• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci : konstitusi, amandemen, tiga alternatif.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci : konstitusi, amandemen, tiga alternatif."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Yasin Baidi ••••

Abstrak

Secara historis, keberadaan konstitusi Indonesia selama ini memang dibuat untuk sementara dan pembentukannya pun tidak secara demokratis. Demikian pula, beberapa konstitusi yang pernah ada ternyata juga tidak mampu menjamin tegak dan berlangsungnya sustainable democracy. Bahkan, konstitusi yang paling lama berlaku, yakni UUD 1945, justru terbukti melahirkan warna dan corak demokrasi yang beragam tergantung siapa yang memegang tampuk kekuasaan pada saat itu. Namun, atas desakan arus reformasi dilakukanlah perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945, bahkan hingga empat kali. Meskipun demikian, secara konseptual, muncul pertanyaan: apakah kemudian tetap dimungkinkan ada perubahan lagi.

Pada dataran ini muncullah tiga point of view: (1) mereka yang ingin kembali lagi ke UUD 1945 yang ‘asli’, (back to basic) (2) mereka yang ingin tetap mempertahankan perubahan yang sudah ada sekarang ini yakni cukup sampai perubahan keempat saja, dan (3) mereka yang ingin tetap melanjutkan perubahan-perubahan, yakni tidak cukup jika hanya sampai perubahan keempat saja. Tulisan ini akan mengelaborasinya dengan asumsi bahwa perubahan ini sudah cukup. Hal ini dikarenakan keempat perubahan tersebut tidak saja karena dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama tetapi juga dikerjakan oleh mereka-mereka yang memang berhak untuk itu disertai kapabelitas yang memadai. Ditambah lagi, sebaik apapun sebuah peraturan, tidak terkecuali UUD, pelaksanaannya sangat tergantung kepada integritas dan kapabilitas orang yang melaksakanannya. Intinya: the man behind the gun, bukan perubahan itu sendiri.

Kata kunci : konstitusi, amandemen, tiga alternatif.

A. Pendahuluan: Idealisasi sebuah

Sustainable Democracy

Sebagaimana sudah dimaklumi, pondasi yang paling tepat dan kokoh

bagi terciptanya sebuah demokrasi yang berkelanjutan (sustainable

democracy) adalah tegaknya negara konstitusional (constitutional state) yang berbasis pada sebuah konstitusi yang kokoh yang pada gilirannya dapat melindungi dirinya dari berbagai ancaman, baik dari dalam maupun dari luar pemerintahan. Konstitusi yang kokoh yang mampu menjamin tegaknya demokrasi yang berkelanjutan hanyalah konstitusi yang tidak saja mengatur secara rinci batas-batas kewenangan dan kekuasaan

(2)

lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara seimbang dan saling

mengawasi (checks and balances) namun juga pada saat yang bersamaan

mampu memberikan jaminan yang cukup luas bagi berbagai hak warga

negara dan hak asasi manusia (HAM).1 Di sisi lain, konstitusi yang kokoh

tidak saja harus mampu menjamin berkelanjutannya sebuah demokrasi

namun juga harus legitimate. Jadi, tentu saja proses pembuatannya haruslah

sedemokratis mungkin dalam arti dapat diterima dan sekaligus didukung sepenuhnya oleh seluruh elemen bangsa dari berbagai aliran, faham,

aspirasi, dan kepentingan yang ada di dalamnya.2

Dalam konteks pengalaman historis, ternyata selama lima puluh delapan tahun merdeka (1945-2003), Indonesia belum pernah memiliki model konstitusi yang seperti itu. Ternyata secara hakiki, berbagai model konstitusi yang pernah mewarnai perjalanan sejarah berbangsa dan bernegara di Indonesia memang didesain bersifat sementara ditambah lagi

proses pembentukannya pun tidak secara demokratis.3 Di samping itu,

semua model konstitusi yang pernah dimiliki Indonesia ternyata juga tidak

mampu menjamin tegak dan berlangsungnya sustainable democracy. Bahkan,

konstitusi yang paling lama berlaku—yakni UUD 1945—justru terbukti

melahirkan corak demokrasi yang berbeda-beda sesuai dengan siapa yang

menjadi penguasa pada saat itu.4

Berdasarkan paparan argumentatif di atas dan didasari oleh fakta bahwa betapa urgennya Indonesia untuk sesegera mungkin memiliki

1A. Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi, cet. 1, (Malang: In-TRANS, 2003), p. v.

