• Tidak ada hasil yang ditemukan

Total economic valuation of mangrove forest at Mahakam Delta Region Kabupaten Kutai Kartanegara of East Kalimantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Total economic valuation of mangrove forest at Mahakam Delta Region Kabupaten Kutai Kartanegara of East Kalimantan"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

VALUASI TOTAL EKONOMI HUTAN MANGROVE

DI KAWASAN DELTA MAHAKAM KABUPATEN KUTAI

KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR

YUYUN WAHYUNI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Valuasi Total Ekonomi Hutan Mangrove Di Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor

Bogor, Desember 2013

Yuyun Wahyuni

(4)
(5)

YUYUN WAHYUNI. Valuasi Total ekonomi Hutan Mangrove di Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan SAHAT M.H SIMANJUNTAK

Sumberdaya alam adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan manusia. Pemanfaatan sumberdaya alam harus diikuti dengan pemeliharaan dan pelestarian karena sumberdaya alam bersifat terbatas. Salah satu sumberdaya alam yang ada yaitu hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Tujuan peneliti memilih topik valuasi ekonomi adalah mengestimasi nilai sumberdaya secara keseluruhan untuk mengetahui nilai total dari sumberdaya tersebut.

Permasalahan yang terjadi di kawasan Delta Mahakam yaitu aktivitas penebangan dan pengalihan fungsi hutan mangrove oleh masyarakat sekitar menyebabkan luasan hutan mangrove di Kawasan Delta Mahakam mengalami penurunan. Tujuan penelitian ini yaitu: 1). Mengindentifikasi jenis dan fungsi ekosistem dari luasan hutan mangrove; 2). Menghitung nilai ekonomi total (total economic value) yang dihasilkan oleh hutan mangrove; 3). Mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap manfaat ekonomi yang diperoleh pada kawasan hutan mangrove Delta Mahakam, Kabupaten Kutai Kartanegara.

(6)

Saran dari penelitian ini yaitu: 1). Dapat dijadikan sebuah pertimbangan bagi para pemegang kebijakan dalam pengambilan keputusan untuk menjaga dan melestarikan hutan mangrove yang ada di Kawasan Delta Mahakam tanpa merusak lingkungan; 2). Pengelolaan hutan mangrove di Kawasan Delta Mahakam harus dilakukan secara bijaksana dan diperhatikan kondisinya oleh Pemerintah supaya terjaga kualitas lingkungannya serta tidak terjadi pembukaan tambak yang secara bebas; 3). Perlunya kebijakan pengawasan dan perlindungan dari pemerintah terhadap hutan mangrove harus diterapkan dan diperlukan usaha penanaman mangrove kembali yang sudah harus direncanakan untuk dilaksanakan; and 4). Perlunya penelitian berlanjutan untuk mengetahui perkembangan nilai ekonomi hutan mangrove di Kawasan Delta Mahakam dari tahun ke tahun.

(7)

YUYUN WAHYUNI. Total Economic Valuation of mangrove forest at Mahakam Delta Region Kabupaten Kutai Kartanegara of East Kalimantan. Surpervised by oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI and SAHAT M.H SIMANJUNTAK.

Natural resource is something that can be used for a variety of interest and human needs. The use of natural resources should be followed by efforts to maintain and conserve it as it is limited. Mangrove forest is one of natural resource that is tropical coastal vegetation habitat, dominated by various mangrove plants that are able to grow and develop in the area of flux and reflux muddy beach. The researcher choose this topic of research in order to estimate the whole value of natural resource to know its total economic value.

Problems occurred at Delta Mahakam region logging activity and the conversion of mangrove forest function by surrounding communities that caused the decreasing of mangrove forest area at Delta Mahakam region. The purpose of this research are: 1). to identify the types and functions of the area of mangrove forest ecosystem; 2) to estimate total economic value of mangrove forest; and 3) to estimate the factors that influence the economy of mangrove forest at Delta Mahakam, Kabupaten Kutai Kartanegara.

The result of this research are: (1) due to the destruction and land conversion of mangrove forest became ponds area and settlement has made the population of mangrove at Delta Mahakam region in 2012 decreased which identied by four types of consisting mangroves: : Rhizopora spp, Avicennia spp,

Sonneratia spp and Nypa fructicans. The decreasing of mangrove forest area has caused the decreasing of its function so that it has threatened the life sustainability of its surrounding habitats, such as abrasion, lack of income because of the decreasing of fish catch and fish pond production, and the extinction of bekantan as endemic species.; (2) The amount of total economic value of mangrove forest at Mahakam Delta region in 2012 was Rp. 503 071 398 869.2, consist of direct use value Rp. 407 746 300 000, indirect use value is about Rp. 37 133 936 369.2, the option value is about Rp. 35 571 600 000 , the existence value is about Rp. 13 305 625 000, and the bequest value is about Rp. 9 313 937 500. Direct use value had higher contribution than indirect use value; 3). Factor affecting the economic benefits of mangrove forests in order to remain sustainable in recreational value of travel cost, student employment, the number of dependent and age, while the factors that affect the existence of the mangrove forest are job and income, while the factor that affect the sustainability endemic bekantan are of the income, origin in the region and outside the region.

(8)

soon; and 4). The need for research to determine the sustainable development of the economic value of mangrove forest in Mahakam Delta area from year to year.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta DiLindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: Pengutipan hanya untuk kepentingan pendididkan, penelitian, penulisan, karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB

(10)
(11)

DI KAWASAN DELTA MAHAKAM KABUPATEN KUTAI

KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR

YUYUN WAHYUNI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan lingkungan

SEKOLAH PASACASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Nama : Yuyun Wahyuni

NRP : H351100011

Disetujui Oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.S Ir. Sahat M.H. Simanjuntak, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui Oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ekonomi Sumberdaya dan lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis

yang berjudul “ Valuasi Total Ekonomi Hutan Mangrove Di Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur’’. Tesis ini merupakan salah satu persyaratan utama dalam mendapatkan gelar Magister Sains di Sekolah Pascasarjana IPB.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Intan Kumala Putri, M.S dan Bapak Ir. Sahat MH Simanjuntak, M.Sc selaku pembimbing, Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr selaku penguji yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukkan, semangat dan ilmu yang diberikan kepada penulis. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, suami, serta seluruh keluarga atas doa, cinta kasih, dukungan dan semangat yang diberikan.

Akhirnya penulis mengharapkan agar karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Desember 2013

(15)

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove 6

Bekantan 7

Luas dan Penyebaran Hutan Mangrove 8

Peranan dan Fungsi Hutan Mangrove 9

Kerusakan Hutan Mangrove 10

Nilai Ekonomi Hutan Mangrove 11

Penelitian Terdahulu yang Relevan 13

3 KERANGKA PENELITIAN 15

4 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian 17

Jenis dan Sumber Data 18

Metode Pengambilan Sampel 18

Metode Pengumpulan Data 19

Metode Analisis Data 19

Analisis Deskriptif 19

Analisis Kuantitatif 19

Analisis WTP dengan CVM 22

Analisis Economic Rent 25

Analisis Regresi Berganda 25

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Kawasan Delta Mahakam 27

Kecamatan Muara Badak 28

Kecamatan Anggana 28

Kecamatan Muara Jawa 28

Profil Kependudukan Kawasan Delta Mahakam 29

Karakteristik Responden 29

Identifikasi Jenis dan Fungsi Ekosistem Hutan Mangrove

Kawasan Delta Mahakam 32

Zona Vegetasi Mangrove 33

Jenis Hutan Mangrove 33

(16)

Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove Kawasan Delta Mahakam 38 6. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 60

Saran 60

DAFTAR PUSTAKA 61

(17)

