• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN SIMIOTIK TERHADAP PUISI KORAN : Studi Deskriptif-Analitis terhadap Puisi Koran sebagai Alternatif Bahan Ajar Kesusastraan di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KAJIAN SIMIOTIK TERHADAP PUISI KORAN : Studi Deskriptif-Analitis terhadap Puisi Koran sebagai Alternatif Bahan Ajar Kesusastraan di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas."

Copied!
237
0
0

Teks penuh

(1)

sebafi Alternatif Bahan Ajar Kesusasteraan

Si Sekolah Lanjutan Tingkat Atas)

TESIS

Oleh

HERLIN A RUSMARYANTl 95961 li/19-XXVII

Progam Sludi Pengajaran Bahasa Indonesia

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT KEGURIJAN DAN ILMU PENDIDIKAN BANDUNG

(2)

Lembaran Pengesahan Pembimbing

disahkan dan disetujui oleh pembimbing

untuk Ujian Tahap II

Pembimbing I

4^^{/U-\

Prof. Dr.H. Yus Rusyana

Pembimbing II

(3)

Kata Pengantar

Ucapan Terima Kasih. Daftar Isi

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1

B. Masalah 7

C. Pembatasan Masalah 7

D. Tujuan

8

E. Manfaat 8

F. Asumsi 9

G. Metodologi Penelitian

9

1. Metode Penelitian 9

2. Teknik Pengumpulan Data 10

3. SumberData, Populasi, dan Sampel 12

4. Teknik Analisis Data 12

H. Defenisi Operasional

13

BAB II. KAJIAN SEMIOTIK, SASTRA KORAN, DAN BAHAN AJAR

A. Pengertian Semiotika

15

B. Strukturalisme dan Semiotik 17

C. Beberapa Konsep dan Komponen Semiotik

20

D. Pendekatan Semiotik dalam Pengkajian Sastra 25 E. Unsur-Unsur Puisi yang Akan Dianalisis dalam Kajian

Semiotik 27

1. Pemilihan Kata 27

2. Denotasi dan Konotasi 28

3. BahasaKiasan 32

a. Perbandingan (Simile) 35

b. Metafora 36

c. Perumpamaan Epik(Epic Simile) 38

d. Personifikasi 39

e. Metonimia 40

f. Sineksdok 42

4. Citraan 42

5. Gaya Bahasa dan Sarana Retoris

46

a. Tautologis 47

b. Pleonastis 47

c. Enumerasi 48

d. Paralel 48

e. Hiperbolis 49

f. Paradoks 50

(4)

g. Kiasmus

50

h. Ironis, Sinis, dan Sarkasmis

51

6. Pemaknaan Puisi 52

a. Matriks atau Kata Kunci 52

b. Pembacaan Semiotik 53

1) Pembacaan Heuristik

53

2) Pembacaan Retroaktif

55

F. Sastra Koran 56

1. Perkembangan Sastra Koran

56

2. Fungsi Sastra Koran

63

3. Lembaran Budaya dan Sastra di Harian Umum Republika,

Media Indonesia, dan Pikiran Rakyat 64

a. Lembar Budaya dan Sastra di Republika

64

b. Lembar Budaya dan Sastra di Media Indonesia

66

c. Lembar Budaya dan sastra di Pikiran Rakyat

67

G. Kriteria Pemilihan Bahan Ajar 69

1. Aspek Sastra

69

2. AspekBahasa

71

3. Aspek Psikologis

72

4. Aspek Latar Belakang Budaya

74

BAB III. ANALISIS DATA

A.Analisis Puis] 75

1. Puisi TANAHAIRMATA 75

a. ANALISIS UNSUR PUISI 76

1) Denotasidan Konotasi

76

2) Bahasa Kiasan

80

3)Citraan

82

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika

83

b. PEMAKNAAN PUISI 85

1) Matriks 85

2) Pembacaan Heuristik

85

3) Pembacaan Retroaktif 87

2. Puisi MENGHANYUTKAN DONGENG DI BENGAWAN SOLO 89

a. ANALISIS UNSUR PUISI 90

1) Denotasi dan Konotasi

90

2) Bahasa Kiasan

92

3)Citraan

94

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika

95

b. PEMAKNAAN PUISI 96

1) Matriks

96

2) Pembacaan Heuristik

97

3) Pembacaan Retroaktif

98

(5)

2) Bahasa Kiasan 103

3)Citraan 105

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika 116

b. PEMAKNAAN PUISI 107

1) Matriks 107

2) Pembacaan Heuristik 107

3) Pembacaan Retroaktif 108

4. Puisi FRAGMENTASI 110

a. ANALISIS UNSUR PUISI 110

1) Denotasi dan Konotasi 110

2) Bahasa Kiasan 115

3)Citraan 118

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika 119

v. rL_iv«-vr\i>i/-vAM>* r u i o i I l a

1) Matriks : 119

2) Pembacaan Heuristik 119

3) Pembacaan Retroaktif 121

5. Puisi JEMBATAN 122

a. ANALISIS UNSUR PUISI 123

1) Denotasi dan Konotasi 123

2) Bahasa Kiasan 127

3)Citraan 129

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika 131

b. PEMAKNAAN PUISI 136

1) Matriks 136

2) Pembacaan Heuristik 137

3) Pembacaan Retroaktif 139

6. Puisi PADAMU NABI 137

a. ANALISIS UNSUR PUISI 138

1) Denotasi dan Konotasi 138

2) Bahasa Kiasan 142

3)Citraan 144

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika 145

b. PEMAKNAAN PUISI 146

1) Matriks 146

2) Pembacaan Heuristik 146

(6)

7. Puisi RUDAPAKSA PERSALINAN 149

a. ANALISIS UNSUR PUISI 150

1) Denotasi dan Konotasi

150

2) Bahasa Kiasan

153

3)Citraan

154

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika

155

b. PEMAKNAAN PUISI 156

1) Matriks

156

2) Pembacaan Heuristik

15/

3) Pembacaan Retroaktif

158

8. Puisi RUMAH BIRU 161

a. ANALISIS UNSUR PUISI 161

1) Denotasi dan Konotasi

161

2) Bahasa Kiasan

162

3)Citraan

164

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika

164

b. PEMAKNAAN PUIS! 165

1) Matriks

165

2) Pembacaan Heuristik

166

3) Pembacaan Retroaktif

166

9. Puisi LAGU PAGI YANG ANEH 167

a. ANALISIS UNSUR PUISI 168

1) Denotasi dan Konotasi

168

2) Bahasa Kiasan

170

3)Citraan

171

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika

171

b. PEMAKNAAN PUISI 172

1) Matriks

172

2) Pembacaan Heuristik

172

3) Pembacaan Retroaktif 173

10. Puisi DIDISKOTIK 175

a. ANALISIS UNSUR PUISI 175

1) Denotasi dan Konotasi

175

2) Bahasa Kiasan

179

3)Citraan

180

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika

181

b. PEMAKNAAN PUISI 182

1) Matriks

182

2) Pembacaan Heuristik

182

3) Pembacaan Retroaktif

184

(7)

2) Bahasa Kiasan

189

3)Citraan

190

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika

191

b. PEMAKNAAN PUISI 192

1) Matriks

192

2) Pembacaan Heuristik

192

3) Pembacaan Retroaktif

194

12. PuisiINDONESIA, SEBUAH SISA 196

a. ANALISIS UNSUR PUISI 197

1) Denotasi dan Konotasi

197

2) Bahasa Kiasan

199

3)Citraan

200

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika

201

b. PEMAKNAAN PUISI 202

1) Matriks

202

2) Pembacaan Heuristik

202

3) Pembacaan Retroaktif

204

13. Puisi KUPANGGILI NAMAMU BERKALI-KALI. 205

a. ANALISIS UNSUR PUISI 205

1) Denotasi dan Konotasi

205

2) Bahasa Kiasan

207

3)Citraan

208

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika

209

b. PEMAKNAAN PUISI 210

1) Matriks

210

2) Pembacaan Heuristik

211

3) Pembacaan Retroaktif

211

14. Puisi KASIDAH ANGIN 213

a. ANALISIS UNSUR PUISI 214

1) Denotasi dan Konotasi

214

2) Bahasa Kiasan

215

3)Citraan

216

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika

217

b. PEMAKNAAN PUISI 218

1) Matriks

218

2) Pembacaan Heuristik

218

3) Pembacaan Retroaktif

220

(8)

B. Pembahasan 259 1. Denotasi dan Konotasi (Pilihan kata) 259

2. Bahasa Kiasan 262

3. Citraan 264

4. Gaya Bahasa dan Sarana Retoris 266

5. Matriks 268

6. Pembacaan Heuristik dan Retroaktif 270

C. Hasil Analisis 274

1. Hasil Kajian Semiotik terhadap Struktur dan Pemaknaan

Puisi Koran 274

2. Hasil Kajian Semiotik terhadap Puisi Koran sebagai Suatu

Altematif Pemilihan Bahan Ajar 276

BAB IV. PUISI KORAN SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN AJAR DI SEKOLAH

A. Pendahuluan 279

B. Puisi Koran sebagai Altematif Bahan Ajar 283

C. Penutup 285

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan 286

B:Saran 287

Daftar Pustaka 288

Lampiran-lampiran

(9)

1. Tabel 1. Pilihan Kata 260

2. Tabel 2. Bahasa Kiasan 263

3. Tabel 3. Citraan 265

4. Tabel 4. Gaya Bahasa dan Sarana Retorika 267

5. Tabel 5. Matriks 269

6. Tabel 6. Pembacaan Heuristik 272

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Memahami makna puisi atau sajak bila dibandingkan dengan

memahami makna prosa tampaknya bukanlah hal mudah, lebih-lebih

pada masa sekarang, karena puisi semakin kompleks. Hal ini disebabkan

prosa itu mengikuti atau sesuai dengan struktur bahasa normatif,

sedangkan puisi biasanya menyimpang dari tata bahasa normatif

(Pradopo, 1995:278).

