• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Tekanan untuk membudayakan sustainable consumption menjadi semakin. menggema di mana-mana. Berdasarkan kenyataan tersebut, sangat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Tekanan untuk membudayakan sustainable consumption menjadi semakin. menggema di mana-mana. Berdasarkan kenyataan tersebut, sangat"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan hasil Oslo Symposium pada tahun 1994, dunia saat ini dihadapkan dengan masalah pertumbuhan populasi serta konsumsi yang semakin meningkat di mana akan berdampak pada terjadinya kelangkaan. Tekanan untuk membudayakan sustainable consumption menjadi semakin menggema di mana-mana. Berdasarkan kenyataan tersebut, sangat dibutuhkan partisipasi setiap orang untuk mengelola keberlanjutan melalui sustainable consumption. Menurut laporan menteri lingkungan hidup Norwegia dalam Oslo Symposium yang dimaksud dengan sustainable consumption adalah penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dasar dan menciptakan sebuah kualitas hidup yang lebih baik dengan cara meminimalkan penggunaan sumber daya alam yang berlebih, mengurangi pemakaian bahan baku yang mengandung racun, serta mengurangi pembuangan gas emisi dan polusi agar tidak mengancam serta membahayakan kebutuhan generasi selanjutnya. (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Sustainable_consumption diakses pada 8 April 2014)

Bertambahnya perhatian mengenai keadaan lingkungan beserta dampaknya dalam kehidupan sosial oleh berbagai pihak mulai dari lembaga pemerintahan, pelaku usaha, organisasi masyarakat hingga lembaga-lembaga

(2)

2 peduli lingkungan, membuat isu-isu mengenai lingkungan hidup menjadi fenomena global yang penting untuk dibahas serta penting bagi mereka untuk dapat meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya sadar lingkungan (Brown, 2008; Kilbourne and Pickett, 2008; Manaktola and Jauhari, 2007 dalam Cheah dan Phau, 2011). Oleh karena itu, perusahaan saat ini banyak yang menggunakan istilah green marketing untuk mendapatkan kesempatan baru dalam bisnis mereka. Byrne (2003) dalam Manongko (2011) mengungkapkan bahwa pemasaran hijau (green marketing) merupakan fokus baru dalam usaha bisnis, yaitu sebuah pendekatan pemasaran stratejik yang berkaitan dengan lingkungan hidup, dan mulai mencuat serta menjadi perhatian banyak pihak mulai akhir abad 20. Kondisi ini menuntut pemasar (marketer) untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang melibatkan lingkungan.

Di masa sekarang, perusahaan yang cerdas akan melihat suatu pengembangan ‘hijau’ – dalam hal ini, pengembangan produk ramah lingkungan – sebagai suatu peluang bisnis (Pickett-Baker and Ozaki, 2008; Polonsky and Rosenberg, 2001; Taghian and D’Souza, 2008). Perhatian konsumen mengenai kesadaran lingkungan menjadi kecenderungan dalam dunia pemasaran, apabila dilihat dari perspektif pemasaran, hal ini sangatlah berguna untuk mencari tahu bagaimana konsumen membuat suatu pilihan mengenai produk ramah lingkungan. (D’Souza, et al., 2006 dalam Cheah dan Phau, 2011).

(3)

3 Banyak penelitian yang mencari tahu berbagai aspek mengenai pemasaran ramah lingkungan, dan pasar saat ini telah mengalami pembaharuan minat atau kepentingan dalam isu orientasi secara ekologis dengan fokus pada penempatan konsumen di dalam pasar. Bersamaan dengan hal itu, standarisasi mengenai peraturan serta inisiatif pemerintah untuk membuat program yang berkaitan dengan lingkungan hidup telah lebih ditingkatkan. Bahkan banyak perusahaan saat ini menggunakan standar internasioanl untuk produk ramah lingkungan yang lebih dikenal dengan ISO 14000 (Manongko, 2011). Ditambah lagi adanya penyebarluasan informasi mengenai permasalahan lingkungan, bencana alam, serta kesadaran mengenai dampak dari pemanasan global secara luas melalui media yang ada (Shabecoff, 2001 dalam Cheah dan Phau, 2011).

