sebafi Alternatif Bahan Ajar Kesusasteraan
Si Sekolah Lanjutan Tingkat Atas)
TESIS
Oleh
HERLIN A RUSMARYANTl 95961 li/19-XXVII
Progam Sludi Pengajaran Bahasa Indonesia
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT KEGURIJAN DAN ILMU PENDIDIKAN BANDUNG
Lembaran Pengesahan Pembimbing
disahkan dan disetujui oleh pembimbing
untuk Ujian Tahap II
Pembimbing I
4^^{/U-\
Prof. Dr.H. Yus Rusyana
Pembimbing II
Kata Pengantar
Ucapan Terima Kasih. Daftar Isi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Masalah 7
C. Pembatasan Masalah 7
D. Tujuan
8
E. Manfaat 8
F. Asumsi 9
G. Metodologi Penelitian
9
1. Metode Penelitian 9
2. Teknik Pengumpulan Data 10
3. SumberData, Populasi, dan Sampel 12
4. Teknik Analisis Data 12
H. Defenisi Operasional
13
BAB II. KAJIAN SEMIOTIK, SASTRA KORAN, DAN BAHAN AJAR
A. Pengertian Semiotika
15
B. Strukturalisme dan Semiotik 17
C. Beberapa Konsep dan Komponen Semiotik
20
D. Pendekatan Semiotik dalam Pengkajian Sastra 25 E. Unsur-Unsur Puisi yang Akan Dianalisis dalam Kajian
Semiotik 27
1. Pemilihan Kata 27
2. Denotasi dan Konotasi 28
3. BahasaKiasan 32
a. Perbandingan (Simile) 35
b. Metafora 36
c. Perumpamaan Epik(Epic Simile) 38
d. Personifikasi 39
e. Metonimia 40
f. Sineksdok 42
4. Citraan 42
5. Gaya Bahasa dan Sarana Retoris
46
a. Tautologis 47
b. Pleonastis 47
c. Enumerasi 48
d. Paralel 48
e. Hiperbolis 49
f. Paradoks 50
g. Kiasmus
50
h. Ironis, Sinis, dan Sarkasmis
51
6. Pemaknaan Puisi 52
a. Matriks atau Kata Kunci 52
b. Pembacaan Semiotik 53
1) Pembacaan Heuristik
53
2) Pembacaan Retroaktif
55
F. Sastra Koran 56
1. Perkembangan Sastra Koran
56
2. Fungsi Sastra Koran
63
3. Lembaran Budaya dan Sastra di Harian Umum Republika,
Media Indonesia, dan Pikiran Rakyat 64
a. Lembar Budaya dan Sastra di Republika
64
b. Lembar Budaya dan Sastra di Media Indonesia
66
c. Lembar Budaya dan sastra di Pikiran Rakyat
67
G. Kriteria Pemilihan Bahan Ajar 69
1. Aspek Sastra
69
2. AspekBahasa
71
3. Aspek Psikologis
72
4. Aspek Latar Belakang Budaya
74
BAB III. ANALISIS DATA
A.Analisis Puis] 75
1. Puisi TANAHAIRMATA 75
a. ANALISIS UNSUR PUISI 76
1) Denotasidan Konotasi
76
2) Bahasa Kiasan
80
3)Citraan
82
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
83
b. PEMAKNAAN PUISI 85
1) Matriks 85
2) Pembacaan Heuristik
85
3) Pembacaan Retroaktif 87
2. Puisi MENGHANYUTKAN DONGENG DI BENGAWAN SOLO 89
a. ANALISIS UNSUR PUISI 90
1) Denotasi dan Konotasi
90
2) Bahasa Kiasan
92
3)Citraan
94
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
95
b. PEMAKNAAN PUISI 96
1) Matriks
96
2) Pembacaan Heuristik
97
3) Pembacaan Retroaktif
98
2) Bahasa Kiasan 103
3)Citraan 105
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika 116
b. PEMAKNAAN PUISI 107
1) Matriks 107
2) Pembacaan Heuristik 107
3) Pembacaan Retroaktif 108
4. Puisi FRAGMENTASI 110
a. ANALISIS UNSUR PUISI 110
1) Denotasi dan Konotasi 110
2) Bahasa Kiasan 115
3)Citraan 118
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika 119
v. rL_iv«-vr\i>i/-vAM>* r u i o i I l a
1) Matriks : 119
2) Pembacaan Heuristik 119
3) Pembacaan Retroaktif 121
5. Puisi JEMBATAN 122
a. ANALISIS UNSUR PUISI 123
1) Denotasi dan Konotasi 123
2) Bahasa Kiasan 127
3)Citraan 129
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika 131
b. PEMAKNAAN PUISI 136
1) Matriks 136
2) Pembacaan Heuristik 137
3) Pembacaan Retroaktif 139
6. Puisi PADAMU NABI 137
a. ANALISIS UNSUR PUISI 138
1) Denotasi dan Konotasi 138
2) Bahasa Kiasan 142
3)Citraan 144
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika 145
b. PEMAKNAAN PUISI 146
1) Matriks 146
2) Pembacaan Heuristik 146
7. Puisi RUDAPAKSA PERSALINAN 149
a. ANALISIS UNSUR PUISI 150
1) Denotasi dan Konotasi
150
2) Bahasa Kiasan
153
3)Citraan
154
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
155
b. PEMAKNAAN PUISI 156
1) Matriks
156
2) Pembacaan Heuristik
15/
3) Pembacaan Retroaktif
158
8. Puisi RUMAH BIRU 161
a. ANALISIS UNSUR PUISI 161
1) Denotasi dan Konotasi
161
2) Bahasa Kiasan
162
3)Citraan
164
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
164
b. PEMAKNAAN PUIS! 165
1) Matriks
165
2) Pembacaan Heuristik
166
3) Pembacaan Retroaktif
166
9. Puisi LAGU PAGI YANG ANEH 167
a. ANALISIS UNSUR PUISI 168
1) Denotasi dan Konotasi
168
2) Bahasa Kiasan
170
3)Citraan
171
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
171
b. PEMAKNAAN PUISI 172
1) Matriks
172
2) Pembacaan Heuristik
172
3) Pembacaan Retroaktif 173
10. Puisi DIDISKOTIK 175
a. ANALISIS UNSUR PUISI 175
1) Denotasi dan Konotasi
175
2) Bahasa Kiasan
179
3)Citraan
180
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
181
b. PEMAKNAAN PUISI 182
1) Matriks
182
2) Pembacaan Heuristik
182
3) Pembacaan Retroaktif
184
2) Bahasa Kiasan
189
3)Citraan
190
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
191
b. PEMAKNAAN PUISI 192
1) Matriks
192
2) Pembacaan Heuristik
192
3) Pembacaan Retroaktif
194
12. PuisiINDONESIA, SEBUAH SISA 196
a. ANALISIS UNSUR PUISI 197
1) Denotasi dan Konotasi
197
2) Bahasa Kiasan
199
3)Citraan
200
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
201
b. PEMAKNAAN PUISI 202
1) Matriks
202
2) Pembacaan Heuristik
202
3) Pembacaan Retroaktif
204
13. Puisi KUPANGGILI NAMAMU BERKALI-KALI. 205
a. ANALISIS UNSUR PUISI 205
1) Denotasi dan Konotasi
205
2) Bahasa Kiasan
207
3)Citraan
208
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
209
b. PEMAKNAAN PUISI 210
1) Matriks
210
2) Pembacaan Heuristik
211
3) Pembacaan Retroaktif
211
14. Puisi KASIDAH ANGIN 213
a. ANALISIS UNSUR PUISI 214
1) Denotasi dan Konotasi
214
2) Bahasa Kiasan
215
3)Citraan
216
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
217
b. PEMAKNAAN PUISI 218
1) Matriks
218
2) Pembacaan Heuristik
218
3) Pembacaan Retroaktif
220
B. Pembahasan 259 1. Denotasi dan Konotasi (Pilihan kata) 259
2. Bahasa Kiasan 262
3. Citraan 264
4. Gaya Bahasa dan Sarana Retoris 266
5. Matriks 268
6. Pembacaan Heuristik dan Retroaktif 270
C. Hasil Analisis 274
1. Hasil Kajian Semiotik terhadap Struktur dan Pemaknaan
Puisi Koran 274
2. Hasil Kajian Semiotik terhadap Puisi Koran sebagai Suatu
Altematif Pemilihan Bahan Ajar 276
BAB IV. PUISI KORAN SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN AJAR DI SEKOLAH
A. Pendahuluan 279
B. Puisi Koran sebagai Altematif Bahan Ajar 283
C. Penutup 285
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan 286
B:Saran 287
Daftar Pustaka 288
Lampiran-lampiran
1. Tabel 1. Pilihan Kata 260
2. Tabel 2. Bahasa Kiasan 263
3. Tabel 3. Citraan 265
4. Tabel 4. Gaya Bahasa dan Sarana Retorika 267
5. Tabel 5. Matriks 269
6. Tabel 6. Pembacaan Heuristik 272
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memahami makna puisi atau sajak bila dibandingkan dengan
memahami makna prosa tampaknya bukanlah hal mudah, lebih-lebih
pada masa sekarang, karena puisi semakin kompleks. Hal ini disebabkan
prosa itu mengikuti atau sesuai dengan struktur bahasa normatif,
sedangkan puisi biasanya menyimpang dari tata bahasa normatif
(Pradopo, 1995:278).
