jawab Notaris terhadap akta otentik yang berakibat menjadi akta dibawah tangan.

Teori yang ketiga untuk menjawab rumusan masalah yang ketiga yaitu teori sinkronisasi hukum. Menurut kamus besar Indonesia,29 sinkronisasi berasal dari kata sinkron yang berarti terjadi atau berlaku pada waktu yang sama, serentak, sejalan, sejajar, sesuai, selaras. Sinkronisasi yaitu perihal menyinkronkan, menyeratakan dan sama juga dengan kata harmonisasi yaitu upaya mencari keselarasan.

Sinkronisasi hukum adalah penyelarasan dan penyesuaian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang- undangan yang telah ada dan yang akan ada yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar

28Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, Nuansa & Nusamedia, (Bandung, 2006, (selanjutnya ditulis Hans Kelsen III)), hal.140.

29Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, (www.kamus Bahasa Indonesia.0rg,) diunduh 23 Maret 2018.

(43)

substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tertentu secara efisien dan efektif.

Endang Sumiarni berpendapat,30 sinkronisasi adalah dengan melihat kesesuaian atau keselarasan peraturan perundang-undangan secara vertikal berdasarkan sistematisasi hukum positif yaitu antara perundang-undangan yang lebih tinggi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan sering menimbulkan pertentangan mengenai peraturan perundang-undangan yang lebih tepat digunakan untuk kasus tertentu. Oleh karena itu para penegak hukum perlu memperhatikan asas-asas berlakunya peraturan perundang-undangan. Peter Mahmud Marzuki,31 terkait sinkronisasi peraturan perundang-undangan antara peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih rendah, maka peraturan perundang-undangan yang lebih rendah itu harus disisihkan.

Mencari istilah sinkronisasi maka sesungguhnya memiliki makna yaitu upaya untuk merealisasikan keselarasan dan mengatasi perbedaan atau pertentangan hukum demi kesatuan sistem hukum, baik terhadap rancangan

30Endang Sumarni Marzuki, Metodologi Penelitian Hukum dan Statistik, (Yogyakarta, 2013), hal, 5.

31Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 99.

(44)

hukum sedang dibuat (legal drafting) maupun hukum yang telah berlaku (existing legal system). Sinkronisasi hukum sebagai suatu proses dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, mengatasi hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan antar norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga terbentuk peraturan perundang-undangan nasional yang sinkron, dalam arti selaras, serasi, seimbang, terintegrasi dan konsisten serta taat asas. Upaya penyerasian dan penyelarasan substansi hukum seperti peraturan perundang-undangan dilakukan secara vertikal maupun horisontal, singkatnya sinkronisasi adalah upaya yang dilakukan secara sadar untuk mencari keselarasan, keserasian dalam peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk kesatuan hukum. Sinkronisasi yang akan dikaji adalah antara Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dengn Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) Nomor 8 Tahun 2012 yang terkait dengan benyuk Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang dbuat dihadapan Notaris..

2. Konsepsi

Konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori, karena konsepsi merupakan penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam fikiran. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dan kerangka teoritis yang sering kali bersifat abstrak, sehingga

(45)

diperlukan defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.32

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefenisikan bebarapa konsep dasar agar diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :

1) Notaris

Pengertian Notaris berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUJN adalah sebagai berikut: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”.33

2) Akta Otentik

Suatu Akta Otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai- pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.34

Merupakan alat bukti yang sempurna sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ia memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan dalam akta ini, ini berarti mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupa karena dianggap melekatnya pada akta itu sendiri sehingga

32Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hal 33.

33Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

34Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(46)

tidak perlu dibuktikan lagi dan bagi hakim itu merupakan “Bukti wajib/keharusan” (Verplicht Bewijs). Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa akta otentik itu palsu maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu, oleh karena itulah maka akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian baik lahiriah, formil maupun materiil.

