• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Enso pada Faktor Hujan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dampak Enso pada Faktor Hujan di Indonesia"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Matematika dan Sains

Vol. 8 No. 1, Maret 2003, hal 15 – 22

Dampak Enso pada Faktor Hujan di Indonesia

Bayong Tjasyono HK., dan Bannu

Program Studi Meteorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral

Institut Teknologi Bandung

Diterima Oktober 2002, disetujui untuk dipublikasikan Januari 2003

Abstrak

Wilayah Indonesia ditandai oleh aktivitas konveksi troposferik. Dalam peristiwa ENSO (El Niño –Southern Oscillation) awan-awan konvektif bergerak ke osean Pasifik timur akibat angin pasat melemah. Fenomena ENSO memainkan peranan paling besar dalam variasi iklim tahunan, sedangkan monsun memainkan peranan dalam variasi iklim musiman. Peristiwa ENSO juga mendatangkan bencana iklim yang serius secara global, seperti kekeringan di Indonesia, banjir di Ekuador, dan sebagainya.

Pengaruh ENSO sangat terasa di beberapa tempat wilayah Indonesia yaitu jumlah curah hujan lebih kecil dalam tahun ENSO dari pada dalam tahun pra dan pasca ENSO. Peristiwa ENSO juga menyebabkan musim kemarau panjang di beberapa tempat di Indonesia, ini berarti bahwa bercocok tanam padi menjadi sangat terlambat. Garis-garis kesamaan faktor hujan dengan nilai kurang dari 5 mencakup area yang lebih luas dalam tahun ENSO dari pada dalam tahun non ENSO.

Kata kunci : Faktor hujan, Sirkulasi zonal, ENSO Abstract

The Indonesian region is characterized by the activity of tropospheric convection. In the ENSO (El Niño –Southern Oscillation) event, the convective clouds displace to the eastern Pacific ocean due to the weakened trade winds. The ENSO phenomenon is the biggest player in the game of annual climate variation, while monsoon plays a role in the seasonal variations. The ENSO also brings about serious climate disaster in global area, for instance in the drought Indonesia, in the food Ecuador and so on.

The influence of ENSO events is profoundley felt in some parts of the Indonesian region, i.e., the number of rainfall less than that in the pre and post ENSO years. The ENSO event also causes long dry season in the several parts of the Indonesian region, it means that rice planting will be very late. The isolines of rain factor of the value less than 5 covered a greater area in the ENSO year than that in the non ENSO years.

Keywords : Rain factor, Zonal circulation, ENSO

1. Pendahuluan

Peristiwa El Niño berkaitan dengan indeks osilasi selatan negatif dan muncul secara periodik dengan periode sekitar 5 tahunan, sering disebut peristiwa ENSO (gabungan antara El Niño dan Southern Oscillation). ENSO merupakan manifestasi hubungan antara fluida atmosfer dan osean dalam evolusi gabungan melalui kopeling (perangkai) antar muka atmosfer dan osean pada samudera Pasifik tropis1).

Dampak ENSO di bumi sangat luas, dikaitkan dengan pergeseran sirkulasi tropis skala luas seperti sel Walker dan sel Hadley. Beberapa area di daerah tropis secara langsung dipengaruhi oleh kondisi kekeringan atau banjir bergantung pada kejadian fasa panas ENSO yaitu El Niño atau fasa dingin ENSO yaitu La Niña jika anomali temperatur permukaan laut di daerah Niño 3 dan Niño 4 positif atau negatif. Daerah kunci interaksi atmosfer – osean dalam ENSO

terletak antara Niño 3 dan Niño 4 yang sering disebut daerah Niño 3.5 yaitu daerah 1200B – 180, 50U – 100S2).

2. Atmosfer di atas Indonesia

Atmosfer Indonesia menunjukkan tidak stabil secara konvektif. Profil temperatur potensial ekivalen θe vertikal dari permukaan sampai lapisan di sekitar 700 mb menunjukkan atmosfer labil secara konvektif3). Gambar 1, menunjukkan profil vertikal temperatur potensial ekivalen rata-rata di atas Indonesia. Dari Gambar 1, terlihat bahwa sampai lapisan 700 mb, temperatur potensial ekivalen mengalami penurunan terhadap ketinggian. Sistem perawanannya didominasi oleh awan konvektif jenis cumulus yang dapat menjadi awan cumulonimbus (awan guruh) yang menghasilkan hujan lebat (shower), batu es (hail stone), kilat (lightning) dan guruh (thunder).

