KAJIAN KEDUDUKAN DAN NILAI PEMBUKTIAN
SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI KASUS NO.REG.PERK : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010
BERKAIT KORUPSI DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH
SURAKARTA)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan Untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh
SEPTIAN TRI YUWONO
E 1106047
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Septian Tri Yuwono
NIM : E1106047
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
KAJIAN KEDUDUKAN DAN NILAI PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA
SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA
KORUPSI (STUDI KASUS NO.REG.PERK : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010
BERKAIT KORUPSI DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA)
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan
hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan
gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 4 Juni 2011
yang membuat pernyataan
Septian Tri Yuwono
commit to user
v
ABSTRAK
SEPTIAN TRI YUWONO, E 1106047, KAJIAN KEDUDUKAN DAN NILAI
PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS
NO.REG.PERK : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 BERKAIT KORUPSI DI
RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA), FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET.
Penulisan penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum
menurut jaksa penuntut umum digunakannya saksi mahkota serta kedudukan dan
nilai pembuktian saksi mahkota dalam pandangan hakim sebagai alat bukti dalam
kasus perkara No. Reg. Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010. Pengertian saksi
mahkota dalam putusan Mahkamah Agung RI No.1986 K/Pid/1989 adalah teman
terdakwa yang dilakukan secara bersama-sama yang diajukan sebagai saksi untuk
membuktikan dakwaan penuntut umum dalam hal ini perkaranya dipisah
dikarenakan kurangnya alat bukti. Tetapi dalam perkembangannya di dalam
Putusan Mahkamah Agung RI No. 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan
Mahkamah Agung RI No. 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Putusan
Mahkamah Agung RI No. 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 tidak
membenarkan adanya penggunaan saksi mahkota. Menurut putusan ini saksi
mahkota juga pelaku yang diajukan sebagai terdakwa dalam dakwaan yang
terpisah sehingga hal ini dianggap sebagai pelanggaran hak asasi terdakwa. Pada
kenyataannya dalam praktek peradilan di Indonesia masih sering digunakannya
saksi mahkota dalam mengatasi masalah kurangnya alat bukti saksi.
P e n u lisa n H u k u m in i te rm a su k d a la m je n is p e n e litia n h u k u m e m p iris
a ta u non doctrinal y a itu p e n e litia n y a n g d ila k u k a n se c a ra la n g su n g d e n g a n
m e m b a n d in g k a n h u k u m d a la m h a l te o ritis d e n g a n m e n g a m a ti p e rila k u y a n g
te rja d i d id a la m m a sy a ra k a t. Penulisan hukum ini bersifat deskriptif dengan
pendekatan kualitatif.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu bahwa selain dari Putusan
commit to user
vi
penggunaan saksi mahkota dalam perkara No.Reg.Perk :
PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta
dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu terdapat kekurangan alat
bukti, dalam perkara delik penyertaan(Deelneming),diperiksa dengan mekanisme
pemisahan (Splitsing). S aksi mahkota dalam kasus ini berkedudukan murni
sebagai saksi karena memenuhi syarat sebagai saksi sesuai Pasal 1 angka 26
KUHAP maka sah untuk dapat diperiksa sebagai saksi, sehingga majelis hakim
akan menerima dan mengakui kesaksian dari saksi mahkota ini dan akan digunakan
sebagai pertimbangkan dalam menyusun putusan.
commit to user
vii
ABSTRACT
SEPTIAN TRI YUWONO, E 1106047, A STUDY ON POSITION AND
AUTHENTICATION VALUE OF CROWN WITNESS AS THE
EVIDENCE IN AUTHENTICATING THE CORRUPTION CRIME (A
CASE STUDY NO. REG.PERK: PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010
CONCERNING THE CORRUPTION IN SURAKARTA LOCAL MENTAL
HOSPITAL), LAW FACULTY OF SEBELAS MARET UNIVERSITY.
Legal writing research aims to know the legal basic used by the public
prosecutor and and the status of crown witness and evidentiary value in view of
the judge as evidence in case No. Reg. Perk: PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010. The
definition of crown witness is the verdict of RI’s Supreme Court No. 1986
K/Pid/1989 is the defendant’s friend simultaneously proposed as the witness to
authenticate the public prosecutor’s indictment in this case the case is separated
because of inadequate evidence. However, in its development in the verdict of
RI’s Supreme Court No. 1174/K/Pid/1994 on May 3, 1995, the verdict of RI’s
Supreme Court No. 1590/K/Pid/1995 on May 3, 1995 and the verdict of RI’s
Supreme Court No. 1174/K/Pid/1994 on May 3, 1995 do not justify the existence
of main witness use. According to this decision, the crown witness and the doer
are proposed as the defendant in the separate indictment, so that it can be
considered as the violation of the defendant’s basic right. In fact, in Indonesian
judicature practice, the crown witness is still used frequently in copying with the
problem of witness evidence inadequacy.
Legal writing is included in this type of empirical legal research or non
doctrinal research is conducted directly by comparing the theoretical with
the law in terms of observing the behavior that occurs in society. This writing is
descriptive in nature using qualitative approach.
The result obtained from this research is that beside in the verdict of RI’s
Supreme Court there is no legal foundation concerning the crown witness and the
commit to user
viii
concerning the corruption in Surakarta Local Mental Hospital is justified based on
certain principles: There is evidence inadequacy, in the attending case indictment
(Deelneming), it is examined using separation mechanism (Splitsing).
Crown witness in this case positioning purely as a witness because the crown
witness meets the condition as the witness according to the Article 1 number 26 of
KUHAP, so that is legal to be examined as the witness, so that the chamber of
judge will accept and recognize the testimony from this crown witness and will be
used as the deliberation in making verdict.
commit to user
ix
MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (Q.S. Alam Nasyroh (94) : 6-7)
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib seseorang hambanya kecuali ia sendiri berusaha untuk mengubahnya (Q.S. Ar-Ra’d : 11)
Ketika ku mohon kepada Allah kekuatan
Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat
Ketika ku mohon kepada Allah kebijaksanaan
Allah memberiku masalah untuk kupecahkan
Ketika ku mohon kepada Allah kesejahteraan
Allah memberiku akal untuk berfikir
Ketika ku mohon kepada Allah keberanian
Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi
Ketika ku mohon kepada Allah sebuah cinta
Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk ku tolong
Ketika ku mohon kepada Allah bantuan
Allah memberiku kesempatan
Aku tidak selalu menerima apa yang kupinta
Tapi…
Aku menerima segala yang aku butuhkan
Doaku terjawab sudah
commit to user
x
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan dan kebanggaan hati, Penulis
mempersembahkan skripsi ini kepada :
1.Allah SWT.
