BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Deskripsi Lokasi Penelitian
1. Kondisi Geografis Kota Surakarta
Kota Surakarta terletak di antara 110 45’ 15” dan 1100 45’ 35” Bujur Timur dan antara 70 36’ dan 70 56’ Lintang Selatan. Kota Surakarta terletak sekitar 65 km timur laut Yogyakarta dan 100 km tenggara dari Kota Semarang.
Gambar 4.1 Peta Kota Surakarta Sumber : id.wikipedia.org
Kota Surakarta merupakan kota yang memiliki letak strategis yang menjadi pilar penghubung kota-kota di Jawa Timur dengan provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta dan kota- kota di provinsi Jawa Tengah baik dari jalur pantai utara maupun pantai selatan. Letak kota Surakarta yang strategis tersebut dijadikan sebagai jalur perdagangan yang banyak didirikan industri di sekitarnya. Kota Surakarta merupakan commit to user
salah satu kota besar di Jawa Tengah yang menjadi penunjang kota-kota lainnya seperti Semarang maupun Yogyakarta.
Wilayah Kota Surakarta atau lebih dikenal dengan
“Kota Sala” merupakan dataran rendah dengan ketinggian ± 92 meter dari permukaan laut, batas kota Surakarta antara lain:
a) Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali;
b) Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar;
c) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo;
d) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo.
Luas wilayah kota Surakarta mencapai 44,04 km2 yang terbagi dalam 5 kecamatan dan 54 kelurahan meliputi :
1. Kecamatan Laweyan, terdiri dari 11 kelurahan dengan luas wilayah sebesar 8,64 km2 meliputi Kelurahan Pajang, Laweyan, Bumi, Panularan, Penumping, Sriwedari, Purwosari, Sondakan, Kerten, Jajar, dan Karangasem.
2. Kecamatan Serengan, terdiri dari 7 kelurahan dengan luas wilayah 3,19 km2 meliputi Kelurahan Danukusuman, Serengan, Tipes, Kratonan, Jayengan, dan Kemlayan.
3. Kecamatan Pasar Kliwon terdiri dari 10 kelurahan dengan luas wilayah 4,82 km2 meliputi Kelurahan Joyosuran, Semanggi, Pasar Kliwon, Gajahan, Baluwarti, Kampung Baru, Kedung Lumbu, Sangkrah, Mojo, dan Kauman.
4. Kecamatan Jebres terdiri dari 11 kelurahan dengan luas wilayah 12,58 km2 meliputi Kelurahan Kepatihan Kulon, Kepatihan Wetan, Sudiroprajan, Gandekan, commit to user
Kampong Sewu, Pucang Sawit, Jagalan, Purwodiningratan, Tegalharjo, Jebres, dan Mojosongo.
5. Kecamatan Banjarsari terdiri dari 15 kelurahan dengan luas wilayah 14,81 km2 meliputi Kelurahan Kadipiro, Nusukan, Gilingan, Stabelan, Kestalan, Keprabon, Timuran, Ketelan, Punggawan, Mangkubumen, Manahan, Sumber, Banyuanyar, Banjarsari, dan Punggawan.
Tabel 4.1
Luas Wilayah Surakarta per Kecamatan
No Kecamatan Luas Wilayah
1. Laweyan 8,64
2. Serengan 3,19
3. Pasar Kliwon 4,82
4. Jebres 12,58
5. Banjarsari 14,81
Jumlah 44,04
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Surakarta (Surakarta dalam angka 2020)
Kota Surakarta terdiri dari 5 Kecamatan, 54 Kelurahan, 626 RW dengan jumlah RT sebanyak 2.784. Jumlah RW terbesar terdapat di Kecamatan Banjarsari sebanyak 195 dengan jumlah RT sebanyak 929. Jumlah RW dan RT yang paling kecil adalah Kecamatan Serengan yang hanya sebesar 72 RW dan 312 RT.
commit to user
Tabel 4.2
Jumlah Wilayah Administrasi Kota Surakarta 2020 Wilayah Administrasi Jumlah
Kecamatan 5
Kelurahan 54
Rukun Warga 626
Rukun Tetangga 2.784
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Surakarta (Surakarta dalam angka 2020)
2. Kondisi Demografis
Kota Surakarta dengan luas wilayah 44,04 km2 didiami oleh penduduk sebanyak 517.887 jiwa, terdiri dari 251.772 laki-laki dan 266.115 jiwa perempuan. Penduduk ini tersebar di lima kecamatan yaitu Kecamatan Laweyan, Kecamatan Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Jebres, dan Kecamatan Banjarsari.
Tabel 4.3
Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Kota Surakarta Tahun 2020
Kecamatan Laki-Laki Perempuan L+P
n (jiwa) % n (jiwa) % n (jiwa) %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Laweyan 43.296 17,20 45.958 17,27 89.254 17,23 Serengan 21.848 8,67 23.427 8,80 45.275 8,74 Pasar Kliwon 37.994 15,10 39.033 14,67 77.027 14,88
Jebres 69.167 27,47 74.013 27,82 143.180 27,64 Banjarsari 79.467 31,56 83.684 31,44 163.151 31,51 Jumlah 251.772 100,00 266.115 100,00 517.887 100,00
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Surakarta (Surakarta dalam angka 2020)
commit to user
Dari tabel terlihat bahwa jumlah penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Banjarsari yaitu 163.151 (31,51%), sedangkan Kecamatan Serengan memiliki jumlah penduduk terkecil yaitu 45.275 jiwa (8,74%). Jika diperhatikn menurut jenis kelamin Nampak bahwa penduduk laki-laki lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Kota Surakarta tergolong kota yang padat, hal ini dapat dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini Kepadatan penduduk di Kota Surakarta dengan luas 44,04 km2 dan didiami oleh 517.887 jiwa atau sama dengan kepadatan sebesar 11.759 jiwa/km2. Dengan kata lain rata-rata setiap km2 Kota Surakarta didiami sebanyak 11.759 jiwa.
Tabel 4.4
Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk Kota Surakarta Tahun 2020
Kecamatan Jumlah Penduduk
n (jiwa)
Luas Wilayah
(Km2)
Kepadatan Penduduk
(1) (2) (3) (4)
Laweyan 89.547 8,64 10.364,24
Serengan 45.424 3,19 14.239,50
Pasar Kliwon
77.280 4,82 16.033,20
Jebres 143.650 12,58 11.418,92
Banjarsari 163.686 14,81 11.052,40
Total 519.587 44,04 11.798,07
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Surakarta (Surakarta dalam angka 2020)
Jika dilihat dari persebaran di setiap kecamatan Nampak bahwa Kecamatan Pasar Kliwon merupakan wilayah terpadat dengan kepadatan sebesar 16.033,20 jiwa/kmcommit to user 2, diikuti
oleh Kecamatan Serengan 14.239,50 jiwa/km2, Kecamatan Jebres sebesar 11.418,92 jiwa/km2, Kecamatan Banjarsari sebesar 11.052,40 jiwa/km2 , sedangkan wilayah dengan kepadatan terendah di Kecamatan Laweyan yaitu 10.364,24 jiwa/km2.
Pertumbuhan penduduk merupakan angka yang menggambarkan penambahan penduduk yang dipengaruhi oleh pertumbuhan alamiah maupun migrasi penduduk. Angka pertumbuhan penduduk dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah dan struktur penduduk beberapa tahun kedepan. Apabila yang dihitung hanya berjarak satu tahun maka disebut dengan angka pertambahan penduduk. Data penduduk tahun 2019 yang digunakan adalah data bulan Desember 2019 sedangkan data penduduk tahun 2020 menggunakan data bulan Desember 2020. Pertumbuhan penduduk yang dihitung merupakan pertambahan penduduk dalam kurun waktu satu tahun.
Tabel 4.5
Angka Penambahan Penduduk Kota Surakarta Tahun 2020
Kecamatan Pddk Tahun 2019 Pddk Tahun 2020 Ang.
Pertambah Pddk
n (jiwa) % n (jiwa) %
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Laweyan 89.254 17,23 89.547 17,23 293
Serengan 45.275 8,74 45.424 8,74 149
Ps. Kliwon 77.027 14,88 77.280 14,88 253
Jebres 143.180 27,64 143.650 27,64 470
Banjarsari 163.151 31,51 163.686 31,51 535
Total 517.887 100 519.587 100 1700
Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta Tahun 2020
commit to user
Angka pertumbuhan penduduk Kota Surakarta termasuk tinggi. Angka pertumbuhan penduduk ini dihitung berdasarkan data hasil SIAK. Apabila pertumbuhan penduduk tidak terkendali, maka implikasi dari hal tersebut adalah munculnya berbagai masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pertumbuhan daerah kumuh, kriminalitas dan lain sebagainya. Jika dilihat menurut kecamatan, pertumbuhan penduduk tertinggi di Kecamatan Banjarsari yaitu 31,51%, diikuti oleh Kecamatan Jebres yaitu 27,64%, Kecamatan Laweyan yaitu 17,23%, Kecamatan Pasar Kliwon yaitu 14,88%.
