• Tidak ada hasil yang ditemukan

MORFOLOGI DAN KANDUNGAN LOGAM BERAT DI DALAM TUBUH Namalycastis (POLYCHAETA: NAMANEREIDINAE) DARI MUARA SUNGAI TERPOLUSI DAN TIDAK TERPOLUSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MORFOLOGI DAN KANDUNGAN LOGAM BERAT DI DALAM TUBUH Namalycastis (POLYCHAETA: NAMANEREIDINAE) DARI MUARA SUNGAI TERPOLUSI DAN TIDAK TERPOLUSI"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

MORFOLOGI DAN KANDUNGAN LOGAM BERAT DI DALAM TUBUH Namalycastis (POLYCHAETA: NAMANEREIDINAE)

DARI MUARA SUNGAI TERPOLUSI DAN TIDAK TERPOLUSI

SEVI SAWESTRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Morfologi dan Kandungan Logam Berat di dalam Tubuh Namalycastis (Polychaeta: Namanereidinae) dari Muara Sungai Terpolusi dan Tidak terpolusi” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2009

Sevi Sawestri NRP G352070051

(3)

ABSTRACT

SEVI SAWESTRI. Morphology and Heavy Metal Contents on Namalycastis’s Body (Polychaetes: Namanereidinae) From Polluted and Unpolluted River Estuary. Supervised by RIKA RAFFIUDIN, TRI HERU WIDARTO and IIN INAYAT AL HAKIM.

Namalycastis (Polychaetes: Namanereidinae) living in estuarine polluted waters are potentially used as bioindicators.The aims of this research were to (1) study the Namalycastis morphology and density from Sunda Kelapa-Jakarta Bay and Way Belau-Lampung and (2) study the content of heavy metals (Pb, Cd, Cu, Cr, and Ni) in the worm from polluted (Sunda Kelapa Jakarta Bay) and unpolluted habitats (Way Belau, Betung Bay Lampung). The metal concentrations were determined by using Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) analysis method. There were two species of Namalycastis in both locations, i.e. N. abiuma and N. cf borealis. Density of N. abiuma from Sunda Kelapa was less than N. cf borealis. This might suggest that N. abiuma were less tolerant to polluted habitat than N. cf borealis. There were some types of morphology anomalies (on antenna appendages, eyes, tentacular cirri, parapodia, and setae) found in Namalycastis from both locations i.e. one individual N. abiuma Sunda Kelapa, 22 individual N abiuma Way Belau, 66 individual N. cf borealis Sunda Kelapa, and 11 individual N. cf borealis Way Belau. Antenna and seta anomalies of N. cf borealis from Sunda Kelapa show a negative correlation with the concentration Pb, Ni, Cu, and Cd in body. A negative correlation relation is also shown between seta anomaly of N. abiuma and content Ni and Cr in body. The research showed that Namalycastis in both locations could absorb Pb, Cd, Cu, Cr, and Ni. Copper is the highest metal in Namalycastis from both locations. The content of heavy metals in N. cf borealis body from Sunda Kelapa was higher than that from Way Belau.

(4)

RINGKASAN

SEVI SAWESTRI. Morfologi dan Kandungan Logam Berat di dalam Tubuh Namalycastis (Polychaeta: Namanereidinae) dari Muara Sungai Terpolusi dan Tidak terpolusi. Dibimbing oleh RIKA RAFFIUDIN, TRI HERU WIDARTO, dan IIN INAYAT AL HAKIM.

Kajian mengenai kualitas lingkungan dapat dilakukan dengan analisis fisika-kimia dan biologi. Konsep analisis biologi adalah pemanfaatan suatu spesies atau populasi yang menggambarkan status kualitas lingkungan Salah satu jenis makrobentos yang diketahui mampu mengakumulasi sejumlah logam yaitu Polychaeta.

Namalycastis merupakan anggota Kelas Polychaeta, Ordo Phyllodocida, Famili Nereididae, dan subfamili Namanereidinae yang hidup di habitat perairan tawar dan estuari. N. littoralis, N. indica,N. abiuma, dan spesies grup N. abiuma merupakan anggota Namalycastis yang telah dimanfaatkan sebagai objek penelitian pencemaran bahan organik, bioakumulasi dan toksikologi logam berat (Hg, Cd, Cu, Pb, dan Zn).

Logam berat secara alamiah terkandung di dalam perairan, namun kadarnya meningkat seiring bertambahnya polutan dari aktivitas manusia berupa industri dan rumah tangga di daratan atau sekitar wilayah muara. Logam berat termasuk salah satu komponen bahan beracun dan berbahaya (B3) yang dapat membahayakan organisme dan mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem.

Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yang memiliki kondisi lingkungan berbeda, yaitu Sunda Kelapa Teluk Jakarta yang terpolusi logam berat dan Way Belau Teluk Betung Lampung yang relatif tidak terpolusi logam berat. Perairan Sunda Kelapa terletak di sebelah utara propinsi DKI Jakarta. Perairan ini merupakan muara yang menampung limbah aktivitas manusia dari tiga sungai besar di DKI Jakarta, yaitu Ciliwung, Krukut, dan Angke. Beberapa hasil penelitian mengenai kualitas lingkungan menyatakan bahwa perairan Sunda Kelapa termasuk kategori tercemar berat.

Perairan Way Belau merupakan salah satu dari sembilan sungai yang bermuara ke pesisir kota Bandar Lampung. Hasil penelitian mengenai kualitas lingkungan melaporkan bahwa perairan tersebut masih berada dalam batasan kriteria PP No. 82 tahun 2001 tentang Mutu Air Kelas III. Perbedaan kualitas perairan di Sunda Kelapa dan Way Belau merupakan alasan keduanya dijadikan lokasi penelitian.

Koleksi Namalycastis dilakukan dengan menggunakan bingkai kuadran 50 x 50 cm2, kemudian digali sampai kedalaman sedimen 20 cm untuk mendapatkan biota tersebut. Pengambilan sampel Namalycastis dilakukan dengan tangan pada saat surut. Identifikasi dan pengamatan anomali morfologi Namalycastis dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereoskopis. Identifikasi Namalycastis meliputi struktur prostomium, parapodia, dan seta pada segmen ke-3, 10, dan 15 segmen terakhir. Pengamatan anomali morfologi Namalycastis didasarkan pada kelengkapan antena, tentakular cirri, mata, parapodia, dan seta pada 10 segmen awal dan 15 segmen terakhir. Densitas Namalycastis di hitung dengan cara membagi jumlah individu per satuan luas kuadran (0.25m2).

(5)

Dari hasil identifikasi Namalycastis dari Sunda Kelapa, Teluk Jakarta dan Way Belau Lampung ditemukan dua spesies, yaitu N. abiuma dan N. cf. borealis. Jumlah individu N. abiuma yang diamati terdiri atas delapan individu dari Sunda Kelapa dan 192 individu dari Way Belau. Jumlah individu N. cf borealis yang diamati terdiri atas 475 individu dari Sunda Kelapa dan 171 individu dari Way Belau. Berdasarkan pengamatan densitas Namalycastis, N. abiuma dari Sunda Kelapa lebih rendah dibandingkan dari Way Belau, sedangkan N. cf borealis dari Sunda Kelapa lebih tinggi dibandingkan dari Way Belau. Hal ini menunjukkan bahwa N. abiuma bersifat kurang toleran terhadap kondisi habitat terpolusi (Sunda Kelapa) dibandingkan N. cf borealis. Berdasarkan nilai densitas maka N. abiuma dan N. cf borealis memungkinkan dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator logam berat.

Pada pengamatan morfologi Namalycastis dari Sunda Kelapa dan Way Belau ditemukan adanya lima karakter yang mengalami anomali yaitu anomali antena, mata, tentakular cirri, parapodia, dan seta. Dari delapan individu N. abiuma yang ditemukan di Sunda Kelapa Jakarta, terdiri atas satu individu mengalami anomali seta. Sedangkan dari 192 individu N. abiuma yang ditemukan di Way Belau Lampung, terdiri atas 22 individu mengalami anomali. Anomali tersebut terdapat pada: mata (tiga individu), parapodia (enam individu), dan seta (16 individu).

Sebanyak 475 individu N. cf borealis dari Sunda Kelapa ditemukan 66 individu yang mengalami anomali, yaitu antena (12 individu), mata (10 individu), tentakular cirri (empat individu), parapodia (sembilan individu), dan seta (31 individu). Sedangkan dari 171 individu N. cf borealis dari Way Belau Lampung ditemukan 11 individu yang mengalami anomali, yaitu anomali antena (dua individu), tentakular cirri (satu individu), parapodia (satu individu), dan seta (tujuh individu).

Anomali antena pada N. cf borealis dari Sunda Kelapa menunjukkan korelasi negatif dengan kandungan Pb, Ni, dan Cu. Sedangkan anomali seta pada N. cf borealis dari Way Belau menunjukkan korelasi negatif dengan kandungan Cd dalam tubuh. Hubungan korelasi negatif juga ditunjukkan antara anomali seta pada N. abiuma dan kandungan Ni dan Cr dalam tubuh. Hasil uji korelasi tersebut mengindikasikan bahwa rendahnya jumlah anomali yang terjadi pada

Namalycastis menandakan tingginya kandungan logam dalam tubuh

Namalycastis. Anomali yang terjadi pada Namalycastis dari kedua lokasi tidak memiliki korelasi dengan kandungan logam dalam sedimen dari muara sungai Ciliwung, Cisadane, dan Citarum. Hasil korelasi tersebut menunjukkan bahwa Namalycastis mampu bertahan hidup meski berada di habitat yang terpolusi logam. Namalycastis diduga memiliki kemampuan inaktifasi (detoksifikasi) logam toksik.

