• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Strategi Coping Anak Dengan Leukimia Limfoblastik Akut Dalam Menjalani Terapi Pengobatan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Strategi Coping Anak Dengan Leukimia Limfoblastik Akut Dalam Menjalani Terapi Pengobatan."

Copied!
585
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN STRATEGI COPING

ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT

DALAM MENJALANI TERAPI PENGOBATAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

KOMANG TRY DAMAYANTI

1202205009

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

i

GAMBARAN STRATEGI COPING

ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT

DALAM MENJALANI TERAPI PENGOBATAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

KOMANG TRY DAMAYANTI

1202205009

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Dipertahankan Di Depan Panitia Ujian Skripsi Program Studi Psikologi,

Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Pada Tanggal:

Mengesahkan Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Dekan,

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K)., M.Kes.

Tim Penilai: Tanda Tangan

1. Luh Kadek Pande Ary Susilawati, S.Psi., M.Psi Pembimbing

2. Dra. Adijanti Marheni, M.Si. Ketua Penguji

3. Luh Made Karisma Sukmayanti S., S.Psi., MA. Sekretaris Penguji

(4)

iii

HALAMAN MOTTO

It doesn’t interest me how old you are. I want to know if you will risk looking like a fool – for love – for your dreams – for the adventure of being alive --- Oriah Mountain Dreamer ---

Life is about learning, grateful, and sharing

(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Halaman ini khusus penulis persembahkan kepada:

I Made Sudama

Bapak yang tidak ada hentinya memberikan dukungan, tidak pernah lelah dan selalu berusaha memenuhi kebutuhan saya. Bapak yang selalu menyediakan hal terbaik bagi hidup saya.

Ni Ketut Sri Prawati

Ibu yang melahirkan, mengasuh, dan menjadi sosok teladan bagi saya. Jasanya yang telah memberikan pendidikan moral, semangat tiada henti, pengertian dan selalu menyediakan hal

terbaik bagi hidup saya, tidak akan bisa digantikan oleh siapapun.

Kedua kakak saya yang mengajari bagaimana tumbuh menjadi sosok yang dewasa, memiliki tujuan, kuat dan penyayang. Kedua kakak saya yang selalu mendukung dan mengajari untuk

bangkit ketika saya jatuh. Gede Chandra Kurniawan

Kadek Silvia Ermayanti

Serta seluruh keluarga dan rekan-rekan terkasih yang senantiasa memberikan dukungan moral dan emosional dalam penyusunan penelitian ini.

(6)

v

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, Saya, Komang Try Damayanti, dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh derajat kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis/diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.

Denpasar, 3 Agustus 2016 Yang menyatakan,

(7)

vi

Gambaran Strategi Coping Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut dalam

Menjalani Terapi Pengobatan

Komang Try Damayanti

Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

ABSTRAK

Leukemia limfoblastik akut merupakan salah satu jenis kanker darah yang memegang persentase sebesar 65% dari seluruh kejadian leukemia pada anak (Muhtadi, 2014). Gejala penyakit serta efek terapi pengobatan yang harus ditempuh dalam jangka waktu minimal dua tahun menuntut anak agar dapat berjuang demi kesembuhannya (Wawancara pre-eliminary study). Seringkali situasi dan kondisi yang dialami anak dengan leukemia limfoblastik akut selama menjalani terapi pengobatan bertolak belakang dengan kepribadian anak, seperti halnya kondisi fisik yang lemah menghalangi anak untuk dapat bermain sepuasnya. Dengan demikian, anak perlu untuk melakukan suatu usaha untuk mengatasi kondisi yang tidak menyenangkan selama menjalani terapi pengobatan. Usaha tersebut disebut dengan strategi coping (Spencer, Jeffrey, & Greene, 2002). Gamayanti (2006) mengungkapkan bahwa anak yang memiliki coping yang baik akan meningkatkan kelancaran proses terapi serta memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak setelah sembuh. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran strategi coping pada anak dengan leukemia limfoblastik akut dalam menjalani terapi pengobatan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan desain penelitian studi kasus. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi serta dokumentasi pada dua anak leukemia limfoblastik akut. Guna memperkuat data penelitian, teknik wawancara difokuskan pada dua significant others anak dengan leukemia limfoblastik akut.

Hasil dalam penelitian ini diperoleh bahwa anak dengan leukemia limfoblastik akut menunjukkan strategi coping. Gambaran strategi coping secara lengkap akan dibahas sesuai dengan situasi dan kondisi anak selama menjalani terapi pengobatan.

(8)

vii

Coping Strategies Children with Acute Lymphoblastic Leukemia during Therapy Treatment

Komang Try Damayanti

Department of Psychology, Faculty of Medicine, Udayana University

ABSTRACT

Acute Lymphoblastic Leukemia is a type of blood cancer that holds a percentage of 65% of all childhood leukemia incidence (Muhtadi, 2014). Symptoms of the disease and the therapeutic effects of treatment that must be taken in a minimum period of two years, requires children to fight for his recovery (Pre-eliminary interview study). Often the circumstances experienced by children with acute lymphoblastic leukemia during therapy treatment is contrary to the child's personality. Thus, children need to make an effort to overcome the unpleasant condition during therapy treatment. The effort is called the coping strategies (Spencer, Jeffrey, & Greene, 2002). Gamayanti (2006) revealed that children who have good coping would improve the continuity of the therapy process and to give effect to the development of children after recovery. According to this fact, the researcher want to determine how the coping strategies in children with acute lymphoblastic leukemia during therapy treatment.

This study is qualitative research with case study design. Interview, observation, and documentation are used to collecting data, of two children with acute lymphoblastic leukemia. In order to strengthen the data, interview techniques focused on two significant others of children with acute lymphoblastic leukemia.

The results in this study shows that children with acute lymphoblastic leukemia has a coping strategy. A complete overview coping strategies will be discussed in accordance with the circumstances of the child during therapy treatment.

(9)

viii

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Terimakasih yang sebesar-besarnya peneliti panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini tepat pada waktunya. Penelitian atau skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dilakukan untuk mendapat gelar kesarjanaan dari Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana. Selain sebagai syarat kelulusan, skripsi ini saya buat juga dengan harapan dapat memberikan kontribusi akademis dan aplikatif ke berbagai pihak. Karya ini nampak sederhana, namun dalam pelaksanaannya, saya menemukan banyak hambatan dan kesulitan baik saat turun lapangan maupun saat proses penyusunan. Banyak terimakasih saya ucapkan kepada berbagai pihak yang memberikan bantuan dalam proses penelitian skripsi ini.

1. Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang selalu memberikan anugrah-Nya, menuntun, membimbing serta memberi pencerahan pada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini pada waktu yang tepat.

2. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K). M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. Dra. Adijanti Marheni, M.Si, Psikolog, selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

4. Tience Debora Valentina, S.Psi., M.A., Psikolog, selaku dosen pembimbing akademik penulis, yang selalu memberikan nasihat positif dan bimbingan kepada penulis selama 3,5 tahun ini.

(10)

ix

mendapatkan solusi dari hambatan-hambatan yang peneliti temui dalam proses penyusunan skripsi.

6. Segenap dosen pengajar dan staf tata usaha di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah membagikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis.

7. Segenap staf bagian Ruang Pudak RSUP Sanglah yang telah memberikan ijin dan mendukung penelitian ini.

8. Ida Ayu Gede Sri Evitasari dan Ida Ayu Karina Putri, kakak tingkat Psikologi 2010, yang berbaik hati mengijinkan naskah skripsinya dijadikan acuan oleh peneliti dalam menyusun penelitian kualitatif ini sehingga peneliti sangat merasa terbantu dan dimudahkan.

9. Sahabat sejak SMP, Lohtu, Titin, dan Oshin, yang senantiasa memberikan canda tawa dan semangat kepada peneliti selama menyelesaikan skripsi ini.

10. Sahabat Matsuoka, Ayun, Irma, Noni, Dode, dan Tece, yang senantiasa saling mendukung dan meluangkan waktu bersama-sama mengerjakan skripsi.

11. Teman-teman Rumah Belajar Turiya, Indah, Yuli, Choi, Kak Winda, Gegek, dan teman-teman lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi kepada peneliti.