Sedangkan Kecamatan Serengan angka pertambahan penduduknya paling kecil yaitu 8,74%. Pertumbuhan penduduk Kota Surakarta yang tinggi diduga bukan disebabkan oleh tingkat kelahiran yang cukup tinggi saja, tetapi juga disebabkan faktor migrasi masuk. Dengan adanya program e-KTP, penduduk perbatasan yang tercatat tidak domisili memilih untuk menjadi penduduk Kota Surakarta karena adanya fasilitas sosial dari pemerintah Kota Surakarta seperti jaminan kesehatan (PMKS) dan bantuan pendidikan (BPMKS).
2. Profil Keluarga Informan
Keluarga merupakan salah satu lingkungan yang memiliki hubungan kekerabatan yang melekat serta memiliki nilai-nilai sosial yang dianut. Melalui keluarga, kita mulai mengenal kebiasaan, aturan, dan semua hal yang berkaitan dengan hubungan bermasyarakat. Keluarga merupakan tempat kita bersosialisasi awal dan menjadi dasar bagi internalisasi nilai-nilai di masyarakat.
Namun terkadang apa yang kita pikirkan tentang keluarga memiliki perbedaan pada kenyataannya. Keluarga commit to user
harusnya menjadi benteng bagi segala hal yang dapat merusak moral serta akhlak seseorang terutama bagi anak yang masih rentan terhadap semua hal yang masuk ke dalam pikirannya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat ketidaksesuaian dengan pengoptimalisasian fungsi keluarga.
Keluarga yang seharusnya memberikan perlindungan dan kasih sayang satu sama lain sebagai anggota keluarga malah justru melakukan dan mengalami tindak kekerasan di dalam rumah tangga.
Secara umum, terjadinya tindak kekerasan memiliki keterkaitan dengan kondisi yang tidak seimbang baik itu menyangkut kondisi internal keluarga maupun kondisi eksternal yang dapat mendorong terjadinya tindak kekerasan.
Assegaf memberikan penjelasan bahwa unsur kondisi yang berada di luar kasus juga tidak bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan dalam rumah tangga secara langsung, namun unsur kondisi dapat mendorong terjadinya suatu tinda kekerasan oleh orang tua terhadap anggota keluarga yaitu anak. Berikut profil keluarga informan :
1. Keluarga Ibu MY
Ibu MY berusia 30 tahun. Pekerjaan sehari- harinya saat ini adalah seorang pedagang keliling.
Pendidikan terakhir Ibu MY adalah tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Latar belakang agama keluarga Ibu MY adalah beragama Islam. Ibu MY menikah dengan Bapak RZ pada tahun 2004.
Sedangkan pekerjaan Bapak RZ adalah supir. Ibu MY dan Bapak RZ dikaruniai (1) orang anak, yang bernama RA (13 tahun).
Kehadiran RA tidak pernah diinginkan oleh keluarga karena pada saat itu perekonomian keluarga commit to user
sedang sulit bahkan sampai tidak bisa membayar kontrakan. Sejak saat itu Bapak RZ sering memukul Ibu MY karena tekanan ekonomi yang sedang sulit dan terpaksa bekerja dengan giat agar bisa membiayai proses kelahiran RA.
Luka-luka yang dirasakan Ibu MY sudah mati rasa karena sudah terbiasa. Sampai akhirnya RA lahir, Bapak RZ masih memukul Ibu MY kadang dengan sapu atau barang-barang yang ada disekitar rumah. Ibu MY pun sempat ingin membuang RA karena dianggap kesialan dalam keluarga. Namun, dari pihak keluarga menolaknya dan membesarkan RA dengan sukarela.
Sampai RA besar pun, Ibu MY masih sering memukul RA jika sedang kesal dan mengingat kejadian dulu.
Kondisi RA sekarang sudah mulai membaik mengingat sekarang perekonomian keluarga sudah membaik.
2. Keluarga Ibu SM
Ibu SM berusia 28 Tahun. Pendidikan terakhir Ibu SM adalah tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Pekerjaan Ibu SM adalah sebagai buruh di salah satu pabrik. Ibu SM menikah dengan Bapak AB pada tahun 2007. Sedangkan pekerjaan Bapak AB sebagai pekerja di salah satu bengkel. Latar belakang agama keluarga Ibu SM adalah beragama Islam.
Hasil pernikahan Ibu Sumiati dan Bapak Abdul dikaruniai dua (2) orang anak. Mereka adalah ST yang masih berusia tujuh (7) tahun dan RI dua (2) tahun. SI sedang menempuh pendidikan SD (Sekolah Dasar) dan RI belum sekolah. Pernikahan Ibu SM dan Bapak AB tidak mendapat restu dari keluarga Ibu SM, dan setelah
commit to user
menikah mereka menyewa rumah. Keterbatasan ekonomi menjadi pemicu utama masalah keluarga.
Kerap kali omongan kotor dan perilaku tidak senonoh dilakukan oleh Bapak AB ketika sedang emosi di depan anak-anaknya. Anak-anak pun juga mengalami hal tersebut dari kedua orang tuanya. Hal ini mengakibatkan SI dan RI menjadi anak yang tertutup dengan orang lain dan bertindak semaunya sendiri di dalam keluarga seperti kabur dari rumah dan melakukan hal yang sama yaitu melakukan perbuatan yang kasar kepada teman-temannya.
3. Keluarga Ibu SH
Ibu SH berusia 37 Tahun. Pendidikan terakhir Ibu SH adalah SMA (Sekolah Menengah Atas).
Pekerjaan sehari – hari Ibu SH adalah sebagai penjahit.
Bapak SY menikah dengan Ibu SH pada tahun 2000.
Pendidikan terakhir Bapak SY adalah SMA (Sekolah Menengah Atas) sedangkan pekerjaan Bapak SY sebagai supir pabrik tekstil. Ibu SH dan Bapak SY dikaruniai 2 (dua) orang anak. Anak yang pertama bernama NA berusia 10 tahun, dan anak yang kedua bernama RE berusia 5 (lima) tahun. Latar belakang keluarga Ibu SH yaitu beragama Islam.
Setelah menikah sampai sekarang Ibu SM dan Bapak SY bertempat tinggal di kediaman orang tua Ibu SM. Pada tahun 2015, Bapak SY menjadi pengangguran karena berhenti dari pekerjaannya dan hanya berdiam diri di rumah tidak ada usaha sama sekali, seperti tidak mempunyai tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya.
commit to user
Ketika dipertanyakan tanggung jawab tersebut amarahlah yang selalu terlontar bahkan perlakuan kasar sering terjadi, sampai Bapak SY mendapatkan pekerjaan lagi sebagai sopir pribadi perlakuan tersebut masih saja menjadi kebiasaan ketika amarah menguasai diri. Memukul dan mengeluarkan perkataan tidak senonoh seringkali dilakukan kepada Ibu SH dan anak-anaknya.
4. Keluarga Ibu SP
Ibu SP berusia 30 Tahun. Pendidikan Ibu SP adalah SMP (Sekolah Menengah Pertama), dan bekerja sebagai buruh pabrik. Bapak DN menikah dengan Ibu SP pada tahun 2009. Bapak DN bekerja di salah satu buruh pabrik. Pernikahannya dikarunia 1 (satu) orang anak, yang saat ini sedang menempuh Sekolah Dasar (SD). Latar belakang keluarga Ibu SP adalah beragama Islam. Ketidakcocokan bahkan kekerasan di keluarga ini sering terjadi dikarenakan kurangnya komunikasi serta kurangnya pendapatan ekonomi yang mereka dapatkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari- hari.
5. Keluarga Ibu DM
Ibu DM berusia 39 tahun. Pekerjaan sehari–
hari sebagai adalah pegawai di salah satu perusahaan swasta elektronik. Pendidikan terakhir Diploma 1 (D1).
Bapak SG menikah dengan Ibu DM pada tahun 1998.
Latar belakang keluarga Ibu DM adalah beragama Islam. Hasil pernikahannya dikaruni 2 (dua) orang putra, yang bernama RN dan RS, yang mana masih menempuh di bangku SMP dan SD. Kondisi Keluarga ini tidak harmonis, yang mana cekcok sering terjadi commit to user
karena adanya saling keegoisan dan kurangnya pngertian antara masing-masing pasangan, dan penyalahgunaan kekuasaan sebagai kepala keluarga terjadi di dalam keluarga.
Kondisi latar belakang sosial ekonomi keluarga yang kurang baik di telah mempengaruhi pola perilaku orang tua dalam perkembangan sosial emosional anak. Jika latar belakang sosial ekonomi yang buruk menyebabkan orang tua memiliki pola perilaku yang buruk pula, maka hal tersebut dapat mendorong terjadinya tindak kekerasan terhadap keluarga yang dampaknya terhadap perkembangan sosial emosional anak.
