• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

8

1. Interaksi Sosial Menurut Charles Horton Cooley

Interaksi sosial dibutuhkan oleh setiap individu dalam memenuhi kebutuhan sosial dengan menjalin hubungan dengan individu dan kelompok yang terdapat di masyarakat. Interaksi tersebut dilakukan secara sadar dengan adanya suatu kepentingan yang harus dipenuhi oleh individu. Dengan interaksi, diri dan karakteristik individu akan berkembang dengan baik sesuai dengan lingkungan yang ditemui individu tersebut. Interaksi sosial dapat juga dinamakan sebagai proses sosial karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan antar individu atau kelompok dilingkungannya. Dalam interaksi sosial individu membutuhkan respon atau tanggapan dari lingkungannya baik itu berupa tanggapan positif maupun negatif sesuai dengan perilaku individu. Interaksi sosial menjadi kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tak mungkin ada kehidupan bersama (Kamanto Sukanto, 2004:36). Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu (George Ritzer, 2008: 291-292).

Berkaitan dengan pengertian interaksi sosial, Bonner dalam Ali (2004: 87) memberikan batasan bahwa interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu, di mana kelakuan individu mempengaruhi, mengubah atau mempengaruhi individu lain atau sebaliknya. Pendapat lain dari Murdiyatmoko dan Handayani (2004: 50), bahwa interaksi sosial adalah hubungan antar manusia yang menghasilkan suatu proses mempengaruhi yang menghasilkan hubungan tetap dan pada akhirnya memungkinkan

(2)

pembentukan struktur sosial.Sedangkan menurut Charles Horton Cooley yang dikutip oleh Riyadi Soeprapto (2001:63) yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok, bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata.

Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun antar kelompok yang saling merespon dan mempengaruhi satu sama lain baik secara verbal maupun non verbal yang membentuk suatu struktur sosial. Dengan menerapkan interaksi sosial dalam aktivitas siswa di lingkungan sekolah, maka setiap siswa akan belajar untuk bersosialisasi, mengenal banyak beragam karakter individu di lingkungannya, sehingga siswa akan menemukan, mengenali, dan menerapkan karakter atau kepribadiannya masing-masing untuk berkembang sebagai mahluk sosial.

Dalam mewujudkan interaksi antar individu atau kelompok membutuhkan beberapa syarat. Berkaitan dengan syarat interaksi sosial, Max Weber (2006 :39) mengemukakan secara teoritis ada 2 syarat terjadinya suatu interaksi sosial yaitu terjadinya kontak sosial dan komunikasi. Terjadinya suatu kontak sosial tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan, tetapi juga tergantung kepada adanya tanggapan terhadap tindakan tersebut. Hal ini dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu antar individu, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok. Selain itu, suatu kontak dapat pula bersifat langsung maupun tidak langsung. Sedangkan aspek terpenting selanjutnya ialah komunikasi merupakan tindakan seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain yang berwujud pembicaraan, gerak-gerik badaniah atau sikap, perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.

Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut.

(3)

Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap individu yaitu siswa di lingkungan sekolah membutuhkan setidaknya 2 syarat yaitu kontak dan komunikasi untuk terwujudnya suatu interaksi sosial yang terjalin antar individu atau kelompok dimana terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tindakan siswa dalam berinteraksi.

Berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi interaksi sosial, Kamanto Sunarto (2004: 36) menjelaskan sebagai berikut :

a. Imitasi

Imitasi adalah tindakan sosial meniru sikap, tindakan tingkah laku atau penampilan fisik seseorang secara berlebihan. Secara positif, imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku apabila yang ditiru adalah individu yang baik menurut masyarakat.

Namun, dampak negatif dari proses ini adalah apabila yang ditiru berlawanan dengan persepsi umum masyarakat.

b. Sugesti

Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain.

Sugesti ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki wibawa dan pengaruh yang besar di lingkungan sosialnya.

c. Identifikasi

Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. Biasanya proses identifikasi yang berlangsung kurang disadari oleh seseorang.

d. Simpati

Simpati merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami

(4)

pihak lain dan untuk bekerja sama. Simpati biasanya menjadi dasar terjadinya hubungan persahabatan.

Sedangkan menurut Charles Horton Cooley (1909) yang dikutip oleh Rakhmat Jalaluddin (2007: 142) dalam karyanya yang berjudul “Social Organization” memandang kehidupan kelompok terdiri dari primary- group (kelompok primer) dan secondary-group (kelompok sekunder).

Kelompok primer ditandai dengan ciri-ciri saling mengenal diantara anggotanya, memiliki hubungan yang erat yang terkadang bersifat pribadi, seperti adanya faktor simpati, dan kerjasama yang didasari adanya kepentingan bersama yang bersifat spontan. Kedekatan hubungan dalam kelompok primer ini juga terdapat adanya norma dan nilai – nilai sosial masih mengatur hubungan mereka. Sedangkan kelompok sekunder adalah kelompok yang terdiri dari banyak orang, yang sifat hubungannya tidak berdasarkan pengenalan secara pribadi dan juga tidak langgeng. Dalam kelompok primer tersebut, dapat ketahui individu mengembangkan sifat-sifat sosial dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan dipengaruhi oleh adanya suatu kepentingan, rasa simpati antar anggota kelompok, dan adanya norma-norma yang mengatur. Berkaitan dengan norma yang mengatur, Kamanto Sunarto (2004:64) mengatakan bahwa norma/aturan merupakan patokan yang digunakan oleh masyarakat apakah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang merupakan tindakan yang wajar dan dapat diterima karena sesuai dengan harapan sebagian besar individu. Norma ini dapat berupa aturan dan suatu perintah dari individu yang dapat disepakati bersama oleh individu lainnya.