Memahami puisi dan memberi makna puisi tidaklah mudah tanpa
mengerti konvensi sastra, khususnya konvensi puisi. Untuk tujuan itu
perlu kiranya diadakan pengkajian atau penganalisisan terhadap teks
sastra yang kini
makin
berkembang dengan
berbagai
macam
pendekatannya. Setiap pengkajian tersebut bertujuan agar karya sastra
itu dapat dipahami lebih baik, sehingga dapat lebih dinikmati serta dapat
ditarik manfaatnya
{dulce
dan
utile)
(Sudjiman, 1993:1).
Puisi merupakan sebuah struktur, yakni susunan unsur-unsur yang
bersistem yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik,
saling menentukan. Menurut pandangan strukturalisme, dunia (karya
sastra) lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan
benda-benda. Tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan
Unsur-unsur dalam suatu puisi saling menentukan maknanya.
Untuk memahami makna secara keseluruhan perlulah sajak atau puisi
dianalisis atas unsur-unsurnya secara struktural. Di samping itu, puisi
juga merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna, oleh karena itu
perlu dikaji dengan kajian semiotik.
Selama ini analisis struktural yang dikenal dalam pengkajian sastra
adalah
analisis struktural murni
yang menganalisis karya sastra dari segi
struktur mtrinsiknya saja dan tidak dikaitkan dengan hal-hal yang ada di
luar strukturnya. Meskipun demikian analisis struktural tetap merupakan
langkah awal sebelum melakukan analisis yang lain. Tanpa analisis
tersebut, kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digaii dari karya
sastra itu sendiri tidak akan tertangkap dan untuk mengatasi hal itu ialah
dengan menggunakan
strukturalisme dinamik,
yakni
strukturalisme dalam
kerangka semiotik.
Penelitian
ini
berupa
pengkajian
karya
sastra
dengan
menggunakan
kajian semiotik.
Menurut Culler (dalam Teeuw, 1984:143)
ilmu sastra yang sejati harus bersifat semiotik, yaitu harus menganggap
sastra sebagai sistem tanda. Tugas semiotik bukanlah mendeskripsikan
tanda-tanda tertentu melainkan memerikan konvensi-konvensi yang
seluruh pengalaman dan kebudayaan manusia berdasarkan tanda dan
mempunyai dimensi simbolik yang dominan.
Memahami puisi adalah memahami makna puisi itu dan mengkaji
atau menganalisis puisi merupakan usaha menangkap makna-makna
yang terkandung di dalam puisi. Dengan adanya hasil pengkajian atau
analisis puisi maka kita akan lebih mudah memahami makna puisi itu.
Kajian semiotik sangat baik untuk memahami karya sastra karena
ia memandang karya sastra itu dalam kerangka komunikasi. Kajian
dengan pendekatan semiotik mempunyai kekuatan utama karena ia lebih
menyempurnakan pendekatan-pendekatan yang lain, seperti struktural,
stilistika, dan sosiologis. Di samping itu, analisisnya lebih bersifat
komprehensif. Kajian dengan pendekatan semiotik berpandangan bahwa
tanda-tanda atau kode-kode sekecil apapun yang terdapat dalam karya
sastra penting untuk diperhatikan karena ia ikut membentuk sistem dan
keseluruhan
karya
tersebut.
Pengkajian
karya
sastra
dengan
menggunakan kajian semiotik sangat tepat karena dengan menggunakan
kajian ini tidak ada halangan untuk mengkaji karya sastra eksperimental,
abstrak, atau antirealis yang mungkin bentuknya aneh. Bahkan dapat
dikatakan karya sastra semacam itu justru lebih tepat diteliti dengan
menggunakan kajian semiotik (Semi, 1993:88-89).
Setiap jenis sastra, baik puisi, prosa, ataupun drama, dipandang
kode masing-masing.
Sastra Indonesia sejak awal kebangkitannya telah menerima jasa
penerbitan koran. Surat kabar atau koran ini berjasa dalam
menyebarluaskan karya sastra ke masyarakat luas secara periodik dan
kontinyu. Sempitnya ruangan atau kolom koran justru mendorong
timbulnya pendayagunaan bahasa dalam pengucapan sastra sebagai
pengayaan
ekspresi
bahasa
Indonesia,
yang
memungkinkan
berkembangnya genre sastra yang khas (Kompas, 30 Maret 1997).
Pendidikan dan pengajaran sastra di sekolah tidak terlepas dari
perkembangan kesusastraan yang ada di dalam masyarakat. Bahkan
karya-karya sastra yang berkembang dalam masyarakat itu banyak
digunakan atau dimasukkan ke dalam bahan ajar kesusastraan di
sekolah. Maley (dalam Carter dkk, 1989:1) menyatakan bahwa karya
sastra dapat digunakan sebagai bahan atau materi dalam pengajaran
yang menunjukkan kenyataan bahwa karya sastra pada hakikatnya
adalah bahasa dalam penggunaannya (language in use).
Berkembangnya dunia sastra di Indonesia, baik di koran, majalah,
ataupun di media lain, temyata
tidak selaras dengan keadaan
pengajaran sastra, yang dinilai oleh para pengamat ataupun pakar sastra
berhasil (Rosidi, 1970:61-66 dan Rusyana, 1990:41). Berdasarkan
kenyataan yang ada, perkembangan sastra (khususnya puisi) yang ada
dalam masyarakat dapat dijadikan salah satu faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam menentukan materi pengajaran sastra di sekolah.
Dengan demikian, bahan yang disajikan di sekolah tidak terlalu jauh
jaraknya dengan yang terjadi dalam lingkungan para siswa.
Salah satu permasalahan dalam pengajaran sastra adalah masih
kurangnya materi sastra dalam buku-buku teks yang diwajibkan di
sekolah. Minimnya materi tersebut menyebabkan guru tidak leluasa
memilih bahan yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan kurangnya
materi juga menyulitkan guru untuk memvariasikan materi ajar. Oleh
sebab itu, ketergantungan guru pada pilihan materi yang minim dan sikap
yang terikat pada otoritas dalam memilih bahan ajar, perlu diubah menjadi
kegiatan yang kreatif dalam mencari dan menentukan bahan ajar yang
sesuai dan menarik. Hal ini ditegaskan oleh Rusyana (1984:335) bahwa,
"Guru harus berinisiatif memenuhi kebutuhan siswanya." Berdasarkan
kenyataan ini maka penelitian terhadap puisi koran diajukan sebagai
altematif bagi pemilihan bahan ajar yang merupakan salah satu upaya
yang dilakukan untuk meningkatkan daya apresiasi sastra siswa.
Pendekatan semiotik yang memberi perhatian kepada aspek
agar para siswa dibawa masuk menggauli karya sastra itu sehingga
tumbuh kepekaan
dan perasaannya terhadap berbagai unsur estetik
yang terdapat di dalamnya (Sarwadi, 1991:98).
Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kajian
semiotik, seperti yang dilakukan oleh Ivo, Saraswati, dan Aliana dkk.,
merupakan kajian semiotik terhadap karya sastra berbentuk prosa. Ivo
menyoroti tentang karakteristik sastra koran namun yang diungkapkan
adalah karakteristik cerpen koran dalam lingkup semiotik, Saraswati
mengkaji cerpen-cerpen Danarto dalam kumpulan cerpen Berhala, dan
Aliana mengkaji beberapa cerita rakyat di Sumatera Selatan. Berdasarkan
kajian terdahulu tersebut maka penulis berkeinginan melakukan kajian
semiotik terhadap karya sastra berbentuk puisi, khususnya puisi koran. Di
samping belum banyak yang melakukan pengkajian puisi dengan
menggunakan kajian semiotik, penulis juga berkeinginan menampilkan
puisi koran tersebut sebagai sebuah karya sastra yang
patut
dipertimbangkan sebagai bahan ajar kesusastraan di sekolah mengingat
B. Masalah
1.
Bagaimanakah struktur puisi koran berdasarkan kajian semiotik?
2. Hal apa sajakah yang dapat diambil dari hasil kajian semiotik teihadap
puisi koran itu untuk dijadikan altematif bahan ajar kesusastraan?
C. Pembatassn Masalah
Bantuk sastra koran mengacu pada semua bentuk bahasa yang
diterbitkan di koran. Heryanto (1985:119) menyebutkan, "Istilah sastra
koran biasanya dipakai untuk menjelaskan atau mengacu pada prosa,
puisi, atau drama yang diterbitkan dalam koran." Dalam penelitian ini,
sastra koran yang dibicarakan terbatas pada bentuk puisi saja, yang
disebut puisi koran.
Dalam penelitian ini, unsur yang dibahas dibatasi pada masalah
pengkajian puisi secara semiotik, yakni pengkajian puisi atas unsur-unsur
intrinsiknya kemudian pemaknaan atas tanda-tanda secara
kajian
semiotik. Mula-mula
penelitian ini akan mengkaji unsur-unsur yang
esensial dalam sebuah puisi, yang dibatasi pada pilihan kata (diksi) yang
meliputi denotasi dan konotasi, bahasa kiasan, citraan, serta gaya bahasa
dan sarana retorika. Setelah itu dilanjutkan dengan pengkajian secara
semiotik yang lebih menekankan proses pemaknaan unsur-unsur puisi
sehingga makna puisi lebih dapat dipahami. Proses pemaknaan itu
meliputi penentuan matriks atau kata kunci puisi serta pembacaan secara
2. Mendeskripsikan puisi-puisi koran dengan menggunakan kajian
semiotik.