2 Ibid.

3 Sebuah ‘eksperimen’ untuk memebuat konstitusi permanen yang demokratis pernah dilakukan oleh Badan Konstituante --antara 1956-1959-- yang kesemua anggotanya dipilih secara demokratis pada 1956 tetapi mengalami kegagalan yang pada gilirannya kemudian mendorong lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. A. Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi, pp. v-vi. Lihat juga J.C.T. Simorangkir, Penetapan UUD Dilihat dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), pp. 144-158. karena sementara sifatnya maka di dalamnya mengandung berbagai kelemahan, ketidakcocokan dan ketidaksesuaian dengan dinamika berbangsa dan bernegara di Indonesia. Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, cet. 1, (Yogyakarta: FH UII Yogyakarta, 2004), p. 2.

4Yakni Demokrasi Parlementer (1945-1949), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Demokrsi Pancsila/Orde Baru (1966-1998), dan Demokrasi ‘Reformasi’ (1998-sekarang), di mana demokrasi yang terakhir ini sering juga disebut sebagai ‘demokrasi transisi menuju demokrasi’. Tentu saja hal ini berimplikasipada betapa compang-campingnya aturan main tentang sistem ketatanegaraannya: (a) UUD 1945 ‘periode I’ (1945-1949), (b) Konstitusi RIS (1949-1950), (c) UUD Sementra 1950 (1950-1959), (d) UUD 1945 ‘periode II’ (Dekrit 1959-1999), dan (e) UUD 1945 ‘Pasca Perubahan 1-4 (1999-sekarang). A. Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi, p. vi.

(3)

konstitusi baru demi tegaknya ‘Indonesia Baru’ dengan berbasis pada paradigma berbangsa dan bernegara yang juga baru dengan tujuan

menjamin sustainable democracy maka terjadilah perubahan atau amandemen

terhadap UUD 1945, dari perubahan pertama hingga keempat. Namun pasca perubahan keempat ini ternyata berimplikasi pada munculnya

pro-kontra5 berbagai sikap, pandangan, dan tanggapan dari berbagai elemen

kalangan anak bangsa ini. Dalam konteks ini paling tidak terkristalisasi

menjadi tiga point of view: (1) mereka yang ingin kembali lagi ke UUD 1945

yang ‘asli’, (back to basic)6 (2) mereka yang ingin tetap mempertahankan

perubahan yang sudah ada sekarang ini yakni cukup sampai perubahan

keempat saja,7 dan (3) mereka yang ingin tetap melanjutkan

perubahan-perubahan,8 yakni tidak cukup jika hanya sampai perubahan keempat saja.

Tulisan berikut—dengan berbagai alasan argumentatif,

asumsi-asumsi yang dipakai, dan prediksi-prediksi historis dianut—akan

mengelaborasi secara seksama bahwa perubahan yang terjadi pada UUD 1945 cukup sampai perubahan keempat saja, tidak perlu ada perubahan lagi setelah itu. Alasannya, karena apa yang sudah ada sekarang ini di samping sudah digogok dan dirumuskan secara saksama oleh para wakil rakyat yang ‘luar biasa’ juga telah dikaji, ditelaah, dan dirasionalisasikan dalam tempo yang ‘cukup lama’.

B. Konstitusi: Makna, Fungsi, dan Substansi

Secara sosio-antropologis, karena termasuk katagori zoon politicon,

manusia mempunyai kecenderungan untuk selalu hidup berkelompok

5 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, cet. 1, (Yogyakarta: UII Press, 2001), p.

6Hal ini, menurut mereka, di samping UUD 1945 yang asli merupakan hasil karya para founding fathers bangsa ini yang tahu betul hal-ihwal bangsa ini juga karena tampak bahwa perubahan yang terjadi justru semakin memperburuk perikehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Misalnya, perubahan yang terjadi jelas-jelas terjebak pada kepentingan jangka pendek para elite partai di parlemen dan format legal drafting-nya tidak sistematik, tidak terpola, dan sangat membingungkan sehingga pada gilirannya sangat menyulitkan pemahaman. Syamsuddin Haris, Ifdal Kasin, dan Wiwoho dalam ”Amandemen Cek Kosong” dalam http://www.gatra.com/artikel/ php?id=102245.

