• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PEMBINAAN KEMANDIRIAN DI PESANTREN HIDAYATULLAH GUNUNG TEMBAK BALIKPAPAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLA PEMBINAAN KEMANDIRIAN DI PESANTREN HIDAYATULLAH GUNUNG TEMBAK BALIKPAPAN."

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

Abstrak... Kata Pengantar... Ucapan Terima Kasih ... Daftar Isi... BAB I PENDAHULUAN... A. Latar Belakang Masalah... B. Rumusan Masalah... C. Tujuan penelitian... D. Manfaat Penelitian... E. Asumsi ... F. Metode Penelitian... G. Lokasi Penelitian... BAB II PONDOK PESANTREN DAN POLA PEMBINAAN... A. Pondok Pesantren... 1. Sejarah dan Perkembangan Pesantren... 2. Pola Pendidikan di Pondok Pesantren... B. Konsep Kemandirian... 1. Nilai Kemandirian... 1.1. Hakikat Nilai ... 1.2. Pengertian Kemandirian... C. Pola Pendidikan Kemandirian ...

1. Definisi Pendidikan... 2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan... 3. Pembinaan Kemandirian... 4. Relevansi Pendidikan Umum dengan Nilai Kemandirian... D. Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan...

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... A. Desain Penelitian... B. Definisi Operasional... C. Pendekatan dan Metode Penelitian... D. Langkah-langkah Penelitian... 1. Teknik Pengumpulan Data... 2. Teknik Analisis Data ... BBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... A. Hasil Penelitian... 1. Pondok Pesantren Hidayatullah... 1.1. Biografi Abdullah Said (Pendiri Pesantren)...

(2)

1.2. Sejarah dan Perkembangan Pesantren Hidayatullah... 1.3. Program Pendidikan... 1.3.1. Sistem Pembinaan Secara non-Formal... 1.3.2. Sistem Pembinaan Secara Formal... 1.3.3. Kurikulum Manhaj Sistematika Nujul Wahyu (SNW)... B. Pembahasan... 1. Konsep Kemandirian Menurut Pesantren Hidayatullah... 2. Pendekatan Pembianaan Kemandirian Di Pesantren Hidayatullah... 2.1. Peneladanan dan Modeling... 2.2. Pembinaan Melalui Penugasan... 3. Attitude (Sikap Kemandirian Santri)... 4. Pola Pembinaan Kemandirian Di Pesantren Hidayatullah... 5. Matrik Hasil Temuan (Pola Pembinaan Kemandirian Di Pesantren Hidayatullah)... BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI...

(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terbinanya pribadi mandiri merupakan salah satu dari tujuan pendidikan nasional, tapi dalam kenyataannya tujuan dalam bidang ini mengalami banyak kegagalan. Lulusan sekolah dan universitas umumnya mengaharap untuk diangkat jadi PNS atau diterima jadi karyawan perusahaan. Penerimaan PNS selalu diserbu dengan antrian panjang oleh para sarjana dan lulusan sekolah, berbeda dengan lulusan pesantren, tidak pernah ada antrian dari lulusan pesantren untuk melamar pekerjaan apalagi ikut dalam antrian panjang dalam penerimaan PNS.

Dalam undang-undangan dan keputusan Menteri dirumuskan dengan jelas tentang makna dan tujuan pembinaan secara rinci, hal ini bisa dilihat dalam Keputusan Mendikbud (sekarang Mendiknas) RI No. 0323/u/1978 tanggal 28 Oktober 1978, disebutkan bahwa:

Membina diartikan sebagai upaya pendidikan, baik formal maupun non formal secara sadar, terencana, terarah, teratur dan bertanggung jawab, dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing dan mengembangkan suatu dasar kepribadian yang seimbang, utuh dan selaras, pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan bakat, minat, keinginan serta kemauan sebagai bekal untuk selanjutnya atas prakarsa sendiri, menambah, mengembangkan diri, sesamanya dan lingkungannya kearah tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusiawi, yang optimal dan pribadi yang mandiri.

(4)

nasional mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Apa yang dimaksud dengan manusia mandiri?, dapat kita peroleh beberapa definisi terkait dengan makna manusia mandiri, dalam ungkapan yang sederhana kemandirian sering diartikan sebagai kebebasan dari ketergantungan atas pengambilan keputusan, penilaian, pendapat dan pertanggung-jawaban (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989: 555).

Menurut Douvan (Yusuf, 2000: 81) kemandirian terdiri dari tiga aspek perkembangan, yaitu: a. Kemandirian aspek emosi, yaitu ditandai oleh kemampuan remaja memecahkan ketergantungannya (sifat kekanak-kanakannya) dari orang tua dan mereka dapat memuaskan kebutuhan kasih sayang dan keakraban di luar rumahnya. b. Kemandirian aspek perilaku. Kemandirian berperilaku merupakan kemampuan remaja untuk mengambil keputusan tentang tingkah laku pribadinya, seperti dalam memilih pakaian, sekolah/pendidikan, dan pekerjaan. c. Kemandirian aspek nilai. Kemandirian nilai ditunjukkan remaja dengan dimilikinya seperangkat nilai-nilai yang dikonstruksikan sendiri oleh remaja, menyangkut baik-buruk, benar-salah, atau komitmennya terhadap nilai-nilai agama.

(5)

menanggalkan diri dari berbagai ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupannya seiring dengan kemandirian yang dimilikinya.

M. Nuh (Djamaludin, 2010: 1) menyebutkan tentang arti penting dari kemandirian, dia menyebutkan bahwa:

Masalah mendasar yang menimpa bangsa ini sulitnya menciptakan kesejahteraan baik lahir ataupun batin, pengangguran dan kemiskinan akan terus bertambah manakala dunia pendidikan tidak berhasil membina peserta didik yang mandiri, untuk memperbaiki bangsa ini dari berbagai keterpurukan dan krisis, yaitu melalui pola pembinaan yang berkemampuan dan berkebiasaan, untuk memberikan yang terbaik (giving the best), sebagai prestasi yang dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran, sehingga secara perlahan akan menjadikan bangsa ini mandiri.

Hal tersebut diperkuat oleh ungkapan Wakil Menteri Pendidikan Fasli Jalal (2008: 1) yang menyebutkan bahwa munculnya pengangguran di tingkat sarjana terjadi karena sebagian besar lulusan perguruan tinggi adalah memiliki pola pikir (mind set) pencari kerja (job-seeker) tidak memiliki mentalitas mandiri dan pola pikir pencipta kerja (job-creator). Hal ini terjadi akibat sistem pembelajaran yang diterapkan di berbagai jenjang pendidikan lebih terfokus pada bagaimana menyiapkan peserta didik yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan yang refresentatif dan bergengsi, daripada upaya untuk melahirkan peserta didik yang berkualitas dan mandiri.

(6)

Sebagaimana yang disebutkan Latif (2010: 2) dengan menyebutkan berbagai fakta di lapangan, antara lain:

Menurut Badan perburuhan Intenasional (ILO) yang disampaikan dalam laporan yang berjudul Tren Lapangan Kerja untuk kaum muda merealease jumlah pengangguran di dunia sebanyak 81 juta orang. Sementara itu menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa jumlah pengganguran di Indonesia sebanyak 9,43 juta jiwa, berarti indonesia dalam hal ini menyumbang lebih 10% dari total keselurahan jumlah pengangguran dunia. Adapun menurut data survei tenaga kerja nasional tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), jumlah pengangguran sebanyak 21,2 juta Orang yang masuk dalam angkatan kerja, sebanyak 4,1 juta orang atau sekitar 22,2 persen adalah pengangguran, dan lebih mengkhawatirkan lagi, tingkat pengangguran terbuka itu menurutnya didominasi oleh lulusan diploma dan universitas dengan kisaran angka di atas 2 juta orang. Merekalah yang kerap disebut dengan "pengangguran akademik”.

Dari realitas tersebut bisa kita pahami bahwa, dunia pendidikan masih menyimpan banyak masalah terutama terkait dengan belum maksimalnya peran pendidikan dalam melahirkan peserta didik yang mandiri, tanpa mengabaikan berbagai prestasi dan keberhasilan yang dicapai, masalah kemandirian tentu merupakan bagian dari tujuan pendidikan yang harus tercapai oleh setiap perserta didik.

(7)

pengetahuan (transfer of knowledge), tapi termasuk di dalamnya pembinaan moral, mental-spiritual, keterampilan hidup (life skill) dan aplikasi kepemimpinan (leadership), melalui peneladanan dan pembiasaan yang kontinyu serta

lingkungan yang kondusif. Dengan model pembinaan seperti ini diharapkan semua tujuan pendidikan yang sudah dirumuskan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) bisa tercapai dengan maksimal.

Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, sangat mewarnai corak pendidikan Indonesia, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ki Hajar Dewantoro (1977: 370) sebagai Bapak Pendidikan Nasional, dalam sebuah tulisannya, dia menyebutkan bahwa pendidikan dengan sistem pondok dan asrama itulah sistem pendidikan nasional. Menurut Nurcholis Madjid (1997: 3) bahwa Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan nasional.

(8)

Islam mendorong pemeluknya untuk menjadi pribadi yang mandiri, kenapa? Karena manusia memiliki peran yang istimewa, yaitu selain sebagai hamba Allah SWT juga sebagai khalifah (pemimpin). Sebagai figur yang harus diteladani Rasulullah SAW mendorong umatnya untuk menjadi pribadi yang mandiri, dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, “orang mu`min yang kuat, lebih baik dan lebih disukai Allah SWT daripada mu`min yang

lemah...”(H.R. Muslim).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Abdurrahman Al-Bassam, 2010; 578) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekuatan adalah bersifat umum serta tergantung dari urusannya, bisa pengalaman dan keberanian, ilmu, kebijakan, integritas dan kejujuran (moral) dsb. Orang kuat adalah manakala berkumpulnya kemampuan (mentalitas), kekuatan (fisik, intelektualitas) dan amanah (hati; integritas, moral) pada diri seseorang.

Dalam hadits tersebut mengisyaratkan bahwa kekuatan spiritual (iman) harus disertai oleh kekuatan potensi lain seperti ekonomi, moral, sosial dan mental sehingga menjadi manusia yang bermanfaat, bermartabat dan berwibawa. Kemandirian secara ekonomi tidak diukur oleh seberapa besar materi yang dia miliki akan tetapi ditentukan oleh mentalitasnya untuk memberi dan memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa menjadi beban dan tergantung kepada orang lain.

(9)

sosok yang bermanfaat bagi diri dan lingkungannya bukan menjadi beban apalagi sampah masyarakat.

Ibnu Qudamah (1997: 99) mengutip sebuah hadits; Rasulullah SAW bersabda:

Tidaklah sekali-kali seseorang makan, makanan yang lebih baik daripada makan dari kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Allah Daud AS juga makan dari tangannya sendiri” (H.R. Al-Bukhari). Ibnu Abbas Radhiyallahu `anhu berkata: “Adam menjadi petani, Nuh menjadi tukang kayu, Idris menjadi penjahit, Ibrahim dan Luth menjadi petani, Shalih menjadi pedagang, Daud menjadi pandai besi, Musa, Syu`aib dan Muhammad menjadi penggembala. Sesungguhnya Zakaria as adalah seorang tukang kayu (H.R. Muslim).

Dalam sebuah atsar Lukamanul Hakim (Ibnu Qudamah, 2007: 100) menasihati anaknya;

Wahai anakku perhatikanlah mata pencaharian yang halal, karena jika seseorang menjadi miskin, maka dia bisa terkena salah satu dari tiga perkara; kelemahan dalam agamanya, kelemahan dalam akalnya dan kepribadiannya yang menurun. Dan yang lebih besar dari ketiga hal itu adanya orang lain yang menganggap remeh terhadap dirinya.

Dalam hadits yang lain disebutkan, bahwa kemandirian ekonomi harus diiringi dengan moral yang baik, suatu ketika Nabi SAW ditanya: “usaha apakah yang paling baik?, jawabnya: pekerjaan seseorang yang dilakukan oleh

tangannya sendiri dan semua bentuk jual beli yang dilakukan dengan bersih

(jujur)”. (H. R. Al-Bazzar dari Rifa`ah bin Rafi`)

(10)

Rasulullah SAW. Mereka adalah sosok yang mandiri dimana dengan kondisi yang berkecukupan tidak membuat mereka rakus, akan tetapi mereka bersikap dermawan dan rela mengeluarkan kekayaannya untuk Islam dan orang yang memerlukannya. Begitu juga halnya dengan kelompok orang yang memiliki kelemahan dari segi ekonomi, tidak lantas menjadi peminta-minta dan berpangku tangan, mereka tetap gigih dalam usaha.

Kartadinata (1988: 78) memaknai kemandirian dengan merujuk kepada konsep totalitas kepribadian, esensi kemandirian terletak dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab atas keputusan yang diambilnya, kemandirian menyangkut sisi-sisi kognisi, afeksi dan konasi. Begitu juga kemandirian diartikan sebagai kekuatan moralitas dan kemotekaran berfikir, untuk mewujudkan keputusan dalam bentuk tindakan nyata.

Pernyataan tersebut memberikan pemahaman bahwa kemandirian merupakan bagian utuh yang tidak bisa dipisahkan dengan kematangan spiritual, mental, ekonomi, moral dan keterampilan hidup (life skill) seseorang. Jadi Peserta didik yang hanya diberi pemahaman dan teori semata (baik pengetahuan umum ataupun agama) tanpa diiringi dengan peneladanann, kesempatan untuk berlatih mencari solusi (problem solving), mengaktualisasikan dirinya dengan berbagai kreatifitas dan keterampilan hidup (life skill) serta kurangnya pembinaan mental-spiritual (iman) sangat sulit baginya untuk mencapai kemandirian.

(11)

penanaman karakter dan nilai serta yang tidak kalah penting dari itu semua adalah menumbuhkan keyakinan (iman dan takwa) sebagai landasan hidup mandiri, peserta didik diberikan kebebasan untuk mengadakan pengamatan, pengklasifikasian, penafsiran, pengalaman, penerapan, perencanaan, penelitian, dan pengkomunikasian hasil pendidikan dalam kegiatan belajar mengajar.

Piaget (Constance Kamii, 1993: 56) memandang bahwa kemandirian merupakan tujuan dari pendidikan. hakekat kemandirian yang dimaksud adalah kemampuan anak membuat keputusan bagi dirinya sendiri. Tetapi kemandirian tidak sama dengan kebebasan mutlak. Kemandirian berarti memperhitungkan semua faktor yang relevan, dalam menentukan arah tindakan yang terbaik bagi semua yang berkepentingan. Lebih lanjut Piaget mengklasifikasikan Kemandirian setidaknya dalam dua aspek, yaitu; aspek moral dan aspek intelektual.

Pertama; Mandiri dalam aspek moral berarti “diperintah oleh dirinya”

kebalikan dari tergantung pada pihak lain, yang berarti “diperintah oleh pihak lain. kemandirian moral artinya kesadaran untuk membangun sendiri nilai-nilai moral dari dalam. Tugas pendidik dan orang dewasa adalah merangsang pertumbuhan kemandirian tersebut. Tidak dapat ada ukuran baik-buruk (morality) kalau orang hanya mempertimbangkan pandangan sendiri, kalau orang memperhitungkan pendapat orang lain orang tidak lagi bebas bohong, membatalkan janji atau tidak peduli.

(12)

tidak sedikit orang yang tidak berkembang dengan baik kemandirian moralnya, contoh kongkrit yang bisa kita dapatkan dalam kehidupan sehari-hari; banyak surat kabar atau media elektronik yang isinya dipenuhi oleh berita tentang korupsi, pencurian, pemerkosaan dan sebagainya, itu semua merupakan gambaran dari realita ketidak mandirian moral.

Kedua; mandiri dari aspek intelektual, dalam dunia intelektual juga

kemandirian berarti “diperintah oleh diri sendiri”, sedang ketergantungan kepada orang lain berarti “diperintah oleh orang lain”. contoh istimewa dari kemandirian Intelektual seperti keteguhan imam Malik dalam memegang teguh pendiriannya bahwa Al-Qur`an itu adalah kalamullah (firman Allah) bukan makhluk, walaupun resikonya harus dipenjarakan, dia tetap tidak merubah keyakinannya. Atau Copernicus dengan teorinya heliosentris yang ditentang gereja dan para ilmuwan, namun ia tetap yakin atas gagasannya tersebut..

Bangsa yang mandiri terbentuk dari Individu yang mandiri. Menurut Thomas Lickona (Megawangi, 2009; 3) kemandirian merupakan kepribadian yang menjadi identitas dan karakter sebuah bangsa, begitu juga suatu bangsa dapat dikategorikan sebagai bangsa yang lemah dengan indikasi sebagai berikut: 1). Meningkatnya kekerasan dikalangan remaja 2). Penggunaan Bahasa dan kata-kata yang buruk 3). Meningkatnya pengaruh kelompok teman sebaya (peer-group) yang yang kuat dalam tindak kekerasan 4). Meningkatnya prilaku yang

(13)

individu dan warga negara 9) Membudayanya ketidak jujuran 10). Adanya sikap saling curiga dan kebencian antar sesama.