12. Teman-teman Psikologi 2012 (Zettrasedon) khususnya dan teman-teman Fakultas Kedokteran 2012 lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang senantiasa berbagi ilmu dan semangat, serta meminjamkan literatur-literatur yang peneliti gunakan untuk menyempurnakan penelitian ini.

(11)

x

17. Rekan-rekan lainnya yang tidak dapat saya sebutkan semuanya, beribu terimakasih peneliti ucapkan atas semangat dan dukungan untuk peneliti.

Seperti kata pepatah “tiada gading yang tak retak” yang artinya tidak ada yang

sempurna. Terlepas dari usaha peneliti dalam penyusunan skripsi ini, masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini. Oleh karena itu, saran dan kritik dari penguji dan pembaca sangat dibutuhkan dalam penyempurnaan penelitian ini.

Akhir kata, peneliti ucapkan terimakasih pada semua pihak yang telah membantu dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja.

Om Santhi Santhi Santhi Om

Denpasar, 3 Agustus 2016

(12)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

C. Signifikansi dan Keunikan Penelitian ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 10

c. Faktor yang Mempengaruhi Coping ... 19

d. Sumber Coping ... 21

2. Anak dengan LLA dalam menjalani Terapi Pengobatan ... 22

a. Perkembangan Masa Anak-anak ... 22

1) Masa Anak-anak Awal ... 23

2) Masa Anak-anak Tengah ... 25

b. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 29

1) Definisi Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 29

2) Etiologi Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 30

3) Gambaran Klinis Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 30

4) Terapi Pengobatan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 32

5) Efek Samping Terapi Pengobatan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 35

B. Perspektif Teoretis ... 37

(13)

xii

BAB III METODE PENELITIAN ... 41

A. Tipe Penelitian ... 41

B. Unit Analisis ... 43

C. Responden dan Tempat penelitian ... 44

D. Teknik Penggalian Data ... 44

G. Kredibilitas Penelitian ... 51

H. Isu Etik ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Orientasi Kancah ... 54

1. Persiapan Penelitian ... 54

a. Melakukan Pre-eliminary Study ... 54

b. Menentukan Responden dan Lokasi Penelitian ... 55

c. Perizinan ... 55

B. Pelaksanaan Penelitian ... 56

1. Lokasi Penelitian ... 56

1. Saran Bagi Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 97

2. Saran Bagi Orangtua dan Keluarga yang Memiliki Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) ... 97

3. Saran Bagi Pihak Terkait seperti Pihak Rumah Sakit, Perawat, Dokter, Psikolog, maupun Pengurus Rumah Singgah atau Yayasan Khusus Pasien Kanker ... 98

4. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 100

GLOSARIUM ... 104

DAFTAR LAMPIRAN ... 107

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker merupakan penyakit yang ditakuti oleh banyak orang, karena kata “kanker” seringkali diasosiasikan dengan kematian (Burish, Meyerowitz, Carey, & Morrow, dalam Sarafino & Smith, 2011). Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (2013), menyebutkan bahwa prevalensi kanker di Indonesia yaitu 1,4‰ atau sekitar 347.792 orang dengan rincian di provinsi Bali yaitu sebesar 2,0‰ atau sekitar 8.279 orang.Penyakit kanker tidak hanya menyerang orang dewasa, namun juga menyerang anak-anak. Riset Kesehatan Dasar (2014), menunjukkan bahwa setiap tahun sebanyak 4.100 anak atau dua hingga tiga persen anak-anak di Indonesia menderita kanker.

Menurut data Union for International Cancer Control (UICC) (Pusat Data & Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2015) setiap tahun terdapat sekitar 176.000 anak yang didiagnosis kanker diseluruh dunia, sementara 11.000 kasus kanker anak terdapat di Indonesia. Leukemia limfoblastik akut memegang persentase sebesar 65% dari seluruh kejadian leukemia pada anak

(Muhtadi, 2014). Sementara itu, insidensi leukemia limfoblastik akut dengan 75% pasien berusia kurang dari 15 tahun adalah sekitar 1 per 60.000 orang pertahun (Medical Stuff, 2014).

Leukemia limfoblastik akut yang kemudian disebut LLA adalah suatu penyakit yang

(17)

2 berat badan, anoreksia serta kelelahan. Menurut Permono (2005) anak dengan leukemia seringkali mengalami anemia yang menimbulkan kondisi pucat, lemas, kelelahan dan lesu, serta mengalami neutropenia yang menimbulkan kondisi demam serta infeksi dan mengalami trombositopenia yang menimbulkan kondisi kulit memar, bintik merah pada kulit, mimisan, serta pendarahan gusi.

Terapi pengobatan pada LLA dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Menurut Jones (Faozi, 2010), apabila anak positif menderita LLA harus dilakukan terapi pengobatan yang cukup panjang yaitu sekitar 2-3 tahun. Selain itu, pengobatan anak dengan LLA dilakukan dengan berbagai prosedur terapi, seperti terapi pendukung umum dan terapi khusus (Hoffbrand & Moss, 2011). Berdasarkan informasi yang dipublikasikan oleh Rumah Sakit Dharmais Pusat Kanker Nasional (2009), rambut rontok, mual, muntah, penurunan jumlah sel darah merah, penurunan jumlah sel darah putih, penurunan jumlah trombosit, luka pada dinding rongga mulut atau saluran cerna, serta gangguan saraf tepi seperti kebas dan kesemutan dijari tangan dan kaki merupakan efek samping diberikannya kemoterapi sebagai salah satu prosedur terapi pengobatan LLA.

(18)

3 dan merupakan pengalaman yang paling memalukan bagi kebanyakan anak walaupun rambut itu dapat tumbuh kembali. Sarafino dan Smith (2011) juga mengatakan bahwa dampak kemoterapi pada anak dapat menyebabkan rasa sakit yang lebih besar daripada yang dirasakan orang dewasa.

Lebih lanjut efek perawatan dengan kemoterapi dapat menimbulkan gangguan jangka panjang seperti gangguan fungsi intelektual, kelainan neuroendokrin, kardiotoksisitas, gangguan sistem reproduksi serta berisiko mengalami keganasan sekunder (Bhatia dalam Savage, Riordan, & Hughes, 2008).Studi lain menyebutkan bahwa efek terapi terhadap anak dengan LLA memengaruhi kemampuan prestasi akademik dan belajar serta memiliki konsekuensi penting terhadap perkembangan emosi dan kemampuan untuk mengatasi serta pengaturan emosi (Campbell, dkk. dalam Doloksaribu, 2011).

Masa kanak-kanak pada rentang usia 2-12 tahun merupakan masa anak belajar berbagai hal mengenai dasar-dasar kehidupan sehingga anak mampu dengan baik melanjutkan fase perkembangan selanjutnya. Secara keseluruhan, anak akan belajar tentang kemandirian, belajar berinteraksi dan menyesuaikan diri, belajar dari sifat egosentris menjadi dapat menerima perbedaan antara sudut pandang orang lain dengan sudut pandang diri sendiri, belajar keterampilan produktif yang bernilai didalam lingkungan, belajar berprestasi serta membangun kepercayaan diri dan sikap yang positif. Bentuk-bentuk emosi yang dialami anak akan memengaruhi pendapat anak mengenai dirinya. Selain itu masa kanak-kanak adalah masa bermain yaitu anak akan meluangkan waktu berjam-jam untuk bermain dengan teman-teman sebaya (Havighurst dalam Hurlock, 1980; Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

(19)

4 penurunan secara fisik, yang berpengaruh terhadap aktivitas sehari-hari anak. Sebagai contoh, waktu bermain pada anak dengan LLA tidak akan sebanyak anak-anak normal yang tidak melakukan perawatan di rumah sakit. Menurut Havighurts (dalam Hurlock, 1980) kondisi kesehatan yang buruk akan menghalangi anak beraktivitas dengan kelompok sehingga menimbulkan rasa rendah diri dan terbelakang. Hockenberry dan Wilson (dalam Suryati, 2010) juga mengungkapkan bahwa aspek psikososial dari hubungan interpersonal, stres dan coping pada anak juga ikut memengaruhi tumbuh kembang anak.