Untuk itu, penelitian ini berusaha mengungkap tentang kekerasan dalam rumah tangga dan dampaknya terhadap perkembangan sosial emosional pada anak. Penelitian ini mendapatkan informan melalui bantuan dari pihak Dinas Sosial. Adapun informan dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa kategori. Berikut ini adalah rincian informan dalam penelitian ini :
Tabel 4.6
Daftar Kategori Informan
No. Kategori Keterangan
1 Orang tua Responden Inti
2 Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Perlindungan Anak dan KB (BP3AKB) Pemerintah Kota Surakarta, Tokoh Masyarakat
Responden sekunder
3 Anak Responden inti
Sumber : Data Primer commit to user
Pembedaan atau penggolongan kategori dilakukan untuk memudahkan dalam hal analisa serta pengkroscekan data dari pada informan. Pemilihan jenis kategori informan dalam penelitian ini dikarenakan pada kehidupan sosial mencakup ketiga kategori tersebut. Apalagi ketika dihubungkan dengan fungsi perlindungan dan kasih sayang keluarga dengan perkembangan sikap anak. Peneliti tidak hanya mengajukan pertanyaan dan observasi terhadap orang tua saja tapi pada tokoh masyarakat dan anak.
Pada umumnya, sebuah keluarga mempunyai dua sosok penanggung jawab dalam segala hal yang berkaitan dengan keberlangsungan rumah tangga. Dua sosok yang selalu dapat menjadi representasi sebuah keluarga ideal. Sosok ayah sebagai seorang kepala keluarga adalah kamus baku dalam strata sosiologi. Dan kehadiran Ibu sebagai pendamping, sebagai pelaksana dari segala delegasi yang ditinggalkan oleh kepala keluarga. Tentu bukanlah sebuah pilihan, ketika tatanan ideal itu kemudian tidak dapat berjalan dengan baik dalam sebuah keluarga. Jika sepanjang interaksi antar anggota keluarga terus terjadi dan terjalin dengan baik, maka konflik di dalam rumah tangga itu tidak akan terjadi (Besharov, dkk dalam Robbin Mc.Fadden, 2003).
Pernikahan adalah suatu pranata sosial yang sangat sacral dan suci. Siapapun yang telah memutuskan untuk membuka dan memasuki gerbangnya harus menjalaninya dengan penuh komitmen dan tanggung jawab. Masing-masing dari pasangan haruslah menjaga kesucian mehligai yang mereka sepakati berdua. Namun, ternyata masih banyak saja pasangan yang melanggar ikatan suci yang mereka ikrarkan.
Permasalah di dalam rumah tangga sering kali terjadi, mungkin memang sudah menjadi bagian dalam lika–liku commit to user
kehidupan didalam rumah tangga, dan dari sini kita dapat mengambil contoh yaitu kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kerap kali menjadi masalah dalam rumah tangga. Kasus kekerasan sering terjadi dan dianggap suatu peristiwa tersendiri dan menegangkan dalam kehidupan keluarga.
Kekerasan dalam rumah tangga yang kerap kali terjadi yang dialami oleh perempuan maupun anak.
Perkembangan sikap anak menjadi perhatian utama dalam penelitian ini. Perilaku kekerasan di dalam keluarga berupa fisik yaitu memukul, menendang, menampar, dan sebagainya menimbulkan luka luar atau fisik. Sedangkan perilaku kekerasan di dalam keluarga berupa psikis yaitu perkataan tidak senonoh dan membentak menimbulkan rasa sakit hati yang berkepanjangan dari korban. Perilaku kekerasan tersebut mengakibatkan sikap anak menjadi tertutup dan acuh tak acuh terhadap kedua orang tuanya.
3. Hasil Penelitian
1. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Makna dari kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri dapat diartikan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orang tua atau pasangan. Kekerasan dalam rumah tangga dapat ditujukan dalam berbagai bentuk (Baquandi, dkk.
2009), diantaranya : 1. Kekerasan Fisik 2. Kekerasan Psikis 3. Kekerasan Ekonomi 4. Kekerasan Seksual
Kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan seorang laki – laki yang mana dapat mengakibatkan kerugian dan penderitaa secara fisik ataupun psikologis, yang mana commit to user
seharusnya sosok seorang ayah tidak bisa menjalankan peran sebagai kepala keluarga.
Dari uraian diatas Menurut Baquandi, dkk. 2009 Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga antara lain :
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik yaitu kekerasan yang dapat dilihat, dirasakan oleh tubuh. Wujud kekerasan fisik berupa penghilangan kesehatan atau kemampuan normal tubuh, contoh penganiayaan, pemukulan, dan lain sebagainya.
Hal tersebut diuraikan oleh kelima responden atau korban dari kasus KDRT itu, antara lain pengakuan dari Ibu Darmi :
“Suami saya kerap kali memukul, menjambak bahkan menampar. Hampir setiap kali kita berantem tak ada peristiwa tanpa pemukulan. Sampai kepala saya sering pusing gara- gara sering dipukul.. Saya merasa pukulan yang tujukan kepada saya itu hal wajar bagi suami saya, meskipun saya menjerit kesakitan sekalipun. Sampai lebam, mimisan dan pendengaran saya terganggu karena sering dipukul oleh suami.
Penganiayaan itu sering saya alami dirumah tangga kami.”
(Hasil wawancara pada tanggal 24 Juni 2020).
Dari uraian di atas kekerasan fisik kerap dilakukan Bapak SG kepada Ibu DM bahkan menjadi suatu kebiasaan di keluarga Ibu DM setiap kali ada perselisihan. Seharusnya apabila terjadi perselisihan hendaklah dibicarakan baik-baik bukan dengan pemukulan dan kekerasan fisik lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Kekerasan fisik juga kerap dialami Ibu SP, berikut pengakuan dari Ibu SP :
“Suami saya itu pendiam, tapi kalo marah sering dilampiaskan ke saya dan bahkan anak dibentak. Pemukulan dan dibentak commit to user
pun sudah menjadi makanan sehari-hari bagi saya dan anak- anak. Apa lagi kalau saya tidak dapat mengikuti kemauannya, dihajar saya. Kejadian ini terjadi setelah kami menikah.” (Hasil wawancara, 24 Juni 2020).
Sedangkan menurut Bapak DN sering melakukan kekerasan fisik kepada Ibu SP karena sudah sangat capek dalam bekerja sehingga ketika sudah sampai rumah ingin emosi saja.
“Saya kalo dirumah udah capek mbak bawaannya pengen emosi terus. Sering dimarahin sama boss bikin kepala saya pening, ditambah kalo pulang ke rumah ditagih biaya ini lah itu lah makin pusing kepala saya” (Hasil Wawancara, 4 Januari 2021).
Pelampiasan emosional kerap terjadi di lingkungkan keluarga Ibu SP. Tidak adanya perlawanan dari seorang istri ketika dihajar suami. Tidak adanya hak seorang istri dikeluarga ini. Ini semua karena penyalahgunaan pemimpin dalam keluarga.
Dari penuturan diatas dapat disimpulkan penganiayaan fisik yang terjadi oleh perempuan selebihnya istri sudah menjadi tren dan fenomena yang biasa terjadi di dalam rumah tangga. Setidaknya Undang-Undang Perlindungan terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga di tegaskan karena akan menyengsarakan perempuan dan harga diri perempuan akan semakin lemah di mata para lelaki dan tidak adanya hak utuh sebagai istri di dalam rumah tangga.
Akhir-akhir ini sering sekali dalam pemberitaan di media massa ataupun media elektronik dapat dilihat adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya yang mengakibatkan renggangnya hubungan pernikahan antara suami dan istri.
Kekejaman terhadap jasmani dapat dilihat dari commit to user
perbuatan yang dapat menimbulkan sakit dan atau yang termasuk tindakan pidana. Penganiayaan yang dimaksud disini adalah melakukan kekejaman baik jasmani maupun rohani misalnya dipukuli, disiram air panas, dijambak, ditampar dan perbuatan lain yang menuakiti hal ini termasuk penganiayaan.
Seperti yang diungkapkan oleh Ibu SP :
“Suami saya kerap melakukan kekerasan terhadap saya, seperti contohnya saat suami saya pulang kerja dan ternyata keadaan ditempat ia bekerja buat dia jengkel sampai rumah apabila ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya dia membentak – bentak saya dengan kata – kata kasar yang tidak sepantasnya, selain itu dia juga suka mabuk – mabukan disitu saya sering dipukuli kalau tidak sesuai perintahnya. Selama ini saya cuma diem saja tidak berani mengadu sama orang lain takut dia malah semakin menghajar saya. Kalau dia tahu saya mengadu kelakuannya ke orang lain dan dia mengancam saya akan tidak dinafkahi. Anak- anak jadi pemarah ketika mengingat kelakuan bapaknya.
(Hasil wawancara pada tanggal 24 Juni 2020)
Berdasarkan pernyataan diatas kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi apabila salah satu pasangan terpengaruh minuman keras atau sedang mabuk sehingga tindakan yang mereka lakukan tidak terkontrol dan diluar kesadaran mereka.