Dari pembahasan tersebut dapat diketahui bahwa siswa yang merupakan suatu kelompok belajar di sekolah, harus menaati norma dan peraturan yang ada disekolah terutama dalam tutur kata, sikap dan tindakan yang harus dijaga. Kemudian setiap siswa memiliki kepentingan masing-masing dalam berinteraksi dengan individu di lingkungannya, baik itu saat pembelajaran

(5)

maupun kegiatan di lingkungan sekolah. Dan setiap siswa akan saling membantu dengan memiliki rasa simpati satu sama lain. Dengan adanya interaksi yang terwujudkan dengan hubungan yang akrab dan saling mengerti antara siswa satu dengan yang lain sehingga bila ada siswa yang kesulitan, maka mereka akan saling mendukung dan mencari jalan keluar bersama.

Dari faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi sosial antar individu atau kelompok tersebut, menghasilkan bentuk-bentuk interaksi sosial yang beragam. Menurut Max Weber (2006: 76), mengemukakan bentuk- bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Pertikaian mungkin akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan akomodasi. Ini berarti kedua belah pihak belum tentu puas sepenuhnya. Sedangkan menurut Gillin dan Gillin dalam Kamanto Sunarto (2004: 97), mengemukakan ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu :

1) Proses Sosial Asosiatif

Interaksi sosial asosiatif mengarah pada terbentuknya integrasi sosial dan kerjasama. Integrasi sosial dapat diwujudkan dalam bentuk kelompok, lembaga, dan organisasi sosial. Proses sosial asosiatif juga terbagi menjadi 3, yaitu :

a. Kerjasama (Cooperation)

Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan dan kepentingan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan dan kepentingan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian

(6)

tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja sama dapat terlaksana dengan baik.

b. Akomodasi (Accomodation)

Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti menunjuk pada suatu keadaan dan menunjuk pada suatu proses. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Adapun tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Pertama, mengurangi pertentangan antara orang atau kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham. Kedua, mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer. Ketiga, memungkinkan terjadinya kerja sama antara kelompok sosial yang hidupnya terpisah akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem kasta. Keempat, mengusahakan peleburan antara kelompok sosial yang terpisah.

c. Asimilasi (Assimilation)

Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha- usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama. Dengan adanya proses asimilasi, para pihak lebih saling mengenal dan dengan timbulnya benih-benih toleransi mereka lebih mudah untuk saling mendekati.

Dari pembahasan tersebut, dapat diketahui bahwa bentuk interaksi sosial secara asosiatif yang merujuk ke persatuan dapat dilakukan oleh setiap siswa dalam melakukan kegiatan pembelajaran, bersosialisasi dan menjalin persahabatan dengan siswa lainnya yang memiliki beragam karakter yang berbeda. Seperti halnya dalam kerja sama yang dilakukan antar siswa dalam sesi diskusi dan presentasi kelompok, maka perlu adanya kerja sama dan

(7)

pembagian tugas antar anggta kelompok yang ditandai dengan interaksi yang baik. Kemudian dengan beragamnya karakter siswa, terdapat perbedaan baik itu karena perbedaan sikap, pendapat, agama, dan sebagainya kadang menimbulkan pertentangan, sehingga membutuhkan suatu penyelesaian yang tepat. Dalam hal ini setiap siswa harus memiliki dan menanamkan dalam dirinya rasa toleransi untuk mengurangi perbedaan tersebut, sehingga interaksi yang terjalin antar siswa atau kelompok akan tetap terjalin dengan baik.

2) Proses Sosial Disosiatif

Proses sosial disosiatif sering disebut sebagai oppositional proccesses, dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Pola-pola oposisi tersebut dinamakan juga sebagai perjuangan untuk tetap hidup (struggle for existence).

Proses disosiatif dapat dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu : a. Persaingan (Competition)

Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan.

b. Kontravensi (Contravetion)

Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Bentuk kontravensi pada umumnya, meliputi perbuatan seperti penolakan, keengganan, perlawanan, perbuatan menghalang-halangi, protes, gangguan- gangguan, kekerasan, pengacauan rencana, menyangkal pernyataan orang lain di muka umum, memaki-maki melalui surat selebaran, mencerca, memfitnah, penghasutan, menyebarkan desas-desus yang mengecewakan pihak lain, mengumumkan rahasia orang, dan lain sebagainya.

(8)

c. Pertentangan

Pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan misalnya dalam ciri-ciri badaniyah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola-pola perilaku, dan seterusnya dengan pihak lain. Ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian.

Sebab-sebab terjadinya pertentangan adalah perbedaan antar individu, perbedaan kebudayaan, pola-pola perilaku, perbedaan kepentingan, perbedaan pendapat dan perubahan sosial. Pertentangan dapat pula menjadi sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat.

