• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Subjective Well-Being Pada Guru Honorer Di Kabupaten Sambas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Subjective Well-Being Pada Guru Honorer Di Kabupaten Sambas"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU HONORER DI KABUPATEN

SAMBAS

Siti Minarni1, Reny Yuniasanti2

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta 17081177@student.mercubuana-yogya.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan subjective well-being pada guru honorer di Kabupaten Sambas. Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif antara dukungan sosial keluarga dengan subjective well- being pada guru honorer di kabupaten Sambas. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 60 guru honorer yang berusia 20-45 tahun. Pengambilan subjek dilakukan dengan metode Purposive sampling. Pengambilan data penelitian ini dengan menggunakan dua skala, yaitu Skala Dukungan Sosial Keluarga dan Skala Subjective Well-Being. Teknik analisis data yang digunakan adalah korelasi product moment pearson. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara subjective well-being dengan dukungan sosial keluarga pada Guru Honorer di Kabupaten Sambas. Hal tersebut ditunjukan dengan hasil analisis korelasi product moment pearson sebesar (rxy) 0,920 dengan taraf signifikansi0,000. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial keluarga dengan subjective well-being pada Guru Honorer di Kabupaten Sambas. Koefisien determinasi (R2) sebesar 0,847 yang artinya variabel dukungan sosial keluarga dapat mempengaruhi variabel subjective well-being sebesar 84,7% dan sisanya 15,3% di pengaruhi oleh faktor lainnya.

Kata kunci : Dukungan Sosial Keluarga, Guru Honorer, Subjective Well-Being.

THE RELATIONSHIP BETWEEN SOCIAL FAMILY SUPPORT AND SUBJECTIVE WELL-BEING ON HONORER TEACHERS IN SAMBAS DISTRICT

Siti Minarni1, Reny Yuniasanti2

Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta 17081177@student.mercubuana-yogya.ac.id

Abstract

This study aims to determine the relationship between family social support and subjective well- being of honorary teachers in Sambas Regency. The hypothesis of this research is that there is a positive relationship between family social support and subjective well-being of honorary teachers in Sambas district. The subjects in this study were 60 honorary teachers aged 20-45 years. Subjects were taken using purposive sampling method. The data collection in this study used two scales, namely the Family Social Support Scale and the Subjective Well-Being Scale. The data analysis technique used is Pearson's product moment correlation. Based on the results of this study, it shows that there is a positive and significant relationship between subjective well-being and family social support for honorary teachers in Sambas Regency. This is indicated by the results of Pearson's product moment correlation analysis of (rxy) 0.920 with a significance level of 0.000.

This shows that there is a positive relationship between family social support and subjective well- being for honorary teachers in Sambas Regency. The coefficient of determination (R2) is 0.847, which means that the family social support variable can affect the subjective well-being variable by 84.7% and the remaining 15.3% is influenced by other factors.

Keywords : Family Social Support, Honorary Teacher, Subjective Well-Being

(2)

PENDAHULUAN

Pendidikan saat ini memiliki peranan yang besar dalam pengembangan sumber daya manusia di masyarakat (Hayuningtyas & Helmi, 2015). Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, masyarakat, bangsa dan negara. Salah satu faktor mendasar yang menentukan tercapainya tujuan pendidikan formal adalah guru (Susanto, 2012). Guru adalah seseorang yang mendapat tugas, wewenang dan tanggung jawab dari pejabat berwenang untuk mendidik dan mengajar peserta didik agar memiliki tingkat pengetahuan yang memadai, dan didukung dengan karakter moral dan etika yang baik. Guru merupakan salah satu komponen pembelajaran yang mempengaruhi tercapainya tujuan pendidikan (Andhika, 2013)

Ada dua pengelompokkan guru di sekolah berstatus negeri dan swasta, yaitu guru tetap yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan guru honorer yang dikenal dengan sebutan guru wiyata bakti atau guru tidak tetap (GTT). Perbedaan diantara keduanya ialah terlihat dari beberapa aspek seperti anggaran penghargaan, pengangkatan, masa jabatan, tugas, tingkat profesional, struktur kepegawaian, pemberi gaji atau kompensasi, dan kompetensi yang dimiliki (Aisyah, 2017).