7 Alasan mereka, perubahan yang sekarang sudah ada sudah merupakan hasil kompromi secara maksimal dari seluruh komponen anak bangsa ini dan sudah digali serta dipikirkan secara matang.

8Dengan alasan agar perubahan-perubahan selanjutnya menjadikan perkehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia bisa lebih baik lagi. Hal ini dikarenakan, bagaimanapun juga, perubahan yang sekarang sudah ada masih dianggap menyisakan berbagai masalah yang segera haris diselesaikan. Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandeman Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), pp. xi-xii.

(4)

seraya membentuk sebuah komunitas. Ketika komunitas sudah terbentuk kemudian muncul kecenderungan lain yaitu rasa ingin menjadi yang ‘paling kuat’ dan sebagai ‘pemenang’ (baca: raja) yang pada giliran selanjutnya berkeinginan untuk menjadi ‘penguasa’ yang mampu mengendalikan orang atau kelompok lainnya. Ketika seseorang atau sekelompok orang tadi sudah menjadi penguasa dan mampu mendapatkan kekuasaan maka secara psikologis ia (mereka) selalu berprinsip untuk ‘melanggengkan’ dan melestarikan kekuasaannya itu. Pada dataran ini,

paradigma status quo menjadi sangat penting. Jika ada pihak yang ingin

mengganggu status quo ini maka perlu dihadang dengan berbagai cara, jika

perlu dengan perang. Muncullah, misalnya, adagium homo homini lupus

(manusia adalah serigala bagi manusia yang lain) dan bellum omnium contra

omnes (peperangan semua melawan semua).9

Namun seiring dengan perjalanan sejarah umat manusia, latar sosio-antropologis tadi semakin lama semakin rasional. Kekuasaan ‘raja’ (penguasa) harus dikendalikan, harus diatur. Muncullah hukum tatanegara dan pada gilirannya muncullah apa yang disebut dengan negara hukum. Pada konteks ini, awalnya, diadakanlah semacam perjanjian atau kontrak sosial untuk menyerahkan kekuasaan itu pada mereka (baca: raja) yang

berkuasa—model aristokrasi—agar sepenuhnya bisa berbuat adil dan tidak

sewenang-wenang—model timokrasi—dengan maksud supaya ada

kontrol, bahkan kompromi antara penguasa dan agama/gereja. Namun,

secara historis, model seperti ini gagal.10

Kemudian pada abad XIX muncullah konsep negara hukum yang ide dasarnya adalah bahwa untuk ‘menjinakkan’ kekuasaan ternyata tidak cukup jika hanya terwadahi dalam institusi negara semata-mata namun negara harus punya cabang-cabang kekuasan (Montesque: legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang dituangkan dalam sebuah doktrin

undang-undang dasar. Itulah yang disebut sebagai konstitusi.11

Ada banyak definisi yang ditawarkan tentang konstitusi ini. Brian Thompson secara sederhana menyatakan bahwa

…a constitution is a document which contains the rules for the operation of an organization.12

9 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, cet. 1, (Yogyakarta: Total Media, 2007), pp. 4-6.

10Ellydar Chaidir, Hukum, p. 7. 11Ellydar Chaidir, Hukum, pp. 7-8.

12Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, 3rd edition, (London: Blackstone Press, 1997), p. 3.

(5)

Definisi ini menekankan bahwa kebutuhan akan adanya naskah konstitusi tertulis merupakan sesuatu yang sangat signifikan bahkan sebuah keniscayaan, terutama organisasi yang berbentuk badan hukum (legal entity), apalagi sebuah negara.13 Sedangkan khusus dalam konteks

negara, Phillips Hood dan Jackson mengatakan bahwa konstitusi adalah

…a body of laws, customs, and conventions that difine the composition and powers of the organs of the state and that regulate the relations of the various state organs to one another and to the private citizen.14

Dapat dikatakan bahwa semua kontitusi selalu menjadikan kekusaan sebagai pusat perhatiannya karena kekuasaan itu sendiri pada intinya, sebagaimana latar sosio-antropologis di atas, memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini Duchacek menyatakan bahwa

constitutions identify the sources, purposes, uses, and restraints of publick power.15

Oleh karena itu, pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi. Artinya, persoalan penting, mendasar, dan pokok dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan pemerintahan yang pada

pokoknya berbasis pada tiga elemen kesepakatan (consensus) dasar, yakni:

(1) kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of

society or general acceptance of the same philosophy of government),

(2) kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau

penyelenggaraan negara (the basis of government), dan

(3) kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur

ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).16

Maka pada titik inilah wajar jika dianggap bahwa konstitusi itu merupakan hukum dasar yang mengikat yang didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam sebuah negara.