Berdasarkan pengukuran logam menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SAA), kadar logam dalam potongan tubuh Namalycastis dari Sunda Kelapa lebih tinggi dibandingkan dari Way Belau. Tingginya kandungan logam berat pada Namalycastis dari Sunda Kelapa dibandingkan di Way Belau, kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh habitat Sunda Kelapa yang lebih terpolusi dibandingkan Way Belau. Sifat Namalycastis yang hidup di sedimen dengan cara membenamkan diri serta sebagai organisme pemangsa (raptorial feeder) memungkinkan organisme ini menyerap logam berat.

(6)

Kadar logam tertinggi (µg/g kering) dalam Namalycastis dari Sunda Kelapa berturut-turut adalah Cu>Pb>Cr>Ni>Cd, sedangkan dari Way Belau berturut-turut adalah Cu>Pb>Ni dan Cr>Cd. Tingginya kadar Cu dalam Namalycastis disebabkan proses akumulasi Cu dari habitatnya serta sifat bioavalaibilitas logam Cu yang lebih tinggi dibandingkan logam lainnya. Selain itu, penyebab tingginya Cu adalah logam tersebut merupakan logam esensial atau dibutuhkan oleh organisme (fungsi enzimatik).

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

(8)

MORFOLOGI DAN KANDUNGAN LOGAM BERAT DI DALAM TUBUH Namalycastis (POLYCHAETA: NAMANEREIDINAE)

DARI MUARA SUNGAI TERPOLUSI DAN TIDAK TERPOLUSI

SEVI SAWESTRI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(9)

Judul Tesis : Morfologi dan Kandungan Logam Berat di dalam Tubuh Namalycastis (Polychaeta: Namanereidinae) dari Muara Sungai Terpolusi dan Tidak terpolusi.

N a m a : Sevi Sawestri N R P : G 352070051 Program Studi : Biosains Hewan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si Ir. Tri Heru Widarto, M.Sc Ketua Anggota

Iin Inayat Al Hakim, M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Biosains Hewan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Bambang Suryobroto Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah penulis panjatkan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Morfologi dan Kandungan Logam Berat di dalam Tubuh Namalycastis (Polychaeta: Namanereidinae) dari Muara Sungai Terpolusi dan Tidak terpolusi”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains di Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan tersusun tanpa bantuan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si, Bapak Ir. Tri Heru Widarto, M.Sc, dan Ibu Iin Inayat Al Hakim, M.Si selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan tulus dalam penyelesaian penulisan tesis ini, serta Ibu Ir. Dwi Hindarti, M.Sc selaku penguji luar komisi pembimbing.

Ucapan terima kasih secara pribadi penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Bambang Suryobroto, Bapak Dr. Dedi Duryadi Solichin, Bapak Dr. Akhmad Farjallah, Ibu Dr. RR. Dyah Perwitasari, Ibu Dr. Tri Atmowidi, Bapak Beri Juliandi M.Si, Ibu Dra. Taruni Sri Prawasti, dan teknisi laboratorium Mikroteknik Biosains Hewan Jurusan Biologi MIPA IPB yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang tak ternilai harganya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa Mayor Biosains Hewan atas bantuan, dukungan, kebersamaan, dan doa yang diberikan. Tidak lupa pula penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Pradina Purwati M.Sc, Bapak Muhammad Arifin, Bapak Narto, Bapak Rusmin, dan Ibu Sasanti R Suharti M.Sc yang telah banyak membantu dan memberi kesempatan penelitian di laboratorium Sumber Daya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI , Ancol Jakarta Utara.

Ucapan terima kasih yang paling tulus penulis sampaikan kepada kedua orang tua, adik, serta eyang kakung dan putri tersayang yang memberikan doa, cinta, dan semangat sehingga dapat menyelesaikan tugas mulia ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2009 Sevi Sawestri

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 4 September 1984 sebagai putri pertama dari dua bersaudara pasangan Tri Hardono dan Dr. June Mellawati.

Pada tahun 2002 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Semarang. Pendidikan Sarjana (S.Si) ditempuh di Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta, melalui jalur PMDK pada tahun 2002, dan lulus pada tahun 2006. Penulis berkesempatan mengikuti Sekolah Pascasarjana (S2) pada Mayor Biosains Hewan Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.

Selama mengikuti Sekolah Pascasarjana, penulis mengikuti pelatihan, diantaranya Pelatihan Dasar Sumber Daya Manusia, Taksonomi Kelautan Indonesia di Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Jakarta (8 – 9 September 2008) dan Pembenihan Welur (Polychaeta: Nereidae) di Fakultas Biologi Universitas Soedirman Purwokerto (14 – 15 November 2008).

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……….. xiii

DAFTAR GAMBAR………. xiv

DAFTAR LAMPIRAN……….. xv

DAFTAR ISTILAH………... xvi

PENDAHULUAN Latar Belakang……… 1

Tujuan Penelitian……… 3

Manfaat Penelitian……….. 3

TINJAUAN PUSTAKA Cacing Laut Namalycastis……….. 4

Logam Berat……… 5

Bioindikator Pencemaran Logam Berat………. 9

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi………... 11

Metode………. 11

Koleksi Namalycastis…………... 11

Preservasi, Identifikasi, dan Pengamatan Anomali Morfologi Namalycastis………... 13

Penentuan Logam Berat………... 13

Analisis Data……….………….. 14

HASIL Identifikasi Namalycastis……….... 15

Namalycastis abiuma Grube, 1872……….. 15

Namalycastis cf borealis……….. 19

Densitas Namalycastis... 25

Pengukuran Kandungan Logam Berat pada Potongan Tubuh Namalycastis………… 25

PEMBAHASAN Morfologi dan Densitas Namalycastis……… 27

Kandungan Logam Berat di dalam Tubuh Namalycastis………... 29

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan………. 33

(13)

DAFTAR PUSTAKA………. 35 LAMPIRAN……… 41

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Lokasi dan titik koordinat tempat pengambilan koleksi Namalycastis di Sunda Kelapa dan Way Belau... 11 2. Keterangan bentuk anomali Namalycastis……….. 19 3. Kadar logam dalam potongan tubuh Namalycastis dari

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Penampang tubuh Namalycastis………...………. 4 2. Lokasi penelitian……….. 12 3. Skema penelitian koleksi Namalycastis di Sunda Kelapa Jakarta… 12 4. Skema penelitian koleksi Namalycastis di Way Belau Lampung.... 12 5. Namalycastis abiuma Grube, 1872.……….. 16 6. Persentase individu N. abiuma yang memiliki anomali morfologi.. 17 7. Korelasi antara kandungan Ni (µg/g, kering) dalam tubuh

N. abiuma Way Belau dengan anomali seta... 17 8. Korelasi antara kandungan Cr (µg/g, kering) dalam tubuh

N. abiuma Way Belau dengan anomali seta... 18 9. Namalycastis cf borealis.……….. 21 10. Persentase individu N. cf borealis yang memiliki anomali

morfologi.………..………. 22 11. Korelasi antara kandungan Pb (µg/g, kering) dalam tubuh

N. cf borealis Sunda Kelapa dengan anomali antena... 22 12. Korelasi antara kandungan Ni (µg/g, kering) dalam tubuh

N. cf borealis Sunda Kelapa dengan anomali antena... 23 13. Korelasi antara kandungan Cu (µg/g, kering) dalam tubuh

N. cf borealis Sunda Kelapa dengan anomali antenna... 23 14. Korelasi antara kandungan Cd (µg/g, kering) dalam tubuh

N. cf borealis Sunda Kelapa dengan anomali seta... 23 15. Densitas Namalycastis dari Sunda Kelapa dan Way Belau

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data koleksi Namalycastis pada Sunda Kelapa Jakarta ...…………. 42

2. Data koleksi Namalycastis pada Way Belau Lampung ……… 42

3. Uji T-Tes kandungan logam dalam tubuh N. cf borealis antar kedua lokasi penelitian ……….... 42

4. Jumlah anomali pada Namalycastis di Sunda Kelapa, Teluk Jakarta. 43 5. Jumlah anomali pada Namalycastis di Way Belau, Lampung... 44

6. Kandungan logam dalam sedimen sungai Ciliwung... 44

7. Kandungan logam dalam sedimen sungai Cisadane... 44

(17)

DAFTAR ISTILAH

Acicula : stout supportive setae found internally in each

parapodial ramus where these project from the body, acicular setae are thick, projecting setae (seta pendukung yang kuat terdapat di dalam setiap cabang-cabang parapodia yang merupakan penonjolan dari tubuh, seta acicula tebal, seta yang menonjol).

Anal cirri : one or more elongated projections from the

pygidium (satu atau beberapa penonjolan memanjang dari pygidium).

Blade : blade anterior of setae (batang seta berbentuk

pedang terdapat di bagian anterior seta).

Cirri : sensory projection, usually slender and

cylindrical, from superior part of the notopodium (dorsal cirrus) or from inferior part of the neuropodium (ventral cirrus) (penonjolan organ sensor, umumnya ramping dan silindris, berasal dari bagian superior notopodium (cirri dorsal) atau dari bagian inferior neuropodium (cirri ventral).

Conical : cones (berbentuk kerucut).

Density : amount of individual that same species per

volume (Jumlah individu yang sejenis per satuan volume).

Falciger : distally blunt and curved setae (seta berujung

tumpul dan berbentuk kurva).

Heterogomph articulation : with articulation clearly oblique to the axis of shaft (dengan artikulasi miring yang jelas pada poros batang).

(18)

the axis of shaft (dengan artikulasi simetris di sudut kanan pada poros batang).

Indicator species : an organism or group of organisms allow to

characterize the state of an ecosystem based on biochemical, cytological, physiological or ecological variables (suatu organisme atau kelompok organisme yang menggambarkan kondisi suatu ekosistem berdasarkan perubahan biokimia, sitologi, fisiologi, atau ekologi).

Multi-incised rim : a lot of incised rim (sisi berukir yang banyak atau seperti banyak lipatan pad bagian sisi anal ).

Neuroacicula : neuropodium acicula (acicula bagian

neuropodium).

