• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. KERANGKA PEMIKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. KERANGKA PEMIKIRAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Tinjauan Teoritis

Pendekatan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem

perekonomian tertutup. Pendekatan teori tersebut diawali dengan dampak

perubahan pengeluaran pemerintah terhadap perpotongan Keynesian yang

berlanjut pada terbentuknya keseimbangan di pasar barang/jasa dan keseimbangan

di pasar uang. Keseimbangan di kedua pasar tersebut akan berinteraksi dengan

keseimbangan di pasar tenaga kerja, sehingga terbentuk kurva permintaan dan

penawaran agregat yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi daerah.

2.1.1. Permintaan Agregat

Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat harga

dan tingkat pendapatan. Kurva permintaan agregat terbentuk bila terjadi

keseimbangan di pasar barang dan jasa dan keseimbagan di pasar uang. Kebijakan

pemerintah mempengaruhi perekonomian akan terjadi di pasar barang dan jasa,

sehingga pada penjelasan selanjutnya akan lebih membicarakan keseimbangan di

pasar ini.

Keseimbangan di pasar barang dan jasa dimulai dengan model dasar yang

disebut perpotongan Keynesian (Keynesian cross). Model ini adalah interpretasi

paling mudah dari teori pendapatan Keynes (Mankiw, 2002). Perpotongan

Keynesian akan menjelaskan bagaimana konsumsi, investasi, dan pengeluaran

pemerintah mempengaruhi pendapatan. Ekuilibrium dari perpotongan Keynesian

terjadi ketika pengeluaran aktual (AE) sama dengan pengeluaran yang

(2)

pendapatan nasional atau produk domestik bruto (PDB), pada tingkat daerah

disebut dengan PDRB) Teori pendapatan nasional Keynesian dalam Mankiw

(2002) dituliskan kembali sebagai berikut:

Y = C + I + G ...(2.1) Gambar 1 menunjukan apabila terjadi peningkatan pengeluaran

pemerintah (G) sebesar GΔ , maka AE akan bergeser dari AE1 ke AE2 sehingga

output akan meningkat dari Y1 ke Y2. Pengganda pengeluaran pemerintah dalam

Mankiw (2002) dituliskan kembali sebagai berikut:

d bt b G Y + + − = Δ Δ 1 1 ...(2.2) Sumber: Mankiw (2002)

Gambar 1. Kurva Perpotongan Keynesian

Gambar 1 adalah kurva perpotongan keynesian yang merupakan kerangka

dasar terbentuknya keseimbangan di pasar barang dan jasa. Apabila keseimbangan

di pasar barang dan jasa berinteraksi dengan keseimbangan di pasar uang, maka

(3)

2.1.2. Penawaran Agregat

Menurut Dornbusch dan Fischer (1997), kurva penawaran agregat (AS)

menggambarkan kombinasi output dan tingkat harga sedemikian rupa sehingga

perusahaan berusaha, pada tingkat harga tertentu, menawarkan jumlah output

yang tertentu atau dengan kata lain kurva penawaran agregat mencerminkan

berbagai kondisi pada pasar faktor produksi terutama pasar tenaga kerja. Teori

penawaran agregat dapat dijelaskan dengan teori klasik dan teori Keynesian.

Pada kasus klasik, kurva penawaran agregat berbetuk vertikal,

menunjukan bahwa berapapun tingkat harga yang berlaku, jumlah barang yang

bersedia ditawarkan tidak berubah. Kurva penawaran agregat klasik didasarkan

atas asumsi bahwa pasar tenaga kerja selalu berada pada kondisi ekuilibrium

dengan penggunaan tenaga kerja penuh dari angkatan kerja. Jika seluruh angkatan

kerja yang ada telah digunakan, maka output tidak dapat naik di atas tingkat yang

sekarang meskipun tingkat harga naik. Tidak ada lagi tenaga kerja yang bersedia

untuk memproduksi output tambahan. Dengan demikian bentuk kurva penawaran

agregat akan menjadi vertikal pada tingkat output yang sesuai dengan

penggunaan tenaga penuh dari angkatan kerja. Asumsi yang mendasari bentuk

skedul yang vertikal ini adalah bahwa pasar tenaga kerja selalu berada pada

kondisi ekuilibrium karena tingkat upah akan menyesuaikan diri secara cepat guna

mempertahankan kondisi ekuilibrium.

