• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien Post Operasi Fraktur Femur dengan Gangguan Mobbilitas Fisik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien Post Operasi Fraktur Femur dengan Gangguan Mobbilitas Fisik"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien Post Operasi Fraktur Femur dengan Gangguan Mobbilitas Fisik

2.2.1. Pengkajian

Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses pertama melalui kegiatan pengumpulan data atau perolehan data yang akurat dari pasien guna mengetahui berbagai permasalahan yang ada (Muttaqin, 2015).

Pengkajian pada pasien Fraktur Femur dengan Gangguan Mobilitas Fisik diuraikan sebagai berikut:

1. Identitas Pasien

Meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, bangsa, pendidikan, pekerjaaan tanggal MRS, diagnosa medis, nomor registrasi.

2. Keluhan utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus post operasi fraktur adalah rasa nyeri. Biasanya hasil pemeriksaan pergerakan yang didapat adalah adanya gangguan/keterbatasan gerak tungkai, didapatkan ketidakmampuan menggerakkan kaki dan penurunan kekuatan otot ekstremitas bawah dalam melakukan pergerakan. Karena timbulnya nyeri dan keterbatasan gerak, semua bentuk kegiatan klien menjadi

(2)

berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain (Muttaqin, 2015).

3. Riwayat penyakit sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur femur yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien, berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut. Pada pasien fraktur dapat disebabkan oleh trauma/

kecelakaan, degeneratif dan patologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat/ perubahan warna kulit dan kesemutan (Wicaksono, 2016).

Untuk memperoleh data pengkajian yang lengkap mengenai data pasien digunakan PQRST:

a) Proboking insiden: Apa yang menjadi faktor nyeri. Pada pasien post operasi fraktur, nyeri dirasakan akibat adanya luka proses pembedahan.

b) Quality of pain: Seperti apa nyeri yang dirasakan pasien, seperti tersayat-sayat/tertusuk-tusuk.

c) Region Radiation of pain: Berada pada daerah mana nyeri terasa, apakah nyeri berada hanya di satu titik atau menyebar. Pada pasien post operasi, nyeri terasa pada bagian luka operasi.

d) Severity/scale of pain: Nyeri yang dirasakan pasien post operasi berada pada skala sedang-berat.

e) Time: Waktu dimana pasien merasa nyeri. Pada pasien post operasi fraktur, nyeri dirasakan saat bagian fraktur digerakkan.

4. Riwayat kesehatan dahulu

(3)

Apakah pasien mengalami patah tulang paha atau pasien pernah punya penyakit menurun sebelumnya dan memiliki riwayat penyakit osteoporosis/arthritis atau penyakit lain yang sifatnya menurun atau menular.

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.

Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka sangat beresiko terjadinya osteomielitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Wicaksono 2018).

5. Riwayat kesehatan keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.

Kemungkinan lain anggota keluarga yang mengalami gangguan seperti yang dialami klien atau gangguan tertentu yang berhubungan secara langsung dengan gangguan hormonal seperti:

a. Obesitas

b. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan c. Kelainan pada kelenjar tiroid

d. Diabetes mellitus

e. Infertilitas (Purwanto, 2016).

(4)

6. Pemenuhan Kebutuhan Dasar

Pada pasien post operasi fraktur femur biasanya mengalami gangguan kebutuhan dasar yang meliputi: gangguan istirahat, gangguan kebersihan diri

7. Pola fungsi kesehatan

a. Pola persepsi hidup sehat

Pasien post operasi fraktur femur biasanya akan mengalami perubahan atau gangguan pada personal hygiene.

b. Pola nutrisi dan metabolisme

Pasien post operasi fraktur femur tidak ada perubahan nafsu makan, walaupun menu makanan disesuakan dari rumah sakit.

c. Pola eliminasi

Pola eliminasi dapat dikaji dengan melihat frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi urin dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah urine. Pada kedua pola ini juga dikaji ada atau tidak kesulitan dalam BAK maupun BAB. Masalah perkemihan, khususnya infeksi dan retensi urine, lazim disebabkan oleh imobilisasi dan stasis urine. Retensi urine sering terjadi sesudah pembedahan (Purwanto, 2016).

d. Pola istirahat dan tidur

Pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan

(5)

obat tidur. Semua klien fraktur timbul rasa nyeri dan keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam istirahat-tidur akibat dari nyeri (Lukman & Ningsih, 2013).

e. Pola aktivitas dan latihan

Semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain karena adanya keterbatasan gerak atau kehilangan fungsi motorik pada bagian post operasi fraktur (Lukman & Ningsih, 2013).