Neuropodia : ventral single branch (ramus) of parapodium

(cabang tunggal bagian ventral parapodia). Neuropodial : ventral of parapodium (bagian ventral parapodia).

Neuroseta : setae of a neuropodium (seta bagian neuropodia).

Notopodia : dorsal single branch (ramus) of parapodium

(cabang tunggal bagian dorsal parapodia).

Notopodial : dorsal of parapodium (bagian dorsal parapodia).

Notoseta : setae of a notopodium (seta bagian neuropodia).

Palpus : sensory or feeding structure innervated from the

posterior part of the brain or from the circumesophagal nerve ring; anteroventral and sensory in the Phyllodocida; posteriodorsal and used in feeding in the spiniform worms (organ sensor atau pemanjangan stuktur alat makan dari bagian posterior otak atau dari lubang syaraf sirkumesofegal; terletak anteroventral dan organ sensor pada Phyllodocida; terletak posteriodorsal dan digunakan oleh cacing bentuk runcing).

(19)

Paragnath : chitinous denticle in the pharyngeal cavity of Nereids (gigi kitin yang terletak di rongga faring Nereid).

Parapodia : segmentally arranged projections carrying setae ;

foot (penonjolan susunan segmen yang mendukung seta; kaki).

Peristomium : first distinct post-prostomial region; strictly

including only the region around the mouth, in practice including also segments fused to this structure, forming the posterior part of the recognizable head (bagian pertama dari segmen postprostomial yang meliputi bagian sekitar mulut, pada beberapa jenis termasuk segmen yang bersatu dengan peristomium membentuk bagian posterior kepala).

Postacicula : ventral acicula (acicula bagian ventral).

Preacicula : dorsal acicula (acicula bagian dorsal).

Prostomium : prasegmental, anterior tubuh yang terdiri dari

organ kepala.

Pygidium : post-segmental terminal part of the body carrying

the anus (bagian ujung postsegmetal dari tubuh yang merupakan tempat anus).

Sesquigomph articulation : asymmetrical articulation nearly at right angels to the axis of shaft (artikulasi asimetris mendekati sudut kanan pada poros batang).

Seta : secretion from the parapodia forming the

armature of these structure (struktur yang keluar dari parapodia, melindungi parapodia).

Spiniger : setae that tapers to a fine point; most frequently

used about composite setae (seta meruncing hingga ujung; merupakan bagian atau komponen seta).

(20)

Subuniramous : parapodia type which the neuropodia are well developed and the notopodia reduced (tipe parapodia dengan neuropodia berkembang baik dan notopodia tereduksi).

Tentacular cirri : sensory projections arising either from the

peristomium or from cephalized segments (penonjolan organ sensor membentang sepanjang peristomium atau dari segmen chepal).

Trapezoidal : trapezoidal (segiempat).

Triangular : triangular (segitiga).

(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kajian kondisi kesehatan lingkungan dapat dilakukan dengan analisis fisika-kimia dan biologi. Konsep analisis biologi adalah pemanfaatan suatu spesies atau populasi yang menggambarkan status kualitas lingkungan (Khan et al. 2004). Salah satu jenis organisme yang banyak dimanfaatkan sebagai bioindikator adalah makrobentos yang berukuran dari 0.5–2 cm (Dauer 1993, Hall et al. 1996, Borja et al. 2000). Banyak hasil penelitian memberikan informasi bahwa makrobentos memiliki respon yang baik terhadap perubahan lingkungan.

Namalycastis merupakan jenis makrobentos yang termasuk ke dalam Kelas Polychaeta, Ordo Phyllodocida, Famili Nereididae, dan Subfamili Namanereidinae. Glasby (1999) melaporkan bahwa terdapat 19 spesies Namalycastis yang telah dideskripsi, yaitu N. abiuma, N. arista, N. borealis, N. brevicornis, N. elobeyensis, N. fauveli, N. geayi, N. hawaiiensis, N. indica, N. intermedia, N. karataboensis, N. longicirris, N. macroplatis, N. multiseta, N. nicolae, N. senegalensis, N. siolii, N. terrestris, dan N. abiuma spesies grup. Penentuan taksonomi spesies Namalycastis dilakukan berdasarkan beberapa bagian tubuh, diantaranya prostomium, faring, parapodia, dan seta (Fauchald 1977, Baoling et al. 1985, Glasby 1999).

Namalycastis merupakan anggota Polychaeta kosmopolitan. Wilayah distribusi Namalycastis meliputi zona tropik dan subtropik (Glasby 1999). Glasby et al. (2003) telah menemukan N. hawaiiensis pada vegetasi Pandanus di Palau, Pasifik Barat. Habitat Namalycastis adalah di perairan tawar dan estuari (Baoling et al. 1985).

Beberapa jenis Namalycastis telah tercatat sebagai biota penelitian pencemaran bahan organik. N. indica mendominasi perairan sungai Mouri di Bangladesh yang tercemar sampah rumah tangga, industri, dan pertanian (Khan et al. 2007). N. littoralis memiliki densitas tinggi pada pantai Ria de Bilbao di Spanyol yang tercemar sampah industri (Glasby 1999). Peranan Namalycastis lainnya adalah sebagai umpan untuk memancing dan pakan udang (Baoling et al. 1985).

(22)

2

Secara alamiah logam berat terdapat di lingkungan baik di daratan maupun di perairan, namun kadarnya meningkat seiring bertambahnya polutan dari aktivitas manusia di daratan dan sekitar wilayah muara. Berbagai kegiatan industri, pertanian, dan pertambangan banyak menggunakan bahan baku atau penunjang yang menggunakan logam berat. Kandungan logam berat yang berlebihan di suatu perairan dapat membahayakan organisme dan mempengaruhi struktur serta fungsi ekosistem (Calabretta & Oviatt 2008).

Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yang memiliki kondisi lingkungan berbeda. Sedimen di Sunda Kelapa - Teluk Jakarta telah terkontaminasi beberapa logam berat yaitu, Pb 14.41–31.3 ppm, Cd 0.01–0.05 ppm, Cu 9.75–26.6 ppm, Zn 68.10–123.55 ppm, dan Ni 4.18–9.63 ppm (Muhajir et al. 2004). Lalu lokasi kedua, perairan Way Belau Lampung mengandung logam Pb 0.008 ppm, Cu 0.001 ppm, dan Cd 0.001 ppm (Yudha 2007).

Perairan Sunda Kelapa terletak di sebelah utara propinsi DKI Jakarta. Perairan Sunda Kelapa menampung limbah aktivitas manusia dari tiga sungai besar di DKI Jakarta, yaitu Ciliwung, Krukut, dan Angke. Berdasarkan data BPLHD (2008), ketiga badan air sungai tersebut sudah termasuk kategori tercemar berat. Sedangkan perairan Way Belau terletak di kota Bandar Lampung. Perairan ini merupakan salah satu dari sembilan sungai di Lampung yang bermuara ke Teluk Betung. Perairan Way Belau mengandung logam Pb, Cu, dan Cd yang kadarnya masih berada di bawah kriteria PP No. 82 tahun 2001 tentang Mutu Air Kelas III (Pb< 0.03 ppm, Cu< 0.02 ppm, dan Cd < 0.01 ppm) (Yudha 2007).

Penelitian mengenai kandungan logam berat pada Namalycastis dan spesies grupnya telah dilakukan sebelumnya. Pada uji biotoksikologi logam, N. abiuma bersifat kurang toleran terhadap Hg (Reish & Gerlinger 1997). Lycastis ouanaryensis (spesies grup N. abiuma) dari sungai Thane di India mampu meregulasi Zn, Cu, dan Pb serta mengandung Zn 22-198 µg/g, Cu 4.2-95 µg/g, Pb 1-35 µg/g, dan Cd 0.3-0.5 µg/g dalam tubuhnya (Athalye & Gokhale 1991). Selain itu, penelitian bioassay toksisitas Hg, Pb, dan Cu terhadap Namanereis merukensis (spesies grup N. abiuma) yang dikoleksi dari Pantai Versova di Bombay India, menunjukkan LC50 Hg, Pb, dan Cu berturut-turut 0.041 mg/L,

(23)

3

3.75 mg/L, dan 0.55 mg/L (Varshney & Sahabidi 1988). Pengukuran kandungan logam dalam tubuh Namalycastis yang dikoleksi dari Indonesia dan pengaruh logam tersebut terhadap perubahan morfologinya belum pernah dilakukan sebelumnya. Berkaitan dengan kurangnya informasi tersebut, maka penelitian ini perlu dilakukan sebagai salah satu studi pendahuluan mengenai kemampuan Namalycastis sebagai bioindikator logam berat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

1. Mempelajari morfologi dan densitas Namalycastis dari Sunda Kelapa dan Way Belau.

2. Mempelajari kandungan logam berat (Pb, Cd, Cr, Cu, dan Ni) dalam potongan tubuh (segmen tengah) Namalycastis yang hidup di habitat terpolusi (Sunda Kelapa Jakarta) dan tidak terpolusi (Way Belau Lampung).

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :

1. Informasi jenis-jenis Namalycastis di Sunda Kelapa Jakarta dan Way Belau Lampung.

2. Informasi kepada para peneliti dan pemerhati lingkungan berkaitan dengan pemanfaatan Namalycastis sebagai bioindikator logam berat.

(24)

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Laut Namalycastis

Namalycastis termasuk ke dalam Kelas Polychaeta, Ordo Phyllodocida, Famili Nereididae, dan Subfamili Namanereidinae. Wilayah distribusi ke-19 spesies Namalycastis adalah di daerah tropis dan subtropis. Namalycastis umumnya hidup di perairan tawar dan estuari (Baoling et al. 1985, Winterbourn 1968). Beberapa anggota Namalycastis sering ditemukan di kawasan mangrove, zona litoral, rawa-rawa, vegetasi Pandanus, dan perairan sungai (Glasby 1999, Benbow et al. 2001, Glasby et al. 2003).

