• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

19 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori.

1. Teori Demokrasi.

Membahas mengenai demokrasi akan dijumpai banyak terminologi dari beberapa ahli. Demokrasi merupakan bagian dari khazanah dalam membuat keputusan secara kolektif. Prinsip dari demokrasi adalah sebagai kontrol masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan secara kolektif dan memiliki kesamaan hak dalam mengendalikan hal tersebut. Dengan kata lain, secara umum dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah perwujudan keinginan secara keseluruhan rakyat yang dalam hal ini seluruh rakyat memiliki hak yang sama. Demokrasi juga diartikan sebagai indikator tentang sejauh mana prinsip kendali rakyat dan kesetaraan politis dapat diwujudkan, serta bagaimana partisipasi rakyat dapat makin nyata dalam mewujudkan pengambilan/pembentukan keputusan secara kolektif10.

Secara etimologi, kata demokrasi berasal dari kata demoskratos yang berarti kekuasaan atau yang berkuasa adalah rakyat. Sesuai dengan artinya, maka demokrasi dianggap sistem yang paling baik dari berbagai pilihan lainnya di dalam sistem politik dan ketatanegaraan11. Menurut Joseph Schumpeter, demokrasi merupakan kekuasaan seseorang dalam menentukan keputusan politik yang ditentukan oleh voting dari suara rakyat melalui para wakilnya di parlemen. Di sini J. Schumpeter melihat bahwa suatu negara dapat dikatakan demokratis apabila pemerintahannya terbentuk atas

10 David Beetham & Kevin Boyle. (2000). Demokrasi. Yogyakarta: Kanisius.

11 Huda N. (2014). Ilmu Negara. Jakarta: Raja Grafindo.

(2)

20

kehendak rakyat yang diwujudkan melalui pemilihan umum secara kompetitif untuk memilih para elite representatif12.

Sementara itu, pendapat berbeda diucapkan oleh Socrates dan Aristoteles, demokrasi sebenarnya bukan merupakan sistem politik yang ideal. Socrates sendiri menganggap sistem demokrasi dapat melahirkan pemimpin yang dungu karena proses pemilihan pemimpin yang melibatkan orang-orang yang tidak memiliki kapasitasi dan kapabilitas untuk memilih. Sejalan dengan pemikiran Socrates tersebut, Aristoteles lebih memilih aristokrasi sebagai pilihannya.

Aristokrasi menempatkan seorang aristokrat yang memiliki kemampuan dalam tata kelola pemerintahan, sekaligus juga kemapuan berpikir yang dapat diandalkan untuk memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi rakyatnya13.

Dalam perjalanannya, pemikiran mengenai demokrasi terus berevolusi untuk mengatasi tantangan-tantangan yang hadir dalam bentuk gelombang anti demokrasi dari sistem komunisme, militerisme, dan fasisme. Pemikiran tersebut hadir antara lain dari Jurgen Habermas, Jean Jacques Rosseau, dan Hans Kelsen. Menurut J.

Habermas, akal manusia adalah kekuatan etika dan moral.

Keterlibatannya dalam demokrasi tidak hanya pada isu-isu individual dan psikologis, ia juga berkeinginan untuk menunjukkan bentuk spesifik yang mendasari praktik-praktik sosial dan politik di masyarakat Barat pada waktu itu yang berjalan secara liberal. Oleh sebab itu, ia berpandangan bahwa demokrasi bukan hanya sebuah prefensi individual atau bahkan secara kolektif, melainkan sebagai sesuatu yang secara mutlak telah diadvokasikan dalam usaha untuk hidup bersama dalam damai14.

12 Gustavo Esteva & Madhu S. Prakash. (1999). Demokrasi Radikal: Otonomi Lokal, Bukan Globalisasi, Proyek-Proyek Demokrasi. Jurnal Ilmu Sosial Transformastif Wacana, No. II, (hlm.

20).

13 Muslim Mufti & Didah D. Naafisah. (2013). Teori-Teori Demokrasi. Bandung: CV. Pustaka Setia.

14 Craig Calhon. (1992). Habermas and The Public Sphere. Cambridge: MIT Press.

(3)

21

Sementara Jean Jacques Rosseau berpandangan bahwa manusia memiliki keadaan alamiah dalam dirinya sebagai individu yang bebas dan merdeka tanpa intervensi atau paksaan dari pihak mana pun. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa demokrasi adalah sebuah tahapan atau proses yang harus dilalui oleh sebuah negara untuk mendapatkan kesejahteraan. Menurutnya, demokrasi akan berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dan akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya sebuah negara. Dengan demikian, jika demokrasi diletakkan secara kaku dan ideal, maka tidak akan pernah ada demokrasi yang nyata15. Keberlanjutan demokrasi memerlukan rakyat yang bersepakat perihal makna demokrasi, serta pemahaman akan bekerjanya demokrasi dan kegunaannya bagi kehidupan bernegara. Demokrasi yang kuat bersumber pada kehendak rakyat yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan bersama16.

Sedangkan, Hans Kelsen memaknai demokrasi adalah sebuah proses yang berkelanjutan menuju kesempurnaan. Demokrasi bermula dari adanya ide kebebasan yang berada dalam benak manusia. Ide kebebasan yang dimaksud Hans Kelsen di sini adalah prinsip penentuan kehendak sendiri, inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran Hans Kelsen mengenai demokrasi17.

Berbicara mengenai demokrasi maka tidak dapat dipisahkan dengan konsep negara hukum. Hal tersebut dikarenakan negara hukum merupakan salah satu negara demokratis, dan demokratis itu sendiri merupakan salah satu cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum. Secara substansial, makna demokrasi dari sudut pandang hukum terbagi menjadi 2 (dua), yakni berkaitan dengan norma berupa cara memperoleh kekuasaan dan bagaimana melaksanakan kekuasaan tersebut18.