Kebanyakan studi atau penelitian mengenai segmentasi pemasaran ramah lingkungan yang telah dipublikasikan hanya terbatas pada konteks “Euro-American”, sehingga peneliti pada studi ini ingin mengetahui tentang efek dari pemasaran produk ramah lingkungan dalam konteks masyarakat Indonesia. Perbedaan budaya menjadi salah satu bahan evaluasi yang penting dalam penelitian ini, khususnya ketika berbicara mengenai perilaku konsumen dalam lingkup kesadaran terhadap lingkungan hidup. Menurut Cheah dan Phau (2011), dalam menguji suatu dimensi variabel kebudayaan, kebanyakan negara-negara serta budaya Euro-American terlihat secara tegas mematuhi suatu rantai perintah, dimana hal ini menggambarkan adanya high power-distance levels, serta adanya tingkat individualitas yang tinggi. Oleh

(4)

4 karenanya akan memakan waktu lama bagi pemerintah untuk memutuskan suatu kebijakan dalam hal isu-isu lingkungan hidup.

Berdasarkan Hofstede Index, peneliti menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia dikarakteristikan sebagai masyarakat yang memiliki tingkat kolektivisme tinggi. Dalam Hofstede Index tersebut, angka untuk mengukur tingkat individualisme adalah sebesar 14 poin. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di Indonesia lebih berorientasi pada kepentingan dan tujuan kelompok daripada tujuan pribadi. Pengaruh lingkungan atau orang lain akan menjadi penentu utama pembentukan sikap seseorang. Dalam penelitian ini, tentu saja faktor orientasi nilai menjadi salah satu topik bahasan dalam mempengaruhi sikap seseorang terhadap lingkungan yang nantinya akan menentukan niat beli konsumen pada suatu produk ramah lingkungan. (Sumber: http://geert-hofstede.com/indonesia.html diakses pada 8 April 2014)

Gagasan tentang green consumption saat ini semakin marak khususnya di Indonesia. Kesadaran akan pentingnya menjaga kestabilan lingkungan serta adanya ide untuk membudayakan sustainability consumption menjadi sangat penting. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh AC Nielsen Company, dalam sebuah artikel yang berjudul “New Wealth, New World. How And Why We Shop Around The Globe” pada tahun 2013, ditemukan bahwa sebanyak 72% konsumen Indonesia memiliki kemauan untuk merubah gaya hidupnya menjadi lebih ramah lingkungan dalam kaitannya untuk penghematan energi dan pengurangan emisi karbon. (Sumber:

(5)

5 http://www.nielsen.com/ content/ dam/ corporate/ us/ en/ reports-downloads diakses pada 8 April 2014)

Namun, perusahaan di Indonesia masih menghadapi tantangan untuk bisa memasarkan produk ramah lingkungan meskipun masyarakat sangat mendukung adanya kepedulian terhadap lingkungan. Menurut Kasali (2005) dan Nugrahadi (2002) dalam Herri, et al. (2006) yang dimaksud dengan produk ramah lingkungan (green product) adalah produk yang tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungannya, tidak boros sumber daya, tidak menghasilkan sampah yang berlebihan, dan tidak melibatkan kekejaman pada binatang. Produk ramah lingkungan adalah produk yang berwawasan lingkungan dan dirancang serta diproses dengan suatu cara untuk mengurangi efek-efek yang dapat mencemari lingkungan, baik dalam produksi, pendistribusian dan pengkonsumsiannya. Oleh karena itu, biaya produksi untuk produk ramah lingkungan masih tinggi, di mana hal itu disebabkan mahalnya biaya pengembangan energi alternatif. Mahalnya harga produksi tersebut tentu saja berdampak pada mahalnya harga produk yang dihasilkan. Masalah lainnya yaitu persepsi masyarakat yang menganggap bahwa produk ramah lingkungan belum menjadi pilihan utama untuk dikonsumsi.