3. Menemukan hal-hal yang khas pada puisi koran dari hasil kajian
semiotik yang mendukungnya sebagai suatu altematif bahan ajar
kesusastraan di sekolah.
E. Manfaat
Dari segi keilmuan, hasil penelitian diharapkan dapat menambah
dan memperluas wawasan tentang teori dan penerapan kajian semiotik
kepada guru, siswa, dan pencinta sastra sehingga mereka dapat
menganalisis puisi secara lebih apresiatif. Diharapkan pula kajian puisi
koran yang menggunakan kajian semiotik ini dapat dijadikan sebagai
bahan bandingan bagi uraian atau kajian model lain.
Penelitian ini
diharapkan
dapat
dimanfaatkan sebagai suatu
usaha untuk memperkenalkan puisi koran sebagai suatu objek kajian.
Hasilnya dapat dijadikan sebagai suatu altematif pemilihan bahan ajar
yang akan memperkaya pengajaran kesusastraan di Indonesia.
Hasil penelitian ini juga dipakai sebagai referensi aktual mengenai
perkembangan karya sastra yang berbentuk puisi, khususnya puisi koran.
Juga sebabagi dokumen dalam periode atau masa tertentu dari
F. Asumsi
1. Pengetahuan tentang kajian semiotik dan puisi koran berguna untuk
melengkapi pengetahuan dan daya apresiasi terhadap sastra
Indonesia modem.
2. Puisi koran merupakan bagian fenomena Sastra Indonesia Modern.
3. Pengembangan bahan ajar kesusastraan harus terus ditingkatkan
untuk mencapai bahan ajar yang lengkap untuk pengembangan daya
apresiasi siswa.
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan
metode
deskriptif-analitis.
Metode deskriptif-analitis adalah suatu metode untuk menggambarkan
keadaan objek yang diteliti yang sekaligus menguraikan aspek-aspek
yang dijadikan pusat perhatian dalam penelitian.
Metode deskriptif
digunakan untuk membantu upaya identifikasi
dan pemaparan unsur-unsur yang menjadi fokus penelitian. Sudjana dan
Ibrahim (1989:64) mengemukakan bahwa metode deskriptif digunakan
untuk mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada
saat sekarang. Sementara itu, Suryabrata (1995:19) berpendapat bahwa
penelitian deskriptif adalah akumulasi data dasar dalam cara deskriptif
semata-mata tidak perlu mencari atau menemukan saling hubungan,
Metode analitis
untuk mengungkapkan karakteristik objek dengan
cara menguraikan dan menafsirkan fakta-fakta tentang konvensi bahasa
dan pokok persoalan yang terdapat dalam teks yang diteliti.
Penggunaan metode deskriptif-analitis dalam penelitian ini
dilaksanakan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut.
1. Mengidentifikasikan berbagai gejala yang terkait dengan unsur-unsur
puisi yang dibutuhkan dalam pengkajian semiotik.
2. Mendeskripsikan unsur-unsur yang telah diidentifikasi.
3. Menginterpretasikan unsur-unsur yang telah d.deskripsi dengan
mengacu pada kegiatan analisis.
4. Menyimpulkan kecendemngan yang dominan atau aspek yang paling
ditonjolkan dalam puisi.
5. Mengungkapkan hal-hal atau karakteristik yang mendukung puisi
koran sebagai bahan ajar kesusastraan.
6. Menyimpulkan hal-hal yang penting dari seluruh puisi koran yang
diteliti.
7. Membuat laporan penelitian.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan
teknik dokumentasi.
i I
Republika, Media Indonesia, dan Pikiran Rakyat yang dikumpulkan pada
periode awal tahun 1998 (mulai awal Januari sampai akhir Maret 1998).
Selain itu, data tambahan dikumpulkan melalui teknik wawancara.
Wawancara berlangsung di kantor redaksi masing-masing harian dengan
redaktur (pengasuh) lembar budaya/sastra. Wawancara diadakan untuk
mengumpulkan data tambahan mengenai sejarah singkat harian-harian
tersebut
beserta
keterangan
penting
mengenai
sejarah
dan
perkembangan lembar sastra/budaya di masing-masing harian tersebut.
Tahapan pengumpulan data dalam penelitian sebagai berikut.
1. Mengumpulkan atau mengkliping puisi-puisi terbitan koran nasional
yang telah ditentukan solama tiga bulan torakhir sojnk Jantian 1998
2. Memilih puisi-puisi yang akan dijadikan data utama atau objek
penelitian.
3. Melakukan wawancara dengan redaktur yang mengasuh lembar sastra
dan budaya pada harian Republika, Media Indonesia, dan Pikiran
Rakyat.
4. Mendapatkan data sekunder, di antaranya biografi penyair dan tulisan
atau karya terbaru yang memuat pandangannya,
baik yang
berhubungan dengan karyanya maupun yang berhubungan dengan
o
Indonesia, dan Pikiran Rakyat) merupakan sumber data yang digunakan.
Alasan penulis dalam memilih ketiga surat kabar atau koran itu sebagai
sumber data adalah karena ketiganya merupakan surat kabar nasional
yang mempunyai oplah yang besar. Selain itu, ketiga surat kabar itu
secara kontinyu menerbitkan puisi-puisi koran pada setiap terbitan hari
Minggu (seminggu sekali).
Dokumentasi puisi koran yang terkumpul pada periode
Januari-Maret 1998 sebanyak 92 buah puisi sebagai populasi. Dari 92 puisi itu
diambil sebanyak 18 puisi (20%) sebagai sampel penelitian. Penentuan
sampel ini dilakukan dengan menggunakan
teknik penyampelan
purposive
atau
purposive sampling,
yakni teknik penentuan sampel
penelitian berdasarkan tujuan penelitian. Teknik ini digunakan apabila
peneliti mempunyai pertimbangan tertentu dalam menetapkan sampel
sesuai dengan tujuan penelitiannya (Sujana dan Ibrahim, 1989:94).
4. Teknik Analisis Data
a. Data yang terkumpul disusun berdasarkan terbitan ketiga koran, yakni:
sepuluh puisi (puisi 1 sampai puisi 10) terbitan koran Republika, dua
puisi (puisi 11 dan puisi 12) terbitan koran Media Indonesia, dan enam
b. Data diidentifikasi berdasarkan berbagai gejala yang terkait dengan
unsur-unsur puisi dalam lingkup pengkajian Semiotik.
c. Data dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut
1) Pendeskripsian
unsur-unsur
yang
telah
diidentifikasi,
yakni
berdasarkan pemilihan kata (denotasi dan konotasi), bahasa
kiasan, citraan, serta gaya bahasa dan sarana retorikanya. 2) Membuat interpretasi terhadap unsur-unsur tersebut.
3) Melakukan proses pemaknaan terhadap puisi dengan melalui tahap pencarian matriks atau kata kunci, pembacaan heuristik, dan
pembacaan retroaktif atau hermeneutik.
4) Membuat deskripsi karakteristik puisi koran untuk masing-masing unsur analisis berdasarkan subunsur yang paling dominan pada
tiap-tiap unsur analisis tersebut.
5) Membuat hasil analisis atau hasil pengkajian.
H. Defenisi Operasional
1. Kajian Semiotik
Suatu cara menelaah dan mengkaji karya sastra berdasarkan sistem tanda dalam komunikasi dengan memanfaatkan sistem tanda dan
hal-hal yang berhubungan dengannya sehingga dapat lebih memahami
2. Puisi Koran
Puisi yang diterbitkan di koran. Puisi koran merupakan suatu bentuk karya sastra yang tergolong ke dalam istilah "sastra koran".
3. Bahan ajar Kesusastraan
Bahan atau materi kesusastraan yang akan diajarkan kepada siswa
sebagai suatu upaya untuk meningkatkan daya apresiasi sastra siswa
sesuai dengan tujuan pengajaran yang ingin dicapai. Bahan ajar yang digunakan untuk pengajaran di sekolah hendaknya diambil dari
berbagai sumber dan guru harus memilih bahan ajar dari berbagai
sumber tersebut lalu mengintegrasikannya menjadi kesatuan bahan
A. ANALISIS PUISI
1. Puisi TAN AH AIR MATA
(Karya Sutardji Calzoum Bachri)
1. Tanah airmata tanah tumpah dukaku
2. Mata air airmata kami 3. Airmata tanah air kami
4. di sinilah kami berdiri
5. menyanyikan airmata kami
6. di balik gembur subur tanahmu 7. kami simpan perih kami
8. di balik etalase megah gedung-gedungmu 9. kami coba sembunyikan derita kami
10. kami coba simpan nestapa
11. kami coba kuburkan dukalara
12. tapi perih tidak bisa sembunyi
13. ia merebak ke mana-mana
14. bumi memang tak sebatas pandang 15. dan udara luas menunggu
16. namun kalian takkan bisa menyingkir 17. ke mana pun melangkah
18. kalian pijak air mata kami
19. ke mana pun terbang
20. kalian kan hinggap di airmata kami
21. ke mana pun berlayar 22. kalian arungi airmata kami
23. kalian sudah terkepung 24. takkan bisa mengelak
25. takkan bisa kemana pergi
26. menyerahlah pada kedalaman airmata kami
(Republika, 15 Maret 1998)
7Q>
a. ANALISIS UNSUR PUISI
Puisi ini merupakan sajak kritik sosial tentang keperihan dan kesedihan yang terdapat di tanah air tercinta. Banyak kiasan tentang kepedihan dan kesenjangan sosial yang ada. Kata-kata yang digunakan di
antaranya: tanah air, airmata, tanah tumpah dukaku, perih, di balik
etalase, gedung megah, derita, nestapa, kuburkan duka lara, terkepung,
dan menyerah pada kedalaman airmata.