Memahami puisi dan memberi makna puisi tidaklah mudah tanpa

mengerti konvensi sastra, khususnya konvensi puisi. Untuk tujuan itu

perlu kiranya diadakan pengkajian atau penganalisisan terhadap teks

sastra yang kini

makin

berkembang dengan

berbagai

macam

pendekatannya. Setiap pengkajian tersebut bertujuan agar karya sastra

itu dapat dipahami lebih baik, sehingga dapat lebih dinikmati serta dapat

ditarik manfaatnya

{dulce

dan

utile)

(Sudjiman, 1993:1).

Puisi merupakan sebuah struktur, yakni susunan unsur-unsur yang

bersistem yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik,

saling menentukan. Menurut pandangan strukturalisme, dunia (karya

sastra) lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan

benda-benda. Tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan

(11)

Unsur-unsur dalam suatu puisi saling menentukan maknanya.

Untuk memahami makna secara keseluruhan perlulah sajak atau puisi

dianalisis atas unsur-unsurnya secara struktural. Di samping itu, puisi

juga merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna, oleh karena itu

perlu dikaji dengan kajian semiotik.

Selama ini analisis struktural yang dikenal dalam pengkajian sastra

adalah

analisis struktural murni

yang menganalisis karya sastra dari segi

struktur mtrinsiknya saja dan tidak dikaitkan dengan hal-hal yang ada di

luar strukturnya. Meskipun demikian analisis struktural tetap merupakan

langkah awal sebelum melakukan analisis yang lain. Tanpa analisis

tersebut, kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digaii dari karya

sastra itu sendiri tidak akan tertangkap dan untuk mengatasi hal itu ialah

dengan menggunakan

strukturalisme dinamik,

yakni

strukturalisme dalam

kerangka semiotik.

Penelitian

ini

berupa

pengkajian

karya

sastra

dengan

menggunakan

kajian semiotik.

Menurut Culler (dalam Teeuw, 1984:143)

ilmu sastra yang sejati harus bersifat semiotik, yaitu harus menganggap

sastra sebagai sistem tanda. Tugas semiotik bukanlah mendeskripsikan

tanda-tanda tertentu melainkan memerikan konvensi-konvensi yang

(12)

seluruh pengalaman dan kebudayaan manusia berdasarkan tanda dan

mempunyai dimensi simbolik yang dominan.

Memahami puisi adalah memahami makna puisi itu dan mengkaji

atau menganalisis puisi merupakan usaha menangkap makna-makna

yang terkandung di dalam puisi. Dengan adanya hasil pengkajian atau

analisis puisi maka kita akan lebih mudah memahami makna puisi itu.

Kajian semiotik sangat baik untuk memahami karya sastra karena

ia memandang karya sastra itu dalam kerangka komunikasi. Kajian

dengan pendekatan semiotik mempunyai kekuatan utama karena ia lebih

menyempurnakan pendekatan-pendekatan yang lain, seperti struktural,

stilistika, dan sosiologis. Di samping itu, analisisnya lebih bersifat

komprehensif. Kajian dengan pendekatan semiotik berpandangan bahwa

tanda-tanda atau kode-kode sekecil apapun yang terdapat dalam karya

sastra penting untuk diperhatikan karena ia ikut membentuk sistem dan

keseluruhan

karya

tersebut.

Pengkajian

karya

sastra

dengan

menggunakan kajian semiotik sangat tepat karena dengan menggunakan

kajian ini tidak ada halangan untuk mengkaji karya sastra eksperimental,

abstrak, atau antirealis yang mungkin bentuknya aneh. Bahkan dapat

dikatakan karya sastra semacam itu justru lebih tepat diteliti dengan

menggunakan kajian semiotik (Semi, 1993:88-89).

Setiap jenis sastra, baik puisi, prosa, ataupun drama, dipandang

(13)

kode masing-masing.

Sastra Indonesia sejak awal kebangkitannya telah menerima jasa

penerbitan koran. Surat kabar atau koran ini berjasa dalam

menyebarluaskan karya sastra ke masyarakat luas secara periodik dan

kontinyu. Sempitnya ruangan atau kolom koran justru mendorong

timbulnya pendayagunaan bahasa dalam pengucapan sastra sebagai

pengayaan

ekspresi

bahasa

Indonesia,

yang

memungkinkan

berkembangnya genre sastra yang khas (Kompas, 30 Maret 1997).

Pendidikan dan pengajaran sastra di sekolah tidak terlepas dari

perkembangan kesusastraan yang ada di dalam masyarakat. Bahkan

karya-karya sastra yang berkembang dalam masyarakat itu banyak

digunakan atau dimasukkan ke dalam bahan ajar kesusastraan di

sekolah. Maley (dalam Carter dkk, 1989:1) menyatakan bahwa karya

sastra dapat digunakan sebagai bahan atau materi dalam pengajaran

yang menunjukkan kenyataan bahwa karya sastra pada hakikatnya

adalah bahasa dalam penggunaannya (language in use).

Berkembangnya dunia sastra di Indonesia, baik di koran, majalah,

ataupun di media lain, temyata

tidak selaras dengan keadaan

pengajaran sastra, yang dinilai oleh para pengamat ataupun pakar sastra

(14)

berhasil (Rosidi, 1970:61-66 dan Rusyana, 1990:41). Berdasarkan

kenyataan yang ada, perkembangan sastra (khususnya puisi) yang ada

dalam masyarakat dapat dijadikan salah satu faktor yang perlu

dipertimbangkan dalam menentukan materi pengajaran sastra di sekolah.

Dengan demikian, bahan yang disajikan di sekolah tidak terlalu jauh

jaraknya dengan yang terjadi dalam lingkungan para siswa.

Salah satu permasalahan dalam pengajaran sastra adalah masih

kurangnya materi sastra dalam buku-buku teks yang diwajibkan di

sekolah. Minimnya materi tersebut menyebabkan guru tidak leluasa

memilih bahan yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan kurangnya

materi juga menyulitkan guru untuk memvariasikan materi ajar. Oleh

sebab itu, ketergantungan guru pada pilihan materi yang minim dan sikap

yang terikat pada otoritas dalam memilih bahan ajar, perlu diubah menjadi

kegiatan yang kreatif dalam mencari dan menentukan bahan ajar yang

sesuai dan menarik. Hal ini ditegaskan oleh Rusyana (1984:335) bahwa,

"Guru harus berinisiatif memenuhi kebutuhan siswanya." Berdasarkan

kenyataan ini maka penelitian terhadap puisi koran diajukan sebagai

altematif bagi pemilihan bahan ajar yang merupakan salah satu upaya

yang dilakukan untuk meningkatkan daya apresiasi sastra siswa.

Pendekatan semiotik yang memberi perhatian kepada aspek

(15)

agar para siswa dibawa masuk menggauli karya sastra itu sehingga

tumbuh kepekaan

dan perasaannya terhadap berbagai unsur estetik

yang terdapat di dalamnya (Sarwadi, 1991:98).

Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kajian

semiotik, seperti yang dilakukan oleh Ivo, Saraswati, dan Aliana dkk.,

merupakan kajian semiotik terhadap karya sastra berbentuk prosa. Ivo

menyoroti tentang karakteristik sastra koran namun yang diungkapkan

adalah karakteristik cerpen koran dalam lingkup semiotik, Saraswati

mengkaji cerpen-cerpen Danarto dalam kumpulan cerpen Berhala, dan

Aliana mengkaji beberapa cerita rakyat di Sumatera Selatan. Berdasarkan

kajian terdahulu tersebut maka penulis berkeinginan melakukan kajian

semiotik terhadap karya sastra berbentuk puisi, khususnya puisi koran. Di

samping belum banyak yang melakukan pengkajian puisi dengan

menggunakan kajian semiotik, penulis juga berkeinginan menampilkan

puisi koran tersebut sebagai sebuah karya sastra yang

patut

dipertimbangkan sebagai bahan ajar kesusastraan di sekolah mengingat

(16)

B. Masalah

1.

Bagaimanakah struktur puisi koran berdasarkan kajian semiotik?

2. Hal apa sajakah yang dapat diambil dari hasil kajian semiotik teihadap

puisi koran itu untuk dijadikan altematif bahan ajar kesusastraan?

C. Pembatassn Masalah

Bantuk sastra koran mengacu pada semua bentuk bahasa yang

diterbitkan di koran. Heryanto (1985:119) menyebutkan, "Istilah sastra

koran biasanya dipakai untuk menjelaskan atau mengacu pada prosa,

puisi, atau drama yang diterbitkan dalam koran." Dalam penelitian ini,

sastra koran yang dibicarakan terbatas pada bentuk puisi saja, yang

disebut puisi koran.

Dalam penelitian ini, unsur yang dibahas dibatasi pada masalah

pengkajian puisi secara semiotik, yakni pengkajian puisi atas unsur-unsur

intrinsiknya kemudian pemaknaan atas tanda-tanda secara

kajian

semiotik. Mula-mula

penelitian ini akan mengkaji unsur-unsur yang

esensial dalam sebuah puisi, yang dibatasi pada pilihan kata (diksi) yang

meliputi denotasi dan konotasi, bahasa kiasan, citraan, serta gaya bahasa

dan sarana retorika. Setelah itu dilanjutkan dengan pengkajian secara

semiotik yang lebih menekankan proses pemaknaan unsur-unsur puisi

sehingga makna puisi lebih dapat dipahami. Proses pemaknaan itu

meliputi penentuan matriks atau kata kunci puisi serta pembacaan secara

(17)

2. Mendeskripsikan puisi-puisi koran dengan menggunakan kajian

semiotik.

