• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat-Distrofi Kornea

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Referat-Distrofi Kornea"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

DISTROFI KORNEA I. PENDAHULUAN

Distrofi kornea merupakan gangguan mata bawaan dan bersifat bilateral dengan temuan klinikopatologi yang berbeda, bisa bersifat menetap atau progresif lambat, dan terjadi tanpa adanya reaksi peradangan, tanpa hubungan dengan faktor lingkungan atau sistemik. Kata distrofi berasal dari bahasa Yunani (dys = salah, sulit; trophe = makanan).1 Sebagian besar bentuk yang diwariskan sebagai sifat autosomal dominan, beberapa kasus diwariskan sebagai sifat autosomal resesif. Kebanyakan bentuk distrofi kornea tidak mempengaruhi area lain dari tubuh.2

Secara klinis, distrofi kornea dapat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan lokasi anatomi dari kelainan. Dapat mempengaruhi epitel kornea dan membran basement atau lapisan Bowman dan stroma superfisial (distrofi kornea anterior), stroma kornea (distrofi kornea stroma), atau membran Descemet dan endotelium kornea (distrofi kornea posterior). Kebanyakan distrofi kornea timbul dengan variabel kekeruhan kornea baik dalam bentuk kornea jernih atau berawan dan mempengaruhi ketajaman visual untuk derajat yang berbeda.3 Awalnya bisa tanpa gejala dan tanpa reaksi inflamasi. Hal ini tejadi secara perlahan-lahan sampai visus menjadi terganggu. Biasanya di atas usia 40 tahun sehingga harus dilakukan keratoplasti.4

Terdapat dua jenis yang berbeda dibedakan dengan presentasi klinis dan genetika, yaitu autosomal resesif: ada pada saat lahir, non progresif, nistagmus, nyeri atau fotofobia dan autosomal dominan: pertama kali terlihat selama masa kanak-kanak, progresif lambat, tidak ada nistagmus, nyeri, merobek, dan fotofobia.5

Distrofi kornea ini biasanya timbul pada dekade pertama atau kedua, tapi kadang-kadang dapat timbul kemudian. Bersifat menetap atau progresif lambat sepanjang hidup. Menurut penelitian, penatalaksanaan dengan transplantasi kornea dapat meningkatkan visus pada kebanyakan pasien dengan distrofi kornea turun-temurun.6

(2)

II. ANATOMI KORNEA

Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan.7

1. Epitel

Terdiri atas 5 lapis sel epitel skuamosa tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng dengan tebal keseluruhan 50 pm. Pada sel basal sering terjadi mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingya dan sel membrane di depannya melalui desmosom dan membran okluden. Ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa dan merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.7

2. Membran Bowman

Terletak di bawah membrane basal epitel komea, merupakan jaringan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi dan bila rusak akan membentuk jaringan ikat.7 3. Stroma

Terdiri atas lamela yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sementara di bagian perifer serat kolagen ini bercabang. Pembentukan kembali serat kolagen memakan waktu lama, kadang-kadang sampai 15 bulan. Di antara lamella terdapat sel keratosit yang merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit yang bertanggung jawab untuk produksi serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma dan membentuk substansi dasar yakni mukopolisakarida dan glikosaminoglikan.7

4. Membran Descement

Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Lapisan ini bersifat sangat

(3)

elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40pm serta tahan terhadap trauma dan infeksi.7

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, merupakan 1 lapis sel berbentuk heksagonal dengan besar 20-40 pm. Endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden. Tidak seperti epitel, endotel tidak dapat beregenerasi. Jika terjadi kerusakan sel endotel, sel lain yang tersisa akan menjadi datar untuk menutupi area endotel yang rusak namun hal ini sangat menurunkan fungsi sel endotel. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea.7

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus dan saraf nasosiliar. Saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman dan melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.7

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.7

(4)