Gambar 1 Penampang tubuh Namalycastis. Prasegmental (a), segmental (b), postsegmental (pygidium) (c) (Glasby 1999).

Secara umum, bagian dorsal tubuh Namalycastis berbentuk cembung, bagian ventral pipih, dan bagian posterior meruncing. Warna tubuh Namalycastis dalam keadaan segar umumnya merah kecoklatan. Bagian tubuh Namalycastis terbagi menjadi tiga bagian, yaitu prasegmental (anterior), segmental, dan postsegmental (posterior). Pada bagian presegmental terdapat prostomium suboval atau trapezoidal yang dilengkapi dengan sepasang antena dan sepasang palpus

(25)

5

biartikulasi, kedua organ ini berfungsi sebagai alat peraba (sensor). Selain itu pada prostomiumnya terdapat dua pasang mata. Pada bagian peristomiun terdapat empat pasang tentacular cirri. Faring Namalycastis dapat dibedakan menjadi bagian oral dan maxilari. Faring tidak dilengkapi paragnath dan papila, dan terdapat sepasang taring (jaws) di ujungnya. Pada bagian segmental terdapat deretan segmen tubuh yang masing-masing mempunyai dua pasang podia (kaki). Tipe parapodia Namalycastis subuniramous. Notopodium tidak memiliki ligula sedangkan neuropodium memiliki satu ligula. Seta bersifat composite atau simpel, serta spiniger atau falciger. Pada postsegmental Namalycastis terdapat pygidium dan sepasang anal cirri (Glasby 1999).

Namalycastis termasuk biota yang memiliki toleransi tinggi terhadap penurunan konsentrasi oksigen sehingga keberadaannya dapat dijadikan petunjuk perubahan lingkungan atau bioindiaktor. Beberapa anggota Namalycastis mudah beradaptasi pada kondisi laboratorium dan banyak digunakan sebagai biota uji seperti yang dilakukan oleh Varshney dan Sahabidi (1988).

Logam Berat

Logam berat yaitu unsur logam yang mempunyai densitas atau berat jenis lebih dari 5 g/cm3 (Connell & Miller 1995). Logam berat dalam air laut dapat berasal dari berbagai aktivitas manusia di darat yang kemudian masuk ke laut melalui sungai, dan dapat pula berasal dari atmosfir dalam bentuk partikel dan debu yang jatuh ke laut (Bat 2005). Selain itu, logam juga dapat berasal dari hasil pengikisan oleh gelombang atau gletser serta aktivitas gunung berapi (Bielicka et al. 2004).

Ditinjau dari kegunaannya, unsur-unsur logam berat dapat dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu golongan unsur logam berat yang bermanfaat bagi kehidupan biota perairan pada konsentrasi tertentu (Zn, Fe, Cu, dan Ni) dan golongan unsur logam berat yang tidak bermanfaat (Hg, Pb, As, dan Cd) (Bat 2005). Pengambilan logam oleh Namalycastis terjadi melalui penyerapan permukaan tubuh dan partikel atau air yang dicerna melalui sistem pencernaan. Semua jenis logam berpotensi menimbulkan keadaan toksik jika kandungan dalam tubuh Polychaeta tinggi. Pengaruh subletal logam berat terhadap

(26)

6

Polychaeta umumnya mempengaruhi pertumbuhan dan akumulasi logam dalam jaringan tubuhnya (Bat 2005).

Krom (Cr) merupakan kelompok logam berat dengan densitas 7.20 g/cm3.

Logam Cr sebanyak 5.5-11 µg/L dapat mengganggu perkembangan embrio dan larva Hydroides elegans (Polychaeta: Serpulidae) (Thilagam et al. 2008). Canadian Environmental Quality Guidelines (EQGs) (2002) menetapkan kadar efek (Probable Effect Level) Cr dalam sedimen air laut 160 000 µg/kg dan sedimen air tawar 90 000 µg/kg. EQGs (2002) juga menetapkan kadar maksimum krom trivalent (Cr(III)) dalam air laut 56 µg/l dan air tawar 8.9 µg/l, sedangkan krom hexavalent (Cr(VI)) dalam air laut 1.5 µg/l dan air tawar 1 µg/l. KepMenLH No. 51/2004 menetapkan baku mutu logam Cr(VI) dalam air laut untuk biota laut sebesar 0.005 mg/l (MenLH 2004). Jenis industri yang memberikan kontribusi cemaran Cr ke perairan, diantaranya yaitu industri metalurgi, kimia, dan refractory (heat resistent application) (Langard & Norseth 1979, diacu dalam Friberg et al. 1979, Bielicka et al. 2004).

Kadmium (Cd) merupakan unsur logam berat beracun dengan densitas 8.642 g/cm3. Logam Cd sebanyak 0.9-1.9 µg/L dapat mengganggu perkembangan embrio dan larva cacing laut Hydroides elegans (Thilagam et al. 2008). Canadian Environmental Quality Guidelines (EQGs) (2002) menetapkan kadar efek (Probable Effect Level) Cd dalam sedimen air laut 4 200 µg/kg dan sedimen air tawar 3 500 µg/kg. EQGs (2002) juga menetapkan Cd dalam air laut 0.12 µg/l dan air tawar 0.017 µg/l. KepMenLH No. 51/2004 menetapkan baku mutu Cd dalam air laut untuk biota laut sebesar 0.001 mg/l (MenLH 2004). Standar evaluasi untuk substansi polusi logam Cd pada organisme laut adalah 0.6 µg/g berat basah tubuh ikan, 2 µg/g berat basah tubuh krustasea, dan 5.5 µg/g berat basah tubuh moluska (Shu-ying & Dong-liang 1994). Jenis industri yang memberikan kontribusi cemaran Cd ke perairan antara lain, yaitu industri pelapisan logam (electro plating), kendaraan, pigmen, peleburan logam, pabrik batere, plastik, campuran logam, pupuk, dan pestisida (Friberg et al. 1979, diacu dalam Friberg et al. 1979, Sudarmaji et al. 2006).

(27)

7

Tembaga (Cu) merupakan unsur logam berat dengan densitas 8.92 g/cm3. Logam Cu merupakan inhibitor fungsi hemoglobin (Willmer et al. 2000). Logam Cu (CuCl2 . 2H2O) sebanyak 16-40 µg/L dapat mengganggu perkembangan larva

cacing laut Galeolaria caespitosa (Polychaeta: Serpulidae) (Ross & Bidwell 2001). Canadian Environmental Quality Guidelines (EQGs) (2002) menetapkan kadar efek (Probable Effect Level) Cu dalam sedimen air laut 108 000 µg/kg dan sedimen air tawar 197 000 µg/kg. EQGs (2002) juga menetapkan Cu dalam air tawar 2-4 µg/l. KepMenLH No. 51/2004 menetapkan baku mutu Cu dalam air laut untuk biota laut sebesar 0.008 mg/l (MenLH 2004). Standar evaluasi untuk substansi polusi logam Cu pada organisme laut adalah 20 µg/g berat basah tubuh ikan, 100 µg/g berat basah tubuh krustasea, dan 100 µg/g berat basah tubuh moluska (Shu-ying & Dong-liang 1994). Jenis industri yang memberikankontribusi cemaran Cu ke perairan antara lain, yaitu industri “Copper-plating”, “Copper-pickling”, pestisida, alat-alat listrik, kawat, dan pipa (Piscator 1979, diacu dalam Friberg et al. 1979, Sudarmaji et al. 2006).

Timbal (Pb) merupakan unsur logam berat dengan densitas 11.3437 g/cm3. Logam Pb sebanyak 3.9-31.2 µg/L dapat mengganggu perkembangan embrio dan larva cacing laut Hydroides elegans (Thilagam et al. 2008). Canadian Environmental Quality Guidelines (EQGs) (2002) menetapkan kadar efek (Probable Effect Level) Pb dalam sedimen air laut 112 000 µg/kg dan sedimen air tawar 91 300 µg/kg. EQGs (2002) juga menetapkan Pb dalam air tawar 1-7 µg/l. KepMenLH No. 51/2004 menetapkan baku mutu Pb dalam air laut untuk biota laut sebesar 0.008 mg/l (MenLH 2004). Standar evaluasi untuk substansi polusi logam Pb pada organisme laut adalah 2 µg/g berat basah tubuh ikan, 2 µg/g berat basah tubuh krustasea, dan 10 µg/g berat basah tubuh moluska (Shu-ying & Dong-liang 1994). Jenis industri yang berpotensi melepaskan sejumlah Pb ke lingkungan perairan, yaitu industri cat, batere, plastik, percetakan, peleburan timah, karet, kendaraan bermotor, dan pigmen (Tsuchiya 1979, diacu dalam Friberg et al. 1979, Sudarmaji et al. 2006).

Nikel (Ni) termasuk logam berat dengan densitas 8.90 g/cm3. Logam Ni sebanyak 6-16 µg/L dapat mengganggu perkembangan embrio dan larva cacing

(28)

8

laut Hydroides elegans (Thilagam et al. 2008). CanadianEnvironmental Quality Guidelines (EQGs) (2002) menetapkan kadar efek (Probable Effect Level) Ni dalam air tawar 25-150 µg/l. KepMenLH No. 51/2004 menetapkan baku mutu Ni dalam air laut untuk biota laut sebesar 0.05 mg/l (MenLH 2004). Standar evaluasi untuk substansi polusi logam Ni pada organisme laut adalah 5.5 µg/g berat basah tubuh ikan (Shu-ying & Dong-liang 1994). Jenis industri yang memberikan kontribusi cemaran Ni antara lain industri kabel listrik, hidro-cracking, minyak pabrik tinta, elektro plating, pembakaran BBM, dan batere (Norseth & Piscator 1979, diacu dalam Friberg et al. 1979).