3. Menemukan hal-hal yang khas pada puisi koran dari hasil kajian

semiotik yang mendukungnya sebagai suatu altematif bahan ajar

kesusastraan di sekolah.

E. Manfaat

Dari segi keilmuan, hasil penelitian diharapkan dapat menambah

dan memperluas wawasan tentang teori dan penerapan kajian semiotik

kepada guru, siswa, dan pencinta sastra sehingga mereka dapat

menganalisis puisi secara lebih apresiatif. Diharapkan pula kajian puisi

koran yang menggunakan kajian semiotik ini dapat dijadikan sebagai

bahan bandingan bagi uraian atau kajian model lain.

Penelitian ini

diharapkan

dapat

dimanfaatkan sebagai suatu

usaha untuk memperkenalkan puisi koran sebagai suatu objek kajian.

Hasilnya dapat dijadikan sebagai suatu altematif pemilihan bahan ajar

yang akan memperkaya pengajaran kesusastraan di Indonesia.

Hasil penelitian ini juga dipakai sebagai referensi aktual mengenai

perkembangan karya sastra yang berbentuk puisi, khususnya puisi koran.

Juga sebabagi dokumen dalam periode atau masa tertentu dari

(18)

F. Asumsi

1. Pengetahuan tentang kajian semiotik dan puisi koran berguna untuk

melengkapi pengetahuan dan daya apresiasi terhadap sastra

Indonesia modem.

2. Puisi koran merupakan bagian fenomena Sastra Indonesia Modern.

3. Pengembangan bahan ajar kesusastraan harus terus ditingkatkan

untuk mencapai bahan ajar yang lengkap untuk pengembangan daya

apresiasi siswa.

G. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan

metode

deskriptif-analitis.

Metode deskriptif-analitis adalah suatu metode untuk menggambarkan

keadaan objek yang diteliti yang sekaligus menguraikan aspek-aspek

yang dijadikan pusat perhatian dalam penelitian.

Metode deskriptif

digunakan untuk membantu upaya identifikasi

dan pemaparan unsur-unsur yang menjadi fokus penelitian. Sudjana dan

Ibrahim (1989:64) mengemukakan bahwa metode deskriptif digunakan

untuk mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada

saat sekarang. Sementara itu, Suryabrata (1995:19) berpendapat bahwa

penelitian deskriptif adalah akumulasi data dasar dalam cara deskriptif

semata-mata tidak perlu mencari atau menemukan saling hubungan,

(19)

Metode analitis

untuk mengungkapkan karakteristik objek dengan

cara menguraikan dan menafsirkan fakta-fakta tentang konvensi bahasa

dan pokok persoalan yang terdapat dalam teks yang diteliti.

Penggunaan metode deskriptif-analitis dalam penelitian ini

dilaksanakan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut.

1. Mengidentifikasikan berbagai gejala yang terkait dengan unsur-unsur

puisi yang dibutuhkan dalam pengkajian semiotik.

2. Mendeskripsikan unsur-unsur yang telah diidentifikasi.

3. Menginterpretasikan unsur-unsur yang telah d.deskripsi dengan

mengacu pada kegiatan analisis.

4. Menyimpulkan kecendemngan yang dominan atau aspek yang paling

ditonjolkan dalam puisi.

5. Mengungkapkan hal-hal atau karakteristik yang mendukung puisi

koran sebagai bahan ajar kesusastraan.

6. Menyimpulkan hal-hal yang penting dari seluruh puisi koran yang

diteliti.

7. Membuat laporan penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan

teknik dokumentasi.

(20)

i I

Republika, Media Indonesia, dan Pikiran Rakyat yang dikumpulkan pada

periode awal tahun 1998 (mulai awal Januari sampai akhir Maret 1998).

Selain itu, data tambahan dikumpulkan melalui teknik wawancara.

Wawancara berlangsung di kantor redaksi masing-masing harian dengan

redaktur (pengasuh) lembar budaya/sastra. Wawancara diadakan untuk

mengumpulkan data tambahan mengenai sejarah singkat harian-harian

tersebut

beserta

keterangan

penting

mengenai

sejarah

dan

perkembangan lembar sastra/budaya di masing-masing harian tersebut.

Tahapan pengumpulan data dalam penelitian sebagai berikut.

1. Mengumpulkan atau mengkliping puisi-puisi terbitan koran nasional

yang telah ditentukan solama tiga bulan torakhir sojnk Jantian 1998

2. Memilih puisi-puisi yang akan dijadikan data utama atau objek

penelitian.

3. Melakukan wawancara dengan redaktur yang mengasuh lembar sastra

dan budaya pada harian Republika, Media Indonesia, dan Pikiran

Rakyat.

4. Mendapatkan data sekunder, di antaranya biografi penyair dan tulisan

atau karya terbaru yang memuat pandangannya,

baik yang

berhubungan dengan karyanya maupun yang berhubungan dengan

(21)

o

Indonesia, dan Pikiran Rakyat) merupakan sumber data yang digunakan.

Alasan penulis dalam memilih ketiga surat kabar atau koran itu sebagai

sumber data adalah karena ketiganya merupakan surat kabar nasional

yang mempunyai oplah yang besar. Selain itu, ketiga surat kabar itu

secara kontinyu menerbitkan puisi-puisi koran pada setiap terbitan hari

Minggu (seminggu sekali).

Dokumentasi puisi koran yang terkumpul pada periode

Januari-Maret 1998 sebanyak 92 buah puisi sebagai populasi. Dari 92 puisi itu

diambil sebanyak 18 puisi (20%) sebagai sampel penelitian. Penentuan

sampel ini dilakukan dengan menggunakan

teknik penyampelan

purposive

atau

purposive sampling,

yakni teknik penentuan sampel

penelitian berdasarkan tujuan penelitian. Teknik ini digunakan apabila

peneliti mempunyai pertimbangan tertentu dalam menetapkan sampel

sesuai dengan tujuan penelitiannya (Sujana dan Ibrahim, 1989:94).

4. Teknik Analisis Data

a. Data yang terkumpul disusun berdasarkan terbitan ketiga koran, yakni:

sepuluh puisi (puisi 1 sampai puisi 10) terbitan koran Republika, dua

puisi (puisi 11 dan puisi 12) terbitan koran Media Indonesia, dan enam

(22)

b. Data diidentifikasi berdasarkan berbagai gejala yang terkait dengan

unsur-unsur puisi dalam lingkup pengkajian Semiotik.

c. Data dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut

1) Pendeskripsian

unsur-unsur

yang

telah

diidentifikasi,

yakni

berdasarkan pemilihan kata (denotasi dan konotasi), bahasa

kiasan, citraan, serta gaya bahasa dan sarana retorikanya. 2) Membuat interpretasi terhadap unsur-unsur tersebut.

3) Melakukan proses pemaknaan terhadap puisi dengan melalui tahap pencarian matriks atau kata kunci, pembacaan heuristik, dan

pembacaan retroaktif atau hermeneutik.

4) Membuat deskripsi karakteristik puisi koran untuk masing-masing unsur analisis berdasarkan subunsur yang paling dominan pada

tiap-tiap unsur analisis tersebut.

5) Membuat hasil analisis atau hasil pengkajian.

H. Defenisi Operasional

1. Kajian Semiotik

Suatu cara menelaah dan mengkaji karya sastra berdasarkan sistem tanda dalam komunikasi dengan memanfaatkan sistem tanda dan

hal-hal yang berhubungan dengannya sehingga dapat lebih memahami

(23)

2. Puisi Koran

Puisi yang diterbitkan di koran. Puisi koran merupakan suatu bentuk karya sastra yang tergolong ke dalam istilah "sastra koran".

3. Bahan ajar Kesusastraan

Bahan atau materi kesusastraan yang akan diajarkan kepada siswa

sebagai suatu upaya untuk meningkatkan daya apresiasi sastra siswa

sesuai dengan tujuan pengajaran yang ingin dicapai. Bahan ajar yang digunakan untuk pengajaran di sekolah hendaknya diambil dari

berbagai sumber dan guru harus memilih bahan ajar dari berbagai

sumber tersebut lalu mengintegrasikannya menjadi kesatuan bahan

(24)
(25)

A. ANALISIS PUISI

1. Puisi TAN AH AIR MATA

(Karya Sutardji Calzoum Bachri)

1. Tanah airmata tanah tumpah dukaku

2. Mata air airmata kami 3. Airmata tanah air kami

4. di sinilah kami berdiri

5. menyanyikan airmata kami

6. di balik gembur subur tanahmu 7. kami simpan perih kami

8. di balik etalase megah gedung-gedungmu 9. kami coba sembunyikan derita kami

10. kami coba simpan nestapa

11. kami coba kuburkan dukalara

12. tapi perih tidak bisa sembunyi

13. ia merebak ke mana-mana

14. bumi memang tak sebatas pandang 15. dan udara luas menunggu

16. namun kalian takkan bisa menyingkir 17. ke mana pun melangkah

18. kalian pijak air mata kami

19. ke mana pun terbang

20. kalian kan hinggap di airmata kami

21. ke mana pun berlayar 22. kalian arungi airmata kami

23. kalian sudah terkepung 24. takkan bisa mengelak

25. takkan bisa kemana pergi

26. menyerahlah pada kedalaman airmata kami

(Republika, 15 Maret 1998)

(26)

7Q>

a. ANALISIS UNSUR PUISI

Puisi ini merupakan sajak kritik sosial tentang keperihan dan kesedihan yang terdapat di tanah air tercinta. Banyak kiasan tentang kepedihan dan kesenjangan sosial yang ada. Kata-kata yang digunakan di

antaranya: tanah air, airmata, tanah tumpah dukaku, perih, di balik

etalase, gedung megah, derita, nestapa, kuburkan duka lara, terkepung,

dan menyerah pada kedalaman airmata.