f. Pola persepsi dan konsep diri

Pasien mengalami gangguan percaya diri sebab tubuhnya mengalami perubahan, pasien takut cacat / tidak dapat bekerja lagi.

g. Pola sensori kognitif

Adanya nyeri yang disebabkan kerusakan jaringan, jika pada pola kognotif atau pola berfikir tidak ada gangguan.

h. Pola hubungan peran

Terjadi hubungan peran interpersonal yaitu pasien merasa tidak berguna sehingga menarik diri.

i. Pola penggulangan stress

Penting ditanyakan apakah membuat pasien menjadi depresi / kepikiran mengenai kondisinya.

j. Pola reproduksi seksual

(6)

Jika pasien sudah berkeluarga maka mengalami perubahan pola seksual dan reproduksi, jika pasien belum berkeluarga pasien tidak mengalami gangguan pola reproduksi seksual.

k. Pola tata nilai dan kepercayaan

Terjadi kecemasan/stress untuk pertahanan pasien meminta mendekatakan diri pada Allah SWT.

2.2.2. Pemeriksaan fisik

Menurut (Muttaqin 2015) ada dua macam pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan fisik secara umum (status general) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (Status local). Hal ini diperlukan untuk dapat melaksanakan perawatan total (total care).

1. Keadaan umum

a. Kesadaran pasien yaitu apatis, sopor, koma, gelisah dan komposmentis.

b. Kesakitan, keadaan penyakit yaitu akut, kronik, ringan, sedang, berat, dan pada kasus fraktur biasanya akut.

2. Tanda- tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.

3. Pemeriksaan dari kepala ke ujung jari kaki atau tangan harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler.

Pemeriksaan fisik dilakukan persistem yang meliputi:

a. Sistem respirasi:

(7)

1) Inspeksi: tidak ada perubahan yang menonjol seperti bentuk dada. ada tidaknya sesak nafas, pernafasan cuping hidung, dan pengembangan paru antara kanan dan kiri simetris.

2) Palpasi: tidak ada nyeri tekan, gerakan vokal fremitus antara kanan dan kiri sama.

3) Perkusi: bunyi peru resonan

4) Auskultasi: suara nafas vesikuler tidak ada suara nafas tambahan seperti wheezing atau ronchi.

b. Sistem Kardiovaskular:

1) Inspeksi: kulit dan membran mukosa pucat

2) Palpasi: tidak ada peningkatan frekuensi dan irama denyut nadi, tidak ada peningkatan JVP, CRT biasanya menurun >3 detik pada ekstremitas yang mengalami luka.

3) Perkusi: bunyi jantung pekak

4) Auskultasi: tekanan darah normal atau hipertensi (kadang terlihat sebagai respon nyeri), tidak terdengar suara tambahan seperti murmur dan gallop).

c. Sistem persarafan:

1) Inspeksi: menilai kesadaran pasien dengan GCS, tidak ada kejang, tidak ada kelainan nervus cranialis

2) Palpasi: tidak ada nyeri kepala d. Sistem Perkemihan:

(8)

1) Inspeksi: pasien tidak mengalami gangguan, warna urin jernih, pasien biasanya masih menggunakan kateter, buang air kecil 3-4x/hari

2) Palpasi: tidak ada nyeri tekan pada kandung kemih e. Sistem pencernaan :

1) Inspeksi: keadaan mulut bersih, mukosa lembab

2) Palpasi: tidak ada nyeri tekan atau massa pada abdomen 3) Perkusi: normal suara timpani

4) Auskultasi: bising usus mengalami penurunan karena efek anestesi

f. Sistem penginderaan

Inspeksi: pada mata terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan), pergerakan bola mata normal, pupil isokor. Tidak ada gangguan pada pada sistem pendengaran dan penciuman.

g. Sistem endokrin

Inspeksi: tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran kelenjar parotis.

h. Sisitem Muskuloskeletal

Infeksi: Yaitu gerakan abnormal ketika menggerakkan bagian yang cedera dan kemampuan Range Of Motion (ROM) mengalami gangguan atau penurunan. Pasien tidak bisa menggerakan bagian tubuh yang terdapat luka operasi

(9)

i. Sistem Integumen 1. Infeksi (Look)

Yaitu melihat adanya suatu deformitas (angulasi atau membentuk sudut, rotasi atau pemutaran dan pemendekan), jejas, tulang yang keluar dari jaringan lunak, sikatrik (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi), warna kulit, benjolan, pembengkakan atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal) serta posisi dan bentuk dari ekstremitas (deformitas).