1.1 Perbandingan Luas Hutan Mangrove 2

1.2 Perubahan Tata Guna Lahan Delta Mahakam dari Tahun 1991-2009 3

2.1 Matriks Hasil Penelitian Terdahulu 14

4.1 Matriks Tujuan Penelitian dan Metode Analisis 18

5.1 Profil Kependudukan Kawasan Delta Mahakam 29

5.2 Nilai Produktivitas Hutan Mangrove Kawasan Delta Mahakam Tahun

2012 39

5.3 Nilai Penahan Abrasi Hutan Mangrove Kawasan Delta Mahakam Tahun

2012 41

5.4 Nilai Nursery dan Spawning Ground Hutan Mangrove Kawasan Delta

Mahakam Tahun 2012 41

5.5 Nilai Sewa Rumah dan Tambak Kawasan Delta Mahakam Tahun 2012 41

5.6 Nilai WTP Rekreasi Kawasan Delta Mahakam 42

5.7 Hasil Regresi Linear Nilai WTP Rekreasi Kawasan Delta Mahakam

Tahun 2012 43

5.8 Penilaian Pengunjung Terhadap Kondisi Hutan Mangrove Kawasan

Delta Mahakam 46

5.9 Nilai WTP Keberadaan Hutan Mangrove Kawasan Delta Mahakam 48

5.10 Hasil Regresi Nilai WTP Keberadaan Hutan Mangrove Masa Sekarang

Kawasan Delta Mahakam Tahun 2012 49

5.11 Preferensi Responden Terhadap Hewan Endemik Bekantan di Kawasan

Delta Mahakam 52

5.12 Kesediaan Membayar Terhadap Hewan Endemik Bekantan di Kawasan

Delta Mahakam 53

5.13 Nilai WTP Habitat Endemik Bekantan di Kawasan Delta Mahakam 53

5.14 Hasil Regresi Nilai WTP Warisan Bekantan Kawasan Delta Mahakam 54

DAFTAR GAMBAR

2.1 Model Nilai Ekonomi Total 12

3.1 Skema Diagramatik Kerangka Penelitian 16

4.1 Peta Lokasi Penelitian 17

5.1 Karakteristik Respoden di Kawasan Delta Mahakam Berdasarkan

Tingkat Usia 30

5.2 Karakteristik Respoden di Kawasan Delta Mahakam Berdasarkan

Jenis Pekerjaan 30

5.3 Karakteristik Respoden di Kawasan Delta Mahakam Berdasarkan

Tingkat Pendapatan 31

5.4 Karakteristik Respoden di Kawasan Delta Mahakam Berdasarkan

Tingkat Pendidikan 32

5.5 Jenis Mangrove Avicennia spp 35

5.6 Jenis Mangrove Pedada (Sonneratia spp) 35

5.7 Jenis Mangrove Nipah (Nypa fructicans) 36

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuesioner Penelitian Mengenai Contingent Valuation Method untuk

WTP Keberadaan dan WTP Warisan 65

2. Kuesioner Penelitian Mengenai Contingent Valuation Method untuk

WTP Rekreasi 69

3. Kuesioner Penelitian Mengenai WTP Keberadaan Hewan Endemik

(Bekantan) Di Pulau Kalimantan 75

4. Perhitungan Nilai Feeding Ground 78

5. Analisis Regresi Nilai WTP Rekreasi 79

6. Analisis Regresi Nilai WTP Keberadaan 80

7. Analisis Regresi Nilai WTP Warisan 81

8. Foto-Foto Jenis Hutan Mangrove Di Kawasan Delta Mahakam 82

(19)

Penulis dilahirkan di Samarinda pada tanggal 18 Juli 1985 sebagai anak kedua dari empat saudara dari pasangan Sarwono dan Hj. Norlitawati. Pada tahun 2003 penulis menamatkan pendidikan tingkat menengah di SMU Negeri 3 Samarinda. Selanjutnya pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman (UNMUL). Penulis mendapatkan gelar Sarjana Perikanan pada tahun 2007.

(20)
(21)

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17 508 pulau yang secara keseluruhan memiliki garis pantai sekitar 81 000 km serta wilayah laut pedalaman dan teritorialnya seluas 3.1 juta km2 dan Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia seluas 2.7 km2 (Dahuri 2001). Indonesia dengan negara kepulauan terbesar dengan luas lautan tiga per empat luas daratan dan memiliki sumberdaya alam yang sangat besar, baik hayati maupun non-hayati yang seharusnya dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia (Tuwo 2011). Indonesia mempunyai kekayaan sumberdaya hayati pesisir dan lautan yang besar.

Pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development) menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup yang disempurnakan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dapat tercapai dengan suatu syarat bahwa pengelolaan lingkungan hidup harus berasaskan kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang. Pendapatan per kapita USA sebesar US$ 10 391 (Selden dan Song 1994), dibandingkan dengan Indonesia yang hanya sebesar US$ 3 716 sehingga Indonesia dinilai belum mampu meningkatkan kualitas lingkungan yang memadai. Pemanfaatan sumberdaya alam harus direncanakan dengan mempertimbangkan kondisi ekologis dan tidak mengabaikan nilai ekonomi sehingga dapat meningkatkan kualitas lingkungan.

Kalimantan Timur adalah satu diantara provinsi di Kalimantan yang dilimpahi sumberdaya alam meliputi sumberdaya yang tak dapat pulih seperti minyak, gas, batubara dan sumberdaya mineral, serta sumberdaya yang dapat pulih seperti sumberdaya ikan dan biota perairan, rumput laut dan mangrove. Kalimatan Timur juga merupakan provinsi terluas kedua di Indonesia, dengan luas wilayah 245 237.80 km2 atau 11% dari total luas wilayah Indonesia yang terdiri dari 155 pulau besar dan kecil serta luasnya wilayah perairan yang memiliki garis pantai sepanjang 1185 km dari Kabupaten Pasir di bagian selatan sampai Kabupaten Nunukan di bagian utara, sehingga sangat mendukung perkembangan usaha perikanan baik budidaya maupun penangkapan yang sangat berpotensi bagi pengembangan pariwisata bahari (Gunawan 2002; Dinas Perikanan dan Kelautan 2005). Salah satu tempat yang memiliki potensi pengembangan pariwisata bahari dan memiliki nilai ekonomis di Propinsi Kalimatan Timur adalah Kawasan Delta Mahakam.

(22)

2

daerah hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur adalah 20.6% (Kusmana 1995).

Direktorat Jenderal Indonesia dan Tata Guna Hutan (1993) melaporkan bahwa luas hutan mangrove diperkirakan sekitar 3 771 493 Ha. Namun Ruitenbeek (1994) menyatakan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia adalah sebesar 4 225 000 Ha, selanjutnya Noor et al. (1999) menyebutkan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia berkisar antara 2.5-4.5 juta Ha. Direktorat Bina Program Inventarisasi dan Tataguna Lahan mencatat bahwa persebaran hutan mangrove mencakup Papua (38%), Kalimantan (28%) dan Sumatera (19%) (Noor

et al. 1999).

Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) RI (2008) melaporkan bahwa luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 9 204 840.32 ha dengan luasan yang berkondisi baik 2 548 209.42 ha, kondisi rusak sedang 4 510 456.61 ha dan kondisi rusak 2 146 174.29 ha, sementara laporan BPAS, Ditjen RLPS, Dephut pada tahun 2006 melaporkan bahwa luas hutan mangrove pada 15 provinsi mencapai 4 390 756.46 ha.

Tabel 1.1 Perbandingan luas hutan mangrove di Indonesia

Luas Hutan Mangrove (Ha)

Sumber : Hartini et al (2010)

Data hasil pemetaan Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-Bakosurtanal dengan menganalisis data citra Landsat ETM (akumulasi data citra tahun 2006-2009, 190 scenes), mengestimasi luas mangrove di Indonesia adalah 3 244 018.46 ha (Hartini et al. 2010). Kementerian kehutanan tahun 2007 juga mengeluarkan data luas hutan mangrove Indonesia, adapun luas hutan mangrove Indonesia berdasarkan kementerian kehutanan adalah 7 758 410.595 ha (Hartini et al. 2010), dan hampir 70% rusak dengan kategori rusaknya yang belum jelas. Kedua instansi tersebut juga mengeluarkan data luas Mangrove per propinsi di 33 Provinsi di Indonesia. Luasan hutan mangrove di 10 pulau dapat dilihat pada Tabel 1.1.

(23)

ha dan hasil ini dikatakan mengalami penurunan drastis sebesar 11.97% per tahun dibandingkan pada tahun 1992 dengan rincian antara tahun 1992-1996 sebesar 3.67% per tahun dan tahun 1996-2009 sebesar 20.52% per tahun (Tabel 1.2).