2. Kedua orang tuaku Bapak Joko Sutono dan
Ibu Sri Sukarti
3. Kakakku Aris Nugroho, Hesti Budhi Safitri
dan Didik Ismu Praptono
4. Keponakanku Zaidan dan Safira
6. Keluarga besar Sastrodijojo dan Hadi
Sunarto
commit to user
xi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji syukur dan sembah sujud penulis panjatkan atas kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah-Nya, serta shalawat serta
salam kepada Nabi junjungan Muhammad S.A.W, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum dengan judul KAJIAN KEDUDUKAN DAN
NILAI PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI
DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS
NO.REG.PERK : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 BERKAIT KORUPSI DI
RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA)
Penyusunan penulisan hukum ini mempunyai tujuan yang utama untuk
melengkapi salah satu syarat dalam mencapai derajat sarjana (S1) dalam bidang
ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penyusunan penulisan hukum ini penulis banyak memperoleh
bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan
ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi M. S., selaku Rektor Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
2. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan
kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan menyelesaikan penulisan
hukum ini.
3. Wasis Sugandha, S.H., M.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang
telah memberikan bimbingan bagi tersusunnya penulisan hukum ini dan
bimbingan-bimbingan yang berkenaan dengan perkuliahan.
4. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum., selaku pembimbing 1 dan Bapak
Muhammad Rustamaji, S.H., M.H., selaku pembimbing 2 penulisan hukum
yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan dan arahan bagi tersusunnya penulisan hukum ini.
commit to user
xii
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ilmu dan membimbing penulis sehingga dapat
menjadi bekal bagi penulis dalam penulisan hukum ini.
7. Bapak dan Ibu staf karyawan kampus Fakultas Hukum UNS yang telah
membantu dan berperan dalam kelancaran kegiatan proses belajar mengajar
dan segala kegiatan mahasiswa di Fakultas Hukum UNS.
8. Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Bapak Johny Aswar S.H., dan Jaksa
Kejaksaan Surakarta Bapak M. Arief K. S.H., Bapak Syafruddin S.H., dan
Bapak Johar Arifin S.H., yang telah meluangkan waktu sebagai narasumber
dalam penelitian hukum ini.
9. Bapak Joko Sutono dan Ibu Sri Sukarti selaku kedua orang tua penulis yang
selalu memberikan cinta dan kasih, dorongan bantuaan serta doa yang tiada
henti kepada penulis.
10. Kakak-kakakku Aris Nugroho, Hesti Budhi Safitri dan Didik Ismu Praptono
sebagai suri tauladan dan panutanku.
11. Keponakanku Zaidan dan Safira yang membuatku merasa sudah tua.
12. Keluarga besar Sastrodijojo dan Hadi Sumarto, penulis bangga menjadi
bagian dari kalian.
13. Sahabat, teman seperjuangan di Fakultas Hukum Agus Klaten, Agus
Wonogiri, Budhi Anduk, Deni, Ditya Unyil, Adit, Adjeng, Novia, Demmy,
Beta, Agus Hao-hao, Gilang, adik-adik tingkat yang tidak dapat di sebutkan
satu-persatu penulis dan semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu terima kasih atas persahabatan dan persaudaraan yang terlahir dari
satu tujuan untuk menyambut kehidupan dan masa depan yang cerah, semoga
jalinan persahabatan kita abadi selamanya.
14. Teman-teman angkatan 2006 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas
segala pengalaman dan motivasinya.
15. Teman-teman magang di Kantor Kejaksaan Surakarta Anton, Eko, Umar,
commit to user
xiii
sewaktu magang dan sehingga penulis dapat menemukan judul penulisan
hukum ini.
16. Teman-teman wisma Aryo, Eko, Tembe, Lutfy, Slamet, Tepe, Titus, Tunang,
Ryan, Farel, Endot, Bayu, terima kasih atas kebersamaan yang terjalin selama
ini.
17. Teman-teman Karang Taruna Muda Siaga Dk Yagan terima kasih atas
dukungan dan kebersamaan dalam bersosialisasi di masyarakat.
18. Teman-Teman Ndeso Mandra, Kebow, Fajar, Suneo, Bontot, Cepot, Garong,
Sindhu, Antok dan teman-teman bolaku serta teman-teman lain yang tidak
bisa disebut satu-persatu terima kasih dukungan dan kebersamaannya.
19. Teman-teman satu kawasan yang kuliah di Universitas Sebelas Maret Sigit,
Seto, Awang, Lilik ternyata aku dapat menyelesaikan masalah kalian lulus
sebagai sarjana.
20. Pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih
atas segala bantuan dan dukungannya sehingga penulisan hukum ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan hukum ini masih
jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya karena keterbatasan dan
kemampuan penulis. Namun demikian, penulis berharap agar karya ini dapat
memberikan manfaat bagi semuanya. Sehingga segala kritik dan saran yang
bersifat membangun merupakan hal yang sangat penulis harapkan.
Surakarta, 4 Juni 2011
Penulis
commit to user
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT... vi
MOTTO ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….. 1
B. Perumusan Masalah .……… 5
C. Tujuan Penelitian...……….. 6
D. Manfaat Penelitian ………. 7
E. Metode Penelitian ..…………..……… 7
F. Sistematika Penulisan ………... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori………. 14
1. Tinjauan Tentang Pembuktian dan Alat Bukti a). Pengertian Pembuktian……… .. 14
b). Sistem Pembuktian………. 15
commit to user
xv
d). Asas-asas Pembuktian……… 19
e). Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian………. 20
2. Tinjauan Tentang Tindak Pidan Korupsi………. 31
3. Tinjauan Tentang Saksi Mahkota……… 33
B. Kerangka Pemikiran ……….. 37
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian………. 39
B. Pembahasan………... 58
1. Dasar hukum digunakannya saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta………. 58
2. Kedudukan dan nilai pembuktian saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta………. 63
BAB IV PENUTUP A. Simpulan ……… 68
B. Saran ………... 69
DAFTAR PUSTAKA……….
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu faktor penghambat pembangunan Nasional adalah tindak
pidana korupsi. Mengingat secara kasat mata tindak pidana korupsi di
Indonesia telah tumbuh dan berkembang dengan leluasa di dalam kehidupan
masyarakat. Perkembangannya itu dari tahun ke tahun terus meningkat, baik
dari segi kualitas kasus yang terjadi dan kuantitas kerugian keuangan negara
maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan pelaku cenderung
semakin sistematis serta luas lingkupnya yang merasuk ke dalam setiap lini
kehidupan masyarakat.