Pada kasus keynesian, kurva penawaran agregat tidak vertikal karena

tenaga kerja lambat menyesuaikan upahnya untuk mempertahankan kondisi

ekuilibrium. Pada kasus yang ekstrim, kurva penawaran agregat horisontal, hal ini

(4)

yang ada), berapapun jumlah barang yang diminta. Gagasan yang mendasari

kurva penawaran agregat Keynesian ini adalah karena terdapat pengangguran,

perusahaan dapat memperoleh tenaga kerja sebanyak yang mereka perlukan

dengan upah yang berlaku sekarang. Karena itu, peningkatan biaya produksi

rata-rata mereka tidak berubah meskipun tingkat outputnya berubah.

2.1.3. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Keseimbangan Pemintaan Agregat dan Penawaran Agregat

Kasus klasik terjadi untuk perilaku perekonomian dalam jangka panjang.

Kasus Keynesian terjadi untuk perilaku perekonomian dalam jangka pendek,

karena dalam jangka pendek harga-harga bersifat kaku. Apabila terjadi ekspansi

fiskal dalam jangka pendek, misalnya pemerintah meningkatkan pengeluarannya

atau pemerintah memotong pajak maka dalam jangka pendek akan menggeser

kurva permintaan agregat ke kanan dari AD1 menjadi AD2, sehingga akan

meningkatkan output dari Y1 ke Y2. Apabila terjadi kontraksi fiskal, misalnya

pemerintah mengurangi pengeluarannya atau pemerintah meningkatkan pajak

maka dalam jangka pendek akan menggeser kurva permintaan agregat ke kiri dari

AD1 menjadi AD0 seperti pada Gambar 2.

(5)

Sumber: Mankiw (2002)

Gambar 3. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Panjang

Dalam jangka panjang, kebijakan ekspansi ataupun kontraksi fiskal akan

mempengaruhi harga jangka panjang tetapi tidak akan mempengaruhi output (Y)

jangka panjang. Misalkan perekonomian dimulai dalam ekuilibrium jangka

panjang pada titik A, kebijakan ekspansi pemerintah menyebabakan kurva

permintaan agregat bergeser ke atas dari AD1 menjadi AD2, dimana

perekonomian bergeser dari titik A ke titik D (output berada di atas tingkat

alamiah). Ketika harga naik, output secara berangsur-angsur kembali ketingkat

alamiah, dan perekonomian bergerak dari titik B ke E.

Sedangkan kebijakan kontraksi pemerintah menyebabkan kurva

permintaan agregat bergeser ke bawah dari AD1 menjadi AD0, dimana

perekonomian bergeser dari titik A ke titik B (output berada di bawah tingkat

alamiah). Ketika harga turun, perekonomian secara perlahan-lahan pulih dari

(6)

Sumber: Mankiw (2002)

Gambar 3. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Panjang

Dalam jangka panjang, kebijakan ekspansi ataupun kontraksi fiskal akan

mempengaruhi harga jangka panjang tetapi tidak akan mempengaruhi output (Y)

jangka panjang. Misalkan perekonomian dimulai dalam ekuilibrium jangka

panjang pada titik A, kebijakan ekspansi pemerintah menyebabakan kurva

permintaan agregat bergeser ke atas dari AD1 menjadi AD2, dimana

perekonomian bergeser dari titik A ke titik D (output berada di atas tingkat

alamiah). Ketika harga naik, output secara berangsur-angsur kembali ketingkat

alamiah, dan perekonomian bergerak dari titik B ke E.

Sedangkan kebijakan kontraksi pemerintah menyebabkan kurva

permintaan agregat bergeser ke bawah dari AD1 menjadi AD0, dimana

perekonomian bergeser dari titik A ke titik B (output berada di bawah tingkat

alamiah). Ketika harga turun, perekonomian secara perlahan-lahan pulih dari

(7)

2.2. Tinjauan Pustaka 2..2.1. Desentralisasi Fiskal

Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada daerah

adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Karena itu, perlu diatur perimbangan

keuangan (hubungan keuangan) antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk

membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Apabila dilihat dari sisi

keuangan negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa

konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar.

Perubahan dimaksud ditandai dengan makin tingginya transfer dana dari anggaran

pendapatan dan belanja negara (APBN) ke daerah.