Timbulnya pertentangan merupakan pertanda bahwa akomodasi yang sebelumnya telah tercapai.

d. Konflik (Conflict)

Konflik secara umum memang sering terjadi di dalam masyarakat sebagai gejala sosial yang alami. Konflik selama ini banyak dipersamakan dengan kekerasan. Namun sesungguhnya konflik berbeda dengan kekerasan.

Kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau juga menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Konflik dapat berubah menjadi kekerasan apabila upaya- upaya yang berkaitan dengan tuntutan maka akan timbul gerakan yang mengarah pada kekerasan.

Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial disosiatif yang merujuk ke perpecahan individu ini terdapat di lingkungan sekolah, terutama yang dilakukan antar siswa atau kelompok siswa. Dalam mencapai prestasi dengan nilai yang baik, setiap siswa akan saling bersaing secara sehat dan kadang ada beberapa siswa yang berbuat curang seperti menyontek. Hal ini juga berpengaruh dalam cara berinteraksi antar siswa dalam bersaing mendapatkan nilai yang mereka inginkan. Kemudian dengan beragamanya karakter siswa dengan mempunyai perbedaan kepentingan, sikap, fisik, agama dan sebagainya, akan berpengaruh juga dalam tindakan

(9)

interaksi yang dilakukan siswa. Siswa pada umunya memilih teman yang cocok dengan kepribadian dan hobi mereka. Bila ada perbedaan maka siswa kadang membedakan-bedakan dan menjaga jarak dengan siswa yang kurang sependapat dan cocok dengannya. Sehingga menimbulkan adanya penolakkan bila ada siswa ingin berinteraksi atau ingin bergabung dengan suatu kelompok siswa. Bila hal tersebut belum menemukan penyelesaian, akan timbul adanya pertentangan atau konfilk antar individu atau kelompok dalam lingkungan sekolah.

Sedangkan menurut Charles Horton Cooley dalam Jalaluddin (2007:145) mengemukakan proses sosial asosiatif terdapat tindakan kerjasama yang timbul apabila seseorang menyadari dirinya mempunyai kepentingan yang sama dengan orang lain dan pada saat bersamaan memiliki pengetahuan dan pengendalian terhadap dirinya sendiri untuk memenuhi kepentingan tersebut.

Kesadaran akan adanya kepentingan yang sama dan pengorganisasian diri merupakan fakta penting dalam terwujudnya kerja sama. Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya yang mengancam. Selain itu, kerja sama juga dapat bertambah kuat jika ada tindakan-tindakan luar yang menyinggung kesetian yang secara tradisional atau institusional telah tertanam dalam kelompok, dan dalam diri seseorang. Cooley dalam Jalaluddin (2007:143) juga menjelaskan tentang kelompok primer yang ditandai dengan saling mengenal antara anggota kelompok serta kerjasama yang bersifat pribadi. Secara psikologis, hasil hubungan timbal balik antara anggota- anggota kelompok tersebut merupakan peleburan individu dengan cita-citanya masing-masing sehingga tujuan dan cita-cita individu juga menjadi tujuan dan cita-cita kelompok. Sudah tentu bahwa kehidupan antara anggota kelompok tidak akan selalu harmonis, adakalanya terjadi suatu perbedaan paham, perbedaan pendapat, bahkan pertentangan antar individu. Perbedaan paham dan pertentangan tersebut mengakibatkan melemahnya hubungan interaksi

(10)

sosial antar anggota kelompok. Perbedaan paham dan pertentangan ini merupakan bentuk interaksi sosial disosiatif.

Dari pembahasan Charles Horton Cooley tersebut dapat diketahui bahwa interaksi sosial asosiatif berupa adanya kerja sama yang timbul apabila seseorang menyadari dirinya mempunyai kepentingan yang sama dengan orang lain, dan interaksi sosial disosiatif berupa adanya pertentangan dan perbedaan pendapat antar individu dalam kelompok.

2. Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Di Indonesia

Penyelenggaraan pendidikan inklusi telah diatur pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Sedangkan berdasarkan Permendiknas No. 70 tahun 2009, pendidikan inklusi bertujuan (1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Berkaitan dengan kesempatan abk tersebut, Baihaqi dan M. Sugiarmin (2006:75-76) menambahkan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Sehingga para siswa memiliki

(11)

hak & harus diberi kesempatan sama untuk mencapai potensi mereka. Sistem pendidikan untuk mencapai potensi siswa harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Sehingga bagi mereka yang memiliki keterbatasan khusus harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat. Berkaitan dengan pengertian pendidikan inklusi, Moelyono (2008:3) menjelaskan pendidikan inklusi adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak yang sebayanya di sekolah reguler normal dan pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif.

Sedangkan menurut Direktorat PSLB yang dikutip oleh Sunaryo (2009: 5) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusi menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.

Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah sebuah sistem layanan pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus memiliki hak & kesempatan atau akses yang seluas-luasnya belajar di sekolah-sekolah umum atau reguler bersama peserta didik normal lainnya dalam satu kelas yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik agar dapat berkembang secara bersama-sama sebagai makhluk sosial.

Perkembangan pendidikan inklusi di Surakarta pertama kali diselenggarakan oleh SMA Muhammadiyah 6 sejak tahun 2000/2001 sudah menerima siswa-siswa anak berkebutuhan khusus (ABK). Sejalan dengan program pemerintah tentang pendidikan inklusi, pada tahun 2008 sekolah

(12)

SMA Muhammadiyah 6 secara resmi menjadi rintisan sekolah inklusi.