Merkuri (Hg) termasuk logam berat dengan densitas 13.55 g/cm3. Logam Hg sebanyak 4.3-9.8 µg/L dapat mengganggu perkembangan embrio dan larva cacing laut Hydroides elegans (Thilagam et al. 2008). Canadian Environmental Quality Guidelines (EQGs) (2002) menetapkan kadar efek (Probable Effect Level) Hg dalam sedimen air laut 700 µg/kg dan sedimen air tawar 486 µg/kg. EQGs (2002) juga menetapkan Hg dalam air tawar 0.1 µg/l. KepMenLH No. 51/2004 menetapkan baku mutu Hg dalam air laut untuk biota laut sebesar 0.001 mg/l (MenLH 2004). Jenis industri yang memberikan kontribusi cemaran Hg antara lain produksi coustic soda, pertambangan dan prosesing biji besi, metalurgi dan electroplating, pabrik kimia, pabrik kertas, dan pabrik tekstil (Berlin 1979, diacu dalam Friberg et al. 1979, Sudarmaji et al. 2006).

Arsen (As) termasuk logam berat dengan densitas 5.72 g/cm3. Canadian Environmental Quality Guidelines (EQGs) (2002) menetapkan kadar efek (Probable Effect Level) As dalam sedimen air laut 41 600 µg/kg dan sedimen air tawar 17 000 µg/kg. EQGs (2002) juga menetapkan As dalam air tawar 12.5 µg/l dan air laut 5 µg/l. KepMenLH No. 51/2004 menetapkan baku mutu As dalam air laut untuk biota laut sebesar 0.012 mg/l (MenLH 2004). Lokasi di sekitar pembuangan limbah industri kimia, pertambang dan peleburan bahan tambang, serta industri pestisida banyak mengandung limbah As (Fowler et al. 1979, diacu dalam Friberg et al. 1979, Sudarmaji et al. 2006).

Seng (Zn) termasuk logam berat dengan densitas 7.14 g/cm3. Logam Zn

sebanyak 12-39 µg/L dapat mengganggu perkembangan embrio dan larva cacing laut Hydroides elegans (Thilagam et al. 2008). CanadianEnvironmental Quality

(29)

9

Guidelines (EQGs) (2002) menetapkan kadar efek (Probable Effect Level) Zn dalam sedimen air laut 271 000 µg/kg dan sedimen air tawar 315 000 µg/kg. EQGs (2002) juga menetapkan Zn dalam air tawar 30 µg/l. KepMenLH No. 51/2004 menetapkan baku mutu Zn dalam air laut untuk biota laut sebesar 0.05 mg/l (MenLH 2004). Standar evaluasi untuk substansi polusi logam Zn pada organisme laut adalah 40 µg/g berat basah tubuh ikan, 150 µg/g berat basah tubuh krustasea, dan 250 µg/g berat basah tubuh moluska (Shu-ying & Dong-liang 1994). Jenis industri yang memberikan sumber cemaran Zn antara lain, industri batere, karet, dan pertambangan (Elinder & Piscator 1979, diacu dalam Friberg et al. 1979, Sudarmaji et al. 2006).

Bioindikator Pencemaran Logam Berat

Dalam kajian kualitas lingkungan perairan umumnya digunakan tiga media sebagai parameter monitoring, yaitu air, sedimen, dan organisme hidup seperti yang telah dilakukan oleh Piotrowski dan Łaba-Mydłowska (2003), Thompson dan Lowe (2004), serta Yudha (2007). Pemakaian organisme hidup sebagai indikator pencemaran disebut juga bioindikator (Dean 2008). Karakterteristik organisme indikator menggambarkan stuktur dan keadaan dinamika suatu lingkungan (Casalduero 2001).

Penggunaan organisme sebagai indikator pencemaran didasarkan pada kemampuan mereka dalam menghadapi tekanan lingkungan. Masuknya polutan ke dalam lingkungan akan mengakibatkan organisme berusaha semaksimal mungkin untuk beradaptasi. Organisme yang sensitif terhadap polutan akan menghilang dan hanya menyisakan organisme yang mampu bertahan hidup (Casalduero 2001).

Dalam suatu penelitian pencemaran laut, makrobentos merupakan organisme yang sering dimanfaatkan sebagai bioindikator. Alasan makrobentos digunakan sebagai organisme bioindikator adalah sifatnya yang menetap (sedentary), memiliki daur hidup yang relatif lama, memiliki toleransi stress, bersifat komersial, serta mampu berperan dalam siklus nutrisi dan kimia antar sedimen dan badan air (Dauer 1993). Salah satu anggota makrobentos yang sering dimanfaatkan sebagai organisme bioindikator adalah Polychaeta. Polychaeta

(30)

10

sering dimanfaatkan sebagai indikator kualitas lingkungan laut karena bersifat menetap, memiliki kemampuan toleransi terhadap tekanan lingkungan yang berbeda-beda, serta berperan penting dalam siklus nutrisi dan kimia antara sedimen dan badan air (Surugiu 2005). Polychaeta merupakan spesies indikator yang menggambarkan perubahan komunitas bentik akibat tekanan habitat terpolusi (Dean 2008).

Penggunaan Polychaeta sebagai indikator pencemaran telah banyak digunakan. Peranan Capitella capitata (Polychaeta: Capitellidae) sebagai indikator pencemaran organik pada pantai Mar del Plata di Argentina (Rivero et al. 2005, Elias et al. 2006). Kelimpahan Prionospiocirrobranchiata (Polychaeta: Spionidae) yang tinggi digunakan sebagai indikator pencemaran organik di daerah estuari Uppanar (Khan et al. 2004). Kelimpahan Owenia fusiformis (Polychaeta: Oweniidae) pada pantai Mar del Plata di Argentina yang tercemar bahan organik (Elias et al. 2001). Lalu, peranan aktifitas lisozim Eurythoe complanata (Polychaeta: Amphinomidae) sebagai indikator pencemaran logam Cu (Marcano et al. 1997). Penggunaan Polychaeta sebagai organisme uji biotoksisitas logam berat juga telah banyak dilakukan. Reish dan Gerlinger (1997) mengunakan beberapa anggota Polychaeta dalam uji toksisitas logam Cu dan Hg, Baeyens et al (2005) mengunakan Nereis diversicolor untuk mengetahui faktor biokonsentrasi logam Cd, Cu, Ni, Pb, dan Zn, Mendez dan Green-Ruiz (2006) yang mengamati efek pemberian logam Cu dan Cd terhadap gangguan perkembangan larva C. capitata, serta Varshney dan Sahabidi (1988) yang menggunakan Namanereis merukensis (spesies grup N. abiuma) sebagai biota uji dalam penelitian pencemaran logam Hg, Cu, dan Pb.

(31)

11

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2008-Juni 2009. Pengambilan koleksi Namalycastis dilakukan di dua lokasi, yaitu di muara sungai Ciliwung, Sunda Kelapa Teluk Jakarta (muara terpolusi) dan muara Way Belau, Teluk Betung Lampung (muara tidak terpolusi) (Tabel 1 dan Gambar 2). Lokasi penelitian berada di sepanjang sungai yang berjarak ± 1 km dari pantai (Gambar 3 dan 4).

Tabel 1 Lokasi dan titik koordinat tempat pengambilan koleksi Namalycastis di Sunda Kelapa dan Way Belau

S E 1 06o07'36,4" 106o48'23,9" 2 06o07'36,4" 106o48'33,2" 3 06o07'36,6" 106o48'31,9" 4 06o07'36,7" 106o48'36,8" 5 06o07'36,0" 106o48'32,0" 6 06o07'36,1" 106o48'32,9" 1 05027'11,7'' 105015'27,9'' 2 05027'11,6'' 105015'27,6'' 3 05027'11,9'' 105015'27,7'' 4 05027'11,3'' 105015'27,3'' 5 05027'11,2'' 105015'27,1'' 6 05027'11,3'' 105015'27,0'' Koordinat

1 Sunda Kelapa Jakarta

2 Way Belau Lampung

Lokasi Titik

No

Metode

Koleksi Namalycastis

Pada masing-masing lokasi penelitian dibuat enam titik pengambilan koleksi Namalycastis di sepanjang tepian sungai menuju arah pantai sebagai ulangan dengan menggunakan ukuran bingkai kuadran 50 x 50 cm2 dengan

kedalaman sedimen 20 cm. Jarak antara tiap ulangan sepanjang 3 m. Jarak antara titik pengambilan koleksi Namalycastis dengan sungai ±1 m (Gambar 3 dan 4). Pengambilan koleksi Namalycastis dilakukan dengan tangan pada saat perairan surut rendah. Namalycastis dimasukkan ke dalam wadah plastik bersama dengan sedimen lumpur supaya tetap hidup, yang selanjutnya dimasukkan ke

(32)

12

dalam ice box dan dibawa ke laboratorium untuk disortir jenis-jenis yang didapatkan.

Gambar 2 Lokasi penelitian. Sunda Kelapa Jakarta Utara ( ), Way Belau Lampung ( ), insert Pulau Jawa dan Sumatra Indonesia.

Gambar 3 Skema penelitian koleksi Namalycastis di Sunda Kelapa Jakarta Utara. Bingkai kuadran 50 x 50 cm2 ( ).

Gambar 4 Skema penelitian koleksi Namalycastis di Way Belau Lampung. Bingkai kuadran 50 x 50 cm2 ( ).

(33)

13

Preservasi, Identifikasi, dan Pengamatan Anomali Morfologi Namalycastis

Namalycastis dibersihkan lalu dipotong bagian anterior (sebanyak ±10 segmen) dan posterior (sebanyak ±15 segmen) untuk keperluan identifikasi. Potongan anterior dan posterior Namalycastis disimpan dalam alkohol 70% Sedangkan sisa potongan tubuh Namalycastis bagian tengah untuk keperluan pengukuran logam berat dimasukkan dalam plastik testtube dan disimpan dalam freezer -15 oC (IAEA 1980).