15 J.J. Rousseau. (2007). Du Contract Social (Perjanjian Sosial). Jakarta: Visimedia.

16 M. Mas’oed. (1999). Negara, Kapital, dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

17 HM. Thalhah. (2009). Teori Demokrasi Dalam Wacana Ketatanegaraan. Jurnal Hukum, Vol.

16. No. 3, (hlm. 415).

18 Zulfirman. (2006). Ontologi Demokrasi. Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 2, (hlm. 137-138).

(4)

22

Sementara, demokrasi dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan disebut dengan istilah nomokrasi. Nomorkrasi berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Konsekuensi yuridis sebagai sebuah negara hukum, secara mutatis mutandis memunculkan kewajiban bagi negara untuk melaksanakan prinsip keadilan. Prinsip keadilan dalam negara hukum tersebut berusaha untuk mendapatkan titik tengah antara dua kepentingan, yakni memberikan kesempatan kepada negara untuk menjalankan pemerintahan dengan kekuasaan yang dimilikinya, akan tetapi pada sisi lain rakyat juga harus mendapatkan pelindungan atas hak-hak dasarnya melalui prinsip keadilan hukum19.

Demokrasi harus dibangun dalam batas-batas nomokrasi, sebab demokrasi tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya rule of law.

Dengan kata lain, demokrasi membutuhkan aturan main yang jelas dan dipatuhi secara bersama. Tanpa adanya aturan itu, demokrasi tidak akan pernah mencapai tujuan dari substansinya. Dalam implementasi prinsip nomokrasi, demokrasi diatur dan dibatasi oleh aturan hukum. Sedangkan, hukum itu sendiri ditentukan melalui cara- cara demokratis berdasarkan konstitusi. Dengan demikian, aturan dasar penyelenggaraan negara harus disandarkan secara konsisten pada konstitusi.

2. Teori Konstitusionalisme.

Konstitusionalisme mengemban the limited state agar penyelenggaraan negara dan pemerintahan tidak berlaku sewenang- wenang dan hal tersebut diatur secara tegas dalam konstitusi. Oleh sebab itu, konstitusionalisme menghadirkan situasi yang dapat memberikan rasa aman karena adanya pembatasan terhadap wewenang pemerintah yang telah diatur dalam pasal-pasal undang- undang dasar sebagai konstitusi tertulis suatu negara20. Seperti

19 Pigome M. (2011). Implementasi Prinsip Demokrasi dan Nomokrasi Dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Jurnal Dinamika Hukum, Vol.

11, No. 2, (hlm. 338).

20 Miriam Budiarjo. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

(5)

23

pendapat dari para ahli yang menyatakan bahwa konstitusionalisme adalah suatu sistem pengekangan yang efektif dan teratur yang dilembagakan terhadap tindakan pemerintah21. Hakikat dari lahirnya konstitusionalisme merupakan suatu paham yang mengatur dan membatasi kekuasaan pemerintahan, serta jaminan terhadap hak-hak warga negara22.

Suatu negara membutuhkan kekuasan untuk memberikan kekuatan bagi penyelenggaraan pemerintahan. Namun, harus diwaspadai apabila kekuasaan itu diberikan ke tangan penguasa tanpa dibatasi oleh sebuah konstitusi maka akan terjadi abuse of power.

Konstitusionalisme hadir dengan membawa gagasan bahwa pemerintahan yang dijalankan oleh dan atas nama rakyat harus dikenakan beberapa pembatasan untuk menjamin bahwa kekuasaan yang diselenggarakan tidak disalahgunakan. Sehingga, diperlukan pengaturan yang sedemikian rupa agar dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya melalui konstitusi.

Secara istilah, konstitusi berarti membentuk, dalam bahasa Prancis disebut contituer. Pembentukan di sini diartikan pembentukan dari suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara23. Sementara, dalam bahasa latin, konstitusi dikenal dengan contitutio yang berhubungan dengan kata jus atau ius yang bermakna hukum atau prinsip24. Sedangkan, jika berdasarkan Oxford Dictionary Law, yang disebut dengan konstitusi tidak hanya aturan tertulis saja, tetapi juga apa yang dipraktikkan dalam penyelenggaraan suatu negara.

Pengaturan yang ada dalam konstitusi bukan hanya berkaitan dengan organ negara berserta fungsinya saja mulai dari Pemerintah Pusat sampai dengan Pemerintah Daerah, melainkan juga mengatur

21 Friedrich C.J. (1963). Man and His Government. New York: McGraw-Hill.

22 Bagir Manan. (1995). Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara. Bandung:

CV. Mandar Maju.

23 Projodikoro W. (1989). Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

24 Asshiddiqie J. (2005). Konstitusi dan Konstitusionalisme, Edisi Pertama. Jakarta: Konstitusi Press.

(6)

24

mengenai hubungan antara negara dengan warga negaranya25. Oleh sebab itu, konstitusi dapat dikatakan sebagai kontrak sosial atau kesepakatan kenegaraan yang tertinggi.

Berpijak pada beberapa ketentuan sebagaimana tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konstitusi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam suatu negara. Hal tersebut dikarenakan sistem ketatanegaraan dari suatu negara dijalankan dan diatur dalam sebuah konstitusi. Selain itu, konstitusi juga merupakan aturan tertinggi dan menjadi rujukan atau dasar dari pembentukan peraturan perundang- undangan dalam suatu negara.

Ada banyak batasan pengertian mengenai konstitusi, mulai dari konstitusi dalam pengertian sosial-politik, konstitusi dalam pengertian hukum, dan konstitusi dalam pengertian peraturan tertulis. Herman Heller dalam bukunya Verfassungslehre mengartikan konstitusi dalam pengertian tertulis merupakan tahapan tertinggi dalam perkembangan rechts verfassung yang muncul sebagai akibat pengaruh aliran kodifikasi yang menghendaki agar berbagai norma hukum dalam suatu negara dapat dituangkan dalam naskah yang bersifat resmi, dengan tujuannya untuk mencapai recht seinehedi, rechts vereenvoudiging, dan rechts zekerheid26.

Apabila berbicara mengenai konstitusi tertulis di Indonesia maka akan tertuju pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun materi muatan yang harus diatur dalam konstitusi tertulis tersebut menurut pandangan Hans Kelsen meliputi preambule, determination of the contents of the future statutes, determination of the administrative and judicial function, the unconstitutional law, bill of rights, and guarantee of the contitutions27. Dalam perkembangannya, sejak pertama kali dirumuskan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan

25 Asshiddiqie J. (2015). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press.

26 Ibid., hlm. 100.

27 Trijono R. (2013). Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.

(7)

25

Indonesia28, kontitusi tertulis republik ini telah mengalami 4 (empat) kali perubahan29.