Kemudian dengan dikeluarkannya kebijakan baru yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusi bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Dari adanya kebijakan baru tersebut, pada tahun 2009/2010 di wilayah Surakarta terdapat 13 sekolah penyelenggara pendidikan inklusi. Sekolah tersebut diantaranya, tujuh sekolah tingkat SD, dua sekolah tingkat SMP, dua sekolah tingkat SMA, dan dua sekolah tingkat SMK. Penyelenggaraan pendidikan inklusi di Surakarta mendapatkan banyak perhatian dan dapat berjalan dengan sesuai harapan. Hal ini terlihat dengan tindakan pemerintah pusat yang mencanangkan Kota Solo sebagai Kota Inklusi pada 28 September 2013. Pencanangan ini bukan tanpa alasan.

Pasalnya, Kota Solo dinilai telah memiliki kekuatan pokok yang dianggap mampu mewakili perwujudan sebagai Kota Inklusi (dikpora-solo.net).

Dalam keterbatasan fisik maupun mental yang dimiliki siswa difabel, mereka cenderung belum siap untuk menyesuaikan diri dalam berinteraksi dan bersosialisasi di lingkungan sekolahnya. Dari hal tersebut, pendidikan inklusi memiliki peran yang bermanfaat untuk peserta didik difabel dalam mengurangi rasa canggung dan meningkatkan rasa percaya untuk menyiapkan diri dalam berinteraksi dan bergaul dengan peserta didik non-difabel. Dari manfaat tersebut diharapkan agar setiap anak dengan beragam karakter dapat mengembangkan rasa persahabatan, persaudaraan, saling berbagi pengetahuan, dan berinteraksi satu sama lain untuk menghilangkan jarak sosial dari keterbatasan yang dimiliki perserta didik difabel sehingga peserta didik non-difabel dapat belajar bagaimana bersikap toleransi terhadap orang lain yang memiliki keterbatasan fisik. Seperti yang diungkapkan Dadang Granida (2015:58), pendidikan inklusi memiliki manfaat untuk (1) anak-anak mengembangkan rasa persahabatan, persaudaraan, dan belajar bagaimana bermain dan berinteraksi satu sama lain; (2) anak-anak mempelajari

(13)

bagaimana harus bersikap toleransi terhadap orang lain; (3) anak-anak mengembangkan citra yang lebih positif dari diri mereka sendiri dan mempunyai sikap yang sehat tentang keunikan yang ada pada diri orang lain.

Kemudian menurut Sugiarmin (2009:11) menambahkan manfaat pendidikan inklusi bagi peserta didik non-difabel untuk (1) belajar mengenai keterbatasan tertentu; (2) mengetahui keterbatasan/keunikan temannya; (3) peduli terhadap keterbatasan temannya; (4) dapat mengembangkan keterampilan sosial; (5) berempati terhadap permasalahan temannya; (6) membantu temannya yang kesulitan.

Dengan manfaat tersebut, diharapkan anak berkebutuhkan khusus mampu mengembangkan potensinya terutama dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya sehingga anak berkebutuhan khusus akan siap dalam kondisi sosial dan psikisnya untuk berpartisipasi di masyarakat luas nanti dengan percaya diri dan mandiri.

Dalam penempatan peserta didik difabel di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model kelas (Agustyawati dan Solicha, 2009:100) sebagai berikut :

a. Kelas reguler (inklusif penuh)

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.

b. Kelas reguler dengan cluster

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler dalam kelompok khusus.

c. Kelas reguler dengan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas regular ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

d. Kelas reguler dengan cluster dan pull out

(14)

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

e. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler.

f. Kelas khusus penuh di sekolah reguler

Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.

Dalam pembahasan tersebut, sekolah inklusi yang dipilih peneliti sebagai objek peelitian menggunakan kelas reguler dengan pull out yaitu anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. Dengan model kelas tersebut, siswa difabel dapat bersama dan berada satu kelas dengan siswa reguler atau siswa non-difabel walau dalam waktu tertentu siswa difabel akan ditarik keluar untuk mendapatakn bimbingan secara privat bersama guru pembimbing khusus. Sehingga siswa difabel tetap dapat berinteraksi, bersosialisasi, dan mengenal beragam karakter individu yang ada di lingkungan sekolahnya.

3. Anak Berkebutuhan Khusus, Difabel dan Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Salah satu subjektif dalam sekolah inklusi yang menjadi perhatian khusus ialah siswa difabel. Difabel merupakan bentuk dari anak berkebutuhan khusus. Berkaitan dengan anak berkebutuhan khusus, Miftakhul Jannah dan Ira Darmawati (2004:15) menjelaskan anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangan mengalami kelainan atau penyimpangan fisik, mental-intelektual, sosial dan atau emosional dibanding dengan anak-anak lain seusianya, sehingga mereka

(15)

memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Kemudian menurut Abdul Hadist (2006:5) menjelaskan anak berkebutuhan khusus didefinisikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus untuk mengembangkan potensi kemanusiaan mereka secara sempurna. Dalam dunia pendidikan, kata luar biasa merupakan julukan atau sebutan bagi mereka yang memiliki kekurangan atau mengalami berbagai kelainan dan penyimpangan yang tidak alami seperti orang normal pada umumnya.