Identifikasi dan pengamatan anomali morfologi Namalycastis dilakukan dengan menggunakan mikroskop (binocular high power Leica DMRBE, binocular stereoskopis Leica M 40, kemudian dihitung jumlah individunya. Densitas Namalycastis di hitung dengan cara membagi jumlah individu per satuan luas kuadran (0.25m2). Setelah identifikasi untuk keperluan deskripsi morfologi digunakan kamera Lucida untuk menggambar ciri-ciri morfologi.

Identifikasi berdasarkan Baoling et al. (1985) dan Glasby (1999). Ciri utama untuk dentifikasi Namalycastis secara morfologi meliputi struktur prostomium (anterior segmen), parapodia, dan seta pada segmen ke-3, 10, dan 15 segmen terakhir. Pengamatan anomali morfologi Namalycastis didasarkan pada kelengkapan antena, tentakular cirri, mata, parapodia, dan seta pada 10 segmen awal dan 15 segmen terakhir. Identifikasi spesimen dilakukan di Laboratorium Sumber Daya Laut Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ancol Jakarta Utara. Sedangkan verifikasi spesimen dilakukan melalui korespondensi dengan Christopher J. Glasby dari Museum And Art Gallery of Northern Territory GPO Darwin, Australia.

Penentuan Logam Berat

Penentuan logam berat Pb, Cd, Cu, Cr, dan Ni pada potongan tubuh (segmen tengah sekitar 11-162) Namalycastis dilakukan dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SAA) di Laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor. Sebanyak 12-45 individu potongan tubuh (segmen tengah sekitar 11-162) Namalycastis dikeringkan dalam oven dengan suhu 60oC. Selanjutnya sebanyak 0.27–0.55 g sampel kering Namalycastis dimasukkan ke dalam gelas beker dan didestruksi menggunakan 5 ml HNO3 (65%) dan 5-10 tetes H2O2 (30%) hingga

(34)

14

larutan jernih (IAEA 1980). Larutan disaring ke dalam labu takar dan ditepatkan dengan aquades hingga 10 ml. Analisis SAA untuk pengukuran Pb dilakukan pada panjang gelombang (λ) 217 nM, Cd 228.8 nM, Cu 324.8 nM, Cr 205.5 nM, dan Ni 231.6 nM. Kadar logam dihitung dengan cara membandingkan nilai absorban logam yang sama dalam sampel dengan standar.

Analisis Data

Data kandungan logam dalam potongan tubuh (segmen tengah sekitar 11-162) Namalycastis dari kedua lokasi dianalisis berdasarkan uji T menggunakan program Minitab pada tingkat kepercayaan 0.05. Analisis korelasi dilakukan antara data masing-masing anomali (antena, tentakular cirri, mata, parapodia, dan seta) pada Namalycastis dari kedua lokasi dengan masing-masing kandungan logam (Pb, Ni, Cd, Cr, dan Cu) dalam tubuh Namalycastis menggunakan program Minitab pada tingkat kepercayaan 0.05. Untuk melihat prediksi adanya pengaruh kandungan logam dalam habitat terhadap proses fisiologis Namalycastis, maka dilakukan analisis korelasi antara anomali pada Namalycastis dengan kandungan logam dalam sedimen Rochyatun dan Rozak (2007), yaitu kandungan logam dalam sedimen dari muara sungai Ciliwung, Cisadane, dan Citarum (Lampiran 6, 7, dan 8). Analisis korelasi dilakukan antara data masing-masing anomali (antena, tentakular cirri, mata, parapodia, dan seta) pada Namalycastis dari kedua lokasi dengan kandungan Pb, Ni, Cd, dan Cu dalam sedimen menggunakan uji korelasi program Minitab pada tingkat kepercayaan 0.05.

(35)

15

4 HASIL

Identifikasi Namalycastis

Dari hasil koleksi Namalycastis di muara Ciliwung Sunda Kelapa, Teluk Jakarta (483 individu) dan muara Way Belau, Teluk Betung Lampung (363 individu), ditemukan dua spesies, yaitu N. abiuma dan N. cf. borealis. Berikut adalah deskripsi kedua spesies tersebut.

Namalycastis abiuma Grube, 1872

Tempat Koleksi. Jumlah individu N. abiuma (Gambar 5) yang diamati terdiri atas 8 individu dari muara Ciliwung Sunda Kelapa, Teluk Jakarta dan 192 individu dari muara Way Belau, Teluk Betung Lampung.

Deskripsi. Jumlah segmen berkisar antara 76–177, panjang tubuh berkisar antara 1.1–12.5 cm, dan lebar berkisar antara 0.1-0.5 cm. Bentuk tubuh bagian dorsal cembung, ventral pipih, dan posterior meruncing. Warna tubuh dalam keadaan segar merah kecoklatan, jika sudah diawetkan pada larutan alkohol coklat kemerahan pada bagian anterior dan posterior, serta coklat pada bagian segmental. Celah prostomium dangkal, membentang longitudinal dari ujung atas hingga mid-posterior prostomium. Bentuk prostomium trapezoidal. Terdapat sepasang antena dan palpus biartikulasi. Terdapat dua pasang mata berukuran sama atau berbeda, Mata berwarna hitam. Pada sisi lateral peristomium terdapat empat pasang tentakular cirri. Panjang posterodorsal tentakular cirri mencapai segmen ke-2. Faring tidak dilengkapi dengan paragnath ataupun papila. Pada faring terdapat sepasang gigi taring berwarna coklat, terdiri atas 6-9 gigi subterminal. Tipe parapodia subuniramous. Panjang dorsal cirri setiger tiga 1.3-1.5 x; dorsal cirri bagian posterior 2-3 x (leaf like). Notoseta hadir, meski jarang dijumpai di beberapa bagian segmen. Neuroseta termasuk tipe A, yaitu susunan seta pada parapodia terdiri atas sesquigomph spiniger pada supra-postacicular, heterogomph spiniger pada postacicular, serta heterogomph falciger pada supra dan sub-praacicular. Sisi blade spiniger dan falciger pada seta bergerigi sedang. Gerigi blade heterogomph spiniger pada sub-neuroacicula bersifat kasar. Acicula

(36)

16

notopodia dan neuropodia berwarna coklat tua. Pygidium dengan multi-incised rim. Anus terminal. Terdapat sepasang anal cirri ventrolateral, conical.

Gambar 5 Namalycastis abiuma Grube, 1872. A. Parapodium setiger posterior (a), parapodium setiger 10 (b), parapodium setiger 3 (c); heterogomph falciger (d), (e); heterogomph spiniger (f), homogomph spiniger (g); anterodorsal (h); pygidium (i). B. Hasil citra digital: anterodorsal (j); pygidium (k); homogomph spiniger (l), heterogomph falciger (m), heterogomph spiniger (n); tubuh utuh (o). C. Anomali: kelebihan jumlah mata (p); struktur parapodia kecil (q); seta mereduksi (r).

(37)

17

Gambar 6 Persentase individu N. abiuma yang memiliki anomali morfologi. Sunda Kelapa ( ), Way Belau ( ).

Gambar 7 Korelasi antara kandungan Ni (µg/g, kering) dalam tubuh N. abiuma Way Belau dengan anomali seta.

(38)

18

Gambar 8 Korelasi antara kandungan Cr (µg/g, kering) dalam tubuh N. abiuma Way Belau dengan anomali seta.

Catatan. Beberapa koleksi N. abiuma yang ditemukan pada penelitian ini memiliki anomali seperti yang disajikan pada Gambar 6. Dari delapan individu N. abiuma Sunda Kelapa ditemukan satu individu yang mengalami anomali seta. Dari 192 individu N. abiuma Way Belau Lampung ditemukan 22 individu yang mengalami anomali, yaitu mata (tiga individu), parapodia (enam individu), dan seta (16 individu). Keterangan jumlah anomali pada N. abiuma terdapat pada Lampiran 4 dan 5, sedangkan penjelasan bentuk anomali mata, parapodia, dan seta terdapat pada Tabel 2. Hasil uji korelasi antara anomali seta pada N. abiuma dari Way Belau dengan kandungan logam Ni dan Cr dalam tubuh menunjukkan hubungan negatif (p < 0.05; Ni = 0.035, Cr = 0.000) (Gambar 7 dan 8). Sedangkan hasil uji korelasi antara anomali pada N. abiuma dari Way Belau dengan kandungan logam dalam sedimen muara sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum tidak menunjukkan hubungan korelasi (p > 0.05).

Distribusi. Wilayah distribusi non lokal N. abiuma berada di Nigeria, Zaire, Seychelles, Burma, Thailand, Brunei, Cina (Hainan), Taiwan, Kepulauan Fiji, Kepulauan Belize, Kepulauan Hawaii, dan Teluk Arab (Glasby 1999, Wehe & Fiege 2000, Benbow et al. 2001). Sedangkan wilayah distribusi N. abiuma di

(39)

19

Indonesia terdapat di Pulau Jawa dan Sulawesi (Glasby 1999), serta Sunda Kelapa Teluk Jakarta dan Way Belau Teluk Betung Lampung.

Tabel 2 Keterangan bentuk anomali Namalycastis

No Bagian Bentuk Normal Bentuk anomali 1. Antena Sepasang antena Reduksi salah satu antena pada

bagian sebelah kiri atau kanan 2. Mata Dua pasang mata Reduksi satu mata bagian bawah

sebelah kanan. Kelebihan satu buah mata pada bagian bawah sebelah kanan

3. Tentacular cirri

Empat pasang tentacular cirri Kelebihan satu buah cirri pada sebelah kiri

4. Parapodia a. Berukuran proporsional dengan parapodia lainnya

a. Ukuran parapodia lebih kecil dari ukuran normalnya

b. Memiliki ventral dan dorsal cirri

b. Tidak memiliki dorsal cirri dari satu sampai dua buah setiger c. Parapodia terdapat pada

semua segmen kecuali peristomium

c. Reduksi parapodia baik pada segmen anterior maupun posterior 5. Seta a. Seta terdapat pada semua

parapodia

a. Reduksi seta pada parapodia b. Memiliki satu buah dorsal

dan ventral cirri b. Seta terdiri atas tiga cabang dorsal cirri

Namalycastis cf. borealis

Tempat Koleksi. Jumlah individu N. cf borealis (Gambar 9) yang diamati terdiri atas 475 individu dari muara Ciliwung Sunda Kelapa, Teluk Jakarta dan 171 individu dari muara Way Belau, Teluk Betung Lampung.