Pertama, adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang secara garis besar menyatakan bahwa para pendiri negara menerima Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, menyetujui untuk memilih republik sebagai bentuk negara yang merupakan kelanjutan dari demokrasi desa, menerima sistem permusyawaratan sebagai tradisi yang sesuai dengan susunan negara bangsa modern, dan menerima ketentuan untuk mengakui dan melindungi hukum adat dan susunan tata negara asli yang terdapat di beberapa daerah dan desa-desa yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia30.

Kedua, adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949.

Perubahan ini didasari oleh Konferensi Meja Bundar pada tanggal 2 November 1949, yang menyepakati untuk mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat, penyerahan kembali kedaulatan Republik Indonesia Serikat, dan mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda31.

Ketiga, adalah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.

Bentuk federasi yang digagas sebelumnya tidak berlangsung lama, praktis hanya berjalan selama 8 (delapan) bulan saja. Satu demi satu negara bagian menggabungkan diri kembali dan melakukan perundingan, dalam perundingannya menghasilkan 3 (tiga) alternatif untuk menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni pasal-pasal dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang bersifat federalis dihilangkan dan diganti dengan pasal-pasal yang bersifat kesatuan.

Negara kesatuan dibentuk dengan cara meleburkan Negara Republik Indonesia ke dalam Republik Indonesia Serikat, dan negara kesatuan

28 Azhari AF. (2017). Tafsir Konstitusi: Pergulatan Mewujudkan Demokrasi di Indonesia.

Yogyakarta: Genta Publishing.

29 Sihombing E. (2019). Pengantar Hukum Konstitusi. Malang: Setara Press.

30 Azhari AF. (2014). Rekonstruksi Tradisi Bernegara dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Yogyakarta: Genta Publishing.

31 Huda N. (2008). Undang-Undang Dasar 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta:

Rajawali Press.

(8)

26

dibentuk dengan cara menggabungkan Republik Indonesia Serikat ke dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia32.

Keempat, kembali ke Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Berdasarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 di dalam Diktumnya menyatakan bahwa menetapkan pembubaran Konstituante, menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kembali bagi segenap bangsa, tidak berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950, dan segera dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara33.

Sejak berlakunya kembali Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah mengalami 4 (empat) kali amendemen34. Amendemen pertama terjadi pada tahun 1999 dengan 3 (tiga) materi pokok yang menjadi poin utamanya adalah mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara, Kementerian Negara, dan Dewan Perwakilan Rakyat. Amendemen kedua terjadi pada tahun 2000, pokok pembahasannya yang lebih menekankan pada aspek desentralisasi, pemberdayaan Dewan Perwakilan Rakyat, penyempurnaan hak asasi manusia, pertahanan negara, dan atribut negara. Pada amendemen ketiga yang terjadi pada tahun 2001, perubahannya adalah penyempurnaan atas pelaksanaan kedaulatan rakyat, pemilihan umum presiden dan wakil presiden secara langsung, dan pembentukan beberapa lembaga negara.

Amendemen keempat terjadi pada tahun 2002, yang menjadi inti perubahan dari amendemen kali ini adalah mengenai putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden.

Konstitusi dalam suatu negara hukum didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dipilih. Jika suatu negara menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi tersebut adalah rakyat. Namun, jika dalam suatu negara yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang

32 Sulardi. (2012). Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni. Malang: Setara Press.

33 Lubis MS. (1982). Asas-Asas Hukum Tata Negara. Bandung: Alumni.

34 Muhtaj ME. (2017). Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia: Dari Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Tahun 2020. Jakarta:

Kencana.

(9)

27

menentukan berlaku atau tidaknya suatu konstitusi35. Republik Indonesia sebagai negara yang menganut paham demokrasi telah menyerahkan kedaulatan kepada rakyat, maka rakyatlah yang menentukan berlakunya sebuah konstitusi dengan cara tidak langsung melalui lembaga perwakilan rakyat.

Konstitusi merupakan hukum tertinggi yang bersifat fundamental dari suatu negara hukum. Akibat dianutnya wawasan negara hukum, maka sistem konstitusionalisme menjadi pasangan logis sebagai wawasan keterbatasan tindakan pemerintah dalam melakukan tugas- tugasnya. Ketentuan yang menyatakan bahwa pemerintahan negara harus didasarkan atas sistem konstitusional dan tidak boleh sewenang- wenang telah disertai dengan keleluasaan bergerak yang diberikan oleh konstitusi itu sendiri36.

Konstitusi juga dijadikan sumber legitimasi sebagai landasan otorisasi dari pembentukan peraturan perundang-undangan lain di bawahnya. Sedangkan, prinsip konstitusionalisme pada pokoknya menyangkut mengenai pembatasan kekuasaan (limited government).

Konstitusionalisme tersebut mengatur mengenai dua hubungan yang saling berkaitan antara pemerintah dengan warga negaranya dan hubungan antar lembaga pemerintah yang satu dengan lembaga pemerintah yang lainnya. Dengan demikian, hal terpenting dalam sebuah konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan dan pembatasan terhadap kekuasan pemerintahan.

Oleh sebab itu, konstitusionalisme di era modern dianggap sebagai konsep yang niscaya bagi setiap negara hukum. Perannya dianggap cukup sentral menyangkut pembatasan yang efektif dan sistematis terhadap jangkauan perilaku penguasa.

35 Brian Thompson. (1997). Textbook on Constitusional and Administrative Law. London:

Blackstone Press.

36 Indrati MF. (2021). Kumpulan Tulisan A. Hamid S. Attamimi: Gesetgebungswissenschaft Sebagai Salah Satu Upaya Menanggulangi Hutan Belantara Peraturan Perundang-undangan.

Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

(10)

28 3. Teori Hukum Pembangunan.

Teori hukum pembangunan lahir circa tahun tujuh puluhan, yang diadaptasi dari Teori Law as a Tool of Social Engineering milik Roscoe Pound. Hukum sebagai sarana social engineering bermakna penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan, atau untuk melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan37. Adalah Prof. Dr.

Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M., yang pertama kali mencetuskan Teori Hukum Pembangunan tersebut38. Meski teori tersebut hadir sejak tahun tujuh puluhan, namun sampai saat ini masih tetap eksis di Indonesia karena dicetuskan oleh jurist dari Indonesia dengan memperhatikan dimensi dan kultur masyarakat Indonesia.

Teori ini juga memberikan dasar fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Terlebih, hukum sebagai suatu sistem sangat dibutuhkan bagi Republik Indonesia sebagai sebuah negara hukum39. Oleh karena teori tersebut lahir, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia, maka jika diaplikasikan ke dalam sistem hukum nasional akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang majemuk.

Dalam kaitannya dengan sociological jurisprudence, hukum pembangunan terlihat memiliki keterkaitan dan keterhubungan dalam hal memfungsikan hukum. Hukum tidak sekadar berfungsi konservasi menjaga status quo, melainkan juga mendukung perubahan atau pembangunan. Dengan demikian, hukum merupakan instrumen dalam perubahan sosial atau pembangunan40.

Teori hukum pembangunan mengubah pengertian hukum yang semula sebagai alat (tool), menjadi hukum sebagai sebuah sarana (instrument) untuk membangun masyarakat. Gagasan yang melandasi

37 Rahardjo S. (2009). Hukum dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Genta Publishing.

38 Shidarta. (2006). Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-Indonesiaan. Jakarta:

CV Utomo.

39 Rasjidi L. & Wiyasa Putra. (2003). Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung: CV Mandar Maju.

40 Wignjosoebroto S. (2013). Pergeseran Paradigma Dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum.

Malang: Setara Press.

(11)

29

Prof. Mochtar Kusumaatmadja menghadirkan konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan mutlak diperlukan, karena hukum dalam arti norma diharapkan dapat mengarahkan kegiatan masyarakat ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan tersebut41. Oleh karena itu, maka diperlukan sarana berupa peraturan perundang- undangan yang harus sesuai dengan hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat.

Lebih lanjut, Prof. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana jauh lebih luas daripada hukum sebagai alat. Hal tersebut didasarkan pada peranan peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam proses pembaharuan hukum lebih utama jika dibandingkan dengan negara-negara common law system yang menempatkan putusan pengadilan (yurisprudensi) yang lebih penting. Konsep hukum sebagai alat akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penerapan legisme, seperti halnya pada saat zaman hindia belanda yang jelas-jelas masyarakat Indonesia menolak penerapan konsep seperti demikian. Apabila hukum di sini juga diartikan sebagai hukum supranasional, maka konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum teori ini diterima sebagai landasan kebijakan sistem hukum nasional42.

Namun, jika menghendaki hukum menjadi sarana pembaharuan masyarakat atau sarana pembangunan, tentu saja yang disebut hukum dan dijadikan yang utama itu haruslah tertulis. Begitupun sebaliknya, meletakkan hukum tidak tertulis (living law) sebagai hukum yang utama, jelas akan sulit diterima kalau tidak justru menghambat upaya mengikuti kehendak-kehendak pembaharuan atau pembangunan.

Meskipun teori hukum pembangunan tetap memperioritaskan hukum berupa undang-undang dan berlaku secara universal dalam suatu

41 Shidarta. (2006). Op. Cit., hlm. 415.

42 Kusumaatmadja M. (2002). Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Bandung: PT Alumni.

(12)

30

wilayah hukum43. Namun, masih tetap memberikan tempat keberlakuan terhadap hukum kebiasaan, yakni khusus untuk bidang- bidang yang sangat erat kaitannya dengan aspek budaya, keagamaan, dan sistem sosial masyarakat44.

Fungsi hukum dalam kehidupan bermasyarakat yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan ketertiban semata, hukum dikehendaki agar lebih berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat atau sarana pembangunan. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau pembangunan merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan dipandang mutlak adanya, serta hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah pembaharuan. Namun, ketidakjelasan kriteria pembaharuan atau pembangunan seperti apa yang perlu didukung dengan bersaranakan hukum. Sementara, karakter produk hukum dipengaruhi oleh konstelasi politik yang tengah berlangsung menyebabkan proyeksi hukum pembangunan dapat mudah terjebak pada kehendak kekuasaan dan bukan mengarahkan pada pembaharuan atau pembangunan45.

Dalam hubungannya dengan fungsi hukum yang telah dikemukakan sebagaimana tersebut, Prof. Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum dalam pengertian yang lebih luas, tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan masyarakat, melainkan juga meliputi lembaga- lembaga dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah- kaidah tersebut dalam kehidupan nyata46. Dengan demikian, Prof.

43 Manullang EFM. (2016). Legisme, Legalitas, dan Kepastian Hukum. Jakarta: Kencana.

44 Kusumaatmadja M. (1995). Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional.

Bandung: Binacipta.

45 Aulia MZ. (2018). Hukum Pembangunan Dari Mochtar Kusumaatmadja: Mengarahkan Pembangunan atau Mengabdi Pada Pembangunan. Undang: Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 2, (hlm.

364).

46 Kusumaatmadja M. (1986). Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional.

Bandung: Binacipta.

(13)

31

Mochtar Kusumaatmadja tidak hanya merekonseptualisasi hukum dari perannya sebagai pengatur tertib kehidupan sosial ke arah fungsinya sebagai perekayasa sosial demi terwujudnya pembangunan nasional.

Beliau juga telah berhasil memindahkan proses penciptaan hukum dari wilayah yudisial ke wilayah kewenangan legislatif yang pada era Orde Baru didominasi oleh kewenangan eksekutif47.

Pengertian hukum di atas menunjukan bahwa untuk dapat memahami hukum secara holistis tidak hanya terdiri dari asas dan kaidah saja, akan tetapi juga meliputi lembaga dan proses. Keempat komponen tersebut bekerja sama secara integral untuk mewujudkan kaidah dalam kenyataannya dalam arti pembinaan hukum yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan.