Dalam menentukan gap sebagai akar masalah dalam penelitian ini, maka peneliti melakukan wawancara kepada 15 Mahasiswa FEB UGM yang dipilih secara acak. Peneliti mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan sikap konsumen pada isu-isu lingkungan hidup dan niat beli

(6)

6 konsumen pada produk ramah lingkungan. Berikut ini rangkuman hasil wawancara peneliti:

Tabel 1.1. Rangkuman Wawancara Awal

Responden Tanggal Faktor Kutipan

Responden 5 6 Januari 2014 Pengetahuan Lingkungan

“Setahu saya, green product itu

produk-produk yang diproses produksi hingga distribusinya menggunakan aspek ramah lingkungan.”

Responden 6 6 Januari 2014 Pengaruh Interpersonal

“Ya..saya cinta dan sadar dengan lingkungan meskipun keluarga dan teman-teman saya belum begitu perhatian dengan lingkungan. Sebagai buktinya, saya suka membeli kosmetik ramah lingkungan di toko Body Shop. Dan saya yakin kalau produk-produk Body Shop memang ramah lingkungan.”

Responden 3 7 Januari 2014 Orientasi Nilai “...Green product masih sebatas embel-embel saja. Karena itu, misalnya saya diberi pilihan antara membeli lampu ramah lingkungan dengan yang tidak, saya lebih memilih yang tidak karena lebih murah dan tidak repot.”

Responden 3 8 Januari 2014 Sikap Ramah Lingkungan

“...saya masih belum bisa dikategorikan termasuk yang peduli dengan lingkungan melalui green product.”

Responden 1 &

Responden 5

8 Januari 2014 Persepsi akan Kebutuhan Suatu Produk

Ramah Lingkungan

“Saya berpendapat kalau produk-produk ramah lingkungan itu tidak terlalu penting dan belum dibutuhkan, soalnya masih sebatas untuk bisnis bukan diposisikan sebagai produk kebutuhan sehari-hari.”

(7)

7

“Saya beranggapan bahwa green

product itu belum begitu penting karena belum bisa mengurangi pencemaran lingkungan secara signifikan.”

Responden 4 8 Januari 2014 Niat Beli Produk Ramah Lingkungan

“Untuk mengkonsumsi green product

mungkin pernah, namun secara tidak langsung. Untuk membeli saya masih enggan.”

“Menurut saya harganya mahal, mungkin apabila produsen dari green product bisa melakukan efisiensi sehingga produk ramah lingkungan menjadi lebih murah saya akan membelinya. Selain itu, menurut saya produk-produk ramah lingkungan masih untuk produk-produk yang tergolong eksklusif.”

Sumber: data primer 2014

Rangkuman tersebut merupakan sebagian hasil wawancara peneliti. Berdasarkan hasil wawancara, dari ke-15 responden yang peneliti pilih secara acak, 6 orang memiliki sikap untuk mendukung kelestarian alam dan sudah atau berniat membeli produk ramah lingkungan. Sementara 9 orang lainnya memiliki sikap mendukung untuk kelestarian alam namun masih enggan membeli produk-produk ramah lingkungan (green product). Dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang terjadi di sebagian masyarakat Indonesia terhadap produk-produk bersegmentasi ramah lingkungan yaitu adanya gap antara sikap dengan niat beli konsumen yang dapat disebabkan oleh adanya persepsi negatif konsumen terhadap produk-produk ramah lingkungan. Pada pertanyaan wawancara mengenai product perceived necessity, sebagian responden menganggap bahwa perusahaan belum

(8)

8 menerapkan konsep ramah lingkungan secara menyeluruh pada produk bersegmentasi ramah lingkungan dan masih sebatas pelengkap untuk mengikuti trend pemasaran saat ini. Pada kenyataannya produk-produk ramah lingkungan belum memberikan pengaruh signifikan pada kelestarian alam. Selain itu, responden berpendapat jika produk ramah lingkungan memiliki harga relatif mahal daripada produk bukan ramah lingkungan. Oleh karena itu, produk ramah lingkungan belum menjadi pilihan utama bagi konsumen meskipun mereka sadar pentingnya menjaga kelestarian lingkungan

Berdasarkan wawancara dari enam (6) responden yang mendukung kelestarian alam, produk lampu LED paling sering mereka sebut dan menurut mereka produk itu paling mudah untuk dibeli sebagai bentuk sikap ramah lingkungan. Sehingga penulis memilih Lampu LED (Light Emitting Diode) sebagai objek dari penelitian ini. Selain itu ditemukan fakta bahwa kebutuhan energi listrik di sebagian wilayah Yogyakarta setiap tahunnya semakin meningkat. Berikut ini merupakan data kebutuhan energi listrik di Kabupaten Sleman dari tahun 2008-2012:

Tabel 1.2. Permintaan Energi Listrik di Kabupaten Sleman

Kecamatan Permintaan Energi (GWh)

2008 2009 2012 Cangkringan 7,6 7,9 8,8 Depok 205,5 219,0 265,7 Gamping 44,5 48,8 64,3 Godean 21,0 23,1 31,3 Mlati 56,7 63,1 87,2 Ngaglik 57,7 62,3 78,6

(9)

9

Pakem 13,5 15,0 22,2

Sleman 102,7 112,4 148,8

Tempel 31,1 35,1 50,6

Turi 8,0 8,2 9,2

Sumber : Studi Awal Kebutuhan Energi Listrik di Kabupaten Sleman oleh Setiawan, et al. (2012)

Dari Tabel 1.1 tersebut dapat dilihat bahwa kebutuhan listrik di sebagian wilayah Yogyakarta mengalami peningkatan setiap tahunnya. Oleh karenanya, pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menghimbau agar masyarakat yang berada di Yogyakarta untuk lebih bijak dalam menggunakan energi dan mematuhi aturan penghematan listrik sesuai dengan Peraturan Kementerian ESDM No. 13 Tahun 2012 tentang Penghematan Pemakaian Tenaga Listrik (http://portal.jogjaprov.go.id/ diakses pada 20 Agustus 2014). Salah satu produk ramah lingkungan yaitu lampu LED (Light Emitting Diode). Lampu LED dapat menghemat listrik hingga 80% apabila dibandingkan dengan lampu neon biasa. Namun, harga lampu LED juga relatif mahal, 2-3 kali harga lampu neon biasa. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kenapa masyarakat masih enggan untuk membeli produk-produk ramah lingkungan.

Sementara itu, pembentukan sikap konsumen terhadap produk ramah lingkungan di Indonesia dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu ecoliteracy, interpersonal influence, dan value orientation. Pengetahuan lingkungan (ecoliteracy) dikembangkan oleh Laroche, et al. (1996) untuk mengukur kemampuan responden dalam mendefinisikan simbol, konsep, dan

(10)

10 perilaku yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan hidup. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa ecoliteracy memiliki korelasi dengan pembentukan sikap seseorang. Namun, Maloney dan Ward (1973) dalam Laroche, et al. (2001) menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan lingkungan pada perilaku yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Sementara itu, pembentukan sikap untuk mendukung green marketing di Indonesia masih dianggap gagal karena konsumen di Indonesia masih belum begitu paham terhadap isu-isu lingkungan dan memiliki pengetahuan yang masih tergolong rendah dalam hal lingkungan hidup (Haryadi, 2009; Ardiyanti, 2008; Junaedi, 2007 dalam penelitian yang dilakukan oleh Manongko, 2011).

Faktor selanjutnya yaitu pengaruh interpersonal (interpersonal influence), berdasarkan social cognitive theory, suatu proses pengaruh interpersonal didukung oleh interaksi bilateral-directional yang juga terjadi antara lingkungan dengan karakter individu (Bandura (1989) dalam Cheah dan Phau (2011)). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cheah dan Phau (2011) ditemukan bahwa lingkungan sosial seperti keluarga dan kelompok pertemanan (normative susceptibility) akan berpengaruh kuat pada pembentukan sikap ramah lingkungan. Proses interpersonal serta pendapat seorang pemimpin dan seorang ahli juga memiliki pengaruh kuat pada pembentukan sikap ramah lingkungan (informational susceptibility). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2013) pada konsumen makanan organik di Indonesia ditemukan bahwa kelompok acuan

(11)

11 (misalnya keluarga atau kerabat) memiliki pengaruh kuat atas pilihan produk maupun merek bagi konsumen dan merupakan suatu model dalam berperilaku. Anggota keluarga merupakan kelompok acuan primer yang paling berpengaruh pada sikap individu. Namun berdasarkan hasil wawancara, khususnya pada responden yang memiliki kesadaran lingkungan dan telah atau berniat membeli produk ramah lingkungan (seperti pernyataan responden 6), pembentukan sikap terhadap produk ramah lingkungan berasal dari kesadaran diri sendiri bukan karena pengaruh keluarga atau orang lain. Responden yang telah memiliki kesadaran lingkungan dan bersedia membeli produk ramah lingkungan cenderung memiliki sikap positif terhadap produk ramah lingkungan. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa pengaruh interpersonal, baik yang berasal dari keluarga maupun kelompok pertemanan, belum begitu berperan dalam pembentukan sikap ramah lingkungan.