III. DISTROFI KORNEA 3.1 Definisi

Kata distrofi berasal dari bahasa Yunani (dys = salah, sulit, trofi = makanan).1 Sedangkan distrofi kornea itu sendiri adalah kelompok gangguan mata genetik, sering bersifat progresif, dimana materi yang abnormal terakumulasi di lapisan luar mata yang transparan (kornea). Distrofi kornea mungkin tidak menimbulkan gejala (asimptomatik) pada beberapa individu. Sedangkan pada beberapa yang lain dapat menyebabkan kerusakan penglihatan yang cukup signifikan. Usia dan gejala spesifik bervariasi antara berbagai bentuk distrofi kornea. Kebanyakan bentuk distrofi kornea mempengaruhi kedua mata (bilateral), progresif lambat, tidak mempengaruhi area lain dari tubuh, dan cenderung diturunkan dalam keluarga. Sebagian besar diwariskan sebagai sifat autosomal dominan, beberapa kasus diwariskan sebagai sifat autosomal resesif.2

Bersamaan dengan meningkatnya ilmu pengetahuan, tercatat pengecualian terhadap beberapa kasus untuk definisi di atas. Sebagian besar pasien dengan distrofi epitel membran basal tidak memiliki pola keturunan. Beberapa pasien dengan distrofi kornea polymorphous posterior hanya bersifat unilateral. Dalam distrofi makula, tingkat antigen serum sulfat keratan berkorelasi dengan immunophenotypes dari penyakit, menunjukkan bahwa kelainan sistemik merupakan bagian dari perubahan kornea.8

3.2 Etiologi

Sebagian besar kasus distrofi kornea diwariskan sebagai sifat autosomal dominan. Penyakit genetik ditentukan oleh kombinasi gen untuk suatu sifat tertentu yang berada di kromosom yang diterima dari ayah dan ibu. Kelainan genetik yang dominan terjadi ketika hanya satu salinan gen yang tidak normal diperlukan untuk munculnya penyakit. Gen abnormal dapat diwariskan dari orang tua atau bisa juga hasil dari mutasi baru (perubahan gen) pada individu yang terkena. Risiko melewati gen abnormal dari orang tua kepada keturunannya yang terkena adalah 50 persen untuk setiap kehamilan tanpa memandang jenis kelamin anak yang dihasilkan.2

Epitel membran basement, Reis-Buckler, Thiel-Behnke, Meesmann, Schnyder, Lattice tipe I, Lattice tipe II, Granular tipe I, Granular tipe II (Avellino), kornea distrofi

(5)

kongenital herediter tipe I, dan distrofi kornea bentuk polimorf posterior memiliki garis keturunan autosomal dominan. Fuchs distrofi mungkin memiliki garis keturunan autosomal dominan dalam beberapa kasus. Pada sebagian orang, hal ini mungkin terjadi secara spontan tanpa alasan yang jelas (sporadis). Distrofi makula kornea dan distrofi kornea kongenital tipe II memiliki garis keturunan autosomal resesif.2

Kelainan genetik resesif terjadi ketika seorang individu mewarisi gen abnormal yang sama untuk sifat yang sama dari setiap orang tua.Jika seseorang menerima satu gen normal dan satu gen untuk penyakit ini, orang tersebut akan menjadi pembawa penyakit ini, tetapi biasanya tidak akan menunjukkan gejala. Risiko untuk memiliki anak yang adalah pembawa seperti orang tua adalah 50 persen dengan setiap kehamilan. Resikonya adalah sama untuk pria dan wanita.2

3.3 Klasifikasi

Klasifikasi internasional dari distrofi kornea berdasarkan lokus kromosom dari berbagai distrofi, serta gen yang bertanggung jawab serta mutasinya, yaitu1:

1. Epithelial and Sub-epithelial Dystrophies

a) Epithelial basement membrane dystrophy (EBMD)