Meski demikian, sesungguhnya ada perbedaan yang khas antara hukum dan kaidah-kaidah sosial, yakni penataan ketentuan-ketentuan hukum dapat dipaksakan dengan suatu cara yang teratur. Oleh karena hukum memerlukan paksaan bagi penataan ketentuan-ketentuannya, maka hukum memerlukan kekuasaan bagi penegaknya. Inilah sebabnya mengapa kekuasaan menjadi unsur yang mutlak dalam suatu masyarakat hukum dalam arti masyarakat yang diatur oleh dan berdasarkan hukum48. Namun, kekuasaan itu sendiri mesti tunduk pada batas-batasnya yang telah ditentukan oleh hukum itu sendiri.

Sehingga munculah anggapan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman.

B. Kajian Pustaka.

1. Rekonstruksi.

Sebelum mencari arti dari rekonstruksi, maka harus terlebih dahulu memahami apa itu konstruksi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata konstruksi berarti susunan (model, tata letak) suatu

47 Shidarta, Susanto AF, et al., (2012). Mochtar Kusuma-atmadja dan Teori Hukum Pembangunan: Eksistensi dan Implikasi. Jakarta: Epistema Institute dan HuMa.

48 Kusumaatmadja M. (1978). Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Binacipta.

(14)

32

bangunan (baik jembatan, rumah, dan sebagainya). Dari arti kata konstruksi tersebut kita baru dapat mencari arti kata rekonstruksi, karena kedua kata tersebut saling berkaitan.

Rekonstruksi merupakan penyusunan kembali sesuatu seperti semula untuk memulihkan suatu hal yang awalnya belum benar menjadi benar49. Rekonstruksi yang memiliki arti membangun atau mengembalikan sesuatu berdasarkan keadaan semula, dimana dalam rekonstruksi dimaksud terkandung nilai-nilai primer yang harus tetap ada dalam aktivitas membangun kembali sesuatu sesuai dengan kondisi semula. Dalam upaya membangun kembali suatu konsepsi pemikiran yang telah dilahirkan oleh para pemikir terdahulu tersebut, menjadi kewajiban bagi para rekonstruktor untuk melihat pada segala sisi agar kemudian sesuatu yang coba untuk dibangun kembali itu sesuai dengan keadaan sebenarnya dan terhindar dari subjektivitas yang berlebihan, sehingga dapat mengaburkan substansi dari sesuatu yang ingin dibangun kembali tersebut50.

Di dalam rekonstruksi mencakup 3 (tiga) poin penting, yakni memelihara inti bangunan asal atau pemikiran awal dengan tetap menjaga watak dan karakteristiknya, memperbaiki hal-hal yang telah runtuh dan memperkuat kembali bagian yang dianggap telah lemah, serta memasukkan beberapa pembaharuan tanpa mengubah watak dan karakteristik aslinya51.

Sementara jika dikaitkan dengan suatu konsep, ide, atau gagasan tentang hukum, maka rekonstruksi di sini dimaknai sebagai suatu proses untuk membangun kembali atau menata ulang suatu konsep, ide, atau gagasan tentang hukum. Upaya melakukan rekonstruksi hukum tersebut diarahkan untuk menemukan cita hukum (rechtsidee), kehendak masyarakat, dan kehendak moral. Oleh sebab itu, rekonstruksi yang dilakukan terhadap susunan atau tata urutan

49 Marbun BN. (1996). Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

50 Ibid., hlm. 469.

51 Qardhawi Y. (2014). Problematika Rekonstruksi Ushul Fiqih. Tasikmalaya: Al-Fiqih Al- Islami Bayn Al-Ashalah wa At-Tajdid.

(15)

33

peraturan perundang-undangan pada penelitian hukum ini bertujuan untuk melahirkan suatu konsep, ide, atau gagasan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan yang ideal agar kedudukan dan fungsi peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum di Indonesia dapat dipahami dengan baik.

2. Hierarki Norma Hukum.

Hierarki adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang- undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang- undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi52.

Apabila berbicara mengenai hierarki norma hukum, akan mengarah pada gagasan yang dikemukakan oleh seorang yuris terkemuka dari Austria, yaitu Hans Kelsen dengan Stufentheorie. Dimana norma yang lebih rendah (inferior) berlaku dan berdasar pada norma yang lebih tinggi (superior), demikian seterusnya hingga sampai pada norma yang tidak bisa ditelusuri lebih lanjut yang bersifat aksioma dan dinamakan sebagai norma dasar (grundnorm)53.

Hans Kelsen sendiri dalam mencetuskan gagasan mengenai teori jenjang norma ini terinspirasi dari muridnya, yakni Adolf Julius Merkl. Melalui tulisannya yang berjudul “The Hierarchy of The Sources of Law”, ia dikenal dan diakui sebagai orang yang memiliki konstribusi yang kuat dalam menunjang dan mendukung pemikiran- pemikiran Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum54. Adolf J.

Merkl berpendapat bahwa norma hukum itu memiliki dua wajah. Hal tersebut memiliki arti bahwa norma hukum ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma hukum yang di atasnya. Begitu juga, norma hukum ke bawah ia juga menjadi sumber dan dasar bagi norma hukum di bawahnya. Hal tersebut berakibat pada kondisi bahwa suatu norma

52 Penjelasan Pasal 7 ayat (2), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

53 Kelsen H. (1945). General Theory of Law and State. New York: Russell & Russell.

54 Paulson Stanley L. (2013). How Merkl’s Stufenbaulehre Informs Kelsen’s Concept of Law.

Journal for Constitutional Theory and Philosophy of Law, (hlm. 21).

(16)

34

hukum masa berlakunya tergantung pada norma hukum yang ada di atasnya55.

Tingkatan hukum yang paling tinggi dalam pandangan Hans Kelsen adalah berpuncak pada grundnorm yang berupa konstitusi.

Namun, konstitusi dalam hal ini adalah konstitusi dalam arti materiel, bukan konstitusi formil56. Norma dasar merupakan norma tertinggi dari suatu sistem norma yang ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat dan menjadi gantungan dari semua norma yang ada dibawahnya, sehingga norma dasar itu ditetapkan oleh masyarakat secara bersama- sama dan bersifat aksioma, sehingga apabila norma dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya57.