Kesepuluh fenomena sosial tersebut merupakan indikasi dari lemahnya kemandirian suatu bangsa, yang harus dicarikan solusi dan jalan penyelesaiannya. Mencermati fenomena sosial masyarakat Indonesia menurut Koyan (2000: 74) bahwa kesepuluh poin tersebut semuanya sudah merupakan masalah sosial dan moral yang sering terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Oleh karena itu harus ada upaya serius dan terencana untuk menghasilkan manusia yang berkarakter mandiri, dalam hal ini lembaga pendidikan merupakan institusi yang paling diharapkan perannya dalam melakukan pembinaan untuk melahirkan pribadi yang mandiri.

(14)

Winecoff (1988: 1) menjelaskan tujuan pendidikan nilai antara lain, sebagai berikut: “purpose of values education is process of helping students to explore exiting values through critical examination in order that they might raise

of improve the quality of their thinking and feeling”.

Secara rinci tujuan pendidikan nilai terdiri dari empat dimensi, yaitu: a. Identification of a core of personal and societal values (identifikasi nilai

personal dan nilai social)

b. Philosophical and rational inquiry into the core (penemuan filosofis dan

rasional tentang nilai)

c. Affective or emotive response to the core (respon afektif atau emotif

terhadap nilai)

d. Decision-making related to the core bused on inquiry and response

( pengambilan keputusan berkaitan dengan nilai)

Sauri, S (2010: 20) memaparkan beberapa strategi dasar yang harus dimiliki oleh guru dalam mengajarkan nilai, meliputi: (1) identifikasi nilai dan tujuan yang hendak dicapai; (2) menyusun pengalaman kehidupan yang menantang terhadap pertimbangan nilai; (3)mempersiapkan sejumlah pengalaman yang memperluas kemampuan anak dalam membangun nilai secara mandiri.

(15)

Mardiatmaja (Hartoko, 1985: 56) menyebutkan langkah-langkah untuk mendidik nilai menuju manusia yang mandiri yaitu menjadikan pendidikan sebagai institusi yang mampu membantu peserta didik untuk mengenal eksistensinya sendiri, pengenalan ini perlu mengingat bahwa nilai itu sangat berkaitan erat dengan hakekat manusia dan manusia itu menampilkan diri sebagai makhluk yang mandiri secara autentik. Setelah peserta didik dapat mengenal diri dan menilai dirinya secara utuh, langkah selanjutnya ditanamkan kesadaran bahwa kemandiriannya dalam relasi dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya, harus terjalin dengan baik dalam bingkai pedoman-pedoman nilai tertentu.

(16)

Melalui serangkaian nilai manusia akan lebih bermakna, tanpa nilai-nilai yang melekat dalam dirinya maka dia akan menjadi makhluk yang jauh lebih hina daripada binatang sekalipun, Allah berfirman:

Dan sungguh akan kami isi neraka jahanam, banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati tapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mata akan tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah), mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lengah. (Q.S. Al-A`rof, 7 : 179).

Kemandirian hanya dapat diraih manakala nilai-nilai sudah menjadi karakter diri. Djahiri (2004) melihat pendidikan umum sebagai suatu dimensi pendidikan totalitas dalam kehidupan manusia, baik dia berperan sebagai individu, anggota keluarga atau anggota masyarakat. Hal ini menurutnya sebagai three life cycles. Kehidupan itu memiliki sumber tatanan nilai, moral, dan norma

yang berasal dari agama, budaya/adat, kebiasaan, hukum positif (nasional dan internasional), ilmu (teori dan dalil/hukum), afeksi kemanusiaan, metafisika/kepercayaan dan mitos dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

(17)

nilai-nilai dan semangat dasar pengabdian/pengorbanan, yang beriman dan bertanggung jawab, akan kesejahteraan dan kemakmuran warga masyarakat, nusa dan bangsa Indonesia, dengan kata lain bahwa tujuan pendidikan umum untuk membentuk manusia seutuhnya (Sumantri, 2009: 6).

Pada hakekatnya tujuan pendidikan yang ditetapkan dalam UUSPN sejalan dengan tujuan pendidikan umum itu sendiri, yaitu membantu manusia untuk berkembang menjadi manusia seutuhnya. Bagaimana proses menuju manusia utuh tersebut? Menurut Galileo (Sumantri, 2009: 5) prosese menuju manusia utuh artinya membantu peserta didik menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya, karena setiap pribadi manusia memiliki “self-hidden potencial excellence” (mutiara talenta yang tersembunyi dalam diri), serta tugas pendidikan

yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkan seoptimal mungkin.

Terkait dengan sosok pribadi mandiri yang diharapkan dalam Pendidikan Umum sebagaimana dijelaskan Smart and Smart (Khabib Thaha, 1993: 121) bahwa seorang yang mandiri seharusnya mampu memahami diri dan kemampuannya, menemukan sendiri apa yang dilakukan, menentukan dalam memilih kemungkinan-kemungkinan dari hasil perbuatannya dan akan memecahkan sendiri masalah-masalah yang dihadapi oleh dirinya sendiri dan tidak akan terpengaruh apalagi meminta bantuan kepada orang dan bangsa lain.

(18)

intelektual; dan kedua menekankan pada perkembangan semua fase kepribadian seseorang secara simultan antara perkembangan intelektual, sosial, fisik, dan emosional. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, maka pendidikan umum harus berbasis pada landasan pendidikan yang kuat.

Ada tiga landasan utama pendidikan umum menurut Henry (1952) yaitu: filsafat, psikologi, dan sosiologi. Fungsinya adalah untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi masalah-masalah tertentu yang ada dalam masyarakat dengan memiliki profesi tertentu. Dengan demikian, pendidikan umum akan melahirkan manusia-manusia yang mampu menghadapi masalah dalam kehidupan masyarakat, baik personal maupun social secara mandiri dan bertanggung jawab.

Syahidin (2004: 2) mengutip pandangan Klafki bahwa pendidikan umum merupakan pendidikan yang komprehensif, di mana pendidikan umum mendidik manusia secara utuh dengan cara mendidik “kepala, hati, dan tangan manusia.” Oleh karena itu, sasaran pendidikan umum harus menyentuh potensi-potensi yang dimiliki manusia, yakni potensi rasio, rasa, dan tingkah laku. Ketiga potensi manusia tersebut harus dibina secara bersama-sama dalam rangka mewujudkan keutuhan pribadi, bukan menyentuh suatu aspek secara terpisah-pisah.

(19)

tatanan nilai, moral, dan norma yang esensial yang berlaku dalam kehidupan manusia atau kelompok manusia yang bersangkutan, (2). Pembinaan dan pengembangan jati diri (kepribadian) manusia atau kelompok masyarakat dalam sistem kehidupan manusia atau masyarakat. Target maksimal pendidikan umum adalah membentuk manusia dan masyarakat dalam kehidupan yang bermoral tinggi dan menjadi warga negara yang baik.

Terdapat sedikit perbedaan antara moral dan karakter, Menurut Karen Bohlin (Megawangi, 2009: 5) Karakter sebagaimana makna asalnya berasal dari bahasa Yunani charassein artinya nmengukir sehingga membentuk sebuah pola. Dalam hal ini Sumantri (2009: 16) menjelaskan bahwa Pendidikan karakter memiliki makna lebih, tidak hanya berhenti pada pendidikan moral. karena ia bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik. Sehingga siswa didik menjadi faham (domain kognitif), tentang yang benar dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya (domain psikomotor) sebagaimana yang dikatakan Aristoteles, karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekan dan dilakukan

Menurut Lickona (Sumantri, 2009: 16-17) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (component of good character) yaitu mulai dari moral knowing (pengetahuan moral), moral feeling (perasaan tentang moral) dan

moral action (perbuatan bermoral). Perbuatan moral akan menjadi karakter atau

(20)

motivasi seseorang dalam prilaku moral, dapat dilihat dari tiga asfek karakter, yaitu; 1) kompetensi (competence), 2). Keinginan (will) dan 3). Kebiasaan (habit).

Dari uraian diatas dapat kita pahami bahwa pengajaran moral tidaklah hanya sebatas pengenalan tentang baik dan buruk semata, akan memiliki target akhir yaitu sampai pada moral action (prilaku moral), sebagai langkah awal untuk menuju pembentukan karakter.