Sementara itu, Triandis (1993) dalam Laroche, et al. (2001), menyebutkan bahwa ada dua nilai utama dalam mempengaruhi sikap konsumen yaitu individualisme dan kolektivisme. Individualisme menggambarkan seberapa besar perhatian seseorang terhadap kebebasan diri sendiri, sedangkan kolektivisme menggambarkan suatu kooperasi, sikap saling membantu dan saling perhatian antar individu dalam kelompok. Kedua nilai tersebut termasuk dalam variabel orientasi nilai yang sering ditemukan dalam penelitian-penelitian mengenai pembentukan sikap konsumen. Menurut Maharani (2010) orientasi nilai konsumen yang berkaitan dengan budaya masyarakat Indonesia masih belum banyak dieksplorasi. Widiyantoro

(12)

12 (2011) dalam penelitiannya mengenai pergeseran nilai dan budaya mengungkapkan bahwa arus globalisasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan pergeseran dan perubahan nilai yang ada di masyarakat Indonesia yang semula merupakan masyarakat kolektivis menjadi lebih individualis, baik di lingkup sosial maupun ekonomi. Begitu juga dengan evaluasi pertimbangan konsumen yang berubah menjadi lebih pada konsekuensi pembelian individu atau orientasi nilai individu, misalnya kenyamanan, rasa nikmat, dan kepraktisan (Cheah dan Phau, 2011). Sebagai contoh, seperti yang dikemukakan oleh responden 3, responden lebih memilih menggunakan produk yang bukan ramah lingkungan seperti lampu neon biasa daripada lampu LED ramah lingkungan karena menurutnya lebih praktis dan lebih murah untuk menggunakan produk lampu neon biasa. Lampu neon biasa tersebut termasuk produk yang tidak ramah lingkungan karena tidak dapat terurai jika dibuang serta boros energi karena tidak bertahan lama. Ini tentu akan memberi kontribusi lingkungan yang semakin kotor. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilihan lampu neon berdasarkan kepraktisan dan lebih murah merupakan hasil dari orientasi individu. Orientasi nilai individu sebagai salah satu variabel yang dapat mempengaruhi sikap seorang konsumen belum memberikan kontribusi positif pada pembentukan sikap ramah lingkungan di Indonesia karena nilai individu seperti kepraktisan bertolak belakang dengan sikap ramah lingkungan.

(13)

13 1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, ketiga faktor yaitu pengetahuan lingkungan, pengaruh interpersonal, dan orientasi nilai belum sepenuhnya berpengaruh pada pembentukan sikap seseorang terhadap produk ramah lingkungan khususnya pada masyarakat Indonesia. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tingkat ecoliteracy yang masih rendah dimana masih banyak masyarakat yang belum paham mengenai isu-isu lingkungan dan memiliki sedikit pengetahuan tentang lingkungan hidup, belum efektifnya interpersonal influence dalam mempengaruhi sikap individu, serta belum ada pengaruh dari orientasi nilai (value orientation) secara individu dalam membentuk sikap positif terhadap produk ramah lingkungan. Selain itu, di dalam sebagian masyarakat Indonesia khususnya di Yogyakarta, terdapat gap antara sikap dengan niat beli konsumen mengenai produk ramah lingkungan, dimana gap tersebut dapat disebabkan oleh persepsi negatif seorang konsumen terhadap produk ramah lingkungan. Persepsi negatif berasal dari anggapan sebagian responden bahwa perusahaan yang memproduksi produk ramah lingkungan belum menerapkan konsep ramah ligkungan secara menyeluruh dan masih sebatas pelengkap untuk mengikuti trend pemasaran saat ini. Pada kenyataannya produk-produk ramah lingkungan belum memberikan pengaruh signifikan terhadap kelestarian alam. Sehingga mereka menganggap masih belum perlu untuk mengkonsumsi produk ramah lingkungan. Tentunya hal ini akan menyulitkan pemasar untuk membangun

(14)

14 niat beli atau perilaku pembelian yang positif terhadap produk ramah lingkungan.