1) Denotasi dan Konotasi

Pada larik 1 /tanah airmata tanah tumpah dukaku/frase tanah air

mata merupakan gabungan kata tanah dan air mata. Secara denotasi,

tanah berarti permukaan bumi yang di atas sekali, keadaan bumi di suatu tempat, atau daratan (KBBI:893); sedangkan airmata berarti air yang meleleh dari mata (ketika menangis dsb) (KBBL12). Selain itu, frase tersebut mengandung makna konotatif atau makna tambahan bahwa tanah merupakan kiasan dari negeri dimana kita menjadi warga negaranya (KUNGBL261) sementara tanah itu dipenuhi dengan kesedihan dan penderitaan yang dikiaskan dengan adanya airmata. Selanjutnya pada frase lain, tanah tumpah dukaku merupakan kiasan dari tanah atau

negeri tempat menumpahkan atau mengadukan segala kedukaan. Pada larik ini ada permainan kata yang sengaja diciptakan oleh penyair untuk menambah keindahan bahasa puisinya. Frase tanah airdan frase airmata

(27)

frase yang sudah biasa dikenal orang yakni tanah tumpah darahku yang merupakan frase pengganti dari tanah air yang tercinta.

Pada larik 2 /mata air airmata kami/, frase mata air selain mempunyai makna denotatif sumber air atau tempat air yang mengalir dari

batuan atau tanah ke permukaan tanah secara alamiah (KBBL565) juga

dapat diartikan sebagai sumber kehidupan. Secara konotasi larik 2 dapat mengasosiasikan responsi emosional yang mengiaskan bahwa sumber

kehidupan itu kini merupakan sumber airmata atau penderitaan yang

memilukan.

Pada larik 3 /airmata tanah air kami/kata airmata selain berarti air

yang meleleh dari mata ketika menangis juga mengandung arti tambahan sebagai kiasan dari kesedihan dan penderitaan, sedangkan tanah air

berarti tanah tumpah darah atau negeri tempat kelahiran (KBBL894). Jadi,

secara keseluruhan larik 3 menerangkan bahwa airmata atau kesedihan merupakan tanah air atau kehidupan bagi kami.

Pada larik 4 dan 5 /di sinilah kami berdiri, menyanyikan airmata kami/ tidak hanya memberikan makna denotatif bahwa mereka berdiri menyanyikan suatu lagu yang menumpahkan airmatanya melainkan bermakna lain yang berupa kiasan bahwa di tanah kelahirannya tersebut mereka menyanyikan atau meneriakkan kepedihannya.

Larik 6-7 /di balik gembur subur tanahmu kami simpan perih kami/

(28)

m

kemakmuran, dan kemewahan yang ada dan dikandung tanah air masih

banyak juga rakyat yang menderita. Kata gembur sesuai makna kamusnya berarti berderai-derai tidak keras dan tidak padat (tentang tanah) (KBBL267) sedangkan subur berarti gemuk (tentang tanah, yaitu banyak mengandung zat yang baik untuk tumbuh-tumbuhan) (KBBL862). Ada ungkapan ironis pada larik 6-7 ini bahwa di balik tanah yang gembur

dan subur itu yang semestinya mengandung kemakmuran dan

kebahagiaan tetapi justru menjadi tempat menyimpan perih atau

kepedihan rakyat. Demikian juga dengan larik 8-9, etalase yang berarti tempat memamerkan barang-barang yang dijual (KBBL237) merupakan suatu tempat yang menawarkan segala kemewahan dan kemegahan

dengan segala barang dan gedung yang mewah pula. Etalase dan gedung

yang megah merupakan lambang dari kemajuan peradaban dan kemewahan, yang semestinya menggambarkan kemakmuran dan

kebahagiaan tetapi justru mendatangkan perih dan penderitaan.

Larik 10,11,12, dan 13 /kami coba simpan nestapa, kami coba

kuburkan dukalara, tapi perih tak bisa sembunyi, ia merebak ke

mana-mana/ mengungkapkan bahwa mereka mencoba menyimpan kepedihan

dan menguburkan duka lara namun usaha itu tidak berhasil bahkan

semakin merambat ke mana-mana. Kata nestapa berarti sedih sekali atau

(29)

memperjelas arti bahwasanya kepedihan itu semakin meluas ke berbagai

segi kehidupan.

Larik 14,15, dan 16/bumi memang tak sebatas pandang, dan udara luas menunggu, namun kalian takkan bisa menyingkir/mengiaskan bahwa

biar bagaimana luasnya dunia ini tapi para penindas itu tidak akan bisa

melarikan diri. Ungkapan bumi memang tak sebatas pandang dan udara luas menunggu mengiaskan keluasan dunia ini yang tidak hanya sebatas pandangan mata bahkan udara pun luas tak berbatas namun tetap saja tidak ada tempat untuk menyingkir dari si kami.

Larik 17-22/ke mana pun melangkah, kalian pijak airmata kami, ke mana pun terbang, kalian kan hinggap di airmata kami, ke mana pun

beriayar, kalian arungi airmata kami/ mengiaskan bahwa kemana pun mereka melangkah ataupun pergi mereka akan tetap melihat dan berhadapan dengan kepedihan rakyat. Penggunaan kata melangkah-memijak, terbang-hinggap, dan berlayar-arungi merupakan kiasan dari berbagai cara mereka untuk melepaskan diri, baik melalui jalan darat,

udara, dan laut namun tetap saja mereka selalu melihat airmata atau

kepedihan.

Pada larik 23, 24, dan 25 /kalian sudah terkepung, takkan bisa

(30)

STJ

terkepung, takkan bisa mengelak, takkan bisa kemana pergi untuk menyatakan bahwa mereka sudah tidak dapat meloloskan diri lagi atau pun menghindar serta pergi ke mana pun lagi. Untuk itu mereka harus

menyerah pada kedalaman airmata kami (larik 26). Menyerah berarti

berserah, pasrah, memberikan diri kepada yang berwenang, dan menurut

saja (tidak melawan) (KBBL822) sedangkan arti kiasannya adalah mengaku kalah (tidak akan melawan lagi) (KBBL822). Larik ini mengiaskan bahwa mereka sudah seharusnya memahami arti kepedihan yang diderita rakyat dan sudah sepatutnya mereka memberikan bantuan.

2) Bahasa Kiasan

Larik 1, 2, dan 3 menggunakan bahasa kiasan metafora yang merupakan kiasan langsung tanpa menyebutkan objek yang dikiaskan dan tanpa memakai istilah perbandingan. Tanah airmata merupakan kiasan dari tanah tempat hidup yang penuh penderitaan, tanah tumpah dukaku

merupakan kiasan dari tempat untuk mengadu dan menumpahkan segala duka, mata air merupakan perlambang dari sumber kehidupan, airmata

kiasan dari penderitaan, dan airmata tanah air kami melambangkan kepedihan kini merupakan teman hidup mereka.

Personifikasi merupakan gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda tak bemyawa, ide yang abstraks, atau hewan dan tumbuhan. Personifikasi terdapat pada larik 6-9 dan larik 10-13.

Dinyatakan bahwa di balik gembur suburnya tanah dapat menyimpan

(31)

telah menyembunyikan derita rakyat. Demikian juga pada larik

menyimpan nestapa, menguburkan duka lara, perih tidak bisa sembunyi,

dan perih yang merebak ke mana-mana. Nestapa, duka lara, dan perih dianggap sebagai insan yang dapan disimpan, dikuburkan, sembunyi, dan

merebak.

Larik 14 merupakan simile yang membandingkan bumi dengan suatu hal yakni bumi adalah tempat yang luas yang tak sebatas mata memandang. Larik 15 menggunakan personifikasi dimana udara luas dikiaskan dapat menunggu seperti layaknya manusia.

Larik 17-18 merupakan metafora yang mengiaskan bahwa ke mana pun mereka melangkah mereka pasti berhadapan dan menemukan penderitaan rakyat. Ungkapan memijak airmata kami

merupakan metafora dari penyaksian atas penderitaan dan kepedihan yang ada. Larik 17-18 ini mempunyai makna yang sama dengan makna yang terdapat pada larik 19-20 serta larik 21-22.

Sementara itu larik 26 yang menutup puisi ini menggunakan bahasa kiasan metafora, dimana ungkapan kedalaman airmata kami

merupakan perlambang dari betapa beratnya penderitaan yang mereka alami selama ini. Ungkapan menyerahlah pada kedalaman airmata kami

(32)

82

3) Citraan

Larik 1,2, dan 3 /tanah airmata tanah tumpah dukaku, mata air airmata kami, airmata tanah air kami/ mengandung citraan intelektual

yang menyiratkan bahwa tanah air yang mereka diami ini adalah tempat menumpahkan segala duka dan banyak kepedihan yang ada di sana.

Larik 4 merupakan citraan visual yang memperlihatkan bahwa mereka berdiri di atas tanah kelahiran mereka. Larik 5 mengandung

citraan auditory karena memperdengarkan nyanyian kesedihan yang

penuh airmata.