Dari beberapa pengertian di tersebut, maka yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami kelainan dengan karakteristik khusus yang membedakannya dengan anak normal pada umumnya serta memerlukan pendidikan khusus sesuai dengan jenis kelainannya.

Kemudian pengertian difabel telah ditetapkan dalam Undang-undang yang berlaku. Menurut Undang-Undang No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, difabel adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas secara selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik, (b) penyandang cacat mental, dan (c) penyandang cacat fisik dan mental. Kemudian menurut laporan hasil pemutakhiran data PMKS dan PSKS (2011: 9), difabel (penyandang cacat) adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan bagi dirinya untuk melakukan fungsi- fungsi jasmani, rohani, maupun sosialnya secara layak. Kemudian ada definisi lain terdapat pada Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta No. 4 Tahun 2012, yang dimaksud dengan difabel adalah setiap orang yang mengalami gangguan, kelainan, kerusakan, dan/atau kehilangan fungsi organ fisik, mental/intelektual atau sensorik dalam jangka waktu tertentu atau permanen dan menghadapi hambatan lingkungan fisik dan sosial. Sedangkan Undang-undang No. 4 tahun 1997 menegaskan bahwa difabel merupakan

(16)

bagian masyarakat indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Dapat disimpulkan bahwa difabel (penyandang cacat) adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu dalam melakukan fungsi jasmani dan rohaninya baik itu disebabkan sejak dari lahir ataupun kecelakaan pada peristiwa tertentu sehingga memiliki hambatan dalam beraktivitas secara selayaknya.

Anak berkebutuhan khusus memiliki jenis-jenis yang berbeda pada keterbatasan mental dan fisiknya. Menurut Efendi (2006: 3) menjelaskan bahwa anak yang dikategorikan memiliki kelainan dalam aspek fisik meliputi kelainan indra penglihatan (tunanetra), kelainan indra pendengaran (tunarungu), kelainan kemampuan bicara (tunawicara), dan kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa). Sedangkan anak yang memiliki kelainan dalam aspek mental meliputi anak yang memiliki kemampuan mental lebih (supernatural) yang dikenal sebagai anak berbakat atau anak unggul, dan anak yang memiliki kemampuan mental sangat rendah (subnormal) yang dikenal sebagai anak tunagrahita serta anak yang memiliki kelainan dalam aspek sosial adalah anak yang memiliki kesulitan dalam menyesuaikan perilakunya terhadap lingkungan sekitarnya yang dikenal dengan sebutan tunalaras.

Klasifikasi anak berkebutuhan khusus dikelompokan sesuai dengan jenis pelayanannya. Berdasarkan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional mengklasifikasi anak berkebutuhan khusus sebagai berikut :

1. Tuna Netra 2. Tuna Rungu

3. Tuna Grahita: (a.l. Down Syndrome) 4. Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70)

(17)

5. Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50) 6. Tuna Grahita Berat (IQ < 25) 7. Tuna Daksa

8. Tuna Laras (Dysruptive) 9. Tuna Wicara

10. Tuna Ganda

11. Anak Penderita HIV AIDS

12. Gifted : Potensi kecerdasan istimewa (IQ > 125 ) J. Talented : Potensi bakat istimewa (Multiple Intelligences: Language, Logico mathematic, Visuo-spaitial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual).

13. Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/

Motorik)

14. Lambat Belajar ( IQ = 70 –90 ) 15. Autis

16. Korban Penyalahgunaan Narkoba 17. Anak Indigo

Beberapa dari klasifikasi difabel yang menjadi subyek di sekolah inklusi ialah siswa tunanetra dan siswa tunadaksa. Menurut Daniel P. Hallahan, James M. Kauffman, dan Paige C. Pullen (2009: 380) mengemukakan bahwa anak buta adalah seseorang yang memiliki ketajaman visual 20/200 atau kurang pada mata/penglihatan yang lebih baik setelah dilakukan koreksi (misalnya kacamata) atau memiliki bidang penglihatan begitu sempit dengan diameter terlebar memiliki jarak sudut pandang tidak lebih dari 20 derajat.

Sedangkan menurut Wardani (2007: 45) menjelaskan anak tunanetra merupakan anak yang mengalami keterbatasan penglihatan secara keseluruhan (the blind) atau secara sebagian (low vision) yang menghambat dalam memperoleh informasi secara visual sehingga dapat mempengaruhi proses

(18)

pembelajaran dan prestasi belajar. Kemudian Soemantri (2006: 86) mengungkapkan bahwa tunadaksa diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri. Sedangkan menurut Mohammad Effendi (2006:45) mengungkapkan tundaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro- muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk amputasi, polio dan lumpuh sehingga menghambat kegiatan individu dalam aktivitas yang normal.

Seorang tunanetra memiliki beberapa karakteristik dalam sikap dan perilakunya. Menurut Aqila Smart (2010: 39-40) mengungkapkan karakteristik penyandang tunanetra yaitu perasaan mudah tersinggung yang dirasakan oleh penyandang tunanetra disebabkan kurangnya rangsangan visual yang diterimanya sehingga ia merasa emosional ketika seseorang membicarakan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh penyandang tunanetra.