Tabel 1.2 Perubahan tata guna lahan Delta Mahakam dari tahun 1991-2009

No Penggunaan

Sumber : Bappeda Kutai Kartanegara (2010)

Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah yang mengalami pasang surut atau tepi laut. Tempat yang sering terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik adalah tempat yang tepat untuk berkembangnya hutan mangrove. Hutan mangrove selain berperan penting dalam kehidupan, juga mempunyai beberapa fungsi, yakni (1) fungsi fisik, meliputi menjaga garis pantai agar tetap stabil, mempercepat perluasan lahan, melindungi pantai dan tebing sungai, serta mengolah limbah; (2) fungsi biologis atau ekologis, meliputi tempat bersarangnya burung-burung besar, habitat alami bagi banyak jenis biota, nursery, feeding, spawning ground bagi biota perairan; dan (3) fungsi ekonomi, meliputi keberadaan tambak, tempat pembuatan garam, kayu dan balok, serta rekreasi.

Berdasarkan ketiga fungsi hutan mangrove tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwa hutan mangrove merupakan salah aset ekonomi yang penting, memberikan berbagai manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Selain dari fungsinya, hutan mangrove juga memiliki karakter fisik yang mampu membantu menekan terjadinya abrasi dan kerusakan pantai, dapat meredam pengaruh gelombang serta tahan terendam di perairan dengan kadar garam yang beragam dan mampu menahan lumpur sehingga mempercepat terbentuknya tanah timbul, sementara karakter biologisnya adalah sebagai sumber bahan organik dalam sistem rantai makanan pada ekosistem perairan pantai.

(24)

4

fungsi ekologi hutan itu sendiri untuk dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan bermanfaat bagi masyarakat. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut diatas, maka penelitian mengenai valuasi total ekonomi hutan mangrove di Kawasan Delta Mahakam di Kabupaten Kutai Kartanegara sangat penting untuk dilakukan.

1.2Perumusan Masalah

Kerusakan hutan mangrove masih terus terjadi, walaupun telah ditetapkan peraturan dan undang-undang yang mengatur untuk menjaga kelestariannya.

Hutan mangrove memiliki berbagai fungsi ekologi, sehingga jika mengalami kerusakan dapat mengakibatkan terganggunya fungsi-fungsi hutan mangrove, gangguan tersebut dapat terjadi secara berantai sehingga berdampak pada ekosistem yang lain dan akhirnya bermuara pada penurunan nilai ekonomi sumberdaya lingkungannya. Pengelolaan hutan mangrove secara lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologi dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat (Bengen 2002).

Eksploitasi hutan mangrove secara berlebihan saat ini hanya mementingkan fungsi ekonomi dan tanpa mempertimbangkan fungsi ekologinya sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan fungsi ekonomi hutan mangrove itu sendiri dikemudian hari. Aktivitas penebangan liar dan pengalihan fungsi hutan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat sekitar mengakibatkan luasan hutan mangrove semakin berkurang yang berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan, sehingga mempengaruhi kehidupan sosial di sekitarnya. Hal yang sama juga terjadi pada hutan mangrove di Kawasan Delta Mahakam yang ditunjukkan dengan semakin berkurangnya luas hutan di setiap tahunnya.

Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Kutai Kartanegara (2010) menjelaskan bahwa pada tahun 2009 dilaporkan bahwa luas hutan mangrove di Kawasan Delta Mahakam mengalami penurunan sangat drastis sehingga tersisa sebesar 29 600 ha. Hal ini berbeda dengan data tahun 1992 yang menyebutkan bahwa luas hutan mangrove sebesar 105 998.68 ha dan mengalami penurunan menjadi 95 096.35 ha pada tahun 1996, selanjutnya pada tahun 2001 mengalami penurunan luas hingga tersisa sebesar 40 218.65 ha.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka perumusan masalah yang menjadi topik bahasan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana tipe-tipe dan fungsi ekosistem dari luasan hutan mangrove yang semakin berkurang di kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara? b. Berapa nilai ekonomi total (total economic value) yang dihasilkan hutan

mangrove di Kawasan Hutan Mangrove Kabupaten Kutai Kartanegara?

c. Bagaimana faktor-faktor yang berpengaruh terhadap manfaat ekonomi yang diperoleh

1.3Tujuan Penelitian

(25)

di kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara dari beberapa manfaat yang diberikannya. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi tipe-tipe dan fungsi ekosistem dari luasan hutan mangrove yang semakin berkurang di kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara.

2. Menghitung nilai ekonomi total (total economic value) yang dihasilkan hutan mangrove di kawasan hutan mangrove Kabupaten Kutai Kartanegara.

3. Mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap manfaat ekonomi yang diperoleh

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai informasi terkini mengenai kondisi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur.

2. Sebagai bahan kajian dan studi pustaka bagi pihak-pihak yang berminat dalam bidang ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan.

3. Sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan peneliti dalam

melakukan analisis masalah, khususnya dalam bidang ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan serta menerapkannya dalam kehidupan masyarakat.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(26)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Hutan Mangrove

Secara umum mangrove didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut, tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Hutan mangrove terdapat pada tanah lumpur, pasir atau lumpur berpasir. Mangrove merupakan suatu tipe vegetasi yang khas di zone pantai, floranya berhabitus semak hingga berhabitus pohon yang besar yang tingginya hingga 50-60 meter dan hanya mempunyai satu stratum tajuk (Istomo 1992). Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang mempunyai ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Berdasarkan peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup diperairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove atau manusia yang tergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin 1991).

Menurut Nybakken (1992) bahwa hutan mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai-pantai-pantai yang datar, biasanya disepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau dibelakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung. Sementara itu, Bengen (2002) mendefinisikan hutan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis yang didomonasi oleh beberapa jenis pohon hutan mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh disepanjang pantai atau muara pantau yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut mangrove banyak ditemukan dipantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan bersubtrat lumpur, sedangkan diwilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak optimal. Ini terbukti dari daerah penyebaran mangrove di Indonesia, yang umunya terdapat di Pantai Timur Sumatera, kalimantan, Pantai Utara Jawa dan Irian Jaya.

Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang termasuk tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis terdiri dari 35 jenis berupa pohon, dan selebihnya berupa terna (lima jenis), perdu (sembilan jenis), epifit (29 jenis) dan parasit (dua jenis) (Nontjit 1987). Beberapa jenis pohon mangrove yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizopora spp), Api-api (Avicennia spp), Pedada (Sonneratia spp), Tanjang (Bruguiera spp), Nyirih (Xylocarpus spp), tengar (Ceriops spp) dan Buta-buta Exoecana spp), sementara ekosistem mangrove yang berbeda diseluruh dunia tercatat sekitar 60 spesies dengan beberapa spesies pohon berasosiasi dengan ribuan spesies mamalia, burung, ikan dan invertebrta (IUCN 1993).

(27)

seragam, serta mempunyai tajuk yang rata, tidak mempunyai lapisan tajuk dengan bentukan yang khas dan selalu hijau (Irwan 1992).

Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2008), menjelaskan bahwa tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup didarat dan dilaut. Umumnya mangrove mempunyai sistem yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob.

2.2Bekantan

Bekantan (Nasalis larvatus) atau biasa disebut Monyet Belanda merupakan satwa endemik Pulau Kalimantan (Indonesia, Brunei, dan Malaysia). Bekantan merupakan sejenis kera yang mempunyai ciri khas hidung yang panjang dan besar dengan rambut berwarna coklat kemerahan.

Bekantan dalam bahasa latin disebut Nasalis larvatus, sedang dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Long-Nosed Monkey atau Proboscis Monkey. Di negara-negara lain disebut dengan beberapa nama seperti Kera Bekantan (Malaysia), Bangkatan (Brunei), Neusaap (Belanda). Masyarakat Kalimantan sendiri memberikan beberapa nama pada spesies kera berhidung panjang ini seperti Kera Belanda, Pika, Bahara Bentangan, Raseng dan Kahau.