Larik 6 dan 8 merupakan citraan visual yang menggambarkan tentang betapa gembur dan suburnya tanah kelahiran mereka serta

kemewahan yang terdapat pada etalase megah di gedung-gedung di kota. Larik 7 dan 9 merupakan citraan Gustatory (rasa) yang mengungkapkan betapa perih dan pedih dari penderitaan yang dirasakan dan

disembunyikan oleh mereka.

Larik 10-13 mengandung citraan visual yang memperlihatkan

bagaimana sulitnya mereka dalam menyimpan kedukaan, menguburkan dukalara, menyembunyikan perih, yang justru makin merambat

kemana-mana.

(33)

Larik 23-25 merupakan citraan visual yang menggambarkan bahwa mereka dalam keadaan yang terkepung, tak bisa mengelak, dan tak bisa pergi kemana pun. Mereka terkepung tanpa ada kesempatan

untuk meloloskan diri.

Larik penutup, larik 26, merupakan citraan intelektual yang mengisyaratkan agar mereka menyerah pada kenyataan yang ada bahwa rakyat yang hidup di tanah air ini banyak yang mengalami penderitaan yang sangat hebat dan menyiksa dengan ungkapan 'menyerahlah pada

kedalaman airmata kami'.

4) Gaya bahasa dan Sarana Retorika

Gaya bahasa Tautologi terdapat pada bait pertama puisi, yakni ada pengulangan kata yang mempunyai arti yang hampir sama, yakni

tanah air mata dan tanah tumpah dukaku, yang kedua frase itu menunjukkan arti bahwa tanah air itu merupakan tanah yang mendatangkan banyak kesedihan atau tanah tempat menumpahkan segala duka. Adapun maksud penggunaan kedua frase ini oleh pengarang adalah untuk menyatakan suatu keadaan secara lebih mendalam.

(34)

&\

kehidupan itu adalah airmata bagi mereka dan airmata atau kepedihan itulah yang menjadi tanah air atau menjadi teman hidup mereka.

Gaya bahasa sinisme tampak pada bait ketiga yang tampak merupakan sindiran terhadap kehidupan yang timpang, dimana mereka menyatakan bahwa di sinilah kami berdiri, menyanyikan airmata kami.

Sedangkan pada bait keempat terdapat gaya bahasa Sarkasme yang merupakan sindiran pedas dan tajam. Mereka menyatakan bahwa di balik gembur subur tanahmu kami menyimpan perih kami, dan di balik etalase

megah di gedung-gedung itujustru tersembunyi penderitaan kami.

Sarana retorika repetisi yang termasuk Paralelisme paling banyak

digunakan. Banyak pengulangan kata-kata, baik di awal (anafora) ataupun

di akhir lariknya (epistrofa) seperti yang terdapat pada bait-bait berikut ini. Kata kami pada bait kedua, klitika-mu dan kata kami pada bait keempat, serta frase air mata kami pada bait keenam (larik 18, 20,dan 22)

merupakan epistrofa atau pengulangan kata di akhir larik. Sementara itu

anafora atau pengulangan kata atau frase di awal kalimat meliputi pengulangan kata di balikdan kami pada bait keempat, frase kami coba pada bait kelima (larik 10-11), kata ke mana pun (larik 17, 19, 21) dan

kalian (larik 18, 20, 22, 23), dan kata takkan bisa (larik 24,25).

Puisi ditutup dengan larik yang menggunakan gaya bahasa

sarkasme yang menyindir secara tajam seperti pada larik: menyerahlah

(35)

ditumbuhkan rasa peduli pada penguasa terhadap penderitaan yang

diderita oleh rakyatnya.

b. PEMAKNAAN PUISI

1) Matriks

Kata kunci atau matriks dalam puisi Tanah Air Matakarya Sutardji

Calzoum Bachri ini adalah tanah air dan air mata. Kedua kata ini saling

berkaitan erat dengan pokok masalah yakni tanah air yang dipenuhi oleh airmata atau kepedihan. Tanah air yang merupakan tanah kelahiran dan

tanah tumpah darah yang harusnya dicintai dan dijaga dengan segenap jiwa dan raga, serta tempat mencari kehidupan yang aman sentosa, temyata merupakan tanah tempat menumpahkan segala duka, air mata,

dan kepedihan dan tempat untuk merasakan segala kesedihan dan

kesengsaraan hidup.

2) Pembacaan Heuristik

Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak berdasarkan

konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa

sebagai sistem semiotik tingkat pertama atau pembacaan menurut struktur normatif bahasa. Pembacaan heuristik puisi Tanah Air Mata adalah sebagai berikut.

Bait Pertama

(36)

•• 86

kami. (Sekarang tanah yang penuh) air mata (itu yang menjadi) tanah air

kami.

Bait Kedua

Di sinilah kami berdiri (untuk) menyanyikan airmata kami.

Bait Ketiga

Di balik (ke-)gembur(-an dan ke-) subur (an) tanahmu, kami (me-) simpan (ke-) perih (-an) kami. Di balik etalase megah (yang ada di)

gedung-gedungmu, kami (men-) coba (me-) sembunyikan derita kami.

Bait Keempat

Kami (men-) coba (me-) simpan nestapa, kami (men-) coba (me-) kuburkan duka lara, tapi (perasaan) perih (itu) tidak bisa (di-) sembunyikan (sehingga) ia merebak ke mana-mana.

Bait Kelima

(Kami tahu), bumi (ini) memang tak sebatas pandang (-an mata)

dan udara (yang) luas (telah) menunggu, namun kalian takkan bisa menyingkir (dari kami). Ke mana pun melangkah, kalian (me-) pijak airmata kami. Ke mana pun terbang, kalian (a-) kan hinggap di (atas genangan) airmata kami. Ke mana pun berlayar, kalian (pun meng-) arungi airmata kami.

Bait Keenam

Kalian sudah terkepung. (Kalian) takkan bisa mengelak dan takkan

bisa (pergi) kemana (pun kalian ingin) pergi. (Kalian) menyerahlah pada

(37)

Dari hasil pemaknaan puisi dengan cara pembacaan heuristik atau pembacaan sajak berdasarkan konvensi bahasa didapatkan beberapa

keterangan.

Kurangnya pemakaian imbuhan baik itu awalan, akhiran, atau pun gabungan antara awalan-akhiran seperti: me-, me-kan, ke-an, di-, di-kan. Sementara itu juga ada kekurangan penggunaan unsur pola kalimat baik subjek, predikat, objek, atau pun keterangan pada beberapa kalimat lariknya. Perlu penambahan kata penghubung (adalah, untuk, sehingga),

kata depan (di atas), dan kata bantu perbandingan (bagaikan).

3) Pembacaan Retroaktif (Hermeneutik)

Pembacaan retroaktif adalah pembacaan ulang dari awal sampai

akhir dengan penafsiran atau pembacaan hermeneutik. Pembacaan ini

adalah pemberian makna berdasarkan konvensi sastra (puisi).

Bait Pertama

Dalam bait pertama ini dijelaskan tentang keberadaan tanah tumpah darah dan tanah kelahiran yang dipenuhi olah kepedihan dan

kesengsaraan. Ungkapan pada bait ini merupakan ironi yang menyatakan

bahwa tanah yang bagaikan basah karena penuh tumpahan airmata itu merupakan tanah tempat menumpahkan segala dukaku. Segala duka, kepedihan, dan lara yang ada itu menyebabkan banyak airmata yang menggenang sehingga penuh bagai genangan mata air. Sekarang tanah

(38)

88.

Bait Kedua

Di tanah yang sangat mereka cintai inilah mereka berdiri untuk menyanyikan airmata atau mengadukan segala kedukaan dan kepedihan yang mereka alami.

Bait ketiga

Kepada tanah air yang tercinta ini mereka mengadukan kedukaan yang tampak kontras dengan kenyataan yang ada. Mereka mengatakan

bahwa di balik kegemburan dan kesuburan tanah tercinta ini mereka justru

tidak dapat menikmatinya bahkan mereka justru merasakan segala keperihan karenanya. Juga ketika pembangunan semakin menjamur di

mana-mana dengan berdirinya gedung-gedung bertingkat serta kemodeman dan kemewahan lainnya, di antaranya dengan semakin merebaknya kemewahan yang ditampilkan di balik etalase-etalase yang

menggiurkan membuat penderitaan yang mereka alami seolah dapat

disembunyikan.

Bait keempat

Walaupun segala cara telah mereka lakukan, seperti mencoba

menyimpan nestapa dan menguburkan duka lara namun perasaan perih itu tidak bisa disembunyikan sehingga ia merebak kemana-mana dan semakin memenuhi segala bidang kehidupan.

Bait kelima

(39)

namun hal itu bukan alasan bagi para penguasa dan penghianat bangsa untuk bisa bebas atau menyingkir begitu saja dari segala kepedihan yang ada. Ke manapun mereka melangkah, terbang, ataupun beriayar atau

apa pun yang mereka lakukan, mereka tetap tak bisa melepaskan diri dari

kesengsaraan yang telah ditimbulkan oleh mereka.

Bait keenam

Mereka mengatakan bahwa para penguasa dan penghianat bangsa itu sudah terkepung, tidak bisa mengelak, dan tidak bisa pergi kemana pun mereka ingin pergi. Secara hati nurani, mereka sepenuhnya meminta agar mereka dapat tersentuh akan penderitaan mereka, memiliki tenggang rasa dan rasa kasih sayang kepada saudara sebangsa, dan turut merasakan kedukaan yang saudaranya alami itu.