Pengalaman kegagalan yang sering dirasakannya juga membuat emosinya semakin tidak stabil. Sedangkan Sari Rudiyati (2002: 34-38) berpendapat bahwa karakteristik anak tunanetra memiliki perasaan rendah diri, keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra berimplikasi pada konsep dirinya.

Implikasi keterbatasan penglihatan yaitu perasaan rendah diri untuk bergaul dan berkompetisi dengan orang lain. Hal ini disebabkan bahwa penglihatan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam memperoleh informasi. Perasaan rendah diri dalam bergaul terutama dengan anak normal lainnya.

Kemudian, menurut Hargio Santoso (2012: 68) karakteristik anak tunadaksa secara umum tidak terlalu berbeda dengan anak–anak normal, kecuali beberapa kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dapat menimbulkan emosi yang tidak terkendali. Sikap atau kurangnya penerimaan orang sekitarnya terhadap anak tunadaksa dapat memunculkan keadaan anak yang

(19)

merasa malu, rendah diri atau kepercayaan dirinya kurang, mudah tersinggung/sensitif, dan suka menyendiri, serta kurang dapat menyesuaikan diri dan bergaul dengan lingkungan. Sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan kerusakan pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio dan muscle dystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik terutama gerakan lokomosi, gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagian anak dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan sedang. Untuk berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak. Dalam kehidupan sehari-hari anak tunadaksa perlu bantuan dan alat yang sesuai. Keadaan kapasitas kemampuan intelektual anak gangguan gerak otot ini tidak berbeda dengan anak normal.

4. Prespektif Konsep Diri Charles Horton Cooley

Dalam karyanya yang terkenal Human Nature and the Social Order, Charles Horton Cooley dalam Riyadi Soeprapto (2002: 142) mengemukakan bahwa individu dengan masyarakat terjalin suatu hubungan timbal balik sehingga antara individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, dan antara individu dengan masyarakat saling ketergantungan secara organis. Proposisi ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia lahir dengan perasaan diri (self- feeling) yang tidak jelas dan belum terbentuk. Pertumbuhan dan perkembangan perasaan diri merupakan hasil dari proses interaksi yang ditandai dengan kontak dan komunikasi interpersonal dalam suatu lingkungan sosial. Perkembangannya, seperti proses komunikasi itu sendiri, tergantung pada pemahaman simpatetis (sympathetic understanding) antara individu yang satu terhadap individu yang lain. Dengan pemahaman itu, mereka dapat ikut merasakan perasaan dan ide orang lain. Mereka dapat menangkap apa yang dipikirkan orang lain. Hal ini berhubungan erat dengan perasaan diri seseorang. Apakah orang itu senang atau kecewa, menolak atau menyetujui

(20)

penampilan dan perilakunya. Perasaan diri tersebut berpengaruh terhadap tindakan dan interaksi dari individu dengan lingkungan sosialnya yang membentuk suatu konsep diri individu.

Charles Horton Cooley yang dikutip oleh Riyadi Soeprapto (2001:63) memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok, bahwa individu-individu dan kelompok tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata yang dihasilkan dari pemahaman simpatetis yang diterima dari adanya perasaan dan ide individu dan kelompok di lingkungan sosialnya.

Ketika individu mengasumsi perasaan dan ide yang berasal dari individu dan kelompok di lingkungan sosial, kemudian diterapkan pada perilaku individu baik dalam berinteraksi dan bertindak. Dari perilaku individu yang berupa interaksi dan tindakan tersebut membentuk suatu konsep diri.

Kemudian menurut Hurlock dalam Sutary (2013: 164) menyatakan bahwa konsep diri adalah kesan (image) individu mengenai karakteristik dirinya yang mencakup fisik, sosial, emosional, aspirasi, dan prestasi. Sejalan dengan pengertian tersebut, Sawrey dan Telford dalam Sutary (2013:161) berpandangan bahwa konsep diri merujuk pada pengertian bagaimana seorang individu memandang dirinya sendiri. Rogers dalam Sutary (2013:163) menambahkan bahwa konsep diri sebagai persepsi individu tentang karakteristik dan kemampuannya, pandangan individu tentang dirinya dalam kaitanya dengan orang lain dan lingkungannya, persepsi individu tentang kualitas nilai dalam hubungannya dengan pengalaman dan objek, tujuan dan cita-cita yang dianggap memiliki nilai positif dan negatif.

Kemudian menurut Blumer dalam Bernard (2007: 112) mendefinisikan konsep diri dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu apa saja yang diketahui orang lain. Itu berarti bahwa hanya manusia yang dapat menjadikan tindakannya sendiri sebagai objek. Ia bertindak terhadap dirinya sendiri dan membimbing dirinya sendiri dalam tindakannya terhadap orang lain atas dasar

(21)

pemikiran dia menjadi objek bagi dirinya sendiri. Diri adalah sebuah proses, bukan benda. Blumer menjelaskan bahwa diri membantu manusia bertindak tak hanya sekedar memberikan tanggapan semata atas stimulus dari luar.

