• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. II. Penyusunan Surat Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Yang Diajukan Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II. II. Penyusunan Surat Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Yang Diajukan Oleh"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

II. Penyusunan Surat Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Yang Diajukan Oleh Jaksa Penuntut Umum.

a. Surat Dakwaan.

1. Pengertian Surat Dakwaan.

Pengertian umum surat dakwaan dalam praktek penegakan hukum adalah:31 a. Surat Akta

b. Memuat perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa

c. Perumusan mana ditarik dan disimpulkan dari hasil pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan unsur delik pasal tindak pidana yang dilanggar dan didakwakan pada terdakwa dan,

d. Surat dakwaan tersebut menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim dalam sidang pengadilan.

Dirumuskan atau di defenisikan sebagai berikut: ” Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan.

31 Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan Ke-8, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2006), hal. 386

(2)

Rumusan pengertian diatas telah disesuaikan dengan jiwa dan ketentuan KUHAP, dengan demikian, pada defenisi itu telah dipergunakan istilah atau sebutan yang berasal dari KUHAP, seperti istilah yang ”didakwakan” dan ”hasil pemeriksaan penyidikan”, sebagai istilah baru yang dibakukan dalam KUHAP untuk menggantikan istilah ”tuduhan” dan yang ”dituduhkan”, dengan demikian, surat dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan surat dakwaan itulah pemeriksaan dipersidangan dilakukan.

Hakim tidak dibenarkan menjatuhkan hukuman diluar batas-batas yang terdapat dalam surat dakwaan, maka oleh sebab itu terdakwa hanya dapat dipidana berdasarkan apa yang terbukti mengenai kejahatan yang dilakukannya menurut rumusan surat dakwaan. Walaupun terdakwa terbukti melakukan tindak pidana dalam pemeriksaan persidangan, tetapi tidak didakwakan dalam surat dakwaan ia tidak dapat dijatuhi hukuman, hakim jadinya akan membebaskan terdakwa.32

Surat dakwaan adalah dasar dari pemeriksaan perkara selanjutnya, baik pemeriksaan dipersidangan pengadilan Negeri maupun pada pemeriksaan tingkat banding dan pemeriksaan kasasi serta pemeriksaan peninjauan kembali, bahkan surat dakwaan merupakan pembatasan tuntutan.

32 Hamzah, A, Dahlan, Irdan, Surat Dakwaan, Cetakan Pertama, (Bandung: Penerbit Alumni, 1987), hal. 18

(3)

Jaksa Penuntut Umum dalam rangka mempersiapkan surat dakwaan, diberikan kewenangan mengadakan prapenuntutan dalam arti melakukan peneltian terhadap berkas perkara yang diterimanya dari penyidik serta memberi petunjuk-petunjuk kepada penyidik, dengan perkataan lain, hasil penyidikan adalah dasar dalam pembuatan dalam surat dakwaan. Rumusan-rumusan dalam surat dakwaan pada hakikatnya tidak lain dari pada hasil penyidikan. Keberhasilan penyidikan sangat menentukan bagi keberhasilan penuntutan.

2. Resume Isi Surat Dakwaan Penuntut Umum Register Perkara Nomor:

PDS-01/JKT.PST/03/2006 Tertanggal 06 Maret 2006, Terdakwa Didakwa Telah Melakukan Tindak Pidana Sebagai Berikut:

DAKWAAN KESATU:

Bahwa ia terdakwa Darianus Lungguk Sitorus, untuk dan atas namanya sendiri dan atau untuk dan atas nama perusahaan miliknya atau perusahaan milik keluarganya yaitu PT.Torganda, dan atau untuk dan atas nama Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan, pada waktu yang tidak dapat ditentukan lagi antara bulan April tahun 1998 sampai dengan tanggal 15 Augustus 1999, bertempat di hutan Negara kawasan hutan produksi Padang Lawasan Kecamatan Simangambat, Kabupaten Tapanuli Selatan atau setidak-tidaknya disuatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Padang Sidempuan, yang berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/003/SK/I/2006, tanggal 05 Januari 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditunjuk untuk memeriksa dan mengadilinya, telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga perbuatan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 1 ayat(1) Sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang No.3 Tahun 1971 jo Pasal 43 A Undang-Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 jo Pasal 64 ayat(1) KUHP.

(4)

Analisis Hukum Dakwaan Kesatu, Jaksa Penuntut Umum semestinya dalam meletakkan posisi terdakwa dalam Surat Dakwaan tersebut pertama sekali Jaksa Penuntut Umum harus menguraikan tentang posisi terdakwa sebagai pemilik Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan atau hanya sebagai anggota dari Koperasi Kelapa Sawit Bukit Harapan, bukan meletakkan kalimat ”atau” dalam menentukan posisi terdakwa.

Kalimat ”atau” yang digunakan Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan posisi terdakwa memiliki makna yang sangat berarti, yang mana maknanya adalah

”pilihan”, sehingga dapat menimbulkan makna bahwasanya Jaksa Penuntut Umum ragu-ragu serta tidak mempunyai kepastian tentang siapa pelaku yang sebenarnya.

Akan tetapi, apabila Jaksa Penuntut Umum ingin mengetahui siapa yang pantas untuk ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana tersebut, maka Jaksa Penuntut Umum tidak memakai kalimat ”atau” serta Jaksa Langsung membuat secara jelas posisi terdakwa sebagai pelaku tindak pidana dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Selain tentang posisi terdakwa, uraian secara cermat tentang duduk perkara tindak pidana tersebut sama sekali tidak terdapat unsur-unsur baik itu dilihat dari segi alat-alat bukti surat yang dikeluarkan oleh pemerintah yang diajukan Jaksa Penuntut Umum ke muka persidangan maupun dari alat-alat bukti lain yang mengarah kepada tindak pidana korupsi. Didalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur dalam BAB IV Pasal 28 Yang menyatakan Bahwa:” Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau

(5)

diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang dilakukan dengan tersangka”, isi dari Pasal 28 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sama sekali tidak peroleh Jaksa Penuntut Umum untuk dapat membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan pertama dan dakwaan kedua, serta pemilihan dari segi bentuk surat dakwaannya, yang mana dalam hal ini, Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan mengunakan surat dakwaan dalam bentuk campuran/gabungan, surat dakwaan campuran/gabungan yang digunakan Jaksa Penuntut Umum sama sekali tidak tepat penggunaannya, melainkan Jaksa Penuntut Umum mengunakan bentuk surat dakwaan alternatif jikalau masih terdapat keragu-raguan dalam mendakwa terdakwa. Alasan Jaksa Penuntut Umum menggunakan Dakwaan dalam bentuk alternatif untuk mendakwa terdakwa disebabkan didalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum lebih mengarah kepada 2(dua) tindak pidana yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana kehutanan, maka dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum dapat memilih perbuatan terdakwa mana yang harus dibuktikan terlebih dahulu, serta surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum terdapat dugaan tindak pidana korupsi maka berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa” Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”, maka oleh karena itu, dengan menggunakan dakwaan alternatif Jaksa Penuntut Umum dengan mudah memilih dugaan tindak pidana korupsi untuk dilakukan penuntutan terlebih dahulu. Penuntutan yang dilakukan

(6)

oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana korupsi diatur didalam Pasal 51 ayat(1), ayat(2), dan ayat (3) Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK)33, akan tetapi terhadap perkara atas nama terdakwa Darianus Lungguk Sitorus yang menjadi penuntut umum adalah Jaksa Penuntut Umum yang tidak dilakukan pengangkatan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, serta apabila dalam perkara pidana atas nama terdakwa Darianus Lungguk Sitorus terdapat dugaan tindak pidana korupsi, walaupun proses penyidikan dari awal dilakukan oleh pihak kepolisian, sampai penuntutan yang dilakukan oleh aparatur kejaksaan.