2. Puisi MENGHANYUTKAN DONGENG DI BENGAWAN SOLO

Karya: Mustafa W. hasyim

1. Membendung arus

2. Sambil menebang pohon

3. Tanah terkelupas

4. Mengalir ke sungai

5. Dongeng 6. Hanyut

7. Racun pabrik 8. Menyentuh ikan

(40)

90

11. Seorang Gesang 12. Melawan masa depan

13. Anak-anak

14. Melupakan waktu

(Republika, 1 Maret1998)

a. ANALISIS UNSUR PUISI

1) Denotasi dan Konotasi

Kata-kata yang dipakai dalam puisi ini menggambarkan suasana sungai, seperti: arus, mengalir, membendung, hanyut, racun pabrik, dan ikan. Kata-kata itu ada yang bermakna denotasi dan ada pula yang

bermakna konotasi.

Larik 1 mengandung makna denotatif. Kata membendung berarti mengempang aliran (sungaij sehingga airnya tertahan atau terkumpul untuk disalurkan ke tempat lain (KKBL101) dan arusberarti gerak air yang mengalir (KKBI.50). Ungkapan membendung arus berarti menahan aliran atau gerakan air sungai yang biasanya dilakukan pada sungai-sungai

yang deras untuk menghindarkan erosi.

Sementara larik 2 juga bermakna denotasi yang menjelaskan bahwa untuk membendung arus itu dilakukan usaha dengan cara menebang pohon.

Larik 3 dan 4 bermakna denotasi. Kata terkelupas bermakna terkuliti atau teriepas kulitnya (KBBL413), jadi tanah terkelupas bermakna tanah menjadi terkuliti atau teriepas dari daratannya dan jatuh terbawa

(41)

Larik 5-6 merupakan konotasi. Kata dongeng pada puisi ini bukan dimaknakan sebagai sebuah cerita yang tidak benar-benar terjadi (KBBL212) melainkan lebih pada cerita yang dikaitkan dengan kemegahan dan kemashuran Bengawan Solo pada masa dahulu. Pada

zaman dulu kemashuran sejarah Bengawan Solo sering dijadikan

dongeng pengantar tidur bagi anak-anak yang membuat mereka makin mencintai kota kelahirannya. Pada larik 5-6 ini, dongeng hanyut, merupakan konotasi bahwa dongeng-dongeng tentang kemegahan dan

kemashuran Bengawan Solo itu telah hilang.

Pada larik 7-8, kata racun bermakna denotatif zat yang dapat

menyebabkan sakit atau mati (kalau dimakan atau dihirup) (KBBL718),

juga merupakan konotasi yang menyiratkan bahwa limbah pabrik yang

dibuang ke sungai telah menyebabkan ikan-ikan menjadi musnah dan menyebabkan ekosistem sungai menjadi terganggu. Racun pabrik

merupakan konotasi dari limbah pabrik , dan kata menyentuh untuk menggantikan ungkapan membunuh atau memusnahkan.

Larik 9-10 juga merupakan konotasi. Sehubungan dengan larik ini.ada nyanyian yang sudah terkenal sejak dulu tentang kemashuran Bengawan Solo yang diciptakan oleh Gesang. Sering kali orang menyanyikan lagu tersebut untuk mengungkapkan keindahan sungai ini.

Ungkapanjangan menyanyi, di sini pemakaman merupakan kiasan agar jangan menyanyikan keindahan tentang Bengawan Solo lagi karena

(42)

92

sudah menguburkan banyak kenangan hingga dikiaskan sebagai sebuah

pemakaman.

Larik 11-12 mengungkapkan konotasi tentang seorang Gesang

yang dianggap telah mencoba melawan masa depan sehubungan dengan hal-hal yang dituturkannya dalam lagu Bengawan Solo. Dalam lagu tesebut Gesang mengungkapkan indahnya Bengawan Solo yang

menjadi perhatian insani. Di musim kemarau tak seberapa airnya,

sedangkan di musim hujan airnya meluap sampai jauh. Mata airnya

berasal dari kota Solo yang terkurung gunung Seribu yang mengalir ke laut. Yang dulu banyak perahu-perahu yang digunakan oleh para pedagang yang berlabuh di sana telah membuat sungai itu ramai dan semarak. Yang kemudian semakin membuat kota Solo (dulu Keraton Solo) makin terkenal.

Larik akhir, larik 13-14, bahwa anak-anak melupakan waktu

merupakan konotasi. Anak-anak merupakan konotasi dari generasi muda. Ungkapan melupakan waktu merupakan kiasan bahwa generasi muda itu makin tidak peduli pada peninggalan atau kekayaan masa lalu. Mereka mulai melupakan kemashuran dan kekayaan bangsa yang semestinya hingga kini tetap harus diwarisi dan dijaganya.

2) Bahasa Kiasan

PuisiuMenghanyutkan Dongeng di Bengawan Solo" menggunakan

beberapa bahasa kiasan, seperti: personifikasi, metafora, ironi, dan

(43)

Gaya bahasa personifikasi terdapat pada larik 5-6 /dongeng hanyut/. Pada larik ini dongeng diumpamakan sebagai ide abstrak yang memiliki dan berbuat seolah-olah insan yang dapat hanyut. Larikdongeng

hanyut ini mengiaskan bahwa dongeng tentang kemashuran dan kemegahan Bengawan Solo ini telah pudar bahkan hilang dan tidak dikenal lagi.

Gaya bahasa personifikasi juga terdapat pada larik 7-8, dimana

racun pabrikdikenakan sifat seperti manusia yakni dapat menyentuh ikan.

Selain itu juga terdapat metafora karena racun pabrikmerupakan kiasan dari limbah industri yang dibuang ke sungai secara sembarangan dan

ikan merupakan perlambang dari komunitas sungai secara keseluruhan yang diwakili oleh kata ikan. Kata menyentuh yang digunakan untuk menggantikan kata memusnahkan atau meracuni merupakan eufimisme

dengan maksud untuk memperhalus ucapan.

Gaya bahasa ironi yang mengungkapkan suatu perbandingan yang

tampak bertentangan dengan kenyataan terdapat pada larik 9-10 dan

larik 13-14. Larik Ijangan bernyanyi, di sini pemakaman/ merupakan pernyataan sindiran agar tidak bernyanyi (berkaitan dengan lagu Bengawan Solo) karena di sungai itu sekarang sudah menjadi

pemakaman. Pemakaman pada larik ini juga merupakan metafora dari

tempat penguburan ikan dan komunitas sungai lainnya yang sudah mati karena tercemar limbah pabrik. Larik /anak-anak melupakan waktu/ juga

(44)

94

mengingat sejarah bangsanya lagi. Anak-anak merupakan metafora dari generasi muda zaman sekarang dan melupakan waktu merupakan kiasan atas kealpaan dan keengganan generasi muda dalam memelihara

warisan kekayaan budaya bangsanya di masa lampau.

Pada larik 11 digunakan gaya bahasa metonimia, yakni gaya bahasa yang memakai nama ciri atau hal yang ditautkan dengan suatu hal. Ungkapan seorang Gesang merupakan metonimia untuk

menggantikan atau menautkan bahwa nama Gesang ada kaitannya

dengan Bengawan Solo. Gesang adalah pencipta lagu Bengawan Solo

yang mengisahkan tentang keindahan dan kemashuran sungai tersebut. Lagu ini cukup populer di Indonesia, bahkan Gesang pernah mendapat

kehormatan untuk tampil di Jepang untuk membawakan lagunya ini. Sudah menjadi suatu hal yang cukup umum, bila orang membicarakan Bengawan Solo maka orang akan ingat Gesang, sebaliknya orang akan

mengingat Bengawan Solo bila mendengar nama Gesang.

3) Citraan

Citraan visual dapat kita nikmati pada larik 1-2 dan 3-4. Melalui

larik-larik puisi /membendung arus sambil menebang pohon/dan ftanah

terkelupas, mengalir ke sungai/kita seolah dapat melihat arus sungai yang sangat deras sehingga perlu di bendung. Kita juga dapat melihat pohon-pohon yang ditebang untuk membendung arus tersebut. Selanjutnya kita

juga seolah dapat melihat tanah-tanah yang terkelupas atau terkikis

(45)

Pada larik 9-10 terdapat citraan auditory sehingga kita merasakan suasana yang hening dan mencekam tanpa adanya suara. Hal ini terungkap dari larik /jangan menyanyi, di sini pemakaman/ yang bermaksud melarang bernyanyi karena di situ daerah pemakaman.

Citraan intelektual terdapat pada larik 5-6, 7-8, 11-12, dan 13-14.

/Dongeng hanyut/, /racun pabrik menyentuh ikan/, /seorang Gesang

melawan masa depan/, dan /anak-anak melupakan waktu/ merupakan citraan angan yang mengiaskan sesuatu makna. Dongeng hanyut tidak bisa diartikan kita melihat sebuah dongeng hanyut di sungai melainkan gambaran intelektual dari hilangnya dongeng tentang kebesaran nama Bengawan Solo. Racun pabrik pun tidak dapat disaksikan sedang menyentuh ikan melainkan citraan yang diperhalus untuk menyatakan

bahwa racun tersebut telah mencemari ekosistem sungai. Seorang

Gesang juga tidak dapat dilihat sedang melawan atau bertarung dengan masa depan atau anak-anak melupakan waktu seperti lupa waktu belajar ataupun sholat. Kesemuanya hanya citraan angan yang melambangkan

makna bahwa Gesang tampak bersusah payah mempertahankan lagunya yang mengungkapkan tentang keindahan Bengawan Solo di masa lalu

sedangkan di masa sekarang (mungkin di masa depan) keindahan itu

sudah dilupakan orang atau generasi muda bangsa.