Sedangkan Menurut Charles Horton Cooley yang dikutip oleh Maryati Kun dan Juju Suryawati (2008: 100) mengungkapkan konsep diri disebut looking glass self karena dalam setiap interaksi sosial seseorang yang terlibat merupakan cerminan yang disatukan dalam identitas orang itu sendiri. Pemikiran tentang konsep diri yang dikembangkan oleh Charles Horton Cooley dalam George Ritzer (2008: 295) yang mendefisnisikan 3 tahap sebagai berikut : (1) kita membayangkan bagaimana penampilan kita dimata orang lain (2) kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita (3) kita membayangkan semacam perasaan diri tertentu seperti rasa harga diri atau rasa malu, sebagai akibat dari bayangan kita mengenai penilaian dari orang lain. Dalam konsep diri Charles Horton Cooley dapat dipahami bahwa, individu membayangkan dirinya dilihat oleh orang lain berupa penampilan, fisik, sikap, dan sebagainya. Kemudian individu membayangkan penilaian orang lain mengenai dirinya, sehingga individu melihat dirinya yang muncul dari interaksi dengan orang lain. Dari penilaian orang lain tersebut, individu akan merasa bangga atau kecewa.

Charles Horton Cooley berpendapat bahwa konsep diri individu secara signifikan ditentukan oleh apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain mengenai dirinya, jadi menekankan pentingnya respon orang lain yang ditafsirkan secara subjektif sebagai sumber primer data mengenai diri (Mulyana, 2006: 83). Charles Horton Cooley yang dikutip oleh Maryati Kun dan Juju Suryawati (2008: 100) juga menambahkan bahwa konsep diri seseorang berkembang melalui interaksi dengan orang lain karena diri seseorang memantulkan apa yang dirasakan sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya sehingga diri seseorang ini merupakan sebuah produk sosial, yaitu sebuah produk dari interaksi sosial.

(22)

Mengenai interaksi sosial siswa difabel dengan siswa non-difabel, sebelum siswa difabel akan berinteraksi dan bertindak sesuatu dengan individu yang dituju, siswa difabel akan membangun pemahaman terlebih dahulu mengenai sikap dan kepribadian individu disekitarnya tersebut. Siswa difabel membayangkan dirinya dilihat oleh individu lain berupa penampilan, fisik, sikap, dan sebagainya. Kemudian siswa difabel membayangkan penilaian individu lain mengenai dirinya, sehingga siswa difabel melihat dirinya yang muncul dari interaksi dengan orang lain. Apabila individu tersebut menilai atau merespon diri siswa difabel kurang sesuai dengan pemahaman atau tafsiran yang dibangun oleh siswa difabel, maka siswa difabel akan merasa kesewa sehingga cenderung mengurangi tindakan interaksi dengan individu tersebut. Sebaliknya, apabila individu tersebut menilai atau merespon diri siswa difabel sesuai dengan pemahaman atau tafsiran yang dibangun oleh siswa difabel, maka siswa difabel akan merasa bangga sehingga cenderung lebih nyaman dan beragam dalam tindakan interaksi dengan individu disekitarnya. Dari hal tersebut, akan terwujud suatu bentuk interaksi sosial yang berbeda-beda dari setiap siswa difabel sesuai dengan konsep diri yang dibentuk oleh siswa difabel terhadap penilaian atau respon yang diterima dari individu di lingkungan sekolahnya.

5. Hasil Penelitiaan Yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Joko Teguh Prasetyo (skripsi,2010) mengenai “Proses dan Pola Interaki Siswa Difabel dan Siswa Non-Difabel Di Sekolah Inklusif Di Kota Surakarta.” Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui pendidikan inklusif khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini siswa difabel telah banyak mengalami perubahan sikap yang terkait dengan masalah gangguan interaksi sosial dan sosialisasi. Saat pertama kali masuk di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, siswa sangat tidak percaya diri, sulit untuk berinteraksi sosial dan bersosialisasi bersama teman-teman, serta mempunyai

(23)

nilai pelajaran yang rendah. Tetapi setelah melalui proses pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, siswa difabel kini mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-teman non-difabel serta memiliki rasa percaya diri dan mandiri. Sikap-sikap inilah yang nantinya akan dibutuhkan oleh para siswa difabel ketika mereka memasuki dunia kerja maupun untuk bekal hidup di masa mendatang.

Penelitian yang dilakukan oleh M.Arief Budiman (Skripsi, 2012) mengenai “Inklusi Sosial Tunanetra Di Sekolah Inklusif”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa-siswi tunanetra secara umum tidak mengalami kendala dalam melakukan interaksi yang salah satunya ditunjukan melalui proses perkenalan pertama kali serta adanya kontribusi siswa tunanetra di dalam tugas kelompok dengan teman non-tunanetra. Selain siswa tunanetra saat di dalam kelas lebih banyak melakukan interaksi dengan melakukan perbincangan dengan teman sebangkunya yang merupakan siswa non-tunanetra pada saat jam pelajaran berlangsung. Tujuan adanya perbincangan yang dilakukan siswa tunanetra saat pelajaran berlangsung selain untuk mengetahui pelajara yang belum dimengerti, yaitu untuk memberitahu temannya tersebut untuk mengetahui pelajaran yang ia mengerti.

B. Kerangka Berfikir

Pendidikan inklusi mulai banyak berkembang di Indoneisa. Hal ini mengikuti kecenderungan perkembangan pendidikan inklusi di negara-negara lainnya.

Penyelenggaraan pendidikan inklusi memberikan kesempatan secara luas pada anak berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler bersama siswa normal lainnya agar mendapatkan pendidikan yang bermutu, sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki anak berkebutuhan khusus.