Penganiayaan yang sudah terlalu berat dapat dilaporkan ke pihak yang berwenang (terkena hukuman pidana), karena manusia dilindungi oleh hukum. Untuk itu diharapkan para pasangan suami – istri, dapat menyelesaikan perselisihan dalam rumah tangga dengan sebaik-baiknya, dengan kepala dingin, jangan menggunakan amarah atau kekuatan diselesaikan dengan jalan kekeluargaan, sehingga upaya damai dapat tercapai. commit to user
Munculnya perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam, atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Hal tersebut senada seperti yang diungkapkan Ibu SM :
“Suami saya termpramental, ada masalah dikit saja dengan saya langsung nampar sering kali juga mukul. Terkadang rasa ketakutan pun juga ada.Terkadang membuat saya sedih karena peran membimbing dan pengayom yang seharusnya diberikan oleh sosok seorang ayah tidak saya dapatkan , justru yang ada hanya hidup dalam kesengsaraan. (Hasil wawancara, 25 Juli 2020)
Dari pengampilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling. Kelima korban kekerasan fisik hanya tiga korban yang dipergunakan dalam penulisan penelitian ini karena dari kelima korban, tiga diantaranya masing-masing suami hampir memiliki latar belakang yang sama pendiam, bertempramental tinggi dan gemar minum- minuman keras sehingga penganiayaan pun kerap tejadi karena tindakan yang suami lakukan tidak terkontrol dan di luar kesadaran mereka.
2. Kekerasan Psikis
Menurut Baquandi, kekerasan psikis adalah suatu perbuatan kekerasan dalam bentuk ucapan (menghina, berkata kasar) yang mengakibatkan konflik dalam rumah tangga sehingga menurunkan rasa percaya diri dan meningkatkan rasa commit to user
takut istri. Kekerasan ini jika dilakukan terus menerus akan membuat dendam di hati istri.
Ungkapan diatas diutarakan oleh seorang Ibu yang mana kerap dikatakan tidak senonoh oleh suaminya, penuturan Ibu Muliyatin :
“Di dalam keluarga saya tidak pernah dikatain sembarang oleh orang tua saya bahkan orang tua saya sangat sabar dan mengerti anaknya,tapi setelah saya menikah dan kerap dihajar oleh suami bahkan dikatain kata- kata yang gak seharusnya ditujukan kepada saya. Kata – kata yang sering terlontar itu membuat saya tercengang bahkan saya takut merasa sakit hati akan perbuatan suami. Pernah suatu hari suami mengetahui saya cerita kepada teman saya sahabat dari kecil tetapi teman saya itu cowok, saya bercerita unek- unek kelakuan suami karena saya bingung mau cerita kepada siapa dan saya tidak mau sampai keluarga saya mengetahui masalah ini, seketika mengetahui hal itu suami marah terhadap saya dan teman saya bahkan saya dihajar serta dikatain wanita tidak baik. Hal semacam ini tidak akan pernah saya lupakan. (Hasil wawancara, 25 Juni 2020).
Akibat seringnya mendapatkan perlakuan kekerasan dari suami Ibu MY merasakan trauma karena sakit hati terhadap suami yang bertingkah semena-mena terhadap istrinya.
Perbuatan seperti ini sangat mengganggu psikis wanita terutama istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Pernikahan dini juga dapat mengakibatkan kekerasan psikis karena adanya tekanan. Pernyataan diatas diamini oleh Ibu DM seperti di bawah ini :
“Dulu saya dan suami memang menikah, pada saat saya berusia 18 tahun dan suami berusia 20 tahun. Pernikahan saya bukan pernikahan kecelakaan saya hamil duluan, tapi saya commit to user
memutuskan menikah muda karena keadaan dikeluarga saya yang membuat saya tertekan dan depresi, dan pada saat itu keinginan saya hanyalah ingin menikah dengan suami saya itu agar tidak tinggal lagi bersama orang tua saya yang suka bertengkar”. (Hasil wawancara tanggal 24 Juli 2020).
Pernikahan dini yang dilakukan oleh pasangan suami istri juga dapat menjadi pemicu konflik kekerasan dalam rumah tangga dimana pasangan muda tersebut belum siap menghadapi berbagai kesulitan dalam kehidupan perkawinan yang dibuat saat menghadapi banyak tekanan hidup.
Berdasarkan pernyataan diatas dapat dilihat bahwa faktor meninggalkan kewajiban dipicu dari himpitan ekonomi serta belum matangnya pemahaman kedua pasangan akan pernikahan sehingga pernikahan dini yang dilakukan memicu adanya pertentangan yang dapat menimbulkan konflik antara lain kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, diduga meningkatnya kesadaran wanita akan hak-haknya turut mendorong hal tersebut.
Hal yang melatarbelakangi besarnya persentase kekerasan didalam rumah tangga tersebut diperkirakan dari tidak mampu suami meluluskan kewajibannya sebagai kepala keluarga.
Faktor meninggalkan kewajiban cenderung dibebankan kepada suami. Karena tradisi masih menempatkan posisi kepala keluarga sebagai pihak yang bertanggung jawab. Tidak ada tanggung jawab dari suami ini menjadi hal yang dominan dari sebab kekerasan yang dilihat dari sudut pandang ekonomi yang mana meninggalkan kewajiban. Kewajiban disini adalah kewajiban yang ditinggalkan oleh suami yang berupa nafkah lahir maupun batin.
Banyak pasangan sering mendapat aniaya baik fisik commit to user
maupun verbal. Bentuk kekerasan yang terjadi dalam kekerasan rumah tangga adalah kurangnya tanggung jawab dari salah satu pihak baik itu dari suami atau istri yang didalam setiap pertengkaran yang terjadi diikuti dengan tindakan pemukulan serta tindak kekerasan lainnya. Kebanyakan istri mengaku tidak cocok dengan pasangan karena kerap diperlakukan kasar atau dianiaya.
Alasan dua sampel yang peneliti gunakan dalam penelitian ini karena masing-masing korban yaitu Ibu MY dan Ibu DM mereka sama-sama menikah cukup lama, mengalami KDRT cukup lama juga sehingga mendapatkan perlakuan secara kekerasan psikis cukup lama juga sehingga memunculkan rasa trauma dan rasa takut pun sering mereka alami.
3. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi terjadi akibat ketidakjujuran suami dalam memberikan pendapatan yang tidak selayaknya diberikan kepada istri atau dapat juga dikatakan bahwa terdapat kekerasan yang dilakukan atas dasar permasalahan ekonomi.
Ada beberapa kasus dalam penelitian ini yang menggambarkan adanya kekerasan ekonomi dalam rumah tangga :
Kasus 1
Ibu SM tidak mendapakan selayaknya gaji yang dihasilkan oleh suami. Bermula dari gaji Rp 900.000,00 hanya diberikan Rp 200.000,00 yang mana sangat tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari bahkan sekolah anak-anak pun. Tetapi rasa tanggung jawab suami kurang, dan akhirnya Ibu SM pun menuntut untuk mendapatkan gaji yang layak dari suami namun konflik tidak bisa dihindarkan dan akhirnya terjadilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Berikut ini ungkapan dari Ibu SM : commit to user
“Awal pernikahan saya dengan suami,awalnya suami bekerja sebagai sopir. Pendapatan dari gaji yang dia peroleh selama sebulan selalu diberikan utuh tapi lamban laun dari gaji Rp 900.000,00 / bulan saya hanya dikasih Rp.200.000,00 itupun untuk kebutuhan hidup sehari- hari pun tidak cukup apa lagi memenuhi kebutuhan anak, dan sampai sekarang tidak memberikan gaji saya sepeserpun. Dimana tanggung jawabnya sebagai suami”(Hasil wawancara, 24 Juni 2020)
Melalaikan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang keluarga pun terkadang masih dilalaikan. Salah satu contoh penuturan Ibu SM, dimana suami yang tidak bertanggung jawab menghidupi anak dan istri dengan baik hanya sesukanya.
Nafkahpun diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan atau dibawah minimum bahkan tidak memberikan gaji sepeserpun.