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika

Gaya bahasa dan sarana retorika yang digunakan dalam puisi ini

(46)

3fc

gaya bahasa memecah hal atau cerita menjadi beberapa bagian dengan tujuan untuk memperjelas hal tersebut. Enumerasi terdapat pada bait pertama, bait kedua, bait ketiga, bait keempat, bait keenam, dan bait ketujuh. Gabungan dari bait-bait itu menuturkan sebuah cerita tentang

keadaan Bengawan Solo di masa sekarang yang memprihatinkan dan kemashurannya dulu tinggal menjadi kenangan indah.

Selain itu, bait kelima menggunakan gaya bahasa ironi yang merupakan sindiran dengan cara berolok-olok. Dikatakan agar jangan

bernyanyi (jan9an menyanyikan tentang keindahan Bengawan Solo

seperti syair yang terdapat dalam lagu yang diciptakan oleh Gesang) karena sekarang sungai ini hanya merupakan sebuah pemakaman atau tempat mengubur ikan-ikan dan kejayaan yang telah musnah.

b. PEMAKNAAN PUISI

1) Matriks

Kata kunci atau matriks dalam puisi Menghanyutkan Dongeng di

Bengawan Solo adalah keberadaan Bengawan Solo itu sendiri. Yakni,

keadaan dan eksistensi Bengawan Solo pada masa sekarang ini, yang

tentunya mengalami banyak perubahan, baik keadaan maupun

(47)

B. Pembacaan Heuristik Bait pertama

(Mereka) membendung arus (di sungai) sambil menebang pohon

(yang ada di sana).

Bait kedua

Tanah terkelupas, dan mengalir ke (dalam) sungai.

Bait ketiga

Dongeng (tentang keindahan dan kemegahan sungai itu pun ikut) hanyut.

Bait keempat

Racun (yang berasal dari limbah) pabrik, menyentuh (dan memusnahkan komunitas) ikan (yang hidup di sungai itu).

Bait kelima

Jangan bernyanyi, (karena) di sini (tempat) pemakaman!

Bait keenam

Seorang (pencipta lagu yang bernama) Gesang, (telah) melawan

masa depan.

Bait ketujuh

Anak-anak (pun mulai) melupakan waktu ( tentang kemegahan masa lalu).

Pada pembacaan heuristik ini ada beberapa hal yang perlu ditambahkan, terutama kelengkapan unsur kalimat seperti: subjek,

(48)

"98

kiranya ditambahkan kata bantu (dalam dan tempat), namun pemakaian imbuhan pada katanya tidak memerlukan penambahan karrena kata-katanya sudah memakai awalan yang lengkap.

C. Pembacaan Retroaktif

Secara keseluruhan puisi ini merupakan sebuah ironi. Judulnya,

Menghanyutkan Dongeng di Bengawan Solo, sudah mengisyaratkan bahwa sebuah dongeng tentang kemashuran Bengawan Solo di masa lalu

kini seolah hilang dan ikut terhanyut di kederasan aliran sungai tersebut.

Diceritakan dalam puisi ini bahwa untuk membendung arus yang mengalir deras di sungai itu dilakukan dengan cara menebang pohon yang

ada di sana. Cara seperti ini menyebabkan tanah menjadi terkelupas dan

mengalir ke dalam sungai sehingga dapat menyebabkan erosi. Dan

dongeng tentang keindahan dan kemegahan sungai itu pun ikut pula terhanyut. Selain itu, racun yang datang melalui limbah pabrik tampak

menyentuh dan membuat komunitas dan perkembangan ikan dan kehidupan di sungai itu ikut musnah. Ada seruan, jangan bernyanyi atau di larang bernyanyi di sini (di sungai ini) karena kini sungai tersebut merupakan sebuah tempat pemakaman bagi kehidupan sungai dan bagi kemashuran sungai tersebut.

Gesang, seorang pencipta lagu, yang menciptakan lagu 'Bengawan Solo'. Lagu ini tidak hanya terkenal di dalam negeri dan menjadi lagu yang

melegenda tetapi juga dikenal di negara lain, seperti Jepang, Malaysia,

(49)

mendapat penghargaan dari pemerintah Jepang atas lagunya ini. Lagu ini

menceritakan tentang keindahan Bengawan Solo pada masa lampau. Pada masa sekarang, cerita tentang keindahan sungai ini tampak hanya

tinggal cerita dan kenangan yang indah saja. Hal ini diibaratkan bahwa Gesang telah melawan masa depan. Anak-anak atau generasi muda

bahkan telah lupa dan tidak lagi mengenai kemashuran sejarah masa silam bangsanya sendiri.

3. Puisi KREMATORIUM MATAHARl

Karya: Soni Farid Maulana

1. Bergetarjaringan urat syaraf

2. Yang kau arsir di sekujur tubuh dengan halus tanganmu. 3. Sorot matamu, sekalipun tampak berkabut terasa api. 4. Mencairkan darahku yang beku.

5. Bagai dinding kelam. Membatu. 6. 0, dusta yang mengambang di hati.

7. Alangkah racun bagai kata-kata berbunga. 8. Mekar di saku baju dan celana.

9. Sarat bon utang juga alamat terlupa.

10. Tak kutahu maut beriayar di situ.

11. Memulas langit dengan warna lipstick yang aneh. 12. Dan di lantai ini, di ruang yang sarat dengan musik. 13. Cahaya tampak berlintasan.

14. Mengerat bijimataku.

(Republika, 8 Februari 1998)

a. ANALISIS UNSUR PUISI

1) Denotasi dan Konotasi

(50)

100

berkabut, api, mencairkan darah, dinding, membatu, racun, mekar,

berbunga, maut, beriayar, langit, lipstick, musik, cahaya, dan biji mata.

Puisi ini berjudul Krematorium Matahari. Krematorium adalah suatu tempat untuk membakar mayat sehingga menjadi abu (perabuan) (KBBI:465). Matahari secara denotasi berarti benda angkasa atau titik pusat tata surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan terang dan panas pada bumi siang hari (KBBI:565). Judul Krematorium Matahari

merupakan sebuah ungkapan dari suatu alat yang dapat membakar dengan panas yang sama dengan panasnya matahari.

Puisi ini, selain menggunakan kata-kata yang bermakna denotasi juga banyak menggunakan kata bermakna konotasi. Larik 1 bermakna denotasi yang menyatakan getaran jaringan urat syaraf karena sesuatu

hal. Kata arsir secara denotasi bermakna tarikan garis-garis sejajar atau silang menyilang, yang biasanya digunakan sebagai istilah dalam bidang

matematika atau melukis (KBBL49) juga mengandung makna konotasi menyentuh. Kedua larik tersebut menyatakan bahwa getaran jaringan urat

syaraf yang terasa itu disebabkan karena ada seseorang (dia) yang mengarsir atau menyentuh sekujur tubuhnya dengan kehalusan

tangannya.

Pada larik 3 /sorot mata sekalipun tampak berkabut namun terasa

bagaikan api/, kata sorot bermakna sinar atau cahaya (KBBI:855) hingga

sorot mata dapat diartikan sebagai sinar mata atau pandangan mata; kata

(51)

dan bermakna konotasi sedih suram (KBBL373); dan kata api bermakna denotasi panas dan cahaya yang berasal dari sesuatu yang terbakar

sedangkan makna konotasinya adalah semangat dan perasaan yang menggelora (KBBL45). Larik ini mengiaskan bahwa pandangan mata yang tampak sedih dan suram itu terasa tetap menyiratkan perasaan yang menggelora. Hal ini dapat/mencairkan darah yang semula beku/(larik 4) yang bermakna menimbulkan kembali semangat hidup yang semula sirna.

Pada larik 5 Ibagai dinding kelam, dan membatu/, kata kelam

bermakna agak gelap, kurang terang, dan suram (KBBL407) dan kata

membatu bermakna denotasi menyerupai batu dan keras seperti batu sedangkan makna konotasinya diam saja dan membisu (KBBI.86). Larik ini merupakan ungkapan dari keadaan yang sangat gelap, suram, kaku, keras, dan dingin membisu sebagaimana kakunya sebuah dinding.

Pada larik 6 ungkapan l-ol merupakan sebuah seruan atau rintihan, dusta berarti bohong atau tidak benar (KBBL216), dan kata

mengambang bermakna denotasi terapung dan melayang sedangkan makna konotasi tidak jelas dan tidak mengena (KBBL26). Larik ini mengungkapkan seruan tentang suatu dusta atau kebohongan yang terasa mengambang di hati yang menimbulkan rasa nelangsa.

Pada larik 7 lalangkah racun terasa bagaikan kata-kata yang berbunga/, kata racun berarti zat yang menyebabkan sakit atau mati dan makna konotasinya merusakkan batin (KBBI:718), kata berbunga secara

(52)

\02

(KBBL137) dan konotatifnya menyatakan kiasan terhadap suatu keadaan yang indah atau menyenangkan hati. Adapun makna larik ini bahwa karena dusta dan kebohongan yang ada maka racun yang dapat

menyebabkan rasa sakit, kematian, dan merusakkan batin itu justru terasa

bagaikan kata-kata yang indah dan menyenangkan hati.

Pada larik 8-9/mekar di saku baju dan celana, sarat bon utangjuga

alamat terlupal, kata mekar bermakna berkembang, menjadi terbuka, dan

menjadi tambah besar dan luas (KBBL570) dan ungkapan saku baju dan

celana yang sarat dengan bon utang dan alamat terlupa menyatakan

keadaan seseorang yang sedang tidak mempunyai uang karena kantongnya kosong dan isinya hanya bon utang dan alamat-alamat yang

tak berarti. Ungkapan pada larik 8-9 itu merupakan kiasan bahwa

kata-kata bujukan dapat menguras kantong atau menguras uang sedangkan

keadaan orang yang terkuras pun sebenarnya tidak terialu baik karena

justru penuh dengan libatan utang.