(2)

Gambar 1. Profil vertikal temperatur potensial ekivalen rata-rata di atas Indonesia.

Gambar 2. Sirkulasi zonal di atas Indonesia pada tahun ENSO.

Pada tahun ENSO terjadi subsidensi di atas wilayah Indonesia sehingga angin pasat melemah dan sirkulasi Walker menggeser awan-awan konvektif ke Pasifik bagian tengah dan timur. Gambar 2, menunjukkan sirkulasi zonal di atas wilayah Indonesia pada kondisi ENSO4). Seperti diketahui bahwa udara atas sedikit mengandung uap air sementara udara bawah yang mengandung banyak uap air disebarkan kearah zonal, sehingga subsidensi udara atas dalam tahun ENSO menyebabkkan jumlah curah hujan berkurang5).

3. Data dan Metodologi

Dalam riset ini, data diperoleh dari berbagai sumber yaitu Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta, Climate System Monitoring, WMO, Geneva, Internet ; http://sgi51.wwb.noaa, dan lain-lain. Data iklim yang dianalisis adalah jumlah curah hujan harian dan bulanan, temperatur bulanan dan data penunjang seperti tinggi geopotensial. Dari data iklim tersebut dihitung faktor hujan (R/T) dimana R adalah jumlah

curah hujan rata-rata tahunan dan T adalah temperatur rata-rata tahunan. Kemudian dibuat garis-garis kesamaan (isolines) faktor hujan dalam peta Indonesia pada tahun ENSO dan non ENSO. Dari data curah hujan harian dibuat grafik jumlah curah hujan pentad (5 harian) kumulatif mulai dari pentad ke 50 (awal September) sampai pentad ke 73 (akhir Desember) pada tahun ENSO dan tahun non ENSO, untuk stasiun Jakarta dan Bandung

4. Hubungan Monsun dan El Niño

Di daerah monsun, kebanyakan hujan terjadi dalam musim panas atau musim gugur belahan bumi, kecuali di sekitar ekuator yang mempunyai distribusi hujan maksima ganda. Curah hujan maksimum dalam musim panas berkaitan dengan intensifikasi tekanan rendah panas (heat – low). Jika geser angin (wind shear) vertikal dan konvergensi troposfer bawah keduanya kecil maka curah hujan disebabkan oleh Cumulus bermenara yang berkembang menjadi Cumulonimbus, hujan yang dihasilkan adalah hujan

(3)

JMS Vol. 8 No. 1, Maret 2003 17

deras (shower). Jika geser angin vertikal dan konvergensi troposfer bawah keduanya besar, maka curah hujan di daerah monsun disebabkan oleh Nimbostratus tebal bersamaan dengan Cumulonimbus. Meskipun intensitas hujan cukup besar tetapi pada umumnya langit mendung, sehingga hujan yang dihasilkan hanya pada tingkat hujan (rain)5).

Proses fisis El Niño dapat dijelaskan sebagai berikut : Ketika kondisi normal, angin pasat timuran mendorong air permukaan panas Samudera Pasifik ke bagian barat sampai Kepulauan Indonesia. Pada tahun El Niño 1997/1998, Satelit Topex / Poseidon mendeteksi perkembangan air panas di Samudera Pasifik bagian barat mencapai ketinggian 1 meter lebih tinggi dari pada di Samudera Pasifik bagian timur6). El Niño terjadi jika angin pasat ekuator melemah atau berbalik arah yaitu bertiup dari barat ke timur. Kondisi ini memungkinkan onggokan (pile) air panas yang bertahan pada pantai bagian barat Pasifik akan bergerak ke arah timur sepanjang ekuator. Ketika mencapai Amerika Selatan, onggokan air panas ini bergerak ratusan mil sepanjang pantai ke utara dan ke selatan. Dengan laut yang panas maka terjadi evaporasi dan presipitasi pada area tersebut. Dampak ENSO menyebabkan banyak tempat-tempat di bumi menderita cuaca yang sangat beda terhadap kondisi normalnya. Perubahan angin pasat yang menjurus pada kejadian El Niño masih belum dipahami sepenuhnya. Kemungkinan adanya pusaran Halmahera pada ARLINDO (the Indonesian throughflow), dan akibat gaya gesekan tidak dapat menahan lagi onggokan massa air laut panas yang semakin tinggi, sehingga onggokan air panas ini bergeser kearah timur bersamaan dengan arus balik ekuatorial7,8).