Pasal 50 ayat(1) Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan bahwa” dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulai penyidikan”34.

33Pasal 51 ayat(1), (2), (3) Undang-Undang No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

34 Pasal 50 ayat(1) Undang-Undang No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

(7)

Kenyataannya penyelesaian perkara pidana ini tidak di beritahukan dan diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diselesaikan menurut ketentuan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 1 ayat(1) Sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak dapat dipergunakan dalam mendakwa terdakwa pada dakwaan pertama, hal ini di sebabkan telah diterbitkan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi sebagai pengganti dari Undang-Undang No.3 Tahun 1971 yang lama sesuai dengan Asas Lex Posterior Legi Anteriori( Undang-undang yang baru dapat mengeyampingkan Undang-undang yang lama).

Pasal 43 A Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana, Pasal 43 A tersebut terdapat dalam Ketentuan Peralihan, serta didalamnya terdiri dari 3(tiga) ayat, akan tetapi, didalam Dakwaan Kesatu Jaksa Penuntut Umum sama sekali tidak masukkan salah satu ayat dari Pasal 43 A tersebut, sehingga Jaksa Penuntut Umum ragu-ragu untuk menentukan ayat dalam Pasal 43 A tersebut.

Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 yang menyatakan

” Pegawai Negeri meliputi:

a. Pegawai Negeri sebagaimana Undang-undang tentang kepegawaian.

b. Pegawai Negeri yang dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah.

(8)

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah, atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.

Menurut Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa :

” Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara.

DAN

DAKWAAN KEDUA

Bahwa ia terdakwa Darianus Lungguk Sitorus, untuk dan atas namanya sendiri dan atau untuk dan atas nama perusahaan miliknya atau perusahaan milik keluarganya yaitu PT.Torganda, dan atau untuk dan atas nama Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan, pada waktu yang tidak dapat ditentukan lagi antara bulan April tahun 1998 sampai dengan tanggal 15 Augustus 1999, bertempat di hutan Negara kawasan hutan produksi Padang Lawasan Kecamatan Simangambat, Kabupaten Tapanuli Selatan atau setidak-tidaknya disuatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Padang Sidempuan, yang berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/003/SK/I/2006, tanggal 05 Januari 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditunjuk untuk memeriksa dan mengadilinya, telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga perbuatan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat(1) jo Pasal 18 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat(1) Ke-1 jo Pasal 64 ayat(1) KUHP.

Analisis Hukum Dakwaan Kedua, Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun

(9)

Pasal 18 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sangat membingungkan serta tidak dapat di mengerti maksud dari kalimat tersebut. Sebab didalam kalimat tersebut terdapat kata ” Sebagaimana diubah dan ditambah dengan”, akibatnya dengan digunakannya kata tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum dalam mendakwa terdakwa akan mengalami suatu kekaburan serta ketidak jelasan makna dari dakwaan itu, akan tetapi, Jaksa Penuntut Umum seharusnya tidak mengunakan kata-kata tersebut, melainkan Jaksa Penuntut Umum mengunakan kata

”atau” berarti ”Pilihan”.

Jaksa Penuntut Umum dalam meletakkan Pasal 2 ayat(1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tidak tepat, karena apabila Jaksa Penuntut Umum ingin meletakan pasal tersebut, maka Jaksa Penuntut Umum pertama sekali harus mengetahui makna yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 setelah itu, Jaksa Penuntut Umum harus mengetahui makna dari Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999, sehingga akibat dari perbuatan Jaksa Penuntut Umum yang kurang teliti serta tidak cermat dalam menguraikan, menyusun pasal dalam dakwaan pertama pada surat dakwaan dapat mengalami pembatalan surat dakwaan karena sudah tidak terpenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a, b KUHAP.

ATAU

DAKWAAN KETIGA

Bahwa ia terdakwa Darianus Lungguk Sitorus, untuk dan atas namanya sendiri dan atau untuk dan atas nama perusahaan miliknya atau perusahaan milik

(10)

keluarganya yaitu PT.Torganda, dan atau untuk dan atas nama Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan pada waktu yang tidak dapat ditentukan lagi antara bulan April tahun 1998 sampai dengan tanggal 15 Augustus 1999, bertempat di hutan Negara kawasan hutan produksi Padang Lawasan Kecamatan Simangambat, Kabupaten Tapanuli Selatan atau setidak-tidaknya disuatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Padang Sidempuan, yang berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/003/SK/I/2006, tanggal 05 Januari 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditunjuk untuk memeriksa dan mengadilinya, telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan sengaja mengerjakan atau menduduki kawasan hutan dan hutan cadangan tanpa ijin Menteri.

Namun terdakwa Darianus Lungguk Sitorus dan Latong S serta Ir.Yonggi Sitorus tetap menduduki/ menguasai dan mengerjakan ( merubah fungsi dan peruntukan) hutan Negara kawasan hutan produksi Padang Lawas menjadi areal perkebunan Kelapa Sawit.

Perbuatan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 6 ayat(1) jo Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1985 jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 jo Pasal 64 ayat(1) jo Pasal 1 ayat (2) KUHP

Analisis Hukum Dakwaan Ketiga, dakwaan ketiga dinyatakan bahwa terdapat lebih dari satu orang yang melakukan menduduki, menguasai dan mengerjakan lahan kawasan hutan tersebut, diantaranya: terdakwa Darianus Lungguk Sitorus dan Latong S serta Ir.Yonggi Sitorus, sedangkan pada dakwaan kesatu, dakwaan kedua yang hanya dijadikan terdakwa adalah Darianus Lungguk Sitorus, maka dalam hal ini, dalam dakwaan ketiga Jaksa Penuntut Umum tidak menjelaskan mengenai kedudukan Latong S dan Ir.Yonggi Sitorus sebagai terdakwa atau kedudukan Latong S dan Ir.Yonggi Sitorus sebagai Pemilik Perusahaan tersebut, menurut Pasal 143 ayat (2) Huruf a tentang Syarat Formil dari suatu dakwaan, kedudukan Latong S dan Ir.Yonggi Sitorus harus dijelaskan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 1 ayat(2) KUHP tersebut tidak tepat dimasukkan kedalam dakwaan ketiga, hal ini disebabkan kedudukan Latong S dan Ir.Yonggi Sitorus dalam dakwaan ketiga tidak jelaskan

(11)

apakah kedua orang ini dikategorikan sebagai pelaku yang maksud dalam Pasal 55 ayat(1) ke-1 jo Pasal 64 ayat(1), melainkan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan ketiga meletakkan kedudukan Latong S dan Ir.Yonggi Sitorus sama dengan kedudukan terdakwa.