Selama menjalani terapi pengobatan, kualitas hidup anak dengan LLA penting untuk diperhatikan, dengan mempertimbangkan dampak penyakit dan dampak terapi yang dijalani terhadap kualitas fisik, psikologis, dan sosial anak (Varni dalam Savage, Riordan, & Hughes, 2008). Anak yang memahami penyakit dan proses pengobatannya memiliki mekanisme coping yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak memahami penyakitnya dan

anak dengan leukemia yang sedang menjalani terapi pengobatan membutuhkan sumber-sumber coping untuk dapat mengurangi stres (Doloksaribu, 2011).

Anak yang memiliki coping yang baik akan meningkatkan kelancaran proses terapi serta memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak setelah sembuh (Gamayanti, 2006). Strategi coping sendiri merupakan suatu usaha untuk mengatasi suatu kondisi yang tidak menyenangkan (Spencer, Jeffrey, & Greene, 2002). Menurut Carver, Scheier, dan Weintraub (1989), terdapat 14 strategi coping, antara lain active coping, planning, suppresion of competing, restraint coping, positive reinterpretation, acceptance, focusing on and venting of

emotions, behavioral disengagement, mental disengagement, alcohol-drug disengagement,

turning to religion, seeking social support for instumental reason, seeking social support for

(20)

5 Guna mendapat gambaran dilakukan atau tidaknya strategi coping oleh anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan, peneliti melakukan pre-eliminary study pada dua pasien anak. Subjek pertama berinisial KD, seorang pasien LLA berusia tujuh tahun empat bulan yang menjalani terapi pengobatan di RSUP Sanglah. Wawancara dilakukan kepada significant others yang pada penelitian ini berperan sebagai responden yaitu ibu KD pada 17

Desember 2015. KD berasal dari Gianyar, Bali. Selama menjalani terapi pengobatan di rumah sakit, sehari-harinya KD ditemani oleh sang ibu. KD merupakan seorang pasien LLA yang mengalami kambuh pada penyakitnya. Pada awalnya, KD terdiagnosa LLA diusia yang ke-empat tahun enam bulan. KD kemudian menjalani seluruh tahap terapi pengobatan selama lebih dari dua tahun dengan hasil terdapat 6% sel leukemia pada tubuhnya. Dua bulan setelah menyelesaikan tahap terapi pengobatan, KD dinyatakan kambuh sehingga KD diharuskan mengulang menjalani terapi pengobatan dari tahap pertama. Saat ini KD memasuki tahun ke-tiga dalam menjalani terapi pengobatan.

(21)

6 bahwa KD cenderung menunjukkan strategi coping selama menjalani terapi pengobatan (Wawancara pre-eliminary study, 2015).

Subjek kedua berinisial AMB, seorang pasien LLA berusia delapan tahun empat bulan yang menjalani terapi pengobatan di RSUP Sanglah. Wawancara dilakukan kepada significant others yang pada penelitian ini berperan sebagai responden yaitu ibu AMB pada 6

Februari 2016. AMB berasal dari Sumba. Selama menjalani terapi pengobatan di rumah sakit sehari-harinya AMB ditemani oleh sang ibu. AMB sempat selama dua bulan mengenyam pendidikan di kelas tiga SD namun karena terdiagnosa LLA dan menjalani terapi pengobatan yang intensif di rumah sakit mengharuskan AMB mengambil cuti pada sekolahnya. AMB merupakan seorang pasien LLA yang telah menjalani terapi pengobatan selama lebih dari dua bulan dan saat ini memasuki bulan ke-tiga terapi pengobatan. Pada saat didiagnosa, jumlah sel leukemia pada AMB adalah sebanyak 20%, namun saat melakukan pre-eliminary study jumlah sel leukemia pada AMB berjumlah 3%.

AMB memunculkan beberapa gejala klinis maupun keluhan pada saat awal terdiagnosa LLA dan selama menjalani terapi pengobatan, seperti terasa lemas, pucat, tidak bergairah,

(22)

7 AMB ketika menghadapi situasi dan kondisi tertentu, sehingga dapat peneliti simpulkan AMB menunjukkan strategi coping selama menjalani terapi pengobatan (Wawancara pre-eliminary study, 2016).

Berdasarkan paparan hasil pre-eliminary study, didapatkan informasi bahwa anak dengan LLA yang sedang menjalani terapi pengobatan, melakukan perilaku tertentu untuk menghadapi kondisinya.Kondisi dan situasi yang dialami anak dengan LLA yang ditimbulkan oleh gejala penyakit, prosedur pengobatan, efek samping dan efek jangka panjang pengobatan, menuntut anak untuk mampu menghadapinya. Selain itu tugas perkembangan juga menuntut anak agar mampu menangani kondisi dan situasi tersebut, salah satunya dengan cara melakukan strategi coping. Anak perlu didorong untuk menyadari kemampuan coping yang dimilikinya, sehingga diharapkan anak mampu melaksanakan terapi pengobatan

secara kooperatif dan mampu menghindari atau mengurangi dampak jangka panjang yang memengaruhi kualitas hidup serta perkembangan masa depan anak itu sendiri.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penggalian informasi secara langsung dan mendalam mengenai gambaran strategi coping pada anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan. Dengan demikian peneliti melakukan penelitian yang berjudul

“Gambaran Strategi Coping Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut dalam menjalani

Terapi Pengobatan”.

B. Fokus Penelitian

(23)

8 C. Signifikansi dan Keunikan Penelitian

Beberapa penelitian mengenai anak dengan LLA telah banyak dilakukan di Indonesia, baik dengan menggunakan metode kuantitatif maupun kualitatif. Adapun penelitian-penelitian yang mengkaji subjek anak LLA adalah sebagai berikut:

1) Rahmawati (2013) dalam penelitiannya berjudul “Gambaran Penyesuaian Diri Anak Penderita Leukemia yang Menjalani Hospitalisasi (Studi Kasus Terhadap Dua Orang Anak Penderita Leukemia Usia 12 dan 13 Tahun di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung)”, bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran penyesuaian diri pada kedua anak penderita leukemia tersebut. Terdapat perbedaan variabel yang digunakan pada penelitian ini dengan penelitian Rahmawati (2013). Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah strategi coping sedangkan pada penelitian Rahmawati (2013) menggunakan variabel penyesuaian diri. Selain itu, penelitian ini menggunakan karakteristik subjek yang lebih mendalam yaitu anak penderita leukemia limfoblastik akut sedangkan penelitian oleh Rahmawati (2013)

menggunakan karakteristik subjek anak penderita leukemia.

2) Penelitian yang dilakukan oleh Murtutik dan Wahyuni (2013) yang berjudul

(24)

9 perkembangan motorik kasar, serta menggunakan metode penelitian kuantitatif. Selain itu, karakteristik subjek pada penelitian ini lebih spesifik yaitu anak dengan LLA sedangkan penelitian oleh Murtutik dan Wahyuni (2013) menggunakan

karakteristik subjek anak penderita leukemia.

3) Penelitian oleh Doloksaribu (2011) yang berjudul “Respon dan Coping Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut Dalam Menjalani Terapi di Jakarta dan Sekitarnya”,

bertujuan untuk mengetahui bentuk respon dan sumber-sumber coping yang dapat digunakan anak dengan LLA dalam menjalani terapi di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Terdapat kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, yaitu sama-sama menggunakan subjek dengan LLA, namun penelitian oleh Doloksaribu (2011) ingin melihat respon yang ditunjukkan dan melihat sumber-sumber coping anak dengan LLA, sedangkan pada penelitian ini ingin melihat strategi coping pada anak dengan LLA.