Pemikiran Hans Kelsen mengenai Stufentheorie tersebut pada hakikatnya merupakan upaya untuk membangun kerangka suatu konstruksi hukum yang dapat digunakan di manapun. Meski, norma tidak terbentuk secara alamiah, akan tetapi norma merupakan akal dan kemauan manusia yang melahirkan suatu pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar58.

Tata hukum, khususnya sebagai personifikasi negara, bukan merupakan sistem norma yang dikoordinasikan satu dengan yang lainnya, tetapi suatu hierarki dari norma-norma yang memiliki level berbeda. Kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan norma59.

Selanjutnya, jika berbicara mengenai tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan di Indonesia tentunya akan terikat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

55 Jelic & Zoran. (1998). A Note on Adolf Merkl’s Theory of Administrative Law. Journal Facta Universitatis, Series: Law and Politics, Vol. 1, No. 2, (hlm. 149).

56 Muhtadi. (2012). Penerapan Teori Hans Kelsen Dalam Tertib Hukum Indonesia. Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 5, No. 2, (hlm. 294).

57 Indrati MF. (2020). Ilmu Perundang-Undangan-Edisi Revisi 2, Yogyakarta: PT Kanisius.

58 Dimyati K. (2010). Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

59 Asshiddiqie J & Safa’at AM. (2006). Theory Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

(17)

35

Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) pada undang-undang tersebut, menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selain peraturan perundang-undangan dalam hierarki tersebut, di Indonesia juga berlaku peraturan perundang-undangan lainnya yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Namun, keberadaan peraturan perundang-undangan di luar hierarki ini memunculkan diskursus baru mengenai kedudukan peraturan perundang-undangan tersebut, karena dalam penerapannya, jenis peraturan perundang-undangan setingkat peraturan menteri justru dapat mengesampingkan peraturan daerah60.

Tata urut (hierarki) peraturan perundang-undangan ini sangat penting dalam sistem hukum Indonesia karena berpengharuh terhadap derajat kekuatan hukum di antara masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut, atau dapat juga dikatakan sebagai bentuk kepastian hukum dalam sistem peraturan perundang-

60 Aditya ZF & Winata MR. (2018). Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Jurnal Negara Hukum, Vol. 9, No. 1, (hlm. 81).

(18)

36

undangan61. Dalam teori hierarki peraturan perundang-undangan dikenal asas “lex superior derogat legi inferiori”, itulah mengapa teori tersebut sangat diperhatikan dan berpengaruh bagi sistem hukum di Indonesia.

Jadi, jika disandingkan dengan peraturan perundang-undangan, maka hierarki peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi atau secara sederhana hierarki adalah struktur norma hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

3. Peraturan Perundang-undangan.

a. Pengertian Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1 angka 2 Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan.

Sementara itu, menurut A. Hamid S. Attamimi, yang dimaksud dengan perundang-undangan adalah cabang atau sisi dari ilmu pengetahuan perundang-undangan yang bersifat kognitif dan berorientasi pada mengusahakan kejelasan dan kejernihan pemahaman, khususnya pemahaman yang bersifat dasar di bidang perundang-undangan (antara lain pemahaman tentang undang-

61 Huda N. (2006). Kedudukan Peraturan Daerah dalam Hierarki Peraturan Perundang- undangan. Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 1, (hlm. 29).

(19)

37

undang, pembentuk undang-undang, tentang perundang-undangan, dan lain sebagainya)62.

Ditinjau dari peristilahannya, peraturan perundang-undangan merupakan terjemahan dari wettelijke regelling. Kata wettelijke berarti sesuai dengan wet atau berdasarkan wet. Kata wet pada umumnya diterjemahkan dengan undang-undang dan bukan dengan undang saja. Sehubungan dengan kata dasar undang-undang, maka terjemahan wettelijke regelling ialah peraturan perundang- undangan63. Peraturan perundang-undangan atau dalam istilah lain legislation/wetgeving/gezetgebung mempunyai dua pengertian yang berbeda yaitu:

1) Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara baik tingkat pusat maupun tingkat daerah; atau

2) Perundang-undangan adalah segala peraturan-peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah64.

Definisi tersebut juga diperkuat oleh Soehino yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan memiliki makna sebagai proses atau tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan negara dari jenis dan tingkat tertinggi sampai dengan tingkat yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi yang diberikan oleh kekuasaan perundang-undangan atau keseluruhan produk peraturan perundang-undangan tersebut65.

Dari pelbagai pendapat para ahli sebagaimana tersebut, maka secara umum dapat dikatakan bahwa peraturan perundang- undangan merupakan peraturan tertulis yang mengikat secara

62 Atamimi HS. (1992). Teori Perundang-Undangan Indonesia, Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman. Jakarta:

Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

63 Manan B. (1992). Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. Jakarta: Hill Co. Ind.

64 Fockema SJ. (1948). Rechtsgeleerd Handwoordenboek. Groningen/Batavia: J.J. Wolters.

65 Soehino. (1981). Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-undangan. Yogyakarta: Liberty.

(20)

38

umum dan berdaya laku keluar yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan dan ditujukan kepada warga negaranya.

b. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kekuasaan negara untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan pada prinsipnya harus diarahkan pada terbentuknya peraturan perundang-undangan yang baik. Mengenai hal ini, Lon Fuller telah melahirkan gagasan perihal isi hukum positif dalam suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi unsur sebagai berikut:

1) Peraturan perundang-undangan harus diundangkan atau dipublikasikan secara umum;

2) Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus berpedoman pada aturan tentang pembentukan peraturan perundang-undangan;

3) Suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut;

4) Antara peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan atau tumpang tindih;

5) Norma dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung tuntutan melebihi apa yang dapat dilakukan;

6) Peraturan perundang-undangan tidak diperkenankan untuk sering diubah-ubah; dan

7) Harus ada konsistensi antara peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan dengan perilaku atau tindakan pemerintah66.