Tercatat dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Muhadijir Effendy, mengungkapkan bahwa di Indonesia jumlah guru honorer sekitar 160.000 orang, dimana 26.000 orang di antaranya dipilih oleh setiap pemerintah daerah sedangkan yang lain dipilih kepala sekolah (Fitriana, 2017). Sedangkan di kabupaten Sambas sendiri Berdasarkan data yang diperoleh dari kemdikbud.go.id terdapat 4.471 guru honorer.

Guru-guru honorer di Indonesia telah mengabdi dalam kurun waktu yang lama hingga belasan tahun tanpa memperoleh kepastian kerja maupun upah yang tidak sesuai dengan pekerjaan.

Bahkan diantara guru honorer lainnya banyak yang berusaha mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari sekian banyaknya guru honorer yang terdapat di kabupaten sambas ada sebagian guru honorer yang menyatakan kurangnya mendapatkan kesejahteraan hal ini di tunjukkan dari berita yang dipublikasikan oleh media online Tribun News (2019) memaparkan sebuah berita yang bertemakan “Guru Honorer Non Kategori di Kabupaten Sambas Minta Perhatikan Kesejahteraan ” perwakilan guru honorer non kategori menjelaskan mengenai kondisi guru honorer yang diungkapkan oleh Dewi Murni, S. Pd sebagai guru honorer di SDN 14 Kartiasa yang mengaku sudah 12 tahun menjadi guru honorer. Ia mengungkapkan upah yang diterima masih jauh dari kata sejahtera, tidak menentu setiap bulan akibat mengikuti besaran dana BOS yang diterima oleh sekolah.

Guru honorer sampai saat ini masih menjadi sebuah problematika di bidang pendidikan Indonesia. Berdasarkan data dilapangan menunjukkan bahwa guru honorer belum memiliki kesejahteraan yang cukup, hal tersebut berbeda dengan guru PNS yang memiliki tunjangan dan sertifikasi. Menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 16, guru yang memiliki sertifikasi pendidik memperoleh tunjangan profesi sebesar satu bulan gaji pokok, guru

(3)

mampu meningkatkan profesionalitas dan meningkatkan martabat seorang guru yang berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia (Samani et al., 2009). Didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Istiarini dan Sukanti (2012) yang menunjukkan bahwa kesejahteraan guru berpengaruh dari upah yang diterima, guru yang menerima sertifikasi tentunya lebih sejahtera dibandingkan dengan guru yang tidak menerima sertifikasi, namun sertifikasi hanya diberikan kepada guru yang menyandang status kepegawaian negri saja (PNS) sedangkan guru non-PNS termasuk guru honorer belum ada kebijakan yang sama dari pemerintah.

Keterbatasan akses pada pendidikan, jumlah guru yang belum merata, kualitas guru yang masih kurang, serta kesejahteraan guru yang belum terjamin merupakan permasalah yang paling menonjol di dunia pendidikan. Menurut Chatib (2011) menyatakan salah satu faktor kebahagiaan dan kesejahteraan ekonomi para guru honorer dipengaruhi oleh penerimaan gaji. Kehidupan guru honorer dikatakan belum sejahtera dalam segi ekonomi karena penghasilan belum sesuai dengan beban pekerjaan di sekolah walaupun kewajiban guru honorer hampir sama dengan guru PNS.

Guru honorer di angkat secara resmi untuk mengatasi kurangnya guru yang bertugas di suatu sekolah (Mulyasa, 2013). Permasalahan ekonomi guru honorer juga belum sepenuhnya menjadi perhatian pemerintah karena penghasilan guru honorer hingga kini belum sesuai dengan beban pekerjaan guru di sekolah Chatib (2011).

Narwanti dan Katsuri (2015) menyatakan bahwa tanggung jawab seorang guru sangat kompleks sehingga guru seharusnya memperoleh hak yang sesuai seperti penghasilan maupun fasilitas yang memadai untuk menunjang proses belajar.