4) Penelitian yang dilakukan oleh Pertiwi, Niruri, dan Ariawati (2013) yang berjudul

“Gangguan Hematologi Akibat Kemoterapi Pada Anak Dengan Leukemia

limfoblastik akut di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah”, memperoleh hasil yaitu terdapat gangguan hematologi pada anak dengan LLA yaitu anemia dan trombositopenia. Terdapat perbedaan variabel pada penelitian ini dengan penelitian

(25)

10 Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dipaparkan diatas, dapat dilihat bahwa penelitian spesifik mengkaji strategi coping pada anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur mengenai anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran strategi coping pada anak dengan LLA dalam menjalani terapi pengobatan.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam studi kepustakaan, untuk lebih membuka dan menambah wawasan serta pengembangan disiplin ilmu pengetahuan Psikologi Klinis khususnya dalam bidang Psikologi Kesehatan, terkait informasi mengenai strategi coping anak dengan penyakit fisik yaitu leukemia limfoblastik akut yang sedang menjalani terapi pengobatan.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi anak dengan LLA, penelitian ini diharapkan dapat membantu anak mengungkapkan perasaan, anak mampu mempertahankan kemampuan strategi coping yang dimiliki dan mengembangkan strategi coping yang berdampak positif bagi dirinya.

(26)

11 dan keluarga memahami kondisi yang dirasakan oleh anak, serta memfasilitasi anak untuk melakukan strategi coping.

(27)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Strategi Coping

a. Definisi Strategi Coping

Individu dari semua usia dapat mengalami ketegangan yang menimbulkan ketidaknyamanan sehingga individu mencoba melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Usaha untuk mengatasi kondisi tersebut disebut dengan coping (Spencer, Jeffrey, & Greene, 2002). Lazarus dan Folkman (1984), mengungkapkan coping adalah proses merubah kognitif secara konstan untuk mengelola tuntutan baik eksternal maupun internal yang diterima individu, yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu.

Sarafino dan Smith (2011) menjelaskan bahwa coping adalah proses dimana individu melakukan usaha untuk mengatur (management) situasi yang dipersepsikan adanya kesenjangan antara usaha (demands) dan kemampuan (resources). Coping adalah sebuah proses untuk mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima tubuh dan beban tersebut menimbulkan respons tubuh yang sifatnya nonspesifik yaitu stres. Apabila coping ini berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut (Rasmun, 2004).

(28)

13 dengan lingkungan, yang dianggap menganggu batas-batas yang dimiliki oleh individu tersebut.Selanjutnya, Friedman (1998) mengatakan bahwa strategi coping merupakan perilaku atau proses untuk adaptasi dalam menghadapi tekanan atau ancaman.

Berdasar pada penjelasan definisi coping dan strategi coping diatas, maka strategi coping merupakan suatu bentuk usaha dan perilaku yang dilakukan untuk mengatasi

situasi dan kondisi tertentu yang cenderung menimbulkan ketidaknyamanan ataupun menganggu batas-batas yang dimiliki oleh individu.

b. Strategi Coping

Menurut Skinner, dkk (dalam Sarafino & Smith, 2011) terdapat 24 strategi coping yang dapat dengan mudah dikonseptualisasikan, strategi coping tersebut antara lain: 1) Assistance seeking, individu mencari dukungan dan menggunakan bantuan dari

orang lain berupa nasehat maupun tindakan didalam menghadapi masalahnya. 2) Hiding feeling, individu cenderung menyembunyikan perasaannya, tidak

memperlihatkan kepada orang lain atau orang tertentu.

3) Positive reappraisal, individu melihat sisi positif dari masalah yang dialami dalam kehidupannya dengan mencari arti atau keuntungan dari pengalaman tersebut. 4) Avoidance, individu menghindari masalah yang ada dengan cara berkhayal atau

membayangkan seandainya individu berada pada situasi yang menyenangkan. 5) Humor, individu mengatasi situasi tertekan dengan menceritakan dan melakukan

hal-hal yang lucu sehingga hal yang menjadi beban pikiran akan berkurang.

(29)

14 7) Confrontive assertion, individu cenderung mengeluh atau marah atau membuat

orang lain menjadi empati.

8) Increased activity, individu cenderung meningkatkan jumlah aktivitas. 9) Resigned acceptance, individu cenderung pasrah.

10) Denial, individu menolak masalah yang ada dengan menganggap seolah-olah tidak ada masalah, individu mengabaikan masalah yang dihadapinya.

11) Information seeking, individu mencari informasi dari orang lain yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan individu.

12) Seeking meaning, individu cenderung mencari pengertian atau pemahaman terhadap situasi atau masalah yang dihadapinya, individu cenderung berpikiran positif.

13) Direct action, meliputi tindakan yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta menyusun secara lengkap apa yang diperlukan.

14) Intrusive thoughts, individu memiliki pemikiran yang terganggu, merasa terganggu, mengalami kebosanan atau rasa bingung.

15) Self-criticism, keadaan individu yang larut dalam permasalahan dan menyalahkan diri sendiri atas kejadian atau masalah yang dialaminya.

16) Discharge (venting), individu cenderung mencurahkan apa yang dirasakan, mengekspresikan emosi.

17) Logical analysis, individu melakukan analisis secara logis tidak hanya menekankan pada perasaan atau emosi.

18) Substance use, menggunakan obat-obatan terlarang.

19) Distraction (diverting attention), individu cenderung mudah teralihkan saat mencoba untuk menaruh perhatian pada suatu hal tertentu.

(30)

15 21) Wishful thinking, individu memiliki pengharapan atau angan-angan.

22) Emotional approach, individu secara aktif memproses, memikirkan dan mengekspresikan perasaannya.

23) Planful problem solving, individu memikirkan dan mempertimbangkan secara matang beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan, meminta pendapat dan pandangan dari orang lain tentang masalah yang dihadapi, bersikap hati-hati sebelum memutuskan sesuatu dan mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan.

24) Worry, individu memiliki perasaan yang cenderung cemas atau khawatir.

Carver, Scheier, dan Weintraub (1989) mengemukakan 14 strategi coping yang dapat digunakan, antara lain:

1) Active coping, proses yang dilakukan individu berupa pengambilan langkah-langkah aktif untuk mencoba menghilangkan, menghindari tekanan, memperbaiki pengaruh dampaknya. Metode ini melibatkan pengambilan tindakan secara langsung, dan mencoba untuk menyelesaikan masalah secara bijak.

2) Planning, merupakan langkah pemecahan masalah berupa perencanaan pengelolaan stres serta bagaimana cara yang tepat untuk mengatasinya. Perencanaan ini melibatkan strategi-strategi tindakan, memikirkan tidakan yang dilakukan dan menentukan cara penanganan terbaik untuk memecahkan masalah.

3) Suppresion of competing, individu dapat menahan semua informasi yang bersifat kompetitif atau menahan semua informasi yang bersifat kompetitif agar individu bisa berkonsentrasi penuh pada masalah atau ancaman yang dihadapi.

(31)

16 waktu yang tepat. Respons ini dianggap bermanfaat dan diperlukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

5) Positive reintrepretation, merupakan respons yang dilakukan individu dengan cara mengadakan perubahan dan pengembangan pribadi dengan pengertian yang baru dan menumbuhkan kepercayaan akan arti makna kebenaran yang utama yang dibutuhkan dalam hidup.

6) Acceptance, individu menerima keadaan yang terjadi apa adanya, karena individu menganggap sudah tidak ada yang dapat dilakukan lagi untuk merubah keadaannya serta membuat suasana lebih baik.

7) Focusing on and venting of emotions, individu cenderung untuk fokus pada pengalaman yang tidak menyenangkan dan mengungkapkan atau mencurahkan perasaan tersebut.

8) Behavioral disengagement, individu menurunkan suatu usaha untuk menyelesaikan masalah, menyerah, ataupun tidak melakukan apa-apa.

9) Mental disengagement, secara mental individu tidak memikirkan permasalahan yang dihadapi, biasanya dapat melakukan aktivitas yang lain hanya untuk menghilangkan pikiran terhadap situasi yang menekan.

10) Alcohol-drug disengagement, individu menggunakan obat-obatan dan alkohol untuk mengurangi tekanan.

11) Turning to Religion, sikap individu menenangkan dan menyelesaikan masalah secara keagamaan.

(32)

17 13) Seeking Social Support for Emotional Reason, merupakan upaya untuk mencari

dukungan sosial seperti mendapat dukungan moral, simpati atau pengertian.

14) Denial, upaya untuk mengingkari dan melupakan kejadian atau masalah yang dialami dengan cara menyangkal semua yang terjadi, seakan-akan sedang tidak mempunyai masalah.

Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan bahwa terdapat dua strategi coping berdasarkan fungsinya, yaitu emotional-focused coping dan problem-focused coping. Emotional-focused coping bertujuan untuk melakukan kontrol terhadap respons emosional terhadap situasi penyebab stres, baik dalam pendekatan secara perilaku maupun kognitif. Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan emotional-focused coping ketika individu memiliki persepsi bahwa stressor yang ada tidak dapat diubah atau diatasi. Sedangkan problem-focused coping bertujuan untuk mengurangi dampak dari situasi stres atau memperbesar sumber

daya dan usaha untuk menghadapi stres. Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan problem focused coping ketika memiliki persepsi bahwa stressor yang ada dapat diubah. Lazarus dan Folkman (1984) kemudian mengidentifikasikan berbagai jenis strategi coping, baik secara problem-focused maupun emotion-focused, antara lain:

1) Planful problem solving yaitu usaha untuk mengubah situasi, dan menggunakan usaha untuk memecahkan masalah.

2) Confrontive coping yaitu menggunakan usaha agresif untuk mengubah situasi, mencari penyebabnya dan mengalami resiko.

(33)

18 4) Accepting responsibility yaitu mengakui adanya peran diri sendiri dalam masalah. 5) Distancing yaitu menggunakan usaha untuk melepaskan dirinya, perhatian lebih

kepada hal yang dapat menciptakan suatu pandangan positif.

6) Escape-avoidance yaitu melakukan tingkah laku untuk lepas atau menghindari situasi masalah.

7) Self-control yaitu menggunakan usaha untuk mengatur tindakan dan perasaan diri sendiri.

8) Positive reappraisal yaitu menggunakan usaha untuk menciptakan hal-hal positif dengan memusatkan pada diri sendiri, mencari makna positif dari permasalahan dengan pengembangan diri, dan terkadang strategi ini melibatkan hal-hal religiusitas.

Untuk memperoleh gambaran lebih luas mengenai strategi coping yang dimiliki oleh subjek, maka penelitian ini menggunakan strategi coping yang digabungkan dari tiga tokoh yaitu strategi coping yang diungkapkan oleh Lazarus dan Folkman (1984), Skinner et al (dalam Sarafino & Smith, 2011) dan Carver, Scheier, dan Weintraub (1989).

Berdasar pada Lazarus dan Folkman (1984), Skinner et al (dalam Sarafino dan Smith, 2011) dan Carver, Scheier dan Weintraub (1898), didapatkan 22 strategi coping yaitu planful problem solving (termasuk didalamnya information seeking, restraint coping), assistance seeking, accepting responsibility, avoidance, self-control, positive reappraisal (termasuk didalamnya reinterpretation, seeking meaning, distancing), humor, emotional approach (termasuk didalamnya confrontive assertion, discharge, venting, worry, instrusive thoughts), behavioral disengagement, increased activity

(34)

19 wishful thinking, hiding feelings, religion, denial, resigned acceptance, substance use,

distraction, suppression of competing, dan mental disengagement.

c. Faktor - faktor yang Memengaruhi Strategi Coping

Antara satu individu dengan individu lain memiliki strategi coping yang berbeda. Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor, seperti yang telah diidentifikasikan oleh Ahyar (2010) yaitu:

1) Kesehatan Fisik. Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.

2) Keyakinan atau pandangan positif. Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness).

3) Keterampilan memecahkan masalah. Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

4) Keterampilan sosial. Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat.

(35)

20 6) Materi. Dukungan ini meliputi sumber daya daya berupa uang, barang atau layanan

yang biasanya dapat dibeli.

7) Pengalaman. Individu yang sudah pernah menghadapi suatu masalah cenderung sudah memiliki strategi coping yang dapat dengan langsung menangani masalah yang dihadapi, dibandingkan dengan individu lain yang tidak pernah mengalami masalah serupa.

Menurut Lazarus dan Folkman (1984) coping dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :

1) Usia. Dalam rentang usia tertentu, individu mempunyai tugas perkembangan yang berbeda, sehingga memengaruhi cara berpikir dan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi disekelilingnya. Struktur psikologis individu yang kompleks dan sumber strategi coping yang berubah sesuai dengan tingkat usianya akan menghasilkan reaksi yang berbeda dalam menghadapi suatu situasi yang menekan. Sehingga dapat dipastikan bahwa coping pada setiap individu berbeda untuk setiap tingkat usia.

2) Jenis kelamin. Secara teoritis pria dan wanita memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi suatu masalah. wanita lebih memperlihatkan reaksi emosional dibandingkan dengan pria.

3) Harga diri. Harga diri memengaruhi individu dalam menilai dirinya sendiri dan memengaruhi perilaku dalam mengatasi ancaman atau peristiwa. Penggunaan strategi coping yang paling penting adalah harga diri. Harga diri dimiliki individu sebagai

(36)

21 4) Pendidikan. Individu yang memperoleh pendidikan lebih tinggi akan lebih tinggi pula perkembangan kognitifnya, sehingga akan memiliki penilaian yang lebih realistis dan coping individu akan lebih aktif dibandingkan dengan individu yang memperoleh

pendidikan lebih rendah.

Berdasar pada penjelasan mengenai faktor yang memengaruhi coping, maka faktor faktor yang memengaruhi coping adalah kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial, materi, pengalaman, usia, jenis kelamin, harga diri dan pendidikan.

d. Sumber - sumber Strategi Coping

Coping tidak hanya selalu dimulai dari diri sendiri, namun berbagai sumber

eksternal memberikan pengaruh terhadap keberhasilan coping itu sendiri. Sumber-sumber tersebut yaitu:

1) Bermain. Longe (2005) memaparkan beberapa anak menjalani terapi kanker sambil bermain. Mainan bagi anak dengan leukemia limfoblastik akut tampak lebih menyenangkan. Barang-barang seperti papan permainan, playdoh, video game, boneka, dan mobil mainan bisa dinikmati selama terapi intravena ditempat tidur. Gariepy dan Howe (dalam Piersol, dkk. 2008) menemukan bahwa bermain pada anak dengan LLA dapat digunakan sebagai media komunikasi untuk mengekspresikan diri, mengeliminasi tekanan psikologis, mengatasi stres dan kecemasan.

(37)

22 mudah bersosialisasi terutama dengan teman sebaya, membentuk peran positif dan meningkatkan kreativitas sehingga membentuk kepribadian yang positif.

3) Kelompok pendukung. Gariepy dan Howe (dalam Piersol, dkk. 2008), menyatakan pentingnya penyediaan informasi mengenai kelompok-kelompok pendukung bagi anak dan keluarga dengan masalah yang sama.

4) Pendidikan kesehatan atau konseling. Beberapa penelitian yang dilaksanakan oleh Children’s Cancer Group (Campbell, dkk, 2008a) bahwa remaja yang sembuh dari penyakit leukemia limfoblastik akut menerima pendidikan khusus sampai enam kali atau lebih karena mengalami gangguan emosi dan juga masalah perilaku, sulit mengatasi stres dengan tekanan emosional yang tinggi.

5) Lingkungan. Manusia memiliki kompleksitas hubungan antara faktor biologis, sosial dan ekologi, termasuk hubungan beberapa sistem seperti orang tua dan keluarga, masyarakat, dan budaya (Bronfenbrenner dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Berdasar pada penjelasan mengenai sumber coping, maka beberapa bentuk sumber coping yaitu bermain, dukungan keluarga, kelompok pendukung, pendidikan kesehatan atau konseling, serta lingkungan.

2. Anak dengan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dalam menjalani Terapi Pengobatan

a. Perkembangan Masa Anak-anak

(38)

23 Papalia, Olds, dan Feldman (2009), menjelaskan bahwa perkembangan anak muncul dalam tiga ranah perkembangan yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif, serta perkembangan psikososial. Pertumbuhan tubuh dan otak, kapasitas sensoris, keterampilan-keterampilan motorik, serta kesehatan merupakan bagian dari perkembangan fisik, sedangkan perubahan dan stabilitas didalam kemampuan-kemampuan mental, seperti belajar, memperhatikan, mengingat, menggunakan bahasa, berpikir, penalaran, dan kreatifitas membentuk perkembangan kognitif, serta perubahan dan stabilitas didalam emosi, kepribadian, dan hubungan sosial membentuk perkembangan psikososial sehingga dukungan sosial dapat membantu orang-orang mengatasi dampak potensial stres yang negatif pada fisik dan kesehatan mental. Ketiga ranah perkembangan itu saling berhubungan dan memengaruhi satu sama lain.