1) Denotasi dan Konotasi
Pada larik 1 /tanah airmata tanah tumpah dukaku/frase tanah air
mata merupakan gabungan kata tanah dan air mata. Secara denotasi,
tanah berarti permukaan bumi yang di atas sekali, keadaan bumi di suatu tempat, atau daratan (KBBI:893); sedangkan airmata berarti air yang meleleh dari mata (ketika menangis dsb) (KBBL12). Selain itu, frase tersebut mengandung makna konotatif atau makna tambahan bahwa tanah merupakan kiasan dari negeri dimana kita menjadi warga negaranya (KUNGBL261) sementara tanah itu dipenuhi dengan kesedihan dan penderitaan yang dikiaskan dengan adanya airmata. Selanjutnya pada frase lain, tanah tumpah dukaku merupakan kiasan dari tanah atau
negeri tempat menumpahkan atau mengadukan segala kedukaan. Pada larik ini ada permainan kata yang sengaja diciptakan oleh penyair untuk menambah keindahan bahasa puisinya. Frase tanah airdan frase airmata
frase yang sudah biasa dikenal orang yakni tanah tumpah darahku yang merupakan frase pengganti dari tanah air yang tercinta.
Pada larik 2 /mata air airmata kami/, frase mata air selain mempunyai makna denotatif sumber air atau tempat air yang mengalir dari
batuan atau tanah ke permukaan tanah secara alamiah (KBBL565) juga
dapat diartikan sebagai sumber kehidupan. Secara konotasi larik 2 dapat mengasosiasikan responsi emosional yang mengiaskan bahwa sumber
kehidupan itu kini merupakan sumber airmata atau penderitaan yang
memilukan.
Pada larik 3 /airmata tanah air kami/kata airmata selain berarti air
yang meleleh dari mata ketika menangis juga mengandung arti tambahan sebagai kiasan dari kesedihan dan penderitaan, sedangkan tanah air
berarti tanah tumpah darah atau negeri tempat kelahiran (KBBL894). Jadi,
secara keseluruhan larik 3 menerangkan bahwa airmata atau kesedihan merupakan tanah air atau kehidupan bagi kami.
Pada larik 4 dan 5 /di sinilah kami berdiri, menyanyikan airmata kami/ tidak hanya memberikan makna denotatif bahwa mereka berdiri menyanyikan suatu lagu yang menumpahkan airmatanya melainkan bermakna lain yang berupa kiasan bahwa di tanah kelahirannya tersebut mereka menyanyikan atau meneriakkan kepedihannya.
Larik 6-7 /di balik gembur subur tanahmu kami simpan perih kami/
m
kemakmuran, dan kemewahan yang ada dan dikandung tanah air masih
banyak juga rakyat yang menderita. Kata gembur sesuai makna kamusnya berarti berderai-derai tidak keras dan tidak padat (tentang tanah) (KBBL267) sedangkan subur berarti gemuk (tentang tanah, yaitu banyak mengandung zat yang baik untuk tumbuh-tumbuhan) (KBBL862). Ada ungkapan ironis pada larik 6-7 ini bahwa di balik tanah yang gembur
dan subur itu yang semestinya mengandung kemakmuran dan
kebahagiaan tetapi justru menjadi tempat menyimpan perih atau
kepedihan rakyat. Demikian juga dengan larik 8-9, etalase yang berarti tempat memamerkan barang-barang yang dijual (KBBL237) merupakan suatu tempat yang menawarkan segala kemewahan dan kemegahan
dengan segala barang dan gedung yang mewah pula. Etalase dan gedung
yang megah merupakan lambang dari kemajuan peradaban dan kemewahan, yang semestinya menggambarkan kemakmuran dan
kebahagiaan tetapi justru mendatangkan perih dan penderitaan.
Larik 10,11,12, dan 13 /kami coba simpan nestapa, kami coba
kuburkan dukalara, tapi perih tak bisa sembunyi, ia merebak ke
mana-mana/ mengungkapkan bahwa mereka mencoba menyimpan kepedihan
dan menguburkan duka lara namun usaha itu tidak berhasil bahkan
semakin merambat ke mana-mana. Kata nestapa berarti sedih sekali atau
memperjelas arti bahwasanya kepedihan itu semakin meluas ke berbagai
segi kehidupan.
Larik 14,15, dan 16/bumi memang tak sebatas pandang, dan udara luas menunggu, namun kalian takkan bisa menyingkir/mengiaskan bahwa
biar bagaimana luasnya dunia ini tapi para penindas itu tidak akan bisa
melarikan diri. Ungkapan bumi memang tak sebatas pandang dan udara luas menunggu mengiaskan keluasan dunia ini yang tidak hanya sebatas pandangan mata bahkan udara pun luas tak berbatas namun tetap saja tidak ada tempat untuk menyingkir dari si kami.
Larik 17-22/ke mana pun melangkah, kalian pijak airmata kami, ke mana pun terbang, kalian kan hinggap di airmata kami, ke mana pun
beriayar, kalian arungi airmata kami/ mengiaskan bahwa kemana pun mereka melangkah ataupun pergi mereka akan tetap melihat dan berhadapan dengan kepedihan rakyat. Penggunaan kata melangkah-memijak, terbang-hinggap, dan berlayar-arungi merupakan kiasan dari berbagai cara mereka untuk melepaskan diri, baik melalui jalan darat,
udara, dan laut namun tetap saja mereka selalu melihat airmata atau
kepedihan.
Pada larik 23, 24, dan 25 /kalian sudah terkepung, takkan bisa
STJ
terkepung, takkan bisa mengelak, takkan bisa kemana pergi untuk menyatakan bahwa mereka sudah tidak dapat meloloskan diri lagi atau pun menghindar serta pergi ke mana pun lagi. Untuk itu mereka harus
menyerah pada kedalaman airmata kami (larik 26). Menyerah berarti
berserah, pasrah, memberikan diri kepada yang berwenang, dan menurut
saja (tidak melawan) (KBBL822) sedangkan arti kiasannya adalah mengaku kalah (tidak akan melawan lagi) (KBBL822). Larik ini mengiaskan bahwa mereka sudah seharusnya memahami arti kepedihan yang diderita rakyat dan sudah sepatutnya mereka memberikan bantuan.
2) Bahasa Kiasan
Larik 1, 2, dan 3 menggunakan bahasa kiasan metafora yang merupakan kiasan langsung tanpa menyebutkan objek yang dikiaskan dan tanpa memakai istilah perbandingan. Tanah airmata merupakan kiasan dari tanah tempat hidup yang penuh penderitaan, tanah tumpah dukaku
merupakan kiasan dari tempat untuk mengadu dan menumpahkan segala duka, mata air merupakan perlambang dari sumber kehidupan, airmata
kiasan dari penderitaan, dan airmata tanah air kami melambangkan kepedihan kini merupakan teman hidup mereka.
Personifikasi merupakan gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda tak bemyawa, ide yang abstraks, atau hewan dan tumbuhan. Personifikasi terdapat pada larik 6-9 dan larik 10-13.
Dinyatakan bahwa di balik gembur suburnya tanah dapat menyimpan
telah menyembunyikan derita rakyat. Demikian juga pada larik
menyimpan nestapa, menguburkan duka lara, perih tidak bisa sembunyi,
dan perih yang merebak ke mana-mana. Nestapa, duka lara, dan perih dianggap sebagai insan yang dapan disimpan, dikuburkan, sembunyi, dan
merebak.
Larik 14 merupakan simile yang membandingkan bumi dengan suatu hal yakni bumi adalah tempat yang luas yang tak sebatas mata memandang. Larik 15 menggunakan personifikasi dimana udara luas dikiaskan dapat menunggu seperti layaknya manusia.
Larik 17-18 merupakan metafora yang mengiaskan bahwa ke mana pun mereka melangkah mereka pasti berhadapan dan menemukan penderitaan rakyat. Ungkapan memijak airmata kami
merupakan metafora dari penyaksian atas penderitaan dan kepedihan yang ada. Larik 17-18 ini mempunyai makna yang sama dengan makna yang terdapat pada larik 19-20 serta larik 21-22.