Tindak pidana korupsi yang tidak terkendali kemungkinan besar
akan membawa bencana. Disamping itu, tindak pidana korupsi yang meluas
dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh sebab itu, tindak pidana korupsi tidak
dapat lagi dikategorikan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi
suatu kejahatan yang luar biasa maka dalam upaya pemberantasannya tidak
lagi dapat dilakukan secara biasa, melainkan harus dituntut dengan cara-cara
luar biasa pula, termasuk putusan pengadilan yang harus setimpal agar
mempunyai efek jera, sehingga akan terlihat efektifitas hukum dan
undang-undang yang ada relevansinya dengan tindak pidana korupsi tersebut.
Penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana harus benar-benar
diprioritaskan. Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar
dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan
yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang
majemuk dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, d a n so sia l-b u d a y a yang
dilakukan oleh orang-orang b e rd a si y a n g m e m ilik i in te le k tu a lita s tin g g i
(white collar crime). B e rb a g a i u p a y a p e m b e ra n ta sa n se ja k d u lu te rn y a ta
tid a k m a m p u m e n g ik is h a b is k e ja h a ta n k o ru p si. H a l in i m e n u ru t B in to ro
Sulitnya menemukan bukti, 3 ) A d a n y a k e k u a ta n y a n g ju stru m e n g h a la n g i
p e m b e rsih a n itu (B in to ro T jo k ro a m id jo jo d a la m N in ik M a riy a n ti,1986 :
200).
Masalah p e m b u k tia n d a la m tin d a k p id a n a k o ru p si m e ru p a k a n
m a sa la h y a n g ru m it, k a re n a p e la k u tin d a k p id a n a k o ru p si m e la k u k a n
k e ja h a ta n n y a d e n g a n ra p i d a n sa n g a t m e n ja g a k e ra h a sia n n y a . S u litn y a
p e m b u k tia n d a la m p e rk a ra k o ru p si in i m e ru p a k a n ta n ta n g a n b a g i p a ra
a p a ra t penegak hukum dalam mencari dan memperoleh atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran materiil sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Bagian Penjelasan Umum disebutkan bahwa pembuktian terbalik bersifat
terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang
diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan jaksa
penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya sesuai asas
yang ditegaskan dalam Pasal 189 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) : “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain”. Asas ini
merupakan penegasan dari prinsip batas minimum pembuktian yang diatur
dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Asas pembuktian dalam Pasal 183 ini menentukan bahwa untuk
menjatuhkan hukuman pidana terhadap seorang terdakwa, kesalahannya
harus dapat dibuktikan “sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang
alat-alat bukti yang diatur secara ekplisit dalam undang-undang, maka alat
bukti inilah yang dipakai dan sebagai landasan hakim untuk memutus
terbukti atau tidaknya perkara yang di adili.
Dalam hal jaksa penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan
dakwaannya maka penyusunan teknik pembuktian oleh jaksa penuntut
umum sangatlah penting. Tindak pidana korupsi yang terjadi di Rumah
Sakit Jiwa Daerah Surakarta dengan terdakwa Drs. Ambar Kuato selaku
ketua tim Pemeriksa Verifikasi Dana Askeskin Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta berdasarkan Surat Tugas Inspektur Jenderal Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 01T.PS.02.00.214.06.117 tanggal
02 Januari 2006 bersama-sama dengan Adi Buntaran, SH dan Naman, SH
yang keduanya sebagai anggota tim Pemeriksa Verifikasi Dana Askeskin
Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta (yang dilakukan penuntutan secara
terpisah) dan juga bersama dengan dr. Siti Nuraini Arief, .SpKj binti
Munadji, dr. Dwi Priyo Hartono, SpKj, dr. Rukma Astuti dan dr. Hendrina
A.K, SpKj (yang perkaranya sudah disidangkan) sangat sulit dalam
pembuktiannya sehubungan dengan kurangnya alat bukti saksi, maka
jaksa penuntut umum menggunakan kewenangannya untuk melakukan
pemisahan berkas perkara (splitsing) berdasarkan Pasal 142 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sejak proses di tingkat penyidikan
guna menguatkan pembuktian jaksa penuntut umum di muka persidangan.
Splitsingpada umumnya dikualifikasi dari kualitas pelaku yaitu rekanan dan
pejabat negara. Pemisahan itu dikarenakan melibatkan beberapa orang
tersangka, peran masing-masing terdakwa berbeda (tindak pidana
penyertaan), serta bisa juga dilihat dari locusnya.
Dengan dilakukannya pemisahan berkas perkara oleh jaksa penuntut
umum dalam upaya menghindari kekurangan alat bukti saksi, dalam praktek
peradilan di Indonesia jaksa penuntut umum ada yang menghadirkan
terdakwa sebagai saksi. Terdakwa harus saling bersaksi dalam perkara
masing-masing baik sebagai saksi maupun terdakwa hal inilah yang sering
pidana yang merupakan delik penyertaan. Hal ini berdasarkan pada Pasal
168 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
prinsipnya menjelaskan bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa
tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai
saksi. Tinjauan pemahaman tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam
perkara pidana diatur dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1986
K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990. Pengertian saksi mahkota dalam
putusan Mahkamah Agung RI No.1986 K/Pid/1989 adalah teman terdakwa
yang dilakukan secara bersama-sama yang diajukan sebagai saksi untuk
membuktikan dakwaan penuntut umum dalam hal ini perkaranya dipisah
dikarenakan kurangnya alat bukti. Di dalam Putusan ini memang
membenarkan adanya pengajuan saksi mahkota yang mana keterangannya
dipergunakan sebagai alat bukti bersama dengan keterangan saksi yang lain.
Dalam Kitab Undang‐Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
definisi otentik mengengenai saksi mahkota belum diatur namun
berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota didefinisikan sebagai
saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa
lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan kepada saksi
tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi
yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan
penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang
sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan
atas kesalahan yang pernah dilakukan.
Tetapi dalam perkembangannya di Putusan Mahkamah Agung RI
No. 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI
No. 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Putusan Mahkamah Agung
RI No. 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 tidak membenarkan adanya
penggunaan saksi mahkota. Menurut putusan ini saksi mahkota juga pelaku
yang diajukan sebagai terdakwa dalam dakwaan yang sama oleh terdakwa
yang diberikan kesaksian. Sebagaimana ketentuan untuk menjadi seorang
apabila diketahui bahwa keterangannya adalah palsu, maka ia dapat
dikenakan dengan pidana atas kesaksiannya tersebut.
Pada kenyataannya dalam praktek peradilan di Indonesia masih
berlangsung dan masih sering digunakannya saksi mahkota dan tidak dapat
di pungkiri lagi penggunaan saksi mahkota dapat mengatasi masalah
kurangnya alat bukti saksi dalam kasus tindak pidana umum maupun tindak
pidana korupsi. Dalam menetapkan putusan, hakim berhak untuk
mempertimbangkan atau tidak mengenai keterangan yang diberikan oleh
saksi mahkota.