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980), tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang harus diselesaikan individu pada fase-fase atau periode kehidupan tertentu dan apabila berhasil dicapai maka individu akan berbahagia, tetapi sebaliknya apabila gagal individu akan kecewa dan dicela masyarakat dan perkembangan selanjutnya akan mengalami kesulitan. Papalia, Olds, dan Feldman (2009), menyebutkan tahap perkembangan pada masa anak-anak yang masing-masing memiliki tugas perkembangan yang berbeda, yaitu:

1) Masa anak-anak awal

(39)

24 lebih kuat. Peningkatan kapasitas sistem pernapasan dan sirkulasi tubuh membangun stamina dan sejalan dengan sistem kekebalan yang berkembang, menjadikan anak lebih sehat dari sebelumnya.

Piaget (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), menggambarkan masa anak-anak awal (3-6 tahun) sebagai tahap praoperasional dari perkembangan kognitif karena pada usia ini anak belum siap untuk melakukan operasi mental yang logis. Pada tahap ini ditandai dengan adanya perubahan yang besar dalam penggunaan pemikiran simbolis, atau kemampuan representasi. Anak mengalami kemajuan kognitif pada penggunaan simbol-simbol, pemahaman identitas, pemahaman sebab-akibat, kemampuan mengklasifikasikan, pemahaman terhadap angka, rasa empati serta pemahaman mengenai pikiran. Namun, pada masa ini anak memiliki kecenderungan untuk fokus terhadap satu aspek dari sebuah situasi dan mengabaikan aspek-aspek lainnya atau yang disebut dengan centration. Anak masih bersifat egosentris, yaitu ketidakmampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain.

Anak pada masa anak-anak awal (3-6 tahun), memilih teman bermain dan sahabat yang mirip dengan diri anak dan dengan siapa anak memiliki pengalaman positif sebelumnya. Persepsi diri positif atau negatif anak pada usia lima tahun cenderung dapat meramalkan persepsi diri dan fungsi sosial emosional anak. Perkembangan psikososial meliputi konsep diri dan pemahaman emosi yang menjadi lebih kompleks, meningkatnya kemandirian, inisiatif dan kontrol diri, berkembangnya identitas gender, permainan yang lebih imajinatif, elaboratif dan melibatkan orang lain, berkembangnya sifat menolong, agresif dan ketakutan (Erikson, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

(40)

25 semakin mandiri dan menjaga diri sendiri. Anak juga mengembangkan keterampilan kesiapan bersekolah seperti mengikuti perintah, maupun mengidentifikasi huruf. Anak meluangkan waktu berjam-jam untuk bermain dengan teman-teman sebaya. Anak secara umum dikatakan mengkahiri masa anak-anak awal jika telah memasuki kelas satu sekolah dasar (Hurlock, 1980).

Adapun tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh anak pada masa anak-anak awal oleh Havighurst (dalam Hurlock, 1980), yaitu belajar mengendalikan pembuangan kotoran tubuh, mencapai stabilitas fisiologis, membentuk pengertian sederhana tentang realitas fisik dan sosial, belajar kontak perasaan dengan orangtua, keluarga, dan orang lain, belajar mengetahui mana yang benar dan yang salah serta mengembangkan kata hati.

2) Masa anak-anak tengah

Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menjelaskan pertumbuhan selama masa anak-anak tengah (6-11 tahun) sangat lambat, namun anak-anak menghasilkan perubahan yang mengejutkan dimana pada usia enam tahun masih menjadi anak kecil sedangkan pada usia 11 tahun banyak yang mulai menyerupai orang dewasa.

(41)

26 perbedaan antara sudut pandang orang lain dengan sudut pandang diri sendiri. Anak memiliki kekhawatiran yang besar terhadap keutuhan secara fisik, menjadi sangat sensitif terhadap segala sesuatu yang mengancam atau indikasi lain yang menyebabkan cedera secara fisik. Anak menilai diri lebih sadar, realistis, seimbang dan komperehensif sebagaimana membentuk sistem representasional yaitu konsep diri yang luas dan inklusif yang mengintegrasikan berbagai aspek diri.

Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009), menyatakan bahwa faktor penentu utama harga diri anak pada masa anak-anak tengah (6-11 tahun) adalah pandangan mengenai kemampuan untuk pekerjaan yang produktif. Persoalan yang diselesaikan pada masa anak-anak tengah adalah industry vs inferiority, dimana anak harus mempelajari keterampilan produktif yang diperlukan budaya atau anak akan menghadapi perasaan rendah diri. Anak perlu mempelajari berbagai keterampilan yang bernilai didalam masyarakat. Anak membandingkan kemampuan diri yang dimiliki dengan teman-teman sebaya.

Pada usia tujuh atau delapan tahun, anak menyadari perasaan sendiri, termasuk perasaan malu dan bangga, serta memiliki ide yang lebih jelas mengenai perbedaan antara rasa bersalah dan malu, dan emosi-emosi ini memengaruhi pendapat mengenai diri anak (Harris, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

(42)

27 anak mengatasi pengendalian emosi seperti yang diharapkan oleh lingkungan atau kelompok sosialnya.

Menurut Havighurts (dalam Hurlock, 1980), perkembangan anak usia 6 – 12 tahun dipandang sebagai periode kritis dalam dorongan berprestasi, yaitu suatu masa dimana anak membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses atau sangat sukses, yang akan menetap hingga dewasa. Periode ini merupakan periode usia penyesuaian diri, suatu masa dimana perhatian utama tertuju pada keinginan diterima oleh teman-teman sebaya sebagai anggota kelompok, oleh karena itu anak ingin menyesuaikan dengan standar yang disetujui kelompok dalam hal penampilan, berbicara dan berperilaku. Anak mengembangkan keterampilan sosial dikelompoknya dengan cara belajar bekerja sama, belajar bersaing, belajar menerima dan melaksanakan tanggung jawab, belajar bersikap sportif, turut berbagi rasa dan belajar berolahraga. Periode ini juga disebut sebagai usia kreatif, suatu masa yang menentukan apakah anak menjadi bersifat meniru atau pencipta karya yang baru dan orisinal. Selain itu, disebut juga usia bermain dilihat dari luasnya minat dan kegiatan bermain. Keberhasilan menyelesaikan tugas dan tanggung jawab meningkatkan kepuasan dan rasa percaya diri. Kondisi kesehatan yang buruk menghalangi anak beraktivitas dengan kelompok sehingga menimbulkan rasa rendah diri dan terbelakang.

(43)

28 Piaget (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009) juga menyebutkan bahwa sebelum masa anak-anak tengah, anak memiliki sifat egosentris. Anak cenderung meyakini bahwa penyakit timbul secara gaib oleh tindakan manusia, sering kali oleh tindakan anak itu sendiri, tetapi seiring berjalannya masa anak-anak tengah, anak mulai mengembangkan pikiran yaitu melihat bahwa terdapat banyak penyebab penyakit, seperti kontak dengan kuman penyakit tidak langsung menyebabkan sakit, dan bahwa manusia dapat berbuat banyak untuk menjaga kesehatannya.

Havighurst (dalam Hurlock, 1980) menyebutkan beberapa tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa anak-anak tengah, yaitu belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan seperti bermain sepak bola, loncat tali, berenang, belajar pembentukan sikap yang sehat terhadap diri sendiri sebagai makhluk biologis yang sedang tumbuh, belajar bersahabat dengan anak-anak sebaya, belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya, mengembangkan dasar-dasar kecakapan membaca, menulis, dan berhitung, mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, mengembangkan kata hati moralitas, mengembangkan skala nilai-nilai terhadap sesuatu, belajar membebaskan ketergantungan diri atau memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi, mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial dan lembaga-lembaga.