Adanya perubahan dalam dunia pendidikan saat ini melahirkan harapan yang tinggi terhadap guru karena daftar tugas pendidik semakin panjang tetapi kesejahteraan guru tidak banyak berubah (Wardhani, 2012). Kesejahteraan guru dapat dipengaruhi oleh tuntutan kerja yang tidak direncanakan secara sistematis akibat perubahan zaman dan teknologi. Sementara guru tetap memerlukan kesejahteraan dalam mendukung pekerjaan di sekolah (Wulan & Putri, 2016).

Diener (dalam Diponegoro & Mulyono, 2016) menjelaskan bahwa kebahagian dalam istilah kesejahteraan subjektif atau subjective well-being yaitu bentuk evaluasi afektif dan kognitif individu. Kesejahteraan subjektif atau disebut juga dengan subjective well-being (SWB) adalah evaluasi individu yang melibatkan respon emosional individu, ranah kepuasan, dan penilaian secara keseluruhan mengenai kepuasan hidup (Diener & Ryan, 2009). Komponen-komponen subjective well-being terdiri dari tiga aspek, antara lain: afek positif yaitu perasaan menyenangkan yang dialami individu dalam hidup seperti gembira, afek negatif atau perasaan tidak menyenangkan yang dialami individu dalam hidup, dan kepuasan hidup yaitu penilaian menyeluruh yang dialami individu dalam hidup (Diener & Ryan, 2009).

Pentingnya mengutamakan kesejahteraan guru karena kegiatan mengajar menjadi salah satu pekerjaan yang penuh tekanan sehingga guru akan mengalami stres kerja rendah, sedang bahkan tinggi (Issom & Makbulah, 2017). Situasi ini sangat mengkhawatirkan karena memberikan pengalaman tidak nyaman bagi guru dalam dunia pendidikan. Guru yang mengalami stres akibat

(4)

pekerjaan berdampak pada kondisi fisiknya yaitu rasa lelah berkepanjangan yang mempengaruhi kesehatan serta mengurangi tingkat kebahagiaan. Penelitian Issom dan Makbulah (2017) menunjukan tingkat stres situasi kerja guru honorer yang tinggi membuat tingkat kesejahteraan guru honorer akan turun sehingga kegiatan belajar mengajar menjadi kurang fokus hingga hubungan sosial dengan siswa, rekan kerja atau keluarga menjadi kurang harmonis.

Menurut (Diener & Ryan, 2009) mengatakan kesejahteraan subjektif seseorang menjadi kurang baik apabila individu memperoleh pengalaman afek negatif yang banyak dari pada afek positif. Jadi, dapat dikatakan bahwa guru tidak bahagia jika banyak mengalami pristiwa yang tidak menyenangkan. Salah satu bentuk penelitian Khairani (2014) mengungkapkan kondisi stres yang dialami individu akan mempengaruhi subjective well-being, oleh sebab itu untuk mengurangi dampak negatif dari kondisi tersebut perlu adanya dukungan sosial.

Balkis dan Ahmad (2016) menjabarkan salah satu hal yang mempengaruhi subjective well- being pada guru honorer adalah dukungan sosial yang berasal dari keluarga maupun rekan kerja.

Oleh karena itu, subjective well-being sangat dibutuhkan pada guru honorer dan dukungan sosial merupakan salah satu faktor dalam subjective well-being seseorang (kurnia, 2018).

Stokes (dalam Gulacti 2010) memberikan pendapat bahwa ketersediaan dukungan sosial akan membuat individu merasa dicintai, dihargai dan menjadi bagian dari kelompok. karena adanya dukungan sosial (Schulz & Schwarzer, dalam Nurullah, 2012). Faktor dukungan sosial merupakan faktor yang terbukti berhubungan langsung dan berhubungan positif dan signifikan dengan subjective well-being (Sahrah, Yuniasanti & Setiawan, 2016). Menurut Fitrianur, dkk (2018) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi subjective well-being,yaitu religiusitas, kebersyukuran, kepribadian, dan dukungan sosial. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being, peneliti memilih dukungan sosial sebagai variable bebas dalam penelitian ini.