Bekantan yang merupakan satu dari dua spesies Genus Nasalis ini sebenarnya terdiri atas dua subspesies yaitu Nasalis larvatus larvatus dan Nasalis larvatus orientalis. Nasalis larvatus larvatus terdapat dihampir seluruh bagian pulau Kalimantan sedangkan Nasalis larvatus orientalis terdapat di bagian timur laut dari Pulau Kalimantan. Binatang yang oleh IUCN Redlist dikategorikan dalam status konservasi “terancam punah” (endangered) merupakan satwa endemik pulau Kalimantan. Satwa ini dijadikan maskot (fauna identitas) Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan SK Gubernur Kalsel No. 29 Tahun 1990 tanggal 16 Januari 1990, selain itu merupakan maskot Dunia Fantasi Ancol.

Ciri-ciri dan habitat bekantan yaitu pada bekantan jantan memiliki hidung panjang dan besar, namun fungsi dari hidung besar pada bekantan jantan masih tidak jelas, diduga hal ini disebabkan oleh seleksi alam. Bekantan betina umumnya lebih memilih jantan dengan hidung besar sebagai pasangannya. Karena hidungnya inilah, bekantan dikenal juga sebagai monyet Belanda. Ukuran tubuh bekantan jantan lebih besar dibandingkan bekantan betina yaitu mencapai  75 cm dengan berat  24 kg sedangkan bekantan betina berukuran  60 cm dengan berat  12 kg. Spesies ini juga memiliki perut yang besar (buncit). Perut buncit ini sebagai akibat dari kebiasaan mengkonsumsi makanannya yang selain mengonsumsi buah-buahan dan biji-bijian mereka juga memakan dedaunan yang menghasilkan banyak gas pada waktu dicerna.

(28)

8

lainnya rata-rata 192 m (65–502 m). Menurut Matsuda et al. (2008), predator bagi bekantan dewasa adalah buaya sumpit Tomistoma schlegeli, macan dahan Neofelis diardi dan buaya muara Crocodylus porosus; sedangkan bagi individu bayi atau muda adalah elang hitam Ictinaetus malayensis, elang ular Spilornis cheela, elang kelelawar Macheiramphus alcinus, sanca darah Python curtus and biawak

Varanus sp. Walaupun demikian Bekantan juga mampu berenang dan menyelam dengan baik, terkadang terlihat berenang menyeberang sungai atau bahkan berenang dari satu pulau ke pulau lain.

Seekor Bekantan betina mempunyai masa kehamilan sekitar166 hari atau 5-6 bulan dan hanya melahirkan 1 (satu) ekor anak dalam sekali masa kehamilan. Anak Bekantan ini akan bersama induknya hingga menginjak dewasa (berumur 4-5 tahun).

Habitat Bekantan masih dapat dijumpai di beberapa lokasi antara lain di Suaka Margasatwa (SM) Pleihari Tanah Laut, SM Pleihari Martapura, Cagar Alam (CA) Pulau Kaget, CA Gunung Kentawan, CA Selat Sebuku dan Teluk Kelumpang. Juga terdapat di pinggiran Sungai Barito, Sungai Negara, Sungai Paminggir, Sungai Tapin, Pulau Bakut dan Pulau Kembang.

Bekantan oleh IUCN Redlist sejak tahun 2000 dimasukkan dalam status konservasi kategori Endangered (Terancam Kepunahan) setelah sebelumnya

masuk kategori “Rentan” (Vulnerable; VU). Selain itu Bekantan juga terdaftar

pada CITES sebagai Apendix I (tidak boleh diperdagangkan secara internasional). Pada tahun 1987 diperkirakan terdapat sekitar 260 000 Bekantan di Pulau Kalimantan saja tetapi pada tahun 2008 diperkirakan jumlah itu menurun drastis dan hanya tersisa sekitar 25 000 (MacKinnon 1987). Hal ini disebabkan oleh banyaknya habitat yang mulai beralih fungsi dan kebakaran hutan.

2.3 Luas dan Penyebaran Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut patai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai yang terlindung (Bengen 2001). Hutan mangrove terdiri dari dua bagian, bagian daratan dan bagian perairan. Bagian perairan juga terdiri dari dua bagian yakni tawar dan laut.

Hutan mangrove tumbuh dibagian tropis dunia, terbentang dari utara ke selatan, dari florida, dibagian utara turun ke pantai Argentins di Amerika Selatan. Mangrove juga terdapat di sepanjang timur pantai Afrika dan terpencar sampai ke anal benua India hingga Ryukyu di Jepang. Lebih jauh ke selatan, ekosistem mangrove terdapat di New Zealand dan membentuk kawasan Indo-Malaya (Kementrian Negara Lingkungan Hidup 2008).

(29)

Hutan mangrove merupakan hutan hujan tropis yang umumnya tumbuh didaerah pantai, merupakan jalur hijau yang terdapat di teluk-teluk, delta-delta, muara sungai dan sampai menjorok kearah pedalaman dari garis pantai. Hutan mangrove ditemukan hampir diseluruh pulau-pulau di Indonesia dengan luas sangat bervariasi tergantung pada kondisi fisik maupun iklim yang terdapat pada masing-masing pulau. Namun dalam hal ini hutan mangrove lebih berkembang hanya di lima pulau saja, yaitu mulai dari Sumatera, jawa, kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya).

Terdapat perbedaan keadaaan hutan mangrove di bagian barat Indonesia dengan bakau yang tumbuh dibagian timur. Di indonesia bagian barat penyebaran hutan mangrove cukup luas dengan ukuran pohon yang besar. Adapun Indonesia bagian Timur, seperti Maluku dan Nusa Tenggara, daerah penyebaran hutan mangrove tidak seberapa luas dan pohon-pohonnya relatif kecil. Di daerah ini pohon bakau yang tumbuh dengan tinggi 25 cm dan diameter 166 cm sudah termasuk pohon besar (Soemodihardjo 1984). Faktor utama yang menghambat pertumbuhan vegetasi mangrove di daerah tersebut adalah kondisi fisik dari pulau-pulau tersebut. Selain relatif kecil, pulau-pulau tersebut sebagian besar berbatu karang, dikelilingi oleh laut yang dalam dan dipengaruhi gelombang laut yang besar.

2.4 Peranan dan Fungsi Mangrove

Secara lingkungan, mangrove mempunyai peranan besar, seperti tempat pembiakan benih-benih ikan, udang, dan kerang dari lepas pantai, penghasil oksigen yang dibutuhkan oleh berbagai makhluk hidup menurunkan kandungan gas karbon dioksida (CO2) di udara, dan bahan-bahan pencemar di perairan rawa

pantai. Mangrove mempunyai peranan pula dilihat dari pengaruh sosial dan budaya, misal: dilihat dari fungsi sebagai keindahan, peninggalan budaya (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2008).

Hutan mangrove mempunyai peran sebagai sumber makanan bagi organisme perairan yang dapat melalui dua rantai yang berbeda. Pertama, adalah serasah yang sudah mengalami proses dekomposisi sempurna, sebagai makanan bagi organism autotroph, seperti fitoplankton. Kedua adalah serasah yang belum mengalami dekomposisi sempurna, atu dalam bentuk detritus, sebagai sumber makanan bagi hewan herbivor atau detrivor. Peran mangrove lainnya adalah sebagai habitat (Coto et al. 1986).

Keberadaan mangrove berperan penting dalam siklus hidup beberapa biota yang bernilai ekonomis seperti kepiting, udang, bandeng dan ikan laut lainnya, karena pada masa bertelur dan memijahkan sebagian besar biota-biota itu bersiklus di kawasan pesisir yang bermangrove, baru setelah mereka dewasa akan kembali ke laut lepas. Tumbuhan mangrove sebagaimana tumbuhan lainnya mentransformasi cahaya matahari dan zat hara (nutrient) menjadi jaringan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis.

(30)

10

Bivalvia, dan beberapa genus ikan, dan epifauna, yang hidupnya mengembara seperti Molusca (Hilmi 1998).

Peranan dan kegunaan hutan mangrove adalah melalui pembagian fungsi hutan mangrove, yaitu: (1) Fungsi produksi, terutama untuk perikanan, kehutanan, perkebunan, pertanian, industri dan tambang serta pemukiman; (2) fungsi lindung, terutama untuk pengaturan iklim, pelindung fisik dan sumber hara; dan (3) fungsi suaka alam, terutama sebagai sumber plasma nutfah, nursery ground dan feeding ground bagi biota laut (Hilmi 1998). Ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi penting yang mendukung kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Dahuri (1996), menyatakan bahwa secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi.