Dikenal sebagai distrofi map-dot-fingerprint, distrofi Cogan microcystic dan

anterior basement membran distrofi. EBMD lebih sering terjadi pada orang dewasa,

jarang terjadi pada anak-anak, dan tidak mengikuti pola pewarisan. Pasien dengan distrofi ini sering tidak memiliki gejala, meskipun 10% di atas usia 30 tahun mungkin memiliki gejala. Gejala yang biasa terjadi adalah pada erosi kornea berulang, yang terjadi dengan rasa sakit, lakrimasi, polyplopia dan kabur / penurunan fungsi penglihatan. Namun, gejala tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu.1

(6)

b) Meesman Corneal Dystrophy (MECD)

MECD, juga dikenal sebagai juvenile hereditary epithelial dystrophy, mengikuti garis keturunan AD dan terutama terjadi pada masa kanak-kanak. Ini adalah distrofi progresif lambat yang muncul secara berkelompok, vesikel epitel kecil yang mencapai limbus dan paling banyak di daerah interpalpebral, dengan epitel yang jelas di sekitarnya. Mungkin terdapat ada penurunan ringan pada visus dengan keluhan silau dan fotofobia, sementara erosi kornea berulang juga dapat terjadi.1

c) Gelatinous Drop-Like Corneal Dystrophy (GDLD)

GOLD, juga dikenal sebagai amiloidosis primer, mengikuti garis keturunan AR dan memiliki onset pada usia dekade kedua kehidupan. Awalnya muncul sebagai lesi

(7)

sub-epitel yang mungkin mirip dengan band-berbentuk keratopati, atau kelompok beberapa nodul. Vaskularisasi dangkal sering juag terlihat. Pada stadium lanjut, stroma kekeruhan, atau lesi nodular besar, dapat dilihat. Gejala yang dapat dialami meliputi penurunan yang signifikan dalam visus, fotofobia, iritasi, kemerahan dan berair. Hal ini bersifat progresif lambat dan bahkan bisa kambuh setelah transplantasi kornea dengan graft.1

2. Bowman Layer Dystrophies

a) Reis-Bücklers Corneal Dystrophy (RBCD)

RBCD juga dikenal sebagai distrofi kornea dari lapisan Bowman tipe I dan distrofi kornea granular tipe 3. Ini mengikuti garis keturunan AD dan memiliki onset pada masa kanak-kanak. Ini muncul sebagai bagian- bagian kecil tidak teratur dan kekeruhan kasar dengan kepadatan yang berbeda-beda, awalnya terpisah tapi kemudian terjadi penggabungan. Kekeruhan dapat memperpanjang hingga ke limbus dan jauh ke dalam stroma seiring waktu. Hal ini terjadi perlahan-lahan progresif dan menyebabkan kerusakan penglihatan dan erosi kornea berulang.1

(8)

b) Thiel-Behnke Corneal Dystrophy (TBCD)

Distrofi ini juga dikenal sebagai distrofi kornea dari lapisan Bowman tipe II dan kornea distrofi ini berbentuk sarang lebah. Ini mengikuti garis keturunan AD dan memiliki onset pada masa kanak-kanak. Ini muncul sebagai kekeruhan simetris sub-epitel kornea di tengah, dengan kornea perifer biasanya terlibat awalnya tapi kemudian meluas ke limbus dan lebih dalam stroma dalam waktu tertentu. Seperti RBCD, TBCD bersifat progresif lambat dan menyebabkan kerusakan penglihatan dan erosi kornea berulang.1

3. Stromal Dystrophies

a) Lattice Corneal Dystrophy (LCD)

LCD memiliki warisan AD dan memiliki onset pada dekade pertama kehidupan. Ini adalah distrofi progresif yang menyebabkan gangguan penglihatan pada dekade

(9)

keempat kehidupan dan berhubungan dengan ketidaknyamanan okular dan rasa nyeri. Hal ini sering menyebabkan erosi kornea berulang dan membutuhkan pembedahan pada dekade keempat kehidupan. Keluhan tampaknya garis percabangan refractile tipis dan / atau titik sub-epitel seperti telur bulat. Garis mulai terpusat dan dangkal dan menyebar secara sentrifugal dan mendalam. Erosi kornea berulang yang terjadi pada tahap selanjutnya sering disertai dengan stroma difus kaca kabut.1

b) Granular Dystrophy Type 1 (GCD1)