Berdasarkan pada pemikiran di atas, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian yang membahas permasalahan tentang penggunaan
saksi mahkota sebagai alat bukti dalam tindak pidana korupsi. Hal tersebut
penulis sajikan dalam bentuk penelitian penulisan hukum yang berjudul
”KAJIAN KEDUDUKAN DAN NILAI PEMBUKTIAN SAKSI
MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN
TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS NO.REG.PERK :
PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 BERKAIT KORUPSI DI RUMAH SAKIT
JIWA DAERAHSURAKARTA)”
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan hal yang penting dalam suatu
penelitian karena dengan adanya perumusan masalah berarti seorang
peneliti telah mampu mengidentifikasikan persoalan yang diteliti sehingga
sasaran yang hendak dicapai akan menjadi jelas, terarah, dan mencapai
sasaran yang diharapkan sebagai sebuah konsepsi permasalahan yang akan
dicari jawabannya.
Berdasarkan pada hal tersebut, maka penulis merumuskan
permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Apakah yang menjadi dasar hukum menurut jaksa penuntut umum
digunakannya saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara
No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah
2. Bagaimana kedudukan dan nilai pembuktian saksi mahkota dalam
pandangan hakim sebagai alat bukti dalam perkara No.Reg.Perk :
PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah, dimana berbagai data dan
informasi dikumpulkan, dirangkai dan dianalisis yang bertujuan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan juga dalam rangka pemecahan
masalah-masalah yang dihadapi (Soerjono Soekanto, 2006 : 3). Suatu
penelitian dilakukan uktuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Adapun tujuan
dari penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui dasar hukum menurut jaksa penuntut umum
digunakannya saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara
No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.
b. Untuk mengetahui kedudukan dan nilai pembuktian saksi mahkota
dalam pandangan hakim sebagai alat bukti dalam perkara
No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang
hukum serta pemahaman aspek yuridis pada teoritik dan praktik dalam
lapangan hukum khususnya terhadap penerapan saksi mahkota dalam
pembuktian perkara tindak pidana korupsi.
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar
kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh
agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberi masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya, dalam ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum
pidana yang berkaitan dengan pembuktian.
b . H a sil p e n e litia n in i d a p at m e n a m b a h lite ra tu r, refe re n si d a n b a h a n
-bahan informasi ilmiah serta pengetahuan bidang hukum yang telah
ada sebelumnya, khususnya untuk memberikan suatu deskripsi yang
je la s m e n ge n a i p e n g g u n a a n sa k si m a h k o ta se b a ga i a la t b u k ti.
2. Manfaat Praktis
a. M e m b e rik a n ja w a b a n a ta s p e rm a sa la h a n y a n g d ite liti p e n u lis y a itu
bagaimana penggunaan saksi mahkota dalam proses pembuktian perkara
tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Surakarta serta bagaimana
kedudukan dan nilai pembuktiannya sebagai alat bukti.
b. D e n g a n p e n u lisa n sk rip si in i d ih a ra p k a n d a p a t m e n in g k a tk a n
d a n m e n g e m b a n g k a n k e m a m p u a n p e n u lis d a la m b id a n g h u k u m
se b a g a i bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya
c. H a sil p e n e litia n in i d ih a ra p k a n d a p a t m e m b a n tu p ih a k -p ih a k
y a n g terkait dengan masalah yang diteliti.
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan denga
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka teori tertentu
(Soerjono Soekanto, 2006 : 42).
Metode penelitian dapat dirumuskan dengan
kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 2006 : 5)
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang dikemukakan diatas,
maka dalam penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris atau
non doctrinal yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung dengan
membandingkan hukum dalam hal teoritis dengan mengamati perilaku
yang terjadi di masyarakat ( Soerjono Soekanto, 2006 : 52). Dalam
penelitian ini penulis melakukan penelitian pada data primer di lapangan
yaitu di Kejaksaan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Surakarta.
2. Sifat Penelitian
Dilihat dari sifatnya, bentuk penelitian yang dilakukan oleh
penulis termasuk penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu
penelitian yang dimaksudkan untuk memberi data seteliti mungkin
tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya dengan cara
mengumpulkan data, menyususan, mengklasifikasi, menganalisis, dan
menginterpretasikannya (Soerjono Soekanto, 2006 : 10). Dalam
penelitian ini gejala yang diklarifikasi adalah penggunaan saksi mahkota.
3. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif, yaitu merupakan tata cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden
atau narasumber secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.
4. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memilih dua lokasi penelitian untuk
menjawab kedua rumusan masalahnya. Untuk menjawab rumusan
masalah pertama lokasi penelitian berada di Kejaksaan Negeri Surakarta,
dan untuk menjawab rumusan masalah kedua lokasi penelitian berada di
Pengadilan Negeri Surakarta.
5. Jenis Data
Jenis data yang akan dikumpulkan bisa dinyatakan secara jelas
arah pemilihan yang tepat mengenai sumber datanya. Penjelasan jenis
data ini akan menunjukkan tingkat pemahaman peneliti mengenai apa
yang diperlukan untuk digali dan dianalisis untuk menemukan
kesimpulan yang tepat (H.B Sutopo, 2002 : 180).
a. Data Primer
Data primer adalah data yang langsung dan segera diperoleh
dari sumber data untuk tujuan penelitian dan mendapat hasil yang
sebenarnya pada objek yang diteliti yaitu dari hasil wawancara.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data atau fakta yang digunakan oleh
seseorang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahan-bahan,
dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan, laporan,
teori-teori, bahan-bahan kepustakaan, dan sumber-sumber tertulis lainnya
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
6. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara
langsung dari sumber pertama yaitu perilaku warga masyarakat
melalui penelitian (Soerjono Soekanto, 2006 : 12). Dalam penelitian
ini data langsung diperoleh melalui wawancara dengan Jaksa
Penuntut Umum dan Hakim yang terlibat langsung dalam
penanganan kasus perkara No.Reg.Perk :
PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Surakarta.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh tidak
secara langsung dari masyarakat melainkan dari bahan dokumen,
peraturan perundang-undangan, laporan, arsip, literatur, dan hasil
Soekanto, 2006 : 12). Sumber data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1) Sumber Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu semua bahan atau materi
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, misalnya peraturan
perundang-undangan.
2) Sumber Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang berisi
penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terdiri dari
hasil-hasil penelitian sebelumnya, makalah, artikel, buku, dan
lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
3) Sumber Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus, ensiklopedi,
dan lain-lain.
7. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini,
maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah:
a. Wawancara mendalam
Wawancara yang dilakukan dengan cara terbuka, tidak
berstruktur ketat, tidak dalam suasana formal, dan dapat dilakukan
berulang pada informan yang sama, teknik ini akan dilakukan pada
semua informan. Informan dalam penelitian hukum ini adalah:
1) Jaksa Penuntut Umum di lingkup Kejaksaan Negeri Surakarta
yang menangani kasus perkara No.Reg.Perk :
PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Surakarta.
2) Hakim di lingkup Pengadilan Surakarta yang mengadili kasus
perkara No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait
b. Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan
data dengan mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, agenda, dan
sebagainya.
c. Penelitian Kepustakaan
Merupakan teknik pengumpulan data dengan mempelajari
buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, hasil penelitian
terdahulu dan dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
8. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian penting agar data-data yang
sudah terkumpul dapat dianalisis, sehingga dapat menghasilkan jawaban
untuk memecahkan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis kualitatif dengan
interaktif model yaitu komponen reduksi data dan penyajian data
dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian setelah data
terkumpul maka tiga komponen tersebut berinteraksi dan bila kesimpulan
dirasakan kurang maka perlu ada verifikasi dan penelitian kembali
mengumpulkan data lapangan (H.B. Sutopo, 2002 : 8). Menurut H.B.
Sutopo, ketiga komponen tersebut adalah :
a. Reduksi Data
Merupakan bagian dari proses analisis yang mempertegas,
memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak
penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan
penelitian dapat dilakukan.
b. Penyajian Data
Merupakan suatu realita organisasi informasi yang
memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan, sajian data
dapat meliputi berbagai jenis matrik, gambar atau skema, jaringan
c. Kesimpulan atau verifikasi
Dalam pengumpulan data peneliti harus sudah memahami arti
berbagai hal yang ditemui, dengan melakukan pencatatan
peraturan-peraturan, pola-pola, pertanyaan, konfigurasi-konfigurasi yang
mungkin, arahan sebab akibat dan berbagai preposisi kesimpulan
yang diverifikasi
Adapun skema teknik analisis kualitatif dengan interaktif model
adalah sebagai berikut :
Gambar 1 : Skema Analisis Interaktif
Ketiga komponen tersebut (proses analisis interaktif) dimulai pada
waktu pengumpulan data penelitian, peneliti membuat reduksi data dan sajian
data. Setelah pengumpulan data selesai, tahap selanjutnya peneliti mulai
melakukan usaha menarik kesimpulan dengan memverifikasikan berdasarkan
apa yang terdapat dalam sajian data. Aktivitas yang dilakukan dengan siklus
antara komponen-komponen tersebut akan didapat data yang benar-benar
mewakili dan sesuai dengan masalah yang diteliti.
F. Sistem Penulisan Hukum
Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka
penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika
penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam
sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap
keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah PengumpulanData
PenarikanKesimpulan
sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian
dan sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang pengertian
pembuktian, sistem pembuktian, prinsip pembuktian, asas-asas
pembuktian dan alat bukti beserta kekuatan pembuktian yang sah
menurut KUHAP, tinjauan umum tentang tindak pidana korupsi dan
tinjauan umum tentang saksi mahkota.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan
yang telah ditentukan sebelumnya : Pertama, dasar hukum menurut
jaksa penuntut umum digunakannya saksi mahkota sebagai alat bukti
dalam perkara No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010 berkait
korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Kedua, kedudukan
dan nilai pembuktian saksi mahkota dalam pandangan hakim sebagai
alat bukti dalam perkara No.Reg.Perk : PDS-01/SKRTA/Ft.1/03/2010
berkait korupsi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi
obyek penelitian dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Pembuktian dan Alat Bukti
a. Pengertian Pembuktian
K ita b U n d a n g -U n d a n g H u k u m A c a ra P id a n a (K U H A P )
m e m b e rik a n ru a n g b a g i p e m b u k tia n , te ta p i tid a k m e m b e rik a n
d e fin isi y a n g se c a ra k h u su s m e n g e n a i p e m b u k tia n . S e h in g g a
m u n c u l b e b e ra p a d e fin isi d a ri b e b e ra p a a h li y a n g mencoba
memberikan definisi mengenai pembuktian, diantaranya :
P e m b u k tia n se c a ra e tim o lo g i b e ra sa l d a ri b u k ti y a n g b e ra rti
se su a tu y a n g m e n y a ta k a n k e b e n a ra n su a tu p e ristiw a , K a ta b u k ti
jik a m e n d a p a t a w a la n p e - d a n a k h ira n -a n m a k a b e ra rti p ro se s,
p e rb u a ta n , d a ri m e m b u k tik a n , se c a ra te rm in o lo g i p e m b u k tia n
b e ra rti u sa h a u n tu k m e n u n ju k k a n b e n a r a ta u sa la h n y a si te rd a k w a
d a la m sid a n g d i p e n g a d ila n (A n sh o ru d d in 2 0 0 4 : 2 5 ).
P e m b u k tia n a d a la h k e te n tu a n -k e te n tu a n y a n g b e risi
p e n g g a risa n d a n p e d o m a n te n ta n g c a ra -c a ra ya n g d ib e n a rk a n
u n d a n g -u n d a n g m e m b u k tik a n k e sa la h a n y a n g d id a k w a k a n k e p a d a
te rd a k w a . P e m b u k tia n ju g a m e ru p a k a n k e te n tu a n y a n g m e n g a tu r
a la t-a la t b u k ti y a n g d ib e n a rk a n o le h u n d a n g -u n d a n g d a n b o le h
d ip e rg u n a k a n h a k im m e m b u k tik a n k e sa la h a n y a n g d id a k w a k a n
(M .Y a h y a H a ra h a p , 2 0 0 6 : 2 7 3 ).
H u k u m p e m b u k tia n itu se b e n a rn y a m e ru p a k a n su a tu b a g ia n
d a rip a d a h u k u m a c a ra , k a re n a ia m e m b e rik a n a tu ra n -a tu ra n te n ta n g
b a g a im a n a b e rla n g su n g n y a su a tu p e rk a ra d im u k a h a k im (Law of
Procedure)(R . S u b e k ti, 2 0 0 7 : 2 ).