Mangrove yang tumbuh disekitar perkotaan atau pusat pemukiman dapat berfungsi: pertama, sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan-bahan organik; kedua, hutan mangrove sebagai energi bagi lingkungan perairan sekitarnya. Ketersediaan berbagai jenis makanan yang terdapat pada ekosistem hutan mangrove telah menjadikannya sebagai sumber energi dari tingkat tropik yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Ketiga, hutan mangrove merupakan pesuplai bahan organik bagi lingkungan perairan. Di dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan yang memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya. Fungsi hutan mangrove yang paling menonjol dan tidak tergantikan oleh ekosistem lain adalah kedudukan hutan mangrove sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan ekosistem laut dan daratan, kemampuan hutan mangrove untuk menstimulir dan meminimasi terjadinya pencemaran logam berat.

Pengelolaan untuk ketahanan dan pemantauan kawasan hutan mangrove sangat penting. Hutan mangrove juga memiliki beberapa ungsi, yaitu (a) sebagai pengontrol banjir, perlindungan dari kerusakan akibat badai, banjir dan gelombang, (b) sebagai tempat rekerasi dan wisata, (c) menghasilkan produk barang-barang sperti ikan tangkap, kerang dan produk-produk hutan. Mangrove memilki sifat ekologi yang berbeda-beda pada berbagai tingkatan, yaitu sebagai tempat ekosistem dan landscape (Schaeffer-Novelli et al 2005).

2.5 Kerusakan Hutan Mangrove

(31)

Selain karena hal-hal tersebut diatas, kerusakan kawasan mangrove juga disebabkan oleh faktor-faktor fisik yang sengaja dilakukan oleh manusia. Faktor-faktor fisik tersebut antara lain aliran sungai yang dibendung, perubahan drainase, konversi atau perubahan status peruntukan, dan pengambilan batu atau karang pantai, ataupun karena terjadi abrasi pantai serta kerusakan ekosistem mangrove. Kerusakan kawasan mangrove secara garis besar antara lain, sebagai berikut (Kementrian Negara Lingkungan Hidup 2008):

1. Perubahan sifat-sifat fisika dan kimia, meliputi suhu air, nutrisi, salinitas, hidrologi, sedimentasi, kekeruhan, substansi beracun, dan erosi tanah.

2. Perubahan sifat-sifat biologi, meliputi terjadinya perubahan spesies dominan, densitas, populasi, serta struktur tumbuhan dan hewan.

3. Perubahan keseimbangan ekologi, baik pada ekosistem mangrove itu sendiri maupun pada daerah pantai yang bersebelahan.

Kondisi hutan mangrove di Indonesia sangat memerlukan pengelolaan. Hal ini mengingat penyusutan selama 11 tahun. Pada tahun 1981 luas hutan mangrove yaitu 2 496 158 ha atau sekitar 46.96 persen, sehingga pada tahun 1992 tercatat tinggal seluas 5 209 543 ha (Nugroho dan Dahuri 2004).

Pada mulanya Delta Mahakam adalah kawasan yang masih terjaga keasliannya dan merupakan habitat yang ditumbuhi vegetasi mangrove. Seiring perjalananwaktu, penduduk lokal mulai membuka hutan mangrove untuk dijadikan tambak, hal ini terjadi pada tahun 80-an. Tambak yang diusahakan masih sangat tradisional dengan luas bervariasi. Ketika pertumbuhan penduduk dan kebutuhannya mulai meningkat dan hasil tambak yang ada memberikan harapan sebagai sumber penghasilan yang dapat diandalkan maka mulai makin banyak masyarakat yang membuka tambak di kawasan ini. Sebagai akibatnya, luasan hutan mangrove di kawasan ini makin menurun.

Pembukaan hutan mangrove mulai meningkat pada tahun 1996 dan terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada tahun 1997 ketika terjadi resesi ekonomi di Indonesia yang berdampak pada harga udang yang tinggi akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Pembukaan lahan mencapai puncaknya pada tahun 2001 dengan begitu luasnya hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak-tambak udang (Bappeda Kabupaten Kutai Kartanegara 2010).

2.6 Nilai Ekonomi Hutan Mangrove

(32)

12

Pengukuran valuasi ekonomi dari hutan mangrove dapat menggunakan model pengukuran dari nilai ekonomi sumberdaya, dimana secara tradisional nilai terjadi didasarkan pada interaksi antara manusia sebagai subjek dan objek (Pearce dan Moran 1994; Turner et al 1994). Setiap individu memiliki sejumlah nilai yang dikatakan sebagai nilai penguasaan yang merupakan basis preferensi individu. Pada akhirnya nilai objek ditentukan oleh bermacam-macam nilai yang dinyatakan (assigned value). Nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam sumberdaya alam khususnya ekosistem mangrove sangat berperan dalam pentuan kebijakan pengelolaanya, sehingga alokasi dan alternative pengelolaannya dapat efisien dan berkelanjutan. Model nilai total ekonomi (total economic value) dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Kerangka nilai ekonomi yang sering digunakan dalam valuasi ekonomi sumberdaya alam termasuk mangrove adalah konsep total economic value (TEV), secara garis besar dikelompokkan menjadi nilai guna (use value) dan nilai non-guna/intrinsic (non-use value), (Pearce dan Moran 1994; Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Nilai guna (use value) dibagi menjadi nilai guna langsung (indirect use value), nilai guna tak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan (option value). Nilai non-guna dibagi menjadi nilai keberadaan (existence value), nilai warisan (bequest value) dan nilai pilihan (option value).

Fungsi hutan mangrove secara ekonomi dapat dilihat dari berbagai manfaat yang didapat dari hutan mangrove itu sendiri. Manfaat tersebut diantaranya adalah manfaat langsung (direct Use) yang terdiri dari manfaat penerimaan kayu bangunan, buah, dan atap nipah. Manfaat tidak langsung (indirect use) terdiri dari penahan abrasi, feading, spawning, dan nursery ground. Manfaat pilihan (option value) terdiri dari nilai sewa rumah dan sewa tambak. Manfaat keberadaan (existence value) terdiri dari keberadaan nilai hutan mangrove masa sekarang dan nilai rekreasi. Manfaat pewarisan (bequest value) terdiri dari nilai bekantan

Sumber: Pearce dan Moran (1994)

Gambar 2.1 Model Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value)

(33)

Fungsi ekonomi mangrove sangat banyak kegunaannya bagi kepentingan manusia, baik produk langsung (seperti: bahan akar, bahan bangunan, alat perangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman, dan tekstil) maupun produk tidak langsung (seperti tempat-tempat rekreasi dan bahan makanan dan produk yang dihasilkan sebagaian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Nilai pakai lain yang penting dari ekosistem adalah berbagai organisme akuatik yang beberapa diantaranya memiliki nilai komersial memilih habitat mangrove sebagai tempat hidupnya. 30% produksi perikanan laut tergantung pada kelestarian mangrove, karena hutan mangrove menjadi tempat perkembangbiakan jenis-jenis ikan yang tinggi nilai komersilnya (Kementrian Negara Lingkungan Hidup 2008).

2.7 Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian terdahulu yang releven mengenai valuasi ekonomi hutan mangrove sudah banyak dilakukan. Penelitian ini merujuk dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan secara umum tentang valuasi ekonomi mangrove pada beberapa daerah di Indonesia. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan

pedoman dalam melakukan penelitian mengenai: “Valuasi Total Ekonomi Hutan

Mangrove Di Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan

Timur”.

Beberapa penelitian terdahulu yang relevan menghitung hutan mangrove mangrove yang berubah fungsi lahan (konversi) menjadi tambak tumpang sari dan pemukiman, seperti penelitian dari Handayani (2004) tentang Analisis Ekonomi Pemanfaatan Hutan Mangrove Menjadi Tambak Tumpangsari (Studi Kasus: Desa Muara Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang), Budiana (2005) dengan judul Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove Berbagai Pola Tambak Tumpangsari Pada Status Lahan Negara dan Lahan Milik (Studi Kasus: di Karawang - Jawa Barat), Suryono (2006) tentang Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus: di Hutan Angke Kapuk Jakarta Utara) dan Azis (2006) dengan judul Analisis Ekonomi Alternative Pengelolaan system Mangrove Kecamatan Barru Kabupaten Barru.