Menurut Boediono (2002), kebijakan fiskal dilaksanakan melalui

kebijakan pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)

dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Dengan demikian tersirat

pengertian bahwa kebijakan fiskal dilakukan melalui kebijakan yang dilakukan

oleh pemerintah melalui: (1) kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan

pendapatan, dan (2) kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan pengelolaan

belanja.

2.2.2. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Sebelum terjadi desentralisasi fiskal, hubungan keuangan pusat dan daerah

diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 1956 kemudian diperbaharui oleh

Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan

daerah. Menurut Sidik (2002), pemikiran terhadap perlunya undang-undang yang

mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah timbul atas pengalaman selama

(8)

kepada daerah, terakhir berupa subsidi (untuk belanja rutin daerah) dan bantuan

berupa instruksi presiden (untuk belanja pembangunan daerah) sering kurang

jelas. Paling tidak, permasalahan yang sering timbul adalah: (1) aspek

perencanaan, dominannya peranan pusat dalam menetapkan prioritas

pembangunan (top down) di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders; (2)

aspek pelaksanaan, harus tunduk kepada berbagai arahan berupa petunjuk

pelaksanaan maupun petujuk teknis dari Pusat; dan (3) aspek pengawasan,

banyaknya institusi pengawasan fungsional, seperti Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jendral Departemen, Inspektur Jenderal

Pembangunan (Irjenbang), Inspektorat Daerah, yang satu sama lain dapat saling

tumpang tindih.

Menurut Boediono (2002), beberapa kelemahan tersebut di atas menjadi

bahan untuk pokok-pokok pemikiran tentang pembaharuan di bidang hubungan

keuangan pusat dan daerah. Oleh karena itu, lahirnya undang-undang hubungan

keuangan pusat dan daerah tidak bisa lepas kaitannya dengan upaya untuk

mendukung pelaksanaan otonomi daerah, efisiensi penggunaan keuangan negara,

serta prinsip-prinsip good governance seperti partisipasi, transparansi, dan

akuntabilitas.

Selanjutnya Boediono (2002) mengungkapkan, pelaksanaan otonomi

daerah yang mendukung efisiensi penggunaan keuangan negara dapat dilihat dari

sisi pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintahan yang bersifat lokal. Sebelum

otonomi daerah dilaksanakan, fungsi pemerintahan yang bersifat lokal (seperti

pembangunan prasarana yang manfaatnya hanya bersifat lokal) sering dikelola

(9)

besar daripada apabila fungsi tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah daerah.

Konsep good governance di bidang dana perimbangan sebagaimana diatur melalui

Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 paling tidak dapat dilihat dalam proses

pengambilan keputusannya. Perumusan alokasi dana perimbangan telah

melibatkan pihak universitas/pakar, kemudian sebelum ditetapkan dengan

Keputusan Presiden, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dewan

Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang mayoritas anggotanya berasal dari

pemerintah daerah. Kemudian selanjutnya produk dari keputusan tersebut dapat

diketahui semua lapisan masyarakat.

2.2.3. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan asli daerah terdiri atas: hasil pajak daerah, hasil retribusi

daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah

lainnya yang dipisahkan, lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Menurut

Simanjuntak (2001), kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi

pada zaman orde lama diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1957 tentang

Peraturan Umum Pajak Daerah dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1957 tentang

Peraturan Umum Retribusi Daerah serta peraturan perundang-undangan di bidang

perpajakan daerah dan retribusi daerah. Kedua undang-undang ini menyebabkan

bermunculannya berbagai jenis pajak dan retribusi baru. Jenis pajak dan retribusi

yang demikian banyak terutama karena daerah melihat potensi untuk

meningkatkan penerimaan adalah dari sekian jenis pajak/retribusi yang umumnya

kecil-kecil itu. Sebagaimana diketahui celah yang diberikan kepada daerah untuk

menggali penerimaannya adalah “lapangan pajak yang belum dipergunakan oleh

(10)

Selanjutnya Simanjuntak (2001) memberikan gambaran bahwa

Undang-Undang No. 11 Tahun 1957 tentang Peraturan umum Pajak Daerah mencatat 5

buah jenis pajak provinsi dan tidak kurang 20 jenis pajak kabupaten/kota. Karena

undang-undang ini memberi kewenangan kepada daerah untuk “menggali dan

mengembangkan jenis pajak baru”, maka dalam praktiknya jumlah pajak daerah

yang ada jauh lebih banyak dari itu, yaitu sekitar 40 jenis. Hal sama terjadi untuk

retribusi daerah. Peraturan yang berlaku dalam Undang-Undang No. 12 Tahun

1957 terdapat 36 jenis retribusi provinsi dan 58 retribusi daerah kabupaten/kota.