Sementara itu, ketika berbicara tentang fungsi konstitusi, paling tidak

Jimly Asshiddiqie menyebutnya ada lima. Pertama, konstitusi menentukan

pembatasan terhadap kekuasaan. Kedua, konstitusi memberikan legitimasi

13 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: KONpress, 2005), p. 19.

14 O. Hood Phillips, Constitutional and Administrative Law, 7th edition, (London: Sweet and Maxwell, 1987), p. 5.

15 Ivo D. Duchacek, “Constitution/Constitutionalism” dalam Bogdanor (ed.),

Blackwell’s Encyclopaedia of Political Science, (Oxford: Blackwell, 1987), p. 142. 16Jimly Asshiddiqie, Konstitusi, pp. 25-26.

(6)

terhadap kekuasaan pemerintahan. Ketiga, konstitusi merupakan instrument untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan

(rakyat, raja) kepada organ-organ kekuasaan negara. Keempat, konstitusi

merupakan sebagai kepala negara simbolik. Kelima, konstitusi merupakan

kitab suci simbolik dari suatu agama civil atau syari’at negara (civil religion).17 Berdasarkan paparan di atas sebenarnya dapat dipahami bahwa

substansi konstitusi tidak lain dan tidak bukan adalah 'aturan main' (the rule

of game) atau prosedural dalam perikehidupan politik, yakni politik

ketatanegaraan.18

C. Perubahan UUD 1945: Konsep, Latar Belakang, Materi, dan Batasan

Terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk memaknai perubahan ini, yakni perubahan, penggantian, dan amandemen dengan

stressing maknanya masing-masing. Namun dalam konteks politik di Indonesia, sebagai hasil kompromi, dipakailah istilah perubahan, bukan penggantian yang berkonotasi total. Sementara istilah amandemen, yang secara historis berasal dari tradisi Amerika, berarti perubahan tersendiri yang dilampirkan menjadi satu bagian tak terpisahkan dari naskah aslinya.

Substansi perubahan di sini bukan saja dimaknai sebagai ’bunyi dan isinya menjadi lain’ namun juga berarti ’mengandung sesuatu yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan dalam UUD yang sebelumnya tidak terdapat di dalamnya'. Artinya, mengubah tidak hanya mengandung arti menambah, mengurangi, atau mengubah kata-kata, kalimat-kalimat, atau istilah-istilah dalam sebuah UUD melainkan berarti membuat isi ketentuan UUD menjadi ’lain’ dari semula melalui

penafsiran.19 Sementara secara teoretis, ada dua istilah penting sehubungan

dengan perubahan ini. Pertama, verfassungswandlung yang berarti perubahan

makna atau penafsiran termasuk penambahan-penambahan ketentuan

dalam sebuah konstitusi. Makna ini lebih sebagai ’penyesuaian’. Kedua,

verfassungsanderung yang berarti perubahan dalam arti yang sesungguhnya

17Jimly Asshiddiqie, Konstitusi, pp. 29-30.

18 Mahfud MD, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, cet. 1, (Yogyakarta: UII Press, 1999), p.70.

19Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1984), p. 1. Sebagai tambahan, menurut Taufiqurrohman, paling tidak ada tujuh istilah untuk menerangkan tentang perubahan konstitusi ini yaitu amandement (perubahan), revision

(perbaikan), alteration (perubahan), reform (perbaikan), change (pergantian), modified

(modifikasi), dan review (tinjauan). Taufiqurrohman, Prosedur Perubahan Konstitusi (Perubahan UUD Ri Tahun 1945 dan Perbandingannya dengan Konstitusi Negara Lain), Disertasi Fakultas Hukum UI Jakarta, 2003, p. 102.