Ketentuan Pasal 1 ayat(2) KUHP yang diterapkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan ketiga sama sekali tidak tepat, hal ini disebabkan Peraturan PerUndang-undang yang terapkan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum merupakan peraturan Per-Undang-undangan yang sudah tidak layak digunakan serta peraturan tersebut sudah dilakukan pergantian sesuai dengan asas hukum Lex Posterior Legi Anteriori ( Undang-undang yang baru dapat mengesampingkan

Undang-undang yang lama), maka , Jadi penempatan Pasal 6 ayat(1) jo Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan dapat diterapkan pada 3(tiga) orang terdakwa tersebut diatas, Maka dengan muncul dakwaan ketiga ini sudah sangat jelas menunjukan ketidak cermatan, ketidak jelasan serta ketidak lengkapan Jaksa dalam menyusun dakwaan kesatu dan dakwaan kedua.

DAKWAAN KEEMPAT

Bahwa ia terdakwa Darianus Lungguk Sitorus, untuk dan atas namanya sendiri dan atau untuk dan atas nama perusahaan miliknya atau perusahaan milik keluarganya yaitu PT.Torganda, dan atau untuk dan atas nama Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan pada waktu yang tidak dapat ditentukan lagi antara bulan April tahun 1998 sampai dengan tanggal 15 Augustus 1999, bertempat di hutan Negara kawasan hutan produksi Padang Lawasan Kecamatan Simangambat, Kabupaten Tapanuli Selatan atau setidak-tidaknya disuatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Padang Sidempuan, yang berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/003/SK/I/2006, tanggal 05 Januari 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ditunjuk untuk memeriksa dan

(12)

mengadilinya, telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, dengan sengaja mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah.

Perbuatan terdakwa Darianus Lungguk Sitorus melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat(3) huruf a jo Pasal 78 ayat(2) Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 jo Pasal 64 ayat(1) KUHP.

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Keempat Jaksa Penuntut Umum

Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyatakan: ” Setiap orang dilarang:mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;, penjelasan terhadap Pasal 50 ayat(3) huruf a Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, diantaranya :

a. Mengerjakan :Yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha lainnya.

b. Menggunakan :Yang dimaksud dengan menggunakan kawasan hutan adalah memanfaatkan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk wisata, penggembalaan, perkemahan, atau penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan.

c. Menduduki :Yang dimaksud dengan menduduki kawasan hutan adalah menguasai kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk membangun tempat pemukiman, gedung, dan bangunan lainnya.

Penjelasan atas Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tersebut diatas, diantaranya:35

35 Penjelasan Pasal 50 ayat(3) huruf a Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

(13)

a. Mengerjakan, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya tidak menjelaskan kedudukan terdakwa apakah kedudukan terdakwa sebagai terdakwa atau pemilik dari suatu korporasi tersebut serta dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum juga tidak memaparkan tentang pihak-pihak mana saja yang termasuk kedalam unsur yang mengerjakan, apakah terdakwa yang termasuk kedalam kalimat mengerjakan atau korporasi yang pemiliknya atas nama terdakwa.

b. Menggunakan, dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum hanya dijelaskan bahwa terdakwa telah melakukan suatu perbuatan penggarapan tanah dan/atau perambahan tanah hutan untuk membuat tanaman kelapa sawit tanpa izin bukan menggunakan kawasan hutan sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal tersebut.

c. Menduduki, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dengan jelas menentukan siapa pelaku, apakah terdakwa atau korporasinya.

Dakwaan keempat tidak ada ditemukan bahwa terdakwa telah menduduki hutan dikawasan hutan Negara, akan tetapi, terdakwa dalam dakwaannya hanya melakukan suatu perambahan hutan dikawasan hutan Negara.

Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan, yang mana, Undang-undang kehutanan ini hanya mengatur tentang pelaku yang melakukan kerusakan hutan adalah orang, dan juga badan hukum sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Akan tetapi, didalam isi dakwaan keempat jaksa

(14)

penuntut umum sama sekali tidak menjelaskan secara terang mengenai siapa pelaku dari kerusakan hutan tersebut, apakah pelakunya dalam bentuk orang atau badan hukum. Jikalau dilihat dari isi dakwaan keempat Jaksa Penuntut Umum ini, maka dapat diambil suatu pendapat bahwa Jaksa Penuntut Umum masih terdapat keragu-raguan dalam mendakwa terdakwa, dalam hal ini, dapat dilihat bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan pelaku tindak pidana kehutanan dalam dakwaan keempat dengan menggunakan kalimat ”atau” dalam artian ” Pilihan”

sehingga peletakkan Pasal 50 ayat(3) huruf a Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan agak sulit untuk diterapkan apabila terdapat suatu keragu-raguan.

Seharusnya dalam uraian dakwaan keempat terhadap penentuan pelaku tindak pidana tidak memakai kalimat ”atau”, melainkan langsung ditentukan siapa yang berhak untuk dinyatakan pelakunya sesuai dengan bukti-bukti yang sudah terkumpul. Maka dalam hal ini, terlihat ketidak cermatan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 143 ayat(2) huruf b KUHAP Jaksa Penuntut Umum dalam merumuskan isi dari dakwaan keempat.

3. Tujuan Dari Surat Dakwaan

Tujuan surat dakwaan, dikemukakan oleh A.Karim Nasution sebagai berikut: ” Tujuan utama dari suatu surat tuduhan ialah bahwa Undang-undang ingin melihat ditetapkannya alasan-alasan yang menjadi dasar penuntutan sesuatu peristiwa

(15)

pidana, untuk itu maka sifat-sifat khusus dari suatu tindak pidana yang telah dilakukan itu harus dicantumkan dengan sebaik-baiknya.

Terdakwa harus dipersalahkan karena telah melanggar suatu peraturan hukum pidana, pada suatu saat tertentu dan tempat tertentu, serta dinyatakan pula keadaan- keadaan sewaktu melakukannya”36.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari suatu surat dakwaan itu adalah menetapkan secara konkret atau nyata, tentang orang tertentu yang telah melakukan tindak pidana tertentu pada waktu dan tempat tertentu pula.