Dalam merumuskan peran dan tujuan pendidikan, Al-Attas (Daud, 2003: 190) menyebutkan tentang tujuan dari pendidikan yang sebenarnya adalah sebagai berikut:

Tujuan dari Pendidikan adalah Terbinanya manusia yang baik, dalam arti manusia yang sadar sepenuhnya akan individualitasnya membangun hubungannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat, dan alam (baik yang tampak ataupun yang ghaib) itulah sebabnya dalam Islam, individu yang baik secara alami harus menjadi hamba yang baik bagi Tuhannya, ayah yang baik bagi anak-anaknya, suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya, tetangga yang baik dan warga negara yang baik bagi negaranya.

Dengan menjadi manusia yang baik, berarti baik pula moralitasnya, spiritualitasnya, mentalitasnya serta interaksi sosialnya, tidak akan menggantungkan hidupnya kepada oranglain dan memilikii rasa tanggung jawab terhadap diri, lingkungan sosial dan Tuhannya. Dengan keberanian dan sikap tanggung jawabnya dia akan menjadi pribadi yang mandiri dan bermanfaat bagi lingkungannya.

Abdullah Said (Mansur Salbu, T.t: 486) sebagai pendiri Pesantren Hidayatullah. menyebutkan bahwa;

(21)

pendidikan. Dengan mendirikan lembaga pendidikan yang tidak lagi berorientasi kepada predikat kesarjanaan, tapi berorientasi kepada kekaderan, yang keberadaannya langsung bisa dirasakan oleh masyarakat. Menyaksikan pola pendidikan pada umumnya dengan materi pelajaran yang diberikan terlalu banyak, pikiran anak-anak banyak dijejali pelajaran yang tidak bakal dimanfaatkan. Sehingga hasilnya menjadi tanggung. Dalam ujian mereka mereka pusing, ditambah pemberian nilai oleh guru yang tidak manusiawi, contohnya; salah memberi jawaban terhadap soal yang berbunyi; “Gajah Mada meninggal karena sakit atau ditusuk kayu ulin?, seandainya ada anak-anak yang tidak lulus disebabkan salah menjawab soal seperti ini, bukankah ini sangat tidak manusiawi?.

Model sekolah pada umumnya dalam pandangan Abdullah Said sangat berpotensi melahirkan peserta didik yang tanggung, ibarat selembar kain, mau dijadikan sapu tangan kebesaran, dijadikan taplak kekecilan. Akibat terlalu banyak pelajaran yang diberikan, tapi tidak ada yang mereka kuasai.

Menurut Abdullah Said (Mansur Salbu; T.t: 69) untuk mencari solusi pendidikan yang terbaik, cukuplah bagi kita bercermin dari apa yang telah dialami oleh manusia terbaik yaitu Nabi Muhammad SAW. Dimana Allah SWT yang merekayasa kondisi Nabi Muhammad itu tentu ada targetnya, dan ini tentu menjadi contoh pembinaan yang sangat tepat. Kondisi yang dimaksud adalah yang diistilahkan dengan fase-fase yatim, mengembala, berdagang, berkhadijah, dan bergua hira.

(22)

oleh Allah swt, sehingga pasti pola pendidikannya merupakan sistem pendidikan

yang terbaik”.

Beliau menyampaikan hal tersebut merupakan isyarat dan anjuran untuk direalisasikan, karena tidak semata-mata Rasulullah SAW mengungkapkan hal demikian, kalau hal itu tidak bisa direalisasikan dalam wujud pembinaan melalui institusi pendidikan, baik formal, non-formal ataupun informal. Walaupun dalam interpretasi dan aplikasinya terdapat perbedaan. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)

hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (Q.S. Al-Ahzab, 33:21)

Kalau dilihat, bentuk kalimat dalam ayat tersebut, termasuk kalimat berita tapi isinya adalah perintah (khabariyatul kalam wainsyaiyatul ma`na). Sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Ibnu Katsier (Mubarakfury, 2011: 251) bahwa maksud ayat tersebut adalah perintah kepada kita; “contoh dan teladanilah sikap dan tabi`at Rasulullah SAW!.

(23)

Ibnu Qudamah (1997: 100) menegaskan Pola pembinaan yang dialami oleh Rasulullah SAW terbukti melahirkan sosok beliau sebagai pribadi yang mandiri, bahkan tidak berhenti sampai di situ, pada saat yang sama beliau mampu membina para shahabat sebagai generasi yang mandiri pula. Bahkan sembilan dari sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga, mereka adalah kelompok dermawan (enterpreneur). sebagian besar dari para shahabat adalah berdagang, baik di daratan atau dilautan, menggarap tanah dan sebagainya.

Jum`ah Amin (2005: 67) menyebutkan bahwa rahasia pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW sampai berhasil membentuk generasi yang berkepribadian unggul, karena mampu menampilkan Islam sebagai risalah pembinaan sebelum menjadi risalah hukum, risalah akhlak sebelum risalah jihad, risalah kemuliaan dan nilai sebelum banyak pengikut dan tersebar luas. Maka inti dari Islam adalah akhlak dan ihsan, sarananya adalah keteladanan dan pembinaan, sedangkan objek yang pertama kali dituju adalah jiwa dan hati manusia bukan akal semata.

Pesantren Hidayatullah merupakan salah satu pesantren yang mengaplikasikan fase-fase kehidupan Rasulullah SAW sebagai acuan pembinaan. Dengan Visi untuk mewujudkan lembaga yang berorientasi pada kebersamaan umat, demi mewujudkan masyarakat yang bersyari`ah, berjama`ah, sejahtera, maju dan berpengaruh. Dengan menjadikannya sebagai lembaga pendidikan dan pengkaderan islam yang unggul, amanah dan mandiri.

Adapun misi yang diusungnya, antara lain;

(24)

2. Menyelenggarakan pembinaan yang melahirkan kader ulama yang cerdas dan mandiri

3. Menjadikan masjid sebagai pusat gerakan dan pembinaan spiritual. 4. Menyelenggarakan pendidikan profesional yang dapat melahirkan

kader berakhlak mulia, cerdas, mandiri dan memiliki tanggung jawab mengangkat martabat umat.

5. Menjadikan kampus sebagai alat peraga pendidikan yang islamiah, ilmiah dan alamiah.

6. Membentuk lembaga-lembaga ekonomi yang dapat mendukung terselenggaranya pendidikan dan pengkaderan.

7. Penerapan syari`ah secara maksimal dibarengi dengan kerja keras dalam ikatan satu jamaah.

Pesantren hidayatullah sebagai lembaga kader, telah berhasil mengirimkan ribuan kadernya ke berbagai pelosok tanah air, mereka dikirim untuk merintis pesantren atau melanjutkan pembinaan yang sudah ada. Sejak berdirinya tahun 1973 sampai sekarang (2010), pesantren Hidayatullah sudah ada di 33 provinsi, 285 kabupaten, dan sekitar 2000 kecamatan dengan jumlah anggota kurang lebih 12 juta.

B. Rumusan Masalah

(25)

1. Bagaimanakah konsep Kemandirian di Pesantren Hidayatullah?

2. Bagaimana pola pendidikan kemandirian di Pesantren Hidayatullah?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui pola pembinaan dan sistem pendidikan yang mampu melahirkan peserta didik yang mandiri. adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:

1. Untuk mengetahui tentang konsep kemandirian yang dipahami di Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak Balikpapan

2. Untuk Mengetahui bagaimana pola pembinaan kemandirian di Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak Balikpapan

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini, dapat diklasifikasikan dalam dua asfek yaitu manfaat secara teoretis dan praktis.

a. Manfaat Teoretis

(26)

b. Manfaaat Praktis

Secara praktis model pembinaan nilai kemandirian dapat memberikan beberapa implikasi: pertama, studi ini dapat memberi sumbangan pemikiran secara konseptual terhadap pembinaan nilai kemandirian; kedua, studi ini memiliki dampak positif, terutama untuk menanamkan kesadaran akan pentingnya penanaman nilai kemandirian, khususnya bagi pesantren Hidayatullah. Ketiga, studi ini akan memberikan pemahaman kepada dunia pendidikan tentang pembinaan nilai kemandirian, sangat penting diketahui bagi para pengkaji dan pengembang pendidikan supaya langkah-langkah pembinan nilai kemandirian menjadi terarah dan fokus.

E. Asumsi

Penelitian ini di landasi atas beberapa asumsi dasar, yaitu:

1. Banyaknya jumlah Pengangguran sebagai indikasi tidak mandiri. hal ini merupakan problem yang serius bagi bangsa, di sisi lain lembaga pendidikan yang diharapkan mampu mengantisipasi meningkatnya jumlah pengangguran, malah banyak lulusannya yang menganggur. yang diistilahkan dengan pengangguran akademik atau pengangguran intelektual.