Pada larik 10 /tak kutahu maut beriayar di situl, kata maut

merupakan perlambang dari kematian atau ajal (KBBI:568) dan kata

beriayar secara denotasi berarti mengarungi lautan dan konotasinya berarti meninggal dunia (KBBI:505). Larik ini dapat diartikan bahwa si aku

tidak mengetahui bahwa ada kematian yang sedang mendekatinya.

Pada larik 11 Imemulas langit dengan warna lipstik yang aneh/,

kata memulas berarti mengoles jadi memulas langit berarti memoles atau

(53)

dengan warna lipstick yang aneh. Bila dihubungkan dengan perkembangan alat kecantikan sekaran, warna lipstiks yang biasanya identik dengan warna merah namun kini mengalami perubahan karena sekarang warna aneh lipstik itu ada yang kelabu, ungu, bahkan hitam dan wama-warna yang agak tidak biasa lainnya.

Pada larik 12-13/di lantai dan di ruang yang penuh dengan musik,

cahaya tampak berlintasanl, kata berlintasan dapat diartikan sebagai berjalan atau berlalu dengan cepat (KBBI:527), jadi cahaya berlintasan dapat diartikan sebagai cahaya yang memancar dan berlalu dengan cepat. Melalui larik ini dapat dikonotasikan bahwa lantai dan ruang yang

penuh musik dan lintasan cahaya tersebut adalah ruang diskotik atau pub. Keadaan yang ada di sana tampak menyiksa si aku, di mana ia

mengungkapkan pada larik 14 bahwa cahaya yang berlintasan itu tampak

mengerat biji matanya. Katamengeratyang digunakan terasa sangat pas walaupun kata ini juga sama artinya dengan kata mengiris, memotong,

memenggal, atau melubangi (KBBL425). Biji mataku secara denotatif

bermakna bulatan di rongga mata dan konotasinya merupakan ungkapan untuk menyatakan pandangan (KBBI:115).

2) Bahasa Kiasan

Personifikasi terdapat pada larik 1-2 dimana getaran jaringan

(54)

104

Larik 3-5 menggunakan bahasa kiasan simile yang memper-bandingkan sorot mata yang berkabut dengan suatu benda yang terasa panas bagaikan api sehingga mencairkan darah si aku yang sebelumnya terasa beku. Keadaan yang dialami si aku itu diperbandingkan dengan

dinding kelam yang membatu.

Larik 6, 7, 8, dan 9 menggunakan gaya bahasa personifikasi,

simile, dan metafora. Dusta diumpamakan sebagai ide yang abstrak

yang dapat mengambang sebagaimana sebuah benda, dan hati

diumpamakan sebagai kolam atau genangan air yang dapat membuat sesuatu menjadi mengambang. Racun merupakan perlambang dari dusta yang menyebabkan sakit bahkan kematian. Karena Rayuan sang kekasih, kata-kata dusta yang beracun justru terasa bagai kata-kata berbunga yang indah dan mennyenangkan hati, yang merupakan simile dengan menggunakan kata bagaikan. Dusta dan rayuan itu sampai pada tahap menguras isi kantong yang memang dalam keadaan tipis dan banyak

utang. Hal ini dengan manis diungkapkan dengan perbandingan sebagai kata berbunga yang mekar di saku baju dan celana yang sarat dengan

bon utang dan kumpulan alamat saja.

Larik 10, 11, 12, 13, dan 14 menggunakan gaya bahasametafora. Ungkapan maut beriayar di situ merupakan perlambang dari kematian atau kejatuhan yang membayangi kehidupannya. Maut itu memulas langit dengan warna-warna yang menyeramkan yang diperlambangkan sebagai

(55)

berada tampak dipenuhi hingar bingar musik dan lintasan cahaya. Kesemuanya itu, terutama cahaya yang berlintasan, telah menyiksa pandangan si aku. Pada larik ini terdapat personifikasi dimana cahaya yang berlintasan dapat mengerat biji mata.

3) Citraan

Citraan organik dan tactual terasa pada larik 1-2 yang menyatakan tentang gerakan yang dirasakan si aku yakni bergetarnya jaringan urat syaraf yang terasa di sekujur tubuhnya karena sentuhan tangan sang kekasih yang halus. Selanjutnya pada larik 3 ada citraan tactual yang menyatakan bahwa sorot atau tatapan mata sang kekasih terasa panas bagaikan api walaupun tampak berkabut atau kelam. Sementara itu pada larik 4 ada citraan visual yang memperlihatkan sorot mata yang panas itu mencairkan kebekuan darah si aku seperti

sebongkah es yang sedang mencair.

Larik 5-9 mengandung citraan intelektual yang mengandung

gambaran ide yang abstrak. Melalui larik-larik tersebut dinyatakan keadan

yang dialami si aku bagai dinding yang kelam dan membatu yang penuh

kekejaman. Kata dusta yang menyentuh hati bagaikan racun yang justru

dirasakan kata yang indah berbunga, yang menaburkan rayuan sehingga menguras kantong.

Larik 10-11 mengandung citraan visual yang memperlihatkan

(56)

\0h

langit yang dipenuhi warna lipstick yang aneh, yang mungkin biru, ungu, kelabu, bahkan hitam atau keemasan.

Melalui citraan auditory pada larik 12 dapat didengar dan dibayangkan suatu lantai atau ruangan yang penuh dengan musik yang hingar bingar. Sementara itu pada larik 13 ada citraan visual yang memperlihatkan suatu ruangan yang dipenuhi oleh kilatan cahaya yang tampak berlintasan. Akhirnya pada larik 14, citraan tactual

menggambarkan perasaan perih karena lintasan cahaya itu dirasakan

mengiris atau menyiksa pandangan mata.

4) Gaya Bahasa dan Sarana Retorika

Gaya bahasa dan sarana retorika yang digunakan dalam puisi ini

didominasi oleh Hiperbola dan Sinisme. Hiperbola merupakan gaya bahasa yang melebih-lebihkan sesuatu hal atau keadaan untuk menyangatkan, untuk intensitas, ataupun untuk ekspresivitas. Kata-kata

yang beriebihan itu tedapat pada bait pertama, bait ketiga, dan bait keempat. Sarana retorika ini menyebabkan suasana yang ditampilkan

tampak lebih terasa, lebih menyentuh, dan lebih mencekam. Kata-kata tersebut misalnya: bergetarnya jaringan urat syaraf karena kau arsir di sekujur tubuh dengan kehalusan tanganmu, sorot mata terasa bagaikan

api yang dapat mencairkan darah yang beku, maut beriayar dan memulas

(57)

Pada bait kedua terdapat gaya bahasa Sinisme yang merupakan sindiran terhadap peristiwa kehidupan yang pahit dimana dusta yang ada di hati membuat racun seolah kata indah dan berbunga yang mekar di

saku baju yang telah sarat dengan bon utang.

b. PEMAKNAAN PUISI

1) Matriks

Kata kunci atau matriks dalam puisi Krematorium Matahari ini terietak pada si kamu (perempuan) yang dianggap membawa dusta dan racun bagi si aku. Si kamu yang dijumpainya ditempat yang sarat dengan musik dan cahaya itu telah merayunya, menebarkan kata-kata dusta dan berbunga hingga terasa menyiksa si aku.

B, Pembacaan Heuristik

Bait pertama

"(Serasa) bergetar (seluruh) jaringan urat syaraf ku, yang kau arsir

(-kan) di sekujur tubuh (ku) dengan (ke-) halus (-an) tanganmu. Sorot matamu, sekalipun tampak berkabut (namun) terasa (panas bagaikan) api (sehingga) mencairkan darahku yang beku."

Bait kedua

"(Engkau) bagaikan (sebuah) dinding kelam (yang) membatu. -o,

dusta yang mengambang di hati, alangkah (ber-) racun bagai kata-kata

(58)

VOft

sebelumnya sudah) sarat (dengan) bon utang , juga (kertas) alamat yang terlupa."

Bait ke

Referensi

Dokumen terkait

Dalam satu rumpun dewasa, anggrek tebu dapat mencapai berat lebih dari 1 ton dan mempunyai panjang malai hingga 3 meter dengan diameter malai sekitar 1,5-2 cm. Itulah sebabnya

Dari penelitian mengenai penerapan dan pelaksanaan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) terhadap produktivitas tenaga kerja pada proyek konstruksi yang telah

Pengetahuan siswa mengenai kapan dan bagaimana menggunakan prosedur dalam menyelesaikan soal operasi aljabar dapat dilihat dari hasil jawaban siswa pada soal no.3 dan

Campur Kode Berupa Kata Campur kode berbentuk kata yang terdapat dalam film My Stupid Boss terjadi atas dua bahasa, yaitu bahasa nusantara (bahasa daerah) dan bahasa asing

Responden menyatakan setuju bahwa e-procurement dapat meminimalkan kecurangan yang ada dalam pelaksanaan tahapan tersebut dengan persentase masing-masing responden

[r]

Untuk kelompok energi di atas 1586 keY diberi angka Dol karena sudah tidak tersedia kanal (data cacah) di dalam MCA. Dengan demikian, dari sudut pandang jumlah cacah total,

Ini berarti bahwa mahasiswa yang mempunyai bekal potensi akademik, bakat kinestetik, dan motivasi berprestasi yang lebih tinggi dalam pembelajaran dengan kondisi