(7)

yaitu perubahan yang menyangkut pokok-pokoknya, asas-asasnya, bentuk

negara, dan bahkan sistem pemerintahannya.20

Dalam hal ini, di samping istilah yang digunakan adalah ’perubahan’, masih ditambah lagi bahwa perubahan itu pun harus dilandasi oleh lima hal pokok sebagai hasil kompromi politik dari tujuh partai pemenang pemilu 1999 yakni (1) tidak merubah Pembukaan UUD 1945, (2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indoesia, (3) mempertegas sistem pemerintahan presidensial, (4) meniadakan Penjelasan UUD 1945 dan memasukkan hal-hal normatif dalam Pembukaan ke dalam

pasal-pasal, dan (5) dilakukan secara addendum.21

Secara historis-akademis sebenarnya gagasan tentang perlunya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945 di kalangan pakar politik dan hukum tata negara sudah lama bergulir. Paling tidak ada dua alasan

pokok yang mendasarinya. Pertama, si pembuatnya memang secara sadar

membuat UUD 1945 ini dengan maksud untuk sementara22 saja, bukan

permanen. Kedua, dalam kenyataannya, selama Indonesia menganut dan

menggunakan UUD 1945 tidak pernah menampilkan pemerintahan yang

demokratis.23 Itu artinya bahwa bagaimanapun UUD 1945 haruslah

dipersoalkan kembali.

Latar belakang alasan perubahan ini lebih signifikan lagi jika dicermati secara saksama bahwa UUD 1945 banyak memiliki kelemahan. Menurut Mahfud, paling tidak ada empat kelemahan yang sangat

mendasar, yakni (1) tidak ada mekanisme checks and balances, (2) terlalu

banyaknya atribusi kewenangan, (3) adanya pasal-pasal yang multitafsir,

dan (4) terlalu percaya kepada semangan orang (si penyelenggara).24

Sementara menurut Mukhtie ada lima alasan. Pertama, alasan historis.

Artinya UUD 1945 jelas didesain oleh para founding fathers kita

20 Soehardjo Sastrosoehardjo, Konstitusi dan Demokrasi: Beberapa Pemikiran tentang

Hukum, (Semarang: Dahara Prize, 1991), pp. 44-45.

21Ellydar Chaidir, Hukum dan Konstitusi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007), p. 129.

22 Hal ini misalnya bisa dipahami melalui pernyataan Presiden Soekarno pada 18 Agustus 1945: “Undang-undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah Undang-undang Dasar sementara. Kalau saya boleh memakai perkataan: ini adalah Undang-undang Dasar kilat. Namti kalau kita telah bernegara dalam suasana lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna. Tuan-tuan tentu mengerti bahwa ini adalah sekedar Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kita bahwa barangkali boleh dikatakan pula inilah revolutiegrondwet.” Sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD, Amandemen, pp. 51-51 dan J.C.T. Simorangkir,

Penetapan, p. 145. Lebih-lebih jika ditambah dengan pegertian yangada dalam Aturan Tambahan UUD 1945 ayat (1) dan (2).

23Mahfud MD, Amandemen, p. 49. 24Mahfud MD, Amandemen, pp. 63-71.

(8)

PPKI) untuk sementara saja. Kedua, alasan filosofos. Artinnya di dalam UUD 1945 terdapat pencampuradukan dari beberapa gagasan sistem ketatanegaraan yang saling bertentangan, seperti pahak kedaulatan rakyat denganpaham integralistik, paham negara hukum dengan paham negara

kekuasaan. Ketiga, alasan teoretis. Artinya keberadaan sebuah konsitusi

hakekatnya adalah untuk membatasi kekuasaan dan kewenangan aparatur negara supaya tidak sewenang-wenang. Namun pada kenyataannya UUD

1945 justru menonjolkan pengintegrasian. Keempat, alasan yuridis. Artinya

jelas-jels ada klausul pasal perubahan yang tertuang dalam Pasal 37. Kelima,

alasan politis praktis. Artinya sudah sering dialami adanya ’perubahan’ yang menyimpang dari teks aslinya bahkan ada kesan ’memanipulasi’ dengan cara melakukan multi-interpretasi sesuai dengan selera penguasa

pada suatu kurun waktu tertentu.25

Oleh karena itu, konkretisasi amandemen terhadap UUD 1945 ini minimal diarahkan pada tujuh materi yang ada di dalamnya, yaitu (1) keanggotaan MPR), (2) hak konfirmasi penetapan Undang-undang secara sepihak untuk DPR, (3) pembatasan masa jabatan Presiden, (4) pemandirian dan perluasan hak Mahkamah Agung, (5) pembentukan Mahkamah Konstitusi (alterntaif), (6) pembubaran DPA dan