(27)

mental-spiritual, life skill serta memiliki kultur santri (peserta didik) untuk hidup mandiri.

3. Rasulullah SAW merupakan figur ideal (model), dalam dirinya terhimpun segala macam sifat dan sikap kebaikan, termasuk padanya melekat sebagai pribadi yang mandiri. mengambil inspirasi dari fase kehidupan Rasulullah SAW untuk diaplikasikan dalam sebuah lembaga pendidikan tentu bukanlah sesuatu yang mUstadzahil, karena beliau adalah teladan dalam berbagai asfek kehidupan termasuk dalam pembinaan umat.

F. Metode Penelitian

Studi ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Karena penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sistem pembinaan nilai kemandirian, melalui pengkajian secara mendalam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Creswell (1998: 37) tentang beberapa karakteristik dari studi kasus yaitu : a) mengidentifikasi kasus untuk suatu studi, b) kasus tersebut merupakan sebuah sistem yang terikat oleh waktu dan tempat, c) menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam tentang respons dari suatu peristiwa, dan d) peneliti akan meluangkan banyak waktu untuk menggambarkan konteks atau setting suatu kasus. maka pendekatan kualitatif diyakini sangat tepat digunakan untuk menggali pembinaan nilai kemandirian di Pesantren Hidayatullah.

(28)

sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Manusia sebagai alat dan hanya dia yang dapat berhubungan dengan responden atau obyek lainnya karena yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan hanyalah manusia. Begitu juga, hanya manusia pulalah yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian ia pasti dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya.

Senada dengan Kirk dan Miller, Sukmadinata (2005: 60) mengatakan penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Ia mengutip pendapat Lincoln dan Guba bahwa penelitian kualitatif bersifat naturalistik, sehingga kenyataan itu dianggap sebagai sesuatu yang berdimensi jamak. Peneliti dan yang diteliti bersifat interaktif dan tidak bisa dipisahkan. Penelitian kualitatif bersifat naturalistik karena datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya dengan tidak merubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan (Nawawi, 1994: 174).

(29)

dikontrol validitas dan reliabilitasnya (Alwasilah, 2003: 211), sedangkan wawancara mendalam dilakukan apabila fokus yang diteliti belum begitu jelas dan pertanyaan untuk para subyek penelitian menghasilkan jawaban yang kompleks maka teknik wawancara mendalam lebih dibutuhkan (Brannen, 1997: 12).

G. Lokasi Penelitian

(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998: 15).

Penelitian kualitatif merupakan sebuah pendekatan. Ada dua istilah dalam penelitian, yang seringkali disalah pahami, yaitu pengertian metodologi dan metode, terkadang kedua istilah ini dipahami dalam makna yang sama, padahal istilah metodologi tidak identik dengan metode. Untuk itu terlebih dahulu peneliti akan bedakan secara mendasar tentang kedua istilah tersebut.

Sebagaimana dikemukakan Cohen dan Manion (1994: 4) mengatakan bahwa metodologi adalah rancangan yang dipakai peneliti memilih prosedur pengumpulan dan analisis data dalam menyelidiki masalah penelitian tertentu. Begitu juga McMillan dan Schumacher (2001: 9) bahwa “…the ways one collects and analyzes data.” Metodologi adalah cara seorang peneliti mengumpulkan dan

(31)

kesimpulan. Jadi Secara ringkas, metodologi berarti pengkajian, penjelasan, dan pembenaran metode, dan bukan metodenya itu sendiri.

Sementara metode menurut Kaplan (Sirozi, 2004: 81) adalah cara seseorang mengumpulkan dan menganalisis data atau teknik atau prosedur yang digunakan dalam proses pengumpulan data. Untuk mencapai tujuan penelitian perlu suatu metode yang tepat. Dalam penelitian, metode bisa berarti cara seseorang mengumpulkan dan menganalisis data atau teknik dan prosedur yang dipakai dalam proses pengumpulan data (Cohen & Manion, 1994: 4). Jadi, metode penelitian dapat diartikan sebagai suatu proses pangumpulan dan analisis data secara sistematis untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Creswell (2010: 17) Strategi penelitian merupakan istilah lain dari istilah pendekatan penelitian (Creswell, 2007), sementara Mertens (1998) menyebutnya dengan istilah metodologi penelitian (Mertens, 1998).

B. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini, ada beberapa istilah yang perlu didefinisikan secara operasional, untuk memudahkan pemahaman terhadap masalah yang diteliti, istilah-istilah yang dimaksud adalah;

(32)

keImanan, bimbingan, peneladanan, motivasi dan penugasan. Melalui lingkungan yang kondusif (edukatif) dengan tujuan terlahirnya peserta didik yang berkarakter utuh, tangguh, bermanfaat bagi lingkungan, kreatif, mandiri dan mampu memimpin masyarakat dengan petunjuk agama (yahdūna biamrinậ).

2. Nilai merupakan suatu realitas yang abstark serta berfungsi sebagai pendorong dan prinsip dalam hidupnya. menurut Ambroise (Mulyana, 2004: 23-24) nilai menduduki tempat paling tinggi dalam kehidupan seseorang, karena nilai akan menjadi bagian utama bagi identitas atau pribadi seseorang, kuat tidaknya nilai melekat dalam diri seseorang sangat berpengaruh terhadap kemandirian seseorang baik dibidang ekonomi, social, emosi, intelektual dsb. Dalam hal ini nilai yang paling tinggi dan mempengaruhi gerak dan sikap seseorang adalah iman.

(33)

pertolongan Allah SWT melalui ibadah yang maksimal, kerja keras dan berpikir kreatif sehingga mampu menjadi insan yang bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat luas.

4. Pesantren adalah sekolah berasrama untuk mempelajari agama Islam (Abdullah, 1983: 329). Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki misi untuk tafaqquh fiddin dengan memotivasi kader ulama dalam fungsinya sebagai warasat al anbiya (pewaris para Nabi). Adapun unsur-unsur yang melekat dalam sistem pendidikan pesantren, antara lain; (1). Aktor atau pelaku (kyai, ustadz, santri, dan pengurus asrama atau pesantren), (2). Sarana perangkat keras (masjid, rumah kyai, asrama, madrasah, gedung, tanah dll), (3). Sarana perangkat lunak (kurikulum, tujuan, kitab, tata tertib, penilaian, metode, keterampilan, alat pendidikan dll). Ciri khas dari Pesantren adanya asrama atau pondok dimana interaksi antarai kyai dan santri terjalin secara intens, sehingga pertemuan antar kyai dengan santri tidak terbatas pada saat proses belajar mengajar. Sehingga dengan kondisi seperti ini akan sangat memungkinkan terjadinya proses pembentukan kemandirian dan kepribadian yang lebih luas.

C. Pendekatan dan Metode Penelitian

Dalam studi ini, Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena pendekatan ini memiliki keistimewaan tersendiri. Ada enam keistimewaan pendekatan penelitian kualitatif menurut Alwasilah (2003: 107-110), yaitu pertama, pemahaman makna, dimana makna merujuk pada kognisi, afeksi,

(34)

pemahaman konteks tertentu, di mana peneliti berkonsentrasi pada orang atau situasi yang relatif sedikit dan analisis secara mendalam terhadap kekhasan kelompok dan situasi itu saja. Ketiga, identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga, dimana setiap informasi, kejadian, perilaku, suasana, dan pengaruh baru berpotensi sebagai data untuk membeking hipotesis kerja. Keempat, kemunculan teori berbasis data atau grounded theory. Kelima, pemahaman proses, artinya peneliti mengutamakan proses dari pada produk kegiatan yang diamati. Keenam, penjelasan sababiyah atau causal explanation, artinya penjelasan itu

mencari sejauh mana kejadian-kejadian itu berhubungan satu sama lain dalam rangka penjelasan sababiyah lokal.

Peneliti telah menetapkan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan studi, oleh karena itu dipandang perlu mengemukakan beberapa definisi mengenai pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor (Moleong, 1990: 3) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendektan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik. Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

(35)

dalam peristilahannya. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Manusia sebagai alat dan hanya dia yang dapat berhubungan dengan responden atau obyek lainnya karena yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan hanyalah manusia. Begitu juga, hanya manusia pulalah yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian ia pasti dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya.