H u k u m p e m b u k tia n a d a la h k e se lu ru h a n a tu ra n h u k u m a ta u
p e ra tu ra n u n d a n g -u n d a n g m e n g e n a i k e g ia ta n u n tu k re k o n stru k si
re le v a n d e n g a n p e rsa n g k a a n te rh a d a p o ra n g y a n g d id u g a
m e la k u k a n p e rb u a ta n p id a n a d a n p e n g e sa h a n se tia p sa ra n a b u k ti
m e n u ru t k e te n tu a n h u k u m y a n g b e rla k u u n tu k k e p e n tin g a n
p e ra d ila n d a la m p e rk a ra p id a n a (B a m b a n g P o e rn o m o , 1 9 8 8 : 3 8 ).
b. Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana
meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang
diperiksa, hasil, kekuatan dan nilai pembuktian yang bagaimana
yang dapat dianggap cukup memadai membuktikan kesalahan
terdakwa. Ada beberapa macam sistem pembuktian yaitu :
1. Conviction-in Time (Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan
hakim saja)
H a k im d a la m m e n ja tu h k a n p u tu sa n tid a k te rik a t
d e n g a n a la t b u k ti y a n g a d a . T id a k m e n ja d i m a sa la h
k e y a k in a n h a k im te rse b u t d ip e ro le h d a ri m a n a . H a k im h a n y a
m e n g ik u ti h a ti n u ra n i saja dan semua tergantung kepada
kebijaksanaan hakim. Kesan hakim sangat subjektif untuk
menentukan seorang terdakwa bersalah atau tidak. Jadi putusan
hakim dimungkinkan .tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti
yang diatur oleh undang-undang. P a d a h a l h a k im se n d iri y a k in
h a n y a la h se o ra n g m a n u sia b ia sa , te n tu n y a d a p a t sa la h d a la m
m e n e n tu k a n k e y a k in a n te rse b u t. S e se o ra n g b isa d in y a ta k a n
b e rsa la h d e n g a n ta n p a b u k ti ya n g mendukungnya, dan dapat
pula seseorang dibebaskan dari dakwaan m e sk ip u n b u k ti-b u k ti
y a n g a d a m e n u n ju k k a n b a h w a te rd a k w a bersalah melakukan
tindak pidana. Sistem pembuktian conviction in time
dipergunakan dalam siste m p e ra d ila n ju ri (jury rechtspraak)
m isa ln y a d i In g g ris d a n Amerika Serikat.
2. Conviction Raisonnee (S iste m P e m b u k tia n b e rd a sa rk a n
M e n u ru t te o ri siste m p e m b u k tia n in i p e ra n a n
k e y a k in a n h a k im sa n g a t p e n tin g . N a m u n h a k im b a r u d a p a t
m e n g h u k u m seorang terdakwa apabila ia telah meyakini bahwa
perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya. Keyakinan
tersebut harus d ise rta i d e n g a n a la sa n -a la sa n y a n g b e rd a sa rk a n
a ta s su a tu rangkaian pemikiran (logika). Hakim wajib
menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari
keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Alasan tersebut harus
benar-benar dapat diterima oleh akal.
Sistem pembuktian ini mengakui adanya alat bukti tertentu
tetapi tidak ditetapkan oleh undang-undang. Banyaknya alat bukti
y a n g d ig u n a k a n u n tu k m e n e n tu k a n b e rsa la h a ta u tid a k n y a
te rd a k w a m e ru p a k a n w e w e n a n g h a k im se p e n u h n y a . T e n tu sa ja
h a k im h a ru s b isa m e n je la sk a n a la sa n -a la sa n m e n g e n a i p u tu sa n
yang diambilnya.
3. Positif Wettelijke Bewijstheorie (S iste m p e m b u k tia n
b e rd a sa rk a n u n d a n g -u n d a n g se c a ra p o sitif)
Sistem ini merupakan kebalikan dari sistem Conviction
in Time (sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja)
k e y a k in a n h a k im d ik e sa m p in g k a n d a la m siste rn in i. M e n u ru t
siste m in i, u n d a n g -u n d a n g d ite ta p k a n se c a ra lim ita tive a la t-a la t
b u k ti m a n a y a n g b o le h d ip a k a i h a k im . C a ra -ca ra bagaimana
hakim menggunakan alat-alat bukti serta kekuatan p e m b u k tia n
d a ri a lat-a lat b u k ti se d e m ik ia n ru p a . Jik a a la t-a la t bukti tersebut
telah dipakai secara sah seperti yang ditetapkan oleh
undang-undang, maka hakim harus menetapkan keadaan sah terbukti.
Menurut D. Simons, sistem pembuktian menurut
undang-undang positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua
p e rtim b a n ga n su b je k tif h a k im d a n m e n g ik a t h u k u m se c a ra k e ta t
menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Hati
terdakwa. T e o ri in i u m u m n y a d ia n u t d i n e g a ra -n e g a ra E ro p a
p a d a w a k tu b e rla k u n y a a sa s in k u isito r d a la m a c a ra p id a n a .
H a k im d i sin i se o la h -o la h h a n y a b e rsik a p sebagai robot
pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati nurani.
Hakim hanya sebagai suatu alat pelengkap pengadilan saja
(Simons dalam Andi Hamzah, 2002 : 247).
4 . Negatief Wettelljke Stelsel (S iste m p e m b u k tia n m e n u ru t
u n d a n g -u n d a n g se c a ra n e g a tif)
S iste m p e m b u k tia n in i m e ru p a k a n p e n g g a b u n g a n a n ta ra
sistem pembuktian menurut undang undang secara positif dengan
sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka. Sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
suatu sistem keseimbangan antara sistem yang saling bertolak
belakang secara ekstrim (M. Yahya Harahap, 2006 : 278).
Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa
menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, dapat
dinyatakan terdapat dua komponen, yaitu :
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang.
2. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Sistem ini memadukan unsur “objektif” dan “subyektif”
dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang
dominan diantara kedua unsur tersebut jika salah satu diantara dua
unsur itu tidak ada tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan
terdakwa.
Sistem pembuktian negatif sangat mirip dengan sistem
pembuktian Conviction in time (sistem pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim saja) hakim dalam mengambil keputusan tentang
salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang
sendiri. Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa
ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang
diajukan di persidangan seperti yang ditentukan oleh undang-undang
belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah
telah melakukan tindak pidana yang didakwakan (Hari Sasangka dan
Lily Rosita, 2003 : 16).
Dalam perkembangannya selain sistem-sistem pembuktian di
atas, dalam teori modern dikenal juga sistem pembuktian terbalik
(omkeering van het bewujs theori),d im a n a te o ri in i m e m b e b a n k a n
p e m b u k tia n k e p a d a te rd a k w a . S iste m in i m u la i d ig u n a k a n d a la m
p e ru n d a n g -undangan, k h u su s d i In d o n e sia , a n ta ra la in U n d a n g
U n d a n g N o m o r 3 l Tahun 1 9 9 9 jo U n d a n g -U n d a n g N o m o r 2 0
T a h u n 2 0 0 1 te n ta n g p e m b e ra n ta sa n T in d a k P id a n a K o ru p si d a n
U n d a n g -U n d a n g N o m o r 1 5 T a h u n 2 0 0 2 jo Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003 te n ta n g T in d a k P id a n a P e n c u c ia n U a n g .