Alat analisis yang digunakan oleh Handayani (2004) dan Budiana (2005) pada penelitian yaitu TEV (total economic value), NPV dan BCA (benefit cost analysis). Penelitian yang dilakukan oleh Suryono(2006) menggunakan alat analisis TEV, WTP (willingnes to pay), dan WTA (willingness to accept). Azis (22006) menggunakan alat analisis consumer surplus, Optimal pemanfaatan

(household model), TEV (total economic value), dan Multi criteria analysis

(MCA).

(34)

14

Tabel 2.1 Matriks hasil penelitian terdahulu

No. Judul Penelitian Peniliti/Tahun Penelitian

 Pengalihan fungsi hutan mangrove menjadi tambak tumpangsari banyak disebabkan oleh meningkatnya tekanan penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan hutan manrove yang maksimal dengan mengkonversi hutan menjadi tambak yang dilakukan masyarakat Desa Muara pada umumnya berbentuk tambak pola empang parit dengan ditanami jenis ikan udang windu dan bandeng.

 TEV hutan mangrove sebesar Rp. 2.087.495.135,41/ha.

 Analisis manfaat biaya hutan mangrove dengan analisis ekonomi maupun financial pada scenario III (40% tambak

 Nilai manfaat total pemanfaatan hutan mangrove pada status lahan negara adalah sebesear Rp. 11.377.794.020 per tahun, sedangkan pada status lahan milik TEV adalah sebesar Rp. 4. 402.170.910 per tahun.

 Analisis manfaat biaya (BCA) hutan mangrove pada scenario pemnafaatan I ( 20% tambak dan 80% hutan) merupakan pola tambak tumpangsari dengan nilai ekonomi tertinggi, baik pada status lahan negara maupun status lahan milik.

 TEV hutan Angke Kapuk sebelum terjadi konversi sebesae Rp.84.789.416.385,- per perbaikan lingkungan dipengaruhi oleh faktor pekerjaan, pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan.

 WTA masyarakat petambak dipengaruhi faktor pendidikan, pendapatan dan jumlah tanggungan

 Hasil yang diperoleh bahwa utility adalah dari hasil kepiting sebesar Rp. 19.770.779,11 dengan konsumen surplus sebesar Rp.17.6664.774,08.

 TEV hutan mangrove di Kecamatan Barru sebesar Rp.1.241.763.891,75  Alternative pemanfaatan yang menjadi

(35)

Pemanfaatan hutan mangrove yang ada sekarang ini dirasakan belum optimal dan lestari (Abdullah 1994). Usaha pemanfaatan hutan mangrove seharusnya menghitung manfaat dan biaya dari kegiatan usaha, termasuk didalamnya menghitung nilai ekonomi dari sumberdaya hutan mangrove. Pendekatan tersebut akan menggambarkan suatu pilihan alternatif yang rasional dalam pemanfaatan sumberdaya mangrove yang sesuai dengan ketentuan Perum Perhutani.

Permasalahan yang terjadi dari keberadaan hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur yaitu: (1) Luasan hutan mangrove yang semakin berkurang setiap tahunnya; (2) Kerusakan hutan mangrove yang disebabkan oleh aktifitas masyarakat yang bertempat tinggal di sekitarnya yang mengeksploitasi hutan mangrove secara berlebihan dan akhirnya terjadi degradasi lingkungan dan (3) Terjadi konversi lahan hutan mangrove menjadi tambak dan pemukiman.

Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada hutan mangrove tersebut mengakibatkan perlu adanya tindakan pelestarian hutan mangrove sehingga dapat dipertahankan karena nilai ekonomi hutan mangrove bernilai tinggi, untuk itu perlu dilakukannya perhitungan dan penelitian tentang valuasi ekonomi hutan mangrove yang berada di kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara. Penghitungan valuasi ekonomi hutan mangrove didekati dengan melakukan identifikasi dan kuantifikasi manfaat hutan mangrove. Menurut Pearce dan Moran (1994), nilai ekonomi hutan mangrove secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu nilai guna (use value) dan nilai bukan guna (non use value). Nilai guna terdiri dari nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan (option value). Nilai bukan guna dalam penelitian ini yang dihitung adalah nilai keberadaan (existence value) dan nilai warisan (bequest value).

Nilai guna langsung yang dihitung dalam penelitian ini terdiri dari manfaat hasil kayu, buah, atap nipah, ikan, udang dan kepiting. Nilai guna tidak langsung terdiri dari penahanan abrasi, feeding, spawning, dan nursery ground. Nilai pilihan terdiri dari nilai sewa rumah,nilai sewa tambak dan nilai rekreasi. Nilai keberadaan terdiri dari keberadaan nilai hutan mangrove. Nilai warisan terdiri dari nilai endemik habitat bekantan. Berdasarkan nilai dari manfaat-manfaat tersebut diperoleh nilai total ekonomi hutan mangrove.

Hasil perhitungan valuasi total ekonomi hutan mangrove untuk kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara saat ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan landasan pikir untuk menghasilkan suatu rekomendasi yang berhubungan dengan nilai ekonomi hutan mangrove pada kawasan tersebut. Dengan melihat adanya permasalahan-permasalahan yang terjadi pada hutan mangrove di kawasan tersebut maka diharapkan pemerintah daerah setempat untuk lebih memperhatikan kondisi hutan mangrove yang akhir-akhir ini luasannya semakin berkurang akibat terjadinya kerusakan dan degradasi lingkungan serta konversi lahan hutan mangrove menjadi tambak dan pemukiman.

(36)

16

mangrove selanjutnya. Kerangka pendekatan penelitian secara rinci disajikan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Skema Diagramatik Kerangka Penelitian Permasalahan Hutan Mangrove:  Luasannya semakin berkurang

 Kerusakan akibatnya terhadap degradasi hutan

 Konversi lahan hutan mangrove menjadi tambak dan pemukiman

(37)

4.1Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan mulai dari Maret sampai dengan Mei 2012, dengan wilayah pengambilan sampel pada area di sekitar Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kalimantan Timur meliputi tiga kecamatan yaitu Kecamatan Anggana, Kecamatan Muara Jawa, dan Kecamatan Muara Badak. Pemilihan tiga kecamatan tersebut didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan bahwa berada di dekat dengan hutan mangrove dan berada dalam kondisi rusak. Adapun peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1 dibawah ini.

(38)

18

4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam peneltiian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Menurut Sarwono (2006), data kualitatif adalah jenis data deskriptif berupa gejala-gejala dalam bentuk dokumen, foto dan catatan-catatan pada saat penelitian. Data kuantitatif adalah data yang berupa angka-angka statistik atau berupa kuantitatif.

Berdasarkan sumbernya data yang diambil pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dengan metode wawancara yang menggunakan kuesioner yang telah disusun sesuai dengan tujuan penelitian pada responden langsung yaitu masyarakat yang berada dekat dengan hutan mangrove di dalam kawasan Delta Mahakam.

Data sekunder adalah data penunjang yang dikumpulkan dari Pemerintah Daerah, Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur, Bappeda Kabupaten Kutai Kartanegara, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara dan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan materi penelitian, hasil-hasil penelitian terdahulu serta jurnal-jurnal penelitian yang berkaitan dengan penelitian.

4.3 Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu metode pengambilan sampel secara sengaja dengan pertimbangan bahwa responden adalah masyarakat yang mengerti dan mengetahui kondisi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai kartanegara. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan informasi yang jelas tentang kondisi lapangan. Metode ini dipergunakan untuk menilai manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, manfaat keberadaan.

.

Tabel 4.1 Matriks tujuan penelitian dan metode analisis

No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis

Jumlah

2. Menghitung nilai ekonomi total (Total Ekonomic Value)

(39)

keberadaan hutan mangrove dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Adapun jumlah sampel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.1.