Kirk dan Miller (Moleong, 1990: 3), Sukmadinata (2005: 60) mengatakan penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Ia mengutip pendapat Lincoln dan Guba bahwa penelitian kualitatif bersifat naturalistik, sehingga kenyataan itu dianggap sebagai sesuatu yang berdimensi jamak. Peneliti dan yang diteliti bersifat interaktif dan tidak bisa dipisahkan. Penelitian kualitatif bersifat naturalistik karena datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya dengan tidak merubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan (Nawawi, 1994: 174).

Creswell (2010: 261-262) menjelaskan secara rinci, seperti apakah Karakteristik Penelitian dari penelitian kualitatif, antara lain:

(36)

b. Peneliti sebagai instrumen kunci (researcher as key instrument); para peneliti kualitatif mengumpulkan sendiri data melalui dokumentasi, observasi prilaku, atau wawancara dengan para partisipan.

c. Beragam sumber data (multiple sources of data); memilih pengumpulan data dari berbagai sumber. Seperti wawancara, observasi atau wawancara.kemudian peneliti sendiri yang memberikan makna dari data tersebut, dan mengolahnya ke dalam kategori-kategori atau tema-tema yang melintasi semua sumber data.

d. Analisi data induktif (inductive data analysis); para peneliti kualitatif membangun pola-pola, kategori-kategori,tema-temanya dari bawah ke atas (induktif) dengan mengolah data kedalam unit-unit informasi yang lebih abstrak.

e. Makna dari para partisipan (participant`s meaning); peneliti mempelajari makna yang disampaikan oleh partisipan tentang masalah atau isu penelitian, bukan makna yang disampaikan oleh peneliti atau penulis lain dalam literatur-literatur tertentu.

f. Rancangan yang berkembang (emergents design); proses penelitian yang berkembang dinamis.

(37)

h. Bersifat penafsiran (interpretative); peneliti melakukan interpretasi terhadap apa yang mereka lihat, dengar dan pahami. Karena pandangan kualitatif menawarkan pandangan-pandangan yang beragam atas suatu masalah.

i. Pandangan menyeluruh (holistic account); para peneliti membuat gambaran yang komplek terhadap suatu masalah atau isu.

Miles dan Huberman (1994: 10) mengatakan bahwa penekanan data penelitian kualitatif terletak pada pengalaman hidup manusia. Hanya manusialah dapat menemukan makna terhadap suatu kejadian, proses, dan struktur hidup mereka, seperti persepsi, asumsi, prapenilaian, praduga, dan untuk mengaitkan makna tersebut dengan dunia sosial di sekitar mereka.

Sasarannya menurut Leininger (Sirozi, 2004: 90) adalah tidak untuk mengukur sesuatu, melainkan untuk memahami sepenuhnya makna fenomena dalam konteks dan untuk memberikan laporan mengenai fenomena yang dikaji. Penelitian kulitatif tidak ditujukan untuk menghasilkan sampel besar sampai populasi dengan menggunakan verifikasi statistik, akan tetapi peneliti secara sistematik dan dengan narasi rinci hanya menyelidiki fenomena khusus yang memiliki karakteristik, baik bagi individu, kelompok maupun institusi tertentu.

(38)

Metode kualitatif menjadikan peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian. Teknik pengamatan dilakukan dengan metode observasi partisipan, sedangkan teknik wawacara dengan wawancara mendalam. Observasi berarti pengamatan sistematis dan terencana yang diniati untuk perolehan data yang dikontrol validitas dan reliabilitasnya (Alwasilah, 2003: 211), sedangkan wawancara mendalam dilakukan apabila fokus yang diteliti belum begitu jelas dan pertanyaan untuk para subyek penelitian menghasilkan jawaban yang kompleks maka teknik wawancara mendalam lebih dibutuhkan (Brannen: 1997: 12).

(39)

merupakan kegiatan menyempurnakan hasil analisis kemudian menyusun dan menyajikannya.

Alat pengumpul data paling penting dalam penelitian kualitatif adalah wawancara. Ada beberapa bentuk wawancara, seperti open-ended, wawancara terfokus, dan wawancara terstruktur.

Pertama, bentuk wawancara yang paling umum adalah open-ended. Tipe

open-ended adalah peneliti dapat bertanya kepada responden kunci tentang

fakta-fakta suatu peristiwa disamping opini mereka mengenai peristiwa yang ada. Pada beberapa situasi peneliti bahkan bisa meminta responden untuk mengetengahkan pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu dan bisa menggunakan proposisi tersebut sebagai dasar penelitian selanjutnya. Informan kunci sangat besar perannya dalam studi kasus karena ia tidak hanya memberikan informasi tetapi juga bisa memberikan saran tentang sumber-sumber bukti lain yang mendukung, serta menciptakan akses terhadap sumber yang bersangkutan.

Kedua, tipe wawancara terfokus adalah responden diwawancarai dalam

(40)

Tipe wawancara ketiga adalah wawancara terstruktur. Tipe ini menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang lebih terstruktur. Pertanyaan tersebut disusun terutama sebagai pengingat bagi peneliti berkenaan dengan informasi yang perlu dikumpulkan, dan bagimana cara pengumpulannya. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga peneliti agar tetap berada pada alur ketika melakukan pengumpulan data.

(41)

Hasil temuan studi dalam penelitian kualitatif berupa deskripsi analisis tentang fenomena secara murni dan informatif. Peneliti kualitatif berfungsi sebagai partisipan dan juga sekaligus sebagai instrumen bermakna bahwa peneliti sendiri yang mengumpulkan data di lapangan. Peneliti secara langsung mewawancarai, mengobservasi, membaca situasi, serta menangkap fenomena melalui perilaku manusia. Agar peneliti tidak menjadi faktor pengganggu dalam menggali informasi di lapangan, maka peneliti melakukan beberapa strategi dengan cara: (1). Peneliti menceburkan diri dengan sumber informasi dalam semua situasi sehingga dapat mengumpulkan semua fenomena yang berlangsung di lapangan; (2). Peneliti merespon segala stimulus yang ada di lingkungan penelitian yang diperkirakan bermakna bagi peneliti. Semua peristiwa yang terjadi direkam dan dimaknai; dan (3). Peneliti berusaha memahami dan menghayati sumber informasi di lapangan.

Untuk mencapai ketiga hal tersebut, peneliti membangun rapport yang baik dengan sifat-sifat terpuji sebagaimana dikatakan Alwasilah (2003: 145) bahwa Peneliti etnografis professional harus memiliki sifat-sifat sensitif, sabar, cerdik, tidak menghakimi, bersahabat, dan tidak menyerang, menunjukkan toleransi terhadap kemenduaan, memiliki selera humor, ingin menguasai bahasa responden, dan mampu menjaga rahasia responden. Untuk mempertahankan kepercayaan responden, peneliti harus ‘berbudaya lokal responden’ agar mendapatkan data secara terus menerus sampai penelitian usai.

(42)

Peneliti melibatkan diri secara langsung dan intensif ke dalam kehidupan sehari-hari keluarga dan masyarakat. Peneliti mengumpulkan data berdasarkan situasi yang wajar, berpartisipasi langsung, dan apa adanya tanpa terpengaruh oleh unsur-unsur dari luar lingkungan masyarakat.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitaian ini adalah deskriptif analitik, menggunakan metode deskriptif analitik, mengingat kegiatan penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisi dan mengambil suatu generalisasi dari pengamatan yang sedang diteliti.

Sebagaimana yang diungkapkan Syaodih (2005: 54) bahwa penyelidikan deskriptif analitik digunakan apabila bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada pada masa sekarang atau masa lampau, penelitian ini menggambarkan apa adanya. Metode penelitian deskriptif dipilih karena peneliti bermaksud untuk mendeskripsikan atau menggambarkan upaya-upaya pembinaan nilai kemandirian di pesantren Hidayatullah dengan apa adanya.

D. Langkah – Langkah Penelitian

Langkah-langkah pengumpulan data penelitian adalah sebagai berikut:

(43)

b. Tahap Eksplorasi; tahap penggalian data-data penelitian dari lapangan, (1) mencari data yang sesuai dengan fokus penelitian, (2) memilih sumber data yang bisa diandalkan, (3) mendokumentasikan data yang diperoleh dilapangan.

c. Tahap Triangulasi; memeriksa keabsahan data yang diperoleh dengan memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut, melalui beberapa tahap (1) membandingkan hasil wawancara dengan hasil observasi, (2) membandingkan hasil wawancara ketika bersama orang lain dengan wawancara sendiri, (3) membandingkan hasil wawancara dan pandangan orang lain yang ada diluar pesantren, (4) melakukan perbandingan data dari hasil wawancara dalam kurun waktu yang berbeda (Moleong, 1988: 195).

d. Tahap Audit Trail, dilakukan untuk mengecek data yang ditampilkan dengan sumber data, sehingga tidak terjadi kesalahan penampilan data dari sumbernya yang benar.