Tujuan dan peranan surat dakwaan dalam persidangan sangat penting dan menentukan sehingga menurut Surat Edaran Jaksa Agung RI No.SE- 004/JA/11/1993 tanggal 16 November 1993 surat dakwaan bagi penuntut umum merupakan mahkota baginya yang harus dijaga dan dipertahankan secara mantap karena merupakan dasar dan kemampuan/kemahiran Jaksa Penuntut Umum dalam penyusuanan surat dakwaan37. oleh karena itu, berdasarkan aspek diatas dapatlah disebutkan bahwa surat dakwaan mempunyai 2(dua) dimensi, yaitu:

1. Dimensi positif, bahwa keseluruhan isi surat dakwaan yang terbukti pada persidangan harus dijadikan dasar oleh hakim pada putusannya.

2. Dimensi negatif, bahwa apa yang dapat dibuktikan dalam persidangan harus dapat tercantum pada surat dakwaan

36 A.Karim Nasution dalam bukunya Hamrat Hamid, H, Husein, Harun M, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penuntutan dan Eksekusi, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, (Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 1992), hal.

37 Surat Edaran Jaksa Agung RI No.SE-004/JA/11/1993 Tanggal 16 November 1993

(16)

4. Dasar Hukum Penyusunan Surat Dakwaan

Penyusunan surat dakwaan yang baik, adalah merupakan awal keberhasilan tugas penuntutan, karena surat dakwaan menduduki posisi sentral dalam proses penyelesaian perkara pidana di pengadilan.

Dikatakan menduduki posisi sentral, karena surat dakwaan menjadi dasar dan membatasi ruang lingkup pemeriksaan sidang pengadilan, dasar pembuktian, dasar tuntutan pidana, dan dasar putusan pengadilan (Litis Contestatio) dan dasar dalam melancarkan upaya hukum.

Pentingnya fungsi surat dakwaan dalam proses pidana tesebut, maka penyusunannya menuntut kemampuan teknis profesional dan persiapan yang matang dari penuntut umum. Untuk dapat menyusun suatu surat dakwaan yang baik, diperlukan persiapan-persiapan sebagai berikut:

a. Mempelajari dan meneliti dengan seksama hasil penyidikan, guna mendapat kepastian apakah dari hasil penyidikan tersebut telah tercukupi semua persyaratan guna melakukan penuntutuan. Tindakan tersebut diatur dalam Pasal 139 jo Pasal 140 ayat(1) KUHAP.

b. Secara bulat dan utuh memahami, menguasai materi perkara yang antara lain meliputi:

1. Tindak pidana apa yang terjadi

2. Kapan dan dimana tindak pidana itu dilakukan

3. Bagaimana Modus operandi yang dipergunakan dalam melakukan perbuatan itu.

(17)

4. Alat apa yang dipergunakan, apa yang menjadi sasaran dan apa yang telah terwujud dalam tindak pidana itu

5. Apakah motivasi yang mendorong dilakukannya tindak pidana itu 6. Siapa-siapa yang mengetahui terjadinya tindak pidana itu

7. Benda-benda apa saja yang dapat diajukan sebagai barang bukti

8. Siapa-siapa saja yang dapat dipertanggung jawabkan atas terjadinya tindak pidana tersebut

c. Memahami dan menguasai kelemahan-kelemahan yang melekat pada berkas perkara dan mempersiapkan argumentasi untuk menangkis segala sanggahan, bantahan atau keberatan atau kelemahan itu.

d. Mempelajari aspek hukum pidana(Materil dan Formil) yang terkait dalam penuntutan perkara tersebut, termasuk mempelajari dan meneliti doktrin serta yurisprudensi yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.

e. Mengidentifikasi secara cermat bentuk tindak pidana yang bersangkutan, kemudian menentukan bentuk/sistematik yang tepat dalam penyusunan dakwaan

f. Memperhatikan dan melaksanakan mekanisme penyusunan surat dakwaan yang menganut sistem koreksi berjenjang, antara penuntut umum – Kasi Pidum/Kasi Pidsus dan KAJARI

g. Penyusunan surat dakwaan dilakukan secara cermat, jelas, dan lengkap, baik mengenai syarat formil maupun syarat materil sebagaimana dimaksud Pasal 143 ayat(2) huruf a, b KUHAP.

(18)

h. Perumusan surat dakwaan, agar menggunakan bahasa yang sederhana tetapi efektif.

Mekanisme pembuatan surat dakwaan melalui ketentuan Surat Edaran Jaksa Agung RI No.SE-004/J.A/11/1993 tanggal 16 November 1993 dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum No.B-607/E/11/1993 tanggal 22 November 1993, surat dakwaan hendaknya memperhatikan dan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut:38

1. Persiapan pembuatan surat dakwaan:

1. Penelitian berkas perkara 2. Teknis redaksional

3. Pemilihan bentuk surat dakwaan 4. Matriks surat dakwaan

5. Konsep surat dakwaan 2. Pengetikan surat dakwaan

38 Surat Edaran Jaksa Agung RI No.SE-004/J.A/11/1993 tanggal 16 November 1993

(19)

B. Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari kata latin ” Corruptio” yang kemudian muncul dalam bahasa inggris dan prancis ” Corruption”, dalam bahasa belanda ” Korruptie”, dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi.39 Korupsi secara harfiah berarti ”Jahat” atau ”Busuk”40, sedangkan A.I.N. Kramer ST menerjemahkannya sebagai busuk, rusak atau dapat disuapi41 . Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak, atau suap.

Memperhatikan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 dan Undang-Undang No.20 Tahun 200, maka tindak pidana korupsi itu dapat di lihat dari dua segi yaitu Korupsi aktif dan Korupsi pasif, adapun yang di maksud dengan korupsi aktif adalah sebagai berikut:

1. Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.

39Hamzah, Andi, dalam buku Prinst, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Ke-I, ( Medan, Penerbit: PT.Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1

40M. Echols, Jhon, Shadily, Hassan, dalam buku Prinst, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Ke-I, ( Medan, Penerbit: PT.Citra Aditya Bakti, 2002), hal.1

41Kramer, A.I.N, dalam buku Prinst, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Ke-I, ( Medan, Penerbit: PT.Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1

(20)

2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi

3. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.

4. Percobaan, perbantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.

5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelengara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya berdasarkan Pasal 5 ayat(1) huruf a Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelengara Negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya berdasarkan Pasal 5 ayat(1) huruf b Undang-Undang No.20 Tahun 2001

(21)

7. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili berdasarkan Pasal 6 ayat(1) huruf a Undang-Undang No.20 Tahun 2001

8. Pemborong atau ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan Negara dalam keadaan perang berdasarkan Pasal 7 ayat(1) huruf a Undang-Undang No.20 Tahun 2001

9. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana di maksud dalam huruf a berdasarkan Pasal 7 ayat(1) huruf b Undang-Undang No.20 Tahun 2001

10. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara RI melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan Negara dalam keadaan perang berdasarka Pasal 7 ayat(1) huruf c Undang-Undang No.20 Tahun 2001

11. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara RI dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c berdasarkan Pasal 7 ayat(1) huruf d Undang-Undang No.20 Tahun 2001

12. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan

(22)

karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau di gelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No.20 Tahun 2001

13. Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang No.20 Tahun 2001

14. Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu dengan sengaja, mengelapkan, menghancurka, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akte, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya atau membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akte, surat atau daftar tersebut, atau membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akte, surat atau daftar tersebut berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang No.20 Tahun 2001

15. Pegawai negeri atau penyelengara Negara yang:

1. Berdasarkan Pasal 12 huruf e Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi

(23)

2. Berdasarkan Pasal 12 huruf f Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi

3. Berdasarkan Pasal 12 huruf g Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi

4. Berdasarkan Pasal 12 huruf h Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi

5. Berdasarkan Pasal 12 huruf i Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi

16. Memberi hadiah kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang No.31 Tahun 1999

Sedangkan korupsi pasif adalah sebagai berikut:

a. Pegawai negeri atau penyelengara Negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya berdasarkan Pasal 5 ayat(2) Undang- Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.