Dilihat dari penjelasan sistem-sistem pembuktian diatas maka
dapat diambil kesimpulan bahwa sistem yang dianut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah sistem Negatief
WettelljkeStelsel (S iste m p e m b u k tia n m e n u ru t u n d a n g -u n d a n g
se c a ra n e g a tif). D im a n a d ilih a t d a ri pasal yang berkaitan dengan
pembuktian yaitu Pasal 183 KUHAP yang berbunyi :”Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dimana dalam sistem
pembuktian ini, merupakan penggabungan antara sistemconvictionin
time(sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja) dengan
positief wettelijk stelsel(sistem pembuktian menurut undang-undang
c. Prinsip minimum pembuktian
Prinsip minimum pembuktian adalah suatu prinsip yang
harus dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti
membuktikan salah atau tidaknya terdakwa (M. Yahya Harahap,
2006 : 283). Artinya sampai “batas minimum” pembuktian mana
yang dapat dinilai cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam
menentukan minimum pembuktian tersebut tetap harus berpegang
pada Pasal 183 serta Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dari rumusan Pasal
183 serta Pasal 184 ayat (1) KUHAP maka prinsip minimum
pembuktian yang dianggap cukup memadai untuk menurut sistem
pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHP yaitu :
a. Sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah, atau paling
minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat
bukti yang sah.
b. Dengan demikian tidak dibenarkan dan dianggap tidak cukup
kesalahan terdakwa jika hanya dengan satu alat bukti saja. Pasal
183 tidak membenarkan pembuktian kesalahan terdakwa hanya
dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri.
d. Asas-Asas dalam Pembuktian
Pembuktian didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana dikenal adanya asas-asas sebagai pedoman yang harus
dipatuhi dalam pembuktian, yaitu diantaranya :
1. Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian, karena
pengakuan terdakwa tidak menghilangkan syarat minimum
pembuktian, jadi, meskipun terdakwa mengaku, penuntut umum
dan persidangan tetap wajib membuktikan kesalahan terdakwa
dengan alat bukti yang lain, karena yang dikejar adalah
kebenaran materiil (Pasal 189 ayat (4) KUHAP).
2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu
dibuktikan/notoire feiten(Pasal 184 ayat (2) KUHAP).
4. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri, sehingga hanya mengikat dirinya sendiri (Pasal 189 ayat
(3) KUHAP).
5. Satu saksi bukan saksi /unus testis nullus testis(Pasal 185 ayat
(2) KUHAP).
e. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian
Alat bukti memegang peranan penting dalam pembuktian, Bukti
dalam pengertian sehari-hari merupakan segala hal yang
dipergunakan untuk meyakinkan pihak lain dimana macamnya tidak
terbatas asalkan bukti tersebut bisa meyakinkan pihak lain tetang
pendapat, peristiwa dan keadaan. Alat bukti adalah segala sesuatu yang
ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat
bukti te rse b u t, d a p a t d ip e rg u n a k a n se b a g a i b a h a n p e m b u k tia n
g u n a m e n im b u lk a n k e y a k in a n h a k im a ta s k e b e n a ra n a d a n ya su a tu
tin d a k pidana yang telah dilakukan terdakwa (Hari Sasangka dan Lily
Rosita, 2003 : 11).
Macam-macam alat bukti yang sah dalam Hukum Acara
Pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) Pasal 184 urut-urutan alat bukti itu adalah :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa.
Jadi keterangan saksi disini adalah alat bukti yang utama
karena seseorang didalam melakukan kejahatan tentu akan berusaha
menghilangkan jejaknya, sehingga dalam perkara pidana, pembuktian
akan di titikberatkan pada keterangan saksi.
Perluasan pengertian alat bukti yang sah dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu alat bukti
yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal
188 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
khususnya untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
1. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu dan;
2. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang
dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang
memiliki makna.
Berikut adalah penjelasan alat bukti yang sah dalam Hukum
Acara Pidana yang dirumuskan dalam Pasal 184 KUHAP Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu :
a. Keterangan Saksi
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang
suatu perkara yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri (Pasal
1 angka 26 KUHAP). Sedangkan pengertian keterangan saksi
sebagai alat bukti adalah salah satu alat bukti yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka 27 KUHAP). Pada
umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang
paling utama dalam perkara pidana, dapat dikatakan tidak ada
perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan
Agar keterangan saksi mempunyai nilai dan kekuatan
pembuktian atau the degree of evidence maka harus memenuhi
beberapa pokok ketentuan, yaitu :
1) Harus mengucapkan sumpah atau janji
Dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP dikatakan bahwa
sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan
sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing,
bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya
dan tidak lain dari yang sebenarnya. Seorang saksi yang
menolak bersumpah atau berjanji tidak dianggap sebagai
alat bukti, melainkan hanya sebagai keterangan yang
menguatkan keyakinan hakim sesuai dengan ketentuan
Pasal 1 angka 27 KUHAP.
2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti
Berdasarkan Pasal 1 angka 27 KUHAP, keterangan
saksi dianggap bernilai sebagai alat bukti dalam perkara
pidana ialah keterangan saksi mengenai suatu peristiwa
pidana:
a. yang saksi lihat sendiri,
b. saksi dengan sendiri,
c. saksi alami sendiri dan;
d. menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
3) Keterangan saksi harus diberikan di persidangan
Saksi dapat dinilai sebagai alat bukti sesuai dengan
Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang berbunyi :”Keterangan
saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan”. Keterangan saksi yang dinyatakan
diluar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat
bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan
terdakwa atau penasehat hukum ada mendengar keterangan
seseorang yang berhubungan dengan peristiwa pidana yang
sedang diperiksa, Keterangan yang demikian tidak dapat
dinilai sebagai alat bukti karena itu tidak dinyatakan di
persidangan.
4) Keterangan satu saksi saja tidak dianggap tidak cukup
Hal ini terdapat dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP
yang berbunyi :”Keterangan seorang saksi saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Meskipun
keterangan saksi tunggal itu sedemikian jelasnya, tetapi
terdakwa tetap mungkir serta kesaksian tunggal itu tidak
dicukupi dengan alat bukti lain, kesaksian ini harus
dinyatakan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian
atas alasan unus testis nullus testis. Apabila jika terdakwa
memberikan keterangan yang mengakui kesalalahan yang
didakwakan kepadanya. Maka dalam hal ini seorang saksi
sudah cukup membuktikan keslahan terdakwa, karena
disamping keterangan saksi tunggal itu telah dicukupi alat
bukti keterangan terdakwa. Tetapi dalam pemeriksaan acara
cepat, keyakinan hakim cukup didukung oleh satu alat bukti
yang sah seperti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP.