4.4Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara yang menggunakan kuesioner yang telah disusun sesuai dengan tujuan penelitian pada responden secara langsung yaitu masyarakat yang berada di sekitar hutan mangrove dalam Kawasan Delta Mahakam. Metode wawancara ini digunakan untuk responden yang benar-benar tinggal di areal hutan mangrove yang secara administrasi terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara dan lebih tepatnya berada di Kecamatan Anggana, Kecamatan Muara Jawa, dan Kecamatan Muara Badak. Penentuan lokasi yang menjadi penelitian ini dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa ke tiga lokasi tersebut yang mempunyai komunitas mangrove yang ada di Kawasan Delta Mahakam yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan hutan mangrove.

4.5 Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini digunakan metode analisis deskriptif kualitatif dan analisis kuantitatif.

4.5.1 Analisis Deskriptif Kualitatif

Analisis deskriptif kualitatif dilakukan untuk menjelaskan kondisi hutan mangrove kawasan Delta Mahakam berdasarkan data primer dan data sekunder yang ada. Analisis deskriptif kualitatif dilakukan juga untuk menggambarkan macam-macam kegiatan sosial ekonomi masyarakat disekitar hutan mangrove.

4.5.2 Analisis Kuantitatif

Penilaian ekonomi hutan mangrove dalam penelitian menggunakan dua tahap seperti yang dilakukan Ruitenbeek (1992), yaitu: (1) Identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi ekosistem hutan mangrove, dan (2) Mengkuantifikasikan semua manfaat dan fungsi ekosistem ke dalam nilai uang (rupiah). Berikut uraian masing-masing tahap dalam penelitian tersebut:

a. Identifikasi manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove

Langkah pertama dari tahap ini adalah mengidentifikasi segenap manfaat dan fungsi dari ekosistem yang akan diteliti. Manfaat dan fungsi yang diidentifikasi untuk segenap penelitian meliputi:

1. Manfaat Langsung (Direct Use Value)

(40)

20

kepiting), dan hasil non tambak (kayu sebagai bangunan rumah, kayu sebagai arang dan buah). Adapun formulasi yaitu sebagai berikut:

= �

6

�=1

Dimana : ML = Total manfaat langsung (Rupiah) ML1 = penerimaan kayu mangrove (Rupiah) ML2 = penerimaan produksi buah (Rupiah) ML3 = penerimaan atap nipah (Rupiah) ML4 = penerimaan produksi ikan (Rupiah) ML5 = penerimaan produksi udang (Rupiah) ML6 = penerimaan produksi kepiting (Rupiah)

2. Manfaat Tidak Langsung (Indirect use Value)

Manfaat tidak langsung adalah nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi, 2002). Manfaat ini diperoleh dari suatu ekosistem secara tidak langsung, seperti: penahan abrasi pantai (Fahrudin, 1996), pemijahan udang dan penyediaan pakan serta hasil tangkapan laut/non tambak (kepiting, udang) berdasarkan harga pasar. Adapun formulasinya sebagai berikut:

� = � �

4

�=1

Dimana : MTL = Total manfaat tidak langsung (Rupiah) MTL1 = Penahan Abrasi (Rupiah)

MTL2 = Feeding Ground

MTL3 = Spawning Ground

MTL4 = Nursery Ground

Manfaat tidak langsung dari ekosistem hutan mangrove berupa penyedia pakan organik bagi udang didekati dengan menggunakan persamaan regresi luas hutan mangrove dan produksi udang yang dilakukan oleh Naamin (1984), seperti :

Y = 16,286 + 0,0003536 X

Dimana : Y = Produksi Udang (Kg) X = Luas hutan mangrove (Ha)

3. Manfaat Pilihan (Option Value)

(41)

dengan mengacu pada nilai pengggunaan lainnya dari hutan mangrove seperti nilai sewa rumah, nilai sewa tambak dan rekreasi.

MP = MPPl

Dimana : MP = Manfaat pilihan

MPPL = Manfaat pilihan penggunaan lainnya

4. Manfaat Keberadaan (Existence Value)

Manfaat keberadaan yaitu manfaat yang dirasakan masyarakat oleh masyarakat dari keberadaan sumberdaya setelah manfaat lainnya dihilangkan dari analisis. Secara umum teknik pendekatan dilakukan dengan interview atau wawancara terhadap rumah tangga dengan menanyakan keinginan untuk membayar (WTP) dalam mempertahankan asset lingkungan dimasa saat ini (Maryadi 1998). Nilai manfaat keberadaan ini lebih dilihatkan terhadap hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam. Untuk mengetahui nilai WTP manfaat keberadaan ini yaitu dengan menggunakan metode Contingent Valuation Method

(CVM). Formulasinya adalah sebagai berikut:

= [ � ]/�

�=1

Dimana : MK = manfaat keberadaan

MKi = manfaat keberadaan dari responden ke-i N = total responden

5. Manfaat Pewarisan (Bequest Value)

Manfaat pewarisaan adalah suatu manfaat yang dapat diwariskan untuk generasi yang akan datang. Dalam penelitian ini manfaat pewarisan dibatasi hanya pada nilai endemik habitat bekantan. teknik pendekatan dilakukan dalam manfaat pewarisan dilakukan dengan interview atau wawancara terhadap rumah tangga dengan menanyakan keinginan untuk membayar (WTP) dalam mempertahankan asset lingkungan dimasa yang akan datang. Untuk mengetahui nilai WTP manfaat pewarisan ini yaitu dibangun dengan menggunakan metode Contingent Valuation Method (CVM). Manfaat pewarisan dapat dirumuskan sebagai berikut:

� = [ �� ]/� �

�=1

Dimana : MW = manfaat pewarisan

(42)

22

6. Nilai Manfaat Ekonomi Total

Nilai manfaat ekonomi total merupakan penjumlahan dari seluruh manfaat yang telah diidentifikasi dari ekosistem hutan mangrove yang diteliti dengan diformulasikan dalam bentuk rumus:

NMET = ML + MTL + MP + MK + MW

Dimana : NMET = Nilai Manfaat Total ML = Manfaat Langsung MTL = Manfaat Tidak Langsung MP = Manfaat Pilihan

MK = Manfaat Keberadaan MW = Manfaat Pewarisan

b. Kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi kedalam nilai rupiah (rupiah)

Setelah semua manfaat dan fungsi ekosistem yang diteliti berhasil diidentifikasi, maka langkah awal selanjtnya adalah mengkuantifikasikan manfaat dan fungsi tersebut ke dalam nilai rupiah. Beberapa teknik kuantifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan nilai pasar dan harga tidak langsung (F.O.B).

(1) Nilai Pasar

Pendekatan nilai pasar digunakan untuk komoditas-komoditas yang langsung dapat diperdagangkan dari ekosistem yang ditelitinya, misalnya nilai ikan, udang, kepiting, dan sebagianya. Pendekatan ini digunakan untuk mendapatkan nilai uang (rupiah) bagi manfaat langsung dari hutan mangrove

(2) Harga Tidak Langsung

Pendekatan ini digunakan apabila mekanisme harga gagal memberikan nilai pada komoditas ekosistem yang diteliti, yaitu untuk manfaat dan fungsi tidak langsung (indirect use value) yang dibangun dengan Metode Contingent Valuation (CVM).

4.5.3 Analisis WTP dengan CVM

Contingent Valuation (CV) digunakan untuk menghitung nilai amenity atau estetika dari suatu barang publik (public good). Barang publik dalam hal ini didefinisikan sebagai suatu barang yang dapat dinikmati oleh satu individu tanpa mengurangi proporsi individu lain untuk menikmati barang tersebut. Oleh karena itu, keinginan untuk membayar satu individu (WTP) seperti yang diperoleh dalam kuesioner survey dapat diagredasi menjadi nilai keseluruhan populasi (Fahrudin dan Adrianto 2007). Willingness to pay (WTP) digunakan untuk mengetahui seberapa besar keinginan responden untuk membayar suatu jasa lingkungan sumberdaya alam berdasarkan preferensi dari responden.

(43)

digunakan untuk memperkirakan nilai non guna (non use value) atau nilai guna pasif (passive use value). Langsung meminta kepada individu atau masyarakat dan menyatakan kesediaan mereka untuk membayar jasa lingkungan yang spesifik berdasarkan skenario hipotetik.