Oleh karena itu, dukungan sosial menjadi salah satu hal yang berpengaruh pada subjective well- being yang sangat dibutuhkan terhadap guru honorer (Mauna & Kurnia, 2018).

Sejalan dengan alasan-alasan tersebut, penelitian ini ingin menguji teori tentang hubungan langsung antara antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Subjective Well-Being pada Guru Honorer di Kabupaten Sambas. Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan Subjective Well-Being pada guru honorer di Kabupaten Sambas.

METODE

Subjective Well-Being merupakan evaluasi individu terhadap pengalaman hidup yang melibatkan respon emosional individu dengan mempertimbangkan afek positif dan negatif untuk mencapai kepuasan hidup baik untuk sesaat maupun jangka panjang. SWB dalam penelitian ini akan diukur menggunakan Skala Subjective Well-Being yang disusun peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Diener dan Ryan (2009) yaitu: afek positif, kepuasan hidup, dan rendahnya afek negatif. Sehingga skor skala SWB yang diperoleh diasumsikan sebagai tingkat SWB yang dimiliki oleh subjek. Skor tinggi menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat SWB yang tinggi. Sebaliknya, skor yang rendah menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat SWB yang rendah.

(5)

yang diberikan oleh anggota keluarga terdekat seperti ayah, ibu, pasangan, dan saudara kandung. Dukungan atau bantuan yang diberikan dapat bermacam-macam bentuknya sehingga keluarga yang memberikan dukungan diharapkan dapat memberikan dukungan sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Dukungan sosial keluarga pada guru honorer akan diukur berdasarkan empat aspek pendukung, menurut House (dalam Fadhilah, 2016) yaitu: Dukungan Emosional, Dukungan Penghargaan, Dukungan Instrumental, dan Dukungan Informasi. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek, maka semakin tinggi tingkat kecenderungan dukungan sosial subjek. Sebaliknya, bila semakin rendah skor total yang diperoleh, maka semakin rendah dukungan sosial keluarga yang dirasakan oleh subjek tersebut.

Alat ukur yang digunakan adalah : 1. Skala Subjective Well-Being

Skala yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala likert, skala ini berisi 16 aitem yang mengacu pada aspek – aspek subjective well-being menurut Diener &

Ryan (2009) yang terdiri dari tiga aspek berisi 16 pernyataan yaitu 6 pernyataan Impulsif aspek positif, 5 pernyataan kepuasan hidup, 5 rendahnya afek negatif. Skala subjective well- being dibedakan menjadi dua kelompok yakni aitem yang mendukung pernyataan (favorable) dan aitem yang tidak mendukung pernyataan (unfavorable).

Hasil analisis diperoleh dari koefisien reliabilitas (

r

xy) mencapai minimal 0,900 maka dapat dinyatakan skala yang digunakan adalah skala yang reliabel (Azwar, 2016). Hasil uji daya beda dan reliabilitas pada uji coba skala Subjektive well-being dari 16 aitem yang diuji cobakan, terdapat 2 aitem yang di nyatakan tidak valid yaitu nomor 2 dan 10. Skor daya beda aitem berkisar antara 0,251 sampai 0,486

.

Nilai koefisien Cronbach alpha pada skala Subjective well-being hasil uji coba adalah sebesar 0,837 yang menunjukan bahwa skala subjective well-being bersifat raliabel dan dapat digunakan sebagai instrumen penelitian.

2. Skala Dukungan Sosial Keluarga

Skala dukungsn sosial keluarga dalam penelitian ini menggunakan skala likert, skala ini berisi 24 aitem yang mengacu pada aspek –aspek menurut House (dalam Fadhilah, 2016) yang terdiri dari aspek aspek berisi 24 pernyataan yaitu 16 pernyataan dukungan emosional, 6 pernyataan dukungan penghargaan, 6 pernyataan dukungan instrumental, dan 6 pernyataan dukungan informasi. Skala kontrol diri dibedakan menjadi dua kelompok yakni aitem yang mendukung pernyataan (favorable) dan aitem yang tidak mendukung pernyataan (unfavorable).