Dalam praktiknya, jumlah retribusi daerah di Indonesia saat itu tidak kurang dari

180 jenis. Masalahnya adalah sebagian dari pajak-pajak dan retribusi-retribusi

tersebut tidak efisien dan cenderung mendistorsi kegiatan ekonomi sehingga

mengganggu para pengusaha dan investor dalam melakukan kegiatannya di

daerah. Prosedur pembayaran dari pungutan yang beraneka ragam itu cenderung

rumit, tidak transparan dan kurang memiliki dasar pungutan yang kuat. Itulah

sebabnya Undang-Undang No. 18 tahun 1997 dikeluarkan dengan tujuan untuk:

(1) menyederhanakan jenis pajak dan retribusi daerah, (2) mengurangi ekonomi

biaya tinggi, (3) menata kembali beberapa jenis retribusi yang pada hakekatnya

bersifat pajak, dan (4) meningkatkan jumlah peneriman daerah (hanya) dari jenis

pajak/retribusi daerah yang potensial serta mencerminkan kegiatan ekonomi

daerah. Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 kemudian disempurnakan dengan

Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya

dengan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan

Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang retribusi daerah. Berbagai

(11)

penyempurnaan dan penyesuaian agar tidak mengganggu perekonomian. Tetapi,

tetap saja terjadi pembengkakan jumlah pungutan pajak dan retribusi seperti yang

dikemukakan oleh Fitrani, Hofman, and Kaiser (2005) yang mengemukakan

bahwa otonomi daerah telah menciptakan banyak pemekaran daerah baru. Setiap

daerah pemekaran ternyata juga menciptakan jenis pajak dan retribusi baru yang

menambah jumlah daftar pajak dan retribusi baru di Indonesia.

1. Pajak Daerah

Berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas

Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah, yang dimaksud

dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan

badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat

dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang

digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan

pembangunan daerah.

Lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan

retribusi daerah merupakan landasan hukum bagi pemerintah daerah dalam

mengeluarkan peraturan daerah untuk memungut pajak dan retribusi di daerahnya

masing-masing. Namun demikian peraturan daerah yang akan dikeluarkan

pemerintah daerah tentu tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, termasuk terhadap Undang-Undang No. 18 Tahun 1997

yang telah diamandemen melalui Undang-Undang No. 34 Tahun 2000.

Berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000, ada empat jenis pajak

provinsi dan tujuh jenis pajak kabupaten/kota. Pajak provinsi terdiri atas: (1) pajak

(12)

bermotor dan kendaraan di atas air, (3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor,

dan (4) pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

Rincian jenis pajak provinsi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis Pajak Provinsi menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah

(%)

No Jenis Pajak Tarif

Tertinggi

Tarif Final 1. Pajak Kendaraan Bermotor:

- Kendaraan bermotor bukan umum - Kendaraan bermotor umum

- Kendaratan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar

5 1.5

1.0 0.5

2. Pajak Kendaraan di atas air 5 1.5

3. Bea balik nama kendaraan bermotor: Penyerahan pertama:

a. kendaraan bermotor non umum b.kendaraan bermotor umum c. kendaraan alat-alat berat & besar

Penyerahan kedua dan seterusnyat: a.kendaraan bermotor non umum

b.kendaraan bermotor umum c.kendaraan alat-alat berat & besar

Penyerahan karena warisan: a. kendaraan bermotor non umum b. kendaraan bermotor umum c. kendaraan alat-alat berat dan besar

10 10 10 3 1 1 0.3 0.1 0.1 0.03 4. Bea balik nama kendaraan di atas air:

- penyerahan pertama - penyerahan kedua

- penyerahan karena warisan

10

5 1 0.1

5. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor 5

6. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air

bawah tanah 20

7. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air

pemukaan 10

Sumber: Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001

(13)

Adapun jenis pajak kabupaten/kota adalah sebagai berikut: (1) pajak hotel,

(2) pajak restoran, (3) pajak hiburan, (4) pajak reklame, (5) pajak penerangan

jalan, (6) pajak pengambilan bahan galian golongan C ,dan (7) pajak parkir.

Rincian jenis pajak kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 4. Undang-Undang

No. 34 Tahun 2000 telah menetapkan tarif pajak maksimal yang bisa dipungut

oleh provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian melalui Peraturan Pemerintah No.