Setelah pola warisan AD, GCD 1 dimulai pada masa kanak-kanak dan muncul sebagai butiran putih. Kekeruhan ini tidak mencakup limbus tetapi dapat memperpanjang jauh ke dalam stroma dan sejauh membran Descemet. Dengan berjalannya waktu, kekeruhan menjadi lebih terimpit dan kabur. Hal ini dikaitkan dengan penurunan visus yang signifikan dan erosi kornea berulang. Gejala awal yang ditimbulkan adalah silau dan fotofobia.1

(10)

c) Granular Dystrophy Type 2 (GCD2)

GCD2, yang juga mengikuti pola warisan AD, dimulai pada masa remaja sampai dewasa awal. Hal ini terjadi progresif lambat dan awalnya muncul titik putih kecil dan dangkal di stroma. Saat distrofi berlangsung, cincin atau stellata berbentuk kepingan salju keruh muncul antara permukaan dan pertengahan stroma. Pada stadium lanjut, kekeruhan pada permukaan menjadi tembus dan rata seperti remah roti, dan menyatu, menyebabkan penurunan visus. Nyeri mungkin terkait dengan erosi kornea berulang yang mungkin terjadi.1

d) Macular Corneal Dystrophy (MCD)

Ini adalah distrofi kornea AR yang dimulai pada masa kanak-kanak dan menyebabkan gangguan penglihatan yang parah antara usia 10 dan 30 tahun. Hal ini menyebabkan penurunan sensitivitas kornea dan fotofobia, dengan erosi kornea

(11)

berulang. Awalnya, tampak sebagai kabut stroma difus yang meluas ke limbus. Pada stadium lanjut, menghasilkan kekeruhan berupa keputihan disebut makula. Tidak seperti butiran distrofi, tidak ada ruang yang jelas antara kekeruhan. Pada stadium akhir, endotelium juga akan terpengaruh. Orang yang terkena distrofi ini biasanya memiliki kornea tipis.1

e) Schnyder Dystrophy (SCD)

Ini merupakan distrofi kornea AD yang dapat muncul di masa kecil. Tetapi dalam banyak kasus, diagnosis hanya dibuat pada dekade kedua atau ketiga kehidupan. Perubahan kornea yang terjadi dapat diprediksi berdasarkan usia, dengan pasien muda yang memiliki kornea pusat berkabut dan / atau kristal sub-epitel, yang kemudian menyebabkan lipoides arcus. Namun, hanya 50% dari pasien akan memiliki kristal kornea. Pada dekade keempat kehidupan, panstroma berkabut akan muncul. Visus akan menurun dan silau akan meningkat. Sensasi kornea menurun dengan pertambahan usia dan pasien mungkin memiliki hyperlipoproteinemia.1

(12)

4. Descemet Membrane and Endothelial Dystrophies a) Fuchs Endothelial Dystrophy (FECD)

Sebagian besar kasus FASD bersifat sporadis, meskipun beberapa kasus mengikuti pola warisan AD. Biasanya memiliki onset pada dekade keempat kehidupan, tapi ini sangat bervariasi. Hal ini tampak dengan adanya guttata kornea, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan slit lamp sebagai perubahan endotel logam, dengan atau tanpa pigmen debu. Disfungsi endotel kemudian mengarah ke edema stroma. Jaringan parut fibrosa sub-epitel dapat terjadi seiring dengan vaskularisasi superfisial pada penyakit kronis. Gejala berkisar dari pengurangan permanen dalam visus, nyeri dapat terjadi dari edema stroma, fotofobia dan epifora dapat terjadi dari erosi kornea berulang.1

(13)

b) Posterior Polymorphous Dystrophy (PPCD)