(44)

29 b. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

1) Definisi Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

Leukemia adalah penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, ditandai dengan proliferasi sel-sel darah putih serta gangguan pengaturan leukosit dengan manisfestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi (Permono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2010).

Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah suatu penyakit yang berakibat fatal, dimana sel-sel yang dalam keadaan normal berkembang menjadi limfosit berubah menjadi ganas dan dengan segera menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang (Supandiman, 1997).Leukemia limfoblastik akut disebabkan oleh akumulasi limfoblas di sumsum tulang dan merupakan keganasan tersering pada anak. Leukemia limfoblastik akut menggambarkan infiltrasi sel leukemia ke sumsum tulang (Hoffbrand & Moss,

2011).

Leukemia limfoblastik akut merupakan keganasan sel yang dapat timbul baik pada

sel-B, yaitu sel membuat antibody atau pada sel-T, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh. Leukemia B lebih sering terjadi daripada leukemia sel-T dan merupakan bentuk leukemia paling umum pada anak-anak (Hoffbrand & Moss, 2011).

(45)

30 2) Etiologi Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

Bagaimana persisnya mutasi genetik berakumulasi pada keganasan darah belum sepenuhnya diketahui (Hoffbrand & Moss, 2011). Sampai saat ini belum diketahui apa yang menjadi penyebab terjadinya leukemia pada manusia khususnya anak, namun ada beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian leukemia. Hoffbrand dan Moss (2011) menyebutkan latar belakang genetik dan pengaruh lingkungan yang meliputi bahan kimia, obat-obatan, radiasi, infeksi, virus, bakteri, protozoa, konsumsi alkohol, riwayat reproduksi, tingkat ekonomi, serta down syndrome merupakan beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya leukemia.

3) Gambaran Klinis Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

Gambaran klinis leukemia limfoblastik akut (LLA) sangat bervariasi, tetapi pada umumnya timbul secara cepat yaitu dalam beberapa hari sampai minggu. Gambaran klinis LLA dapat dilihat pada (Hoffbrand & Moss, 2011):

a) Kegagalan sumsum tulang seperti anemia yang menyebabkan pucat, letargi, dyspnea, mudah lelah, neutropenia sebagai penyebab terjadinya demam, malaise,

gambaran infeksi mulut, tenggorokan, kulit, saluran napas, perianal atau bagian lain, serta syok septik, serta trombositopenia menimbulkan kondisi mudah memar, purpura, gusi berdarah dan menoragia. Apabila kadar trombosit sangat rendah,

pendarahan dapat terjadi dengan sangat spontan.

b) Infiltrasi organ seperti nyeri tulang, keringat malam, limfadenopati, splenomegaly moderat, hepatomegaly, sindrom meningen (nyeri kepala, mual, muntah,

(46)

31 c) Gejala lain seperti leukositosis serebral ditandai oleh sakit kepala dan gangguan visual, leukostasis pulmoner ditandai oleh sesak napas, takhypnea, ronchi dan adanya infiltrasi pada foto rontgen, hiperurikemia yang dapat bermanifestasi sebagai arthritis gout dan batu ginjal, sindrom lisis tumor dapat dijumpai sebelum terapi, terutama pada LLA. Tetapi sindrom lisis tumor lebih sering dijumpai akibat kemoterapi.

Menurut Supandiman (1997), gambaran klinis pada anak ditandai dengan suhu tubuh meningkat secara mendadak, pucat, memar dikulit, nyeri tulang, lemah, berat badan yang tidak bertambah atau nafsu makan yang sangat menurun, terkadang mengalami epistaksis atau pendarahan gusi, tachycardia, serta dapat terjadi pendarahan otak yang berakibat kematian mendadak.

Sel kanker yang mencapai sistem ekstramedular menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, sakit kepala, mual, muntah, edema pupil, kelesuan dan nerve palsy bilateral. Infiltrasi sel kanker ke kelenjar timus diatas dada menyebabkan kompresi

saluran napas, batuk serta sesak napas. Pembengkakan pada kepala, leher dan lengan akibat kompresi pembuluh darah disebut juga sindrom vena kava superior. Trombositopenia menyebabkan pendarahan retina atau pendarahan intrakranial,

terutama pada anak dengan LLA dengan hiperleukositosis atau sindrom leukositosis. Hiperleukositosis dalam sirkulasi mikro mengganggu sirkulasi intravaskuler,

(47)

32 Berdasar pada penjelasan gambaran klinis leukemia limfoblastik akut diatas maka gambaran klinis leukemia limfoblastik akut meliputi kegagalan sumsum tulang, infiltrasi organ, dan gejala lainnya.

4) Terapi Pengobatan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

Pengobatan pada pasien leukemia adalah untuk mengeradikasi sel-sel klonal leukemik dan untuk memulihkan hematopoiesis normal didalam sumsum tulang.

Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplet. (Permono, dkk. 2010). Menurut Hoffbrand dan Moss (2011), terapi pada LLA dapat dengan sederhana dibagi menjadi terapi pendukung umum dan terapi khusus, yaitu:

a) Terapi Pendukung Umum

i. Pemasangan katerer vena sentral ii. Pemberian komponen darah iii. Terapi homeostasis

iv. Terapi antiemetic v. Sindrom lisis tumor vi. Terapi psikologis vii.Terapi nutrisi viii. Penanganan nyeri

ix. Pencegahan dan pengobatan infeksi (bakteri, virus, jamur)

(48)

33 dengan pemberian transfusi darah. Suhu badan yang tinggi umumnya dianggap disebabkan oleh infeksi. Selama mencari penyebab tingginya suhu badan, antibiotika spektrum luas dengan dosis tinggi dapat diberikan kepada pasien. Pencegahan terhadap infeksi dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yang termudah adalah memberikan pengertian pada penderita dan keluarganya agar selalu mencuci tangan, mandi setiap hari dan menghindari kontak dengan orang yang sedang sakit. Selama dalam tahap pengobatan induksi dan intensifikasi pasien menghindari makan buah atau sayur yang mentah maupun makanan lain yang tidak dipasteurisasi (Rivera, dkk, 2003)

b) Terapi Khusus

Kemoterapi dan terkadang radioterapi merupakan terapi khusus untuk LLA dan protokol pengobatan sangatlah kompleks. Pengobatan spesifik menggunakan obat-obat sitostatika dengan tujuan membasmi sel-sel leukemia. Pengobat-obatan LLA meliputi beberapa tahapan yaitu tahap induksi remisi, tahap konsolidasi atau intensifikasi, tahap pengobatan sususan saraf pusat dan tahap rumatan atau lanjutan. Semua anak dengan LLA mendapat pengobatan dalam jangka waktu dua hingga tiga tahun, dengan perkecualian pada leukemia sel B matur hanya memerlukan terapi jangka pendek namun intensif (Hoffbrand & Moss, 2011). Berikut penjelasan singkat mengenai tahapan pengobatan LLA:

i. Induksi Remisi

(49)

34 hilangnya gejala klinis dari penyakit serta gambaran darah tepi menjadi normal (Poplac dkk, 2000). Pengobatan pada fase ini biasanya berlangsung sekitar enam minggu dengan angka remisi rata-rata 97%. Remisi dianggap berhasil bila secara klinis penderita membaik, keadaan hematologis kembali normal dan pada pemeriksaan aspirasi sumsum tulang (bone marrow aspiration – BMA) didapatkan keadaan normoseluler dengan sel blas kurang dari 5% (Sutaryo, Sumadiono, Suhadi, dkk 1999).

ii. Konsolidasi atau Intensifikasi

Segera setelah penderita mengalami pemulihan baik klinis maupun laboratoris dan mencapai remisi komplet, terapi tahap intensifikasi dapat dimulai. Hal ini dilakukan atas dasar penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa apabila terapi dihentikan setelah induksi remisi maka segera terjadi kambuh. Tujuan dari tahap ini adalah menurunkan keberadaan dan menghilangkan sel pokok (stem cell) leukemia (Sutaryo, Sumadiono, Suhadi, dkk 1999).

iii. Pengobatan Susunan Saraf Pusat

Apabila terapi pencegahan pada susunan saraf pusat tidak dilakukan pada pengobatan LLA maka lebih dari 40% anak akan mengalami kambuh susunan saraf pusat (Poplac dkk, 2000).

iv. Rumatan atau Lanjutan

Tidak seperti keganasan lain, pada LLA diperlukan waktu yang panjang untuk mempertahankan kesembuhan. Hal ini dilakukan untuk membunuh sel blas dan memelihara sel sumsum tulang yang normal disamping untuk

(50)

35 berlangsung selama dua sampai tiga tahun. Obat-obatan yang dipakai biasanya antimetabolite yang diberikan setiap hari disertai metotreksat dosis mingguan.