65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, pemerintah menetapkan tarif final untuk

jenis-jenis pajak provinsi.

Tabel 4. Jenis Pajak Kabupaten/kota menurut Undang-UndangTahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah

No Jenis Pajak Tarif Tertinggi

(%)

1. Pajak Hotel 10

2. Pajak Restoran 10

3. Pajak Hiburan 35

4. Pajak Reklame 25

5. Pajak Penerangan Jalan 10

6. Pajak Penggalian Bahan Galian Golongan C 20

7. Pajak Parkir 20

Sumber: Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001

Selain jenis pajak daerah seperti yang disebutkan di atas, daerah melalui

peraturan daerah juga dapat menetapkan jenis pajak kabupaten/kota asalkan sesuai

dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Beberapa kriteria yang harus

dipenuhi dalam menciptakan pajak baru adalah sebagai berikut: (1) bersifat pajak

dan bukan retribusi, (2) objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah

kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah

serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang

(14)

kepentingan umum, (4) objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi

dan/atau objek pajak Pusat, (5) potensinya memadai, (6) tidak memberikan

dampak ekonomi yang negatif, (7) memperhatikan aspek keadilan dan

kemampuan masyarakat, dan (8) menjaga kelestarian lingkungan.

Jika suatu jenis pajak tidak mampu memenuhi kriteria di atas maka

pemerintah daerah tidak dapat memungut pajak kepada masyarakat. Oleh sebab

itu jenis pajak daerah sama pada semua daerah, kecuali retribusi yang bisa

tergantung pada banyaknya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.

Menurut Lewis (2006), setelah desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mengelola

pajak secara tidak efisien. Biaya rata-rata dari administrasi pajak sebagai

persentase dari penerimaan pajak tersebut diestimasi lebih dari 50 persen.

2. Retribusi Daerah

Selain pajak daerah, sumber pendapatan asli daerah juga meliputi retribusi

atau perijinan yang diperbolehkan dalam undang-undang. Retribusi daerah

merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang dipungut sebagai pembayaran

atau imbalan langsung atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah

kepada mayarakat. Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas

jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh

pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (Undang-Undang

No. 34 Tahun 2000).

Menurut Saragih (2003), Undang-Undang No. 12 Tahun 1957 tentang

Peraturan Umum Retribusi daerah memiliki beberapa kelemahan: (1) hasilnya

kurang memadai jika dibandingkan dengan penyediaan jasa oleh daerah, (2) biaya

(15)

dalam hal pengenaan, penetapan, struktur, dan besar tarif, (4) beberapa retribusi

pada hakekatnya bersifat pajak, karena pungutannya tidak dikaitkan secara

langsung dengan pelayanan pemda kepada pembayar retribusi, (5) adanya jenis

retribusi perijinan yang tidak efektif dalam usaha untuk melindungi kepentingan

umum dan kelestarian lingkungan, dan (6) adanya retribusi yang mempunyai

dasar pengenaan dan objek yang sama. Adanya kelemahan Undang-Undang

No.12 Tahun 1957 menyebabkan perlunya diperbaharui dengan Undang-Undang

No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 34

Tahun 2000.

Tabel 5. Objek atau Jenis Retribusi Daerah Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000

No Objek atau Jenis Retribusi Daerah

Prinsip atau kriteria pengenaan tarif

1. Retribusi Jasa

Umum

• Kebijakan daerah yang bersangkutan

• Besarnya biaya penyediaan jasa yang bersangkutan

• Kemampuan masyarakat

• Aspek keadilan

2. Retribusi Jasa Usaha Tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak 3. Retribusi Perijinan

tertentu

Tujuan untuk menutup sebagian/seluruh biaya penyelenggaraan ijin yang bersangkutan

Sumber: Undang-Undang No. 34 Tahun 2000

Berdasarkan undang-undang terbaru tersebut, ada tiga jenis retribusi

daerah, yaitu: (1) retribusi jasa umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan

atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan

umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan, (2) retribusi jasa

usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan

menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh

(16)

tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi

atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan

pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam,

barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan

umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Jenis-jenis retribusi jasa umum terdiri dari: (1) retribusi pelayanan

kesehatan, (2) retribusi pelayanan persampahan/kebersihan, (3) retribusi

penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte catatan sipil, (4) retribusi

pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat, (5) retribusi pelayanan parkir di tepi

jalan umum, (6) retribusi pelayanan pasar, (7) retribusi pengujian kendaraan

bermotor, (8) retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran, (9) retribusi

penggantian biaya cetak peta, dan (10) retribusi pengujian kapal perikanan.