(24)

b. Hakim atau advokad yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili berdasarkan Pasal 6 ayat(2) Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi

c. Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan TNI atau POLRI yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c Undang-Undang No.20 Tahun 2001 berdasarkan Pasal 7 ayat(2) Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.

d. Pegawai negeri atau penyelengara negara yang menerima hadiah atau janji pada hal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi

e. Pegawai negeri atau penyelengara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, atau sebagai

(25)

akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau dalam jabatannya yang bertentangannya dengan kewajibannya berdasarkan Pasal 12 huruf a, b Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi

f. Hakim yang menerima hadiah atau janji, pada hal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili berdasarkan Pasal 12 huruf c Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang- Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi g. Advokad yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut

diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili berdasarkan Pasal 12 huruf d Undang- Undang No.20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.

h. Setiap pegawai negeri atau penyelengara negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.

2. Tindak Pidana Korupsi Oleh Korporasi

(26)

Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga dapat dilakukan oleh Korporasi selain dilakukan oleh orang perseorangan.

Adapun yang dimaksud dengan korporasi dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Dalam hal tindak pidana korupsi Pasal 20 ayat(1) dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka tuntutan atau penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Yang dimaksud dengan pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangannya dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi42.

Adapun yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut.

42Lihat Penjelasan Pasal 20 ayat(1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(27)

Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi Pasal 20 ayat(3) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, maka korporasi itu diwakili oleh pengurus dan sesuai dengan Pasal 20 ayat(4) UU No.31 Tahun 1999 tersebut dapat diwakili oleh orang lain. Untuk itu hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri dipengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan sesuai dengan Pasal 20 ayat(5) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.

3. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Dalam Melakukan Penuntutan Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi.

Ruang lingkup tugas dan fungsi lembaga kejaksaan di atur Undang-Undang No.16 Tahun 2004 dan KUHAP. Pada asasnya lembaga kejaksaan dipimpin oleh seorang Jaksa Agung RI dimana dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana Instruksi Presiden RI No.5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan pemberantasan korupsi huruf kesebelas butir ke-9 khusus Jaksa Agung RI di instruksikan, bahwa:43

a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang Negara.

b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum.

43 Instruksi Presiden RI No.5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan pemberantasan korupsi huruf kesebelas butir ke-9

(28)

c. Meningkatkan kerja sama dengan kepolisian Negara RI, Badan Pengawas Keuangan Dan Pembangunan, PPATK, dan institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi.

Lembaga penuntut dalam perkara pidana, berdasarkan ketentuan Pasal 137 KUHAP Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa saja yang di dakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.

Adapun dalam melakukan fungsinya berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP penuntut umum mempunyai wewenang:

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik pembantu.

b. Mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan Pasal 110 ayat(3) dan Ayat(4) dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik.

d. Membuat surat dakwaan

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan.

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.

g. Melakukan penuntutan.

(29)

h. Menutup perkara demi kepentingan umum.

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undang-undang.

j. Melaksanakan penetapan hakim.

Berkaitan dengan wewenang Jaksa Penuntut umum sesuai dengan ketentuan Pasal 137 huruf d KUHAP yaitu membuat surat dakwaan, maka dalam perkara tindak pidana korupsi dikenal 4 macam bentuk surat dakwaan, antara lain:44

1. Dakwaan tunggal 2. Dakwaan kumulatif 3. Dakwaan subsidaritas

4. Dakwaan campuran/gabungan

Menurut doktrin ada satu lagi bentuk surat dakwaan, yaitu dakwaan alternatif.

Akan tetapi, sepanjang pengetahuan, penelitian dan pengamatan penulis untuk tindak pidana korupsi jarang ditemukan bentuk dakwaan alternatif dalam artian yang sebenarnya. Pada praktik ditemukan kekaburan makna dan pencampuran istilah antara dakwaan alternatif dengan dakwaan primer subsidair. Kalau diteliti, ternyata dalam dakwaan alternatif yang sebenarnya, ditemukan kata ”atau” antara dakwaan yang satu dengan berikutnya.

44 Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik Dan Permasalahannya, Cetakan Pertama, (Bandung: Penerbit PT.Alumni, 2007), hal. 196

(30)

Hal ini tidak ditemukan dalam dakwaan primer subsidair. Apabila ditinjau dari aspek pembuktiannya karena dakwaan alternatif sifatnya jenis sehingga Jaksa/Hakim dapat langsung membuktikan dakwaan mana sekiranya berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan yang terbukti. Akan tetapi dalam dakwaan primer subsidair harus dibuktikan terlebih dahulu dakwaan pertama.

Apabila tidak terbukti baru dibuktikan dakwaan berikutnya. Begitupun sebaliknya, apabila dakwaan pertama telah terbukti, dakwaan berikutnya tidak perlu dibuktikan lagi. Hal ini kalau diperbandingkan dengan dakwaan alternatif, sifat tersebut berbeda sehingga menurut persepsi penulis tidak pada tempatnya mengidentifikasikannya dakwaan alternatif dengan dakwaan primer subsidair.

1.1. Dakwaan Tunggal

Bentuk surat dakwaan biasa adalah surat dakwaan yang disusun dalam rumusan tunggal, surat dakwaan hanya berisi satu dakwaan saja. Umumnya perumusan dakwaan tunggal dijumpai dalam tindak pidana yang jelas serta tidak mengandung faktor penyertaan atau faktor concursus maupun faktor alternatif atau faktor subsidair. Baik pelakunya maupun tindak pidana yang dilanggar sedemikian rupa jelas dan sederhana, sehingga surat dakwaan cukup dirumuskan dalam bentuk tunggal. Lazim terjadi dalam praktek apabila Jaksa/Penuntut Umum mempergunakan dakwaan tunggal, Jaksa/Penuntut Umum telah yakin bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakan atau setidaknya terdakwa tidak lepas dari tindak pidana yang didakwakan.Terdakwa didakwa dengan bentuk seperti ini, sebenarnya mengandung resiko besar karena seandainya

(31)

Jaksa Penuntut Umum gagal membuktikan dakwaannya dipersidangan, terdakwa oleh Majelis Hakim jelas akan dibebaskan.