Di dalam hukum positif di republik ini juga telah diatur mengenai proses pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni harus didasarkan pada asas pembentukan yang baik yang meliputi: 1) kejelasan tujuan; 2) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; 3) kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; 4) dapat dilaksanakan; 5) kedayagunaan dan

66 Fuller L. (1964). The Morality of Law, Revision Edition. New Haven: Yale University.

(21)

39

kehasilgunaan; 6) kejelasan rumusan; dan 7) keterbukaan67. Ketujuh asas tersebut harus tercermin dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan agar tercipta suatu produk hukum yang progresif.

Namun, untuk dapat menghasilkan suatau peraturan perundang- undangan yang baik, tidak cukup hanya mendasarkan pada penggunaan asas-asas sebagaimana tersebut. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan juga perlu memastikan 5 (lima) persyaratan bagi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang ideal, meliputi: 1) Dasar-dasar perundang-undangan yang baik, mulai dari jenis, hierarki, dan materi muatan; 2) Tertib pembentukan peraturan perundang-undangan, baik tertib prosedur dan tertib substansi; 3) Adanya partisipasi publik yang nyata; 4) Melakukan evaluasi peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan; dan 5) Memastikan berjalannya sistem pengujian peraturan perundang-undangan.

Kelima prasyarat terbentuknya peraturan perundang-undangan yang baik tersebut mutlak diperlukan, mengingat peraturan perundang-undangan merupakan produk politik, maka pada saat pembentukkannya juga sangat kental dipengaruhi oleh keputusan- keputusan politik. Ketika konfigurasi politik berjalan secara demokratis, maka peraturan perundang-undangan yang dihasilkan responsif dan populis. Akan tetapi, apabila konfigurasi politik berjalan secara otoriter, maka peraturan perundang-undangan yang dihasilkan cenderung konservatif dan elitis68.

Di dalam hukum positif di republik ini, proses dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

67 Vide Pasal 5, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

68 Mahfud Moh. (1998). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Eknomi dan Sosial.

(22)

40

Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juncto Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Setiap proses pembentukan peraturan perundang-undang harus dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam Lampiran II Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

c. Fungsi Peraturan Perundang-undangan.

Konsekuensi yuridis dianutnya paham negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mewajibkan seluruh praktik penyelenggaraan kehidupan bernegara harus berdasarkan atas peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang- undangan tersebut harus dibentuk dan diberlakukan terlebih dulu sebelum tindakan bernegara itu diselenggarakan. Hal tersebut sesuai dengan pengertian dari asas legalitas69.

Peraturan perundang-undangan juga merupakan instrumen yang efektif dalam law reform dibandingkan dengan menggunakan hukum yurisprudensi, karena peraturan perundang-undangan tidak hanya melakukan fungsi pembaruan terhadap peraturan yang telah ada, tetapi juga dapat digunakan sebagai sarana memperbarui yurisprudensi tersebut70. Peraturan perundang-undangan juga

69 Shidarta. (2004). Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum. Jurnal Jentera, Edisi 3, Tahun II, (hlm. 124-125).

70 Manan B. (2011). Legislatif Drafting. Yogyakarta: Total Media.

(23)

41

diperlukan untuk mengarahkan perubahan yang akan dicapai oleh pemerintah, karena jika suatu perubahan itu tanpa didasari oleh suatu peraturan perundang-undangan, maka perubahan itu tidak terjadi sesuai dengan apa yang direncanakan dan diprediksi oleh pemerintah, tetapi terjadi secara tidak sengaja yang bersifat intuisi saja71.

Peraturan perundang-undangan memiliki 2 (dua) fungsi, yakni fungsi internal dan eksternal. Fungsi internal merupakan fungsi peraturan perundang-undangan sebagai subsistem hukum terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya, yang meliputi fungsi penciptaan hukum, fungsi pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme hukum, dan fungsi kepastian hukum. Sementara fungsi eksternal keterkaitan adalah keterikatan peraturan perundang- undangan dengan tempat berlakunya atau dapat juga disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi fungsi perubahan, fungsi stabilitas, dan fungsi kemudahan72.

Selanjutnya, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa peraturan perundang-undangan memiliki fungsi sebagai dokumen yang menuntun proses dan perilaku dalam masyarakat. Dalam konteks negara dan hukum, peraturan perundang-undangan dinilai lebih memberikan tuntunan dibanding norma dalam adat dan kebiasaan73. Kelebihan tersebut terletak pada legalitas dan legitimasi pada peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh kekuasaan legislatif sebagai lembaga satu-satunya dalam kerangka negara modern yang diberikan wewenang untuk membentuk hukum74.

71 Siedman A, Abeyserkere N, et al. (2001). Penyusunan Rancangan Undang-Undang dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis. Jakarta: Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

72 Hamidi J. & Mutik K. (2011). Legislatif Drafting. Yogyakarta: Total Media.

73 Rahardjo S. (2008). Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

74 Anggono BD. (2020). Pokok-Pokok Pemikiran Penataan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.

(24)

42 4. Peraturan Presiden.

Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan75.

Jika ditilik dari rekam historisnya, the founding fathers republik ini tidak pernah membahas mengenai Peraturan Presiden sebagai salah satu produk hukum yang lahir dari batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut terbukti bahwa tidak ada istilah nomenklatur Peraturan Presiden yang disebut di dalam undang-undang dasar. Peraturan Presiden sendiri pertama kali muncul sejak tanggal 8 Agustus 1946, pada saat itu Presiden Soekarno menetapkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberian Ampunan Kepada Hukuman76. Namun, pada saat itu Peraturan Presiden belum masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Djenis dan Bentuk Peraturan Jang Dikeluarkan Oleh Pemerintah Pusat.

Berawal dari lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai landasan yuridis berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945, membawa implikasi terhadap hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan) yang terdiri dari undang-undang, Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, dan Peraturan Pemerintah, dipandang belum dapat memenuhi kebutuhan hukum pada masa itu.

Oleh karena itu, Presiden Soekarno melalui Surat Presiden Nomor 2262/HK/1959 tertenggal 20 Agustus 1959 meminta kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong untuk segera

75 Pasal 1 angka 6, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

76 Manan B & Magnar K. (1993). Beberapa Masalah Hukum Tatanegara Indonesia. Bandung:

Alumni.