Pemberian prednisone dan vinkristin juga sering diberikan karena membantu menurunkan angka kambuh (Poplac dkk, 2000).

Berdasarkan pengalaman dan penelitian terdahulu dikatakan bahwa setelah pengobatan rumatan (lanjutan) selama dua tahun, kemoterapi dapat dihentikan apabila setelah pengobatan rumatan (lanjutan) penderita tidak pernah kambuh. Bila setelah itu penderita tetap dalam keadaan remisi selama 4-5 tahun maka dapat dinyatakan sembuh. Tidak selalu pengobatan dapat berhasil sepenuhnya karena dalam tahap pengobatan rumatan atau setelah terapi dihentikan leukemia dapat kambuh. Bila hal ini terjadi maka pengobatan harus dimulai lagi dari tahap awal (Sutaryo, Sumadiono, Suhadi, dkk 1999).

Berdasar pada penjelasan mengenai terapi pengobatan leukemia limfoblastik akut maka terapi pengobatan leukemia limfoblastik akut terdiri dari terapi pendukung umum dan terapi khusus.

5) Efek Samping Terapi Pengobatan Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

(51)

36 Hasil penelitian case control yang dilakukan oleh Noll, dkk (1999) pada anak penderita kanker dan bukan penderita kanker, ditemukan bahwa anak dengan kanker secara signifikan memiliki kemampuan olah fisik yang lebih rendah dari pada anak normal. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya aktivitas dan bermain anak. Hockenberry dan Wilson (2009) berpendapat bahwa aktivitas dan bermain pada anak merupakan bagian dari ekplorasi lingkungan yang dapat mengembangkan kemampuan anak. Bermain bagi anak berfungsi untuk meningkatkan perkembangan sensorimotorik, intelektual, sosialisasi, kreativitas, kesadaran diri dan nilai moral.

Kemoterapi sangat berperan karena berhasil meningkatkan angka kesembuhan anak dengan penyakit kanker. Efek samping umum kemoterapi adalah anemia, pucat, kelelahan, sesak napas, pendarahan, memar, meningkatkan risiko infeksi, mual, muntah dan sindrom lisis. Faktor yang menentukan pengobatan mencakup usia, jenis kelamin, dan jumlah sel darah putih. Pada beberapa penyakit diharapkan dapat memusnahkan tumor secara menyeluruh dan secara perlahan meningkatkan derajat pengobatan untuk keganasan hematologi (Hoffbrand & Moss, 2011).

(52)

37 fisiknya sehingga hal ini dapat memengaruhi perkembangan interaksi sosial dan kemandirian anak (James & Ashwill, 2007). Perubahan emosi, mulai dari perasaan baik, euforia sampai depresi dan iritabilitas juga sering terjadi pada anak setelah pemberian

terapi steroid (Hockenberry & Wilson, 2009).

Berdasar pada penjelasan mengenai efek samping terapi pengobatan leukemia limfoblastik akut, maka beberapa efek samping terapi pengobatan leukemia limfoblastik

akut yaitu menurunnya nafsu makan, mual, muntah, myalgia, nyeri tulang dan sendi, kemampuan fisik lebih rendah dari anak normal, pucat, kelelahan, sesak napas, moon face dan juga alopesia.

B. Perspektif Teoretis

Perspektif teoretis dalam penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi anak yang menderita leukemia limfoblastik akut (LLA), yang sedang menjalani terapi pengobatan. Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah suatu penyakit yang berakibat fatal, yaitu sel-sel

yang dalam keadaan normal berkembang menjadi limfosit berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang (Supandiman, 1997). Terapi pengobatan pada LLA dilakukan dalam jangka waktu yang lama, yaitu sekitar dua sampai tiga tahun (Jones dalam Faozi, 2010). Selain itu, pengobatan anak dengan LLA dilakukan dengan berbagai prosedur terapi, seperti terapi pendukung umum dan terapi khusus dimana terdiri dari empat tahap terapi pengobatan (Hoffbrand & Moss, 2011). Pengobatan LLA pada anak menimbulkan berbagai efek samping yang dapat memengaruhi pertumbuhan

dan perkembangan anak (Mia, Ugrasena, & Permono, 2006).

(53)

38 memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan tugas perkembangan, baik dalam ranah perkembangan fisik, kognitif, maupun psikososialnya (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Kondisi anak dengan LLA baik yang dimunculkan oleh gejala klinis maupun prosedur terapi dengan efek sampingnya, dapat memunculkan tekanan pada aspek fisiologis maupun aspek psikologis anak. Seperti misalnya anak mengalami lemah, pegal, pusing, sakit, nafsu makan menurun, mual, muntah, tidak betah dengan kondisi lingkungan yang kurang menyenangkan, tidak ada kegiatan, menolak tindakan terapi, takut akan kelumpuhan, sedih karena ingin sekolah, merasa khawatir, aktivitas yang dibatasi, dan juga kondisi tidak diperbolehkan bermain. Kondisi ini mendorong anak untuk mampu melewati tekanan yaitu dengan melakukan strategi coping. Friedman (1998) mengatakan bahwa strategi coping merupakan perilaku atau proses untuk adaptasi dalam menghadapi tekanan atau ancaman.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Gamayanti (2006), dikatakan bahwa anak yang memiliki coping yang baik akan meningkatkan kelancaran proses terapi serta memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak setelah sembuh. Didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Widianti, Suryani, dan Puspasari (2010), strategi coping positif yang dilakukan oleh anak penderita kanker akan memberikan dampak positif bagi anak seperti anak lebih mampu bekerjasama selama menjalani terapi pengobatan, sehingga strategi coping positif penting untuk dipertahankan oleh anak. Sedangkan sebaliknya strategi coping negatif memberikan dampak negatif bagi anak seperti anak cenderung menolak mengonsumsi obat, sehingga strategi coping negatif penting untuk dihilangkan ataupun digantikan dengan strategi coping positif.

(54)

39 restraint coping), assistance seeking, accepting responsibility, avoidance, self-control, positive

reappraisal (termasuk didalamnya reinterpretation, seeking meaning, distancing), humor, emotional approach (termasuk didalamnya confrontive assertion, discharge, venting, worry, instrusive thoughts), behavioral disengagement, increased activity (termasuk didalamnya physical exercise), direct action, self critism, logical analysis, wishful thinking, hiding

feelings, religion, denial, resigned acceptance, substance use, distraction, suppression of

competing, dan mental disengagement.

(55)

40

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian

C. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah bagaimana gambaran strategi coping yang mampu dilakukan anak dengan leukemia limfoblastik akut dalam menjalani terapi

pengobatan?

KETERANGAN :

: latar belakang yang menjadi fokus penelitian : latar belakang tetapi tidak menjadi fokus penelitian : pertanyaan penelitian

: menghasilkan : bagian

ANAK DENGAN LLA

STRATEGI COPING Situasi lingkungan pengobatan anak dan

kondisi anak selama menjalani terapi pengobatan LLA

Karakteristik: a. Mengalami

kelainan sumsum tulang belakang b. Mengalami

infiltrasi organ c. Mengalami

kerontokan rambut

d. Mempengaruhi kemampuan berprestasi

Terapi Pengobatan: a. Kompleks b. Dalam jangka

waktu minimal 2-3 tahun

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian
Gambar 2. Strategi Coping Subjek
Gambar 3. Pembahasan Strategi Coping Subjek
gambar yang dipilihnya.
+7

Referensi

Dokumen terkait