Hasil uji daya beda dan reliabilitas pada uji coba skala dukungan sosial dari 24 item yang diuji cobakan, sebanyak dua item dinyatakan tidak valid yaitu 20 dan 23 item dinyatakan tidak valid. Skor daya beda aitem berkisar antara 0,232 sampai 0,510. Nilai

(6)

koefisien Cronbach alpha pada skala dukungan sosial hasil uji coba adalah sebesar 0,774 yang menunjukan bahwa skala dukungan sosial bersifat raliabel dan dapat digunakan sebagai instrumen penelitian.

Selain itu digunakan pula angket terbuka yang berisi informasi data biografis responden penelitian yaitu nama (inisial), umur, jenis kelamin, dan juga aktif bertugas sebagai guru honorer di sekolah yang terdaftar Dinas Pendidikan Kabupaten sambas, aktif mengajar sebagai guru honorer tahun 2021/2022 . Responden dalam penelitian ini adalah 60 guru honorer Kabupaten Sambas yang berusia 20-45 tahun

.

Analisis data yang digunakan adalah analisis statistic Pearson Correlation melalui SPSS 21.0 for windows. Hal ini dikarenakan setelah melalui uji normalitas berdasarkan signifikansi dari Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas data subjective well-being menunjukan nilai KS-Z sebesar 0,330 dengan taraf signifikan sebesar 0,000. Hal tersebut menunjukan bahwa sebaran data subjective well-being pada subjek Guru Honorer di Kabupaten Sambas mengikuti sebaran data yang normal. Hasil uji normalitas sebaran data dukungan sosial menunjukan nilai KS-Z sebesar 0,330 dengan taraf signifikan sebesar 0,000. Hal tersebut menunjukan bahwa sebaran data dukungan sosial keluarga pada Guru Honorer di Kabupaten Sambas mengikuti sebaran data yang normal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan subjective well-being pada guru honorer di Kabupaten Sambas.

Hal tersebut ditunjukan dari analisis korelasi product moment pearson dengan koefisien korelasi (rxy) = 0,920 dan p = 0.000. Koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,920 membuktikan ada hubungan positif antara subjective well-being dengan dukungan sosial keluarga pada Guru Honorer di Kabupaten Sambas. Korelasi antara subjective well-being dengan dukungan sosial keluarga berada dalam kategori kuat dilihat dari besaran angka korelasi, sementara nilai positif mengindikasikan pada pola hubungan antara subjective well-being dengan dukungan sosial keluarga (semakin tinggi subjective well-being maka semakin tinggi dukungan sosial keluarga). Nilai p = 0.000 < 0.050 menandakan bahwa hubungan antara variabel adalah signifikan. Oleh karena itu makin tinggi tingkat subjective well-being pada guru honorer, maka makin tinggi pula tingkat dukungan sosial keluarga pada guru honorer. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah subjective well-being, maka semakin rendah pula tingkat dukungan sosial keluarga pada guru honorer.

Oleh sebab itu hipotesis penelitian ini yaitu adanya hubungan yang positif antara subjective well-being dengan dukungan sosial keluarga pada Guru Honorer di Kabupaten Sambas diterima.

Hal tersebut dibuktikan dengan koefisien determinasi (R2) = 0,847 (84,7%) yang menunjukkan bahwa variabel Dukungan sosial keluarga pada Guru Honorer di Kabupaten Sambas memberikan konstribusi sebesar 84,7% terhadap variabel Subjective well-being sedangkan 15,3% dipengaruhi oleh faktor lainnya .

(7)

salah satu faktor yang dapat meningkatkan dukungan sosial keluarga pada guru honorer di Kabupaten Sambas. Luthans (2006) mengartikan subjective well-being (SWB) merupakan sisi efektif individu (suasana hati dan emosi) dan evaluasi kognitif dari kehidupan individu, sementara Diener, dkk (2003) menjelaskan subjective well-being yaitu tentang bagaimana individu mengevaluasi kehidupan sekarang maupun waktu yang lebih lama misalnya setahun terakhir meliputi reaksi emosional individu terhadap peristiwa, suasana hati, dan penilaian individu membentuk rasa puas akan hidup, pemenuhan, dan rasa puas pada perkawinan dan kepuasan bekerja.