Permulaan dan panjangnya musim hujan dan musim kemarau di Wilayah Indonesia tidak selalu sama dari tahun ke tahun, meskipun fenomena monsun adalah periodik. Hal ini menunjukkan bahwa selain dipengaruhi oleh monsun Australasia, iklim di Indonesia juga dipengaruhi fenomena alam lain baik global misalnya ENSO maupun fenomena lokal seperti efek orografik9). Dari pengamatan sifat curah hujan selama 40 tahun (1961 – 2000) diperoleh bahwa lebih dari 80% bencana kekeringan disebabkan oleh fenomena ENSO dan sisanya kurang dari 20% disebabkakn oleh gejala alam lain misalnya monsun timur10).

5. Dampak ENSO Terhadap Faktor Hujan a. ENSO dan Curah Hujan

Dalam tahun ENSO terjadi divergensi massa udara di atas Indonesia, sehingga udara atas yang lebih kering akan turun (subsiden). Kondisi semacam ini menyebabkan jumlah curah hujan dalam tahun ENSO lebih kecil dibandingkan dalam tahun pra dan pasca ENSO. Gambar 3, menunjukkan distribusi zonal curah hujan tahunan di Wilayah Indonesia pada pra – ENSO, tahun ENSO dan pasca – ENSO. Jumlah curah hujan lebih kering pada tahun ENSO dari pada curah hujan

dalam tahun-tahun non ENSO. Kecilnya jumlah curah hujan di Indonesia dalam tahun ENSO disebabkan oleh divergensi udara permukaan dan subsidensi udara atas.

b. ENSO dan Faktor Hujan

Faktor hujan didefinisikan sebagai hasil bagi antara jumlah curah hujan tahunan (mm) dan temperatur udara rata-rata tahunan (K). Dengan demikian faktor hujan dapat ditulis menurut ekspresi berikut :

F = R/T dimana :

R : jumlah curah hujan tahunan (mm) T : temperatur udara rata-rata tahunan (K)

Arti fisis dari faktor hujan adalah jika jumlah curah hujan rata mengecil tetapi temperatur rata-rata tetap atau jika jumlah curah hujan rata-rata-rata-rata tetap tetapi temperatur rata-rata naik maka faktor hujan menjadi kecil, sehingga daerah tersebut kurang basah bahkan cenderung kering.

Batas antara kondisi kering dan basah adalah 5,0 dengan mempertimbangkan unsur iklim curah hujan dan temperatur di atas Indonesia. Gambar 4, menunjukkan distribusi zonal anomali faktor hujan dan Gambar 5, menunjukkan garis-garis kesamaan faktor hujan di Wilayah Indonesia dalam pra – ENSO, tahun ENSO dan pasca – ENSO. Pada tahun ENSO nilai faktor hujan lebih kecil dan peta garis-garis kesamaan faktor hujan dengan nilai < 5 lebih luas pada tahun ENSO dari pada tahun-tahun non ENSO. Ini berarti ENSO menimbulkan defisiensi hujan bahkan kekeringan di sebagian besar tempat-tempat di Indonesia.