Sementara itu larik 26 yang menutup puisi ini menggunakan bahasa kiasan metafora, dimana ungkapan kedalaman airmata kami
merupakan perlambang dari betapa beratnya penderitaan yang mereka alami selama ini. Ungkapan menyerahlah pada kedalaman airmata kami
82
3) Citraan
Larik 1,2, dan 3 /tanah airmata tanah tumpah dukaku, mata air airmata kami, airmata tanah air kami/ mengandung citraan intelektual
yang menyiratkan bahwa tanah air yang mereka diami ini adalah tempat menumpahkan segala duka dan banyak kepedihan yang ada di sana.
Larik 4 merupakan citraan visual yang memperlihatkan bahwa mereka berdiri di atas tanah kelahiran mereka. Larik 5 mengandung
citraan auditory karena memperdengarkan nyanyian kesedihan yang
penuh airmata.
Larik 6 dan 8 merupakan citraan visual yang menggambarkan tentang betapa gembur dan suburnya tanah kelahiran mereka serta
kemewahan yang terdapat pada etalase megah di gedung-gedung di kota. Larik 7 dan 9 merupakan citraan Gustatory (rasa) yang mengungkapkan betapa perih dan pedih dari penderitaan yang dirasakan dan
disembunyikan oleh mereka.
Larik 10-13 mengandung citraan visual yang memperlihatkan
bagaimana sulitnya mereka dalam menyimpan kedukaan, menguburkan dukalara, menyembunyikan perih, yang justru makin merambat
kemana-mana.
Larik 23-25 merupakan citraan visual yang menggambarkan bahwa mereka dalam keadaan yang terkepung, tak bisa mengelak, dan tak bisa pergi kemana pun. Mereka terkepung tanpa ada kesempatan
untuk meloloskan diri.
Larik penutup, larik 26, merupakan citraan intelektual yang mengisyaratkan agar mereka menyerah pada kenyataan yang ada bahwa rakyat yang hidup di tanah air ini banyak yang mengalami penderitaan yang sangat hebat dan menyiksa dengan ungkapan 'menyerahlah pada
kedalaman airmata kami'.
4) Gaya bahasa dan Sarana Retorika
Gaya bahasa Tautologi terdapat pada bait pertama puisi, yakni ada pengulangan kata yang mempunyai arti yang hampir sama, yakni
tanah air mata dan tanah tumpah dukaku, yang kedua frase itu menunjukkan arti bahwa tanah air itu merupakan tanah yang mendatangkan banyak kesedihan atau tanah tempat menumpahkan segala duka. Adapun maksud penggunaan kedua frase ini oleh pengarang adalah untuk menyatakan suatu keadaan secara lebih mendalam.
&\
kehidupan itu adalah airmata bagi mereka dan airmata atau kepedihan itulah yang menjadi tanah air atau menjadi teman hidup mereka.
Gaya bahasa sinisme tampak pada bait ketiga yang tampak merupakan sindiran terhadap kehidupan yang timpang, dimana mereka menyatakan bahwa di sinilah kami berdiri, menyanyikan airmata kami.
Sedangkan pada bait keempat terdapat gaya bahasa Sarkasme yang merupakan sindiran pedas dan tajam. Mereka menyatakan bahwa di balik gembur subur tanahmu kami menyimpan perih kami, dan di balik etalase
megah di gedung-gedung itujustru tersembunyi penderitaan kami.
Sarana retorika repetisi yang termasuk Paralelisme paling banyak
digunakan. Banyak pengulangan kata-kata, baik di awal (anafora) ataupun
di akhir lariknya (epistrofa) seperti yang terdapat pada bait-bait berikut ini. Kata kami pada bait kedua, klitika-mu dan kata kami pada bait keempat, serta frase air mata kami pada bait keenam (larik 18, 20,dan 22)
merupakan epistrofa atau pengulangan kata di akhir larik. Sementara itu
anafora atau pengulangan kata atau frase di awal kalimat meliputi pengulangan kata di balikdan kami pada bait keempat, frase kami coba pada bait kelima (larik 10-11), kata ke mana pun (larik 17, 19, 21) dan
kalian (larik 18, 20, 22, 23), dan kata takkan bisa (larik 24,25).
Puisi ditutup dengan larik yang menggunakan gaya bahasa
sarkasme yang menyindir secara tajam seperti pada larik: menyerahlah
ditumbuhkan rasa peduli pada penguasa terhadap penderitaan yang
diderita oleh rakyatnya.
b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks dalam puisi Tanah Air Matakarya Sutardji
Calzoum Bachri ini adalah tanah air dan air mata. Kedua kata ini saling
berkaitan erat dengan pokok masalah yakni tanah air yang dipenuhi oleh airmata atau kepedihan. Tanah air yang merupakan tanah kelahiran dan
tanah tumpah darah yang harusnya dicintai dan dijaga dengan segenap jiwa dan raga, serta tempat mencari kehidupan yang aman sentosa, temyata merupakan tanah tempat menumpahkan segala duka, air mata,
dan kepedihan dan tempat untuk merasakan segala kesedihan dan
kesengsaraan hidup.
2) Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak berdasarkan
konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa
sebagai sistem semiotik tingkat pertama atau pembacaan menurut struktur normatif bahasa. Pembacaan heuristik puisi Tanah Air Mata adalah sebagai berikut.
Bait Pertama
•• 86
kami. (Sekarang tanah yang penuh) air mata (itu yang menjadi) tanah air
kami.
Bait Kedua
Di sinilah kami berdiri (untuk) menyanyikan airmata kami.
Bait Ketiga
Di balik (ke-)gembur(-an dan ke-) subur (an) tanahmu, kami (me-) simpan (ke-) perih (-an) kami. Di balik etalase megah (yang ada di)
gedung-gedungmu, kami (men-) coba (me-) sembunyikan derita kami.
Bait Keempat
Kami (men-) coba (me-) simpan nestapa, kami (men-) coba (me-) kuburkan duka lara, tapi (perasaan) perih (itu) tidak bisa (di-) sembunyikan (sehingga) ia merebak ke mana-mana.
Bait Kelima
(Kami tahu), bumi (ini) memang tak sebatas pandang (-an mata)
dan udara (yang) luas (telah) menunggu, namun kalian takkan bisa menyingkir (dari kami). Ke mana pun melangkah, kalian (me-) pijak airmata kami. Ke mana pun terbang, kalian (a-) kan hinggap di (atas genangan) airmata kami. Ke mana pun berlayar, kalian (pun meng-) arungi airmata kami.
Bait Keenam
Kalian sudah terkepung. (Kalian) takkan bisa mengelak dan takkan
bisa (pergi) kemana (pun kalian ingin) pergi. (Kalian) menyerahlah pada
Dari hasil pemaknaan puisi dengan cara pembacaan heuristik atau pembacaan sajak berdasarkan konvensi bahasa didapatkan beberapa
keterangan.
Kurangnya pemakaian imbuhan baik itu awalan, akhiran, atau pun gabungan antara awalan-akhiran seperti: me-, me-kan, ke-an, di-, di-kan. Sementara itu juga ada kekurangan penggunaan unsur pola kalimat baik subjek, predikat, objek, atau pun keterangan pada beberapa kalimat lariknya. Perlu penambahan kata penghubung (adalah, untuk, sehingga),
kata depan (di atas), dan kata bantu perbandingan (bagaikan).
3) Pembacaan Retroaktif (Hermeneutik)
Pembacaan retroaktif adalah pembacaan ulang dari awal sampai
akhir dengan penafsiran atau pembacaan hermeneutik. Pembacaan ini
adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra (puisi).
Bait Pertama
Dalam bait pertama ini dijelaskan tentang keberadaan tanah tumpah darah dan tanah kelahiran yang dipenuhi olah kepedihan dan
kesengsaraan. Ungkapan pada bait ini merupakan ironi yang menyatakan
bahwa tanah yang bagaikan basah karena penuh tumpahan airmata itu merupakan tanah tempat menumpahkan segala dukaku. Segala duka, kepedihan, dan lara yang ada itu menyebabkan banyak airmata yang menggenang sehingga penuh bagai genangan mata air. Sekarang tanah
88.
Bait Kedua
Di tanah yang sangat mereka cintai inilah mereka berdiri untuk menyanyikan airmata atau mengadukan segala kedukaan dan kepedihan yang mereka alami.
Bait ketiga
Kepada tanah air yang tercinta ini mereka mengadukan kedukaan yang tampak kontras dengan kenyataan yang ada. Mereka mengatakan
bahwa di balik kegemburan dan kesuburan tanah tercinta ini mereka justru
tidak dapat menikmatinya bahkan mereka justru merasakan segala keperihan karenanya. Juga ketika pembangunan semakin menjamur di
mana-mana dengan berdirinya gedung-gedung bertingkat serta kemodeman dan kemewahan lainnya, di antaranya dengan semakin merebaknya kemewahan yang ditampilkan di balik etalase-etalase yang
menggiurkan membuat penderitaan yang mereka alami seolah dapat
disembunyikan.
Bait keempat
Walaupun segala cara telah mereka lakukan, seperti mencoba
menyimpan nestapa dan menguburkan duka lara namun perasaan perih itu tidak bisa disembunyikan sehingga ia merebak kemana-mana dan semakin memenuhi segala bidang kehidupan.
Bait kelima
namun hal itu bukan alasan bagi para penguasa dan penghianat bangsa untuk bisa bebas atau menyingkir begitu saja dari segala kepedihan yang ada. Ke manapun mereka melangkah, terbang, ataupun beriayar atau
apa pun yang mereka lakukan, mereka tetap tak bisa melepaskan diri dari
kesengsaraan yang telah ditimbulkan oleh mereka.