Dukungan sosial berpengaruh secara signifikan terhadap subjective well-being dalam penilaian individu terhadap kepuasan hidupnya karena meningkatkan rasa puas pada lingkungan secara global (Jamilah, 2013). Dukungan sosial sendiri berisi rasa nyaman, perhatian, penghargaan maupun pertolongan yang didapat individu dari orang lain. Hal tersebut didukung oleh penelitian Rohmad (2014) yang menemukan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan subjective well-being. Penjelasan singkat ketika dukungan sosial yang ada makin tinggi maka subjective well-being semakin tinggi pula. Ketika seseorang menerima dukungan sosial selama hidupnya merasa yakin bahwa dirinya dapat mengendalikan situasi yang ada, bahkan harga diri akan terbentuk serta cenderung memandang segala sesuatu secara positif dan optimistik. Tetapi seseorang dapat merasa tidak bahagia dan tidak puas apabila kurang mendapat dukungan dari lingkungan sosial.

Keluarga menjadi sumber dukungan sosial paling berpengaruh tinggi terhadap subjective well-being. Ketika seseorang dapat menjaga subjective well-being dalam dirinya cenderung akan menjaga jarak terhadap fenomena negatif, memiliki kontrol dalam hubungan, selalu berpikir positif, serta berorientasi pada waktu yang positif, individu akan memiliki tingkah laku pada kebahagiaan, usaha untuk memecahkan masalah, tetap mencari perlindungan kepada agama yang diyakini Erylmaz (dalam Fajarwati, 2014). Sejalan dengan penelitian Fajarwati (2014) yang juga menemukan hubungan positif antara dukungan sosial dan subjective well-being yaitu semakin tinggi dukungan sosial akan makin tinggi subjective well being. Apabila makin rendah dukungan sosial yang diperoleh seseorang maka subjective well-being juga akan rendah.

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui ada 5% yang memiliki tingkat subjective well- being yang tinggi dan 95% subjek memiliki tingkat subjective well-being sedang. Penelitian ini tidak terdapat hasil kategorisasi tingkat subjective well-being yang rendah. Sementara kategorisasi dukungan sosial keluarga memiliki 8,3% dalam dukungan sosial yang tinggi dan 91,7% memiliki dukungan sosial yang sedang. Data yang diperoleh menunjukkan tidak adanya dukungan sosial kategori tingkat rendah. Pemaparan tersebut membuktikan jika sebagian besar guru honorer di Kabupaten Sambas berada dalam kategori tingkat sedang. Hal tersebut nampak dalam menentukan tingkatan subjective well-being guru honorer dan diperoleh kategorisasi subjective well-being dan dukungan sosial yaitu berada dalam tingkat sedang.

(8)

Berdasarkan uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara subjective well-being dengan dukungan sosial keluarga pada guru honorer di Kabupaten Sambas, penjelasan secara rinci apabila semakin tinggi subjective well-being yang dimiliki guru honorer di Kabupaten Sambas maka tingkat dukungan sosial keluarga yang dialami juga makin tinggi. Sebaliknya ketika subjective well-being yang dimiliki guru honorer di Kabupaten Sambas makin rendah maka tingkat dukungan sosial keluarga yang dialami juga semakin rendah.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan pembahasan tersebut disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan subjective well-being pada Guru Honorer Kabupaten Sambas. Besaran angka korelasi menampilkan hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan subjective well-being dalam kategori cukup kuat. Hal tersebut menunjukkan ketika dukungan sosial keluarga yang diterima semakin tinggi maka tingkat subjective well-being yang dimiliki guru honorer juga semakin tinggi, sebaliknya jika dukungan sosial keluarga yang diterima semakin rendah maka tingkat subjective well-being yang dimiliki guru honorer juga semakin rendah. Penelitian ini membuktikan jika dukungan sosial keluarga yang diterima individu akan memberikan pengaruh pada subjective well-being pada orang tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah. (2017). Rasa Syukur Kaitannya dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Guru Honorer Sekolah Dasar. Proyeksi, 13(2), 1-14.