3) Autentisitas Akta Notaris

Autentisitas adalah keaslian atau kebenaran.35 Autentisitas dari akta Notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris jo Pasal 1868 KUH perdata, yaitu Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Akta otentik yang dibuat oleh notaris tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat sempurna. Suatu akta notaris dapat dikatakan otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna maka akta tersebut wajib memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yakni akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang- undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat. Notaris selaku pejabat umum yang membuat akta otentik harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku agar akta yang dibuat bersifat otentik. Dalam UUJN diatur mengenai bentuk akta otentik yang wajib ditaati oleh notaris. Bentuk akta notaris tersebut diatur dalam

35Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : PT.

Gramedia Putaka Utama, 2008), hal. 101.

(47)

Pasal 38 UUJN terdiri dari awal akta, kepala akta, badan akta, dan akhir akta atau penutup akta.

PERKABAN No. 8 Tahun 2012 mengatur mengenai tata cara pembuatan akta PPAT yang awalnya menggunakan blanko PPAT dari kantor Badan Pertanahan Nasional menjadi setiap akta PPAT yang dibuat oleh masing-masing PPAT dengan ketentuan bentuk dan format akta yang ditentukan baku oleh Perkaban No. 8/2012. Salah satu bentuk akta PPAT yang diatur dalam Perkaban No. 8/2012 adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Berlakunya Perkaban No. 8/2012 yang menentukan bentuk SKMHT wajib dibuat berdasarkan format dan bentuk akta dalam lampiran Perkaban. Pasal 15 ayat (1) UUHT menyebutkan bahwa SKMHT dapat dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta PPAT.

Ketika notaris akan membuat SKMHT sesuai dengan amanat Pasal 15 ayat (1) tersebut, dimana SKMHT yang diwajibkan bentuk dan tata cara pengisiannya tidak sesuai dengan bentuk akta yang diamanatkan UU Nomor 2/2014 (UUJN) kepada notaris dalam membuat akta notaris. Dalam hal notaris membuat akta tidak sesuai dengan pasal bentuk yang telah ditentukan oleh UUJN, maka akta notaris tersebut akan hanya mempunyai kekuatan pembuktian dibawah tangan atau kehilangan otentisitasnya.

G. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.

(48)

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis, maksudnya penelitian ini berupaya untuk memaparkan dan menganalisis data secara sistematis dengan maksud untuk memberikan data seteliti mungkin tentang segala permasalahan yang ada dengan tujuan memperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis mengandung makna, mengelompokkan, menggabungkan dan membandingkan aspek yang berkaitan dengan masalah secara teori dan praktek.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang digunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan bahan-bahan pustaka dengan meneliti penelitian tehadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum, buku-buku, peraturan perundang- undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.36

Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statute opproach). Pendekatan undang-undangan (statute opproach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.37 Sedangkan pendekatan historis (historicalapproach) dilakukan dengan mengkaji latar

36Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, Malang: UMM Press, hal. 127.

37Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Malang : UMM Press, hal 93.

Referensi

Dokumen terkait

Notaris dan PPAT diberi kewenangan untuk membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) berdasarkan pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Dengan

Fungsi dan kegunaan dari SKMHT sebagai alat untuk mengatasi apabila pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir dihadapan Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan

Pemberian jaminan dengan Hak Tanggungan diberikan melalui Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang didahului dan atau dengan pembuatan Surat Kuasa Membebankan

Dalam tesis ini, isu hukum yang diangkat adalah apakah pencantuman kop Notaris dan pencantuman Surat Keputusan pengangkatan Notaris pada Surat Kuasa Membebankan

Eksistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diingkari debitur adalah janji pengikatan jaminan sebagai pembayaran hutang debitur jika terjadi kredit macet,

Apabila pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) oleh notaris tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu Pasal 1868 KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor 30

Tesis ini berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Kreditur Selama Proses Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Akibat Pemblokiran Sertipikat Tanah”, dengan

a. Terkait pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan atas tanah berdasarkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan atau disingkat dengan SKMHT dalam rangka perjanjian