Jenis-jenis retribusi jasa usaha terdiri dari: (1) retribusi pemakaian kekayaan daerah, (2)

retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan, (3) retribusi tempat pelelangan, (4)

retribusi terminal, (5) retribusi tempat khusus parkir, (6) retribusi tempat

penginapan/pesanggrahan/villa, (7) retribusi penyedotan kakus, (8) retribusi

rumah potong hewan, (9) retribusi pelayanan pelabuhan kapal, (10) retribusi

tempat rekreasi dan olah raga, (11) retribusi penyeberangan di atas air, (12)

retribusi pengolahan limbah cair, dan (13) retribusi penjualan produksi usaha

daerah. Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu terdiri dari: (1) retribusi izin

mendirikan bangunan, (2) retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol, (3)

retribusi izin gangguan, dan (4) retribusi izin trayek.

Menurut Saragih (2003), penggolongan retribusi berdasarkan

(17)

jenis pelayanan yang diberikan pemerintah daerah yang dapat dipungut retribusi

menjadi terbatas dan rasional sehingga pada tahap awal pelaksanaan

undang-undang ini berdampak pada penurunan penerimaan retribusi daerah. Menurut

Damuri et al (2003), undang-undang tersebut juga memberikan peluang

pemerintah daerah untuk menetapkan retribusi yang mendistorsi pasar dan

berbahaya bagi perdagangan domestik dan mengganggu investasi dan iklim bisnis

di daerah. Tetapi dampak negatif ini bisa dikurangi apabila pemerintah pusat

melakukan kebijakan pembatasan/seleksi terhadap retribusi daerah yang dapat

mengganggu perekonomian tersebut.

3. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Pendapatan daerah yang termasuk kelompok ini adalah pendapatan yang

tidak termasuk pajak daerah, retribusi daerah ataupun hasil perusahaan milik

daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan.

2.2.4. Dana Perimbangan

Dana perimbangan berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999

terdiri dari: (1) bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, (2) bea

perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam,

(3) dana alokasi umum, dan (4) dana alokasi khusus. Dimensi ekonomi-politik

hubungan keuangan dan daerah tercermin dalam proses pengambilan kebijakan

tentang dana perimbangan. Dana perimbangan yang merupakan instrumen

penyeimbang dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Saragih (2003)

mengemukakan beberapa model hubungan keuangan pusat dan daerah yang dapat

dijadikan sebagai alternatif pendekatan antara lain adalah: (1) By Percentage,

(18)

(PBB), royalti atau license fee, land rent, dibidang kehutanan dan pertambangan

umum serta pertambangan migas yang diberikan sebagian hasilnya kepada daerah

dengan persentase tertentu; (2) By Origin, yakni bahwa distribusi penerimaan ke

daerah di dasarkan pada atau menurut asal sumber penerimaan; (3) By Formula,

yakni distribusi penerimaan ke daerah yang didasarkan kepada suatu formula

tertentu atau mempertimbangkan faktor-faktor tertentu; by grant to reimburse:

artinya transfer keuangan kepada daerah untuk membiayai satu jenis pengeluaran

tertentu; dan (4) By Hoc Grants, yakni transfer keuangan yang didesain oleh

pemerintah pusat yang didasarkan pada antara lain alokasi prioritas nasional atau

alokasi tambahan yang ditujukan untuk tujuan tertentu untuk satu tahun anggaran

tertentu.

Berdasarkan berbagai pendekatan di atas, maka pendekatan dalam

merumuskan dana perimbangan untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi

adalah: by percentage of share sebagai pendekatan dalam menghitung bagi hasil

pajak dan non pajak (share taxes dan non taxes), by formula sebagai pendekatan

dalam menghitung dana alokasi umum (block grant) dan by hoc atau special grant

sebagai pendekatan dalam menghitung dana alokasi khusus (special grant) yang

sebagian besar didasarkan atas kebutuhan khusus atau yang sifatnya sangat

mendesak.

1. Dana Bagi Hasil

Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat

dan daerah dilakukan sistem bagi hasil. Pola bagi hasil ini dilakukan dengan

persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin). Bagi hasil

(19)

dan bangunan, dan bagi hasil sumber daya alam yang terdiri dari sektor kehutanan,

pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan.