Andhika, R. (2013). Persepsi Siswa Tentang Keterampilan Mengajar Guru Kompetensi Keahlian Administrasi Perkantoran Di SMK Muhammasiyah 1 Tempel (Skripsi). Yogyakarta: Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Yogyakarta.

Azwar, S. (2016). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Balkis, A. S. dan M. B. Achmad. (2016). Memahami Subjective Well-Being Guru Honorer Sekolah Dasar Negeri (Sebuah Studi Kualitatif Fenomenologis). Jurnal Empati. Vol.5(2):223-228.

Brannan, Debi, D. Biswar, Robert, Mohr, D. Cynthia, Mortazavi, Shahmaz, Stein and Noah. 2013.

Friends and Family: A Cross-Cultural Investigation of Social Support and Subjective Well- Being Among College Students. The Journal of Positive Psychology.

Chatib, M. 2011. Gurunya Manusia Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara.

Bandung: Kaifa.

Diener, E. d., Ryan and Katherine. 2009. Subjective Well-Being: A General Overview. South African Journal of Psychology.

Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E. (2003). Personality, Culture, and Subjective Well-being:

Emotional and Cognitive Evaluations of Life. In Annual Review of Psychology, 54 https://doi.org/10.1146/annurev.psych.54.101601.145056

Diponegoro & Mulyono. 2016. Faktor-Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Kebahagiaan pada Lanjut Usia Suku Jawa di Klaten. Psikopedagogia. Vol.4(1):13-19.

(9)

Subjective Well Being pada Guru Yayasan Pendidikan “X”. Character: Jurnal Penelitian Psikologi, volume 06. Nomor 02.

Fadhilah, F.F. 2016. Hubungan antara Dukungan Sosial Sebaya dan Gaya Pengasuhan Ustadzah dengan Kepatuhan Terhadap Peraturan pada Santriwati MTS Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Sukoharjo. Jurusan Psikologi., Fakultas Ilmu Pendidikan., Universitas Negeri Semarang.

Fajarwati, D.I., (2014). Hubungan Dukungan Sosial dan Subjective Well-being pada Remaja SMPN 7 Yogyakarta. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Fitriana, I. 2017. Gaji Guru Honorer Ditunda, Mendikbud Sebut Sedang "Godok"

Peraturanhttps://nasional.kompas.com/read/2017/02/05/05235761/gaji.guru.honorer.ditunda.

mendikbud.sebut.sedang.godog.peraturan.

Fitrianur, Situmorang, N. Z., & Tentama, F. (2018). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Subjective Well-Being Pada Ibu Jalanan. Jurnal Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Gülaçti, F. (2010). The effect of perceived social support on subjective well-being. Procedia Social and Behavioral Sciences, 2(2). https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2010.03.602.

Gurung, R. A. R., Taylor, S. E., & Seeman, T. E. (2003). Accounting for changes in social support among married older adults: Insights from the MacArthur studies of successful aging.

Psychology and Aging, 18(3), 487–496.

Hayuningtyas, D. R. I & Helmi, A. F. (2015). Peran Kepemimpinan Otentik terhadap Work Engagement Dosen dengan Efikasi Diri sebagai Mediator. Gadjah Mada Journal Of Psychology Gadjah Mada Journal Of Psychology, ,1(3),167 – 179.

Issom, F. L. and R. Makbulah. 2017. Pengaruh Stres Situasi Kerja Terhadap Psychological Well- Being Pada Guru Honorer Madrasah Ibtidaiyah di Kota Tangerang. Perspektif Ilmu Pendidikan, 31(1), 61–67.

Istiarini, R., & Sukanti, S. (2012). Pengaruh Sertifikasi Guru dan Motivasi Kerja Guru Terhadap Kinerja Guru SMA Negeri 1 Sentolo Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, 10(1).