Bait keenam
Mereka mengatakan bahwa para penguasa dan penghianat bangsa itu sudah terkepung, tidak bisa mengelak, dan tidak bisa pergi kemana pun mereka ingin pergi. Secara hati nurani, mereka sepenuhnya meminta agar mereka dapat tersentuh akan penderitaan mereka, memiliki tenggang rasa dan rasa kasih sayang kepada saudara sebangsa, dan turut merasakan kedukaan yang saudaranya alami itu.
2. Puisi MENGHANYUTKAN DONGENG DI BENGAWAN SOLO
Karya: Mustafa W. hasyim
1. Membendung arus
2. Sambil menebang pohon
3. Tanah terkelupas
4. Mengalir ke sungai
5. Dongeng 6. Hanyut
7. Racun pabrik 8. Menyentuh ikan
90
11. Seorang Gesang 12. Melawan masa depan
13. Anak-anak
14. Melupakan waktu
(Republika, 1 Maret1998)
a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
Kata-kata yang dipakai dalam puisi ini menggambarkan suasana sungai, seperti: arus, mengalir, membendung, hanyut, racun pabrik, dan ikan. Kata-kata itu ada yang bermakna denotasi dan ada pula yang
bermakna konotasi.
Larik 1 mengandung makna denotatif. Kata membendung berarti mengempang aliran (sungaij sehingga airnya tertahan atau terkumpul untuk disalurkan ke tempat lain (KKBL101) dan arusberarti gerak air yang mengalir (KKBI.50). Ungkapan membendung arus berarti menahan aliran atau gerakan air sungai yang biasanya dilakukan pada sungai-sungai
yang deras untuk menghindarkan erosi.
Sementara larik 2 juga bermakna denotasi yang menjelaskan bahwa untuk membendung arus itu dilakukan usaha dengan cara menebang pohon.
Larik 3 dan 4 bermakna denotasi. Kata terkelupas bermakna terkuliti atau teriepas kulitnya (KBBL413), jadi tanah terkelupas bermakna tanah menjadi terkuliti atau teriepas dari daratannya dan jatuh terbawa
Larik 5-6 merupakan konotasi. Kata dongeng pada puisi ini bukan dimaknakan sebagai sebuah cerita yang tidak benar-benar terjadi (KBBL212) melainkan lebih pada cerita yang dikaitkan dengan kemegahan dan kemashuran Bengawan Solo pada masa dahulu. Pada
zaman dulu kemashuran sejarah Bengawan Solo sering dijadikan
dongeng pengantar tidur bagi anak-anak yang membuat mereka makin mencintai kota kelahirannya. Pada larik 5-6 ini, dongeng hanyut, merupakan konotasi bahwa dongeng-dongeng tentang kemegahan dan
kemashuran Bengawan Solo itu telah hilang.
Pada larik 7-8, kata racun bermakna denotatif zat yang dapat
menyebabkan sakit atau mati (kalau dimakan atau dihirup) (KBBL718),
juga merupakan konotasi yang menyiratkan bahwa limbah pabrik yang
dibuang ke sungai telah menyebabkan ikan-ikan menjadi musnah dan menyebabkan ekosistem sungai menjadi terganggu. Racun pabrik
merupakan konotasi dari limbah pabrik , dan kata menyentuh untuk menggantikan ungkapan membunuh atau memusnahkan.
Larik 9-10 juga merupakan konotasi. Sehubungan dengan larik ini.ada nyanyian yang sudah terkenal sejak dulu tentang kemashuran Bengawan Solo yang diciptakan oleh Gesang. Sering kali orang menyanyikan lagu tersebut untuk mengungkapkan keindahan sungai ini.
Ungkapanjangan menyanyi, di sini pemakaman merupakan kiasan agar jangan menyanyikan keindahan tentang Bengawan Solo lagi karena
92
sudah menguburkan banyak kenangan hingga dikiaskan sebagai sebuah
pemakaman.
Larik 11-12 mengungkapkan konotasi tentang seorang Gesang
yang dianggap telah mencoba melawan masa depan sehubungan dengan hal-hal yang dituturkannya dalam lagu Bengawan Solo. Dalam lagu tesebut Gesang mengungkapkan indahnya Bengawan Solo yang
menjadi perhatian insani. Di musim kemarau tak seberapa airnya,
sedangkan di musim hujan airnya meluap sampai jauh. Mata airnya
berasal dari kota Solo yang terkurung gunung Seribu yang mengalir ke laut. Yang dulu banyak perahu-perahu yang digunakan oleh para pedagang yang berlabuh di sana telah membuat sungai itu ramai dan semarak. Yang kemudian semakin membuat kota Solo (dulu Keraton Solo) makin terkenal.
Larik akhir, larik 13-14, bahwa anak-anak melupakan waktu
merupakan konotasi. Anak-anak merupakan konotasi dari generasi muda. Ungkapan melupakan waktu merupakan kiasan bahwa generasi muda itu makin tidak peduli pada peninggalan atau kekayaan masa lalu. Mereka mulai melupakan kemashuran dan kekayaan bangsa yang semestinya hingga kini tetap harus diwarisi dan dijaganya.
2) Bahasa Kiasan
PuisiuMenghanyutkan Dongeng di Bengawan Solo" menggunakan
beberapa bahasa kiasan, seperti: personifikasi, metafora, ironi, dan
Gaya bahasa personifikasi terdapat pada larik 5-6 /dongeng hanyut/. Pada larik ini dongeng diumpamakan sebagai ide abstrak yang memiliki dan berbuat seolah-olah insan yang dapat hanyut. Larikdongeng
hanyut ini mengiaskan bahwa dongeng tentang kemashuran dan kemegahan Bengawan Solo ini telah pudar bahkan hilang dan tidak dikenal lagi.
Gaya bahasa personifikasi juga terdapat pada larik 7-8, dimana
racun pabrikdikenakan sifat seperti manusia yakni dapat menyentuh ikan.
Selain itu juga terdapat metafora karena racun pabrikmerupakan kiasan dari limbah industri yang dibuang ke sungai secara sembarangan dan
ikan merupakan perlambang dari komunitas sungai secara keseluruhan yang diwakili oleh kata ikan. Kata menyentuh yang digunakan untuk menggantikan kata memusnahkan atau meracuni merupakan eufimisme
dengan maksud untuk memperhalus ucapan.
Gaya bahasa ironi yang mengungkapkan suatu perbandingan yang
tampak bertentangan dengan kenyataan terdapat pada larik 9-10 dan
larik 13-14. Larik Ijangan bernyanyi, di sini pemakaman/ merupakan pernyataan sindiran agar tidak bernyanyi (berkaitan dengan lagu Bengawan Solo) karena di sungai itu sekarang sudah menjadi
pemakaman. Pemakaman pada larik ini juga merupakan metafora dari
tempat penguburan ikan dan komunitas sungai lainnya yang sudah mati karena tercemar limbah pabrik. Larik /anak-anak melupakan waktu/ juga
94
mengingat sejarah bangsanya lagi. Anak-anak merupakan metafora dari generasi muda zaman sekarang dan melupakan waktu merupakan kiasan atas kealpaan dan keengganan generasi muda dalam memelihara
warisan kekayaan budaya bangsanya di masa lampau.
Pada larik 11 digunakan gaya bahasa metonimia, yakni gaya bahasa yang memakai nama ciri atau hal yang ditautkan dengan suatu hal. Ungkapan seorang Gesang merupakan metonimia untuk
menggantikan atau menautkan bahwa nama Gesang ada kaitannya
dengan Bengawan Solo. Gesang adalah pencipta lagu Bengawan Solo
yang mengisahkan tentang keindahan dan kemashuran sungai tersebut. Lagu ini cukup populer di Indonesia, bahkan Gesang pernah mendapat
kehormatan untuk tampil di Jepang untuk membawakan lagunya ini. Sudah menjadi suatu hal yang cukup umum, bila orang membicarakan Bengawan Solo maka orang akan ingat Gesang, sebaliknya orang akan
mengingat Bengawan Solo bila mendengar nama Gesang.
3) Citraan
Citraan visual dapat kita nikmati pada larik 1-2 dan 3-4. Melalui
larik-larik puisi /membendung arus sambil menebang pohon/dan ftanah
terkelupas, mengalir ke sungai/kita seolah dapat melihat arus sungai yang sangat deras sehingga perlu di bendung. Kita juga dapat melihat pohon-pohon yang ditebang untuk membendung arus tersebut. Selanjutnya kita
juga seolah dapat melihat tanah-tanah yang terkelupas atau terkikis
Pada larik 9-10 terdapat citraan auditory sehingga kita merasakan suasana yang hening dan mencekam tanpa adanya suara. Hal ini terungkap dari larik /jangan menyanyi, di sini pemakaman/ yang bermaksud melarang bernyanyi karena di situ daerah pemakaman.
Citraan intelektual terdapat pada larik 5-6, 7-8, 11-12, dan 13-14.