Tabel 6. Proporsi Pembagian Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999

( %)

Lama Baru

No. Jenis Penerimaan

Pusat Prop Kab/

Kota Pusat Prop

Semua Kab/ Kota Kab/ Kota Penghasil Kab/ Kota Lain I Bagian daerah

1. Pajak bumi & bangunan (PBB)

2. Bea perolehan atas tanah & bangunan (BPHTB) 3. Pajak penghasilan (PPh)

perorangan 4. SDA kehutanan:

- Iuran hasil hutan (IHH) - Provisi sumber daya

hutan (PSDH)

5. SDA pertambangan

umum:

- royalti 3.3% dari 13.5% (batu bara + emas) - landrent (iuran tetap) 6. SDA migas: - royalti migas a. Minyak bumi b. gas alam 7. Agraria 8. Royalti perikanan - pungutan pengusaha perikanan (PPP) & pungutan hasil perikanan (PHP) 10 20 80 55 30 20 20 100 100 40 - 16.2 16 20 30 70 16 16 - - 40 - 64.8 64 - 15 - 64 64 - - 20 - 10 20 80 20 20 20 20 85 70 100 20 16.2 16 20 16 16 16 16 3 6 - - 64.8 64 - - - - - - - - 80 - - - 64 32 32 64 6 12 - - - - - - 32 32 - 6 12 - -

II (DAU) SDO dan Inpres 75 2.5 22.5 - -

III DAK Dialokasikan tergantung pada kebutuhan

(20)

Bagi hasil dialokasikan kepada daerah dengan persentase tertentu yang

diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No.

104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2001. Selanjutnya berdasarkan

Undang-Undang PPh yang baru (UU No. 17 Tahun 2000), mulai Tahun Anggaran 2001

daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi

(personal income tax), yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Karyawan (Pasal 21) serta

Pajak Penghasilan Orang Pribadi (Pasal 25/29). Ditetapkannya pajak penghasilan

Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan

penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya alam tetapi

memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara.

Dari Tabel 6 terlihat bahwa dana bagi hasil setelah desentralisasi fiskal

telah mempertimbangkan daerah penghasil, seperti pos iuran hasil hutan (IHH),

provisi sumber daya hutan (PSDH), royalti dan land rent sumber daya alam

pertambangan umum, dan royalti sumber daya alam migas. Selain

mempertimbangkan daerah penghasil, undang-undang yang baru ini memberikan

persentase bagi hasil yang lebih besar dari pada undang-undang sebelumnya untuk

beberapa pos.

2. Dana Alokasi Umum

Pola sistem bagi hasil berhasil mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat

dan daerah karena sebagian keuangan pusat telah di limpahkan ke daerah untuk

mendukung desentralisasi tetapi akan menimbulkan ketimpangan horizontal

(horizontal imbalance) antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini

(21)

daya alam secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam, pertambangan, dan

kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari pajak

bumi dan bangunan, bea perolehan atas tanah & bangunan, dan pajak penghasilan

perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa

daerah saja. Dana alokasi umum merupakan dana transfer dari pemerintah pusat ke

daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah.

Secara umum pada pemerintahan orde baru terdapat tiga jenis transfer

uang dari pusat ke daerah yaitu dalam bentuk subsidi daerah otonom, instruksi

presiden dan daftar isian proyek (DIP). Kedua jenis pertama merupakan bantuan

antar tingkat pemerintah daerah (intergovernmental grant) sebab menjadi

anggaran pemerintah daerah. Sementara daftar isian proyek diklasifikasikan

sebagai “in-kind” alocation, sebab walaupun dana mengalir ke daerah, namun

tidak termasuk ke dalam anggaran pemerintah daerah. Subsidi daerah otonom

adalah jenis bantuan dari pemerintah pusat untuk mendukung anggaran rutin

pemerintah daerah untuk membantu menciptakan perimbangan keuangan antar

tingkat pemerintahan. Oleh karena itu sebagian besar dana subsidi daerah otonom

(95 persen) untuk membiayai pegawai pemerintah di daerah. Sementara instruksi

presiden adalah bantuan untuk kegiatan pembangunan di daerah. Ada beberapa

instruksi presiden yaitu: Instruksi Presiden Daerah Tingkat I, Instruksi Presiden