Deskripsi. Jumlah segmen berkisar 87-100, dan panjang tubuh berkisar antara 0.8–8 cm, dan lebar berkisar antara 0.1-0.5 cm. Bentuk tubuh bagian dorsal cembung, ventral pipih, dan posterior meruncing. Warna tubuh dalam keadaan segar merah kecoklatan sedangkan pada larutan alkohol berwarna coklat keputihan. Pigmen epidermal coklat terang pada bagian anterodorsal serta coklat tua di bagian posterior dan pygidium. Prostomium mempunyai celah yang dalam, membentang longitudinal dari ujung atas hingga mid-posterior prostomium. Bentuk prostomium triangular, melengkung di bagian lateral. Terdapat sepasang antena dan palpus biartikulasi. Terdapat dua pasang mata yang berukuran sama atau berbeda, berwarna hitam, dan lensa jelas. Pada sisi lateral peristomium terdapat empat pasang tentakular cirri. Panjang posterodorsal tentakular cirri

(40)

20

mencapai segmen ke-2 (3-4). Faring tidak dilengkapi dengan paragnath dan papila. Faring terdapat sepasang gigi taring berwarna coklat, dan memiliki 6-9 gigi subterminal. Tipe parapodia subuniramous. Panjang dorsal cirri setiger tiga 1.3-1.5 x; dorsal cirri bagian posterior 2-3 x (leaf like). Notoseta hadir, meski jarang dijumpai di beberapa bagian segmen. Kehadiran notopodial sesquigomph spiniger dimulai dari segmen ke-10 (9-10). Neuroseta termasuk tipe A yaitu susunan seta pada parapodia terdiri atas sesquigomph spiniger pada supra-postacicular, heterogomph spiniger pada sub-supra-postacicular, serta heterogomph falciger pada supra dan sub-praacicular. Jumlah supra-neuroacicular heterogomph falciger kurang dari lima di setiap parapodia. Sisi blade sesquigomph spiniger dan heterogomph spiniger bergerigi penuh. Sisi blade heterogomph falciger bersifat halus hingga sedang. Jumlah gerigi pada blade heterogomph falciger pada segmen ke-10 berjumlah 6-15. Acicula notopodia dan neuropodia berwarna coklat tua. Pygidium dengan multi-incised rim. Anus terminal. Terdapat sepasang anal cirri ventrolateral, conical.

(41)

21

Gambar 9 Namalycastis cf borealis. A. Parapodium setiger posterior (a), parapodium setiger 10 (b), parapodium setiger 3 (c); heterogomph falciger (d), (e); homogomph spiniger (f), heterogomph spiniger (g); anterodorsal (h); pygidium (i). B. Hasil citra digital: anterodorsal (j); pygidium posteroventral (k); homogomph spiniger (l), heterogomph spiniger (m), heterogomph falciger (n); tubuh utuh (o). C. Anomali: antena mereduksi (p); mata mereduksi (q); kelebihan jumlah tentacular cirri (r); parapodia mereduksi (s); dorsal cirri seta bercabang tiga (t).

(42)

22

Gambar 10 Persentase individu N. cf borealis yang memiliki anomali morfologi. Sunda Kelapa ( ), Way Belau ( ).

(43)

23

Gambar 11 Korelasi antara kandungan Pb (µg/g, kering) dalam tubuh N. cf borealis Sunda Kelapa dengan anomali antena.

Gambar 12 Korelasi antara kandungan Ni (µg/g, kering) dalam tubuh N. cf borealis Sunda Kelapa dengan anomali antena.

Gambar 13 Korelasi antara kandungan Cu (µg/g, kering) dalam tubuh N. cf borealis Sunda Kelapa dengan anomali antena.

Gambar 14 Korelasi antara kandungan Cd (µg/g, kering) dalam tubuh N. cf borealis Sunda Kelapa dengan anomali seta.

Kandungan Pb dalam tubuh N. cf borealis

Kandungan Ni dalam tubuh N. cf borealis

Kandungan Cd dalam tubuh N. cf borealis Kandungan Cu dalam tubuh N. cf borealis

(44)

24

Catatan. Koleksi yang ditemukan memiliki karakter yang sama dengan N. borealis dan N. terrestris, kecuali pada tipe celah prostomium, panjang dorsal cirri pada segmen ke-3, bentuk dorsal cirri posterior, dan jumlah supra-neuroacicular heterogomph falciger, seperti yang dilaporkan Glasby (1999). Koleksi pada penelitian ini memiliki karakter yang lebih mendekati N. borealis dibandingkan N. terrestris. Spesimen yang ditemukan memiliki celah prostomium yang dalam, dorsal cirri segmen ke-3 sepanjang 1.3–1.5 x, dorsal cirri posterior lebar 2-3 x dan jumlah supra-neuroacicular heterogomph falciger kurang dari lima buah. Beberapa koleksi N. cf borealis yang ditemukan pada penelitian ini memiliki bentuk anomali (kelainan) (Gambar 10). Dari 475 individu N. cf borealis pada Sunda Kelapa Jakarta ditemukan 66 individu mengalami anomali, yaitu antena (12 individu), mata (10 individu), tentakular cirri (empat individu), parapodia (sembilan individu), dan seta (31 individu). Dari 171 individu N. cf borealis pada Way belau Lampung ditemukan 11 individu yang mengalami anomali, yaitu mata (dua individu), tentakular cirri (satu individu), parapodia (satu individu), dan seta (tujuh individu). Keterangan jumlah anomali pada N. cf borealis terdapat pada Lampiran 4 dan 5, sedangkan penjelasan bentuk anomali antena, mata, tentacular cirri, parapodia, dan seta terdapat pada Tabel 2.

Hasil uji korelasi antara anomali antena pada N. cf borealis dari Sunda Kelapa dengan kandungan logam Pb, Ni, dan Cu dalam tubuh menunjukkan hubungan negatif (p < 0.05; Pb= 0.039, Ni = 0.034, Cu = 0.036) (Gambar 11, 12, dan 13). Hubungan korelasi negatif juga ditunjukkan anomali seta pada N. cf borealis dari Way Belau dengan kandungan logam Cd (p < 0.05; Cd= 0.036) (Gambar 14). Hasil uji korelasi antara anomali pada N. cf borealis dari kedua lokasi dengan kandungan logam dalam sedimen muara sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum tidak menunjukkan hubungan korelasi (p > 0.05).

Distribusi. Wilayah distribusi non lokal N. borealis adalah Carolina bagian Utara, Amerika Serikat bagian Timur dan Selatan, Bahama, Bonaire, Kepulauan Karibian, Aruba, dan pantai barat Venezuela (Glasby 1999, Espinosa et al. 2007). Wilayah distribusi N. cf borealis di Indonesia berada di Sunda Kelapa Teluk Jakarta dan Way Belau Teluk Betung Lampung.

(45)

25

Densitas Namalycastis

Dari hasil koleksi Namalycastis diketahui bahwa densitas N. abiuma dari muara Ciliwung Sunda Kelapa lebih rendah dibandingkan dari muara Way Belau. Densitas N. cf borealis dari muara Ciliwung Sunda Kelapa lebih tinggi dibandingkan dari muara Way Belau (Gambar 15).

Gambar 15 Densitas Namalycastis dari Sunda Kelapa dan Way Belau (kuadran 0,25m2). Sunda Kelapa (habitat terpolusi) ( ), Way Belau (habitat

tidak terpolusi) ( ).

Pengukuran Kandungan Logam Berat pada Potongan Tubuh Namalycastis

Kadar logam dalam potongan tubuh N. cf borealis dari Sunda Kelapa lebih tinggi dibandingkan dari Way Belau (Tabel 3). Hasil uji t-tes kandungan logam (µg/g, kering) dalam potongan tubuh (segmen tengah) N. cf borealis dari kedua lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata (p< 0.05) (Lampiran 3).

(46)

26

Tabel 3 Kadar logam dalam potongan tubuh Namalycastis dari Sunda Kelapa dan Way belau

Lokasi Sampel Individu Jumlah (n) Kadar (µg/g, kering) Pb Ni Cr Cd Cu Sunda Kelapa N. cf borealis 44-45 13.85±2.95 1.16±0.28 5.60±0.89 0.20±0.07 62.81±9.98 N. abiuma* 0 - - - - - Way Belau N. cf borealis 12-27 2.40±1.18 0.24±0.10 0.22±0.10 0.01±0.00 17.81±14.05 N. abiuma 21-35 2.20±1.52 0.17±0.06 0.16±0.05 0.02±0.01 13.57±1.99

Ket: * Jumlah N. abiuma dari Sunda kelapa sangat sedikit sehingga tidak cukup untuk pengukuran logamnya.

Kadar air N. cf borealis dari Sunda Kelapa 80%; N. abiuma dan N. cf borealis dari Way Belau, masing-masing 98%.

(47)

27

PEMBAHASAN

Morfologi dan Densitas Namalycastis

Namalycastis yang ditemukan di Sunda Kelapa Teluk Jakarta dan Way Belau Lampung adalah N. abiuma dan N. cf borealis. N. abiuma merupakan jenis spesies kosmopolitan. Wilayah distribusi N. abiuma dan N. borealis terdapat di daerah tropis dan subtropis. Wilayah distribusi N. abiuma di Indonesia terdapat di Pulau Jawa dan Sulawesi (Glasby 1999). Keberadaan N. abiuma di Lampung (Pulau Sumatra) belum pernah dilaporkan sebelumnya. Begitu juga dengan keberadaan N. cf borealis di Indonesia, belum pernah dilaporkan sebelumnya. Dengan demikian hasil identifikasi ini merupakan tambahan informasi distribusi bagi N. cf borealis dan N. abiuma di Indonesia.