Kasus 2
Ibu SP mengalami kasus kekerasan ekonomi di keluarganya yang mana mengalami kecemburuan social antar suami istri, suami berwatak egois, temperamental. Ibu SP awalnya bekerja di sebuah pabrik dengan pendapatan atau gaji Rp.1.800.000,00 perbulan Ibu SP lebih tinggi dibandingkan suaminya Rp.800.000,00. Namun suami yang merasa pendapatan lebih rendah dan takut tidak dihargai istri maka suami meminta Ibu SP untuk tidak bekerja dan menjadi Ibu Rumah Tangga dan hanya boleh mengandalkan gaji seorang suami yang diberikan kepadanya. Akan tetapi Ibu SP tidak ingin seperti itu, mengingat suami yang bekerja hanya sebagai buruh pun tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan Ibu SP juga menanggung utang suaminya di warung-warung tempat suaminya menaruh utang. Hal serupa diungkapkan Ibu SP
“Saya bekerja di pabrik di Solo. Pendapatan atau gaji saya perbulan lumayan buat bantu perekonomian keluarga saya, commit to user
dan menyekolahkan ana, sedangkan suami saya bekerja di pabrik pewarnaan kain di tetangga rumah gaji yang suami saya dapattkan di bawah UMR saya dengan penghasilan 800.000/bulan. Namun suami tidak lagi mengizinkan saya untuk bekerja dengan alasan sudah menjadi kewajiban suami bertanggung jawab atas keluarganya dan selayaknya istri mengurusi rumah tangga dan anak. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengikuti perkataan suami berhenti bekeja karena kebutuhan hidup sehari-hari terus meningkat. Setelah itu suami saya berubah perilakunya ke saya menjadi lebih kasar dan tidak peduli dengan saya. Inilah salah satunya yang meembuat keluarga saya tidak ada keharmonisan lagi dan selalu bertengkar.”(Hasil wawancara, 24 Juni 2020).
Sedangkan menurut penuturan Bapak DN mengatakan :
“Saya sebenarnya melarang istri saya bekerja karena saya sanggup menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, istri saya ngeyel dan memilih untuk bekerja. Saya merasa keberadaan saya tidak dihargai oleh istri saya. Ya sudah saya pikir dia bisa menghidupi kebutuhan hidupnya sendiri”
(Wawancara, 4 Januari 2021).
Dari uraian diatas menunjukkan hak – hak kebebasan istri masih sering dibatasi oleh suami dan kedudukan kepala keluarga masih sering disalahgunakan. Saya berpendapat bahwa kekerasan yang terjadi terhadap perempuan yang berpendidikan rendah sebagian besar dialami oleh masyarakat dari kalangan menengah ke bawah yang mengakibatkan trauma atau gangguan psikologis terhadap perempuan yang menjadi korban.
Kasus 3
Ibu SM juga mengalami kekerasan ekonomi yang mana jarang sekali mendapartkan uang dari suaminya yang bekerja di commit to user
bengkel padahal untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari termasuk biaya sekolah memerlukan biaya tidak sedikit yang ada tiap kali Ibu Sumiyati meminta uang kepada suaminya kekerasan yang didapatkan. Bertahun-tahun lamanya sampai bisa dihitung berapa kali gaji yang diberikan. Berikut ini ungkapan Ibu SM :
”Dari awal pernikahan suami saya memang susah untuk dimintai tanggung jawabnya sebagai suami, dari pertama saya mengandung sampai sekarang. Tanggung jawabnya nol dan pemikirannya pun masih seperti anak kecil setiap kali saya meminta uang saya selalu di caci maki bahkan dihajarpun sudah menjadi kebiasaan suami saya. Saya dan anak- anakpun sering tidak makan karena tidak adanya uang untuk membeli beras dan lauk pauk. (Hasil wawancara, tanggal 24 Juni 2020).
Sedangkan melalui penuturan Bapak AB mengatakan bahwa :
“Saya sudah menafkahi keluarga saya dengan jerih payah saya sendiri lalu tidak dihargai bagaimana saya tidak kesal. Giliran saya punya uang, saya kasih ke istri, istri saya cuman diem aja.
Giliran saya gapunya uang, istri saya ribet sendiri minta bayari tagihan ini dan itu. Saya jadi bingung maunya istri saya bagaimana. Saya mengerti memang kondisi ekonomi sedang tidak stabil tapi kan bisa untuk saling membantu” (Wawancara, 2 Januari 2021).
Dari hasil wawancara ini pemicu terjadinya konflik dalam keluarga adalah kurang adanya tanggung jawab dari suami untuk menafkahi istri serta anak-anaknya sehingga KDRT pun terjadi. Yang mana dari perjanjian awal nikah dianggap sebelah mata oleh suami,dengan demikian pemerintah harus lebih tegas memberikan sangksi kepada suami yang melalaikan tanggung jawabnya dan memberikan perlindungan commit to user
kepada istri dan anak-anaknya.
Kasus 4
Ibu MY yang mengalami himpitan ekonomi juga mengalami kekerasan dalam ekonomi, dalam penelitian ini kasus yag terjadi adalah jarang mendapatkan gaji dari suaminya dan ikut menanggung biaya utang suaminya yang mana utang itu tidak jelas dipergunakan hanya saja untuk kebutuhan pribadi suaminya dan untuk biaya makan dan kebutuhan sehari- hari Ibu MY menggunakan uang dari hasil kerjanya bahkan menjual barang-barang yang di punya seperti almari, piring,dan lain sebagainya. Berikut ini penuturan dari Ibu MY :
“Gaji suami saya itu dipotong buat bayar utang, tidak ada gaji tersisa. Namun saya tetap saja meminta hak saya dan tanggung jawab sebagai suami. Akan tetapi suami saya selalu mengeluh.
Untuk makan dan biaya sehari –hari bahkan sekolah anakpun terkadang memakai uang saya. Saya merasa tidak mendapatkan hak selayaknya seorang istri seperti istri-istri yang lain. (Hasil wawancara, tanggal 25 Juni 2020)
Tidak selayaknya seorang suami menjadikan beban pikir istri untuk ikut menanggung utang yang di tanggung suaminya, yang mana uang dari hasil hutang itu arahnya juga belum jelas.
Kewajiban suami menghidupi dan menafkahi istri beserta anak- anakpun kurang ditepati.Hal ini dapat memicu terjadi nya konflik antar keluarga dan menimbulkan KDRT karena tuntutan ekonomi.
Kasus 5
Dialami oleh Ibu DM dimana Ibu DM ini menjadi tulang punggung rumah tangganya dan keluarga dari suami. Sumber pendapatan yang didapat dari gaji perbulan yatu Rp.1.500.000,00 sebagai pegawai di salah satu perusahaan swasta elektronik serta gaji serabutan diluar gaji pokok yaitu Rp commit to user
800.000,00 jadi pendapatan Ibu DM per bulan Rp.
2.300.000,00/bulan.
Akan tetapi Ibu DM itu sendiri tidak pernah menikmati hasil kerja kerasnya melainkan untuk biaya sekolah anaknya serta biaya hidup sehari- hari Keluarga dari suaminya, karena Ibu DM beserta suami serta anaknya tinggal satu rumah dengan mertua dan saudara-saudara dari suami. Dimana suami jarang memberikan nafkah meski suami bekerja sebagai sopir. Ibu DM sering dimintain uang oleh mertuanya. Kalaupun tidak ada uang yang ada cacian serta kata-kata pedas yang terlontas dari mulut mertua serta keluarga ipar. Disinilah Ibu DM merasa tertekan dan hanya dijadikan sebagai tulang punggung keluarga. Berikut penuturan dari Ibu DM :
“Saya bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam tidak perduli kondisi kesehatan saya dengan penghasilan Rp.2.300.000,00/gaji pokok dan menerima laundryan, akan tetapi hasil yang saya peroleh habis untuk biaya sekolah serta biaya kehidupan sehari-hari. Apa lagi kalau mertua meminta uang harus seketika itu juga kalaupun tidak dikasih tidak menerima alasan apapun yang ada saya dihina dicaci maki.
Saya ikhlas kalaupun saya tidak menikmati sepeserpun uang dari hasil kerja keras saya. (Hasil wawancara, tanggal 24 Juni 2020)
Yang seharusnya menafkahi keluarga adalah suami dari Ibu DM, karena itu orang tua dan saudara dari Suami. Ibu DM tidak seharusnya menafkahi seperti itu, beliau hanya mengikuti suami tinggal dirumah mertua. Yang seharusnya didapatkan hak-hak seorang istri dinafkahi oleh suami bukannya menafkahi keluarga dari suami dengan hasil kerja keras Ibu DM sendiri.
commit to user
4. Kekerasan Seksual
Menurut Poerwandari Kristy menjelaskan bahwa kekerasan seksual, kekerasan yang mengarah ke ajakan/
desakan seksual, seperti pelecehan terhadap perempuan, anak, pembantu rumah tangga, penyimpangan seksual, tindakan yang tidak sopan, pemaksaan hubungan seksual, pornografi, pelecehan terhadap alat vital, ucapan yang melecehkan yang menjerumus ke aspek seksual dan sebagainya. Dampak yang dapat terjadi akibat adanya kekerasan seksual ialah adanya ketidakseimbangan mental, trauma, kehamilan diluar pernihakan dan sebagainya.
Dalam konteks rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan memang seringkali terjadi, baik yang menimpa istri, anak-anak, pembantu rumah tangga, kerabat ataupun suami.
Semua bentuk kekerasan dalam rumah tangga itu pada dasarnya harus dikenai sanksi karena merupakan bentuk kriminalitas (Jannati 2007).
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai memaksa melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau saat korban tak menghendakinya. Selain itu, bentuk lain dari kekerasan ini dapat berupa melakukan hubungan seks dengan cara tidak wajar atau tidak diinginkan korban.