Daerah Tingkat II, Instruksi Presiden Sekolah Dasar, Instruksi Presiden

Kesehatan, Instruksi Presiden Penghijauan dan Reboisasi, Instruksi Presiden

Pasar, Instruksi Presiden Peningkatan Jalan Provinsi, Instruksi Presiden untuk

(22)

Menjelang otonomi daerah diberlakukan sistem transfer dari pusat ke

daerah di Indonesia tidak mempunyai perbedaan yang berarti dengan pola subsidi

daerah otonom dan instruksi presiden. Istilah yang digunakan untuk transfer

selama tahun anggaran 1999-2000 adalah dana rutin daerah (DRD) untuk

pengganti subsidi daerah otonom dan dana pembangunan daerah (DPD) untuk

mengganti instruksi presiden. Dana pembangunan daerah tahun 1999/2000 terdiri

dari empat bagian yaitu dana pembangunan desa, dana pembangunan

kabupaten/kota, dana pembangunan provinsi dan jaring pengaman sosial (JPS).

Setelah otonomi daerah, dana rutin daerah dan dana pembangunan daerah

diganti dengan dana alokasi umum. Nilai dana alokasi umum meningkat

signifikan dibanding dengan pola lama karena jumlahnya paling tidak 25 persen

dari penerimaan dalam negeri pemerintah sesudah dikurangi bagian dari pajak dan

sumber daya alam yang diserahkan ke daerah. Jadi tujuannya lebih kepada

pemerataan.

Riyanto (2003) menjabarkan dana alokasi umum sebagai berikut. Formula

dana alokasi umum tahun 2001 disusun dari tiga komponen yaitu faktor

penyeimbang (FP) daerah, faktor formula dan faktor lum-sump. Faktor

penyeimbang untuk menghitung dana alokasi umum 2001 menggunakan patokan

“minimal sama dengan dana rutin daerah dan dana pembangunan daerah tahun

sebelumnya”. Demi menghindari tidak diterimanya pembagian dana tersebut oleh

daerah. Dalam formula, ini merupakan “faktor penyeimbang” untuk menjamin

tidak ada daerah yang mendapat transfer lebih rendah dari tahun sebelumnya.

Untuk faktor formula digunakan pendekatan fiskal gap yaitu selisih antara

Gambar

Gambar 1 menunjukan apabila terjadi peningkatan pengeluaran  pemerintah (G) sebesar  G Δ , maka AE akan bergeser dari AE 1  ke AE 2  sehingga  output akan meningkat dari Y 1  ke Y 2
Gambar 3. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Panjang
Gambar 3. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Panjang
Tabel 4.  Jenis  Pajak  Kabupaten/kota menurut Undang-UndangTahun 2000  tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan Pemerintah No
+3

Referensi

Dokumen terkait

SIMBOLISASI PERILAKU MANUSIA DALAM BENTUK BUNGLON diajukan oleh Samantha Wennie Farida, NIM 1011506022, Program Studi S-1 Kriya, Jurusan Kriya, Fakultas Seni Rupa

Pembuatan Aplikasi Pengenalan Budaya Sumatera untuk Anak-anak menggunakan Adobe Flash CS4, diharapkan mampu membuat proses belajar kebudayaan menjadi cukup menyenangkan untuk

Pada studi ini, kebutuhan ruang dihitung melalui jumlah kebutuhan pangan seluruh penduduk Provinsi Sumatera Utara yang disesuaikan dengan Sasaran Konsumsi Pangan

kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sisitematika bahasan. Bab kedua, bab ini membahas profil K.H. Muhammad Dawam Saleh dalam kehidupan

Keunggulan yang dimiliki oleh Flash ini adalah ia mampu diberikan sedikit code pemograman baik yang berjalan sendiri untuk mengatur animasi yang ada didalamnya atau

Tetapi tidak semua pernikahan berbeda etnis dapat berjalan dengan baik, karena perbedaan etnis yang terjadi menimbulkan hambatan dalam proses pelaksanaan pernikahan

ENSO menyebabkan variasi iklim tahunan. Ketika tahun ENSO, sirkulasi zonal di atas Indonesia divergen, sehingga terjadi subsidensi udara atas. Divergensi massa udara

 juga sangat berhubungan dengan konsentrasi zat kimia yang masuk ke dalam tubuh sehingga pada dosis yang aman makhluk hidup akan terhindar dari keracunan, sementara pada dosis