Hujan di wilayah Indonesia disebabkan oleh monsun barat dari benua Asia. Kawasan Timur Indonesia lebih dipengaruhi oleh sel tekanan udara di atas Tahiti dan Darwin (indeks osilasi selatan) atau kolam panas samudera Pasifik ekuatorial pada tahun El Niño. Gambar 4a, menunjukkan respon ENSO terhadap faktor hujan lebih tegas (anomali negatif faktor hujan) dalam Kawasan Timur Indonesia yang terletak di sebelah timur ARLINDO dari pada kawasan barat Indonesia (anomali negatif dan positif faktor hujan).

c. Pengaruh ENSO pada Musim Tanam

Musim tanam padi mulai jika jumlah curah hujan kumulatif mencapai 350 mm12). Gambar 6, menunjukkan curah hujan kumulatif untuk stasiun Jakarta dan Bandung pada pra – ENSO 1996, tahun ENSO 1997, dan pasca – ENSO 1998. Jelas bahwa pada tahun ENSO musim tanam padi sangat terlambat sampai mencapai akhir November bahkan bulan Desember tanpa bantuan irigasi. Curah hujan kumulatif dari pentad ke 50 (awal September) sampai pentad ke 73 (akhir Desember) menunjukkan bahwa

(4)
(5)

JMS Vol. 8 No. 1, Maret 2003 19

Keterangan : ALI : Arus Lintas Indonesia, PM : Pusaran Mindanau PH : Pusaran Halmahera, AES : Arus Ekuator Selatan ABEU : Arus Balik Ekuator Utara

Gambar 4a. Anomali faktor antara Tahun ENSO (1977) dan Pra ENSO (1996).

Keterangan : ALI : Arus Lintas Indonesia, PM : Pusaran Mindanau PH : Pusaran Halmahera, AES : Arus Ekuator Selatan ABEU : Arus Balik Ekuator Utara

(6)
(7)

JMS Vol. 8 No. 1, Maret 2003 21

Gambar 6a. Jumlah curah hujan kumulatif dari pentad ke 50 sampai dengan pentad Ke 73, untuk stasiun Jakarta.

(8)

fenomena ENSO menyebabkan sebagian besar atau seluruh musim pancaroba menjadi musim kamarau, sehingga musim kemarau lebih panjang dari pada kondisi normal. Musim kemarau telah mulai, jika jumlah curah hujan dalam 1 dekad (dasarian) dan dekad berikutnya kurang dari 50 mm.

6. Pembahasan dan Kesimpulan

ENSO menyebabkan variasi iklim tahunan. Ketika tahun ENSO, sirkulasi zonal di atas Indonesia divergen, sehingga terjadi subsidensi udara atas. Divergensi massa udara mengakibatkan awan-awan yang terbentuk bergeser ke Pasifik tengah dan timur, sehingga di atas Indonesia terjadi defisiensi curah hujan bahkan dapat terjadi bencana alam kekeringan.

Keterlambatan musim tenam padi terjadi pada waktu tahun ENSO dibandingkan dalam kondisi normal atau tahun-tahun non ENSO. Tahun ENSO menyebabkan musim tanam padi dimulai pada akhir November bahkan Desember11,12). Tanpa bantuan irigasi maka produksi pangan akan turun. Tahun ENSO juga mengakibatkan musim kemarau panjang atau musim hujan pendek, karena musim pancaroba sebagian atau seluruhnya masuk ke dalam musim kemarau dengan definisi jumlah curah hujan satu dekad < 50 mm.

Defisiensi curah hujan mengakibatkan penurunan faktor hujan pada tahun ENSO dibanding pada tahun-tahun non ENSO. Karena variasi curah hujan bulanan, musiman dan tahunan di Indonesia jauh lebih besar dari pada temperatur maka secara praktis faktor hujan lebih dipengaruhi oleh jumlah curah hujan dari pada temperatur udara.

Berdasarkan analisis curah hujan pra ENSO 1996, tahun ENSO 1997 dan pasca ENSO 1998 dapat disimpulkan bahwa letak geografis suatu tempat akan menentukan respon aktivitas ENSO, karena itu dampak ENSO terhadap faktor hujan di Indonesia bergantung pada kondisi lokal. Dalam musim kemarau dan musim pancaroba dampak ENSO terhadap curah hujan sangat signifikan, ini disebabkan oleh interaksi antara fenomena ENSO dan monsun musim dingin Australia. Pengaruh ENSO terhadap curah hujan dalam daerah monsun lebih tegas dari pada daerah sekitar ekuator yang lebih dipengaruhi oleh konveksi pada waktu ekinoks, sehingga daerah ekuator masih menunjukkan distribusi curah hujan bulanan maksima ganda.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini dibiayai oleh dana RUT VIII, dengan kontrak No. 097.12/SK/RUT/2002, KMNRT – LIPI, Jakarta.