Jamilah, M. (2013). Pengaruh tipe kepribadian dan dukungan sosial terhadap subjective well- being (SWB) mahasiswa perantau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi. Jakarta:

Fakultas Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Jusmiati. (2017). Konsep Kebahagiaan Martin Seligman: Sebuah Penelitian Awal. Raustan Fikr, 13(2), 359-374

Khairani, A. (2014). Hubungan dukungan sosial dengan subjective well-being pada mahasiswa ya ng bekerja.

Luthans, F. (2006). Perilaku organisasi. Alih Bahasa: V.A Yuwono, dkk. Yogyakarta: ANDI Mauna, M., & Kurnia, P. I. (2018). Pengaruh Persepsi Dukungan Sosial Terhadap Subjective Well-

Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Negeri Di Jakarta Utara. JPPP - Jurnal Penelitian Dan Pengukuran Psikologi, 7(2). https://doi.org/10.21009/jppp.072.03

Mulyasa. (2013). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya

(10)

Nawati, N.F.H., & Kasturi, T (2015). Subjective Well-Being Pada Guru Paud Di Daerah Rawan. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diakses dari http://eprints.ums.ac.id/34755/

Nurullah, A. S. (2012). Received and Provided Social Support: A Review of Current Evidence and Future Directions. American Journal of Health Studies, 27(3).

Sahrah, A., Yuniasanti R., & Setyawan, F.N. (2016). The Different Roles of Social Support for Subjective Well Being Prisoners Men and Women in the Correctional Institutions Clas II. A Yogyakarta. Cross Cultural Understanding of Wellbeing, 74.

Samani, Muchlas. et al. (2009). Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Seligman, M. E., and Csikszentmihalyi, M. 2000. Positive psychology. An introduction. American Psychologist, 55(1), 5–14.

Susanto, H. (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru sekolah menengah kejuruan.

Jurnal Pendidikan Vokasi, 2(2), 1–14.

Wangi, E.N., dan R. A. Farras. 2016. Subjective Well-Being pada Guru Honorer di SMP Terbuka 27 Bandung. Seminar Psikologi & Kemanusiaan. Vol.2(1):94-98.

Wardhani, D.T. (2012). Burnout di kalangan guru pendidikan luar biasa di kota Bandung. Jurnal Psikologi Undip Vol. 11 (1), 73-82.

Wulan, D. K., & Putri, M. (2016). Job Demands Dan Workplace Well- Being Pada Guru Sekolah Luar Biasa Negeri. JPPP - Jurnal Penelitian Dan Pengukuran Psikologi, 5(1).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan Pengaruh antara Tingkat Pengawasan Orang Tua, Guru dan Tingkat Religiusitas Siswa terhadap Perilaku Seks Pranikah Siswa

Sepanjang lebih 50 minit yang lalu, saya telah cuba untuk membawa perhatian dan pemikiran kita untuk menekuni peri mustahaknya migrasi berterusan Universiti ini dengan

Praktik Mura&gt;bah}ah bil Waka&gt;lah pada pembiayaan Mitra Amanah Syariah di BPRS Magetan menurut hukum Islam akadnya fasid, karena ada sebagian rukun yang tidak

Fokus penelitian tesis ini adalah Strategi Kontra Radikalisme Di Kalangan Kaum Muda Muslim Dalam Program Positive &amp; Peace Cyber Activism, yang mana penelitian

SMA YP Unila Bandar Lampung terletak di Jalan Jenderal Suprapto No. 88 Tanjung Karang Bandar Lampung. Letak yang cukup strategis ini yang berada di pusat kota namun tidak

Kemudian tehnik pengumpulan data tentang evaluasi performasi, keluaran dan hasil penerapan pembelajaran mandiri bagi warga belajar oleh tutor pendidikan kesetaraan Paket

▪ Kegiatan ini digunakan sebagai upaya untuk melatih siswa menyusun konsep pidato.. Hasil

Perencanaan teras bangku metode USSCS menggunakan persamaan (2) dengan data yang diperlukan adalah kemiringan lahan (S), Faktor CP (Tabel 1) untuk menentukan kondisi