pemberdayaan BPK, dan (7) meminimalisasi atribusi kewenangan.26

D. Perubahan Konstitusi: Kebijakan dan Prosedur

Konstitusi adalah merupakan hukum dasar sebuah negara yang telah dipikir, diolah, dan dibuat dengan sedemikian rupa sehingga dianggap sudah paling maksimal. Namun, sebagai produk manusia, sebuah konstitusi apapun pasti akan selalu dipengaruhi oleh perjalanan dinamika perkembangan suatu masyarakatnya. Bisa dikatakan bahwa sebuah konstitusi itu baik untuk masa tertentu namun belum tentu baik untuk masa yang lainnya, baik untuk bangsa tertentu belum tentu baik untuk

bangsa yang lainnya. Semuanya akan selalu dipengaruhi oleh faktor space

and time (ruang dan waktu).

Oleh karena itu, meskipun sebuah konstitusi itu sah untuk dirubah

namun semestinya—demikian menurut K.C. Wheare—perubahan itu

justru untuk membuat dan menjadikan UUD itu menjadi tidak begitu saja dapat dengan mudah diubah. Perubahan itu justru untuk ’melindungi’ UUD itu sendiri. Dalam konteks ini K.C. Wheare mengatakan

25A. Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi, cet. 1, (Jakarta: Kon-Press, 2006), pp. 10-11.

(9)

Speakig generally it would seem that the amending process in most modern constitutions is aimed at safeguarding one or more of four objectives. The first is that the constitution should be changed only with deliberation and not lightly or wantonly; the second is that the people should be given an opportunity of expressing their views before a change is made,; the third is that, in a federal system, the powers of units and of central government should not be alterable by their party acting alone; and the fourth is that individual or community rights—or axample of minorities in language or religion or culture—should be safeguarded.27

Mencermati pandangan Wheare di atas tampak bahwa perubahan sebuah UUD itu memerlukan cara-cara tertentu dengan maksud bukan untuk mempermudah terjadinya perubahan namun justru untuk mempersulit atau paling tidak membatasi perubahan itu sendiri. Artinya, prosedur dan cara perubahan itu paling tidak harus mempertimbangkan empat hal pokok, yakni a) dipertimbangkan secara masak, b) rakyat diberi kesempatan untuk urun rembug, c) dalam konteks negara federal- kekuasaan negara bagian tidak diubah secara sepihak, dan d) peduli terhadap hak-hak kaum minoritas.

E. Perubahan UUD 1945: Cukup Sampai Di Sini

Sebagai bentuk dari adanya keterbatasan yang ada dalam UUD 1945 di stu sisi dan adanya pengaruh dinamika perikehidupan berbangsa dan bernegara terutama pasca reformasi maka hingga kini UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan, yakni a) disahkan tanggal 19 Oktober 1999, b) disahkan tanggal 18 Agustus 2000, c) disahkan tanggal 10

November 2001, dan d) disahkan tanggal 10 Agustus 2002.28 Secara tidak

langsung hal ini berarti bahwa secara kuantitatif bisa dikatakan UUD 1945 sudah berubah sama sekali menjadi satu konstitusi yang baru. Artinya, meskipun namanya masih tetap UUD 1945 namun isinya sudah berubah secara besar-besaran karena sudah benar-benar berbeda dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam naskah aslinya. Bahkan, sebagaimana termaktub dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan bahwa

”Dengan ditetapkannya perubahan Undang-undang Dasar ini, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.”

27K.C. Wheare, Modern Condtitutions, (London: Oxford University Press, 1952), p. 83.

28Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstutusionalisme Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Kon-Pres, 2005), pp. 58-62.

(10)

Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tak terpisahkan dari naskah UUD 1945 tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah UUD kita. Hal ini bisa dimengerti bahwa bagaimanapun yang terjadi, kemungkinan adanya perubahan-perubahan terhadap UUD 1945 pasca empat kali perubahan ini secara yuridis tidak lagi masuk akal dan

tidak diperbolehkan. Sementara secara de facto, implikasi riil dari perubahan

ini baru dan sedang dijalankan sehingga hasilnya yang maksimal belum bisa untuk dinilai apalagi dikritisi secara saksama.