1. Teknik Pengumpulan Data

Creswell (2010: 267) menyebutkan empat jenis strategi dalam prosedur-prosedur pengumpulan data kualitatif, yaitu: observasi, Wawancaara serta materi audiodan visual. Penjelasan sumber data tersebut adalah sebagai berikut:

a. Observasi

(44)

ingin diketahui oleh peneliti), para peneliti kualitatif juga dapat berperan dalam peran-peran yang beragam, mulai dari non partisipan hingga partisipan utuh.

Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur.

Observasi partisipasi (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden.

Observasi tidak berstruktur adalah observasi yang dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Pada observasi ini peneliti atau pengamat harus mampu mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu objek.

Observasi kelompok adalah observasi yang dilakukan secara berkelompok terhadap suatu atau beberapa objek sekaligus.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam observasi adalah topografi, jumlah dan durasi, intensitas atau kekuatan respon, stimulus kontrol ( kondisi dimana perilaku muncul ) dan kualitas perilaku.

b. Wawancara

Dalam melakukan wawancara kualitatif, peneliti dapat melakukan face-to face interview (wawancara berhadap-hadapan) dengan partisipan, mewawancarai

(45)

wawancara seperti ini tentu saja yang secara umum memerlukan pertanyaan-pertanyaan tidak tersetruktur (unstructured) dan bersifat terbuka (open ended) yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini dari para partisipan.

(46)

a. Dokumentasi

Selama proses penelitian, penelitia dapat mengumpulkan dokumen-dokumen kualitatif. Dokumen-dokumen-dokumen ini bisa berupa dokumen-dokumen publik (seperti, koran, makalah laporan kantor) atau dokumen privat (seperti buku harian, diary, surat,email). Analisis dokumen penting dilakukan karena ada beberapa alasan.

Guba dan Lincoln (Alwasilah, 2003: 156) merinci enam alasan sebagai berikut: (1). Dokumen merupakan sumber informasi yang lestari, sekalipun dokumen itu tidak lagi berlaku, (2). Dokumen merupakan bukti yang dapat dijadikan dasar untuk mempertahankan diri terhadap tuduhan atau kekeliruan interpretasi, (3). Dokumen adalah sumber data yang alami, bukan hanya muncul dari konteksnya, tapi juga menjelaskan konteks itu sendiri, (4). Dokumen relatif mudah dan murah dan terkadang dapat diperoleh dengan cuma-cuma. Peneliti tinggal menggalinya dalam tumpukan arsip, (5). Dokumen itu sumber data yang non-reaktif. Tatkala responden reaktif dan tidak bersahabat, peneliti dapat beralih ke dokumen sebagai solusi, dan (6). Dokumen berperan sebagai sumber pelengkap dan pemerkaya bagi informasi yang diperoleh lewat interview dan observasi.

b. Materi Audio dan Visual

(47)

1. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis dan menginterpretasi data, peneliti berdasarkan pada pendapat Stake (Creswell, 1998: 153) bahwa ada empat metode yang dapat digunakan untuk menganalisis dan menginterpretasi data dalam penelitian studi kasus. Pertama, analisis dan interpretasi categorical aggregation, dimana peneliti berusaha mengumpulkan contoh data dengan harapan bahwa semua issu itu memiliki makna yang relevan dengan tujuan penelitian. Kedua, direct interpretation, dimana peneliti langsung mencari dan menggali data tunggal dan

mengungkapkan makna data tersebut. Ketiga, establishes patterns and looks for a correspondence between two or more categories, dimana peneliti mencari

korespondensi antara kategori-kategori data tersebut. Keempat, naturalistic generalizations, dimana peneliti menganalisis data secara generalisasi naturalistik

dengan menggali sejumlah kasus lain yang terkait.

Analisis data merupakan suatu proses menguraikan data menjadi komponen-komponen yang membentuknya atau untuk mengungkapkan struktur dan unsur khasnya. Tujuannya adalah untuk menguraikan makna yang dinyatakan oleh penjelasan responden dengan cara memerikan, menafsirkan, menjelaskan, memahami, meramalkan, dan bahkan mengubahnya.

(48)

semenjak peneliti memasuki area penelitian, sebagaimana yang dikatakan Miles dan Huberman (1992: 19) bahwa analisis data dilakukan sepanjang proses penelitian berjalan. Untuk melengkapi teknik metode analisis data dari Stake tersebut, Peneliti juga menggunakan teknik analisis data dari Miles dan Huberman. Teknik analisis data menurut Miles dan Huberman (1992: 20) adalah analisis data yang dilakukan secara kontinyu, berulang, dan terus-menerus.

1. Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, Peneliti mengumpulkan data melalui pengamatan dan wawancara. Hasil data wawancara lapangan dicatat pada catatan deskriptif. Catatan deskriptif meliputi semua data yang dilihat, diamati, disaksikan, didengar, dan dialami sendiri oleh peneliti. Catatan deskriptif merupakan catatan alami yang diperoleh di lapangan tanpa komentar dan tafsiran peneliti, sedangkan catatan reflektif adalah catatan untuk mencatat data yang berupa kesan, komentar, pendapat, dan tafsiran peneliti terhadap semua fenomena yang dijumpai di lapangan.

2. Reduksi Data

(49)

3. Penyajian Data

Penyajian data merupakan alur penting kedua setelah pengumpulan data. Peneliti melakukan penyajian data dalam bentuk teks naratif dari catatan lapangan. Agar penyajian data tidak membawa peneliti kepada penarikan kesimpulan yang keliru dan tidak berdasar, maka peneliti melakukan koding data, klasifikasi data, serta melakukan penggolongan sesuai fokus masalah. Peneliti mengumpulkan semua data yang ditemukan di lapangan kemudian disusun dalam suatu bentuk terpadu agar mudah dipahami dan dianalisis.

4. Menarik Kesimpulan dan Verifikasi

Dalam hal ini, peneliti menyimpulkan dan memverifikasi semua data yang telah ditemukan di lapangan untuk melahirkan data yang akurat. Agar data yang telah disimpulkan dan diverifikasi diyakini keakuratannya, maka peneliti melakukan check dan recheck data dan juga cross check data. Peneliti men-check data dengan melakukan wawancara dengan dua atau lebih subyek penelitian yang berbeda dengan pertanyaan yang sama. Me-recheck data berarti peneliti melakukan wawancara ulang kepada subyek yang sama dalam waktu yang berbeda, sedangkan meng-cross check data berarti peneliti menggali keterangan keadaan sesungguhnya subyek dari yang satu kepada subyek yang lainnya.

(50)
(51)

BAB V

PENUTUP

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, melalui pengamatan, observasi, wawancara dan analisa dokumentasi, sesuai dengan rumusan penelitian, maka temuan dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab IV, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Kesimpulan Umum

a. Berdasarkan sejumlah temuan di lapangan, kemandirian yang dipahami di pesantren Hidayatullah merupakan aplikasi dari pemahaman terhadap konsepsi Islam dalam memandang makna kemandirian. Dimana terdapat dua sikap mental yang harus melekat dalam pribadi orang yang mandiri, yaitu; pertama, Zuhud (suatu sikap hati-hati terhadap milik orang lain), memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang benar, jangan sampai terlibat kepada sesuatu yang diharamkan; Kedua, Qana`ah (mencukupkan diri) terhadap hasil kerja kerasnya, meridhai hasil yang Allah berikan, tanpa memiliki sedikitpun rasa untuk menikmati apa yang bukan bagiannya.

(52)

Terutama pembinaan di kelas, di asrama dan di lingkungan. Terdapat 4 institusi dalam melakukan pembinaan kemandirian yaitu: kelas, masjid, asrama dan lingkungan.