2. Palpasi (Feel)

Adanya respon nyeri atau ketidaknyamanan, suhu disekitar luka, fluktuasi pada pembengkakan, nyeri tekan (tenderness), krepitasi, letak kelainan (sepertiga proksimal, tengah atau distal).

(10)

2.2.3. Analisis Data

Tabel 2. 1 Analisis Data

*Berdasarkan buku SDKI PPNI, 2017

Data Etiologi Masalah Keperawatan

Data Mayor

DS: Pasien mengeluh sulit menggerakkan ekstrimitas DO:

1.Kekuatan otot menurun 2.Rentang gerak menurun

Data Minor:

DS:

1.Pasien mengatakan nyeri saat bergerak

2.Pasien mengatakan takut untuk bergerak

DO:

1.Pasien tampak meringis saat bergerak

2.Pasen terlihat lemah 3.Nilai kekuatan otot 3

Fraktur

Putusnya diskontinuitas tulang

Tindakan pembedahan fraktur

Trauma jaringan

nyeri

Gangguan Mobilitas Fisik

Gangguan Mobilitas Fisik

(11)

2.2.4. Diagnosa keperawatan

Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang beransung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon pasien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (SDKI PPNI, 2017).

Dari latar belakang yang sudah dibuat, maka peneliti mengambil diagnosa keperawatan “gangguan mobilitas fisik” berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskular atau nyeri atau kerusakan integritas struktur tulang atau program pembatasan gerak (imobilisasi).

2.2.5. Intervensi Keperawatan

Intervensi yang dapat dilaksanakan oleh perawat berdasarkan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)

(12)

Tabel 2. 2

Intervensi keperawatan

Diagnosis Keperawatan

Tujuan / Kriteria Hasil (SLKI)

Perencanaan Keperawatan

(SIKI) Gangguan

mobilitas fisik

Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama……diharapkan gangguan mobilitas fisik dapat teratasi, dengan kriteria hasil:

a. Pergerakan ekstremitas meningkat

b. Kekuatan otot meningkat c. Rentang gerak (ROM) meningkat

d. Nyeri menurun e.

Kecemasan menurun f. Kaku sendi menurun g. Gerakan terbatas menurun h. Kelemahan fisik menurun

1.Observasi

a. Identifikasi adanya nyeri dan keluhan fisik lainnya

b. Identifikasi toleransi fisik melakukan Ambulasi

c. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai Ambulasi d. Monitor kondisi

umum selama melakukan Ambulasi 2.Teurapetik

a. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis, tongkat, kruk)

b. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik (jika perlu)

c. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam melakukan ambulasi 3.Edukasi

a. Jelaskan tujuan dan proserdur ambulasi b.Anjurkan melakukan

ambulasi Dini c. Ajarkan ambulasi

sederhana yang harus dilakukan

2.2.6. Implementasi

Berdasarkan buku SDKI PPNI, 2018

(13)

Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dan rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. OIeh karena itu, jika intenvensi keperawatan yang telah dibuat dalam perencanaan dilaksanakan atau diaplikasikan pada pasien, maka tindakan tersebut disebut implementasi keperawatan. (Setiadi dalam Februanti, 2019).

Tahap implementasi di mulai setelah rencana tindakan di susun dan di tujukan pada rencana strategi untuk membantu mencapai tujuan yang di harapkan. Oleh sebab itu, rencana tindakan yang spesifik di laksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan. Tujuan dari implementasi adalah membantu dalam mencapai tujuan yang telah di tetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping.

(Setiadi dalam Februanti, 2019).

Komponen yang terdapat pada implementasi adalah : 1. Tindakan observasi

Tindakan observasi adalah tindakan yang ditujukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data status kesehatan pasien.

2. Tindakan terapeutik

Tindakan terapeutik adalah tindakan yang secara lansung dapat berefek memulihkan status kesehatan pasien atau dapat mencegah perburukan masalah kesehatan pasien.

3. Tindakan edukasi

(14)

Tindakan edukasi adalah tindakan yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuam pasien merawat dirinya dengan membantu pasien memperoleh perilaku baru yang dapat mengatasi masalah.

4. Tindakan kolaborasi

Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang membutuhkan kerjasama baik dengan perawat lainnya maupun dengan profesi kesehatan lainnya.

2.2.7. Evaluasi Keperawatan

Menurut Setiadi dalam Februanti, 2019 tahapan penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. Terdapat dua jenis evaluasi. Yaitu:

1. Evaluasi Formatif (Proses)

Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.