Kekerasan seksual kerap terjadi di kalangan rumah tangga, meskipun sudah ada ikatan pernikahan bahkan perkawinan. Hal tersebut dibenarkan oleh Ibu SM :
“Saya bekerja sebagai buruh jahit, terkadang juga jahitan saya rame kadang sepi gak mesti. Tapi kalau rame kan juga buang energi banyak dan capek rasanya badan ini karena jahit itu juga butuh tenaga walaupun hanya duduk. Nah terkadang suami juga meminta saya untuk melayani kebutuhan
commit to user
biologisnya. Namun apadaya tubuh ini sangat lelah karena pekerjaan yang begitu banyak. Suami marah dan saya dipaksa untuk melayaninya ntah itu saya merasa sakit atau tidak yang penting dia bisa terpenuhi nafsu seksnya.”. Hal ini membuat korban menjadi takut bahkan trauma yang berkepanjangan.
(Wawancara, 24 Juli 2020)
Pemaksaan untuk melakukan hubungan suami istri pun kerap terjadi di keluarga Ibu SM, sering sekali suami meminta istri untuk melayani kebutuhan biologisnya dengan cara pemaksaan tanpa melihat kondisi yang dialami istri. Hal ini mengakibatkan sakit dibagian alat vital dan trauma yang dialami seorang istri.
2. Faktor-Faktor Pemicu Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tabel 4.7
Faktor-Faktor Pemicu Kekerasan Dalam Rumah Tangga No Faktor-Faktor Pemicu KDRT Keterangan
1 Faktor Ekonomi
a.Pendapatan Rendah
b.Keadaan Rumah
Faktor yang menggambarkan ketidakmampuan untuk pemenuhan kebutuhan hidup karena tidak memiliki pekerjaan yang tetap dan tempat tinggal yang layak pun sangat kesulitan.
Minimnya pendapatan yang didapatkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup Dimana kondisi rumah tidak layak untuk dijadikan tempat tinggal.
commit to user
2 Faktor Non Ekonomi
a.Ketidakharmonisan
b.Ketidakpercayaan
c.Kecemburuan
Faktor yang mempengaruhi manusia untuk berbuat sesuatu yang mana berasal dari dari jiwa manusia itu sendiri atau mencakup individu itu sendiri
Dimana antara anggota keluarga merasa tidak disayang atau tidak dihargai bahkan tidak dihiraukan ataupun merasa tersisih dalam rumah serta seringnya terjadi konflik dalam rumah tangga.
Merupakan hal yang mempengaruhi persepsi, dan merupakan karakteristik dari lingkungan dan obyek-obyek yang terlibat didalamnya.
Rasa yang muncul dari dalam jiwa seseorang, dimana rasa ini mengungkapkan rasa tidak suka tethadap pasangan dalam hubungan lawan jenis.
Faktor merupakan keadaan atau peristiwa yang ikut menyebabkan ataupun ikut mempengaruhi terjadinya sesuatu, dan merupakan suatu teknik untuk menganalisis tentang saling berkaitan. Faktor-faktor sosial adalah keadaan yang mendorong manusia untuk melakukan sesuatu atau mempengaruhi terjadinya sesuatu dimana terdapat kehadiran orang lain. commit to user
Setiap keluarga memimpikan dapat membangun keluarga harmonis, bahagia, dan saling mencintai, namun pada kenyataan, banyak keluarga yang merasa tidak nyaman, tertekan, dan sedih karena terjadi kekerasan dalam keluarga, baik kekerasan yang bersifat fisik, psikologis, seksual, emosional maupun penelantaran.
Kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan faktor internal dan eksternal baik secara sendiri – sendiri atau bersama – sama terlebih – lebih diera terbuka dan informasi yang kadang kala budaya kekerasan yang muncul lewat informasi tidak bisa terfilter pengaruh negatifnya terhadap kenyamanan hidup dalam rumah tangga. Hal seperti ini seperti yang dituturkan Ibu SM :
“Saya kira dulu waktu belum menikah itu, pemikiran saya tuh bahagia dan bersama orang yang kita sayangi itu merupakan Kebahagiaan yang tak dapat diungkapkan dengan kata- kata, karena setiap saat setiap waktu bersama dengan pasangan yang kita cintai di dalam satu atap, namun pada kenyataannya setelah kami menikah dan hidup saling berdampingan masalah serta cobaan itu lamban laun terus menerus berdatangan, karena kita hidup dengan dua karakter yang berbeda meskipun tidak mudah untuk disatukan namun saya sadar Di dalam keluarga ataupun dalam membangun keluarga sangat memerlukan pengertian, saling support, tidak saling egois, meskipun cekcok sering terjadi bahkan pemukulan juga sering terjadi didepan putra- putri kami”. (Hasil wawancara, 24 Juni 2020)
Kondisi yang demikian cenderung mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga mereka tidak bisa tumbuh dan berkembang secara natural.
Ada dua faktor menyebabkan timbulnya kekerasan commit to user
dalam rumah tangga, yaitu faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Secara kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi sebagai sebagai akibat dari semakin lemahnya kemampuan setiap keluarga untuk mencukupi kebutuhan ekonomi sehari-harinya sehingga setiap anggota keluarga yang memiliki kekusaan dan kekuatan cenderung bertindak deterministic dan eksploitatif terhadap anggota keluarga yang lemah.
Secara non ekonomi kekerasan dalam rumah tangga muncul sebagai akibat dari intervensi lingkungan di luar keluarga yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi sikap anggota keluarga, terutama orang tua ataupun kepala keluarga, yang terwujud dalam perlakuan eksploitatif terhadap anggota keluarga yang sering kali ditampakkan dalam pemberian hukuman fisik dan psikis yang trauma kepada anaknya, maupun pasangan.
Karena itulah perlu terus diupayakan mencari jalan terbaik untuk menyelamatkan institusi keluarga dengan tetap memberikan perhatian yang memadai untuk menyelamatkan terutama anggota keluarga, dan umumnya masyarakat sekitarnya.
Ada dua faktor yang sangat mempengaruhi kekerasan dalam rumah tangga yaitu faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Berikut ini akan dijelaskan tentang faktor - faktor yang mempengaruhi kekerasan dalam rumah tangga :
Pertama, faktor ekonomi merupakan faktor yang mempengaruhi manusia untuk berbuat sesuatu yang mana berasal dari dari dalam jiwa manusia itu sendiri atau individuu sendiri untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam rumah tangga permasalahan ekonomi beraneka ragam, berdasarkan penelitian ini permasalahan faktor kemiskinan commit to user
yang tampak jelas adalah minimnya pendapatan yang di dapatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup karena tidak memiliki pekerjaan yang tetap, dengan adanya minimnya penghasilam untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak pun sangat kesulitan. Adanya rumah yang sempit, perabotan yang sangatlah minim, dan kumuhnya tempat tinggal. Hal ini dapat menyebabkan kemiskinan.
Minimnya pendapatan dalam pemenuhan hidup disebabkan adanya beberapa faktor yaitu tidak adanya pekerjaan yang tetap, kurangnya kesadaran akan tanggung jawab sehingga masih merasa sesuka hati dalam mencari uang yang mana terkadang didasari pula rasa malas dari individu itu sendiri.
Dari minimnya pendapatan yang didapat untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak pula sulit untuk didapat, dimana tempat tinggal kumuh, makanan basi, dan mereka ada yang cuma mampu menyewa rumah meskipun kecil hal ini dikarenakan minimnya biaya untuk tempat tinggal sedangkan kebutuhan mereka di kemudian hari masih lebih banyak lagi.
Dalam rumah tangga yang dibangun tentunya terdapat keinginan untuk mencukupi semua kebutuhan ekonomi dijaman sekarang ini yang tinggi memaksa kedua pasangan harus bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan berselisih sehingga dapat memicu adanya kekerasan dalam rumah tangga. Kurangnya salah satu kebutuhan saja dapat mengakibatkan tidak tentramnya rumah tangga. Misalnya tidak tercukupi kebutuhan ekonomi atau seorang istri menginginkan kebutuhan ekonomi untuk sehari- hari dapat terpenuhi. commit to user
Padahal penghasilan suami tidak tentu,atau suami tidak mau bekerja, selalu menganggur (malas bekerja), tidak mau usaha (pemalas). Hal itu dapat mengakibatkan ekonomi dalam keluarga menjadi lemah.
Hal ini dapat membuat rumah tangga tidak tentram yang dapat mengakibatkan perselisihan terus menerus.