(25)

43

mengeluarkan jenis-jenis peraturan perundang-undangan lain selain yang telah disebutkan sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni sebagai berikut:

a. Penetapan Presiden, untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima tertinggi Angkatan Perang 5 Juli 1959;

b. Peraturan Presiden, untuk melaksanakan Penetapan Presiden;

c. Peraturan Pemerintah, untuk melaksanakan Peraturan Presiden;

d. Keputusan Presiden, untuk melaksanakan Peraturan Presiden dalam melakukan atau meresmikan pengangkatan- pengangkatan;

e. Peraturan Menteri, untuk mengatur sesuatu yang dibuat oleh departemen-departemen; dan

f. Keputusan Menteri, untuk melaksanakan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan77.

Namun, baru 7 (tujuh) tahun berikutnya Surpres tersebut direspon oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tepatnya pada tanggal 5 Juli 1966 dengan mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Mengenai Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang- undangan. Salah satu ketetapannya adalah menetapkan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah Keputusan Presiden78. Akan tetapi, nomenklatur pada saat itu masih menggunakan keputusan bukan peraturan. Tentu, terminologi keduanya sangat berbeda. Jika keputusan bersifat khusus, yang normanya konkret, individual, dan final, serta juga dipandang sebagai aturan kebijakan. Sedangkan, peraturan lebih bersifat umum yang

77 Asshiddiqie J. (2007). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi. Jakarta: PT.

Buana Ilmu Populer.

78 Nazriyah R. (2007). Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa Depan.

Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

(26)

44

normanya mengatur, terus-menerus, dan digunakan dalam jangka waktu yang panjang79.

Istilah Peraturan Presiden sendiri baru muncul ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan yakni pada pengaturan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang tersebut lahir untuk menyempurnakan dan memperbaiki permasalahan yuridis dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, maka pada saat undang-undang tersebut mulai berlaku sekaligus mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut.

Sebelum amendemen undang-undang dasar, segala bentuk pengaturan yang berasal dari presiden menggunakan nomenklatur Keputusan Presiden atau Penetapan Presiden, baik yang bersifat regelling maupun beschikking. Bahkan, di era Orde Lama sering dijumpai istilah Maklumat Presiden. Baru setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, nomenklatur itu ditertibkan yang semula Keputusan Presiden diubah menjadi Peraturan Presiden. Hal tersebut didasarkan bahwa Keputusan Presiden tidak dapat dimasukkan ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan apabila Keputusan Presiden tersebut bersifat khusus dan normanya individual, konkret, dan sekali selesai. Sedangkan, norma dari suatu peraturan perundang-undangan seharusnya bersifat umum, abstrak, dan terus menerus.

79 Fadli M. (2011). Peraturan Delegasi di Indonesia. Malang: Universitas Brawijaya Press.

(27)

45 C. Kerangka Berpikir.

Tabel 3.

Kerangka Berpikir

Hierarki Peraturan PUU Pasal 7 ayat (1) huruf e UU No. 12/2011 jo. UU No. 15/2019

Teori Demokrasi dan Teori Konstitusionalisme

Teori Hukum Pembangunan

Permasalahan/Legal Issue 1. Mengapa kedudukan Perpres

dalam hierarki PUU perlu direkonstruksi?

2. Bagaimana seharusnya kedudukan Perpres dalam hierarki PUU?

Rekonstruksi Hierarki PUU

Penelitian Hukum 1. Pendekatan

Perundang-undangan 2. Pendekatan Historis 3. Pendekatan

Konseptual

(28)

46

Penelitian hukum yang dilakukan ini menempatkan Teori Demokrasi dan Teori Konstitusionalisme, serta Teori Hukum Pembangunan sebagai premis mayor. Sementara, yang menjadi premis minor dalam penelitian hukum ini adalah ketentuan yang termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kemudian, dari kedua premis tersebut tersusun 2 (dua) rumusan masalah yang menjadi isu hukum dalam penelitian hukum yang dilakukan ini.

Permasalahan yang pertama adalah mengapa kedudukan Peraturan Presiden dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia perlu direkonstruksi, serta yang kedua adalah bagaimana seharusnya kedudukan Peraturan Presiden dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Penelitian yang dilakukan ini berjenis peneletian hukum, atau yang umum disebut dengan penelitian doktrinal dengan menggunakan 3 (tiga) jenis pendekatan yang meliputi pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis, dan pendekatan konseptual. Ketiga pendekatan tersebut digunakan dalam menjawab rumusan masalah yang menjadi isu hukum dalam penelitian yang dilakukan ini.

Sementara, untuk mencari jawaban dari permasalahan hukum dimaksud, peneliti menggunakan Teori Demokrasi dan Teori Konstitusionalisme serta Teori Hukum Pembangunan sebagai ‘pisau analisis’. Dari penelitian hukum ini diharapkan dapat menghasilkan suatu saran preskriptif dalam hal pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan ke depan yang lebih baik di masa mendatang.

Referensi

Dokumen terkait

Sumber air danau hanya berasal dari sumber mata air yang berada di dalamnya dan curahan air hujan, oleh karena itu hasil identifikasi kekayaan mikroalga di danau tersebut

Metode GCV adalah salah satu metode yang digunakan untuk memperoleh estimasi parameter penghalus pada fungsi variansi yang merupakan modifikasi dari metode Cross

Menurut Quraish Shihab hikmah dalam dunia dakwah mempunyai posisi yang sangat penting, yaitu dapat menentukan sukses tidaknya dakwah. Dalam menghadapi mad’u yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung tempe dalam pembuatan kue basah nagasari, kelepon dan lumpia yang disukai

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dan kelemahan-kelemahan dalam penelitian, maka peneliti mengemukakan beberapa saran sebagai berikut: (1) Dalam

dengan materi Gerak Melingar kelas XI yang telah tervalidasi kesesuaian- nya, (2) Berdasarkan uji desain, uji materi, dan uji 1-1 terhadap produk, maka produk

Salah satu media yang dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan diatas adalah “Pengembangan Buku Suplemen Dengan Teknologi 3D Augmented Reality Sebagai Bahan

Sapanjang buah kabanaran Katik nan katangah lah luruih manuruik adaik lamo pusako usang, baa kok diambo gayuang ka disambuik kato ka dijawek, dek karano kito lai