Distrofi AD ini terjadi pada anak usia dini dan sering asimetris. Hal ini biasanya tanpa gejala kecuali ada stroma berkabut akibat dekompensasi endotel. Terdapat lesi kornea dalam berbagai bentuk, termasuk nodular, vesikular atau melepuh, terjadi dalam kelompok atau konfluen (terlihat pada retro-iluminasi). Vesikel perlahan-lahan maju dan ada penebalan membran Descemet selama periode beberapa tahun. Pada sekitar 25% dari orang yang terkena, bisa ada perlengketan iridokornea perifer dan 15% dari orang di sana bisa meningkatkan TIO.1

c) Congenital Hereditary Endothelial Dystrophy (CHED)

Distrofi AD ini terjadi pada dekade pertama atau kedua kehidupan dan kadang-kadang muncul segera setelah lahir. Terdapat kornea berkabut yang asimetris mulai

(14)

penglihatan kabur, fotofobia, dan lakrimasi. Terdapat dekompensasi dari endotel kornea dalam jangka waktu lama. Dalam kasus lain, ada peau d'orange pada perubahan endotel, tanpa atau sedikit pengurangan visus.1

3.4 Manifestasi Klinis

Gejala-gejala distrofi kornea muncul akibat dari akumulasi bahan abnormal dalam kornea, lapisan luar yang jelas dari mata. Kornea memiliki dua fungsi; melindungi sisa mata dari debu, kuman, dan bahan berbahaya atau menjengkelkan lainnya, dan bertindak sebagai lensa terluar mata, menankap cahaya yang masuk ke lensa, di mana cahaya ini kemudian diarahkan ke retina. Retina mengkonversi cahaya menjadi gambar, yang kemudian diteruskan ke otak. Kornea harus tetap jelas (transparan) untuk dapat memfokuskan cahaya yang masuk.2

Kornea terdiri dari lima lapisan yang berbeda: epitel terluar yaitu lapisan pelindung kornea; membrana Bowman, lapisan yang sulit untuk ditembus karena lebih melindungi mata; stroma, lapisan tebal kornea yang terdiri dari air, serat kolagen dan komponen jaringan ikat lain yang memberikan kornea kekuatan, elastisitas dan kejernihan; Membran Descemet, sebuah lapisan dalam yang kuat dan tipis yang juga bertindak sebagai lapisan pelindung; dan

(15)

endotelium, lapisan terdalam yang terdiri dari sel-sel khusus yang memompa kelebihan air dari kornea.2

Distrofi kornea ditandai oleh akumulasi bahan asing dalam satu atau lebih dari lima lapisan kornea. Bahan tersebut dapat menyebabkan kornea kehilangan transparansi dan berpotensi menyebabkan hilangnya penglihatan atau penglihatan kabur. Gejala umum untuk berbagai bentuk distrofi kornea adalah erosi kornea berulang, dimana lapisan terluar dari kornea (epitel) tidak menempel dengan benar. Erosi kornea berulang dapat menyebabkan ketidaknyamanan atau rasa sakit yang parah, kepekaan yang abnormal terhadap cahaya (fotofobia), sensasi benda asing (seperti kotoran atau bulu mata) di mata, dan penglihatan kabur.2

3.5 Diagnosis

Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan slitlamp, dengan menggunakan berbagai observasi dan teknik pencahayaan dan tingkat pembesaran. Memang, pada tahap awal dari distrofi kornea, hanya perubahan halus yang mungkin dapat diamati dan oleh karena itu diperlukan pemeriksaan hati-hati. Distrofi epitel dapat diamati dengan cahaya langsung, sedangkan distrofi stroma dapat diidentifikasi dengan menggunakan bagian optik. Kekeruhan endotel akan membutuhkan pembesaran tinggi dan refleksi specular. Efek pada visus juga perlu dievaluasi.1

Diagnosis dapat dibantu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:  Berapa umur pasien?

 Lapisan kornea yang manakah yang terlibat?  Bagaimanakah pola keterlibatannya?