1.2. Dakwaan Kumulatif

Praktik peradilan secara terminologi bentuk dakwaan kumulatif lazim disebut sebagai ”dakwaan berangkat” atau Cumulatieve ten Laste Legging” dan sebagainya.

Dengan titik tolak teoritis, sebenarnya hakikat dakwaan kumulatif diatur dalam ketentuan Pasal 141 Undang-Undang No.08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang ditentukan bahwa penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:45

1. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya.

2. Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain, dan

3. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, tetapi yang satu dengan yang lain ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Pengaturan dakwaan kumulatif ini selain terdapat dalam hukum pidana formal, juga diatur dalam hukum pidana materil sebagaimana tersurat ketentuan BAB VI KUHP tentang gabungan tindak pidana/ pembarengan tindak pidana.

45 Pasal 141 Undang-Undang No.08 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(32)

Konkret bentuk dakwaan kumulatif dibuat penuntut umum apabila dalam satu surat dakwaan ada beberapa tindak pidana yang saling berdiri sendiri dan tidak berhubungan antara tindak pidana yang satu dengan yang lainnya, tetapi didakwakan secara sekaligus, yang penting dalam hal ini bahwa subyek pelaku tindak pidana korupsi adalah terdakwa yang sama.

A.3. Subsidaritas

Surat dakwaan berbentuk subsidaritas adalah bentuk dakwaan yang terdiri dari beberapa dakwaan secara berurutan dari dakwaan tindak pidana yang ancaman pidana terberat sampai dengan dakwaan tindak pidana yang ancaman pidana makin lebih ringan. Penuntut umum membuat surat dakwaan berbentuk subsidair karena beberapa pasal dan/atau ketentuan pidana saling bertitik singgung/saling berdekatan. Maksud penuntut umum adalah agar terdakwa tidak lepas dari pertanggung jawaban pidana terhadap perbuatan/ tindak pidana yang telah dilakukan.46

Sedangkan konsekuensi pembuktiannya maka yang diperiksan terlebih dahulu adalah dakwaan primair dan bila tidak terbukti, baru beralih kepada dakwaan subsidair dan demikian seterusnya.

Akan tetapi, sebaliknya bila dakwaan primair telah terbukti dakwaan subsidairnya dan seterusnya tidak perlu dibuktikan lagi.

46 Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua Di Kejaksaan Dan Pengadilan NegeriUpaya Hukum dan Eksekusi Edisi Pertama ”, Cetakan Pertama, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1992), hal. 331

(33)

Konkretnya, dakwaan subsidairitas, teoritisnya disusun berlapis-lapis dari urutan terberat sampai teringan, bagaimana halnya apabila aspek ini dilanggar penuntut umum? Terhadap aspek tersebut M.Yahya Harahap secara tegas berpendapat bahwa:47 ” Jawaban atas pertanyaan tersebut, bergantung kepada pendekatan yang dilakukan.

Pendekatan bersifat Formalistic Legal Thinking secara sempit dan ekstrim, pelanggaran atas prinsip tersebut:

• Dianggap melanggar hukum acara yang tidak bisa ditolelir, karena berakibat menyulitkan terdakwa membela kepentingan dirinya.

• Karena pelanggaran itu bersifat Undue Proces berarti pemeriksaan berada dalam keadaan Unfairtrial dan sekaligus mengandung pelanggaran Hak Azasi terdakwa untuk memperoleh Fair trial

Asas Pasal 4 ayat(1),(2) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman: ”Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan(asas ini pada saat sekarang dianut secara luas disemua Negara dengan rumusannya: Informal procedure and can be put in motion quikly).

47 Harahap, M.Yahya, dalam Buku Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahannya, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, (Bandung: Penerbit PT.Alumni, 2007), hal. 200

(34)

Pelanggaran atau kekeliruan dimaksud dapat dianggap sebagai Clerical Error (kesalahan pengetikan) atau Procedural Error(kesalahan prosedur) yang dapat diluruskan dengan jalan:

• Hakim dalam persidangan mengubah susunan dakwaan sesuai dengan prinsip yang digariskan.

• Hal itu dapat dilakukan dengan cara mencatat dalam berita acara serta menjelaskan dalam pertimbangannya

Hakim yang bersikap sempit menghadapi pelanggaran yang sepele ini, dianggap naif dan agak arogan dan kurang profesional dan tidak memiliki daya improvisasi.

Sebab seandainya pun terjadi susunan urutan yang menempatkan dakwaan yang lebih ringan ancaman pidananya sebagai primair, hakim dalam kedudukannya yang aktif memimpin jalannya persidangan dapat mengarahkan pemeriksaan mulai dari yang lebih berat ancaman pidananya. Oleh karena itu, tidak rasional, tidak realistis dan tidak objektif untuk menyatakan dakwaan kabur serta membingungkan terdakwa membela kepentingannya.

A.4. Dakwaan Campuran/Gabungan

Bentuk dakwaan ini merupakan gabungan antara bentuk kumulatif dengan dakwaan alternatif ataupun dakwaan subsidiair.Ada dua perbuatan, jaksa ragu-ragu mengenai perbuatan tersebut dilakukan. Biasanya dakwaan ini digunakan dalam perkara narkotika.

Bentuk dakwaan kombinasi ini bertumbuh dalam praktek yang merupakan:

a. Gabungan bentuk dakwaan kumulatif dengan alternatif, atau

(35)

Surat dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum dengan perkara Nomor:PDS-01/JKT-PST/03/2006 tertanggal 06 Maret 2006, apabila Jaksa Penuntut Umum terdapat keragu-raguan dalam mendakwa terdakwa, maka Jaksa Penuntut Umum dalam mendakwa terdakwa seharusnya menggunakan surat dakwaan dalam bentuk alternatif.

Jaksa Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan tindak pidana korupsi harus berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat(2) KUHAP menentukan bahwa: ” Penuntut umum memuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi:

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin dan kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.

b. Uraian secara cermat, Jelas dan lengkap mengenai tindakan pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Ketentuan Pasal 143 ayat(2) KUHAP sebagaimana tersebut diatas, maka menurut pandangan doktrina ilmu hukum acara pidana syarat-syarat tersebut dapatlah di bagi menjadi:

1. Syarat formil

Syarat formil memuat hal-hal yang berhubungan dengan:

• Surat dakwaan diberi tanggal dan ditanda tangani oleh penuntut umum.

• Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, dan kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.

2. Syarat materil

Syarat materil memuat dua unsur yang tidak boleh dilalaikan:

a. Uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan

(36)

b. .Dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan

Setiap surat dakwaan mengandung 2(dua) syarat, yakni syarat formal dan syarat materil, kedua syarat ini harus dipenuhi oleh surat dakwaan. Akan tetapi, nyatanya diantara kedua syarat tersebut Undang-undang sendiri membedakan.