Dengan adanya pendidikan inklusi, terdapat beragam karakteristik siswa, baik itu siswa difabel maupun siswa non-difabel. Dari hal tersebut, setiap siswa harus mampu menyesuaikan diri dengan baik dan tepat di lingkungan sekolahnya.

(24)

Dengan beragamnya karakteristik siswa, terutama siswa difabel yang memiliki kepribadian yang cenderung tertutup, mudah tersinggung, emosional, dan merasa rendah diri karena keterbatasannya. Hal ini menyebabkan tidak semua siswa difabel dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan baik dengan lingkungannya terutama dengan siswa non-difabel sehingga terdapat masalah interaksi sosial antara siswa difabel dengan siswa non-difabel di sekolah inklusi.

Terdapat juga siswa non-difabel juga bersikap kurang ramah, kurang bertoleransi, dan meremehkan keberadaan siswa difabel. Agar penyelenggaraan pendidikan inklusi berjalan dengan baik, maka perlu mengutamakan pentingnya interaksi sosial antara siswa difabel dengan siswa non-difabel baik dalam kegiatan akademis maupun non-akademis.

Interaksi sosial yang terjadi antara siswa difabel dengan siswa non-difabel dipengaruhi oleh beberapa faktor. Setiap individu yaitu siswa difabel maupun siswa non-difabel menerima faktor yang berbeda-beda sehingga memungkinkan terbentuknya interaksi sosial yang berbeda dan beragam antara siswa difabel dengan siswa difabel. Interaksi sosial siswa difabel dengan siswa non-difabel tersebut, dilatarbelakangi oleh konsep diri yang dibangun setiap siswa difabel dalam menerima faktor-faktor interaksi sosial dari lingkungan sekolah baik itu dari siswa non-difabel maupun dari guru. Kemudian faktor-faktor tersebut diterapkan pada kepribadian siswa difabel dalam berinteraksi dan bertindakan di lingkungan sekolah. Dari hal tersebut, terbentuk interaksi sosial antara siswa dfabel dengan siswa non-difabel sesuai dengan konsep diri yang dibangun siswa difabel. Disini peneiliti meneliti lebih jauh apa saja faktor yang mempengaruhi interaksi sosial siswa difabel dengan siswa non-difabel dan bagaimana bentuk interaksi sosial siswa difabel dengan siswa non-difabel, kemudian membingkainya dengan teori konsep diri Charles Horton Cooley untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi dan bentuk interaksi sosial melalui konstruksi konsep diri siswa difabel dalam interaksi sosial di sekolah. Pemilihan teori ini paling sesuai dengan fenomena tersebut karena melalui pembahasan

(25)

Cooley memunculkan perilaku interaksi sosial siswa difabel yangb dapat dilihat melalui faktor dan bentuk interaksi sosial siswa difabel yang mengamsumsi konsep diri. Prespektif teori ini, memiliki beberapa tahap dimana individu membayangkan dirinya dilihat oleh orang lain berupa penampilan, fisik, sikap, dan sebagainya. Kemudian individu membayangkan penilaian orang lain mengenai dirinya, sehingga individu melihat dirinya yang muncul dari interaksi dengan orang lain. Dari penilaian orang lain tersebut, individu akan merasa bangga atau kecewa. Dari beberapa tahap dalam teori konsep diri tersebut, penelitian ini diharapkan dapat mengetahui dan memperlihatkan faktor dan bentuk interaksi sosial siswa difabel yang mengamsumsi konsep diri Dari pembahasan tersebut dapat dianalogikan dengan bagan pada Gambar 2.1 sebagai berikut :

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir

Sekolah Inklusi

Bentuk Interaksi Sosial Faktor Yang

Mempengaruhi Interaksi Sosial

Interaksi Sosial Siswa Difabel Dengan Siswa Non-Difabel

Teori Konsep Diri Charles Horton

Cooley

Faktor dan Bentuk Interaksi Sosial Siswa Difabel yang Mengamsumsi Konsep Diri

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir

Referensi

Dokumen terkait

d 280°C. Produk yang menggunakan parameter 290°C memiliki kualitas yang buruk. Penggunaan parameter ini akan menyebabkan produk yang dihasilkan mengalami gagal

Berdasarkan hasil pengujian data kedatangan dan data waktu pelayanan kendaraan yang dilakukan pada sistem antrian di area final inspection, model sistem antrian awal yang digunakan

Meskipun keenam contoh tanah dari kedua seri pengujian tersebut mempunyai kadar air awal dan berat volume kering yang berbeda, hubungan antara besar pengembangan dan

Kegiatan pelatihan ini mendapat respon positif dari peserta pelatihan, adapun manfaat yang didapat oleh peserta pelatihan adalah menumbuhkan minat guru dalam

Berdasarkan apa yang telah peneliti ungkapkan dalam latar belakang, peneliti menjadikan alasan diatas sebagai hal yang melatar belakangi penelitian yang akan

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat pemberian formula rehidrasi oral berbasis beras (FROBB/ oralit beras) terhadap lama sakit anak usia 6-24 bulan yang

Mekanisme migrasi elektron pada permukaan semikonduktor yang termodifikasi logam melalui tahap eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi dan setelah

Penggunaan media dalam suatu proses pembelajaran dapat meningkatkan proses pembelajaran yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar yang