 Gejala apakah yang ditimbulkan?

 Apakah dalam keluarga ada yang memiliki keluhan yang sama?

Jika seorang pasien asimtomatik, dapat dilakukan rujukan untuk menegakkan diagnosis dan untuk memungkinkan konseling genetik untuk keluarga.1

Distrofi kornea dapat ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan mata rutin. Diagnosis dapat dikonfirmasi oleh evaluasi klinis, riwayat pasien rinci dan berbagai tes, seperti pemeriksaan slitlamp. Beberapa distrofi kornea tertentu dapat didiagnosis dengan tes

(16)

Diagnosa klinis dari distrofi kornea sangat bervariasi, tetapi harus dicurigai saat transparansi kornea hilang atau kekeruhan kornea terjadi secara spontan terutama di kedua kornea terutama jika terdapat riwayat keluarga yang positif. Diagnosis klinis dari distrofi kornea didasarkan pada usia dan tampilan klinis kornea pada slit lamp biomicroscopy. Ketika jaringan kornea yang dipotong, harus diperiksa dengan mikroskop cahaya dan TEM (Transmission electron microscopy) karena hal ini dapat menegakkan diagnosis dengan tepat dari distrofi kornea. Apabila gen mutan telah diidentifikasi, analisis genetika gen molekuler juga dapat memberikan diagnosis yang tepat. Diagnosis molekuler juga dapat digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis jika diduga distrofi kornea berhubungan dengan kasus fenotipe atipikal (distrofi unilateral, distrofi yang melibatkan lebih dari satu lapisan kornea, distrofi yang berkaitan dengan keterlibatan ekstraokular) atau tidak adanya riwayat keluarga dalam sebuah kasus.3

3.6 Penatalaksanaan 1. Epithelial disease

Pilihan pengobatan lini pertama biasanya melibatkan penggunaan salep malam hari seperti Lacrilube, salep mata sederhana atau Vita-Pos (bukan hanya standar air mata buatan). Pengobatan lini kedua adalah memakai lensa kontak selama empat sampai enam minggu. Gejala erosi kornea akut dapat diobati dengan lensa kontak perban, salep antibiotik, atau tambalan. Steroid topikal atau Doxycycline oral dapat memberikan beberapa manfaat untuk mencegah kekambuhan. Intervensi bedah, seperti tusukan stroma anterior (di luar sumbu visual), YAG Laser mikropunktur, kauter, alkohol membantu membersihkan epitel, dan laser excimer phototherapeutic keratectomy (PTK) dapat bermanfaat dalam mengurangi laju erosi berulang.1

2. Stromal disease

Erosi kornea berulang diperlakukan seperti pada penyakit epitel. Penilaian dari kedalaman distrofi di kornea harus dilakukan. Lesi superfisial kadang-kadang dibantu oleh lensa RGP (Rigid Gas Permeable), atau penghapusan dengan PTK. Jika tidak, dapat dilakukan lamellar keratoplasty, dengan microkeratome atau femtosecond laser, atau keratoplasty lamelar mendalam jika lebih dari 50% kornea terpengaruh. Hal yang lebih sering digunakan adalah operasi lamellar karena hanya menghapus area yang sakit

(17)

dibandingkan keratoplasty mendalam yang menghapus seluruh kornea. Hal ini karena ada pemulihan visual lebih cepat, mengurangi tingkat penolakan jaringan kornea, mengurangi silindris teratur dan tidak teratur, dan mengurangi masalah penjahitan.1 3. Endothelial disease

Ini dikelola secara konservatif dengan larutan garam hipertonik pada awalnya. Jika memungkinkan, pada penyakit endotel maka prosedur bedah terbaik adalah pengupasan membran Descemet keratoplasty endotel (kadang-kadang ditambah dengan keratectomy dangkal untuk jaringan parut yang ada). Hanya jika hal ini tidak mungkin seseorang kembali ke keratoplasty mendalam. Tindakan konservatif termasuk lensa kontak perban atau graft dengan membrane amnion.1