Daftar Pustaka

1. Bjerknes, J., “Atmospheric telecomunication from the equatorial Pacific”, Mon. Weather Rev., 97, 163 – 172, (1969).

2. Trenberth, E. E., & Hool, T. J., “The 1990 – 1995 El Niño – Southern Oscillation event”, Proc. Symposium on Global Ocean – Atmosphere – Land System (GOALS), 84 – 87, Atlanta, (1996). 3. Bayong, T.J.H.K. “Kaji Awan Konvektif

Berdasarkan Pengukuran Radiosonde”, J. IPTEK Cuaca dan Iklim, BPPT, Jakarta, (1997).

4. Webster, J. P. “Large Scale Dynamical Processes in Atmosphere”, Academic Press Tokyo, 1983. 5. Ramage, C. S. “Monsun Meteorology”, Academic

Press, New York, 1971.

6. NASA, “Rise and Fall of the 1997/1998 El Niño as Tracked by Topex/Poseidon Satellite”, JPL,

11, 400, (1998).

7. Bayong, T.J.H.K. “Apakah ARLINDO berperan dalam Sistem Iklim di Indonesia”, Pros. Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim Nasional, LAPAN, Bandung, (2002).

8. Meyers, G. “Variation of Indonesian throughtflow and the ENSO”, J. Geophys. Res., 101 : C5, 1255, (1996).

9. Bayong, T.J.H.K. “Orografic effect on the Rainfall over Java in The SE Monsoon Period”, Proc. of The International Conference on The Scientific Result of The Monsoon Experiment, WMO, Geneva, (1982).

10. Bayong, T.J.H.K., The H. L., Winarso, P. A., Zadrach L. D., Kartika, L., & Plato M. S. “Mekanisme bencana alam kekeringan di Benua Maritim Indonesia”, Laporan RUT VIII.1, KMNRT – LIPI, Jakarta, 2001.

11. Bayong, T.J.H.K., & Musa A. M. “Seasonal rainfall variation over monsoonal areas”, JTM, 7 : 4, 215, (2000).

12. Schmidt, F. H., & Van der Vecht, J. “East monsoon fluctuation in Java and Madura during the period 1880 – 1940”, Verhandelingen, 43, Jakarta, (1952).

Gambar

Gambar 1. Profil vertikal temperatur potensial ekivalen rata-rata di atas Indonesia.
Gambar 3. Distribusi zonal curah hujan pada pra –ENSO 1996, tahun ENSO 1997, dan pasca –ENSO 1998
Gambar 4a. Anomali faktor antara Tahun ENSO (1977) dan Pra ENSO (1996).
Gambar 5. Peta garis-garis kesamaan faktor pada pra –ENSO 1996, tahun ENSO 1997, dan pasca – ENSO 1998
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini membahas mengenai karyawan mampu menyampaikan layananannya secara benar, memenuhi janjinya secara akurat dan andal kepada pelanggan yang direfleksikan ke

Kondisi tersebut menunjukkan persaingan yang dihadapi kalangan PTS menjadi sangat ketat, sehingga sebagian pengelola PTS berusaha keras untuk membangun loyalty di

multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat

Maka dari itu berdasarkan penjelasan pemimpin tentang bagaimana cara ia memimpin karyawannya dan dihubungkan dengan tabel 1.2 tentang kondisi sebenarnya yang dialami atau

Lebih lanjut, Pemerintah telah mengatur pemberian pinjaman untuk mendukung proyek dengan skema KPBU dan proyek yang mendapatkan pinjaman langsung. Peraturan

Maka dari itu, setidaknya ada beberapa prinsip penafsiran kontekstual (hermeneutika) Abdullah Saeed yang harus dipahami. Prinsip-prinsip ini penulis simpulkan untuk

Apabila bank memperoleh dana sebagian besar berupa deposito berjangka dan dana-dana mahal lainnya, tentu akan menimbulkan pula biaya yang tinggi. Apabila biaya ini

Implementasi sistem informasi akan melibatkan semua aktivitas organisasi yang berhubungan dengan penggunaan dan manajemen dari sistem informasi tersebut sehingga menyebabkan