Perbedaan diantara kedua syarat ini dapat kita lihat dari bunyi ketentuan Pasal 143 ayat(3) yang menegaskan: surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) huruf b, batal demi hukum. Meneliti bunyi penegasan ketentuan Pasal 143 ayat(3) tersebut dapat kita tarik kesimpulan:48

1. Kekurangan atas syarat formil, tidak menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum. Hal ini berarti, kekurangan atau kesalahan mengenai isi syarat formil surat dakwaan:

• Tidak dengan sendirinya batal menurut hukum, pembatalan surat dakwaan yang diakibatkan kekurang sempurnaan syarat formil, ”dapat dibatalkan”.

jika tidak batal demi hukum tapi dapat dibatalkan, karena sifat kekurang sempurnaan pencantuman syarat formil dianggap sebagai yang bernilai

”Kurang sempurna”

• Bahkan menurut hemat kami, kesalahan syarat formil tidak prinsipil sekali.

Misalnya hanya kesalahan penyebutan umur saja, tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan surat dakwaan. Kesalahan atau

• ketidak sempurnaan syarat formil dapat dibetulkan hakim dalam putusan.

48

(37)

Sebab pembetulan syarat-syarat formil surat dakwaan, pada pokoknya tidak menimbulkan sesuatu akibat hukum yang dapat merugikan terdakwa.

b. Kekurangan syarat materil, mengakibatkan batalnya surat dakwaan demi hukum. Jelas kita lihat perbedaan diantara kedua syarat tersebut. Pada syarat formil, kekurangan dan kesilapan memenuhi syarat tersebut tidak mengakibatkan batalnya surat dakwaan demi hukum, akan tetapi masih dapat dibetulkan. Sedang pada syarat materil, apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, surat dakwaan batal demi hukum.

Ancaman batal demi hukum bagi dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat(2) huruf b, dakwaan ”batal demi hukum” berarti:

- Dakwaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

- Dakwaan tersebut dianggap tidak pernah ada.

Dakwaan tidak berkekuatan hukum dan dianggap tidak pernah ada, maka keadaan perkara kembali ke status semua yakni status sebagaimana semula dalam keadaan belum dilimpahkan. Dengan demikian penuntut umum jika hendak melimpahkan lagi maka surat dakwaan diperbaiki atau penuntut umum mengajukan upaya hukum banding.

Rumusan mengenai surat dakwaan sebagaimana dicantumkan pada Pasal 143 ayat(2) huruf b KUHAP, sesungguhnya tidak tepat karena yang dicantumkan dalam pasal tersebut adalah ” Tindak Pidana Yang Didakwakan”. Dengan demikian, yang diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap adalah mengenai tindak pidana yang didakwakan, bukan mengenai perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Rumusan-

(38)

rumusan dalam hukum pidana adalah ” Perbuatan” yang dilakukan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 KUHP.

Ketentuan Pasal 1 ayat(1) KUHP yang berbunyi: ” Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam Undang-undang, yang terdahulu dari perbuatan itu”49

Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat(1) KUHP, maka dapat diketahui bahwa hukum pidana materil memuat perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman. Dengan demikian, hukum pidana materil berkenaan dengan ”Perbuatan”.

Berbeda halnya dengan syarat surat dakwaan yang berdasarkan R.I.B, syarat tuduhan menurut Undang-undang terdiri dari 2(dua) syarat:50

1. Syarat formil 2. Syarat materil

A.1. Syarat Formil,

Syarat formil terdapat unsur-unsur mengenai nama, umur, tanggal, tempat lahir, pekerjaan, dan tempat tinggal terdakwa.

B.2. Syarat Materil

Syarat materil suatu tuduhan ditentukan dalam Pasal 250 R.I.B sebagai berikut : harus dinyatakan :

a. Perbuatan-perbuatan yang dituduhkan.

b. Waktu dan tempat perbuatan itu kira-kira dilakukan.

49 Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

50 Nasution, A.Karim, Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana, (Jakarta: Muda Pati Adhyaksa, Kepala Direktorat Khusus Bidang Operasi Kejaksaan Agung RI, 1972),hal. 79

(39)

c. Keterangan-keterangan mengenai keadaan-keadaan terutama yang dapat memberatkan atau meringankan kesalahan tertuduh.

Syarat-syarat yang tersebut dalam a dan b jika tidak dipenuhi diancam dengan pembatalan, sedang syarat-syarat dalam c tidak diancam pembatalan.

Menurut Pasal 282 R.I.B, selama persidangan berjalan, hakim (sekarang Jaksa) dapat melakukan perubahan pada surat tuduhan dalam batas-batas tertentu.

Sebenarnya dengan kemungkinan merubah tersebut ancaman pembatalan dalam syarat a dan b diatas telah berkurang artinya.

Memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan Undang-undang diatas, sepintas lalu nampaknya tidak begitu sulit untuk menyusun suatu tuduhan, namun dengan demikian dengan mempelajari yurisprudensi, akhirnya akan ternyata bahwa sungguh-sungguh tidak mudah untuk membuat suatu surat tuduhan yang baik.

Pengalaman menunjukan bahwa masih sering terjadi pembuatan surat tuduhan yang kurang sempurna, sejarah pertumbuhannya juga dapat disimpulkan bahwa penyusunannya bukan dianggap suatu pekerjaan yang mudah. Sejak lahirnya surat tuduhan dalam tahun 1885, yang ditugaskan membuatnya adalah Ketua Pengadilan (Hakim).

Diketahui bahwa R.I.B yang merubah IR yang ditujukan pada pembentukan Lembaga Penuntut Umum yang berdiri sendiri, masih juga belum memikirkan untuk memberi wewenang kepada Jaksa untuk membuat surat tuduhan.

Oleh sebab itu, samapai kita mengalami sedemikian lama keadaan yang sangat janggal dimana hakim yang ditugaskan membuat surat tuduhan, yang sebenarnya

(40)

tidak sesuai sama sekali dengan sistem accusatoir dari pemeriksaan perkara dipengadilan

4. Bentuk-Bentuk Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi

Bentuk kerugian Negara dalam perkara tindak pidana atas nama terdakwa Darianus Lungguk Sitorus, adalah:

1. Kerugian atas hilangnya tegakan besarnya antara USD 1655,36 per Ha hingga USD 1795,32 per Ha atau Rp.16.553.600 per Ha hingga Rp.17.953.200 per Ha.

2. Kehilangan perolehan PSDH dan DR besarnya antara Rp.3.967.668 per Ha hingga Rp.4.225.176 per Ha

3. Kerugian rehabilitasi yang didekati dengan standar biaya rehabilitasi lahan sebesar Rp.4.500.000 per Ha

4. Kerugian atas tanah/lahan yang dikuasai oleh pihak lain dengan perkiraan harga tanah di padang lawas adalah Rp.7.500.000 per Ha.