Berdasarkan perhitungan densitas, N. abiuma yang ditemukan di Sunda Kelapa lebih sedikit dibandingkan N. cf borealis. Sedangkan densitas N. abiuma yang ditemukan di Way Belau tidak berbeda nyata dibandingkan N. cf borealis (Gambar 9). Rendahnya densitas N. abiuma di Sunda Kelapa diduga akibat kondisi habitat yang terpolusi. N. abiuma bersifat kurang toleran terhadap kondisi habitat terpolusi dibandingkan N. cf borealis. N. abiuma merupakan spesies Polychaeta yang sensitif terhadap logam berat Hg (Reish & Gerlinger 1997). Berdasarkan data penelitian ini, N. abiuma dan N. cf borealis dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator habitat terpolusi logam berat.

Pada koleksi Namalycastis dari Sunda Kelapa dan Way Belau telah ditemukan lima jenis karakter anomali (kelainan), yaitu antena, mata, tentacular cirri, parapodia, dan seta. Jenis karakter anomali pada Namalycastis di kedua lokasi penelitian yang paling banyak tercatat adalah anomali seta. Anomali kelebihan jumlah mata dan dorsal cirri bercabang tiga pada seta Namalycastis memiliki persamaan dengan hasil penelitian Mohammad (1980). Sedangkan anomali reduksi parapodia dan seta Namalycastis memiliki persamaan dengan anomali yang ditemukan pada Neanthes japonica di lingkungan pembuangan pabrik di estuari Cina (Baoling et al. 1985). Parapodia merupakan tempat pertukaran gas pada Namalycastis, yang memiliki karakter morfologi lembab, banyak mengandung kapiler darah, dan berstruktur tipis (terdiri dari satu lapis

(48)

28

sel). Struktur tersebut memungkinkan logam berdifusi masuk ke dalam tubuh Namalycastis melalui parapodia. Parapodia pada Nereis diversicolor dari pantai Marocco merupakan bagian tubuh yang banyak mengandung logam (Idardare et al. 2008). Dengan demikian, penyebab anomali parapodia dan seta pada penelitian ini diduga pengaruh kondisi habitat yang terpolusi. Sedangkan penyebab anomali antena, mata, dan tentacular cirri belum diketahui. Pengaruh polutan logam berat terhadap anomali Namalycastis masih perlu diteliti lebih lanjut misalnya dengan uji toksikologi logam pada penelitian bioassay.

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa anomali antena pada N. cf borealis dari Sunda Kelapa berhubungan negatif dengan kandungan Pb, Ni, dan Cu dalam tubuh. Sedangkan anomali seta pada N. cf borealis dari Way Belau berhubungan negatif dengan kandungan Cd dalam tubuh. Hubungan korelasi negatif juga ditunjukkan anomali seta pada N. abiuma dengan kandungan Ni dan Cr dalam tubuh. Hasil uji korelasi tersebut mengindikasikan bahwa rendahnya jumlah anomali yang terjadi pada Namalycastis menandakan tingginya kandungan logam dalam tubuh Namalycastis. Sedangkan anomali pada Namalycastis dari kedua lokasi tidak berkorelasi (p > 0.05) dengan kandungan logam dalam sedimen dari muara sungai Ciliwung, Cisadane, dan Citarum hasil penelitian Rochyatun dan Rozak (2007). Hasil korelasi tersebut menunjukkan bahwa banyaknya kandungan logam dalam sedimen tidak mengindikasikan terjadinya anomali pada Namalycastis. Namalycastis diduga memiliki kemampuan inaktifasi (detoksifikasi) logam toksik. Polychaeta memiliki kemampuan mengaktifasi logam secara biologi di dalam usus dan menyimpannya dalam bentuk tidak toksik (Dean 2008). Sabella pavonina (Polychaeta: Sabellidae) memiliki kemampuan mengakumulasi logam toksik Ag pada kadar yang tinggi dalam tubuhnya tanpa menghasilkan efek sakit (luka) (Koechlin & Grasset 1988, diacu dalam Dean 2008).Dengan demikian, Namalycastis yang terkoleksi dari kedua lokasi mampu bertahan hidup meskipun mengakumulasi logam dalam kadar yang tinggi di tubuhnya dan hidup pada habitat yang terpolusi.

(49)

29

Kandungan Logam Berat di dalam Tubuh Namalycastis

Pada penelitian ini, tubuh Namalycastis dari kedua lokasi mengandung logam Pb, Ni, Cr, Cd, dan Cu. Sifat Namalycastis yang hidup di sedimen pada kedalaman ± 20 cm, serta merupakan organisme pemangsa (raptorial feeder) memungkinkan menyerap sejumlah logam berat. Korelasi kandungan logam dalam tubuh Lycastisouanaryensis (spesies grup N. abiuma) dengan logam dalam sedimen disebabkan oleh perilaku makan cacing tersebut di permukaan sedimen yang merupakan tempat utama masuknya logam dalam sedimen (Athalye dan Gokhale 1991). Dengan demikian, perilaku makan Namalycastis menentukan penyerapan logam berat di dalam tubuhnya.

Kadar logam berat di dalam tubuh Namalycastis dari Sunda Kelapa maupun Way Belau memiliki kecenderungan pola yang hampir sama. Kadar logam tertinggi (µg/g, berat kering) di dalam tubuh Namalycastis dari Sunda Kelapa berturut-turut adalah Cu>Pb>Cr>Ni>Cd, sedangkan dari Way Belau berturut-turut adalah Cu>Pb>Ni dan Cr>Cd. Tingginya kadar Cu dalam Namalycastis disebabkan proses akumulasi Cu dari habitatnya. Pada habitat yang tidak terpolusi, laju ekskresi logam oleh suatu organisme akan berjalan seimbang dengan laju absorpsinya, namun hal ini tidak berlaku pada habitat yang terpolusi (Sanders et al. 1999). Sifat bioavalaibilitas logam Cu yang lebih tinggi dibandingkan logam lainnya akan mempengaruhi proses akumulasi Cu oleh Namalycastis. Kemungkinan lain penyebab tingginya kadar Cu dalam Namalycastis adalah sifat Cu yang merupakan logam esensial atau dibutuhkan oleh organisme untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya (fungsi enzimatik). Beberapa mekanisme reaksi enzimatik dalam organisme membutuhkan logam Cu (Gonzales & Arguello 2008).

Kandungan logam berat dalam Polychaeta telah banyak diteliti, diantaranya Lycastis ouanaryensis (Polychaeta: Nereidae) dari Teluk Thane di India yang mengandung Pb 1–35 µg/g, Cd 0.3–0.5 µg/g, Cu 4.2–95 µg/g berat kering tubuh (Athalye dan Gokhale 1991), Marphysa sanguine (Polychaeta: Eunicidae) dari estuari Sado di Portugal yang mengandung Pb 5.7-7.5 µg/g, Cd 0.48-0.65 µg/g, Cu 160.5-223.8 µg/g berat kering tubuh (Garces dan Costa 2009), serta Arenicola marina (Polychaeta: Arenicolidae) dari Laut Barent di Rusia yang mengandung

Gambar

Gambar 1 Penampang tubuh Namalycastis. Prasegmental (a), segmental (b),  postsegmental (pygidium) (c) (Glasby 1999)
Tabel 1 Lokasi dan titik koordinat tempat pengambilan koleksi Namalycastis di  Sunda Kelapa dan Way Belau
Gambar 2 Lokasi penelitian. Sunda Kelapa Jakarta Utara (   ), Way Belau  Lampung  (    ), insert Pulau Jawa dan Sumatra Indonesia
Gambar 5 Namalycastis abiuma Grube, 1872. A. Parapodium setiger posterior (a),  parapodium setiger 10 (b), parapodium setiger 3 (c); heterogomph  falciger (d), (e); heterogomph spiniger (f), homogomph spiniger (g);
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil wawancara dengan anggota unit PPA Polresta Pekanbaru, Aiptu Srikomala Sari, pada tanggal 10 Mei 2014.. penahanan dinilai anggota unit PPA Polresta Pekanbaru sebagai

Selain mendekatkan kantor pemerintah kecamatan tujuan dari pemekaran kecamatan adalah untuk lebih memberikan pelayanan kepada masyarakat secara cepat, efektif, dan

Dari hasil pengukuran yang didapat dari skateboard listrik yang telah dibuat dapat diambil kesimpulan bahwa pengendalian kecepatan menggunakan sensor accelerometer

Menurut dictionary of marketing and advertising (Jerry M.R, 1995), brand preference merupakan pilihan konsumen terhadap suatu brand tertentu melampaui kompetitor-kompetitornya,

Penggunaan insektisida imidakloprid, buprofezin, tiametoksam, dan sipermethrin terhadap wereng cokelat populasi Sukamandi tidak menguntungkan karena RR &gt;4. Demikian juga

HASIL KAJIAN 4.0 Pengenalan 59 4.1 Dapatan Demografi 60 4.1.1 Jantina Responden 60 4.1.2 Kursus Diikuti Pelajar 61 4.1.3 Pengambilan Kursus yang Sama Dalam Pekerjaan atau Pelajaran

Pada tahun 2014, pencapaian indikator Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan di Kabupaten Kepulauan Anambas dapat terealisasi dengan baik yaitu mencapai 91,5% dari

Angka Adjusted R Square adalah 0.499 artinya 49.9% variabel terikat Harga Saham Syariah dijelaskan oleh variabel bebas yang terdiri dari Price Earning Ratio , Return