2. Kesimpulan Khusus

Adapun kesimpulan khusus dari hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

a. Jika konsep dan pemahaman kemandirian dipahami sebagai manifestasi dari Zuhud dan Qana`ah, maka akan timbul sebuah keyakinan bahwa dirinya mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus mengambil hak milik orang lain secara bathil (salah), bahkan lebih jauh dari itu akan tumbuh dalam dirinya mental pemberi. Dalam aplikasinya masih terdapat santri Hidayuatullah yang belum bermental qana`ah dan juhud sehingga seringkali menjadi beban temannya antara lain; seringnya meminjam uang, barang apalagi menghutang ke warung untuk memenuhi keinginannya, hal ini disebabkan kebiasaan bawaan dari rumah yang selalu dimanjakan dan dipenuhi keinginannya oleh keluarga (orang tua) yang masih melekat pada santri tersebut.

b. Pola pembinaan di pesantren Hidayatullah dapat dilihat dalam empat institusi Pembinaan, antara lain:

Pertama, Kelas, sebagai institusi pembinaan yang lebih dominan

(53)

sosial dll. di kelas santri dipahamkan tentang berbagai ilmu pengetahuan yang bersifat teoretik, baik yang berasal dari kurikulum Pesantren ataupun Depag, dengan pola diskusi, ceramah (penyampaian materi searah yang diakhiri dengan tanya jawab), dalam diskusi selain melatih ranah kognitif dengan melatih menyampaikan argumentasi yang benar, disisi lain penyampaian argumentasi yang santun merupakan ranah lain yang tidak bisa terpisahkan yaitu menyangkut pembinaan kemandirian pada ranah sosial.

Kedua, Masjid, pembinaan lebih dominan pada aspek mental-spiritual;

masjid selain fungsi utamanya sebagai tempat ibadah akan tetapi terdapat sejumlah nilai pembinaan, antara lain: pembinaan mental-spiritual, meneguhkan prinsip, membangun karakter, mempererat persaudaraan (ukhuwwah) melalui interaksi dan tausiyah baik dalam halaqoh maupun arahan-arahan yang bersifat umum maupun khusus. Sehingga masjid berfungsi sebagai pusat komando bagi seluruh kebijakan pimpinan terhadap seluruh santri.

ketiga, Asrama merupakan sarana paling efektif dalam membina

(54)

keempat, lingkungan, kampus yang luas serta interaksi keseharian antar

santri dan masyarakat, secara efektif dapat mengembangkan pembinaan kemandirian baik pada ranah sosial, moral dan psikomotor dengan memaksimalkan potensi yang ada dilingkungan kampus, melatih berbagai keterampilan hidup (life skill), mulai dari melatih kepemimpinan (leadership), bercocok tanam, berkebun, olah raga, berdagang di sela-sela waktu senggang, melakukan aktifitas keorganisasian, pembinaan masyarakat sekitar melalui pengentasan buta hurup al-Qur`an, les/privat, pengobatan bekam, herbal dan lain-lain, masyarakat yang terikat dengan sebuah aturan dan tata tertib secara efektif dapat berperan sebagai alat kontrol sosial dalam pembinaan moral, kesempatan untuk mencoba melalui dukungan kepercayaan akan menumbuhkan rasa tanggung jawab (self of responsibility), sehingga dengan belajar dari kesalahan santri memilki kepercayaan diri untuk memperbaiki dan menyelesaikan masalah secara mandiri.

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan di atas, penelitian ini terdapat beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan pola pembinaan kemandirian, antara lain:

(55)

kepada kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, akan tetapi harus dilakukan dengan proses yang baik dan berhati-hati terhadap sesuatu yang menjadi hak orang lain. sikap qana`ah berarti tidak bergantung kepada orang lain, mencukupkan diri dengan merasa puas terhadap apa yang menjadi bagiannya sebagai hasil maksimal dari kerja keras yang dilakukannya. Bahkan ketika memiliki lebih ia mampu memberi manfaat kepada orang lainhal ini secara prepentif akan mengikis penyakit dan mental korup.

2. Kepada Lembaga Pendidikan dan Para Pendidik, agar pola pembinaan kemandirian dapat berjalan maksimal, maka diperlukan strategi pembinaan, antara lain:

a. Semua institusi pembinaan harus berjalan sinergi, dengan tujuan yang jelas serta membangun sikap saling percaya dan menjaga amanah dari berbagai komponen pendidik, sehingga pembinaan kemandirian jadi terarah.

b. Lembaga pendidikan harus memiliki lingkungan dan kultur yang kondusif, sebagai fasilitas bagi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai nilai yang melekat dalam diirinya, sehingga terjadi proses pembiasaan nilai.

(56)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. (1983), Agama dan Perubahan Sosial, YIIS

Abdurrahman, Mas’ud. (2002), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ahmadi, H. A. (2001). Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Akbar, C. (2011). Hidayatullah Kaltim tidak Mengenal Pengangguran, [online]. Tersedia: http: //hidayatullah.com/ [12 Mei 2011]

Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyurrahman dkk. (2011). Al-Misbahul Munȋr Fî Tahdzibȋ Tafsȋri Ibni Katsȋr, (terj: Abu Ihsan Al-Atsari dkk), Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir

Alberti. H.B. dan Alberty. E. J (1965), Recognizing the High School Curiculum Third Edition, NewYork: The McMillan Company

Alwasilah, A. Chaedar. (2003). Pokoknya Kualitatif: Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya dan Pusat Studi Sunda.

Al-Maqdisy, Syaikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah. (2005). Minhajul-Qasidin, (terj: Katur Suhardi), Jakarta: Pustaka Al-kautsar

Bagus, L. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Brannen, J. (1997). Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. (Terj:). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(57)

Creswell, J. W. (1998). Qualitatif Inquiry and Research Design. Sage Publications, Inc: California.

Covey, Stephen. R. (1989), The 7 Habits of Highly Effective People, New York: A. Fireside Book

Dahlan. M. Dzawad, 1991, Landasan Dan Tinjauan Pendidikan Menurut Al-Quran Serta Implementasinya, Bandung: Diponegoro]

Daud, W.M.N.W. (2003). Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Bandung: Mizan

Depdikbud. (1978), Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda, Jakarta

Dewantara, K.H. (1962). Karja Ki Hadjar Dewantara. Jogjakarta: Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

---. (1977) Pendidikan, Yogyakarta : Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa

Djahiri, A. Kosasih. (1985), Strategi Pengajaran Afektif Nilai Moral dan Pendidikan Nilai Moral, Laboratorium Pengajaraan PMP-KN IKIP Bandung

---(1990), Konsep Nilai, Bandung: IKIP

(58)

Drijarkara. (1989). Percikan filsafat. Jakarta: P.T. Pembangunan.

Dofier, Z. Syari. (1982), Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES

Doni. (2011). 10 Persen Pengangguran Dunia ada di Indonesia, [online]. Tersedia: http://pemudaindonesiabaru.blogspot.com/2010/08/.html, [18 Februari 2011]

Ensiklopedi Nasional Indonesia. (1990). Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.

Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis, New York: Norton.

Elmubrok, Zaim. (2008). Membumikan Pendidikan NIlai. Bandung: Alfabeta

Gazalba, S. (1978). Sistematika Filsafat. Pengantar kepada Dunia Filsafat, Teori Pengetahuan Metafisika, Teori Nilai. (buku IV). Jakarta: Bulan Bintang.

Hakam, A. K, 2000, Pendidikan Nila, Bandung CV Maulena

Haris, CW (1960), Ensiclopedia of Educational Research, New York:MC Grourr Hill Book Company

Havighurts, R. J. A. (2007) . Understanding Adolescence Currents Developments in Adilescent Psyichilogy, Boston

(59)

Henry, B. N. (1952). The Fifty-First Yearbook of the National Society for the Study of Education; Part One General Education. Chicago: The University of Chicago Press.

Hurlock, E.B. (1974). Personality Development, New York: McGraw-Hill Book Company.

Husita, Djamaluddin, (2010). Refleksi hari Pndidikan Nasional: Pentingnya Pendidikan Karakter. [Online

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan metode Cooperative learning type make a match, ingin memberikan suasana baru dan variasi metode mengajar dalam proses pembelajaran, termasuk juga

Tujuan dari program ini adalah agar dapat terimplementasikannya sistem elektronik Monitoring Serapan Anggaran (e-MSA), yakni sistem pemantauan dan pengendalian berbasis ICT

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya yang telah memberikan segala kekuatan, kemampuan dan kelancaran kepada

Pengaruh pengupasan umbi terhadap sifat fisik, kimia, dan fungsional tepung ubi jalar oranye ( Ipomoea batatas L.. Jurnal Teknosains

Tahapan berikutnya setelah pembentukan himpunan fuzzy terhadap setiap alternatif pada variabel selesai adalah memasukkan data siswa ke dalam setiap fungsi derajat keanggotaan

Kota Malang memiliki PERDA Nomor 5 Tahun 2006 tentang pengawasan, pengendalian dan pelanggaran penjualan minuman beralkohol tetapi PERDA tersebut dirasa tidak

mm/tahun. Jenis mineral yang paling dominan adalah orthoklas, biotit, piroksen, augit, opak dan liat dengan gejala mikropedologi konkresi dan nodule; b) Kelas