1.3. Pertanyaan penelitian

Berikut ini beberapa pertanyaan penelitian berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang ada, diantaranya adalah:

a) Apakah pengetahuan lingkungan (ecoliteracy), pengaruh interpersonal (interpersonal influence), dan orientasi nilai (value orientation) berpengaruh pada sikap ramah lingkungan?

b) Apakah sikap ramah lingkungan berpengaruh pada niat membeli produk-produk ramah lingkungan?

c) Apakah persepsi akan kebutuhan produk ramah lingkungan (Perceived product necessity) memoderasi hubungan antara sikap ramah lingkungan dengan niat untuk membeli produk ramah lingkungan?

1.4. Tujuan penelitian

Berdasarkan latar belakang serta perumusan masalah yang ada, penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:

a) Menguji pengaruh pengetahuan lingkungan (ecoliteracy), pengaruh interpersonal (interpersonal influence), dan orientasi nilai (value orientation) pada sikap ramah lingkungan,

b) Menguji pengaruh sikap ramah lingkungan pada niat membeli produk ramah lingkungan,

c) Menguji efek moderasi dari persepsi akan kebutuhan produk ramah lingkungan (perceived product necessity) pada hubungan antara sikap

(15)

15 ramah lingkungan dengan niat beli (kemauan membeli) produk ramah lingkungan.

1.5. Kontribusi penelitian

Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan kontribusi atau manfaat bagi mereka yang memiliki kepentingan dengan pokok bahasan yang diangkat:

1.5.1. Bagi Akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna bagi akademisi sebagai referensi atau rujukan untuk melakukan penelitian serupa dan memiliki kaitan antara topik yang akan diteliti yaitu mengenai sikap ramah lingkungan dan niat membeli produk ramah lingkungan.

1.5.2. Bagi Praktisi

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu membantu pemasar untuk mengembangkan inisiatif-inisiatif komunikasi pemasaran yang menggaris bawahi berbagai kampanye untuk mendukung kelestarian lingkungan. Selain itu, dapat digunakan juga sebagai landasan strategi perusahaan untuk membangun strategi produk yang lebih ramah lingkungan.

Gambar

Tabel 1.1. Rangkuman Wawancara Awal
Tabel 1.2. Permintaan Energi Listrik di Kabupaten Sleman

Referensi

Dokumen terkait

Saat kita dihadapkan dengan pemilihan karir, maka akan timbul dalam diri, pekerjaan apa yang cocok dengan saya? Apakah saya harus menjadi guru? Apakah saya

PEMBANGUNAN DAN PENINGKATAN FASILITAS LLAJ DI JALUR MARGONDA RAYA 137.518.000,00... PEMBUATAN SEPARATOR JALUR

Tingkat produksi harus menurun pada bulan Juni 2021 seiring dengan melemahnya peningkatan bisnis baru di tengah gelombang kedua Covid-19 yang mengancam ekonomi

Hasil perhitungan didapatkan dari total waktu masing-masing action yang diperlukan untuk melakukan proses pembelian yang dimulai dari awal membuka website hingga

Tetapi jika kita ingin meninjau indeks saham secara gabungan dari kelima perusahaan tersebut, maka yang dihitung nantinya disebut IHSG (Indeks Harga saham Gabungan). Maka

Di antara „illah (kausa atau motif hukum) dari terlarangnya memelihara anjing selain untuk kebutuhan yang disebutkan di atas adalah penegasan dan peringatan dari Rasulullah saw, bahwa

Penelitian ini memberi gambaran mengenai karakteristik pengunjung dan penilaian mereka terhadap Taman Wisata Alam Situ Gunung, mengkaji fungsi permintaan wisata

Spora yang keluar dari sporangia akan tumbuh menjadi gametofit haploid yang tidak mudah terlihat, dapat hidup dalam tanah selama 10 tahun.. Gametofit kecil itu tidak