F. Kesimpulan

Demikianlah uraian mengenai tidak perlunya perubahan UUD 1945 kita pasca empat kali perubahan. Hal ini tidak berarti tidak adanya kemungkinan sama sekali adanya perubahan tahap berikutnya. Namun, karena empat kali perubahan yang telah dilakukan ini dipandang sudah cukup --tidak saja karena dilakukan dalam rentang aktu yang cukup lama dan dikerjakan oleh mereka-mereka yang memang berhak untuk itu disertai kapabelitas yang memadai-- maka akan dipandang lebih baik jika perubahan ini cukup hingga di sini saja. Namun bagaimanapun perlu ditegaskan di sini bahwa sebaik apapun sebuah peraturan, tidak terkecuali UUD, pelaksanaannya sangat tergantung kepada integritas dan kapabilitas

orang yang melaksakanannya. The man behind the gun.

(11)

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan

dalam UUD 1945, cet. 1, Yogyakarta: FH UII Yogyakarta, 2004.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi,

Jakarta: KONpress, 2005.

Bogdanor (ed.), Blackwell’s Encyclopaedia of Political Science, Oxford:

Blackwell, 1987.

Chaidir, Ellydar, Hukum dan Teori Konstitusi, cet. 1, Yogyakarta: Total

Media, 2007.

Duchacek, Ivo D., “Constitution/Constitutionalism” dalam Bogdanor

(ed.), Blackwell’s Encyclopaedia of Political Science, Oxford: Blackwell,

1987.

Fadjar, A. Mukthie, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi, cet. 1, Malang:

In-TRANS, 2003.

---, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi, cet. 1, Jakarta: Kon-Press,

2006.

Haris, Syamsuddin, Ifdal Kasin, dan Wiwoho dalam ”Amandemen Cek Kosong” dalam http://www.gatra.com/artikel/ php?id=102245.

Mahfud, Moh., MD, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara,

cet. 1, Yogyakarta: UII Press, 1999.

---, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandeman Konstitusi, Jakarta:

LP3ES, 2007.

Malian, Sobirin, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, cet. 1,

Yogyakarta: UII Press, 2001.

Phillips, O. Hood, Constitutional and Administrative Law, 7th edition,

London: Sweet and Maxwell, 1987.

Sastrosoehardjo, Soehardjo, Konstitusi dan Demokrasi: Beberapa Pemikiran

tentang Hukum, Semarang: Dahara Prize, 1991.

Simorangkir, J.C.T., Penetapan UUD Dilihat dari Segi Ilmu Hukum Tata

Negara Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1984.

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni,

(12)

Taufiqurrohman, Prosedur Perubahan Konstitusi (Perubahan UUD Ri Tahun 1945 dan Perbandingannya dengan Konstitusi Negara Lain), Disertasi Fakultas Hukum UI Jakarta, 2003.

Thompson, Brian, Textbook on Constitutional and Administrative Law, 3rd

edition, London: Blackstone Press, 1997.

Wheare, K.C., Modern Condtitutions, London: Oxford University Press,

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 1908, desa Taratara masih berstatus sebagai tempat kedudukan onderdistrik yang masuk distrik Tombariri, namun jarak distrik Tombariri dengan Onderdistrik

Gambaran Aliran Udara dengan Pintu Tertutup Lantai 1 (kiri) dan Lantai 2 (kanan) Ruko Jalan Cemara

Pada tulisan ini telah dibahas tentang pencapaian lebar-pita dari rancangan antena mikrostrip patch segi empat dengan pencatu tingkap tergandeng untuk frekuensi

Seventh Grade Junior High School Students’ Attitude Toward English Reading At. SMP Negeri 1 Adimulyo In Academic Year

Filsafat sejarah dapat diharapkan dalam ilmu sejarah dan dibedakan menjadi tiga tahap, pertama ilmu pendukung dapat diandalkan oleh ahli sejarah bila ingin menentukan dengan tepat

MAHASISWA JURUSAN

Pada hasil analisis juga diperoleh nilai OR sebesar 0,421 yang artinya kualitas tidur lansia yang buruk mempunyai peluang 0,421 kali untuk mengalami dugaan gangguan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan judul Faktor-faktor yang mempengaruhi duplikasi penomoran berkas rekam medis dengan menggunakan hasil uji