Perumusan evaluasi formatif ini meliputi 4 komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif, objektif, analisis data dan perencanaan.

(15)

a. S (subjektif) yaitu Data subjektif dari hasil keluhan pasien, kecuali pada pasien yang afasia.

b. O (objektif) yaitu Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan oleh perawat.

c. A (analisis) yaitu Masalah dan diagnosis keperawatan pasien yang dianalisis atau dikaji dari data subjektif dan data objektif.

d. P (perencanaan) yaitu Perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang dengan tujuan memperbaiki keadaan kesehatan pasien.

2. Evaluasi Sumatif (Hasil)

Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktivitas proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Ada 3 kemungkinan evaluasi yang terkait dengan pencapaian tujuan keperawatan, yaitu:

a. Tujuan tercapai atau masalah teratasi jika pasien menunjukan perubahan sesuai dengan standar yang telah ditentukan.

b. Tujuan tercapai sebagian atau masalah teratasi sebagian atau pasien masih dalam proses pencapaian tujuan jika pasien menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria yang telah ditetapkan.

c. Tujuan tidak tercapai atau masih belum teratasi jika pasien hanya menunjukkan sedikit perubahan dan tidak ada kemajuan sama sekali.

(16)

2.2. Konsep Dasar Fraktur

2.2.1. Pengertian Fraktur

Fraktur adalah suatu kondisi yang terjadi ketika keutuhan dan kekuatan dari tulang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh penyakit invasif atau suatu proses biologis yang merusak (Kenneth et al., 2015).

2.2.2. Etiologi

Fraktur dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah cidera, stress, dan melemahnya tulang akibat abnormalitas seperti fraktur patologis (Apleys & Solomon, 2018).

Menurut Purwanto (2016) Etiologi/ penyebab terjadinya fraktur adalah:

1. Trauma langsung

Terjadi benturan pada tulang yang menyebabkan fraktur 2. Trauma tidak langsung

Tidak terjadi pada tempat benturan tetapi ditempat lain,oleh karena itu kekuatan trauma diteruskan oleh sumbu tulang ke tempat lain 3. Kondisi patologis

Terjadi karena penyakit pada tulang (degeneratif dan kanker tulang).

2.2.3. Klasifikasi

Menurut Sulistyaningsih (2016), berdasarkan ada tidaknya hubungan antar tulang dibagi menjadi Fraktur Terbuka dan Fraktur Tertutup:

(17)

1. Fraktur Terbuka

Adalah patah tulang yang menembus kulit dan memungkinkan adanya hubungan dengan dunia luar serta menjadikan adanya kemungkinan untuk masuknya kuman atau bakteri ke dalam luka. Berdasarkan tingkat keparahannya fraktur terbuka dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar menurut klasifikasi (Gustillo dan Anderson, 2015) yaitu:

a. Derajat I

Kulit terbuka <1cm, biasanya dari dalam ke luar, memar otot yang ringan disebabkan oleh energi rendah atau fraktur dengan luka terbuka menyerong pendek.

b. Derajat II

Kulit terbuka >1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas, komponen penghancuran minimal sampai sedang, fraktur dengan luka terbuka melintang sederhana dengan pemecahan minimal.

c. Derajat III

Kerusakan jaringan lunak yang lebih luas, termasuk otot, kulit, dan struktur neurovaskuler, cidera yang disebabkan oleh energi tinggi dengan kehancuran komponen tulang yang parah.

a) Derajat IIIA

Laserasi jaringan lunak yang luas, cakupan tulang yang memadai, fraktur segmental, pengupasan periosteal minimal.

(18)

b) Derajat IIIB

Cidera jaringan lunak yang luas dengan pengelupasan periosteal dan paparan tulang yang membutuhkan penutupan jaringan lunak; biasanya berhubungan dengan kontaminasi masif.

c) Derajat IIIC

Cidera vaskular yang membutuhkan perbaikan (Kenneth et al., 2015).

2. Fraktur Tertutup

Menurut Sulistyaningsih (2016) Fraktur tertutup dalah patah tulang yang tidak mengakibatkan robeknya kulit sehingga tidak ada kontak dengan dunia luar. Fraktur tertutup diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan jaringan lunak dan mekanisme cidera tidak langsung dan cidera langsung antara lain:

a. Derajat 0

Cidera akibat kekuatan yang tidak langsung dengan kerusakan jaringan lunak yang tidak begitu berarti.

b. Derajat 1

Fraktur tertutup yang disebabkan oleh mekanisme energi rendah sampai sedang dengan abrasi superfisial atau memar pada jaringan lunak di permukaan situs fraktur.

c. Derajat 2

(19)

Fraktur tertutup dengan memar yang signifikan pada otot, yang mungkin dalam, kulit lecet terkontaminasi yang berkaitan dengan mekanisme energi sedang hingga berat dan cidera tulang, sangat beresiko terkena sindrom kompartemen.

d. Derajat 3

Kerusakan jaringan lunak yang luas atau avulsi subkutan dan gangguan arteri atau terbentuk sindrom kompartemen (Kenneth et al., 2015).