Menurut FAO (2000), penilaian berdasarkan preferensi (Contingent Valuation) adalah sebuah metode yang digunakan untuk melihat atau mengukur seberapa besar nilai suatu barang berdasarkan estimasi seseorang. CVM juga dapat diumpamakan sebagai suatu pendekatan untuk mengukur seberapa besar keinginan membayar (Willingness to Pay, WTP) dari responden terhadap keberadaan hutan mangrove dan bekantan yang ada di kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara.

CVM adalah metode valuasi teknik survey untuk menanyakan masyarakat tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditas yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan (Yakin 1997), jika pasarnya betul-betul tersedia atau ada cara-cara pembayaran seperti pajak diterapkan. Prinsip yang mendasar metode ini adalah bahwa bagi orang yang mempunyai preferensi yang benar tetap tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan, kemudian

diasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kemampuan untuk

mentranformasikan preferensi tersebut ke dalam bentuk nilai uang. Dalam hal ini diasumsikan bahwa orang tersebut akan bertindak nantinya seperti yang dikatakan ketika situasi hipotesis yang disodorkan kepadanya akan menjadi kenyataan pada masa yang akan datang.

Asumsi dasar dari CVM adalah sebagai berikut: (1) individu-individu memahami benar pilihan-pilihan yang ditawarkan pada mereka dan bahwa mereka cukup mengerti atau tahu kondisi lingkungan yang akan dinilai, dan (2) apa yang dikatakan individu adalah sungguh-sungguh apa yang mereka lakukan jika pasar untuk barang lingkungan itu benar-benar terjadi.

Keuntungan dari CVM yaitu sangat fleksibel karena dapat digunakan untuk memperkirakan semua nilai ekonomi. Namun, yang terbaik adalah dapat nilai untuk barang dan jasa yang mudah didentifikasi dan dipahami oleh pengguna dan yang yang dikonsumsi dalam unit diskrit (misalnya pengguna hari rekreasi), bahkan jika tidak ada perilaku yang dapat diamati yang tersedia untuk menyimpulkan nilai-nilai lain yang berarti. CVM adalah metode yang paling banyak diterima untuk mengestimasi nilai ekonomi total (total economic value), termasuk semua jenis nilai non guna (non use value) atau nilai guna pasif (passive use value). CVM juga dapat memperkirakan nilai guna (use value), serta nilai keberadaan (existence value), nilai pilihan(option value) dan nilai pewarisan (bequest value).

Menurut Fauzi (2004), pada metode pengukuran dengan teknik ini, responden diberi nilai rupiah kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak. Dalam operasionalnya untuk melakukan pendekatan CVM dilakukan beberapa tahapan kegiatan atau proses. Tahapan tersebut yaitu:

1). Membuat Hipotesis Pasar.

(44)

24

untuk mendengarkan pernyataan yang berisi kondisi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai kartanegara saat ini. Sekarang ini hutan mangrove yang setiap tahunnya mengalami penurunan luasan lahan,terjadinya konversi lahan hutan mangrove yang menjadi tambak dan pemukiman. Selanjutnya, responden diberi informasi tentang kondisi yang lebih jika tidak terjadinya hutan mangrove yang semakin berkurang tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut akan diperoleh prilaku responden dalam situasi hipotesis bukan dalam situasi riil.

2). Mendapatkan Nilai Penawaran Besarnya Nilai WTP

Apabila alat survei telah dibuat, maka survei tersebut dapat dilakukan dengan wawancara langsung. Teknik yang digunakan dalam mendapatkan nilai penawaran pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode referendum atau discrete choice (dischotomous choice). Responden diberi suatu nilai rupiah kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak. Metode ini lebih memudahkan responden dalam memahami maksud dan tujuan dari penelitian disbanding dengan metode yang lain. Metode ini juga memudahkan dalam mengklasifikasikan responden yang memiliki kecenderungan untuk membayar perbaikan lingkungan dengan responden yang tidak memiliki kecenderungan untuk membayar perbaikan lingkungan.

3). Menghitung Dugaan Rataan WTP

Setelah survei dilaksanakan, tahapan berikutnya adalah memperkirakan dugaan nilai rataan dari WTP dari setiap responden. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai penawaran yang diperoleh pada tahap dua. Perhitungan ini didasarkan pada nilai mean (rataan) dan nilai median (nilai tengah). Apabila ada nilai yang sangat jauh dari menyimpang dari rata-rata, biasanya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan. WTPi dapat diduga dengan menggunakan nilai tengah dari kelas atau interval kelas WTPi. Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui bahwa WTPi yang benar berada antara jawaban yang dipilih (batas bawah kelas WTP) dengan WTP berikutnya (batas atas kelas WTP). Dugaan rataan WTP dihitung dengan rumus:

��� = �� ��

4). Menentukan WTP Agregat atau WTP Total (Penjumlahan Data)

(45)

��� = �� �

�=1

��

Dimana : TWTP = Total kesediaan responden untuk membayar WTP = WTP responden sampel ke-i

Ni = Jumlah sampel ke-I yang bersedia membayar sebesar WTP

P = Jumlah Populasi

I = Responden ke-I yang bersedia membayar

5). Memperkirakan kurva penawaran (bid curve)

Kurva penawaran diperoleh dengan, misalnya meregesikan WTP sebagai . variable tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variable bebas (independent variable).

Wi = f (I, E, A, Q) Dimana : I = pendapatan

E = Pendidikan A = Umur

Q = ukuran/skala untuk perubahan lingkungan

4.5.4 Economic Rent

Pendekatan ini digunakan untuk menentukan nilai manfaat pilihan (option value) yaitu nilai sewa rumah dan nilai tambak yang ada di Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara dengan melihat kesediaan seseorang atau individu untuk membayar sewa rumah dan sewa tambak tersebut Adapun formulasi untuk menghitung nilai sewa rumah dan nilai tambak yaitu sebagai berikut:

Nilai sewa rumah = banyaknya rumah x 12 bulan x nilai sewa rumah Nilai tambak = banyaknya tambak x 12 bulan x nilai sewa tambak

4.5.5 Analisis Regresi Linear Berganda

(46)

26

WTP = β0+ β1UR + β2TP + β3PD + β4PK + β5JT...+ βnXY + εi

Keterangan :

WTP : Nilai WTP Responden (Rp/orang)

β0 : Intersep

β1,…,βn : Koefisien Regresi

TP : Tingkat Pendidikan Responden

PD : Pendapatan Responden (Rp/Bulan)

PK : Jenis Pekerjaan Responden (Peubah Dummy)

JT : Jumlah Tanggungan

KL : Kualitas Hutan Mangrove

ε : Error

I : Responden ke-I (i=1,2,3,…n)

Gambar

Gambar 2.1 Model Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value)
Tabel 2.1 Matriks hasil penelitian terdahulu
Gambar 3.1.
Gambar 4.1 Peta Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh family control terhadap profitabilitas yang diukur dengan ROA dan nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin’s Q maka

Kripik Kulit Singkong dengan aneka rasa yang kaya akan insoluble fiber (serat yang tidak larut dalam air) yang bermanfaat untuk memperlancar proses buang air

Perlakuan yang digunakan adalah sama dengan perlakuan sebelumnya, ikan asin direndam dalam air pada suhu 70 o C pada masing-masing waktu, hasil absorbansi

Kedua adalah hitungan mundur yang Digunakan untuk mengetahui waktu paling akhir memulai dan mengakhiri masing-masing kegiatan tanpa mempengaruhi penyelesaian proyek

Pengaruh langsung Program Kesehatan Kerja (X2) ke Faktor Penyakit Akibat Kerja (Y1) dan pengaruh langsung antara Faktor Penyakit Akibat Kerja (Y1) keFaktor

Yang melatarbelakangi pembuatan Tugas Akhir ini adalah keinginan untuk merancang dan merealisasikan suatu filter yang dapat diaplikasikan pada transmitter TV Digital

Mengapa hal itu masih terjadi dalam era perkembangan teknologi komunikasi yang berbasis audio visual dengan adanya HP, computer dan internet juga situs dan

RANCANG BANGUN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN DENGAN MODEL MEANS-ENDS ANALYSIS UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA SMK PADA MATA PELAJARAN PEMROGRAMAN DASAR.. Universitas