Pengobatan distrofi kornea bervariasi. Individu yang tidak memiliki gejala (asimptomatik) atau hanya memiliki gejala ringan mungkin tidak memerlukan pengobatan dan hanya dibutuhkan pemeriksaan secara teratur untuk mendeteksi perkembangan potensi penyakit. Perawatan khusus untuk distrofi kornea adalah termasuk tetes mata, salep, laser dan transplantasi kornea. Erosi kornea berulang dapat diobati dengan tetes mata, salep, antibiotik atau lensa kontak khusus. Jika erosi berulang bertahan, langkah-langkah tambahan seperti gesekan kornea atau penggunaan terapi laser excimer, yang dapat menghapus kelainan dari permukaan kornea (keratectomy phototherapeutic).2

Transplantasi kornea telah sangat sukses dalam mengobati orang dengan gejala lanjutan dari distrofi kornea. Terdapat resiko dimana lesi pada akhirnya akan berkembang pada graft donor kornea. Beberapa faktor menentukan apa terapi dapat digunakan untuk mengobati orang dengan distrofi kornea termasuk jenis spesifik, tingkat keparahan gejala, tingkat perkembangan penyakit, dan kesehatan secara keseluruhan pasien dan kualitas hidup. Konseling genetik mungkin bermanfaat bagi individu yang terkena dan keluarga pasien. Pengobatan lainnya adalah simtomatik dan suportif.2

(18)

DAFTAR PUSTAKA

1. Shah, S et al. Corneal dystrophies Investigation and management. 2012. Available from www.optometry.co.uk/clinical. Accessed April 17, 2015

2. Klintworth, G et al. Corneal Dystrophies. 2013. Available from http://www.cornealdystrophyfoundation.org. Accessed April 17, 2015

3. Klinworth, G et al. Corneal Dystrophies. Orphanet Journal of Rare Diseases 2009, 4:7 4. Miller, S et al. Disease of the cornea. Parsons’ Disease of the eye 7th ed. 1984. hal 143 5. Kunimoto, D et al. Corneal Dystrophies. The Wills Eye Manual 4th ed. 2004 by Lappincott Williams & Wilkins hal 79-80.

6. Riordan, P et al. Hereditary Corneal Dystrophies. Vaughan & Asbury’s General Ophtslmology 7th ed. 2008 by Lange Medical Books Chapter 6 hal 142-143.

7. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2010 hal 4-6. 8. Weiss, J et al. The IC3D Classification of the Corneal Dystrophies. Available from The Cornea Society Vol 27 Suppl. 2 December 2008.

Referensi

Dokumen terkait

Lakukan +uga analisis regresi logistik dengan metode ack-ard”, tep-ise” Lakukan +uga analisis regresi logistik dengan metode ack-ard”,

Penelitian ini juga menggunakan analisis dokumen karena data diperoleh dari percakapan dalam film terutama perkataan yang mengandung humor.. Data dalam penelitian

74 LAMPIRAN B: Hasil Pendekteksian

Hal kedua yang dilakukan adalah pemberian perlakuan (x) terhadap kelompok eksperimen yaitu pembelajaran dengan menggunakan media tiga dimensi sedangkan untuk

Secara umum kualitas air sungai berdasarkan parameter minyak dan lemak masih bagus tetapi harus menjadi perhatian bahwa di tiga titik konsentrasi minyak dan lemak telah berada

Simpulan : Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa didapatkan hubungan yang signifikan antara nilai APTT dengan volume hematoma pada stroke perdarahan intraserebral dan

Berdasarkan penyajian data dan hasil pembahasan dalam Serat Sana SunuKarya Raden Ngabehi Yasadipura II, dapat diambil kesimpulan Sebagai Berikut : (1) Nilai-nilai moral yang

Dengan posisi dan peranan tersebut maka pembangunan bidang kepemudaan dan keolahragaan mempunyai potensi yang sangat besar sekaligus adanya tantangan dan