Menurut Purwanto (2016) berdasarkan garis frakturnya dibagi menjadi:

a. Fraktur Komplet

Yaitu fraktur dimana terjadi patahan diseluruh penampang tulang biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang.

b. Fraktur Inkomplet

Yaitu fraktur yang terjadi hanya pada sebagian dari garis tengah tulang.

c. Fraktur Transversal

Yaitu fraktur yang terjadi sepanjang garis lurus tengah tulang.

d. Fraktur Oblig

Yaitu fraktur yang membentuk garis sudut dengan garis tengah tulang.

e. Fraktur Spiral

(20)

Yaitu garis fraktur yang memuntir seputar batang tulang sehingga menciptakan pola spiral.

f. Fraktur Kompresi

Terjadi adanya tekanan tulang pada satu sisi bisa disebabkan tekanan, gaya aksial langsung diterapkan diatas sisi fraktur.

g. Fraktur Kominutif

Yaitu apabila terdapat beberapa patahan tulang sampai menghancurkan tulang menjadi tiga atau lebih bagian.

h. Fraktur Impaksi

Yaitu fraktur dengan salah satu irisan ke ujung atau ke fragmen retak.

2.2.4. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Fraktur

1. Usia

Lamanya proses penyebuhan fraktur sehubung dengan umur lebih bervariasi pada tulang dibandingkan dengan jaringan- jaringan lain pada tubuh. Cepatnya proses penyembuhan ini sangat behubungan erat dengan aktifitas osteogenesis dari periosterium dan endosteum. Proses pembentukan tulang/

osteogenesis telah bermula sejak umur embrio 6 – 7 minggu dan berlangsung sampai dewasa sekitar umur 30 – 35 tahun. Dari grafik, massa tulang mulai tumbuh sejak usia 0 sampai usia 30 – 35 tahun, pada usia 30 – 35 tahun pertumbuhan tulang berheti, dan tercapai puncak massa tulang.

(21)

2. Tempat / lokasi fraktur

Lokasi yang dikelilingi otot akan sembuh lebih cepat dibandingkan dengan tulang yang terdapat pada subkutan atau daerah persendian.

3. Ada atau tidaknya dislokasi

Fraktur yang tidak mengalami dislokasi akan lebih cepat sembuh, makin besar dislokasinya maka semakin lama penyembuhannya.

4. Aliran darah ke fragmen tulang

Bila fragmen tulang mendapatkan aliran darah yang baik, maka penyembuhannya akan lebih cepat dan tanpa komplikasi. Bila terjadi berkurangnya aliran darah atau kerusakan jaringan lunak yang berat, maka proses penyembuhannya akan semakin lama (Gustillo dan Anderson, 2015).

2.2.5. Komplikasi

1. Komplikasi awal a. Kerusakan arteri

Pecahnya arteri karena trauma ditandai dengan menghilangnya denyut nadi, menurunnya CRT, sianosis bagian distal, dan hematoma melebar. Tanda lain adalah rassa lain pada ekstermitas akibat tindakan darurat splinting, perubahan posisi yang sakit, tindakan reduksi, pembedahan.

b. Kompartemen syndrome

(22)

Kompeten syndrome merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, syaraf, dan pembuluh darah dalam jaringan perut. Konsisi ini biasanya disebabkan oleh edema atau pendarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah.

Penyebab lain mungkin berasal dari tekanan luar, seperti gips atau pembebatan yang terlalu kuat.

c. Avaskuler nekrosis

Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ketulang rusak atau terganggu. Konsisi ini dapat menyebabkan nekrosis tulang yang diawali dengan munculnya Volkman’s ischemia.

d. Syok

Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya parmeabilitas kepiler. Kondisi yang umum ini terjadi pada kasus fraktur ini bias menyebabkan turunnya oksigen.

e. Infeksi

Trauma pada jaringan dapat menurunkan fungsi sistem pertahanan tubuh. Pada trauma ortopedik, infeksi dimulai pada kulit dan masuk kedalam tubuh. Kondisi ini terjadi pada kasus fraktur terbuka, akan tetapi bias juga karena penggunaan bahan asing dalam pembedahan seperti pin dan plat.