Seperti yang dituturkan Ibu SM :
“Suami saya tidak punya tanggung jawab buat bekerja mencari nafkah buat keluarganya, dia cuma bekerja sesukanya padahal kebutuhan hidup kan terus naik, jadi mau tidak mau saya juga harus ikut bekerja. Setelah saya ikut bekerja untuk membantu keuangan keluarga, bekerja malah seenaknya sendiri untuk tidak bekerja dan membiarkan saya bekerja membanting tulang sedangkan dia dirumah enak- enakan bahkan main nongkrong sama teman-temannya dengan seenaknya. Biaya sekolah anak-anakpun sebagian besar dari gaji yang saya peroleh. Saya bekerja kesana kemari, sampai dirumah saya masih harus melayani dia, mengurus rumah dan anak saya, terkadang saya mengur bertujuan untuk sadar akan kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah.Namun apa yang saya peroleh dimaki bahkan dipukul. Terkadang saya merasa tidak kuat,tapi demi anak-anak saya harus berusaha tegar, kuat dan sabar.
Karena saya sadar tidak ada kehidupan keluarga yang berjalan mulus”. (Hasil wawancara pada tanggal 24 Juni 2020).
Berikut ini penuturan dari Bapak AB mengatakan bahwa “saya bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah kok, hanya saja masa iya gaji yang saya peroleh tidak boleh saya gunakan untuk keperluan pribadi. Orang saya yang kerja
commit to user
kok, saya yang capek masa gaboleh saya senang-senang dari gaji saya sendiri” (Wawancara, 2 Januari 2021).
Hal serupa juga dirasakan Ibu Muliyatin yang mana penhasilan yang didapat sangat berkurang untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
Berikut ungkapan dari Ibu MY :
“Dengan pendapatan yang saya dapatkan sangatlah kurang untuk biaya pemenuhan hidup saya sehari- hari seperti makan. Bahkna untuk biaya sekolah. Faktor ini himpitan ekonomi yang sering memicu saya serta suami berdebat bahkan setiap kali saya meminta uang kepada suami saya sering bercekcok bahkan dihajar. (Hasil wawancara, 24 Juni 2020)
Berikut ini yang diungkapkan oleh Ibu SM :
“Saya sebenarnya jengkel sama suami, sudah mempunyai istri dan dua anak. Tetapi yang ada greget untuk menafkahi puntidak ada. Saya terkadang hanya menuntut hak saya dan anak saya sebagai seorang istri. Untuk biaya hidup sehari-hari sperti makan, bayar kontrakan rumah, biaya sekolah anak-anak, dan biaya hidup laninnya Disini saya malah mendapat pemukulan dari suami.” (Hasil wawancara, 24 Juni 2020)
Selain pendapatan rendah keadaan rumah pun menjadi penyebab adanya kemiskinan. Ada beberapa ungkapan yang disampiakan nara sumber dalam penelitian ini :
Informan 1 :
Dimana tempat tinggal Ibu SM yang merupakan warisan dari orang tuanya ini sangatlah kurang layak untuk dijadikan tempat tinggal. Keadaan rumah yang berdekatan dengan lantainya masih berupa tanah liat dan luas rumah commit to user
yang sangatlah sempit serta kotor tidak layak huni dan dapat menimbulkan pennyakit bagi keluarga dan anak- anaknya.
Dinding yang masih berbata dan Genting yang masih bocor sehingga kalau hujan air hujan masuk rumah dan banjir, untu prasarana air bersih rata-rata masih menggunakan sumur pompa bahkan air bersihpun belum terjangkau karena tidak cukup dana untuk memproses dapatnya air bersih Hal ini tetap dibiarkan karena tidak adanya biaya renovasi untuk rumahnya.
Berikut ini penuturan dari SM :
“Keadaan rumah saya yang sebenarnya tidak layak dihuni ini membuat saya dan keluarga untuk tetap tinggal dirumah seperti ini, biarpun kalau hujan juga bocor banjir yang ada tapi saya mau tidak mau tetap harus mau dan bersyukur. Bagaimana saya mau merenovasi rumah saya ini.
Untuk makan pun kami masih jauh kesulitan. Dan untuk mendapatkan air bersih pun saya memakai air sumur seadanya. Bersih atau tidaknya yang penting bisa dipakai untuk minum dan bermanfaat. (Hasil wawancara, 24 Juni 2020)
Informan 2
Keadaan rumah Ibu SM dimana bangunan rumah terutama tembok terbuat dari batu dan atapnya masih terbuat dari kayu, namun lantai rumah sudah berkeramik terdapat satu kamar mandi. Bangunan rumah ini dikatakan blong karena tidak adanya ruag untuk kamar, dan untuk kamar tidur pun keluarga ini menggunakan pembatas berupa kain yang dijadikan gorden tetapi atap rumah yang sering kali bocor dan menjadikan rumah ini lembab. Berikut ini penuturan dari Ibu SM : commit to user
“Rumah kontrakan saya ya seperti ini adanya mbak, tidak luput dari sumgai kecil kalau menjelang hujan sehingga keadaan rumah saya menjadi lembab. Tidak adanya biaya untuk memperbaiki biarkan saja seperti apa adanya.” (Hasil wawancara, 24 Juni 2020)
Dari beberapa informan yang penelitian gunakan dalam penelitian ini karena masing-masing informan memiliki kesamaan pendapatan yang sangat kurang dan rumah tempat tinggal yang sangat tidak layak sehingga kemiskinan itu mereka alami yang mana dapat menimbulan kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi.
Kedua, faktor non ekonomi merupakan faktor yang mempengaruhi manusia untuk berbuat sesuatu yang mana berasal dari dalam jiwa manusia itu sendiri atau mencakup individu itu sendiri, yang mencakup beberapa hal antara lain:
a. Ketidakharmonisan
Ketidakharmonisan keluarga dimana antara anggota keluarga merasa tidak disayang atau tidak dihargai bahkan tidak dihiraukan ataupun merasa tersisih dalam rumah, serta seringnya terjadi konflik antara suami dan istri sehingga kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi.
Faktor moral juga memberikan andil untuk memantik krisis keharmonisan rumah tangga. Faktor moral ini merupakan bentuk tingkah laku, perbuatan, percakapan bahkan sesuatu apapun yang saling berpautan dengan norma-norma kesopanan, sehingga faktor-faktor ini berkaitan pula dengan mental individu itu sendiri. Hal ini akan berujung pada konflik.
commit to user
Seperti yang diungkapkan pada Ibu Sarminah :
”Awal pernikahan ketidakcocokan dalam keyakinan saya dengan suami tidak menjadi masalah, tetapi setelah 9 tahun pernikahan,suami saya sering mempermasalahkan hal itu dimana keluarganya juga ikut turut campur dalam keluarga kami. Saat itu suami saya pernah mengajak untuk keluar dari rumah orang tua saya ini, tapi mengingat orang tua saya sudah sepuh apa lagi bapak terkena penyakit saya meminta kepada suami untuk tinggal bersama orang tua saya, tapi apadaya suami melakukan pemaksaan dengan disertai pemukulan di depan anak-anak dan orang tua saya. Bahkan orang tua saya diancam di bunuh sekalipun. Keharmonisan dala rumah tangga saya pun tidak pernah ada.” (Hasil wawancara pada tanggal 24 Juni 2020).
Ketidakharmonisan dalam keluarga juga dirasakan oleh Ibu Darmi dimana tidak adanya saling pemahaman dan terdapatnya keegoisan yang cukup tinggi dalam pemikiran di keluarga ini.
Berikut uraian dari Ibu Darmi :
“Saya memang tidak pernah sepaham dengan keluarga suami saya terutama mertua, disini saya merasa tertekan dan sebagai manusia untuk diperalat menghasilkan uang guna menckupi kebutuhan hdup suami saya.Apa yang saya lakukan tidak pernah dihargai oleh suami dan keluarganya.Perdebatan pun sering terjadi di keluarga kami bahkan kekerasan serta pemukulan bahkan caci makipun sering saya dapatkan dari suami” (Hasil wawancara, 24 Juni 2020).
Perbedaan pendapat yang dirasakan Ibu Sumiyati beserta suami menimbulkan ketidakharmonisan dalam commit to user
rumah tangga :
Berikut ungkapan dari Ibu Sumiyati :
“Perbedaan pendapat saya dengan suami sering terjadi, perbedaan pendapat disini saya hanya ingin mengingatkan hak-hak saya sebagai istri dan tanggung jawab suami dalam menafkahi lahir batin sebagai suami serta ayah dari anak-anak. Tetapi apa yang saya utarakan tidak pernah berkenan dihati suami. dan akhirnya suami emosi, marah saya dipukul, ditampar, dsb. Tidak adanya keharmonisan dalam keluarga kami lagi. (Wawancara, 25 Juli 2020).
Berikut ini penuturan dari bapak Abdul yang mengatakan bahwa :
“Ya namanya di dalam rumah tangga antara suami dan istri terdapat perbedaan pendapat itu sudah biasa.
Namanya dua kepala djadikan satu ya ndak mungkin to. Tapi kadang-kadang istri saya suka ngeyel kalo dibilangin.
Kekeuh sama pendapatnya sendiri dan gamau dengerin omongan saya jadinya saya emosi. Apalagi saya gasuka kalo dijelek-jelekin di keluarga sendiri. Harusnya istri itu menjunjung martabat suaminya bukan menjatuhkan.”
(Wawancara, 2 Januari 2021).