Bentuk kerugian Negara akibat perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa atas nama Darianus Lungguk Sitorus tersebut diatas, yang mana dalam hal ini, terdakwa sama sekali telah melalaikan kewajibannya dalam membuka lahan hutan dengan maksud untuk merubah fungsi lahan hutan, maka dalam hal ini, atas dasar kerugian Negara tersebut Jaksa Penuntut Umum dalam menetapkan terdakwa kedalam dugaan perkara tindak pidana korupsi adalah tidak sesuai dengan kenyataannya, walaupun, secara tidak langsung akibat perbuatan terdakwa yang mengalih fungsikan lahan hutan menimbulkan kerugian Negara, akan tetapi, untuk membuktikan perbuatan terdakwa harus didasarkan kepada pembuktian yang

(41)

berdasarkan kepada hukum acara pidana yang berlaku yakni Pasal 184 ayat(1)KUHAP yang menyatakan, antara lain:

Alat bukti yang sah ialah: Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan terdakwa. Proses pembuktian hakikatnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materil akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Pada proses pembuktian ini, adanya korelasi dan interaksi mengenai apa yang akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materil melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek sebagai berikut:

a. Perbuatan-perbuatan mana kah yang dapat dianggap terbukti.

b. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya.

c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu.

d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.

Hakikat dan dimensi mengenai pembuktian ini selain berorientasi kepada pengadilan juga dapat berguna dan penting dalam kehidupan sehari-hari maupun kepentingan lembaga penelitian bahwa kekhususan peranan pembuktian untuk pengadilan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti dibidang hukum pidana, antara lain apakah kelakuan dan hal ikhwal yang terjadi itu memenuhi kualifikasi perbuatan pidana atau tidak.

(42)

b. Berkaitan dengan kenyataan yang dapat menjadi perkara pidana, antara lain apakah korban yang dibahayakan dan apakah kejadian itu diperbuat oleh manusia atau bukan alam.

c. Diselenggarakan melalui peraturan hukum acara pidana, antara lain ditentukan yang berwenang memeriksa fakta harus dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim, dan petugas lain menurut tata cara yang diatur dalam Undang-undang.

Ketentuan normatif Pasal 183 KUHAP tersebut merupakan asas pembuktian Undang-undang secara negatif, akan tetapi asas pembuktian Undang-undang secara negatif ini berbanding terbalik jikalau dilakukan oleh terdakwa yang dikategorisasikan terhadap perkara-perkara tertentu seperti tindak pidana korupsi menganut asas pembuktian terbalik.

Alat bukti yang terdapat didalam ketentuan Pasal 184 KUHAP tersebut masih tetap berlaku dalam menangani perkara tindak pidana korupsi, akan tetapi, terdapat alat bukti tambahan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam menanggani perkara tindak pidana korupsi .

Berdasarkan Pasal 26 A huruf a, b Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan:51

a. Alat bukti yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik, atau yang serupa dengan itu.

51 Pasal 26 A Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

(43)

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau, tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Khususnya terhadap perkara pidana atas nama terdakwa Darianus Lungguk Sitorus ini, Jaksa penuntut umum hanya memaparkan mengenai akibat perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaannya, tetapi, disisi lain, Jaksa penuntut umum dari segi pembuktiannya tidak meletakkan bukti-bukti dokumen sebagaimana di atur dalam Pasal 26A huruf b Undang-Undang No.20 Tahun yang kuat yang menyatakan bahwa terdakwa benar melakukan perbuatan tindak pidana korupsi.

Pembahasan tentang adanya kerugian Negara akibat perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat(1) Undang-Undang No.1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam pasal tersebut terdapat kalimat ” Melawan hukum, perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”. Sedangkan yang di maksud dengan ”Merugikan” adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur ” Merugikan Keuangan Negara” adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan Negara atau berkurangnya keuangan Negara.

(44)

Adapun yang dimaksud dengan Keuangan Negara, didalam penjelasan umum Undang-Undang No.31 Tahun 1999 disebutkan bahwa keuangan Negara adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apa pun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:52

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik tingkat pusat maupun di daerah.

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Dengan tetap berpegangan pada arti kata ” Merugikan” yang sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, maka apa yang dimaksud dengan unsur ” Merugikan Perekonomian” Negara adalah sama artinya dengan perekonomian Negara menjadi rugi atau perekonomian Negara menjadi kurang berjalan.

52 Wiyono, R, Pembahasan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Cetakan Ke dua (Jakarta:Penerbit Sinar Grafika, 2009),hal. 41

(45)

Penjelasan umum Undang-Undang No.31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Ditinjau dari sudut pengertian dalam ilmu hukum, apa yang dimaksud dengan ” Perekonomian Negara” seperti yang disebutkan di dalam penjelasan umum Undang- Undang No.31 Tahun 1999 adalah sangat kabur. Akibatnya sangat sulit untuk menentukan apa yang dimaksud dengan unsur ” Merugikan perekonomian Negara”

di dalam perumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat(1) Undang-Undang No.31 Tahun 1999. Dengan demikian, untuk dapat membuktikan adanya unsur merugikan ”Keuangan Negara” tidak terlalu sulit, karena apa yang di maksud dengan ” Keuangan Negara” pengertiannya sudah jelas, tetapi sebaliknya untuk dapat membuktikan adanya unsur ” Merugikan perekonomian Negara” sangat sulit. Oleh karena itu, bentuk-bentuk kerugian Negara dalam dugaan tindak pidana korupsi yang di tuangkan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat dijadikan sebagai pembuktian bahwa terdakwa telah terindikasi melakukan dugaan tindak pidana korupsi. Disamping itu, Jaksa Penuntut Umum dalam tidak menguraikan alat-alat bukti secara lengkap yang sesuai dengan Pasal 26A Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

(46)

Korupsi, melainkan Jaksa Penuntut Umum hanya melakukan suatu rekayasa alat bukti terhadap dakwaan tindak pidana korupsi, serta dalam hal ini dalam Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa antara tindak tindak pidana kehutanan dengan tindak pidana korupsi sama sekali tidak memiliki hubungan yang erat serta didalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan sama sekali tidak mengatur hubungannya dengan tindak pidana korupsi

Referensi

Dokumen terkait

Website ini berfungsi untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran dan kegiatan lain serta situasi dan kondisi di sekolah tersebut kepada para orang

Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, bahwa setiap penyelenggara pelayanan publik, baik yang memberikan pelayanan

(2) Tukang Gigi yang telah mendapatkan Izin Tukang Gigi sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, wajib mendaftarkan diri kembali kepada pemerintah daerah kabupaten/kota atau

Selesaikan masalah tersebut dengan algoritma genetika sampai satu generasi jika diketahui berat dan nilai (keuntungan) pada masing-masing kendaraan seperti pada tabel

Shopping Mall yang akan dibangun merupakan sarana pusat perbelanjaan dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan akan fasilitas perbelanjaan dengan skala pelayanan

Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Jilid 2, Edisi Bahasa Indonesia. Alih bahasa, Hadyana Pujaatmaka, penyunting,

Pada penelitian ini digunakan Analisis Faktor untuk mengetahui apa saja faktor-faktor dominan yang mempengaruhi tingkat kriminalitas di kotamadya Binjai

[r]