2. Komplikasi lanjutan a. Delayed union

(23)

Delayed union merupakan kondisi ketika fraktur gagal menyatu sesui dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.

Umumnya disebabkan oleh penurunan suplay darah ke tulang.

b. Non union

Non union merupakan kondisi ketika fraktur gagal menyatu dan memproduksi sambungn yang lengkap, kuat, dan stabil setelah enam bulan. Kondisi ini ditandai dengan pergerakan berlebih pada sisi fraktur yang membentu sendi palsu atau pseudoarthrosis. Sama halnya dengan delayed union, kondisi non union juga disebabkan karena berkurangnya suplai darah ketulang.

c. Mal union

Mal union merupakan kondisi penyembuhan tulang yang terlihat dari meningkatnya kekuatan tulang dan perubahan bentuk (deformitas). Kondisi ini dicapai memulai pembedahan dan reimobilitas.

2.2.6. Manifestasi Klinis

Nuratif dan Kusuma (2015) mengemukakan manifestasi klinis pada pasien fraktur yaitu:

1. Tidak dapat menggunakan anggota gerak 2. Nyeri

3. Pembengkakan

4. Gangguan fungsi gerak 5. Deformitas

(24)

6. Krepitasi

7. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh dari kamar mandi pada prang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan kerja, trauma olahraga)

2.2.7. Pemeriksaan Penunjang

Adapun beberapa periksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa fraktur adalah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan rontgen

Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma 2. Scan tulang, scan CT/MRI:

Memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

3. Arteriogram

Dilakukan bila kerusakan vaskuler di curigai 4. Hitung darah lengkap

HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada mulltipel.

5. Kreatinin

Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal 6. Profil kagulasi

Penurunan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse multiple, atau cidera hati (Doenges dalam Jitowiyono, 2016).

(25)

2.2.8. Penatalaksanaan

Tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk dan lokasi serta usia. Berikut adalah tindakan pertolongan awal pada fraktur menurut (Muttaqin, 2015):

1. Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang terjadi karena benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras yang menjadi alasan kuat pasien mengalami fraktur.

2. Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan dengan antiseptic dan 3. bersihkan perdarahan dengan cara di perban.

4. Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi hal ini hanya boleh dilakukan oleh para ahli dengan cara operasi oleh ahli 5. bedah untuk mengembalikan tulang ke posisi semula.

6. Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau papan dari kedua posisi tulang yang patah untuk menyangga agar posisi tulang tetap stabil.

7. Berikan analgesic untuk mengurangi rasa nyeri pada sekitar perlukaan.

8. Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun post operasi.

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula(reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang atau imobilisasi (Sjamsuhidayat & Jong, 2015).

(26)

Penatalaksanaan yang dilakukan adalah:

1. Fraktur Terbuka

Fraktur Terbuka adalah kasus emergency karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh dilakukan:

pembersihan luka, exici, heacting situasi, antibiotic.

2. Fraktur tertutup

Penatalaksanaan fraktur tertutup yaitu dengan pembedahan, perlu diperhatikan karena memerlukan asuhan keperawatan yang komprehensif perioperatif yaitu Reduksi tertutup dengan memberikan traksi secara lanjut dan counter traksi yaitu memanipulasi serta imobilisasi eksternal dengan menggunakan gips. Reduksi tertutup yaitu dengan memberikan fiksasi eksternal atau fiksasi perkuatan dengan K-wire.

3. Seluruh Fraktur

a. Rekoknisis/Pengenalan

Riwayat kajian harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.

b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi

Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang supaya kembali secara optimal seperti semula. Dapat juga diartikan reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada posisi kesejajarannya rotasfanatomis

(27)

c. OREF (Open Reduction and External Fixation)

Penanganan intraoperative pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara reduksi terbuka di ikuti fiksasi eksternalOREF sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur.

Penanganan pasca operasi yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi resiko infeksi, pemberian radiologic serial, darah lengkap serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai yaitu union (penyambungan tulang kembali secara sempurna), sembuh secara otomatis (penampakan fisik organ anggota gerak baik proporsional) dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan).

d. ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi agar fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Modullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur transfer.

e. Retensi/Imobilisasi

(28)

Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi atau dipertahankan kesejajarannya yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau internal. Metode fiksasi eksternal meliputi pembalutan gips, bidai, traksi kontinu, dan teknik gips atau fiksator eksternal. Implant logam dapat digunakan untuk fiksasi internal untuk imobilisasi fraktur.

f. Rehabilitasi

Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.

Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.

Status neurovaskuler (Misal Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.

(29)

2.2.9. Pathway

Gambar 2.1 Pathway Fraktur

Berdasarkan buku KMB 2 Keperawatan Medikal BedahWijaya & Putri, 2015

(30)

2.3. Konsep Gangguan Mobilisasi

2.3.1 Definiisi

Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstermitas secara mandiri (SDKI PPNI, 2017).

2.3.2 Karakteristik gangguan mobilitas fisik

1. Ketidakmampuan bergerak dalam lingkungan fisik, meliputi mobilitas di tempat tidur, perpindahan, dan ambulasi.

2. Penurunan kekuatan, kontrol, atau masa otot 3. Gangguan koordinasi

4. Pembatasan gerak yang diharuskan, meliputi protokol pembatasan mekanis atau medis

5. Keterbatasan rentang gerak

6. Keengganan melakukan gerak (Bakara, dkk. 2016).

2.3.3 Penyebab

Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), penyebab masalah keperawatan gangguan mobilitas fisik meliputi:

1. Kerusakan integritas struktur tulang 2. Perubahan metabolism

3. Ketidakbugaran fisik 4. Penurunan kendali otot 5. Penurunan massa otot

(31)

6. Penurunan kekuatan otot 7. Keterlambatan perkembangan 8. Kekakuan sendi

9. Kontraktur 10. Malnutrisi

11. Gangguan muskuloskeletal 12. Gangguan neuromuskular

13. Indeks massa tubuh di atas persentil ke 75 sesuai usia 14. Efek agen farmakologis

15. Program pembatasan gerak 16. Nyeri

17. Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik 18. Kecemasan

19. Gangguan kognitif

20. Keengganan melakukan pergerakan 21. Gangguan sensoripersepsi

2.3.4 Kondisi klinis terkait

Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017), ada beberaba kondidi klinis terkait gangguan mbilisisasi, yaitu:

1. Stroke

2. Cedera madelua spinalis 3. Trauma

4. Fraktur

(32)

5. Osteoarthritis 6. Osteomalasia 7. Keganasan

2.4. Konsep Dukungan Ambulasi

2.4.1. Definisi

Dukungan ambulasi adalah memfasilitasi pasien untukmeningkatkan aktifitas berpindah

2.4.2. Tindakan 1. Observasi

a. Identifikasi adanya nyeri dan keluhan fisik lainnya b. Identifikasi toleransi fisik melakukan Ambulasi

c. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai Ambulasi

d. Monitor kondisi umum selama melakukan Ambulasi 2. Teurapetik

a. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (mis, tongkat, kruk) b. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik (jika perlu)

c. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam melakukan ambulasi

3. Edukasi

a. Jelaskan tujuan dan proserdur ambulasi b. Anjurkan melakukan Ambulasi Dini

(33)

c. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus dilakukan (PPNI, 2018).

2.5. Konsep Alat Bantu Kruk

2.5.1. Devinisi

Kruk atau alat bantu untuk berjalan, biasanya digunakan secara berpasangan yang diciptakan untuk mengatur keseimbangan pada saat berjalan (Cut Sriyanti, 2016)

Alat batu kruk memiliki beberapa kelebihan, diantaranya memberi kesetabilan saat berjalan, membuat base of support lebih lebar saat berjalan, tinggi kruk dapat disesuaikan, dan meningkatkan rasa percaya diri pasien (Yopi Harwinda dkk. 2019).

2.5.2. Literatur penggunaan kruk

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh marrista Adwi dkk yang berjudul asuhan keperawatan pada pasien post operasi fraktur femur dengan hambatan mobilitas fisik di RSUD Asoka Jombang pada tahun 2019, hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah dilakukan terapi latihan ROM selama 3 hari dengan 6 kali latihan terhadap 2 orang pasien. Didapatkan hasil, pasien 1 dapat menunjukan peningkatan mobilitas hingga penggunaan kruk pada hari ke-3 pasca operasi, sedangkan pasien 2 menunjukan peningkatan mobilitas fisik tapi tidak sampai menggunakan kruk pada hari ke-3 namun pada hari ke-4 pasca operasi. Dari hasil penelitian ini maka dapat diambil kesimpulan, pasien post operasi fraktur dapat melakukan latihan berjalan dihari ke 3 dan seterusnya, yang dipengaruhi faktor mobilisasi dini, keadaan pasien, umur dan dukungan keluarga pasien

(34)