/Dongeng hanyut/, /racun pabrik menyentuh ikan/, /seorang Gesang
melawan masa depan/, dan /anak-anak melupakan waktu/ merupakan citraan angan yang mengiaskan sesuatu makna. Dongeng hanyut tidak bisa diartikan kita melihat sebuah dongeng hanyut di sungai melainkan gambaran intelektual dari hilangnya dongeng tentang kebesaran nama Bengawan Solo. Racun pabrik pun tidak dapat disaksikan sedang menyentuh ikan melainkan citraan yang diperhalus untuk menyatakan
bahwa racun tersebut telah mencemari ekosistem sungai. Seorang
Gesang juga tidak dapat dilihat sedang melawan atau bertarung dengan masa depan atau anak-anak melupakan waktu seperti lupa waktu belajar ataupun sholat. Kesemuanya hanya citraan angan yang melambangkan
makna bahwa Gesang tampak bersusah payah mempertahankan lagunya yang mengungkapkan tentang keindahan Bengawan Solo di masa lalu
sedangkan di masa sekarang (mungkin di masa depan) keindahan itu
sudah dilupakan orang atau generasi muda bangsa.
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Gaya bahasa dan sarana retorika yang digunakan dalam puisi ini
3fc
gaya bahasa memecah hal atau cerita menjadi beberapa bagian dengan tujuan untuk memperjelas hal tersebut. Enumerasi terdapat pada bait pertama, bait kedua, bait ketiga, bait keempat, bait keenam, dan bait ketujuh. Gabungan dari bait-bait itu menuturkan sebuah cerita tentang
keadaan Bengawan Solo di masa sekarang yang memprihatinkan dan kemashurannya dulu tinggal menjadi kenangan indah.
Selain itu, bait kelima menggunakan gaya bahasa ironi yang merupakan sindiran dengan cara berolok-olok. Dikatakan agar jangan
bernyanyi (jan9an menyanyikan tentang keindahan Bengawan Solo
seperti syair yang terdapat dalam lagu yang diciptakan oleh Gesang) karena sekarang sungai ini hanya merupakan sebuah pemakaman atau tempat mengubur ikan-ikan dan kejayaan yang telah musnah.
b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks dalam puisi Menghanyutkan Dongeng di
Bengawan Solo adalah keberadaan Bengawan Solo itu sendiri. Yakni,
keadaan dan eksistensi Bengawan Solo pada masa sekarang ini, yang
tentunya mengalami banyak perubahan, baik keadaan maupun
B. Pembacaan Heuristik Bait pertama
(Mereka) membendung arus (di sungai) sambil menebang pohon
(yang ada di sana).
Bait kedua
Tanah terkelupas, dan mengalir ke (dalam) sungai.
Bait ketiga
Dongeng (tentang keindahan dan kemegahan sungai itu pun ikut) hanyut.
Bait keempat
Racun (yang berasal dari limbah) pabrik, menyentuh (dan memusnahkan komunitas) ikan (yang hidup di sungai itu).
Bait kelima
Jangan bernyanyi, (karena) di sini (tempat) pemakaman!
Bait keenam
Seorang (pencipta lagu yang bernama) Gesang, (telah) melawan
masa depan.
Bait ketujuh
Anak-anak (pun mulai) melupakan waktu ( tentang kemegahan masa lalu).
Pada pembacaan heuristik ini ada beberapa hal yang perlu ditambahkan, terutama kelengkapan unsur kalimat seperti: subjek,
"98
kiranya ditambahkan kata bantu (dalam dan tempat), namun pemakaian imbuhan pada katanya tidak memerlukan penambahan karrena kata-katanya sudah memakai awalan yang lengkap.
C. Pembacaan Retroaktif
Secara keseluruhan puisi ini merupakan sebuah ironi. Judulnya,
Menghanyutkan Dongeng di Bengawan Solo, sudah mengisyaratkan bahwa sebuah dongeng tentang kemashuran Bengawan Solo di masa lalu
kini seolah hilang dan ikut terhanyut di kederasan aliran sungai tersebut.
Diceritakan dalam puisi ini bahwa untuk membendung arus yang mengalir deras di sungai itu dilakukan dengan cara menebang pohon yang
ada di sana. Cara seperti ini menyebabkan tanah menjadi terkelupas dan
mengalir ke dalam sungai sehingga dapat menyebabkan erosi. Dan
dongeng tentang keindahan dan kemegahan sungai itu pun ikut pula terhanyut. Selain itu, racun yang datang melalui limbah pabrik tampak
menyentuh dan membuat komunitas dan perkembangan ikan dan kehidupan di sungai itu ikut musnah. Ada seruan, jangan bernyanyi atau di larang bernyanyi di sini (di sungai ini) karena kini sungai tersebut merupakan sebuah tempat pemakaman bagi kehidupan sungai dan bagi kemashuran sungai tersebut.
Gesang, seorang pencipta lagu, yang menciptakan lagu 'Bengawan Solo'. Lagu ini tidak hanya terkenal di dalam negeri dan menjadi lagu yang
melegenda tetapi juga dikenal di negara lain, seperti Jepang, Malaysia,
mendapat penghargaan dari pemerintah Jepang atas lagunya ini. Lagu ini
menceritakan tentang keindahan Bengawan Solo pada masa lampau. Pada masa sekarang, cerita tentang keindahan sungai ini tampak hanya
tinggal cerita dan kenangan yang indah saja. Hal ini diibaratkan bahwa Gesang telah melawan masa depan. Anak-anak atau generasi muda
bahkan telah lupa dan tidak lagi mengenai kemashuran sejarah masa silam bangsanya sendiri.
3. Puisi KREMATORIUM MATAHARl
Karya: Soni Farid Maulana
1. Bergetarjaringan urat syaraf
2. Yang kau arsir di sekujur tubuh dengan halus tanganmu. 3. Sorot matamu, sekalipun tampak berkabut terasa api. 4. Mencairkan darahku yang beku.
5. Bagai dinding kelam. Membatu. 6. 0, dusta yang mengambang di hati.
7. Alangkah racun bagai kata-kata berbunga. 8. Mekar di saku baju dan celana.
9. Sarat bon utang juga alamat terlupa.
10. Tak kutahu maut beriayar di situ.
11. Memulas langit dengan warna lipstick yang aneh. 12. Dan di lantai ini, di ruang yang sarat dengan musik. 13. Cahaya tampak berlintasan.
14. Mengerat bijimataku.
(Republika, 8 Februari 1998)
a. ANALISIS UNSUR PUISI
1) Denotasi dan Konotasi
100
berkabut, api, mencairkan darah, dinding, membatu, racun, mekar,
berbunga, maut, beriayar, langit, lipstick, musik, cahaya, dan biji mata.
Puisi ini berjudul Krematorium Matahari. Krematorium adalah suatu tempat untuk membakar mayat sehingga menjadi abu (perabuan) (KBBI:465). Matahari secara denotasi berarti benda angkasa atau titik pusat tata surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan terang dan panas pada bumi siang hari (KBBI:565). Judul Krematorium Matahari
merupakan sebuah ungkapan dari suatu alat yang dapat membakar dengan panas yang sama dengan panasnya matahari.
Puisi ini, selain menggunakan kata-kata yang bermakna denotasi juga banyak menggunakan kata bermakna konotasi. Larik 1 bermakna denotasi yang menyatakan getaran jaringan urat syaraf karena sesuatu
hal. Kata arsir secara denotasi bermakna tarikan garis-garis sejajar atau silang menyilang, yang biasanya digunakan sebagai istilah dalam bidang
matematika atau melukis (KBBL49) juga mengandung makna konotasi menyentuh. Kedua larik tersebut menyatakan bahwa getaran jaringan urat
syaraf yang terasa itu disebabkan karena ada seseorang (dia) yang mengarsir atau menyentuh sekujur tubuhnya dengan kehalusan
tangannya.
Pada larik 3 /sorot mata sekalipun tampak berkabut namun terasa
bagaikan api/, kata sorot bermakna sinar atau cahaya (KBBI:855) hingga
sorot mata dapat diartikan sebagai sinar mata atau pandangan mata; kata
dan bermakna konotasi sedih suram (KBBL373); dan kata api bermakna denotasi panas dan cahaya yang berasal dari sesuatu yang terbakar
sedangkan makna konotasinya adalah semangat dan perasaan yang menggelora (KBBL45). Larik ini mengiaskan bahwa pandangan mata yang tampak sedih dan suram itu terasa tetap menyiratkan perasaan yang menggelora. Hal ini dapat/mencairkan darah yang semula beku/(larik 4) yang bermakna menimbulkan kembali semangat hidup yang semula sirna.
Pada larik 5 Ibagai dinding kelam, dan membatu/, kata kelam
bermakna agak gelap, kurang terang, dan suram (KBBL407) dan kata
membatu bermakna denotasi menyerupai batu dan keras seperti batu sedangkan makna konotasinya diam saja dan membisu (KBBI.86). Larik ini merupakan ungkapan dari keadaan yang sangat gelap, suram, kaku, keras, dan dingin membisu sebagaimana kakunya sebuah dinding.
Pada larik 6 ungkapan l-ol merupakan sebuah seruan atau rintihan, dusta berarti bohong atau tidak benar (KBBL216), dan kata
mengambang bermakna denotasi terapung dan melayang sedangkan makna konotasi tidak jelas dan tidak mengena (KBBL26). Larik ini mengungkapkan seruan tentang suatu dusta atau kebohongan yang terasa mengambang di hati yang menimbulkan rasa nelangsa.