Dari uraian diatas menjelaskan ketidakharmonisan antara anggota keluarga, dimana saling adanya perselisihan antara menantu anak dan orang tua yang didasari karena minimnya penghasilan yang didapatkan sehingga himpitan ekonomipun terjadi dan menimbulkan konflik serta kekerasan dalam rumah tangga.
b. Ketidakpercayaan
Ketidakpercayaan merupakan hal yang mempengaruhi persepsi, dan merupakan karakteristik commit to user
dari lingkungan dan obyek- obyek yang terlibat didalamnya. Elemem-elemen tersebut dapat mengubah sudut pandang seseorang terhadap dunia sekitarnya dan mempengaruhi bagaimana seseorang merasakan atau menerimanya.
Ketidakpercayaan akibat kegagalan berkomunikasi antara suami dan istri sering menjadi pemicu konflik didalam rumah tangga. Kurangnya komunikasi membuat kurangnya rasa saling percaya dan membuat sering terjadinya pertengkaran.
Berikut ini penuturan Ibu Septiani:
“Kerap suami saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi,dan berkata menyesal telah melakukan perbuatan mukul, memaki-maki saya tapi pada kenyataannya itu hanyalah janji semata. Dan mulai sekarang kepercayaan terhadap suami saya seperti sirna mbak. Dan anehnya kalo saya pergi dari rumah suami saya marah-marah, padahal saya kerap pamit kemana saya pergi, sampai dirumah saya dimarahi bahkan sekali membantah saya mesti dihajar. (Hasil wawancara 24 Juni 2020)
Sedangkan berikut ini penuturan dari Bapak Darno yang mengatakan bahwa “Saya sebenarnya sudah percaya dengan istri saya, tapi gak tahu kenapa kalau istri saya pergi sama teman-temannya saya gak tenang, kayak suudzon aja bawaannya mbak. Padahal saya tahu istri saya gaakan main belakang sama saya. Saya takut kehilangan istri saya” (Wawancara, 4 Januari 2020).
c. Kecemburuan
Rasa cemburu sering terjadi antar pasangan yang berumah tangga. Rasa cemburu biasanya tumbuh commit to user
secara subur dalam cinta antar lawan jenis dari dalam rumah tangga karena cinta dalam hubungan lawan jenis bersifat eksklusif, artinya bahwa masing-masing pihak yang ada dalam hubungan itu tidak ingin atau tidak mau kalau cinta milik pasangannya terbagi dengan orang lain. Cinta semacam itu menuntut cinta yang hanya satu-satunya untuk diri sendiri. Dari situlah kemudan mudahnya sa cemburu timbul dan muncul terjadinya KDRT. Yang menjadi masalah sering kali kecemburuan yang hadir itu menjadikan pasangan ini menjadi makhluk yang hypersensitive.
Ketika tidak dalam keadaan cemburu, kita dapat menilai pasangan secara baik dan mungkin juga obyektif, tapi ketika cemburu muncul, kita pun sering kali tidak bisa lagi menilai secara objektif an kesalaham sekecil apapun yang terdapat pada pasangan kita sering kali menjadi apabila tidak diantisipas dan dikelola secara baik, tentu saja lama-lama justru akan mengancurkan suatu hubungan yang pada mulanya ingin dopertahankan dan dilestarikan. Yang pasti rasa cemburu adalah perasaan atau emosi yang kuat dan luar biasa pada setiap manusia. Apabila perasaan cemburu sudah membakar, maka tidak jarang mengakibatkan hal-hal cukup besar, seperti KDRT.
Berikut ini penuturan Bapak AB yang mana mengalami kecemburuan terhadap istrinya sehingga terjadi KDRT.
“Tidak cuma tidak dihargai saja saya sebagai suami dan kepala keluarga, tetapi istri saya itu sudah berubah yang mana tidak adanya sikap menghormati dan menghargai saya sebagai suami dan bapak dari anak-anak. Justru saya kerap commit to user
sekali mengetahui kata-kata istri saya telponan sama lelaki lain. Peringatan sudah saya berikan berkali-kali. Sampai pada batas kesabaran saya emosi meluap” (Wawancara, 2 Januari 2021).
Hal serupa juga dituturkan kepada Bapak DN suami dari Ibu SP :
“Istri saya bekerja di pabrik tetapi saya mendengar berita buruk tentang istri yang mana istri saya dekat dengan teman cowoknya sekerjaan dan pernah suatu ketika saya memergoki istri saya berboncengan dengan teman dekatnya tersebut. Disitulah saya merasa terpukul bahkan pekhianatan itu ada di keluarga saya dengan cowok itu, mana sampai rumah istri saya hajar dan orang tuanya atau mertua saya pun tahu.” (Wawancara 4 Januari 2021).
Bagi anak dampak yang terjadi, tentu mereka akan merasa terpukul ketika melihat kekerasan yang dialami orang tuanya, bahkan kemungkinan besar berubah tingkah lakunya.
Ada yang menjadi pemarah, ada yang suka melamun, mudah tersinggung, suka menyindiri, dan sebagainya.
Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak. Di dalam keluarga, anak mendapatkan seperangkat nilai – nilai, aturan – aturan, maupun pengertian tentang kehidupan. Ayah, Ibu serta anggota keluarga yang lain merupakan guru bagi anak. Oleh karena itu keluarga menjadi institusi yang penting bagi anak didalam mengembangkan perilaku- perilaku tertentu.
Bagaimana anak laki- laki harus bersikap atau bagaimana anak perempuan harus berperilaku diajarkan pertama kali didalam keluarga. Ada sebuah ungkapan bahwa perbedaan laki- laki dan perempuan terletak pada cara memperlakukannya. Ungkapan tersebut tidak salah karena commit to user
laki-laki dan perempuan memang sudah diperlakukan secara berbeda-beda sejak mereka dilahirkan.
“ya memang berbeda pada kodratnya, tapi pada dasarnya mereka memiliki hak yang sama, orang tua juga harus memperlakukan sama pada anaknya, tidak boleh membeda- bedakan. (Wawancara dengan Ibu SM, 25 Juni 2020).
Dalam perkembangan laki- laki kemudian lebih banyak diuntungkan oleh budaya patriarki yang ada dalam masyarakat. Kondisi ini menjadikan perempuan terpinggirkan dalam banyak hal, termasuk di dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh Negara. Bahkan dalam institusi keluarga, perempuan sering menjadi korban kekerasan yang mengakibatkan penederitaan bagi perempuan.
“Budaya patriarki, silsilah dalam kerajaan itu merupakan salah satu objek yang menimbulkan ketidakadilan gender,karena perempuan pada umumnya hanyalah sebagai obyek penderita, perempuan jaman dahulu tidak boleh sekolah, harus tunduk pada laki- laki, laki – laki berpoligami dibiarkan.” (Hasil wawancara Ibu MY, 25 Juni 2020)
Orang tua memiliki peranan yang sangat penting didalam mendidik anaknya didalam keluarga, kesadaran orang tua didalam mendidik anak tanpa membeda– bedakan baik anak perempuan maupun anak laki-laki perlu ditegakkan didalam keluarga. Budaya patriarki yang masih ada di masyarakat harus ditekan keberadaannya. Seperti apa yang diutarakan Ibu SP :
“Kalau kesadarannya orang tua dalam mendidik anaknya sih banyak mbak, kadang- kadang nggeh commit to user
bocahe, lingkungan nggeh pengaruh, ya emang belum ketat, tapi setidaknya kalau kesadaran orang tua dalam mendidik anaknya ya tetap ada” (Hasil wawancara, 24 Juni 2020).
Alasan sampel ketidakharmonisan ini karena masing- masing narasumber memiliki kesamaan dimana ketidak harmonisan itu terjadi terutama terhadap anggota keluarga lainya yang mana hidup satu atap maka konflik ini terus terjasdi sehingga kasus KDRT ini terjadi.
Kemudian sampel ketidakpercayan dari beberapa sampel yang peneliti wawancarai hanya satu sampel yang peneliti pakai dalam penulisan penelitian ini, karena sampel didalam rumah tangganya tidak adanya rasa saling percaya diri antara suami dan istri, dan istri ini mengalami bualan janji semata dari suami yang ujungnya membuat kecewa bahkan membuat kesengsaraan.
Terakhir, sampel dari kecemburuan yaitu dua orang suami atau pelaku kasus KDRT dimana para pelaku ini mempunyai kesamaan kecemburuan yang cukup tinggi terhadap istri dan sama-sama menuduh istri melakukan perselingkuhan sehingga penganiayaan pun kerap terjadi dan timbulnya KDRT itu.
3. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perkembangan Sosial Emosional Pada Anak
Kekerasan dalam rumah tangga dengan alasan apapun dari waktu ke waktu akan berdampak terhadap keutuhan keluarga, yang pada akhirnya bisa membuat keluarga berantakan. Jika kondisinya demikian, yang banyak mengalami kerugian adalah anak- anaknya terlebih bagi masa depannya.
commit to user