2.5.3. Teknik penggunaan kruk

Tabel 2. 3

Teknik Penggunaan Kruk

Pengertian Tongkat atau alat bantu untuk berjalan, biasanya digunakan secara berpasangan yang diciptakan untuk mengatur keseimbangan pada saat berjalan

Tujuan 1. peningkatan kekuatan otot, penggerak sendi dan kemampuan mobilisasi

2. Menurunkan resiko komplikasi dari mobilisasi 3. menurunkan ketergantungan pasien dan orang lain 4. peningkatan rasa percaya diri pasien

Indikasi 1. Pasien dengan fraktur ekstremitas bawah 2. Pasien dengan pasca Operasi ekstremitas bawah 3. Pasien dengan kelemahan kaki atau pasca stroke

Petugas Perawat

Peralatan Kruk

Prosedur Pelaksanaan

1. Tahap pra interaksi a. Validasi Pasien

b. Mengecek program terapi c. Menyiapkan alat : Sepasang kruk d. Sandal yang sesuai

e. Perawat Cuci Tangan 2. Tahap orientasi

a. Memberi salam dan menyapa

b. Perawat memeprkanalkan & menjelaskan tujuan kegiatan c. Beri kesempatan pada pasien untuk bertanya

3. Tahap kerja

a. Beri privasi kepada pasien

b. Jelaskan kepada pasien, gaya berjalan menggunakan kruk 1) Gaya Berjalan 4 titik

a) Bantu klien berdiri dengan ditopang dua buah kruk

b) Letakkan kedua tungkai klien dalam posisi sejajar dengan kedua titik tumpu kruk berada di depan kedua kaki klien

c) Minta klien untuk berjalan dengan menggerakkan kruk kanan ke depan dan dilanjutkan dengan menggerakkan tungkai kiri ke

(35)

depan,

d) Selanjutnya gerakkan kruk kiri ke depan, kemudiantungkai kanan juga ke depan.

e) Ulangi Langkah Tersebut setiap kali jalan.

2) Gaya Berjalan 3 titik

a) Gerakkan tungkai kiri/kanan dan kedua kruk ke depan.

b) Ulangi langkah tersebut setiap kali berjalan 3) Gaya Berjalan 2 Titik

a) Gerakkan tungkai kiri dan kruk kanan ke depan secara

bersamaan, kemudian gerakkan tungkan kanan dan kruk kiri ke depan juga bersamaan.

b) Ulangi langkah tersebut setiap kali berjalan c. Minta Pasien untuk memegang kruk

d. Minta pasien untuk berjalan maju

e. Selalu siapkan diri anda di sisi pasien untuk membantu menjaga keseimbangan jika dibutuhkan

f. Kaji setiap kemajuan yang dicapai pasien, lakukan koreksi jika perlu.

g. Merapihkan pasien dan cuci tangan 4. Tahap terminasi

a) Evaluasi perasaan pasien

b) Menyimpulkan kegiatan kepada Pasien c) Kontrak kegiatan yang akan datang d) Membersihkan alat dan cuci Tangan 5. Dokumetasi

Dokumentasikan, meliputi nama pasien, waktu dan respon pasien

Berdasarkan: Modul Keperawatan Medikal Bedah 2, D3 Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Ta. 2020/2021

Referensi

Dokumen terkait

PERSATUAN MAHASISWA PERTAMBANGAN (PERMATA). FAKULTAS TEKNIK

Peraturan pencatatan efek no I-A tahun 2001, menunjukkan bahwa Bursa Efek Jakarta (BEJ) ingin meningkatkan pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan sehingga dapat

memberi akibat hapusnya status hak guna bangunan pada tanah tersebut. Hapusnya hak atas tanah menyebabkan hapusnya hapusnya hak tanggungan, hal ini berdasarkan

Dalam hal terdapat perbedaan data antara DIPA Petikan dengan database RKA-K/L-DIPA Kementerian Keuangan maka yang berlaku adalah data yang terdapat di dalam database

yang signifikan untuk kemampuan mahasiswa untuk mengelola keuangan pribadi mereka, dan bahwa &#34;mahasiswa yang tidak mengambil tentang keuangan pribadi

PANITIA JIMAT 2013. NO NAMA JABATAN

Subnetting adalah pembagian suatu kelompok alamat IP menjadi beberapa network ID lain dengan jumlah anggota jaringan yang lebih kecil, yang disebut subnet

Dalam Java Script pendeklarasian sebuah variabel sifatnya opsional, artinya Anda boleh mendeklarasikan atau tidak, Jika Anda memberi nilai pada suatu variabel, maka dalam..