Pada larik 7 lalangkah racun terasa bagaikan kata-kata yang berbunga/, kata racun berarti zat yang menyebabkan sakit atau mati dan makna konotasinya merusakkan batin (KBBI:718), kata berbunga secara
\02
(KBBL137) dan konotatifnya menyatakan kiasan terhadap suatu keadaan yang indah atau menyenangkan hati. Adapun makna larik ini bahwa karena dusta dan kebohongan yang ada maka racun yang dapat
menyebabkan rasa sakit, kematian, dan merusakkan batin itu justru terasa
bagaikan kata-kata yang indah dan menyenangkan hati.
Pada larik 8-9/mekar di saku baju dan celana, sarat bon utangjuga
alamat terlupal, kata mekar bermakna berkembang, menjadi terbuka, dan
menjadi tambah besar dan luas (KBBL570) dan ungkapan saku baju dan
celana yang sarat dengan bon utang dan alamat terlupa menyatakan
keadaan seseorang yang sedang tidak mempunyai uang karena kantongnya kosong dan isinya hanya bon utang dan alamat-alamat yang
tak berarti. Ungkapan pada larik 8-9 itu merupakan kiasan bahwa
kata-kata bujukan dapat menguras kantong atau menguras uang sedangkan
keadaan orang yang terkuras pun sebenarnya tidak terialu baik karena
justru penuh dengan libatan utang.
Pada larik 10 /tak kutahu maut beriayar di situl, kata maut
merupakan perlambang dari kematian atau ajal (KBBI:568) dan kata
beriayar secara denotasi berarti mengarungi lautan dan konotasinya berarti meninggal dunia (KBBI:505). Larik ini dapat diartikan bahwa si aku
tidak mengetahui bahwa ada kematian yang sedang mendekatinya.
Pada larik 11 Imemulas langit dengan warna lipstik yang aneh/,
kata memulas berarti mengoles jadi memulas langit berarti memoles atau
dengan warna lipstick yang aneh. Bila dihubungkan dengan perkembangan alat kecantikan sekaran, warna lipstiks yang biasanya identik dengan warna merah namun kini mengalami perubahan karena sekarang warna aneh lipstik itu ada yang kelabu, ungu, bahkan hitam dan wama-warna yang agak tidak biasa lainnya.
Pada larik 12-13/di lantai dan di ruang yang penuh dengan musik,
cahaya tampak berlintasanl, kata berlintasan dapat diartikan sebagai berjalan atau berlalu dengan cepat (KBBI:527), jadi cahaya berlintasan dapat diartikan sebagai cahaya yang memancar dan berlalu dengan cepat. Melalui larik ini dapat dikonotasikan bahwa lantai dan ruang yang
penuh musik dan lintasan cahaya tersebut adalah ruang diskotik atau pub. Keadaan yang ada di sana tampak menyiksa si aku, di mana ia
mengungkapkan pada larik 14 bahwa cahaya yang berlintasan itu tampak
mengerat biji matanya. Katamengeratyang digunakan terasa sangat pas walaupun kata ini juga sama artinya dengan kata mengiris, memotong,
memenggal, atau melubangi (KBBL425). Biji mataku secara denotatif
bermakna bulatan di rongga mata dan konotasinya merupakan ungkapan untuk menyatakan pandangan (KBBI:115).
2) Bahasa Kiasan
Personifikasi terdapat pada larik 1-2 dimana getaran jaringan
104
Larik 3-5 menggunakan bahasa kiasan simile yang memper-bandingkan sorot mata yang berkabut dengan suatu benda yang terasa panas bagaikan api sehingga mencairkan darah si aku yang sebelumnya terasa beku. Keadaan yang dialami si aku itu diperbandingkan dengan
dinding kelam yang membatu.
Larik 6, 7, 8, dan 9 menggunakan gaya bahasa personifikasi,
simile, dan metafora. Dusta diumpamakan sebagai ide yang abstrak
yang dapat mengambang sebagaimana sebuah benda, dan hati
diumpamakan sebagai kolam atau genangan air yang dapat membuat sesuatu menjadi mengambang. Racun merupakan perlambang dari dusta yang menyebabkan sakit bahkan kematian. Karena Rayuan sang kekasih, kata-kata dusta yang beracun justru terasa bagai kata-kata berbunga yang indah dan mennyenangkan hati, yang merupakan simile dengan menggunakan kata bagaikan. Dusta dan rayuan itu sampai pada tahap menguras isi kantong yang memang dalam keadaan tipis dan banyak
utang. Hal ini dengan manis diungkapkan dengan perbandingan sebagai kata berbunga yang mekar di saku baju dan celana yang sarat dengan
bon utang dan kumpulan alamat saja.
Larik 10, 11, 12, 13, dan 14 menggunakan gaya bahasametafora. Ungkapan maut beriayar di situ merupakan perlambang dari kematian atau kejatuhan yang membayangi kehidupannya. Maut itu memulas langit dengan warna-warna yang menyeramkan yang diperlambangkan sebagai
berada tampak dipenuhi hingar bingar musik dan lintasan cahaya. Kesemuanya itu, terutama cahaya yang berlintasan, telah menyiksa pandangan si aku. Pada larik ini terdapat personifikasi dimana cahaya yang berlintasan dapat mengerat biji mata.
3) Citraan
Citraan organik dan tactual terasa pada larik 1-2 yang menyatakan tentang gerakan yang dirasakan si aku yakni bergetarnya jaringan urat syaraf yang terasa di sekujur tubuhnya karena sentuhan tangan sang kekasih yang halus. Selanjutnya pada larik 3 ada citraan tactual yang menyatakan bahwa sorot atau tatapan mata sang kekasih terasa panas bagaikan api walaupun tampak berkabut atau kelam. Sementara itu pada larik 4 ada citraan visual yang memperlihatkan sorot mata yang panas itu mencairkan kebekuan darah si aku seperti
sebongkah es yang sedang mencair.
Larik 5-9 mengandung citraan intelektual yang mengandung
gambaran ide yang abstrak. Melalui larik-larik tersebut dinyatakan keadan
yang dialami si aku bagai dinding yang kelam dan membatu yang penuh
kekejaman. Kata dusta yang menyentuh hati bagaikan racun yang justru
dirasakan kata yang indah berbunga, yang menaburkan rayuan sehingga menguras kantong.
Larik 10-11 mengandung citraan visual yang memperlihatkan
\0h
langit yang dipenuhi warna lipstick yang aneh, yang mungkin biru, ungu, kelabu, bahkan hitam atau keemasan.
Melalui citraan auditory pada larik 12 dapat didengar dan dibayangkan suatu lantai atau ruangan yang penuh dengan musik yang hingar bingar. Sementara itu pada larik 13 ada citraan visual yang memperlihatkan suatu ruangan yang dipenuhi oleh kilatan cahaya yang tampak berlintasan. Akhirnya pada larik 14, citraan tactual
menggambarkan perasaan perih karena lintasan cahaya itu dirasakan
mengiris atau menyiksa pandangan mata.
4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika
Gaya bahasa dan sarana retorika yang digunakan dalam puisi ini
didominasi oleh Hiperbola dan Sinisme. Hiperbola merupakan gaya bahasa yang melebih-lebihkan sesuatu hal atau keadaan untuk menyangatkan, untuk intensitas, ataupun untuk ekspresivitas. Kata-kata
yang beriebihan itu tedapat pada bait pertama, bait ketiga, dan bait keempat. Sarana retorika ini menyebabkan suasana yang ditampilkan
tampak lebih terasa, lebih menyentuh, dan lebih mencekam. Kata-kata tersebut misalnya: bergetarnya jaringan urat syaraf karena kau arsir di sekujur tubuh dengan kehalusan tanganmu, sorot mata terasa bagaikan
api yang dapat mencairkan darah yang beku, maut beriayar dan memulas
Pada bait kedua terdapat gaya bahasa Sinisme yang merupakan sindiran terhadap peristiwa kehidupan yang pahit dimana dusta yang ada di hati membuat racun seolah kata indah dan berbunga yang mekar di
saku baju yang telah sarat dengan bon utang.
b. PEMAKNAAN PUISI
1) Matriks
Kata kunci atau matriks dalam puisi Krematorium Matahari ini terietak pada si kamu (perempuan) yang dianggap membawa dusta dan racun bagi si aku. Si kamu yang dijumpainya ditempat yang sarat dengan musik dan cahaya itu telah merayunya, menebarkan kata-kata dusta dan berbunga hingga terasa menyiksa si aku.
B, Pembacaan Heuristik
Bait pertama
"(Serasa) bergetar (seluruh) jaringan urat syaraf ku, yang kau arsir
(-kan) di sekujur tubuh (ku) dengan (ke-) halus (-an) tanganmu. Sorot matamu, sekalipun tampak berkabut (namun) terasa (panas bagaikan) api (sehingga) mencairkan darahku yang beku."
Bait kedua
"(Engkau) bagaikan (sebuah) dinding kelam (yang) membatu. -o,
dusta yang mengambang di hati, alangkah (ber-) racun bagai kata-kata
VOft
sebelumnya sudah) sarat (dengan) bon utang , juga (kertas) alamat yang terlupa."