5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri
Masih sering terjadi kekeliruan dimana ada pendapat
yang beranggapan dengan adanya beberapa saksi dianggap
keterangan saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan
kesalahan terdakwa. Tetapi pendapat tersebut keliru
sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengar
keterangannya di sidang pengadilan secara “kuantitatif”
telah melampui batas minimum pembuktian, belum tentu
yang sah membuktikan kesalahan terdakwa. Tidak ada
gunanya menghadirkan saksi yang banyak jika secara
kualitatif keterangan mereka saling berdiri sendiri tanpa
adanya saling hubungan antara yang satu dengan yang lain
yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya
kejadian atau keadaan tertentu.
Satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat
membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi
dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri (Andi Hamzah
2002 : 161). Pendapat D. Simons tersebut sejalan dan tidak
bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) dan Pasal 185 ayat (4)
KUHAP. Jika satu keterangan saksi berdiri sendiri dipakai
sebagai bukti untuk suatu keadaan atau suatu unsur delik.
Nilai Kekuatan Pembuktian yang melekat pada
Keterangan Saksi sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu :
1) Mempunyai kekuatan pembuktian bebas.
Pada alat bukti kesaksian “tidak melekat sifat
pembuktian yang sempurna” (volledig bewijskracht), dan
juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian
yang mengikat dan menentukan(beslissende bewijskracht).
Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah
mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas”. Oleh
karena itu, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah,
tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan
juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang
menentukan. Atau dapat dikatakan bahwa alat bukti
kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas
dan “tidak sempurna” dan tidak “menentukan” atau”tidak
2) Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian
hakim.
Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang
bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian
yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak
mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan
dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk
menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan
bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan
saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang
melekat pada keterangan itu, dan “dapat menerima” atau
“menyingkirkannya” (M. Yahya Harahap, 2006 : 294-295).
b. Keterangan Ahli
P a sa l 1 a n g k a 2 8 K U H A P d ise b u tk a n k e te ra n g a n a h li
a d a la h k e te ra n g a n y a n g d ib e rik a n o le h se se o ra n g y a n g
m e m ilik i k e a h lia n k h u su s te n ta n g h a l y a n g d ip e rlu k a n
u n tu k m e m b u a t te ra n g su a tu p e rk a ra p id a n a g u n a
k e p e n tin g a n p e m e rik sa a n . S e d a n g k a n d a la m P a sa l 1 8 6
K U H A P d ise b u tk a n K e te ra n ga n a h li ia la h a p a ya n g se o ra n g
a h li n ya ta k a n d i sid a n g p e n ga d ila n .
P e rlu d ip e rh a tik a n b a h w a K U H A P m e m b e d a k a n
k e te ra n g a n se o ra n g a h li d i p e n g a d ila n se b a g a i a la t b u k ti
“ k e te ra n g a n a h li” (P a sa l 1 8 6 K U H A P ) d a n k e te ra n g a n a h li
se c a ra te rtu lis d i lu a r sid a n g p e n g a d ila n se b a g a i a la t b u k ti
“ su ra t”. A p a b ila k e te ra n g a n d ib e rik a n p a d a w a k tu
p e m e rik a a n o le h p e n y id ik a ta u p e n u n tu t u m u m , y a n g
d itu a n g k a n d a la m su a tu b e n tu k la p o ra n , d a n d ib u a t d e n g a n
m e n g in g a t su m p a h se w a k tu ia m e n e rim a ja b a ta n a ta u
p e k e rja a n , m a k a k e te ra n g a n a h li te rse b u t se b ag a i a la t b u k ti
d ia ta s a d a la h “visum et repertum” y a n g d ib u a t o le h se o ra n g
d o k te r.
Nilai Kekuatan Pembuktian yang melekat pada
Keterangan Ahli sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu :
1) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” atau “vrij
bewijskracht”. Di dalam dirinya tidak ada melekat nilai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan.
Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya
dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi
hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli
yang dimaksud. Akan tetapi, hakim dalam menggunakan
wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian, harus
benar-benar bertanggung jawab, atas landasan moral demi
terwujudnya kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum
serta kepastian hukum.
2) Di samping itu, sesuai dengan prinsip minimum pembuktian
yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang
berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat bukti
yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan
kesalahan terdakwa. Apalagi jika Pasal 183 KUHAP
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2), yang
menegaskan, seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini pun, berlaku
untuk pembuktian keterangan ahli. Bahwa keterangan
seorang ahli saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa. Oleh karena itu, agar keterangan ahli dapat
dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus
disertai dengan alat bukti yang lain (M. Yahya Harahap,
c. Surat
Surat adalah segala sesuatu yang mengandung
tanda-tanda bacaan yang dapat dibaca, dimengerti, dimaksud untuk
mengeluarkan isi pikiran (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 100).
Seperti alat bukti keterangan saksi dan alat bukti keterangan
ahli, alat bukti surat ini pun hanya diatur dalam satu pasal saja,
yaitu Pasal 187 KUHAP. Menurut ketentuan ini, suatu surat
yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut
Undang-Undang, yaitu:
1) surat yang dibuat atas sumpah jabatan,
2) surat yang dikuatkan dengan sumpah.
Kemudian pasal itu sendiri telah memperinci secara luas
bentuk-bentuk surat yang dapat dianggap mempunyai nilai
sebagai alat bukti, yaitu :
1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat
dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
hal atau sesuatu keadaan.
3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya menenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Nilai Kekuatan Pembuktian yang melekat pada Surat
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu :
1) Ditinjau dari segi formal
Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang
disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti
yang sempurna. Karena bentuk surat-surat yang disebut
didalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan
dipenuhinya ketentuan formal dalampembuatannya serta
dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat
yang berwenang, dan pembuatan serta keterangan yang
terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan maka
ditinjau dari segi formal alat bukti surat seperti yang disebut
pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang
bernilai “sempurna”. Oleh karena itu, alat bukti surat resmi
mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna.
2) Ditinjau dari segi materiil
Dari sudut materiil, semua bentuk alat bukti surat
yang disebut dalam Pasal 187,”bukan alat bukti yang
mempunyai kekuatan mengikat”. Pada diri alat bukti surat
itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat.
Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya
dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan
keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan
pembuktian yang bersifat bebas. Hakim bebas untuk
menilai kekuatan pembuktiannya.
d. Petunjuk
Yang dimaksud dengan petunjuk adalah suatu
kejadian-kejadian atau keadaan atau hal lain, yang keadaannya dan
persamaannya satu sama lain maupun dengan peristiwa itu
sendiri, nyata menunjukkan, bahwa telah terjadi suatu tindak